“Karena itu kita harus segera kembali.”
“Ya,” jawab
Hanggapati. “Mungkin Ki Gede Pemanahan memang memerlukan Anakmas.”
“Meskipun demikian,
mumpung aku sudah berada di atas Tanah Perdikan ini, aku ingin berbicara dengan
Ki Argapati.” Kemudian kepada gembala tua itu ia bertanya,
“Apakah
mungkin hari ini aku berbicara dengan Ki Gede Menoreh?”
“Aku belum
yakin,” jawab orang tua itu, “tetapi baiklah aku akan mengusahakannya.”
“Terima
kasih,” berkata Sutawijaya.
“Tetapi
sebelum aku mengatakannya kepada Ki Argapati, aku memang akan menemui Kiai
sendiri. Aku kira sudah sampai waktunya aku mengutarakannya sekarang.”
Orang tua itu
mengerutkan keningnya. Kini tampaklah kesungguhan membayang di wajahnya.
“Aku memang
sudah menduga Anakmas, bahwa pada suatu ketika aku dan kedua anak-anakku itu
pasti akan terlibat dalam persoalan Anakmas.”
“Apaboleh
buat, Kiai. Aku memerlukannya.”
“Bukankah
Angger telah mempunyai beberapa orang senapati yang mumpuni?”
“Ayah
Pemanahan?”
“Ya, dan
selain itu Ada angger sendiri dan Pamanda Mandaraka yang bijaksana itu?”
“Ya, Kiai.
Tetapi aku memerlukan orang yang langsung cakap menangani prajurit di
peperangan. Paman Mandaraka adalah orang yang mempunyai pandangan yang tajam
sekali. Tetapi apabila terjadi sesuatu dengan Pajang, dalam kenyataan tempur,
aku kira Paman Mandaraka tidak akan dapat turun langsung ke medan. Aku juga
tidak yakin bahwa Ayahanda Pemanahan dapat melakukannya sendiri.”
“Dengan
demikian akulah yang harus jadi banten. Aku harus melakukan tugas yang tidak
dapat dilakukan oleh Ki Juru Mertani dan Ki Gede Pemanahan itu. Mereka tidak
akan sampai hati melawan langsung berhadapan di medan perang dengan para senapati
Pajang, tetapi aku harus menyingkirkan perasaan itu?”
Sutawijaya
terkejut mendengar jawaban itu. Ia kemudian merasa bahwa ia telah terdorong
kata sehingga agaknya telah menyinggung perasaan orang tua itu. Namun anak muda
yang cerdas itu kemudian tersenyum. Katanya,
“Maafkan,
Kiai. Aku sama sekali tidak bermaksud demikian. Tetapi aku agaknya telah
keliru, sehingga menimbulkan kesan seakan-akan aku berhasrat menempatkan Kiai
pada tempat yang sulit, yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain.” Sutawijaya
berhenti sejenak. Kemudikan dilanjutkannya,
“Tetapi
baiklah aku tidak mengatakannya dengan kalimat-kalimatku sendiri supaya aku
tidak keliru lagi. Sebenarnya ayahlah yang berpesan kepadaku. Kalau aku bertemu
dengan seorang tua yang bersenjata cambuk, serta mempunyai kecakapan dalam hal
obat-obatan, maka aku harus mengatakannya, bahwa ayah memerlukan.”
“Apakah hanya
ada seorang, aku saja, yang menguasai ilmu obat-obatan.”
“Tidak hanya
ilmu obat-obatan Kiai, tetapi yang mempunyai ciri senjata cambuk.”
“Itu pun tidak hanya seorang.”
“Mungkin kalau
aku ketemukan yang lain, aku pun akan
mengatakannya demikian kepadanya. Tetapi seluruh Pajang pernah aku jelajahi.
Yang aku ketemukan adalah Kiai seorang saja.”
Gembala itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya,
“Siapakah nama
orang itu? Apakah ayahanda Ki Gede Pemanahan tidak menyebut namanya?”
“Ya, ayah
memang menyebut namanya.”
“Nah, apakah
nama itu namaku?”
“Siapakah mama
Kiai sebenarnya?”
Gembala tua
itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun
kemudian tersenyum. “Hem,” desahnya,
“Anakmas
memang seorang yang mapan berbicara.”
Sutawijaya pun
tersenyum pula. Katanya kemudian,
“Ayah memang
menyebut nama itu. Sorotomo, Danumurti, Ragapati, dan masih ada dua nama lagi
yang aku terlupa.”
Orang tua itu
mengangkat wajahnya. “Nama-nama yang menarik.”
Sutawijaya
memperhatikan kesan yang tersirat di wajah orang tua itu dengan seksama. Namun
kemudian ia menarik nafas dalam-dalam. Orang tua itu benar-benar seorang yang
mampu menguasai perasaannya, sehingga sama sekali tidak ada kesan apa pun yang tersirat di wajah yang telah
berkerut-merut itu.
“Nama-nama
yang baik,” desisnya.
“Tetapi
Anakmas mengatakan bahwa laki-laki tua yang bersenjata cambuk itu hanya
seorang. Sedang Angger menyebut beberapa nama sekaligus.”
“Itulah yang
aneh, Kiai,” jawab Sutawijaya.
“Karena itu,
apakah artinya sebuah nama bagi seseorang seperti laki-laki bersenjata cambuk
itu? Ia dapat menyebut dirinya dengan seribu nama. Sorotomo ataukah Danumurti
atau Ragapati atau Kiai Gringsing atau Ki Tanu Metir atau seorang gembala tidak
bernama atau ………….”
“Kenapa Angger
sampai ke nama-nama itu,” potong gembala tua itu.
“Misalnya,
Kiai. Hanya sekedar missal,” sahut anak muda itu.
“Aku tidak
mengatakan bahwa Sorotomo itu juga bernama Kiai Gringsing atau Ki Tanu Metir
atau yang lain.”
Gembala tua
itu menarik nafas dalam-dalam.
Anak muda itu
kemudian melanjutkan,
“Aku belum
selesai, Kiai. Ayah berpesan agar aku menyampaikan pula, bahwa ayah minta
pertolongan Kiai untuk membantu menegakkan sebuah daerah baru. Alas Mentaok
harus menjadi sebuah negeri.”
“Kenapa aku
harus ikut?”
“Menurut ayah,
Mentaok akan sangat memerlukannya. Eh, maksudku memerlukan Kiai. Apalagi salah
seorang muridnya adalah putera Demang Sangkal Putung.”
Orang tua itu
tersenyum, Jawabnya,
“Itulah yang
penting. Letak Sangkal Putung sangat menguntungkan bagi daerah baru itu untuk
menghadapi Pajang. Garis yang menjelujur dari Alas Mentaok, Prambanan, kemudian
Sangkal Putung adalah lapis-lapis pertahanan yang pasti tidak tertembus.”
“Ah,” anak muda
itu mengerutkan keningnya,
“adakah
seorang gembala di seluruh Pajang yang begitu cepat menanggapi keadaan medan
seperti Kiai.”
“Hem,” gembala
itu berdesah.
“Itulah
agaknya maka ayahanda telah meminta Kiai untuk datang ke Alas Mentaok.”
Gembala itu
tidak segera menjawab.
“Ayah sangat
mengharap kedatangan Kiai. Apakah ternyata kemudian ayah keliru, atau akulah
yang keliru, terserahlah. Atau barangkali Kiai telah keliru atau lupa menyebut
nama sendiri,” anak muda itu pun tertawa.
“Ah, kau ini,
Ngger.”
Dan anak muda
itu berkata seterusnya,
“Tetapi ayah
juga berpesan, bahwa apa yang dilakukan ayah sekarang ini tidak sekedar
terdorong oleh suara yang pernah didengar dari puncak sebatang pohon kelapa
yang hanya berbuah sebutir oleh Ki Ageng Giring. Apakah Kiai sudah mendengar
dongeng itu?”
“Belum,
Ngger,” namun orang tua itu tertawa sehingga Sutawijaya menyahut,
“Ah, Kiai
mencoba untuk menyembunyikan diri.”
“Kenapa?”
gembala itu mengerutkan keningnya.
“Kiai pasti
sudah mendengarnya karena Kiai tertawa.” Kemudian dengan bersungguh-sungguh
Sutawijaiya bertanya,
“Apakah Kiai
percaya bahwa siapa yang minum air kelapa itu dan menghabiskannya sekaligus
akan menurunkan raja?”
“Sebaiknya
kita percaya,” jawab gembala itu sambil tersenyum.
“Jika kemudian
ternyata demikian, maka keturunan Ki Pemanahan itu akan menjadi raja.”
“Ah,”
Sutawijaya berdesah, “bukan itu soalnya.”
Tetapi gembala
tua itu tertawa. Katanya,
“Angger memang
seorang pemikir yang cemerlang. Sebelum Alas Mentaok itu benar-benar menjadi
sebuah negeri, Angger sudah membentengi dengan ketat. Sangkal Pulung, Jati
Anom, dan Menoreh adalah suatu lingkaran yang rapat. Sudah tentu Angger akan
menghubungi Mangir dan sekitarnya.”
Sutawijaya
tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba matanya menjadi redup. Sejenak ditatapnya
Hanggapati dan Dipasanga yang terkantuk-kantuk. Mereka merasa lelah sekali,
karena semalaman mereka tidak beristirahat sama sekali, dan bahkan telah
memeras tenaga di dalam peperangan.
“Kalian lelah
sekali,” desis Sutawijaya.
Keduanya
tersenyum. “Ya. Tetapi biarlah kami duduk di sini.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya kepada gembala tua itu hampir
berbisik,
“Tetapi Kiai,
jalan ke Selatan itu tidak begitu menggembirakan. Kepala Tanah Perdikan Mangir
agaknya mempunyai sikap sendiri.”
Orang tua itu
mengerutkan keningnya. “Apa katanya?”
“Mereka
merasa, bahwa mereka lebih tua dari Tanah Mentaok yang sedang dibuka itu. Bagi
mereka, Mentaok dapat menjadi perintang atas perkembangan Tanah Perdikan itu.”
“Kalau begitu,
mereka akan berusaha merintangi perkembangan Alas Mentaok. Bahkan mungkin
bekerja bersama dengan Pajang.”
“Dengan Pajang
tentu tidak. Tetapi hasrat untuk besar dan berdiri sendiri itulah yang akan
dapat menjadi perintang.”
“Apakah hal
itu merupakan persoalan yang dapat dianggap bersungguh-sungguh bagi Mentaok?”
“Tetapi sampai
saat ini kami masih berusaha untuk membatasi persoalannya, Kiai. Kami
seolah-olah tidak mempedulikannya lagi. Mudah-mudahan untuk selanjutnya Mangir
tidak mengganggu kami.”
Gembala tua
itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Gambaran masa depan yang suram bagi Pajang.
Meskipun ia tidak mendasarkan penglihatannya atas perkembangan pusat
pemerintahan itu pada peristiwa-peristiwa ajaib, seperti kelapa, yang dipetik
oleh Ki Ageng Giring, yang tanpa disengaja airnya telah terminum oleh Ki Gede
Pemanahan karena ia kehausan itulah, namun ia memang melihat, bahwa kekuasaan
Pajang tidak akan mampu bertahan terlampau lama. Pimpinan pemerintahan di
Pajang, yang menggemparkan di masa mudanya itu kemudian tenggelam di dalam
kesenangan pribadi yang berlebih-lebihan. Sejak muda Mas Karebet telah
menyimpan cacat pada pribadinya, di samping kecemerlangannya yang tidak ada
duanya. Di samping kemampuannya sebagai seorang Wira Tamtama, penjelajahannya
yang sulit dilakukan oleh orang lain sampai ke tempat-tempat yang terpencil,
dan kemudian mencapai puncak kedahsyatannya dengan mengalahkan Kebo Danu dari
Banyu Biru, meskipun hal itu telah diatur lebih dahulu. Karebet memberi harapan
bagi Pajang yang diambilnya dari Demak. Tetapi cacat yang dibawanya sejak muda,
kegemarannya melibatkan diri dengan perempuan justru menonjol ketika ia menjadi
Adipati di Pajang. Ratu Kalinyamat telah berhasil memancingnya ke dalam suatu
bentrokan yang tidak terhindar lagi melawan Jipang, dengan menjanjikan dua
orang gadis cantik kepadanya.
“Sekali tepuk
dua lalat terbunuh,” berkata orang tua itu di dalam hatinya.
“Sepeninggal
Arya Penangsang, tahta tersedia buat Adipati Pajang, sekaligus ia mendapat
hadiah dari Ratu Kalinyamat itu.”
Tetapi yang
akan disesali oleh Sultan Pajang itu adalah kelalaiannya memberikan Tanah yang
sudah disanggupkannya kepada Ki Gede Pemanahan. Karena ia dibayangi oleh hadiah
dua orang gadis cantik itulah, maka tanpa berpikir panjang ia bersedia
menyerahkan tanah Pati dan Mentaok kepada mereka yang berhasil membunuh
langsung Arya Penangsang dari Jipang. Kini semuanya itu sudah terlanjur.
Hubungan antara Sultan dan Ki Gede Pemanahan yang selama ini menjadi
Panglimanya, bagaikan telur yang retak kulitnya. Tidak akan dapat dipulihkannya
kembali. Apalagi Ki Gede Pemanahan sudah mulai membuka Alas Mentaok meskipun
mungkin hal itu tidak dikehendaki oleh Sultan Pajang.
Orang tua itu
menarik nafas dalam-dalam. Katanya di dalam hati,
“Memang
persoalan-persoalan selama kita masih hidup ini tidak akan ada selesainya.
Persoalan Menoreh agaknya sudah semakin terang. Yang tinggal adalah masalah
Sidanti dan Argajaya, meskipun persoalan itu akan merupakan persoalan yang
sangat rumit bagi Ki Argapati. Apalagi menurut pendengaranku yang belum jelas,
baik diucapkan oleh Ki Tambak Wedi maupun Sidanti sendiri, anak itu bukan
putera Ki Airgapati.” Orang tua itu mengangguk-angguk sendri, kemudian ia masih
berkata kepada diri sendiri,
“Dan,
sekarang, telah terbuka lagi masalah-masalah baru yang harus dihadapi. Alas
Mentaok. Meskipun sebenarnya aku masih dapat menghindarkan diri. Tetapi
persoalan ini akan langsung bersangkutan dengan Kademangan Sangkal Putung,
Prambanan, dan Tanah Perdikan ini.”
Namun lebih
daripada itu, agaknya Ki Gede Pemanahan mempunyai perhitungan tersendiri,
kenapa ia dengan sengaja berusaha melibatkan gembala tua itu dalam
persoalannya.
“Aku harap
Kiai memikirkannya sebaik-baiknya,” tiba-tiba gembala tua itu dikejutkan oleh
kata-kata Sutawijaya.
“Aku akan
berpikir, Anakmas.”
“Memang
barangkali Kiai sama sekali sudah tidak mempunyai pamrih apa pun. Tetapi
murid-murid Kiai itu adalah anak-anak muda yang masih menginginkan masa depan
yang panjang.”
Orang itua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Adalah lebih
baik, kalau Kiai dapat pergi bersamaku ke Mentaok.”
“O, tentu
tidak, Ngger. Kecuali kalau Angger tidak tergesa-gesa kembali.”
“Aku harus
segera berada di Mentaok, Kiai.”
“Kalau begitu
Angger dapat pergi lebih dahulu,” berkata gembala tua itu.
“Tetapi
bukankah Angger akan bertemu dengan Ki Argapati?”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun dalam
pada itu terkilas suatu persoalan yang pasti akan menjadi sangat rumit baginya,
apalagi bagi murid-muridnya. Kalau benar-benar terjadi persoalan antara Pajang
dan Alas Mentaok, kemudian ia berpihak kepada Sutawijaya bersama kedua
murid-muridnya, maka ada kemungkinan mereka akan berhadapan dengan Senapati
Pajang di sisi Selatan, Untara. Orang tua itu menggelengkan kepalanya.
Seolah-olah ia ingin mengusir persoalan yang melintas dengan tiba-tiba
dikepalanya itu. Namun yang terbayaug justru Untara sendiri berdiri tegak degan
pedang di tangan.
“Hem,” orang
tua itu berdesah. Namun ia terkejut ketika ia mendengar Sutawijaya bertanya,
“Kenapa Kiai?”
Gembala itu
tergagap. Namun kemudian ia melihat sesuatu telah melonjak di dada orang tua
itu. Tetapi meskipun demikian Sutawijaya itu tidak bertanya lagi.
“Anakmas,” berkata
orang tua itu kemudian,
“sebaiknya
Anakmas memberi kesempatan kepada Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga untuk
beristirahat. Bahkan Angger sendiri dapat beristirahat pula di gandok belakang.
Atau di ruang yang baru saja ditinggalkan oleh Sidanti. Biarlah aku yang
menunggui Anakmas Sidanti di sini.”
Sutawijaya
mengerutkan keningnya. Dipandanginya Hanggapati dan Dipasanga berganti-ganti.
“Aku dapat
beristirahat di mana-mana, Kiai. Kalau memang tidak ada persoalan lagi, barulah
aku berada di longkangan di belakang bilik ini. Aku kira di sana ada beberapa
helai tikar. Aku dapat beristirahat di antara beberapa orang prajurit yeng
bertugas, sekaligus mengawasi bilik Sidanti dari belakang,” sahut Hanggapati.
“Dan Angger
Sutawijaya?”
“Aku di sini
saja, Kiai.”
“Baiklah.
Silahkan Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga ke longkangan. Di sana kalian berdua
mungkin masih dapat tidur meskipun hanya sekejap.”
Keduanya pun
kemudian meninggalkan ruangan dalam pergi ke longkangan di belakang bilik
tempat menyimpan Sidanti. Kedua nya pun
kemudian berada di antara para pengawal yang terpilih untuk mengawasi Sidanti.
“Kita dapat
beristirahat bergantian,” berkata Ki Hanggapati.
“Dengan
demikian kita dapat beristirahat dengan tidak digelisahkan oleh apa pun.”
“Baiklah,”
jawab Dipasanga,
“tetapi siapa
yang dahulu? Kita tidak tahu, berapa lama kita dapat beristirahat di sini.
Mungkin ada sesuatu yang memaksa kita untuk segera berbuat sesuatu.”
“Kau dulu
sajalah. Aku masih ingin minum wedang serbat dahulu.”
Ki Dipasanga
tersenyum. Ia masih melihat, seorang pengawal yang tergopoh-gopoh menyorongkan
mangkuk kepada Ki Hanggapati sambil berkata,
“Silahkan.
Silahkan.”
Ki Hanggapati
tersenyum, sedang Ki Dipasanga pun
kemudian pergi menepi. Kemudian berbaring di sebelah tiang bambu yang dilekati
oleh sarang laba-laba yang sudah kehitam-hitaman.
Di ruang
tengah Sutawijaya duduk bersama gembala tua. Namun kemudian gembala itu masuk
ke dalam bilik Ki Argapati untuk melihat perkembangan kesehatannya.
“Kau sudah
terlanjur berada di sini, Ngger,” berkata gembala tua itu.
“Aku titip,
kalau-kalau Angger Sidanti polah lagi. Jangan biarkan ia pergi, tetapi jangan
lukai anak itu.”
“Aku sudah
kapok Kai,” jawab Sutawijaya, “nanti aku pula yang disalahkannya.”
“Biar sajalah.
Anggap saja itu lagu yang paling merdu seorang gadis dari Bukit Menoreh.”
“Tetapi, Kia
sendiri tersinggung karenanya.”
“Aku memang
sudah pikun. Aku menyesal sekali.” Orang tua itu berhenti sebentar.
“Tetapi aku
titip pintu itu.”
Sutawijaya
mengerutkan keningnya. Tetapi ia hanya tersenyum saja.
Gembala itu
pun kemudian masuk ke dalam bilik Ki Argapati.
Pandan Wangi
berpaling ketika ia mendengar derit pintu terbuka.
“Marilah
Kiai,” desis Pandan Wangi. “Ayah sudah agak tenang.
Orang tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Syukurlah,”
jawabnya,
“mudah-mudahan
segera menjadi baik.”
“Tetapi,
bagaimana dengan Raden Sutawijaya itu?”
“Ia masih
duduk di ruang tengah.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tanpa disangka-sangkanya, terdengar suara
Argapati berat perlahan-lahan, “Kau sebut nama Raden Sutawijaya, Wangi.”
Pandan Wangi
menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia menjawab,
“Ya, Ayah.”
“Kenapa dengan
Raden Sutawijaya?”
“Ia berada di
ruang tengah.”
Jawaban itu
agaknya telah mengejutkan Ki Argapati sehingga perlahan-lahan matanya yang
selalu terpejam itu terbuka.
“Ia berada di
sini?”
“Ya, Ki Gede,”
gembala tua itulah yang menyahut.
“Tetapi jangan
hiraukan kehadirannya. Anak nakal itu hanya sekedar ingin tahu. Seperti ayah
angkatnya Sultan Pajang yang sekarang, Angger Sutawijaya senang menjelajahi
sudut-sudut kerajaan ini.”
Ki Argapati
menarik nafas dalam-dalam.
“Dan Raden
Sutawijaya itu sudi singgah di rumah ini?”
“Beristirahatlah,
Ki Gede. Anakmas Sutawijaya akan bermalam di rumah ini. Besok atau kapan saja
Ki Gede masih sempat menemuinya apabila keadaan Ki Gede sudah menjadi semakin
baik.”
“Raden
Sutawijaya akan bermalam di sini?” suaranya agak meninggi.
“Ya.”
“O, di mana
kami akan mempersilahkannya. Di sini tidak ada perlengkapan apa pun yang dapat
kita pergunakan dengan pantas untuk menerimanya.”
“Jangan hiraukan,”
berkata gembala tua itu.
“Di Sangkal
Putung Anakmas Sutawijaya tidur di gubug, di tengah sawah. Ketika ia memasuki
Alas Mentaok untuk melihat-lihat, ia tidur di atas cabang sebatang pohon. Bagi
seorang perantau, rumah ini sudah cukup memberikan tempat yang baik,” jawab
gembala itu pula.
Ki Argapati
tidak segera menjawab. Tetapi tampaklah kekecewaan membayang di wajahnya yang
pucat. Apalagi ia sendiri masih belum dapat bangkit dan menerima Raden
Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar, Putera angkat Sultan Pajang
itu.
“Janganlah Ki
Gede terlampau memikirkan tamu kecil itu. Serahkan ia kepadaku,” berkata
gembala itu.
Ki Argapati
mengangguk lemah.
“Baiklah,
Kiai. Mudah-mudahan Anakmas Sutawijaya tidak kecewa melihat keadaan ini.”
“Tentu tidak.
Sekarang Ki Gede sebaiknya beristirahat dan berusaha untuk menenteramkan hati.”
“Ya,”
desisnya.
“Tidurlah
sebanyak-banyaknya.”
“Ya.”
Orang tua itu
pun mengangguk-angguk. Dirabanya pergelangan tangan Ki Argapati yang sudah
mulai hangat, kemudaan tengkuknya dan keningnya.
“Mudah-mudahan
Ki Gede segera menjadi baik kembali, meskipun agaknya Ki Gede memerlukan waktu
untuk memulihkan kekuatan.”
“Ya,”
jawabnya, “mudah-mudahan.”
Gembala tua
itu pun kemudian duduk di atas dingklik
kayu di sudut bilik itu, sedang Pandan Wang duduk di amben pembaringan Ki
Argapati di bagian bawah.
Sementara itu,
Samekta dan Kerti telah memasuki ruangan dalam kembali. Ketika mereka berdua
telah duduk bersama Sutawijaya, maka anak muda yang sudah jemu duduk berdiam
diri itu segera berkata,
“Aku menjadi
lelah duduk di sini saja.”
“Apakah
Anakmas akan berbaring? Mungkin memerlukan ruangan tersendiri?”
“Tidak.”
Sutawijaya termenung sejenak. Kemudian ia bertanya,
“Di mana
Gupita dan Gupala?”
“Di belakang.
Mereka mengawasi Ki Argajaya.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian karena ia sadar bahwa kedua
anak-anak muda itu tidak datang menemuinya karena tugasnya, maka ia pun kemudian berkata,
“Aku akan
menemui mereka.”
“O, silahkan.
Silahkan.”
“Tetapi di
sini aku sedang menerima titipan?”
“Apa?” Samekta
dan Kerti menjadi heran.
“Pintu itu.”
“Kenapa dengan
pintu itu?”
“Bukankah di
dalamnya ada Sidanti? Gembala itu menitipkan kepadaku untuk mengawasi
kalau-kalau Sidanti kambuh lagi. Nah, sekarang pintu itu aku titipkan kepada
kalian berdua. Awasi. Kalau kalian memerlukan sesuatu, Kiai Gringsing berada di
ruang itu.”
“Kiai
Gringsing?” Samekta bertanya dan Kerti terheran-heran.
“Eh, maksudku
gembala tua itu. Ia ada di dalam bilik Ki Argapati untuk melihat luka-lukanya.
Kalau ia kembali dan bertanya tentang aku, katakan, aku sedang menemui Gupita
dan Gupala.
“Baiklah. Kami
berdua akan mengawasi pintu itu.”
Sutawijaya pun
kemudian meninggalkan ruangan itu. Seperti petunjuk Samekta, maka ia pun pergi ke bilik tempat Argajaya ditahan
untuk menemui Gupita dan Gupala.
Pembicaraan
mereka kemudian adalah pembicaraan anak-anak muda. Sutawijaya segera
berceritera tentang Alas Mentaok. Usahanya untuk membuatnya menjadi sebuah
negeri.
“Tetapi dengan
demikian Sultan Pajang akan tersinggung karenanya.”
“Mudah-mudahan
tidak. Apa salahnya kalau daerah itu nanti akan berkembang? Kami tidak akan
mengganggu Pajang. Kecuali kalau perkembangan keadaan jadi lain, dan hal-hal
yang tidak kita harapkan itu harus terjadi.”
Gupita dan
Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Sudah tentu,
bahwa seandainya Ayahanda Sultan Pajang tidak senang melihat perkembangan Alas
Mentaok, kami terpaksa tidak dapat mematuhinya. Kami sudah bertekad. Mentaok
tidak boleh kalah dari Pati yang sudah lebih dahulu terbuka.
“Jadi bukankah
sekarang Ki Gede Pemanahan sudah membuka hutan itu?”
“Tentu sudah.”
Kemudian suaranya jadi menurun,
“Jangan kau
katakan kepada gurumu, Mentaok sudah menjadi suatu desa yang ramai. Banyak
orang-orang di padukuhan di sekitarnya kini telah membuka hubungan dengan
daerah baru itu.”
Gupita dan
Gupala mengerutkan keningnya.
“Kami telah
mengumpulkan anak-anak muda yang akan kami persiapkan untuk menjadi pengawal
daerah kami yang baru itu. Latihan-latihan yang teratur telah kami adakan
hampir di setiap hari.”
“Siapakah yang
melatih mereka?”
“Beberapa
orang prajurit dari Pajang telah membantu kami membuka hutan itu.”
Gupita dan
Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Jika
demikian, langkah Ki Gede Pemanahan sudah terlalu jauh,” desis Gupita.
Sutawijaya
tertawa. Katanya,
“Ayah harus
mengejar ketinggalannya dari Pati.”
“Kenapa mesti
berkejar-kejaran?” bertanya Gupala.
Sutawijaya
mengerutkan keningnya. Pertanyaan itu memang tidak disangka-sangkanya. Namun
akhirnya ia menjawab,
“Bukan
maksudnya. Tetapi usaha membangun daerah itu adalah usaha yang baik. Sebenarnya
Pajang justru harus membantu.”
“Apakah Pajang
menghalang-halangi sampai sekarang?” bertanya Gupita.
Sekali lagi
Sutawijaya dihadapkan pada pertanyaan yang tidak segera dapat dijawab.
Namun hal itu
bagi Gupita adalah pertanda bahwa sebenarnya pihak Ki Gede Pemanahan sendiri
diam-diam sudah menyusun kekuatan. Mungkin karena prasangka yang
berlebih-lebihan, orang-orang Alas Mentaok itu merasa bahwa Pajang akan segera
memusuhinya. Namun tanpa menjawab pertanyaan Gupita, Sutawijaya berkata,
“Aku
memerlukan beberapa orang senapati yang mumpuni. Nah, kalian pasti bersedia
membantu aku seandainya terjadi sesuatu kelak.”
Gupita dan
Gupala saling berpandangan sejenak. Tampak sesuatu memancar di sorot mata
masing-masing. Tetapi ternyata tanggapan mereka justru berbeda. Sejenak kemudian
Sutawijaya mendesak,
“Bagaimana?
Gupala
mengerutkan keningnya. Meskipun ragu-ragu namun ia menjawab,
“Apa
salahnya?”
“Bagus,” desis
Sutawijaya,
“kalian pasti
akan membantu kami. Aku memang sudah menyangka.”
Namun Gupita
masih tetap berdiam diri.
“Nah,” berkata
Sutawijaya,
“bagaimana
dengan kau Gupita. Aku tahu, bahwa kau selalu dibayangi oleh keragu-raguan.
Tetapi kau sekarang sudah dewasa sepenuhnya. Kau sudah mampu melakukan banyak
tindakan di dalam peperangan. Bukankah kau pada suatu ketika, seperti yang
terjadi di peperangan, harus mengambil keputusan dengan cepat? Nah, kau harus
mengambil pengalaman. Kau dapat melakukan kalau kau mau.”
Gupita
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kemudian ia berkata,
“Aku, harus
mengatakannya kepada guru.”
“Aku tahu
bahwa kau akan bersikap demikian. Tetapi agaknya gurumu pun akan ikut serta
bersama kami. Ayah Ki Gede Pemanahan sendiri telah berpesan untuk memintanya
datang ke Alas Mentaok.”
“Apakah Ki
Gede Pemanahan mengenal guru?”
Sutawijaya
tertawa.
“Tidak seorang
pun yang mengenal gurumu dengan pasti. Ayah pun tidak. Ki Argapati agaknya juga
tidak yakin atau bahkan tidak tahu dengan siapa ia berhadapan. Ki Tambak Wedi
dan semua orang yang berhubungan dengan gurumu menganggapnya ia orang yang lain
dari nama-nama yang pernah didengar sebelumnya. Satu-satunya ciri yang dapat
dipakai sebagai pancadan untuk menduga-duga adalah cambuknya itu. Meskipun
gurumu sendiri berkata bahwa banyak sekali orang bersenjata cambuk.”
Gupita
mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera menyahut.
“Sekarang,
ciri itu tambah lagi. Bersenjata cambuk dan mempunyai dua orang murid. Yang
seorang bulat seperti kelapa, dan yang lain bertubuh sedang.”
Gupita menarik
nafas dalam-dalam, sedang Gupala tersenyum sambil meraba-raba perutnya.
“Kalau memang
guru sudah setuju, aku pun tidak berkeberatan,” berkata Gupita kemudian.
“Tetapi untuk
mengambil keputusan serupa itu, sebagai seorang murid yang masih berada
langsung di bawah pengawasan gurunya, aku tidak dapat bertindak sendiri.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ya, begitulah
sebaiknya,” desisnya. Tetapi Sutawijaya sendiri adalah anak yang nakal.
Kadang-kadang ia melanggar peraturan ayahnya sekaligus gurunya, atau melakukan
sesuatu tanpa setahu ayahnya itu.
“Dan
selanjutnya keputusan terakhir ada pada guru,” sambung Gupita.
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Gumamnya seolah-olah kepada diri sendiri,
“Meskipun
sebagian Senapati Pajang ikut dengan ayah, tetapi yang sebagian itu terlampau
kecil dibanding dengan kekuatan Pajang seluruhnya. Mudah-mudahan kami akan
segera meningkatkan kekuatan para pengawal daerah baru itu.”
Gupita
mengerutkan keningnya. Hampir tanpa sesadarnya ia berkata,
“Itu sudah
merupakan persiapan perang.”
Sutawijaya
terkejut mendengar tanggapan Gupita. Dengan serta-merta ia berkata,
“Tidak, sama
sekali tidak. Bukan maksud kami mengadakan persiapan perang.”
Gupita
menggigit bibirnya.
“Kami hanya
sekedar mengadakan persiapan untuk menjaga diri apabila sesuatu terjadi atas
daerah kami yang baru bangkit itu.”
Gupita
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara Gupala masih meraba-raba perutnya.
Namun tiba-tiba ia berkata,
“Memang setiap
orang perlu menjaga diri. Juga daerah-daerah baru yang baru lahir seperti Alas
Mentaok yang akan menjadi sebuah negeri. Seandainya Pajang tidak berbuat apa-apa,
mungkin justru daerah di sekitarnya merasa iri. Mungkin Tanah Perdikan Mangir,
mungkin Menoreh, atau daerah-daerah lain.”
“Bagaimana
dengan Sangkal Putung?” tiba-tiba Sutawijaya bertanya.
“Sangkal
Putung tidak terlampau dekat. Tetapi Sangkal Putung tidak akan berkeberatan apa
pun atas perkembangan Alas Mentaok. Kalau Alas Mentaok menjadi ramai,
perdagangan antara Pajang dan daerah baru itu berkembang, maka Sangkal Putung
akan menjadi jalur yang menentukan. Itu akan bermanfaat bagi Sangkal Putung.”
Sutawijaya
memandang Gupala dengan sorot mata yang aneh. Sesaat kemudian ia berkata,
“Hem, kau
memandang persoalan ini dari sudut yang luas. Meskipun tampaknya kau hanya
dapat berkelahi dan tertawa-tawa tanpa arti, ternyata pandanganmu cukup tajam.”
Gupala hanya
tertawa saja.
“Tetapi
bagaimana kalau terjadi sebaliknya?”
“Apa?” anak
yang gemuk itu bertanya.
“Kalau yang
lewat itu bukan serombongan pedagang, tetapi sepasukan prajurit dari Pajang
menuju ke Alas Mentaok.”
Gupala
berpikir sejenak. Dan jawabnya sama sekali tidak disangka-sangka oleh Sutawijaya
maupun oleh Gupita. Katanya,
“Kalau yang
lewat sepasukan prajurit, aku harus bersembunyi atau mengungsi.”
Ketiganya
tidak dapat menahan hati. Sutawijaya tertawa meledak, meskipun segera menutup
mulutnya dengan kedua tangannya, sedang Gupita tersenyum kecut.
“Sudahlah,”
berkata Sutawijaya kemudian,
“aku akan
pergi ke ruang tengah. Kalau gurumu sudah selesai dengan Ki Argapati, ia akan
mencari aku. Aku masih harus menemui Ki Argapati dalam kesempatan ini.”
“Juga
mempersoalkan dibukanya Alas Mentaok?” bertanya Gupala.
“Ya.”
“Mudah-mudahan
tidak ada kesulitan dari mana pun,” berkata Gupita perlahan-lahan.
“Tentu. Kami
mengharap demikian. Tetapi seandainya ada banjir, kami sudah membuat tanggul.”
Gupita
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia merasa bahwa soalnya bukan sekedar
membuat tanggul. Namun demikian ia tidak berkata sesuatu lagi. Ia menyerahkan
persoalannya kepada gurunya. Apa pun yang harus dilakukannya, ia tidak akan
menolak. Ketika kemudian Sutawijaya masuk kembali ke ruang tengah, yang
ditemuinya adalah Samekta dan Kerti yang masih duduk di tempatnya, sehingga
anak muda itu bertanya,
“Apakah
gembala itu masih berada di dalam bilik Ki Argapati?”
Samekta
menggelengkan kepalanya. “Tidak. Baru saja ia pergi ke luar.”
“Aku berada di
luar.”
“Tetapi ia
pergi ke luar lewat pintu butulan. Agaknya Anakmas diharap duduk di sini
sebentar.”
Sutawijaya
mengangguk-angguk pula.
“Baiklah, aku
akan menunggunya di sini.”
Sementara itu
gembala tua itu pergi kepada kedua muridnya. Ditemuinya Gupala sedang berbaring
di atas anyaman daun kelapa, sedang Gupita duduk memeluk lututnya. Beberapa
langkah dari mereka, seorang penjaga berjalan helir-mudik dengan tombak di
tangan.
“Apakah kalian
lelah?” bertanya gurunya.
Gupala segera
bangkit. Dengan serta-merta ia bertanya,
“Apa kami
sudah boleh tidur?”
“Kenapa
tidak?”
Gupala menjadi
bingung.
“Lalu
bagaimana dengan tawanan yang berada di dalam bilik itu.”
“Biar saja ia
di situ. Kalian berdua dapat tidur berganti-ganti. Tetapi aku kira kalian yang
masih muda-muda ini akan dapat bertahan tiga hari tiga malam.”
Gupala
mengerutkan keningnya.
“Menurut
pendengaranku, waktu Mahapatih Gajah Mada menyelamatkan rajanya, tujuh hari
tujuh malam ia sama sekali tidak beristirahat. Apalagi tidur,” desis gembala
itu.
“Baru setelah
ia mendapat jalan untuk membawa raja itu kembali ke kota, Gajah Mada mau
beristirahat.”
Gupita
tersenyum, sedang Gupala bersungut-sungut. Katanya,
“Kelak,
apabila aku menjadi Maha Patih, aku pun akan berjaga-jaga tujuh hari tujuh
malam.”
Gupita tidak
dapat menahan tertawanya. Katanya,
“Apa yang akan
kau lakukan selama tujuh hari tujuh malam itu?”
“Makan.”
Ketiganya
tertawa. Namun Gupala pun segera
merebahkan dirinya lagi di atas anyaman daun kelapa itu sambil berdesis,
“Memang suatu
cara yang baik. Bergantian tidur. Kenapa baru sekarang kita ingat akan hal itu?
Sekarang aku tidur, kau bangun Kakang Gupita. Nanti, pada saatnya kau bangun,
aku tidur.”
“Bagus. Tetapi
kalau nasi masak, aku tidak mau membangunkan kau.”
Gupala tidak
menjawab. Tetapi sambil menggaruk-garuk perutnya ia berkata,
“Kalau begitu
aku pun tidak akan dapat tidur.”
Gurunya tersenyum.
Namun kemudian ia berkata,
“Aku harus
segera kembali ke ruang tengah menunggui Sidanti. Sebentar lagi, apabila semua
persiapan sudah selesai, para pemimpin Menoreh akan melepaskan jenazah mereka
yang gugur di peperangan ini. Kalau Angger Sutawijaya bersedia tetap berada di
ruang tengah, aku akan dapat ikut bersama Samekta dan Kerti.” Orang tua itu
berhenti sejenak, lalu,
“Apakah kalian
sudah bertemu dengan Raden Sutawijaya?”
“Sudah, Guru,”
jawab Gupita, “baru saja ia datang kemari.”
“Apa katanya?”
“Tentang Alas
mentaok itu lagi,” jawab Gupita.
“Kami diminta
untuk membantunya,” sahut Gupala.
“Agaknya Raden
Suitawijaya memerlukan beberapa orang untuk itu.”
“Beberapa
orang yang bersedia untuk berkelahi,” gumam gurunya.
“Tetapi apa
katamu berdua?”
“Aku
bersedia,” jawab Gupala dengan serta-merta.
“Aku tidak
dapat berdiri tidak berpihak, sementara kedua pasukan Mentaok dan Pajang akan
saling berhadapan.”
Gurunya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat mengarti pendirian Gupala. Sangkal
Putung seolah-olah terletak di garis yang menghubungkan kedua daerah itu. Kalau
anak yang gemuk itu sama sekali tidak menentukan sikap, maka mungkin sekali
daerahnya akan tergilas oeh kedua belah pihak.
“Apakah kau
sudah menjawab?” bertanya gurunya.
“Sudah guru,”
jawab Gupala.
“Dan kau?”
bertanya gurunya kepada Gupita.
“Aku
menyerahkan persoalannya kepada Guru,” jawab Gupita.
“Menurut Raden
Sutawijaya Guru sudah bersedia.”
Gurunya
menarik nafas dalam-dalam. Persoalan yang dihadapi oleh Gupala memang tidak
terlampau rumit. Ia harus berpihak. Berpihak kepada yang memberinya harapan.
Apalagi Sutawijaya telah dikenalnya baik-baik sejak lama. Tetapi soalnya akan
berbeda bagi Gupita. Sekali lagi terlintas di dalam angan-angannya, Senapati
Pajang di bagian Selatan yang bernama Untara itulah nanti yang akan memegang
peranan. Ki Gede Pemanahan sendiri sudah tidak ada di Pajang. Ki Penjawi sudah
berada di Pati pula. Maka selain Ki Patih dan Sultan Pajang sendiri, maka
Senapati Pajang tidak ada lagi yang mumpuni.
“Apakah
mungkin bahwa Angger Agung Sedayu akan berhadapan dengan Angger Untara?”
pertanyaan itu selalu mengganggunya. Tetapi ia masih tetap menyimpan pertanyaan
itu di dalam hati. Agaknya Gupita sama sekali masih belum teringat untuk
memperhitungkannya hal itu.
“Apakah guru
benar-benar telah menyetujuinya?” tiba-tiba Gupita bertanya.
Gurunya
menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya,
“Aku memang
sedang mempertimbangkan. Apakah yang sebaiknya aku lakukan. Sutawijaya memang
sudah menyampaikan pesan Ki Pemanahan kepadaku.”
“Aku kira kita
tidak akan keberatan,” sahut Gupala.
“Dengan
demikian kita telah membantu bangkitnya suatu daerah baru. Sudah tentu, kita
mengharap bahwa tidak akan terjadi apa pun di antara semua pihak. Alas Mentaok,
Pajang, Mangir, dan Menoreh. Apalagi Prambanan dan Sangkal Putung.”
Gembala tua
itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tatapan matanya melontar ke
titik-titik yang sangat jauh. Wajah orang tua itu tampak menjadi murung. Hampir
tidak pernah kedua muridnya melihat gurunya begitu dalam merenungi sesuatu.
Sehingga dengan demikian kedua murid-muridnya itu pun untuk sejenak berdiam diri. Sebenarnyalah
berbagai persoalan telah berkecamuk di dalam dada orang tua itu. Masalah Tanah
Perdikan Menoreh memang sudah hampir selesai, tetapi masalah-masalah lain telah
menunggunya. Tanpa sesadarnya orang tua itu mengamati lukisan di pergelangan
tangannya. Sebuah cambuk yang di ujungnya tersangkut selingkar cakra bergerigi
sembilan. Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Terngiang pertanyaan Ki
Argapati tentang lukisan di pergelangan tangannya itu,
“Kiai, gambar
itu adalah ciri dari perguruan Empu Windujati.”
Tiba-tiba
gembala tua itu menggelengkan kepalanya. Namun suara Ki Argapati masih
terdengar di telinganya,
“Aku mengenal
seorang yang luar biasa. Seorang yang bersenjata cambuk dan yang senang sekali
berteka-teki tentang dirinya. Tetapi sudah tentu bukan kau, karena pada saat
itu pun umurnya sudah setua kita sekarang.”
Sekali lagi
gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba ia tersadar bahwa
kedua murid-muridnya sedang memandangnya dengan heran. Sehingga kemudian
ia pun berdesis,
“Ternyata aku
pun lelah sekali. Tempat ini memberikan kesejukan, sehingga aku pun menjadi kantuk karenanya.”
Gupala menarik
nafas pula. Sekilas dipandanginya wajah Gupita yang bertanya-tanya.
“Baiklah,”
berkata gembala tua itu,
“aku akan ke
ruang tengah sejenak. Kalau Angger Sutawijaya bersedia, menunggui Sidanti
sebentar bersama Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga yang berada di longkangan
belakang, aku akan ikut melihat upacara pemakamam.”
“Apakah kami
dapat ikut?” bertanya Gupala.
“Tidak usah.
Kau punya tugas sendiri.”
Gupala
mengerutkan keningnya.
“Tetapi itu
pun aku masih belum tahu, kapan persiapan pemakaman itu selesai. Bahkan mungkin
malam nanti. Kini baru dipersiapkan lubang-lubang yang cukup banyak.”
“Dari manakah
jenazah-jenazah itu diberangkatkan?”
“Sudah jelas
tidak dari rumah ini.”
“Dari banjar?”
“Ya, dari
Banjar.”
Gupala
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi matanya sudah menjadi semakin redup oleh
kantuk yang seakan-akan semakin mencengkamnya. Apalagi karema silirnya angin
dan bunyi burung tekukur di kejauhan.
“Nah,
tinggallah kalian di sini. Hati-hatilah supaya bantuan yang sudah kita berikan
selama ini kepada Tanlah ini tetap berkesan baik sampai rampung.”
Kedua muridnya
menganggukkan kepala mereka sambil menjawab,
“Baik, Guru.”
Di sepanjang
langkahnya, gembala tua itu menundukkan kepalanya sambil merenung dirinya
sendiri. Kalau pada suatu saat ia bertemu dengan Ki Gede Pemanahan, maka
pertanyaan Ki Gede Menoreh itu pun pasti akan diulang lagi meskipun dengan nada
yang berbeda. Gembala tua itu tanpa disengaja telah mengangguk-anggukkan kepalanya.
Berbagai persoalan hilir-mudik di kepalanya.
“Seharusnya
masa-masa itu sudah dilupakan orang,” katanya di dalam hati.
“Aku pun ingin
melupakannya.”
Orang tua itu
tertegun sejenak. Ia melihat beberapa orang pengawal memasuki halaman. Sejenak
mereka bercakap-cakap dengan pengawal yang sedang bertugas. Kemudian seorang
pengawal dengan tergesa-gesa memasuki pendapa langsung ke ruang tengah. Gembala
itu pun kemudian pergi ke pendapa. Ia
melihat Samekta dan Kerti keluar melintasi pendapa itu turun ke halaman. Ketika
mereka melihat orang tua itu, mereka pun
berhenti.
“Kiai,”
berkata Samekta,
“persiapan itu
sudah hampir selesai. Kalau Kiai ingin menghadirinya, sebentar lagi Kiai supaya
pergi ke Banjar bersama Pandan Wangi. Ia ingin melihat juga upacara itu.”
Orang tua itu mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Baiklah. Aku
akan pergi.”
Ketika Samekta
dan Kerti kemudian pergi bersama pengawal itu, ia pun segera masuk ke dalam.
Ditemuinya Sutawijaya duduk sendiri sambil mengunyah pondoh beras.
“Ha, aku akan
minta tolong kau lagi, Anakmas,” berkata gembala tua itu.
“Apa lagi
Kiai?”
“Aku akan
melihat upacara pemakaman korban peperangan ini. Aku minta Anakmas sementara
tetap tinggal di sini menunggui pintu itu. Di belakang sudah ada Ki Hanggapati
dan Ki Dipasanga.”
“Sendiri?”
bertanya Sutawijaya.
“Apakah Angger
takut?”
“Soalnya bukan
takut. Tetapi bagaimana kalau tiba-tiba aku ingin pergi ke sungai?”
Orang tua itu
menarik nafas. Tetapi ia kemudian mengangguk-angguk.
“Baiklah,”
berkata orang tua itu, “aku akan minta seorang dua orang pengawal untuk
menemani Anakmas di sini.”
Sutawijaya
mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia berbisik,
“He, siapakah
sebenarnya pimpinan tertinggi yang mewakili Ki Argapati di bidang
keprajuritan?”
“Kenapa?”
“Apakah Kiai
barangkali?”
Gembala tua
itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum.
“Aku sudah
terlanjur terlibat Anakmas. Memang tidak pantas aku mengatur dan menangani
persoalan di Tanah ini terlampau banyak. Tetapi tanpa Ki Argapati mereka masih
memerlukan banyak sekali bimbingan.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil tersenyum ia berkata,
“Pada suatu
saat, Mentaok memerlukan pula, Kiai.”
Gembala tua
itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun tersenyum. Sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya ia berkata,
“Laris juga
tenaga tua ini agaknya.”
Sutawijaya
tertawa pendek. Katanya,
“Suatu
kehormatan bagi Kiai.”
Orang tua itu pun
menyahut,
“Sebenarnya
Mentaok tidak memerlukan siapa pun lagi. Mentaok sudah cukup memiliki
senapati-senapati yang mumpuni. Ki Gede Pemanahan sendiri adalah seorang
panglima yang tidak ada tandingnya. Kenapa orang tua-tua yang tidak berarti
seperti aku ini akan dibawanya pula?”
Sutawijaya
masih tertawa. Katanya,
“Tentu ada
sebabnya. Dan Kiai pun aku kira sudah
mengetahui pula.”
“Belum,”
berkata orang tua itu.
“Apa saja
dapat Kiai katakan kepadaku, karena aku memang baru mengenal Kiai sejak di
Sangkal Putung. Tetapi mungkin ayah akan berkata lain.”
Gembala itu
mengangkat alisnya.
“Ayah memang
selalu bertanya tentang Kiai. Tentang seorang yang bersenjata cambuk.”
“Baik, baik,”
sahut gembala tua itu,
“sekarang aku
akan pergi sejenak bersama Angger Pandan Wangi.”
Sutawijaya
masih saja tersenyum. Dipandanginya saja orang tua yang masuk ke dalam bilik Ki
Argapati. Kemudian sejenak ia tinggal di dalam sebelum orang tua itu keluar
lagi dari bilik itu bersama Pandan Wangi. Ki Argapati tidak berkeberatan,
apabila Pandan Wangi pergi sejenak atas namanya menghadiri pemakaman
korban-korban peperangan yang telah berjatuhan.
“Dua orang
prajurit akan mengawani Angger di sini,” berkata gembala itu kepada Sutawijaya.
Sebenarnyalah
bahwa kemudian dua orang prajurit datang dan duduk bersama anak muda itu,
sedang dua orang yang lain langsung masuk ke dalam bilik Ki Argapati. Di
sepanjang jalan menuju ke banjar, baik Pandan Wangi maupun gembala tua itu
tidak terlampau banyak berbicara. Dalam angan-angan masing-masing bergejolak
masalah-masalah yang berbeda-beda. Pandan Wangi masih merenungi abu Tanah
Perdikannya yang telah dibakar oleh api peperangan di antara keluarga sendiri,
yang digelitik oleh ketamakan Ki Tambak Wedi. Sedangkan gembala itu sedang
merenungkan sikap Sutawijaya. Mungkin ayahnya, Ki Gede Pemanahan memang selalu
bertanya tentang seorang yang bersenjatakan cambuk. Tetapi apakah pesan Ki
Pemanahan ini benar-benar sampai pada suatu kepastian, ia memerlukannya, atau
hanya sekedar karena akal Sutawijaya itu sendiri. Menilik ceritera Sutawijaya
sendiri, ayahnya masih meragukannya. Apakah dalam keragu-raguan itu, Ki Gede
Pemanahan sudah dapat mengambil suatu sikap.
“Tetapi aku
sendiri memang perlu menemuinya,” desis orang tua itu di dalam hatinya.
Dalam pada
itu, mereka pun segera sampai ke banjar
pula. Sejenak kemudian maka jenazah-jenazah yang berada di banjar itu pun segera diberangkatkan ke pekuburan. Beberapa
orang keluarga mereka yang berhasil dihubungi, telah menitikkan air matanya.
Seperti darah yang tertumpah, maka air mata mereka itu pun telah membasahi
Tanah Kelahiran mereka. Sebuah barisan yang panjang telah mengiringi
korban-korban peperangan itu. Pandan Wangi, Samekta, Kerti, dan beberapa
pemimpin yang lain berjalan di paling depan. Di belakang mereka, gembala tua
yang telah ikut menentukan akhir dari peperangan itu pun berjalan sambil menundukkan kepalanya. Ia
sadar, bahwa ia telah turut mengambil bagian dari peperangan yang telah
membunuh sekian banyak kawan dan lawan. Namun terbayang pertentangan yang pasti
akan lebih dahsyat berkecamuk apabila Mentaok dan Pajang tidak dapat
mengendalikan diri masing-masing. Di dalamnya tidak hanya terdapat seorang
Sidanti dan seorang Argajaya. Tetapi di dalamnya terdapat berpuluh-puluh
Sidanti dan berpuluh-puluh Argajaya.
Senapati-senapati
perang yang pilih tanding akan turun ke medan. Prajurit-prajurit yang tangguh
dan panglima-panglimanya yang tidak ada taranya. Orang tua itu menarik nafas
dalam-dalam. Yang terutama menjadi pusat kecemasannya adalah Untara. Senapati
muda yang memiliki kemampuan yang besar, yang justru diserahi daerah di sisi
Selatan. Apalagi kalau Widura masih juga berada di Sangkal Putung bersama
beberapa bagian dari pasukan Pajang. Orang itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Kalau
pertentangan jasmaniah harus terjadi, maka masalahnya akan sangat rumit bagi
murid-muridnya, terutama Gupita. Oleh angan-angannya itu, maka gembala tua itu
hampir tidak memperhatikan lagi, ketika satu demi satu jenazah-jenazah itu
diturun kan ke lubang pembaringannya untuk yang terakhir kali.
Namun salah
seorang dari mereka memang telah menarik perhatiannya. Pandan Wangi yang
menyandang sepasang pedang di lambungnya itu maju mendekati pekuburan yang baru
saja ditimbun dengan tanah yang merah. Perlahan-lahan ia berdesis,
“Jasamu tidak
akan terlupakan, Wrahasta.”
Sejenak
kemudian tangannya yang halus meraih segenggam bunga tabur. Ketika bunga itu
berjatuhan di atas gundukan tanah yang masih basah itu, air matanya pun
menitik. Dikenangnya anak muda yang bertubuh raksasa itu. Dikenangnya betapa
anak muda itu mencoba menyentuh perasaannya yang kosong pada waktu itu.
Kepala Pandan
Wangi pun menunduk dalam-dalam. Beberapa lama ia berdiri di samping makam
Wrahasta. Sekilas terbayang pula pada saat-saat terakhir dari hidupnya. Masih
juga anak muda itu bertanya kepadanya.
Pandan Wangi
menarik nafas dalam-dalam. Ikhlas atau tidak ikhlas ia pernah menganggukkan
kepalanya, mengiakan permintaan Wrahasta untuk memperisterikannya. Sekejap
sebelum ia melepaskan nafasnya yang terakhir. Dan kini Wrahasta itu telah
dikuburkan di antara para pengawal yang telah gugur dalam menunaikan tugas
mereka untuk Tanah Kelahiran.
Satelah semuanya
selesai, maka orang-orang yang mengantar jenazah-jenazah itu pun satu-satu meninggalkan pekuburan. Dengan
hati yang berat mereka melangkah semakin jauh, meninggalkan orang-orang yang
pernah ada di antara mereka. Pernah bergurau dan bertengkar dalam satu
lingkungan. Di jalan kembali Pandan Wangi menjadi semakin diam. Gembala tua
yang berjalan di sampingnya sama sekali tidak diacuhkannya. Sekali-sekali ia
masih mengusap matanya yang basah. Ketika Pandan Wangi masuk ke halaman
rumahnya, ia tertegun sejenak. Di antara para pengawal yang berjaga-jaga di
depan regol dilihatnya seorang anak muda yang gemuk berdiri sambil menyilangkan
tangannya.
“Apakah
semuanya sudah selesai,” Gupala bertanya sambil melangkah maju.
Pandan Wangi
menganggukkan kepalanya.
“Ya, semuanya
sudah selesai.”
Gupala
kemudian berjalan di samping gadis itu, sebelah-menyebelah dengan gurunya.
“Di mana
Gupita” gurumya bertanya, “dan kenapa kau berada di situ?”
“Kakang Gupita
masih menunggui Ki Argajaya. Aku tidak tahan untuk duduk saja di bawah pohon
keluwih itu.”
“Kau
tinggalkan Gupita sendiri?”
“Tidak
sendiri. Ada beberapa orang pengawal yang menemaninya.”
Gembala tua
itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Gupala yang
masih ingin berbicara menjadi kecewa. Pandan Wangi terlampau murung dan hampir
tidak memperhatikan orang-orang lain sama sekali. Tanpa berkata sepatah kata pun
lagi gadis itu langsung naik ke pendapa dan masuk ke dalam rumahnya yang kotor.
Gupala berhenti di bawah tangga pendapa. Ditatapnya saja langkah Pandan Wangi
sampai hilang di balik pintu pringgitan.
“Kembalilah ke
tempatmu,” gurunya berdesis.
“O,” Gupala
tergagap,
“baiklah. Aku
akan kembali ke bawah pohon keluwih. Mudah-mudahan tidak ada sebuah pun yang
akan menjatuhi kepalaku yang lagi pening ini.”
Gurunya tidak
menjawab. Dengan langkah yang gontai Gupala berjalan ke tempatnya kembali.
Namun masih terdengar ia bergumam,
“Apakah aku
harus menungguinya sampai tua?”
Ternyata hari
itu baik Gupita dan Gupala, maupun Ki Hanggapati dan Dipasanga, masih harus
tetap berada di tempat masing-masing. Ki Argapati masih belum dapat berbuat
sesuatu karena luka-lukanya, sehingga masih belum dapat mengambil suatu sikap
bagi Sidanti dan Argajaya. Bahkan Ki Argapati masih juga belum dapat menerima
Sutawijaya yang akan menemuinya.
“Kiai,”
berkata Sutawjaya,
“kalau besok
Ki Argapati masih belum dapat menerima seseorang, maka aku kira lebih baik aku
kembali ke Mentaok. Ayah pasti sudah terlampau lama menunggu. Bahkan mungkin
perkembangan terakhir Mentaok sudah menjadi semakin sibuk, sehingga tenagaku
sudah sangat diperlukannya.”
“Lalu, apakah
Angger tidak ingin berbicara dengan Ki Argapati?”
“Aku tidak
dapat menunggu tanpa batas. Sebaiknya aku berpesan saja kepada Kiai.”
“Tunggulah
sampai besok.”
Sutawijaya
merenung sejenak. Katanya,
“Ya, aku
memang akan menunggu sampai besok.”
Malam itu
gembala tua itu pun berusaha dengan segenap kepandaian yang ada padanya untuk
memperingan penderitaan Ki Argapati. Semalam suntuk gembala tun itu tidak tdur.
Juga Pandan Wangi yang menunggui ayahnya hampir tidak dapat memejamkan matanya
sama sekali. Hanya kadang-kadang sambil bersandar dinding Pandan Wangi terlena
sejenak. Namun kemudian ia segera terbangun kembali. Di malam hari luka-luka Ki
Gede yang parah itu terasa betapa pedihnya, sehingga meskipun ia memiliki daya
tahan yang luar biasa kuatnya, namun terdengar sekali-sekali ia berdesis
tertahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar