Jilid 047 Halaman 2


“Karena itu kita harus segera kembali.”
“Ya,” jawab Hanggapati. “Mungkin Ki Gede Pemanahan memang memerlukan Anakmas.”
“Meskipun demikian, mumpung aku sudah berada di atas Tanah Perdikan ini, aku ingin berbicara dengan Ki Argapati.” Kemudian kepada gembala tua itu ia bertanya,
“Apakah mungkin hari ini aku berbicara dengan Ki Gede Menoreh?”
“Aku belum yakin,” jawab orang tua itu, “tetapi baiklah aku akan mengusahakannya.”
“Terima kasih,” berkata Sutawijaya.
“Tetapi sebelum aku mengatakannya kepada Ki Argapati, aku memang akan menemui Kiai sendiri. Aku kira sudah sampai waktunya aku mengutarakannya sekarang.”
Orang tua itu mengerutkan keningnya. Kini tampaklah kesungguhan membayang di wajahnya.
“Aku memang sudah menduga Anakmas, bahwa pada suatu ketika aku dan kedua anak-anakku itu pasti akan terlibat dalam persoalan Anakmas.”
“Apaboleh buat, Kiai. Aku memerlukannya.”
“Bukankah Angger telah mempunyai beberapa orang senapati yang mumpuni?”
“Ayah Pemanahan?”
“Ya, dan selain itu Ada angger sendiri dan Pamanda Mandaraka yang bijaksana itu?”
“Ya, Kiai. Tetapi aku memerlukan orang yang langsung cakap menangani prajurit di peperangan. Paman Mandaraka adalah orang yang mempunyai pandangan yang tajam sekali. Tetapi apabila terjadi sesuatu dengan Pajang, dalam kenyataan tempur, aku kira Paman Mandaraka tidak akan dapat turun langsung ke medan. Aku juga tidak yakin bahwa Ayahanda Pemanahan dapat melakukannya sendiri.”
“Dengan demikian akulah yang harus jadi banten. Aku harus melakukan tugas yang tidak dapat dilakukan oleh Ki Juru Mertani dan Ki Gede Pemanahan itu. Mereka tidak akan sampai hati melawan langsung berhadapan di medan perang dengan para senapati Pajang, tetapi aku harus menyingkirkan perasaan itu?”

Sutawijaya terkejut mendengar jawaban itu. Ia kemudian merasa bahwa ia telah terdorong kata sehingga agaknya telah menyinggung perasaan orang tua itu. Namun anak muda yang cerdas itu kemudian tersenyum. Katanya,
“Maafkan, Kiai. Aku sama sekali tidak bermaksud demikian. Tetapi aku agaknya telah keliru, sehingga menimbulkan kesan seakan-akan aku berhasrat menempatkan Kiai pada tempat yang sulit, yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain.” Sutawijaya berhenti sejenak. Kemudikan dilanjutkannya,
“Tetapi baiklah aku tidak mengatakannya dengan kalimat-kalimatku sendiri supaya aku tidak keliru lagi. Sebenarnya ayahlah yang berpesan kepadaku. Kalau aku bertemu dengan seorang tua yang bersenjata cambuk, serta mempunyai kecakapan dalam hal obat-obatan, maka aku harus mengatakannya, bahwa ayah memerlukan.”
“Apakah hanya ada seorang, aku saja, yang menguasai ilmu obat-obatan.”
“Tidak hanya ilmu obat-obatan Kiai, tetapi yang mempunyai ciri senjata cambuk.”
“Itu  pun tidak hanya seorang.”
“Mungkin kalau aku ketemukan yang lain, aku  pun akan mengatakannya demikian kepadanya. Tetapi seluruh Pajang pernah aku jelajahi. Yang aku ketemukan adalah Kiai seorang saja.”
Gembala itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya,
“Siapakah nama orang itu? Apakah ayahanda Ki Gede Pemanahan tidak menyebut namanya?”
“Ya, ayah memang menyebut namanya.”
“Nah, apakah nama itu namaku?”
“Siapakah mama Kiai sebenarnya?”
Gembala tua itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia  pun kemudian tersenyum. “Hem,” desahnya,
“Anakmas memang seorang yang mapan berbicara.”
Sutawijaya pun tersenyum pula. Katanya kemudian,
“Ayah memang menyebut nama itu. Sorotomo, Danumurti, Ragapati, dan masih ada dua nama lagi yang aku terlupa.”
Orang tua itu mengangkat wajahnya. “Nama-nama yang menarik.”
Sutawijaya memperhatikan kesan yang tersirat di wajah orang tua itu dengan seksama. Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam. Orang tua itu benar-benar seorang yang mampu menguasai perasaannya, sehingga sama sekali tidak ada kesan apa  pun yang tersirat di wajah yang telah berkerut-merut itu.
“Nama-nama yang baik,” desisnya.
“Tetapi Anakmas mengatakan bahwa laki-laki tua yang bersenjata cambuk itu hanya seorang. Sedang Angger menyebut beberapa nama sekaligus.”
“Itulah yang aneh, Kiai,” jawab Sutawijaya.
“Karena itu, apakah artinya sebuah nama bagi seseorang seperti laki-laki bersenjata cambuk itu? Ia dapat menyebut dirinya dengan seribu nama. Sorotomo ataukah Danumurti atau Ragapati atau Kiai Gringsing atau Ki Tanu Metir atau seorang gembala tidak bernama atau ………….”
“Kenapa Angger sampai ke nama-nama itu,” potong gembala tua itu.
“Misalnya, Kiai. Hanya sekedar missal,” sahut anak muda itu.
“Aku tidak mengatakan bahwa Sorotomo itu juga bernama Kiai Gringsing atau Ki Tanu Metir atau yang lain.”

Gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam.
Anak muda itu kemudian melanjutkan,
“Aku belum selesai, Kiai. Ayah berpesan agar aku menyampaikan pula, bahwa ayah minta pertolongan Kiai untuk membantu menegakkan sebuah daerah baru. Alas Mentaok harus menjadi sebuah negeri.”
“Kenapa aku harus ikut?”
“Menurut ayah, Mentaok akan sangat memerlukannya. Eh, maksudku memerlukan Kiai. Apalagi salah seorang muridnya adalah putera Demang Sangkal Putung.”
Orang tua itu tersenyum, Jawabnya,
“Itulah yang penting. Letak Sangkal Putung sangat menguntungkan bagi daerah baru itu untuk menghadapi Pajang. Garis yang menjelujur dari Alas Mentaok, Prambanan, kemudian Sangkal Putung adalah lapis-lapis pertahanan yang pasti tidak tertembus.”
“Ah,” anak muda itu mengerutkan keningnya,
“adakah seorang gembala di seluruh Pajang yang begitu cepat menanggapi keadaan medan seperti Kiai.”
“Hem,” gembala itu berdesah.
“Itulah agaknya maka ayahanda telah meminta Kiai untuk datang ke Alas Mentaok.”
Gembala itu tidak segera menjawab.
“Ayah sangat mengharap kedatangan Kiai. Apakah ternyata kemudian ayah keliru, atau akulah yang keliru, terserahlah. Atau barangkali Kiai telah keliru atau lupa menyebut nama sendiri,” anak muda itu pun tertawa.
“Ah, kau ini, Ngger.”
Dan anak muda itu berkata seterusnya,
“Tetapi ayah juga berpesan, bahwa apa yang dilakukan ayah sekarang ini tidak sekedar terdorong oleh suara yang pernah didengar dari puncak sebatang pohon kelapa yang hanya berbuah sebutir oleh Ki Ageng Giring. Apakah Kiai sudah mendengar dongeng itu?”
“Belum, Ngger,” namun orang tua itu tertawa sehingga Sutawijaya menyahut,
“Ah, Kiai mencoba untuk menyembunyikan diri.”
“Kenapa?” gembala itu mengerutkan keningnya.
“Kiai pasti sudah mendengarnya karena Kiai tertawa.” Kemudian dengan bersungguh-sungguh Sutawijaiya bertanya,
“Apakah Kiai percaya bahwa siapa yang minum air kelapa itu dan menghabiskannya sekaligus akan menurunkan raja?”
“Sebaiknya kita percaya,” jawab gembala itu sambil tersenyum.
“Jika kemudian ternyata demikian, maka keturunan Ki Pemanahan itu akan menjadi raja.”
“Ah,” Sutawijaya berdesah, “bukan itu soalnya.”
Tetapi gembala tua itu tertawa. Katanya,
“Angger memang seorang pemikir yang cemerlang. Sebelum Alas Mentaok itu benar-benar menjadi sebuah negeri, Angger sudah membentengi dengan ketat. Sangkal Pulung, Jati Anom, dan Menoreh adalah suatu lingkaran yang rapat. Sudah tentu Angger akan menghubungi Mangir dan sekitarnya.”

Sutawijaya tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba matanya menjadi redup. Sejenak ditatapnya Hanggapati dan Dipasanga yang terkantuk-kantuk. Mereka merasa lelah sekali, karena semalaman mereka tidak beristirahat sama sekali, dan bahkan telah memeras tenaga di dalam peperangan.
“Kalian lelah sekali,” desis Sutawijaya.
Keduanya tersenyum. “Ya. Tetapi biarlah kami duduk di sini.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya kepada gembala tua itu hampir berbisik,
“Tetapi Kiai, jalan ke Selatan itu tidak begitu menggembirakan. Kepala Tanah Perdikan Mangir agaknya mempunyai sikap sendiri.”
Orang tua itu mengerutkan keningnya. “Apa katanya?”
“Mereka merasa, bahwa mereka lebih tua dari Tanah Mentaok yang sedang dibuka itu. Bagi mereka, Mentaok dapat menjadi perintang atas perkembangan Tanah Perdikan itu.”
“Kalau begitu, mereka akan berusaha merintangi perkembangan Alas Mentaok. Bahkan mungkin bekerja bersama dengan Pajang.”
“Dengan Pajang tentu tidak. Tetapi hasrat untuk besar dan berdiri sendiri itulah yang akan dapat menjadi perintang.”
“Apakah hal itu merupakan persoalan yang dapat dianggap bersungguh-sungguh bagi Mentaok?”
“Tetapi sampai saat ini kami masih berusaha untuk membatasi persoalannya, Kiai. Kami seolah-olah tidak mempedulikannya lagi. Mudah-mudahan untuk selanjutnya Mangir tidak mengganggu kami.”
Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Gambaran masa depan yang suram bagi Pajang. Meskipun ia tidak mendasarkan penglihatannya atas perkembangan pusat pemerintahan itu pada peristiwa-peristiwa ajaib, seperti kelapa, yang dipetik oleh Ki Ageng Giring, yang tanpa disengaja airnya telah terminum oleh Ki Gede Pemanahan karena ia kehausan itulah, namun ia memang melihat, bahwa kekuasaan Pajang tidak akan mampu bertahan terlampau lama. Pimpinan pemerintahan di Pajang, yang menggemparkan di masa mudanya itu kemudian tenggelam di dalam kesenangan pribadi yang berlebih-lebihan. Sejak muda Mas Karebet telah menyimpan cacat pada pribadinya, di samping kecemerlangannya yang tidak ada duanya. Di samping kemampuannya sebagai seorang Wira Tamtama, penjelajahannya yang sulit dilakukan oleh orang lain sampai ke tempat-tempat yang terpencil, dan kemudian mencapai puncak kedahsyatannya dengan mengalahkan Kebo Danu dari Banyu Biru, meskipun hal itu telah diatur lebih dahulu. Karebet memberi harapan bagi Pajang yang diambilnya dari Demak. Tetapi cacat yang dibawanya sejak muda, kegemarannya melibatkan diri dengan perempuan justru menonjol ketika ia menjadi Adipati di Pajang. Ratu Kalinyamat telah berhasil memancingnya ke dalam suatu bentrokan yang tidak terhindar lagi melawan Jipang, dengan menjanjikan dua orang gadis cantik kepadanya.
“Sekali tepuk dua lalat terbunuh,” berkata orang tua itu di dalam hatinya.
“Sepeninggal Arya Penangsang, tahta tersedia buat Adipati Pajang, sekaligus ia mendapat hadiah dari Ratu Kalinyamat itu.”
Tetapi yang akan disesali oleh Sultan Pajang itu adalah kelalaiannya memberikan Tanah yang sudah disanggupkannya kepada Ki Gede Pemanahan. Karena ia dibayangi oleh hadiah dua orang gadis cantik itulah, maka tanpa berpikir panjang ia bersedia menyerahkan tanah Pati dan Mentaok kepada mereka yang berhasil membunuh langsung Arya Penangsang dari Jipang. Kini semuanya itu sudah terlanjur. Hubungan antara Sultan dan Ki Gede Pemanahan yang selama ini menjadi Panglimanya, bagaikan telur yang retak kulitnya. Tidak akan dapat dipulihkannya kembali. Apalagi Ki Gede Pemanahan sudah mulai membuka Alas Mentaok meskipun mungkin hal itu tidak dikehendaki oleh Sultan Pajang.
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya di dalam hati,
“Memang persoalan-persoalan selama kita masih hidup ini tidak akan ada selesainya. Persoalan Menoreh agaknya sudah semakin terang. Yang tinggal adalah masalah Sidanti dan Argajaya, meskipun persoalan itu akan merupakan persoalan yang sangat rumit bagi Ki Argapati. Apalagi menurut pendengaranku yang belum jelas, baik diucapkan oleh Ki Tambak Wedi maupun Sidanti sendiri, anak itu bukan putera Ki Airgapati.” Orang tua itu mengangguk-angguk sendri, kemudian ia masih berkata kepada diri sendiri,
“Dan, sekarang, telah terbuka lagi masalah-masalah baru yang harus dihadapi. Alas Mentaok. Meskipun sebenarnya aku masih dapat menghindarkan diri. Tetapi persoalan ini akan langsung bersangkutan dengan Kademangan Sangkal Putung, Prambanan, dan Tanah Perdikan ini.”
Namun lebih daripada itu, agaknya Ki Gede Pemanahan mempunyai perhitungan tersendiri, kenapa ia dengan sengaja berusaha melibatkan gembala tua itu dalam persoalannya.
“Aku harap Kiai memikirkannya sebaik-baiknya,” tiba-tiba gembala tua itu dikejutkan oleh kata-kata Sutawijaya.
“Aku akan berpikir, Anakmas.”
“Memang barangkali Kiai sama sekali sudah tidak mempunyai pamrih apa pun. Tetapi murid-murid Kiai itu adalah anak-anak muda yang masih menginginkan masa depan yang panjang.”
Orang itua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Adalah lebih baik, kalau Kiai dapat pergi bersamaku ke Mentaok.”
“O, tentu tidak, Ngger. Kecuali kalau Angger tidak tergesa-gesa kembali.”
“Aku harus segera berada di Mentaok, Kiai.”
“Kalau begitu Angger dapat pergi lebih dahulu,” berkata gembala tua itu.
“Tetapi bukankah Angger akan bertemu dengan Ki Argapati?”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya.

Namun dalam pada itu terkilas suatu persoalan yang pasti akan menjadi sangat rumit baginya, apalagi bagi murid-muridnya. Kalau benar-benar terjadi persoalan antara Pajang dan Alas Mentaok, kemudian ia berpihak kepada Sutawijaya bersama kedua murid-muridnya, maka ada kemungkinan mereka akan berhadapan dengan Senapati Pajang di sisi Selatan, Untara. Orang tua itu menggelengkan kepalanya. Seolah-olah ia ingin mengusir persoalan yang melintas dengan tiba-tiba dikepalanya itu. Namun yang terbayaug justru Untara sendiri berdiri tegak degan pedang di tangan.
“Hem,” orang tua itu berdesah. Namun ia terkejut ketika ia mendengar Sutawijaya bertanya, “Kenapa Kiai?”
Gembala itu tergagap. Namun kemudian ia melihat sesuatu telah melonjak di dada orang tua itu. Tetapi meskipun demikian Sutawijaya itu tidak bertanya lagi.
“Anakmas,” berkata orang tua itu kemudian,
“sebaiknya Anakmas memberi kesempatan kepada Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga untuk beristirahat. Bahkan Angger sendiri dapat beristirahat pula di gandok belakang. Atau di ruang yang baru saja ditinggalkan oleh Sidanti. Biarlah aku yang menunggui Anakmas Sidanti di sini.”
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Dipandanginya Hanggapati dan Dipasanga berganti-ganti.
“Aku dapat beristirahat di mana-mana, Kiai. Kalau memang tidak ada persoalan lagi, barulah aku berada di longkangan di belakang bilik ini. Aku kira di sana ada beberapa helai tikar. Aku dapat beristirahat di antara beberapa orang prajurit yeng bertugas, sekaligus mengawasi bilik Sidanti dari belakang,” sahut Hanggapati.
“Dan Angger Sutawijaya?”
“Aku di sini saja, Kiai.”
“Baiklah. Silahkan Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga ke longkangan. Di sana kalian berdua mungkin masih dapat tidur meskipun hanya sekejap.”
Keduanya pun kemudian meninggalkan ruangan dalam pergi ke longkangan di belakang bilik tempat menyimpan Sidanti. Kedua nya  pun kemudian berada di antara para pengawal yang terpilih untuk mengawasi Sidanti.
“Kita dapat beristirahat bergantian,” berkata Ki Hanggapati.
“Dengan demikian kita dapat beristirahat dengan tidak digelisahkan oleh apa pun.”
“Baiklah,” jawab Dipasanga,
“tetapi siapa yang dahulu? Kita tidak tahu, berapa lama kita dapat beristirahat di sini. Mungkin ada sesuatu yang memaksa kita untuk segera berbuat sesuatu.”
“Kau dulu sajalah. Aku masih ingin minum wedang serbat dahulu.”
Ki Dipasanga tersenyum. Ia masih melihat, seorang pengawal yang tergopoh-gopoh menyorongkan mangkuk kepada Ki Hanggapati sambil berkata,
“Silahkan. Silahkan.”
Ki Hanggapati tersenyum, sedang Ki Dipasanga  pun kemudian pergi menepi. Kemudian berbaring di sebelah tiang bambu yang dilekati oleh sarang laba-laba yang sudah kehitam-hitaman.

Di ruang tengah Sutawijaya duduk bersama gembala tua. Namun kemudian gembala itu masuk ke dalam bilik Ki Argapati untuk melihat perkembangan kesehatannya.
“Kau sudah terlanjur berada di sini, Ngger,” berkata gembala tua itu.
“Aku titip, kalau-kalau Angger Sidanti polah lagi. Jangan biarkan ia pergi, tetapi jangan lukai anak itu.”
“Aku sudah kapok Kai,” jawab Sutawijaya, “nanti aku pula yang disalahkannya.”
“Biar sajalah. Anggap saja itu lagu yang paling merdu seorang gadis dari Bukit Menoreh.”
“Tetapi, Kia sendiri tersinggung karenanya.”
“Aku memang sudah pikun. Aku menyesal sekali.” Orang tua itu berhenti sebentar.
“Tetapi aku titip pintu itu.”
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Tetapi ia hanya tersenyum saja.
Gembala itu pun kemudian masuk ke dalam bilik Ki Argapati.
Pandan Wangi berpaling ketika ia mendengar derit pintu terbuka.
“Marilah Kiai,” desis Pandan Wangi. “Ayah sudah agak tenang.
Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Syukurlah,” jawabnya,
“mudah-mudahan segera menjadi baik.”
“Tetapi, bagaimana dengan Raden Sutawijaya itu?”
“Ia masih duduk di ruang tengah.”
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tanpa disangka-sangkanya, terdengar suara Argapati berat perlahan-lahan, “Kau sebut nama Raden Sutawijaya, Wangi.”
Pandan Wangi menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia menjawab,
“Ya, Ayah.”
“Kenapa dengan Raden Sutawijaya?”
“Ia berada di ruang tengah.”
Jawaban itu agaknya telah mengejutkan Ki Argapati sehingga perlahan-lahan matanya yang selalu terpejam itu terbuka.
“Ia berada di sini?”
“Ya, Ki Gede,” gembala tua itulah yang menyahut.
“Tetapi jangan hiraukan kehadirannya. Anak nakal itu hanya sekedar ingin tahu. Seperti ayah angkatnya Sultan Pajang yang sekarang, Angger Sutawijaya senang menjelajahi sudut-sudut kerajaan ini.”
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam.
“Dan Raden Sutawijaya itu sudi singgah di rumah ini?”
“Beristirahatlah, Ki Gede. Anakmas Sutawijaya akan bermalam di rumah ini. Besok atau kapan saja Ki Gede masih sempat menemuinya apabila keadaan Ki Gede sudah menjadi semakin baik.”
“Raden Sutawijaya akan bermalam di sini?” suaranya agak meninggi.
“Ya.”
“O, di mana kami akan mempersilahkannya. Di sini tidak ada perlengkapan apa pun yang dapat kita pergunakan dengan pantas untuk menerimanya.”
“Jangan hiraukan,” berkata gembala tua itu.
“Di Sangkal Putung Anakmas Sutawijaya tidur di gubug, di tengah sawah. Ketika ia memasuki Alas Mentaok untuk melihat-lihat, ia tidur di atas cabang sebatang pohon. Bagi seorang perantau, rumah ini sudah cukup memberikan tempat yang baik,” jawab gembala itu pula.

Ki Argapati tidak segera menjawab. Tetapi tampaklah kekecewaan membayang di wajahnya yang pucat. Apalagi ia sendiri masih belum dapat bangkit dan menerima Raden Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar, Putera angkat Sultan Pajang itu.
“Janganlah Ki Gede terlampau memikirkan tamu kecil itu. Serahkan ia kepadaku,” berkata gembala itu.
Ki Argapati mengangguk lemah.
“Baiklah, Kiai. Mudah-mudahan Anakmas Sutawijaya tidak kecewa melihat keadaan ini.”
“Tentu tidak. Sekarang Ki Gede sebaiknya beristirahat dan berusaha untuk menenteramkan hati.”
“Ya,” desisnya.
“Tidurlah sebanyak-banyaknya.”
“Ya.”
Orang tua itu pun mengangguk-angguk. Dirabanya pergelangan tangan Ki Argapati yang sudah mulai hangat, kemudaan tengkuknya dan keningnya.
“Mudah-mudahan Ki Gede segera menjadi baik kembali, meskipun agaknya Ki Gede memerlukan waktu untuk memulihkan kekuatan.”
“Ya,” jawabnya, “mudah-mudahan.”
Gembala tua itu  pun kemudian duduk di atas dingklik kayu di sudut bilik itu, sedang Pandan Wang duduk di amben pembaringan Ki Argapati di bagian bawah.

Sementara itu, Samekta dan Kerti telah memasuki ruangan dalam kembali. Ketika mereka berdua telah duduk bersama Sutawijaya, maka anak muda yang sudah jemu duduk berdiam diri itu segera berkata,
“Aku menjadi lelah duduk di sini saja.”
“Apakah Anakmas akan berbaring? Mungkin memerlukan ruangan tersendiri?”
“Tidak.” Sutawijaya termenung sejenak. Kemudian ia bertanya,
“Di mana Gupita dan Gupala?”
“Di belakang. Mereka mengawasi Ki Argajaya.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian karena ia sadar bahwa kedua anak-anak muda itu tidak datang menemuinya karena tugasnya, maka ia  pun kemudian berkata,
“Aku akan menemui mereka.”
“O, silahkan. Silahkan.”
“Tetapi di sini aku sedang menerima titipan?”
“Apa?” Samekta dan Kerti menjadi heran.
“Pintu itu.”
“Kenapa dengan pintu itu?”
“Bukankah di dalamnya ada Sidanti? Gembala itu menitipkan kepadaku untuk mengawasi kalau-kalau Sidanti kambuh lagi. Nah, sekarang pintu itu aku titipkan kepada kalian berdua. Awasi. Kalau kalian memerlukan sesuatu, Kiai Gringsing berada di ruang itu.”
“Kiai Gringsing?” Samekta bertanya dan Kerti terheran-heran.
“Eh, maksudku gembala tua itu. Ia ada di dalam bilik Ki Argapati untuk melihat luka-lukanya. Kalau ia kembali dan bertanya tentang aku, katakan, aku sedang menemui Gupita dan Gupala.
“Baiklah. Kami berdua akan mengawasi pintu itu.”
Sutawijaya pun kemudian meninggalkan ruangan itu. Seperti petunjuk Samekta, maka ia  pun pergi ke bilik tempat Argajaya ditahan untuk menemui Gupita dan Gupala.

Pembicaraan mereka kemudian adalah pembicaraan anak-anak muda. Sutawijaya segera berceritera tentang Alas Mentaok. Usahanya untuk membuatnya menjadi sebuah negeri.
“Tetapi dengan demikian Sultan Pajang akan tersinggung karenanya.”
“Mudah-mudahan tidak. Apa salahnya kalau daerah itu nanti akan berkembang? Kami tidak akan mengganggu Pajang. Kecuali kalau perkembangan keadaan jadi lain, dan hal-hal yang tidak kita harapkan itu harus terjadi.”
Gupita dan Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Sudah tentu, bahwa seandainya Ayahanda Sultan Pajang tidak senang melihat perkembangan Alas Mentaok, kami terpaksa tidak dapat mematuhinya. Kami sudah bertekad. Mentaok tidak boleh kalah dari Pati yang sudah lebih dahulu terbuka.
“Jadi bukankah sekarang Ki Gede Pemanahan sudah membuka hutan itu?”
“Tentu sudah.” Kemudian suaranya jadi menurun,
“Jangan kau katakan kepada gurumu, Mentaok sudah menjadi suatu desa yang ramai. Banyak orang-orang di padukuhan di sekitarnya kini telah membuka hubungan dengan daerah baru itu.”
Gupita dan Gupala mengerutkan keningnya.
“Kami telah mengumpulkan anak-anak muda yang akan kami persiapkan untuk menjadi pengawal daerah kami yang baru itu. Latihan-latihan yang teratur telah kami adakan hampir di setiap hari.”
“Siapakah yang melatih mereka?”
“Beberapa orang prajurit dari Pajang telah membantu kami membuka hutan itu.”
Gupita dan Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Jika demikian, langkah Ki Gede Pemanahan sudah terlalu jauh,” desis Gupita.
Sutawijaya tertawa. Katanya,
“Ayah harus mengejar ketinggalannya dari Pati.”
“Kenapa mesti berkejar-kejaran?” bertanya Gupala.
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Pertanyaan itu memang tidak disangka-sangkanya. Namun akhirnya ia menjawab,
“Bukan maksudnya. Tetapi usaha membangun daerah itu adalah usaha yang baik. Sebenarnya Pajang justru harus membantu.”
“Apakah Pajang menghalang-halangi sampai sekarang?” bertanya Gupita.
Sekali lagi Sutawijaya dihadapkan pada pertanyaan yang tidak segera dapat dijawab.
Namun hal itu bagi Gupita adalah pertanda bahwa sebenarnya pihak Ki Gede Pemanahan sendiri diam-diam sudah menyusun kekuatan. Mungkin karena prasangka yang berlebih-lebihan, orang-orang Alas Mentaok itu merasa bahwa Pajang akan segera memusuhinya. Namun tanpa menjawab pertanyaan Gupita, Sutawijaya berkata,
“Aku memerlukan beberapa orang senapati yang mumpuni. Nah, kalian pasti bersedia membantu aku seandainya terjadi sesuatu kelak.”
Gupita dan Gupala saling berpandangan sejenak. Tampak sesuatu memancar di sorot mata masing-masing. Tetapi ternyata tanggapan mereka justru berbeda. Sejenak kemudian Sutawijaya mendesak,
“Bagaimana?
Gupala mengerutkan keningnya. Meskipun ragu-ragu namun ia menjawab,
“Apa salahnya?”
“Bagus,” desis Sutawijaya,
“kalian pasti akan membantu kami. Aku memang sudah menyangka.”
Namun Gupita masih tetap berdiam diri.
“Nah,” berkata Sutawijaya,
“bagaimana dengan kau Gupita. Aku tahu, bahwa kau selalu dibayangi oleh keragu-raguan. Tetapi kau sekarang sudah dewasa sepenuhnya. Kau sudah mampu melakukan banyak tindakan di dalam peperangan. Bukankah kau pada suatu ketika, seperti yang terjadi di peperangan, harus mengambil keputusan dengan cepat? Nah, kau harus mengambil pengalaman. Kau dapat melakukan kalau kau mau.”
Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kemudian ia berkata,
“Aku, harus mengatakannya kepada guru.”
“Aku tahu bahwa kau akan bersikap demikian. Tetapi agaknya gurumu pun akan ikut serta bersama kami. Ayah Ki Gede Pemanahan sendiri telah berpesan untuk memintanya datang ke Alas Mentaok.”
“Apakah Ki Gede Pemanahan mengenal guru?”
Sutawijaya tertawa.
“Tidak seorang pun yang mengenal gurumu dengan pasti. Ayah pun tidak. Ki Argapati agaknya juga tidak yakin atau bahkan tidak tahu dengan siapa ia berhadapan. Ki Tambak Wedi dan semua orang yang berhubungan dengan gurumu menganggapnya ia orang yang lain dari nama-nama yang pernah didengar sebelumnya. Satu-satunya ciri yang dapat dipakai sebagai pancadan untuk menduga-duga adalah cambuknya itu. Meskipun gurumu sendiri berkata bahwa banyak sekali orang bersenjata cambuk.”
Gupita mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera menyahut.
“Sekarang, ciri itu tambah lagi. Bersenjata cambuk dan mempunyai dua orang murid. Yang seorang bulat seperti kelapa, dan yang lain bertubuh sedang.”
Gupita menarik nafas dalam-dalam, sedang Gupala tersenyum sambil meraba-raba perutnya.
“Kalau memang guru sudah setuju, aku pun tidak berkeberatan,” berkata Gupita kemudian.
“Tetapi untuk mengambil keputusan serupa itu, sebagai seorang murid yang masih berada langsung di bawah pengawasan gurunya, aku tidak dapat bertindak sendiri.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ya, begitulah sebaiknya,” desisnya. Tetapi Sutawijaya sendiri adalah anak yang nakal. Kadang-kadang ia melanggar peraturan ayahnya sekaligus gurunya, atau melakukan sesuatu tanpa setahu ayahnya itu.
“Dan selanjutnya keputusan terakhir ada pada guru,” sambung Gupita.
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Gumamnya seolah-olah kepada diri sendiri,
“Meskipun sebagian Senapati Pajang ikut dengan ayah, tetapi yang sebagian itu terlampau kecil dibanding dengan kekuatan Pajang seluruhnya. Mudah-mudahan kami akan segera meningkatkan kekuatan para pengawal daerah baru itu.”
Gupita mengerutkan keningnya. Hampir tanpa sesadarnya ia berkata,
“Itu sudah merupakan persiapan perang.”
Sutawijaya terkejut mendengar tanggapan Gupita. Dengan serta-merta ia berkata,
“Tidak, sama sekali tidak. Bukan maksud kami mengadakan persiapan perang.”
Gupita menggigit bibirnya.
“Kami hanya sekedar mengadakan persiapan untuk menjaga diri apabila sesuatu terjadi atas daerah kami yang baru bangkit itu.”
Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara Gupala masih meraba-raba perutnya. Namun tiba-tiba ia berkata,
“Memang setiap orang perlu menjaga diri. Juga daerah-daerah baru yang baru lahir seperti Alas Mentaok yang akan menjadi sebuah negeri. Seandainya Pajang tidak berbuat apa-apa, mungkin justru daerah di sekitarnya merasa iri. Mungkin Tanah Perdikan Mangir, mungkin Menoreh, atau daerah-daerah lain.”
“Bagaimana dengan Sangkal Putung?” tiba-tiba Sutawijaya bertanya.
“Sangkal Putung tidak terlampau dekat. Tetapi Sangkal Putung tidak akan berkeberatan apa pun atas perkembangan Alas Mentaok. Kalau Alas Mentaok menjadi ramai, perdagangan antara Pajang dan daerah baru itu berkembang, maka Sangkal Putung akan menjadi jalur yang menentukan. Itu akan bermanfaat bagi Sangkal Putung.”
Sutawijaya memandang Gupala dengan sorot mata yang aneh. Sesaat kemudian ia berkata,
“Hem, kau memandang persoalan ini dari sudut yang luas. Meskipun tampaknya kau hanya dapat berkelahi dan tertawa-tawa tanpa arti, ternyata pandanganmu cukup tajam.”
Gupala hanya tertawa saja.
“Tetapi bagaimana kalau terjadi sebaliknya?”
“Apa?” anak yang gemuk itu bertanya.
“Kalau yang lewat itu bukan serombongan pedagang, tetapi sepasukan prajurit dari Pajang menuju ke Alas Mentaok.”
Gupala berpikir sejenak. Dan jawabnya sama sekali tidak disangka-sangka oleh Sutawijaya maupun oleh Gupita. Katanya,
“Kalau yang lewat sepasukan prajurit, aku harus bersembunyi atau mengungsi.”

Ketiganya tidak dapat menahan hati. Sutawijaya tertawa meledak, meskipun segera menutup mulutnya dengan kedua tangannya, sedang Gupita tersenyum kecut.
“Sudahlah,” berkata Sutawijaya kemudian,
“aku akan pergi ke ruang tengah. Kalau gurumu sudah selesai dengan Ki Argapati, ia akan mencari aku. Aku masih harus menemui Ki Argapati dalam kesempatan ini.”
“Juga mempersoalkan dibukanya Alas Mentaok?” bertanya Gupala.
“Ya.”
“Mudah-mudahan tidak ada kesulitan dari mana pun,” berkata Gupita perlahan-lahan.
“Tentu. Kami mengharap demikian. Tetapi seandainya ada banjir, kami sudah membuat tanggul.”
Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia merasa bahwa soalnya bukan sekedar membuat tanggul. Namun demikian ia tidak berkata sesuatu lagi. Ia menyerahkan persoalannya kepada gurunya. Apa pun yang harus dilakukannya, ia tidak akan menolak. Ketika kemudian Sutawijaya masuk kembali ke ruang tengah, yang ditemuinya adalah Samekta dan Kerti yang masih duduk di tempatnya, sehingga anak muda itu bertanya,
“Apakah gembala itu masih berada di dalam bilik Ki Argapati?”
Samekta menggelengkan kepalanya. “Tidak. Baru saja ia pergi ke luar.”
“Aku berada di luar.”
“Tetapi ia pergi ke luar lewat pintu butulan. Agaknya Anakmas diharap duduk di sini sebentar.”
Sutawijaya mengangguk-angguk pula.
“Baiklah, aku akan menunggunya di sini.”
Sementara itu gembala tua itu pergi kepada kedua muridnya. Ditemuinya Gupala sedang berbaring di atas anyaman daun kelapa, sedang Gupita duduk memeluk lututnya. Beberapa langkah dari mereka, seorang penjaga berjalan helir-mudik dengan tombak di tangan.
“Apakah kalian lelah?” bertanya gurunya.
Gupala segera bangkit. Dengan serta-merta ia bertanya,
“Apa kami sudah boleh tidur?”
“Kenapa tidak?”
Gupala menjadi bingung.
“Lalu bagaimana dengan tawanan yang berada di dalam bilik itu.”
“Biar saja ia di situ. Kalian berdua dapat tidur berganti-ganti. Tetapi aku kira kalian yang masih muda-muda ini akan dapat bertahan tiga hari tiga malam.”
Gupala mengerutkan keningnya.
“Menurut pendengaranku, waktu Mahapatih Gajah Mada menyelamatkan rajanya, tujuh hari tujuh malam ia sama sekali tidak beristirahat. Apalagi tidur,” desis gembala itu.
“Baru setelah ia mendapat jalan untuk membawa raja itu kembali ke kota, Gajah Mada mau beristirahat.”
Gupita tersenyum, sedang Gupala bersungut-sungut. Katanya,
“Kelak, apabila aku menjadi Maha Patih, aku pun akan berjaga-jaga tujuh hari tujuh malam.”
Gupita tidak dapat menahan tertawanya. Katanya,
“Apa yang akan kau lakukan selama tujuh hari tujuh malam itu?”
“Makan.”
Ketiganya tertawa. Namun Gupala  pun segera merebahkan dirinya lagi di atas anyaman daun kelapa itu sambil berdesis,
“Memang suatu cara yang baik. Bergantian tidur. Kenapa baru sekarang kita ingat akan hal itu? Sekarang aku tidur, kau bangun Kakang Gupita. Nanti, pada saatnya kau bangun, aku tidur.”
“Bagus. Tetapi kalau nasi masak, aku tidak mau membangunkan kau.”
Gupala tidak menjawab. Tetapi sambil menggaruk-garuk perutnya ia berkata,
“Kalau begitu aku  pun tidak akan dapat tidur.”
Gurunya tersenyum. Namun kemudian ia berkata,
“Aku harus segera kembali ke ruang tengah menunggui Sidanti. Sebentar lagi, apabila semua persiapan sudah selesai, para pemimpin Menoreh akan melepaskan jenazah mereka yang gugur di peperangan ini. Kalau Angger Sutawijaya bersedia tetap berada di ruang tengah, aku akan dapat ikut bersama Samekta dan Kerti.” Orang tua itu berhenti sejenak, lalu,
“Apakah kalian sudah bertemu dengan Raden Sutawijaya?”
“Sudah, Guru,” jawab Gupita, “baru saja ia datang kemari.”
“Apa katanya?”
“Tentang Alas mentaok itu lagi,” jawab Gupita.
“Kami diminta untuk membantunya,” sahut Gupala.
“Agaknya Raden Suitawijaya memerlukan beberapa orang untuk itu.”
“Beberapa orang yang bersedia untuk berkelahi,” gumam gurunya.
“Tetapi apa katamu berdua?”
“Aku bersedia,” jawab Gupala dengan serta-merta.
“Aku tidak dapat berdiri tidak berpihak, sementara kedua pasukan Mentaok dan Pajang akan saling berhadapan.”
Gurunya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat mengarti pendirian Gupala. Sangkal Putung seolah-olah terletak di garis yang menghubungkan kedua daerah itu. Kalau anak yang gemuk itu sama sekali tidak menentukan sikap, maka mungkin sekali daerahnya akan tergilas oeh kedua belah pihak.
“Apakah kau sudah menjawab?” bertanya gurunya.
“Sudah guru,” jawab Gupala.
“Dan kau?” bertanya gurunya kepada Gupita.
“Aku menyerahkan persoalannya kepada Guru,” jawab Gupita.
“Menurut Raden Sutawijaya Guru sudah bersedia.”
Gurunya menarik nafas dalam-dalam. Persoalan yang dihadapi oleh Gupala memang tidak terlampau rumit. Ia harus berpihak. Berpihak kepada yang memberinya harapan. Apalagi Sutawijaya telah dikenalnya baik-baik sejak lama. Tetapi soalnya akan berbeda bagi Gupita. Sekali lagi terlintas di dalam angan-angannya, Senapati Pajang di bagian Selatan yang bernama Untara itulah nanti yang akan memegang peranan. Ki Gede Pemanahan sendiri sudah tidak ada di Pajang. Ki Penjawi sudah berada di Pati pula. Maka selain Ki Patih dan Sultan Pajang sendiri, maka Senapati Pajang tidak ada lagi yang mumpuni.
“Apakah mungkin bahwa Angger Agung Sedayu akan berhadapan dengan Angger Untara?” pertanyaan itu selalu mengganggunya. Tetapi ia masih tetap menyimpan pertanyaan itu di dalam hati. Agaknya Gupita sama sekali masih belum teringat untuk memperhitungkannya hal itu.
“Apakah guru benar-benar telah menyetujuinya?” tiba-tiba Gupita bertanya.
Gurunya menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya,
“Aku memang sedang mempertimbangkan. Apakah yang sebaiknya aku lakukan. Sutawijaya memang sudah menyampaikan pesan Ki Pemanahan kepadaku.”
“Aku kira kita tidak akan keberatan,” sahut Gupala.
“Dengan demikian kita telah membantu bangkitnya suatu daerah baru. Sudah tentu, kita mengharap bahwa tidak akan terjadi apa pun di antara semua pihak. Alas Mentaok, Pajang, Mangir, dan Menoreh. Apalagi Prambanan dan Sangkal Putung.”

Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tatapan matanya melontar ke titik-titik yang sangat jauh. Wajah orang tua itu tampak menjadi murung. Hampir tidak pernah kedua muridnya melihat gurunya begitu dalam merenungi sesuatu. Sehingga dengan demikian kedua murid-muridnya itu  pun untuk sejenak berdiam diri. Sebenarnyalah berbagai persoalan telah berkecamuk di dalam dada orang tua itu. Masalah Tanah Perdikan Menoreh memang sudah hampir selesai, tetapi masalah-masalah lain telah menunggunya. Tanpa sesadarnya orang tua itu mengamati lukisan di pergelangan tangannya. Sebuah cambuk yang di ujungnya tersangkut selingkar cakra bergerigi sembilan. Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Terngiang pertanyaan Ki Argapati tentang lukisan di pergelangan tangannya itu,
“Kiai, gambar itu adalah ciri dari perguruan Empu Windujati.”
Tiba-tiba gembala tua itu menggelengkan kepalanya. Namun suara Ki Argapati masih terdengar di telinganya,
“Aku mengenal seorang yang luar biasa. Seorang yang bersenjata cambuk dan yang senang sekali berteka-teki tentang dirinya. Tetapi sudah tentu bukan kau, karena pada saat itu pun umurnya sudah setua kita sekarang.”
Sekali lagi gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba ia tersadar bahwa kedua murid-muridnya sedang memandangnya dengan heran. Sehingga kemudian ia  pun berdesis,
“Ternyata aku pun lelah sekali. Tempat ini memberikan kesejukan, sehingga aku  pun menjadi kantuk karenanya.”
Gupala menarik nafas pula. Sekilas dipandanginya wajah Gupita yang bertanya-tanya.
“Baiklah,” berkata gembala tua itu,
“aku akan ke ruang tengah sejenak. Kalau Angger Sutawijaya bersedia, menunggui Sidanti sebentar bersama Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga yang berada di longkangan belakang, aku akan ikut melihat upacara pemakamam.”
“Apakah kami dapat ikut?” bertanya Gupala.
“Tidak usah. Kau punya tugas sendiri.”
Gupala mengerutkan keningnya.
“Tetapi itu pun aku masih belum tahu, kapan persiapan pemakaman itu selesai. Bahkan mungkin malam nanti. Kini baru dipersiapkan lubang-lubang yang cukup banyak.”
“Dari manakah jenazah-jenazah itu diberangkatkan?”
“Sudah jelas tidak dari rumah ini.”
“Dari banjar?”
“Ya, dari Banjar.”
Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi matanya sudah menjadi semakin redup oleh kantuk yang seakan-akan semakin mencengkamnya. Apalagi karema silirnya angin dan bunyi burung tekukur di kejauhan.
“Nah, tinggallah kalian di sini. Hati-hatilah supaya bantuan yang sudah kita berikan selama ini kepada Tanlah ini tetap berkesan baik sampai rampung.”
Kedua muridnya menganggukkan kepala mereka sambil menjawab,
“Baik, Guru.”

Di sepanjang langkahnya, gembala tua itu menundukkan kepalanya sambil merenung dirinya sendiri. Kalau pada suatu saat ia bertemu dengan Ki Gede Pemanahan, maka pertanyaan Ki Gede Menoreh itu pun pasti akan diulang lagi meskipun dengan nada yang berbeda. Gembala tua itu tanpa disengaja telah mengangguk-anggukkan kepalanya. Berbagai persoalan hilir-mudik di kepalanya.
“Seharusnya masa-masa itu sudah dilupakan orang,” katanya di dalam hati.
“Aku pun ingin melupakannya.”
Orang tua itu tertegun sejenak. Ia melihat beberapa orang pengawal memasuki halaman. Sejenak mereka bercakap-cakap dengan pengawal yang sedang bertugas. Kemudian seorang pengawal dengan tergesa-gesa memasuki pendapa langsung ke ruang tengah. Gembala itu  pun kemudian pergi ke pendapa. Ia melihat Samekta dan Kerti keluar melintasi pendapa itu turun ke halaman. Ketika mereka melihat orang tua itu, mereka  pun berhenti.
“Kiai,” berkata Samekta,
“persiapan itu sudah hampir selesai. Kalau Kiai ingin menghadirinya, sebentar lagi Kiai supaya pergi ke Banjar bersama Pandan Wangi. Ia ingin melihat juga upacara itu.”
Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Baiklah. Aku akan pergi.”
Ketika Samekta dan Kerti kemudian pergi bersama pengawal itu, ia pun segera masuk ke dalam. Ditemuinya Sutawijaya duduk sendiri sambil mengunyah pondoh beras.
“Ha, aku akan minta tolong kau lagi, Anakmas,” berkata gembala tua itu.
“Apa lagi Kiai?”
“Aku akan melihat upacara pemakaman korban peperangan ini. Aku minta Anakmas sementara tetap tinggal di sini menunggui pintu itu. Di belakang sudah ada Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga.”
“Sendiri?” bertanya Sutawijaya.
“Apakah Angger takut?”
“Soalnya bukan takut. Tetapi bagaimana kalau tiba-tiba aku ingin pergi ke sungai?”
Orang tua itu menarik nafas. Tetapi ia kemudian mengangguk-angguk.
“Baiklah,” berkata orang tua itu, “aku akan minta seorang dua orang pengawal untuk menemani Anakmas di sini.”
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia berbisik,
“He, siapakah sebenarnya pimpinan tertinggi yang mewakili Ki Argapati di bidang keprajuritan?”
“Kenapa?”
“Apakah Kiai barangkali?”
Gembala tua itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum.
“Aku sudah terlanjur terlibat Anakmas. Memang tidak pantas aku mengatur dan menangani persoalan di Tanah ini terlampau banyak. Tetapi tanpa Ki Argapati mereka masih memerlukan banyak sekali bimbingan.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil tersenyum ia berkata,
“Pada suatu saat, Mentaok memerlukan pula, Kiai.”
Gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia  pun tersenyum. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata,
“Laris juga tenaga tua ini agaknya.”
Sutawijaya tertawa pendek. Katanya,
“Suatu kehormatan bagi Kiai.”
Orang tua itu pun menyahut,
“Sebenarnya Mentaok tidak memerlukan siapa pun lagi. Mentaok sudah cukup memiliki senapati-senapati yang mumpuni. Ki Gede Pemanahan sendiri adalah seorang panglima yang tidak ada tandingnya. Kenapa orang tua-tua yang tidak berarti seperti aku ini akan dibawanya pula?”
Sutawijaya masih tertawa. Katanya,
“Tentu ada sebabnya. Dan Kiai  pun aku kira sudah mengetahui pula.”
“Belum,” berkata orang tua itu.
“Apa saja dapat Kiai katakan kepadaku, karena aku memang baru mengenal Kiai sejak di Sangkal Putung. Tetapi mungkin ayah akan berkata lain.”
Gembala itu mengangkat alisnya.
“Ayah memang selalu bertanya tentang Kiai. Tentang seorang yang bersenjata cambuk.”
“Baik, baik,” sahut gembala tua itu,
“sekarang aku akan pergi sejenak bersama Angger Pandan Wangi.”

Sutawijaya masih saja tersenyum. Dipandanginya saja orang tua yang masuk ke dalam bilik Ki Argapati. Kemudian sejenak ia tinggal di dalam sebelum orang tua itu keluar lagi dari bilik itu bersama Pandan Wangi. Ki Argapati tidak berkeberatan, apabila Pandan Wangi pergi sejenak atas namanya menghadiri pemakaman korban-korban peperangan yang telah berjatuhan.
“Dua orang prajurit akan mengawani Angger di sini,” berkata gembala itu kepada Sutawijaya.
Sebenarnyalah bahwa kemudian dua orang prajurit datang dan duduk bersama anak muda itu, sedang dua orang yang lain langsung masuk ke dalam bilik Ki Argapati. Di sepanjang jalan menuju ke banjar, baik Pandan Wangi maupun gembala tua itu tidak terlampau banyak berbicara. Dalam angan-angan masing-masing bergejolak masalah-masalah yang berbeda-beda. Pandan Wangi masih merenungi abu Tanah Perdikannya yang telah dibakar oleh api peperangan di antara keluarga sendiri, yang digelitik oleh ketamakan Ki Tambak Wedi. Sedangkan gembala itu sedang merenungkan sikap Sutawijaya. Mungkin ayahnya, Ki Gede Pemanahan memang selalu bertanya tentang seorang yang bersenjatakan cambuk. Tetapi apakah pesan Ki Pemanahan ini benar-benar sampai pada suatu kepastian, ia memerlukannya, atau hanya sekedar karena akal Sutawijaya itu sendiri. Menilik ceritera Sutawijaya sendiri, ayahnya masih meragukannya. Apakah dalam keragu-raguan itu, Ki Gede Pemanahan sudah dapat mengambil suatu sikap.
“Tetapi aku sendiri memang perlu menemuinya,” desis orang tua itu di dalam hatinya.
Dalam pada itu, mereka  pun segera sampai ke banjar pula. Sejenak kemudian maka jenazah-jenazah yang berada di banjar itu  pun segera diberangkatkan ke pekuburan. Beberapa orang keluarga mereka yang berhasil dihubungi, telah menitikkan air matanya. Seperti darah yang tertumpah, maka air mata mereka itu pun telah membasahi Tanah Kelahiran mereka. Sebuah barisan yang panjang telah mengiringi korban-korban peperangan itu. Pandan Wangi, Samekta, Kerti, dan beberapa pemimpin yang lain berjalan di paling depan. Di belakang mereka, gembala tua yang telah ikut menentukan akhir dari peperangan itu  pun berjalan sambil menundukkan kepalanya. Ia sadar, bahwa ia telah turut mengambil bagian dari peperangan yang telah membunuh sekian banyak kawan dan lawan. Namun terbayang pertentangan yang pasti akan lebih dahsyat berkecamuk apabila Mentaok dan Pajang tidak dapat mengendalikan diri masing-masing. Di dalamnya tidak hanya terdapat seorang Sidanti dan seorang Argajaya. Tetapi di dalamnya terdapat berpuluh-puluh Sidanti dan berpuluh-puluh Argajaya.
Senapati-senapati perang yang pilih tanding akan turun ke medan. Prajurit-prajurit yang tangguh dan panglima-panglimanya yang tidak ada taranya. Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Yang terutama menjadi pusat kecemasannya adalah Untara. Senapati muda yang memiliki kemampuan yang besar, yang justru diserahi daerah di sisi Selatan. Apalagi kalau Widura masih juga berada di Sangkal Putung bersama beberapa bagian dari pasukan Pajang. Orang itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Kalau pertentangan jasmaniah harus terjadi, maka masalahnya akan sangat rumit bagi murid-muridnya, terutama Gupita. Oleh angan-angannya itu, maka gembala tua itu hampir tidak memperhatikan lagi, ketika satu demi satu jenazah-jenazah itu diturun kan ke lubang pembaringannya untuk yang terakhir kali.

Namun salah seorang dari mereka memang telah menarik perhatiannya. Pandan Wangi yang menyandang sepasang pedang di lambungnya itu maju mendekati pekuburan yang baru saja ditimbun dengan tanah yang merah. Perlahan-lahan ia berdesis,
“Jasamu tidak akan terlupakan, Wrahasta.”
Sejenak kemudian tangannya yang halus meraih segenggam bunga tabur. Ketika bunga itu berjatuhan di atas gundukan tanah yang masih basah itu, air matanya pun menitik. Dikenangnya anak muda yang bertubuh raksasa itu. Dikenangnya betapa anak muda itu mencoba menyentuh perasaannya yang kosong pada waktu itu.
Kepala Pandan Wangi pun menunduk dalam-dalam. Beberapa lama ia berdiri di samping makam Wrahasta. Sekilas terbayang pula pada saat-saat terakhir dari hidupnya. Masih juga anak muda itu bertanya kepadanya.
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Ikhlas atau tidak ikhlas ia pernah menganggukkan kepalanya, mengiakan permintaan Wrahasta untuk memperisterikannya. Sekejap sebelum ia melepaskan nafasnya yang terakhir. Dan kini Wrahasta itu telah dikuburkan di antara para pengawal yang telah gugur dalam menunaikan tugas mereka untuk Tanah Kelahiran.
Satelah semuanya selesai, maka orang-orang yang mengantar jenazah-jenazah itu  pun satu-satu meninggalkan pekuburan. Dengan hati yang berat mereka melangkah semakin jauh, meninggalkan orang-orang yang pernah ada di antara mereka. Pernah bergurau dan bertengkar dalam satu lingkungan. Di jalan kembali Pandan Wangi menjadi semakin diam. Gembala tua yang berjalan di sampingnya sama sekali tidak diacuhkannya. Sekali-sekali ia masih mengusap matanya yang basah. Ketika Pandan Wangi masuk ke halaman rumahnya, ia tertegun sejenak. Di antara para pengawal yang berjaga-jaga di depan regol dilihatnya seorang anak muda yang gemuk berdiri sambil menyilangkan tangannya.
“Apakah semuanya sudah selesai,” Gupala bertanya sambil melangkah maju.
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya.
“Ya, semuanya sudah selesai.”
Gupala kemudian berjalan di samping gadis itu, sebelah-menyebelah dengan gurunya.
“Di mana Gupita” gurumya bertanya, “dan kenapa kau berada di situ?”
“Kakang Gupita masih menunggui Ki Argajaya. Aku tidak tahan untuk duduk saja di bawah pohon keluwih itu.”
“Kau tinggalkan Gupita sendiri?”
“Tidak sendiri. Ada beberapa orang pengawal yang menemaninya.”
Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Gupala yang masih ingin berbicara menjadi kecewa. Pandan Wangi terlampau murung dan hampir tidak memperhatikan orang-orang lain sama sekali. Tanpa berkata sepatah kata pun lagi gadis itu langsung naik ke pendapa dan masuk ke dalam rumahnya yang kotor. Gupala berhenti di bawah tangga pendapa. Ditatapnya saja langkah Pandan Wangi sampai hilang di balik pintu pringgitan.
“Kembalilah ke tempatmu,” gurunya berdesis.
“O,” Gupala tergagap,
“baiklah. Aku akan kembali ke bawah pohon keluwih. Mudah-mudahan tidak ada sebuah pun yang akan menjatuhi kepalaku yang lagi pening ini.”
Gurunya tidak menjawab. Dengan langkah yang gontai Gupala berjalan ke tempatnya kembali. Namun masih terdengar ia bergumam,
“Apakah aku harus menungguinya sampai tua?”

Ternyata hari itu baik Gupita dan Gupala, maupun Ki Hanggapati dan Dipasanga, masih harus tetap berada di tempat masing-masing. Ki Argapati masih belum dapat berbuat sesuatu karena luka-lukanya, sehingga masih belum dapat mengambil suatu sikap bagi Sidanti dan Argajaya. Bahkan Ki Argapati masih juga belum dapat menerima Sutawijaya yang akan menemuinya.
“Kiai,” berkata Sutawjaya,
“kalau besok Ki Argapati masih belum dapat menerima seseorang, maka aku kira lebih baik aku kembali ke Mentaok. Ayah pasti sudah terlampau lama menunggu. Bahkan mungkin perkembangan terakhir Mentaok sudah menjadi semakin sibuk, sehingga tenagaku sudah sangat diperlukannya.”
“Lalu, apakah Angger tidak ingin berbicara dengan Ki Argapati?”
“Aku tidak dapat menunggu tanpa batas. Sebaiknya aku berpesan saja kepada Kiai.”
“Tunggulah sampai besok.”
Sutawijaya merenung sejenak. Katanya,
“Ya, aku memang akan menunggu sampai besok.”
Malam itu gembala tua itu pun berusaha dengan segenap kepandaian yang ada padanya untuk memperingan penderitaan Ki Argapati. Semalam suntuk gembala tun itu tidak tdur. Juga Pandan Wangi yang menunggui ayahnya hampir tidak dapat memejamkan matanya sama sekali. Hanya kadang-kadang sambil bersandar dinding Pandan Wangi terlena sejenak. Namun kemudian ia segera terbangun kembali. Di malam hari luka-luka Ki Gede yang parah itu terasa betapa pedihnya, sehingga meskipun ia memiliki daya tahan yang luar biasa kuatnya, namun terdengar sekali-sekali ia berdesis tertahan.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar