Sekali lagi dada Sumangkar berdesir. Namun Betapapun juga ia harus melihat kenyataan, memang sebenarnyalah bahwa perkataan Untara itu benar. Apa yang terjadi bukannya satu persetujuan antara seorang senapati Jipang dan seorang senapati Pajang. Tetapi yang terjadi adalah penyerahan. Manyerah karena tak ada lagi kekuatan untuk melawan. Betapapun rasa sakit menghentak-hentak dada, namun Sumangkar tidak lagi membantah kata-kata senapati muda dari Pajang itu. Betapapun pahitnya kata-kata yang dipergunakan, menyerahkan diri, namun tidak ada lain yang dapat dilakukan untuk menghentikan kerusuhan-kerusuhan yang masih akan berkembang berlarut-larut. Meskipun bagi dirinya sendiri masih akan banyak dicari kemungkinan-kemungkinan lain, bahkan kemungkinan yang terakhir, yang baginya lebih baik daripada menyerah itu, yaitu mati, tetapi kematiannya tidak akan berarti apa-apa bagi ketenteraman yang akan dicarinya. Ketenteraman bagi rakyat Demak. Ketenteraman seperti yang dipesankan oleh Tohpati. Bahkan kematian Tohpati pun akan tidak berarti apa-apa. Bila tanpa penyerahan dari anak buahnya. Malahan kerusuhan akan menjadi semakin memuncak, sebab sisa-sisa prajurit Jipang itu akan menjadi semakin tak terkekang. Namun mudah-mudahan hilangnya pemimpin mereka, akan memperlunak hati mereka. Mudah-mudahan mereka menjadi seakan-akan kehilangan pegangan. Dan dalam keadaan yang demikian, mereka akan mendengar kabar pengampunan yang diberikan oleh Untara, bagi mereka yang bersedia menyerahkan diri. Tetapi bukan saja bagi Sumangkar kata-kata itu mengetuk hati. Widura yang mendengar kata-kata Untara itu mengangkat kepalanya. Sesaat hatinya bergelora. Namun kemudian ia berhasil mengendapkannya. Dalam saat yang pendek ia dapat mangerti maksud dari kemanakannya itu. Dan ia pun kemudian tidak berkata apa-apa. Hatinya dikendalikannya. Sebagai seorang prajurit yang telah cukup berpengalaman, maka nalarnya mampu menguasai perasaannya yang melonjak-lonjak menghadapi keputusan itu.
Namun
tiba-tiba mereka terkejut ketika mereka melihat beberapa orang hampir bersamaan
mendesak maju. Yang paling depan dari mereka adalah Swandaru. Dengan kalimat
yang patah-patah karena desakan perasaannya yang bergejolak ia berkata,
“Kakang
Untara. Apakah artinya pengampunan itu?”
Untara
mengerutkan keningnya. Terasa bahwa keputusannya mengejutkan beberapa anak
buahnya sendiri. Dan barulah kini terasa bahwa seharusnya ia tidak tergesa-gesa
mengucapkannya sebelum ia berbicara dengan beberapa orang pemimpin pasukan
Pajang dan Sangkal Putung, serta memberi penjelasan kepada mereka. Namun
kata-kata itu sudah diucapkannya, karena itu maka jawabnya,
“Adi Swandaru.
Kata-kataku cukup jelas. Aku akan memberikan pengampunan bagi mereka yang
dengan suka rela menyerah, meskipun bukan pengampunan yang mutlak. Tetapi bagi
mereka yang tidak mematuhi perintah itu, akan aku hancurkan sampai lumat.”
“Keputusan itu
terlalu lunak. Kakang tidak memperhitungkan kesalahan dan bencana yang telah
mereka timbulkan.”
Untara
manggigit bibirnya. Ia dapat mengerti pertanyaan yang dilontarkan oleh Swandaru
itu. Maka jawabnya,
“Kau benar
Swandaru. Tetapi kita tidak akan membiarkan diri kita terus menerus berada
dalam suasana perang. Perkelahian demi perkelahian. Pertempuran demi
pertempuran. Korban yang akan terus menerus berjatuhan. Dan kegelisahan yang
semakin meningkat di antara rakyat.”
“Tidak!” tiba-tiba
terdengar suara lain,
“Mereka akan
kita musnahkan dalam waktu yang singkat. Lihat, Kakang Citra Gati telah menjadi
korban. Aku telah terluka dan beberapa anak buah telah terbunuh hanya dalam
satu kali pertempuran, kali ini. Belum lagi terhitung dalam
peperangan-peperangan yang lain. Apakah kita akan dapat melupakan korban-korban
yang telah berjatuhan itu? Apakah kita dapat melihat kehadiran orang-orang yang
tangannya bergelimang darah kawan-kawan kita itu hidup di antara kita sendiri
dengan tenteram? Tidak. Hati kita akan selalu dikejar oleh perasaan tanggung
jawab dan kesetia-kawanan.”
Untara
berpaling ke arah suara itu. Dilihatnya Hudaya berdiri dengan teguhnya sebagai
menara baja. Di tangannya masih tergenggam pedangnya yang berjalur-jalur merah
karena darah.
“Kau benar
Hudaya,” sahut Untara,
“kau benar.
Swandaru pun benar. Tak ada lagi kini
yang dapat menghalangi kita untuk menghancurkan sisa-sisa pasukan Jipang yang
sudah kehilangan pemimpinnya itu. Mereka telah menjadi demikian lemahnya
sehingga kita akan dapat menumpasnya.”
“Nah, kenapa
kita akan memberikan pengampunan ?” teriak Hudaya yang disusul oleh Sendawa,
“Kita
musnahkan saja mereka.”
Untara menarik
nafas dalam-dalam. Sedang Sumangkar yang berdiri di hadapannya bergeser setapak
menghadap suara itu. Terasa dadanya yang pedih bertambah pedih. Lebih pedih
dari tusukan pedang di dada itu. Tetapi ketika ia akan memotong kata-kata itu
terasa Kyai Gringsing menggamitnya, sehingga Sumangkar itu hanya mendekap
kepedihan itu di dalam hatinya.
“Kalian
benar,” terdengar kembali suara Untara.
“Kami akan
dapat melakukannya. Dan hal itu pasti akan kita lakukan. Tetapi bagaimana
dengan orang-orang Jipang yang kemudian menyesal atas segala perbuatannya?
Bagaimanakah kemudian dengan musuh-musuh kita yang merasa dirinya bersalah dan
ingin menghentikan perlawanannya? Tidak semua dari mereka tahu benar apa yang
telah dilakukan. Nah, bagi mereka yang dengan jujur merasa bersalah dan
menyerah, kita tunjukkan kebesaran jiwa kita. Sebagai mana Tuhan akan
mengampunkan dosa-dosa kita, kita pun harus bersedia memaafkan kesalahan
sesama. Tentu bagi mereka yang jujur. Tuhan melihat kejujuran dan kecurangan di
hati kita. Tetapi kita tidak dapat melihat hati sesama. Namun kita mempunyai
cara-cara untuk itu. Melalui penelitian dan percobaan. Nah, serahkanlah hal itu
kepada pimpinan Pajang. Namun dengan demikian kita mengharap bahwa ketenteraman
akan segera dapat dipulihkan. Sedang kita akan segera melihat, siapakah yang
dapat kita maafkan, dan siapakah yang harus kita hancurkan. Meskipun aku harus
mengatakan sekali lagi, bahwa pengampunan yang aku maksudkan, bukanlah
pengampunan yang mutlak membebaskan mereka dari tanggung jawab atas segala
perbuatan mereka.”
Untara itu
berhenti sejenak. Dicobanya untuk melihat penilaian orang-orang yang berdiri di
sekitarnya atas kata-katanya. Tetapi malam menjadi semakin gelap di pinggiran
hutan itu, sehingga Untara menjadi sulit untuk dapat melihat setiap wajah dari
anak buahnya.
Namun sesaat
tak ada seorang pun yang menyahut. Batas hutan itu kembali diliputi oleh
suasana yang sepi. Kembali terdengar semakin jelas suara burung hantu
dikejauhan. Dalam kesunyian itu terdengar kemudian suara Untara kembali.
“Nah. Apakah
kalian dapat mengerti maksudku?”
Jawaban
Swandaru mengejutkan. Katanya,
“Tidak.”
Untara menarik
nafas dalam-dalam. Ia masih juga mendengar beberapa orang bergumam di antara
mereka.
“Jadi
bagaimana kenginanmu Swandaru?” bertanya Untara langsung kepada Swandaru.
Swandaru
terkejut mendengar namanja disebut. Namun ia menjawab.
“Dihancurkan
sampai tujuh turunan.”
“Hem,” sekali
lagi Untara menarik nafas. Kemudian katanya, “Jadi kita menutup pintu bagi
mereka yang ingin menyerah tanpa kecuali? Jadi kita mengingkari penglihatan
kita, bahwa ada di antara mereka yang berada di pihak Adipati Jipang hanya
karena terpaksa dan kemudian tidak dapat melepaskan dirinya karena berbagai
persoalan. Persoalan yang sangkut-menyangkut. Ketakutan mereka terhadap ancaman
kawan sendiri, ketakutan mereka terhadap sikap para prajurit Pajang yang tidak
dapat dimengertinya, ketakutan mereka terhadap bayangan mereka sendiri.
Lebih-lebih bagi mereka yang pada saat belum ada persoalan antara Jipang dan
Pajang tidak lebih dari seorang hamba dan prajurit Kadipaten. Mereka tidak
menyadari apa yang akan terjadi atas mereka. Dan bahkan mereka telah mengutuk
Arya Penangsang sedalam lautan. Namun mereka tidak melihat jalan kembali,
sehingga mereka harus, mau tidak mau, turut serta dalam peperangan melawan
kita. Kepada mereka itulah kita akan mencoba membuka pintu.”
“Bagaimana
kita dapat membedakan satu dengan yang lain di antara mereka? Bagaimana kalau
kemudian orang-orang semacam Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda datang memenuhi
seruan itu?” bertanya Hudaya dengan suara parau bergetar.
“Mereka harus
menghadapi pertanggungan jawab. Mereka yang benar-benar sadar akan
perlawanannya, kepada mereka itu akan berlaku hukuman yang akan diberikan oleh
pimpinan Pajang melalui ketentuan-ketentuan yang berlaku.”
“Sesudah
mereka membunuh banyak orang di antara kita?” desak Sendawa.
“Ya. Kita akan
memperhitungkan setiap perbuatan mereka. Sebab mereka telah melakukannya dengan
sengaja dan sepenuh kesadaran mereka.”
Kembali mereka
terlempar dalam kesepian. Swandaru, Hudaya, Sendawa dan banyak lagi di antara
mereka yang menjadi pening. Mereka tidak mengerti arti dari pengampunan yang
diberikan oleh Untara. Tetapi mereka mencoba untuk melihat, apakah yang kelak
akan terjadi. Betapa perasaan mereka melonjak-lonjak, tetapi mereka tidak dapat
berdebat dengan senapati mereka. Sebagai seorang prajurit mereka masih cukup
menyadari kedudukan mereka. Karena itu mereka pun berdiam diri. Meskipun bukan
berarti bahwa mereka sependapat dengan senapatinya. Untara pun kemudian tidak
ingin berbantah terlampau lama ia akan memberi penjelasan nanti kepada anak
buahnya di kademangan, atau kepada beberapa orang yang penting, untuk di
teruskan kepada setiap prajurit dan orang Sangkal Putung. Ia sendiri dapat
merasakan betapa beratnya keputusan yang diambilnya itu. Namun salah satu saran
yang pernah di dengar langsung dari Panglima Wira Tamtama, Ki Gede Pemanahan,
adalah pengampunan semacam itu atas mereka yang sama sekali tidak turut
bertanggung jawab terhadap persoalan antara Jipang dan Pajang sepeninggal
Sultan Trenggana.
Karena itu,
maka kemudian ia berpaling kepada Sumangkar yang masih berdiri dengan
tegangnya.
“Paman
Sumangkar ambillah tubuh Macan Kepatihan. Terserah kepada paman, apakah yang
akan paman lakukan.”
Sumangkar
tersadar dari ketegangan yang mencengkamnya. Sekali lagi ia membungkuk hormat.
Lalu berlahan-lahan ia melangkah mendekati tubuh Tohpati yang terbaring
membeku.
“Terima kasih
Ngger,” katanya,
“biarlah anak
buahnya melihatnya. Dan biarlah peristiwa ini menimbulkan kesan-kesan baru
terhadap sikap mereka selama ini.”
“Bagus,” sahut
Untara.
Sumangkar
kemudian mengangkat tubuh itu dan disangkutkannya di atas pundaknya. Sekali ia
memandang berkeliling, atas orang-orang yang berdiri di sekitarnya. Kemudian ia
melangkah surut sambil berkata,
“Aku akan
meninggalkan tempat ini atas ijin Angger Untara.”
“Silahkanlah
Paman,” berkata Untara.
Sejenak
kemudian Sumangkar itu melangkah di antara beberapa orang yang menyibak
memberinya jalan. Sesaat kemudian bayangan itu pun masuk ke dalam gelap malam
di antara dedaunan yang rimbun. Sepeninggal Sumangkar tiba-tiba Untara berkata,
“Sedayu, ada
perintah untukmu.”
Sedayu
terkejut, selangkah ia maju. Dengan wajah yang tertanya-tanya ia menunggu
perintah yang dikatakan oleh kakaknya.
“Ikuti Paman
Sumangkar dengan diam-diam, kau harus dapat melaporkan kepadaku. Di mana letak
perkemahan mereka dengan tepat. Sudut-sudut yang lemah dan penjagaan-penjagaan
yang ada di antara mereka.”
Agung Sedayu
terkejut mendengar perintah itu. Namun tidak ada kesempatan untuk
mempersoalkannya. Kakaknya menyebutnya dengan perintah. Perintah seorang
senapati harus dilakukannya betapapun beratnya. Mengikuti Sumangkar bukanlah
pekerjaan yang mudah. Orang itu adalah seorang yang sakti, yang pendengarannya
jauh lebih tajam dari pendengarannya sendiri. Meskipun demikian, dada Agung
Sedayu dijalari pula oleh suatu perasaan yang tidak dapat diingkarinya. Bangga,
namun juga cemas. Bangga atas tugas yang dipercayakan kepadanya, tidak kepada
orang lain. Namun ia cemas bahwa ia akan gagal melakukannya. Bukan karena ia
tidak berani, tetapi disadarinya sepenuhnya, siapa yang dihadapinya kali ini.
Dalam pada itu
terdengar kakaknya berkata,
“Agung Sedayu
kau harus kembali sebelum malam besok.”
Tanpa berpikir
Agung Sedayu menjawab, “Baik Kakang.”
“Nah, cepat
berangkat. Kalau kau terlambat kau akan kehilangan jejak Paman Sumangkar.”
“Baik Kakang,”
sahut Sedayu pula.
Namun sebelum
Sedayu berangkat, terdengar Kyai Gringsing berkata,
“Apakah kau
sungguh-sungguh, Untara.”
Untara
berpaling. Ditatapnya wajah Kyai Gringsing. Kemudian jawabnya,
“Tentu Kyai.
Aku memerlukan laporan tentang daerah lawan, keadaannya, kekuatannya dan segala
macam persoalan yang mungkin dapat kita perhitungkan dalam setiap saat dan
keadaan yang perlu.”
“Bukankah kau
mempunyai beberapa orang pembantu dan bahkan ada yang dekat dengan lingkungan
mereka?”
“Aku kurang
mempercayainya seperti aku mempercayai Agung Sedayu. Mungkin aku berhadapan
dengan ular berkepala dua, karena itu aku harus mencocokkan keadaan, sebelum
aku melakukan tindakan terakhir. Bukankah Sumangkar akan menunjukkan jalan
itu.”
Kyai Gringsing
menarik nafas dalam-dalam, kemudian katanya,
“Kenapa Agung
Sedayu, bukan orang lain, Angger Widura misalnya?”
Untara
menggigit bibirnya. Sesaat ia terdiam, namun kemudian ia menjawab,
“Paman Widura
adalah pimpinan prajurit Sangkal Putung. Ia tidak dapat meninggalkam tugasnya.”
“Bagus,
bagus,” desah Kyai Gringsing, “kau cerdik Untara.”
“Kenapa?”
bertanya Untara.
“Tidak
apa-apa,” sahut Kyai Gringsing.
“Pergilah
Agung Sedayu.”
“Baik Kyai,”
sahut Agung Sedayu, kemudian dengan ringkas ia mohon diri kepada kakak dan
pamannya.
“Aku berangkat
Kakang, dan aku minta doa Paman Widura, semoga berhasil.”
Widura berdiri
tegak seperti patung. Ia menyadari bahaya yang dapat terjadi atas kemanakannya.
Sumangkar bukan orang yang setingkat dengan anak muda itu, karena itu ia
ragu-ragu melepaskannya. Meskipun demikian, perintah itu datang dari senapati
yang mendapat kekuasaan langsung dari Panglima Wira Tamtama Pajang, karena itu
dengan hati berat ia menjawab,
“Hati-hatilah
Agung Sedayu. Tugasmu terlampau berat.”
Agung Sedayu
tidak berkata apa-apa lagi. Ia takut kehilangan jejak. Karena itu, segera ia
melangkah, meninggalkan kakaknya, pamannya dan para prajurit Pajang dan laskar
Sangkal Putung.
Swandaru yang
tertegun keheranan atas perintah itu, tiba-tiba seperti orang tersadar dari mimpi.
Terbata-bata ia berkata,
“Aku ikut
serta Kakang Sedayu.”
Sebelum Sedayu
menjawab, terdengar Untara menyahut.
“Jangan
Swandaru. Biarlah ia berjalan sendiri.”
Yang mendengar
jawaban Untara itu pun menjadi heran pula. Apakah sebenarnya maksud Untara
dengan perintahnya kepada adiknya itu. Perintah yang sangat berbahaya dan
hampir-hampir tak masuk akal mereka. Agung Sedayu harus mengikuti jejak orang
sesakti Sumangkar. Namun kemudian mereka benar-benar harus melepaskan Agung
Sedayu. Mereka hanya dapat memandang anak muda itu berjalan dan menghilang di
dalam gelap searah dengan menghilangnya Sumangkar.
Demikian Agung
Sedayu masuk ke dalam hutan, demikian ia merasa terlempar ke dalam suatu daerah
kelam yang sama sekali tak dikenalnya, yang dapat dilihatnya hanyalah tabir
hitam pekat menyelubunginya. Satu-satu ia dapat melihat remang-remang pepohonan
yang sudah sedemikian dekat dengan hidungnya. Namun yang lain tak dapat
dilihatnya. Barulah ia kini menyadari, betapa sulit tugas yang dibebankan
kepadanya. Ia tidak tahu, ke mana ia harus berjalan dan bagaimana mungkin ia
dapat mengikuti jejak orang yang bernama Sumangkar. Ia sama sekali tidak mendengar
langkah kaki, desah nafas dan apalagi melihatnya. Tetapi ia tidak dapat
kembali. Ia telah berangkat membawa tugas Karena itu tugas itu harus
dilakukannya sebaik-baiknya. Apa pun yang akan terjadi. Sekali-sekali timbul di
dalam hatinya perasaan-perasaan aneh seperti yang pernah dimilikinya dahulu.
Gendruwo bermata satu, macan putih dari Lemah Tengkar, hantu berwajah tampan
dari gunung Gowok. Satu-satu kenangan itu timbul tenggelam di dalam benaknya.
Namun Agung Sedayu kini bukanlah Agung Sedayu yang dahulu. Meskipun perasaannya
tentang hal-hal serupa masih saja sering membuat lehernya meremang. Agung
Sedayu pun kemudian berjalan setapak demi setapak maju. Tangan kirinya
meraba-raba batang-batang pohon yang dilampauinya, sedang lengan kanannya
kadang-kadang meraba hulu pedangnya, di lambung kiri. Setiap saat ia memerlukan
pedang itu, sebab setiap saat ia akan bertemu dengan bahaya. Setelah agak lama
Agung Sedayu berada di dalam gelapnya hutan, maka perlahan-lahan matanya dapat
menyesuaikan diri dengan keadaan. Perlahan-lahan ia dapat melihat beberapa
bagian hutan itu di sekitarnya. Bahkan ketika ia menengadahkan wajahnya, ia
masih dapat melihat bayangan langit yang gelap karena mendung yang mengalir
dari Selatan di celah-celah dedaunan. Namun di antara awan yang kelabu itu,
Agung Sedayu kadang-kadang melihat seleret bintang seolah-olah berkeredip
kepadanya.
“Hem,” Agung
Sedayu menarik nafas. Ia masih belum tahu sama sekali, ke mana ia akan pergi.
Ia menjadi cemas, jangan-jangan akan tersesat dan tidak dapat menemukan jalan
keluar. Tetapi bagaimanapun perasaannya bergolak, namun Agung Sedayu itu
berjalan terus. Ia tidak tahu, apakah ia akan dapat bertemu dengan jejak
Sumangkar atau tidak. Tetapi ia begitu saja memilih jurusan tanpa diketahui
arahnya. Dengan hati-hati Agung Sedayu berjalan terus. Setiap kali ia berhenti
memperhatikannya kalau-kalau ia mendengar sesuatu. Mungkin langkah seseorang
atau mungkin tarikan nafasnya. Tetapi yang didengarnya hanyalah desir angin
yang menggerakkan dedaunan. Gemerisik lambat-lambat.
Agung sedayu
berjalan terus. Perlahan-lahan di antara semak-semak yang tumbuh di bawah
pepohonan yang besar. Agung sedayu tidak saja harus hati-hati menghadapi
lawan-lawannya, tetapi ia harus hati-hati pula menghadapi segala macam
binatang. Lebih-lebih lagi ular. Binatang yang sangat berbahaya dan
hampir-hampir tak dapat dilihatnya bagaimana binatang itu menyerang. Dalam
keremangan malam yang gelap itu, tiba-tiba Agung Sedayu melihat sesuatu. Ia
melihat gerumbul-gerumbul tumbuh tidak wajar. Namun kemudian ia mengambil
kesimpulan, bahwa gerumbul itu baru saja diterobos oleh seseorang. Tidak hanya
seseorang menilik dahan-dahan yang patah dan daun yang terinjak-injak. Dengan
saksama Agung sedayu mencoba memperhatikan gerumbul-gerumbul itu. Lama sekali,
sebab malamnya pun gelap sekali. Hampir
ia mengamat-amati setiap daun dan ranting. Diraba-raba dengan tangannya.
Akhirnya Agung Sedayu berkesimpulan, bahwa bukan Sumangkar yang ditemukannya
jejaknya, tetapi prajurit Jipang yang mengundurkan diri.
“Bukankah sama
saja,” pikir Agung Sedayu, “kedua-duanya membawa aku ke sarang mereka.”
Tetapi dengan
demikian Agung Sedayu menjadi semakin menyadari, betapa sulitnya pekerjaannya.
Betapa bahaya yang dihadapinya. Mungkin ia akan bertemu dengan beberapa orang dari
prajurit Jipang yang mengundurkan diri itu. Dan ia harus bertempur di dalam
hutan. Meskipun ia sering berlatih bertempur malam hari dengan pamannya dan
kakaknya Untara, namun bertempur di dalam hutan yang gelap, memerlukan
kecakapan yang khusus.
“Jangan-jangan
anak buah Macan Kepatihan sudah terlalu biasa bertempur dalam gelap,” katanya
di dalam hati. Namun ditepiskannya untuk menghibur dirinya sendiri.
“Ah, tidak.
Mereka masih memerlukan obor waktu mereka menyerang sangkal Putung di malam
hari. Kalau demikian, maka kita akan mendapat kemungkinan yang sama apabila
kita harus bertempur di malam gelap.”
Kembali Agung
Sedayu maju perlahan-lahan. Ia tidak mau kehilangan jejak. Setiap kali ia
berhenti mengamat-amati setiap dahan-dahan perdu yang patah dan daun-daun yang
tersibak. Ditelusurinya bekas-bekas itu selangkah demi selangkah. Dan ia tidak
mau jejak itu terputus.
“Mereka
berjalan tergesa-gesa,” pikir Agung Sedayu seterusnya,
“sehingga
jejak mereka menjadi sangat jelas. Mudah-mudahan aku dapat menemukan sarang
mereka.”
Semakin lama
Agung Sedayu tenggelam semakin dalam ke dalam hutan itu. Sedang malam pun semakin lama menjadi semakin dalam
tenggelam ke pusatnya.
Dalam pada itu
Agung sedayu pun menjadi semakin
mengenal jejak-jejak yang harus diikutinya. Namun kemudian terasa tubuhnya
semakin lama menjadi semakin penat. Sehari ia bertempur. Sehari ia tidak makan
dan minum kecuali makan pagi. Karena itu, kini terasa, betapa ia lapar dan
haus. Dengan demikian langkahnya pun
menjadi semakin lambat, bahkan kemudian ia berpikir,
“Apakah tidak
lebih baik aku beristirahat? Besuk apabila hari menjadi terang, aku pasti akan
dapat menemukan sarang mereka.” Namun kemudian timbullah pikirannya yang lain,
“Tetapi di
siang hari kedatanganku pasti segera diketahui oleh mereka. Padahal besok
sebelum malam aku harus sudah melaporkannya kepada Kakang Untara.”
Agung Sedayu
menjadi bimbang. Akhirnya, Betapapun letihnya, Betapapun haus dan lapar, ia
berjalan terus. Ia mengharap dapat menemukan tempat itu, kemudian ia mengharap
hujan turun supaya ia mendapatkan air untuk minum.
“Tetapi
apabila hujan turun, aku akan kehilangan jejak. Dan mungkin aku tidak akan
dapat kembali menemukan jalan ini,” pikirnya.
“Ah, aku harus
membuat tanda-tanda sendiri,” desisnya tiba-tiba.
Agung sedayu
itu pun segera menarik pedangnya. Ia
ingin membuat tanda-tanda yang lebih jelas dengan pedang itu, supaya besok ia
tidak tersesat pulang apabila hujan menghapuskan jejak-jejak yang ditinggalkan
oleh orang-orang Jipang. Apabila daun-daun yang tersibak itu akan menjadi kabur
karena hujan, dan karena daun-daun itu ditundukkan oleh air hujan yang lebat.
Dengan
pedangnya, Agung Sedayu membuat goresan-goresan yang dalam pada batang-batang
pepohonan, dan memotong dahan-dahan yang agak besar. Membuat tanda-tanda dengan
menancapkan beberapa potong kayu di tanah dan berbagai macam yang lain dengan
sangat teliti, supaya suaranya tidak mengganggu ketenangan malam di dalam hutan
itu. Ketika kemudian terdengar burung hantu di kejauhan, kembali leher Agung Sedayu
meremang. Burung hantu mempunyai kesan yang khusus bagi yang mendengarnya.
“Ah,” katanya
di dalam hati,
“suara itu
adalah suara burung hantu. Ia tidak dapat bersiul dengan cara yang lain,
seperti burung kepodang misalnya.” Namun meskipun demikian, setiap bunyi burung
itu, terasa sebuah ketukan di jantungnya.
Tetapi Agung
Sedayu itu tiba-tiba tertegun. Ia mendengar sebuah suara yang lain. Bukan suara
burung hantu. Perlahan-lahan, namun terus menerus. Agung Sedayu itu pun berhenti. Diperhatikannya suara itu
dengan saksama. Suara itu bukan suara binatang. Tetapi suara itu adalah suara
seseorang. Agung sedayu menarik nafas. Pedangnya masih di dalam genggamannya,
dan dengan ujung pedang mendatar setinggi perutnya ia berjalan dengan sangat
hati-hati. Dengan penuh kewaspadaan ia mengamat-amati keadaan. Mencoba
menangkap setiap suara dan melihat setiap gerak. Namun keadaan di hutan itu
terlampau sepi. Dan suara itu masih saja, didengarnya. Agung Sedayu itu pun kemudian berhenti. Semakin lama, semakin
jelas, bahwa suara itu adalah suara rintihan seseorang.
“Siapa?” desis
Sedayu di dalam hatinya.
Tetapi Agung
Sedayu tidak segera mendekatinya. Ia tidak tahu pasti apa yang telah terjadi.
Apakah suara itu suara rintihan seseorang yang terluka dalam suatu perkelahian?
Kalau demikian maka lawan orang itu pasti masih ada di sekitarnya dalam keadaan
yang baik. Tetapi bagaimana kalau karena sebab lain?
Agung Sedayu
itu pun kemudian malahan mencoba mencari
perlindungan di belakang dedaunan. Mungkin sesuatu terjadi. Namun beberapa saat
kemudian rintihan itu masih saja didengarnya. Selain itu, sepi sehingga Agung
Sedayu itu menjadi tidak sabar.
Meskipun ia
tidak kehilangan kewaspadaan, namun ia berusaha mendekatinya. Perlahan-lahan,
menyusur gerumbul-gerumbul yang cukup pekat. Agung Sedayu masih cukup sadar,
bahwa bahaya mungkin akan menerkamnya dengan tiba-tiba. Karena itu, maka setiap
gerak selalu disertai dengan kesiagaan tertinggi. Tetapi suara itu masih saja
didengarnya. Terus menerus dan dari arah yang sama. Maka dengan tidak banyak
kesukaran Agung Sedayu kemudian berhasil mendekatinya. Ketika Agung Sedayu
telah berada beberapa langkah saja dari suara itu. Agung sedayu berhenti. Ia
kini berada di dalam sebuah gerumbul kecil. Sekali-sekali terasa tubuhnya
tersentuh beberapa macam tumbuh-tumbuhan berduri. Namun ia berdiri saja tidak
bergerak. Bahkan ia mencoba menguasai suara pernafasannya. Dan suara itu masih
saja didengarnya. Sebuah rintihan yang panjang. Terus menerus tidak
henti-hentinya. Ketika Agung Sedayu mencoba mengamati keadaan di sekelilingnya,
maka tiba-tiba dilihatnya orang itu. Orang yang merintih-rintih dengan
pedihnya.
Dalam
keremangan. malam, Agung sedayu melihat tubuh orang itu tergolek di tanah, di
antara pohon-pohon perdu. Sesaat Agung Sedayu masih tegak di tempatnya. Ia
masih ragu-ragu, apakah orang itu benar merintih karena sesuatu penderitaan
jasmaniah, atau karena sebab-sebab lain. Bahkan dalam keadaan serupa itu, Agung
Sedayu dapat berprasangka bahwa orang itu sebenarnya sama sekali tidak
menderita apapun; namun dengan sengaja telah memancingnya untuk mendekat.
Adalah berbahaya sekali apabila tiba-tiba orang itu menyerangnya selagi ia
kehilangan kewaspadaan. Namun suara orang itu selalu menyentuh-nyentuh
perasaannya. Rintihan itu terdengar sedemikian pedihnya. Bahkan beberapa kali
ia mencoba untuk memanggil beberapa nama. Tetapi Agung Sedayu tidak begitu
jelas mendengarnya. Akhirnya Agung Sedayu, yang perasaannya mudah tergetar
karena bermacam-macam hal dan keadaan; menjadi tidak sabar lagi.Seakan-akan ia
melihat seseorang yang sedang bergulat melawan maut. Itulah sebabnya, maka
dengan sangat hati-hati ia melangkah maju lagi. Pedangnya terjulur lurus-lurus
ke arah tubuh yang terbaring itu. Setiap gerakan akan cukup menjadi alasan
untuk sekali loncat dan pedangnya akan membenam di tubuh itu. Tetapi tubuh itu
terbaring diam. Hanya suara rintihannya sajalah yang terdengar menggamit hati. Ketika
jarak orang itu tinggal beberapa langkah lagi, Agung sedayu berhenti.
Ditatapnya tubuh yang tergeletak itu dengan saksama. Namun dalam keremangan
malam, ia sama sekali tidak dapat mengetahui, apakah ada sesuatu cedera
jasmaniah pada orang itu.
Dalam keadaan
yang penuh dengan keragu-raguan dan ketegangan terdengar Agung Sedayu berdesis,
“Siapa kau,
dan kenapa kau terbaring di situ?”
Orang yang
merintih itu agaknya mendengar suaranya. Dengan suara yang parau dan tertahan-tahan
ia menyapa lirih,
“Siapakah
kau?”
“Aku bertanya
siapa kau?” sahut Agung Sedayu curiga.
Agung Sedayu
melihat orang itu bergerak. Selangkah ia meloncat surut, dan pedangnya terjulur
lurus ke depan. Namun orang itu tidak bangkit dan suara rintihannya kembali
terdengar.
Tetapi Agung
Sedayu masih saja dicengkam kebimbangan, karena ia belum memliki pengalaman
yang cukup menghadapi berbagai keadaan yang belum dikenalnya.
Yang terdengar
kemudian adalah desis yang sayu,
“Aku hampir
mati karena lukaku. Apakah kau dapat memberi aku air?”
“Air?” ulang
Agung Sedayu.
“Ya,
kerongkonganku serasa kering.”
Agung Sedayu
menyadi bingung, Darimana ia mendapatkan air, sedang ia sendiri haus bukan
main. Karena itu maka jawabnya,
”Sayang. Aku
tidak tahu kemana aku harus mencari air.”
“Oh,” orang
itu mengeluh, lalu katanya,
“siapakah
kau?”
“Kau siapa?
Dan kenapa kau terluka?
“Prajurit
Pajang lah yang telah melukai aku.”
Dada Agung
Sedayu berdesir. Cepat ia dapat mengambil kesimpulan, bahwa orang itu adalah
orang Jipang. Tetapi kenapa ia terbaring sendiri di tengah-tengah hutan ini?
Apakah ini bukan sekedar pancingan untuk menjebaknya. Tetapi Agung Sedayu telah
terlanjur berdiri didekat orang itu, karena itu maka ia bertanya pula,
“Hem. Kenapa
kau dilukainya?”
Orang yang
terbaring itu menjawab sayup-sayup,
“Kami sedang
berperang. He, siapakah kau? Apakah kau bukan kawan kami?”
Agung Sedayu
berbimbang sesaat. Kemudian jawabnya,
”Bukan.”
“Oh, apakah
kau orang Pajang? Kalau begitu selesaikan pekerjaanmu. Bunuhlah aku dari pada
aku tersiksa di sini?”
“Kemana
kawan-kawanmu?”
“Aku tidak
tahu. Aku berjalan di ujung belakang karena lukaku, sehingga tubuhku menjadi
sangat lemah. Ketika aku terjatuh di sini, tak seorang pun yang melihatnya.”
Agung Sedayu
terdiam sesaat. Dicobanya untuk mengurai persoalan yang dihadapinya itu. Namun
kata-kata orang yang terbaring itu masuk diakalnya. Meskipun demikian ia tidak
dapat segera mempercayainya. Maka kembali ia bertanya,
“Orang manakah
kau? Dan kenapa kau berperang dengan orang Pajang?”
Orang itu
tidak segera menyawab. Dicobanya untuk bergerak, tetapi kemudian terdengar ia
mengeluh panjang,
“Aku sudah
tidak dapat menggerakkan tubuhku sama sekali. Darahku sudah terlampau banyak
mengalir. Karena itu aku tidak perlu merahasiakan diriku lagi. Aku adalah
prajurit Jipang. Apakah kau bukan orang Pajang?”
Kembali Agung
Sedayu terdiam sesaat. Bagaimana ia harus menyawab pertanyaan itu. Namun
sehelum ia menyawab, terdengar suara lemah dan parau dari orang yang terbaring
itu,
“Kalau kau
orang Pajang kau pasti tahu, kenapa kami berperang melawan prajurit Pajang.”
Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk menenangkan hatinya. Baru kemudian
menjawab,
“Ya. Aku
memang orang Pajang.”
Orang yang
terbaring itu menggeram. Kemudian katanya,
“Bagus. Kenapa
kau bertanya segala macam sebab peperangan ini? Kau hanya berpura-pura untuk
memancing pendirianku. Sekarang bunahlah aku daripada aku menderita.”
“Ki Sanak,”
berkata Agung Sedayu kemudian,
“kenapa
kawan-kawan mu tidak menolongmu?”
“Apa
kepentinganmu menanyakan itu? Bukankah kau telah membunuh kawan-kawanku pula.
Sekarang apa yang kau tunggu lagi? Hadiahmu akan bertambah sehelai kampuh
karena kau berhasil membunuh seorang lagi dari antara kami.”
“Jangan
berkata begitu.”
“Kenapa?”
“Di dalam
peperangan kita saling membunuh. Itu bukan kemauan kita orang seorang. Tetapi
kita dihadapkan pada suatu keadaan yang tak dapat kita hindari. Bukankah kau
merasakannya juga.”
Terdengar
nafas orangyang terbaring itu terengah-engah. Ruparupanya di dalam dadanya
yang semakin lemah itu telah menyala api kemarahan yang membakar segenap darah
dagingnya.
“Persetan,”
geramnya. Namun terdengar suaranya menjadi semakin dalam,
“Sekarang
bunuhlah aku supaya aku tidak membunuhmu. Bukankah di dalam peperangan hanya
ada satu pilihan dari dua kemungkinan, membunuh atau dibunuh?”
“Kita sekarang
tidak berada dalam peperangan. Kita dapat menemukan kemungkinan yang lain,”
sahut Agung Sedayu.
“Kenapa kau
mengingkari tugasmu sebagai seorang prajurit? Bunuhlah musuhmu. Habis perkara.”
“Seorang
prajurit bukanlah seorang manusia yang biadab. Prajurit harus memiliki sifat
kejantanan, namun harus memiliki pula sifat-sifat ksatria.”
Agung Sedayu
berhenti sesaat. Ketika orang yang terbaring itu tidak menyahut, maka
diteruskannya,
“Seorang
kesatria harus memiliki pengabdian yang lengkap. Bukan saja pengabdian
lahiriah. Pengabdian kepada tanah tumpah darah, kepada kampung halaman, tetapi
harus juga memiliki pengabdian rohaniah. Pengabdiannya kepada tanah tumpah
darah, kepada kampung halaman harus dilambari atas pengabdian dan kebaktiannya
kepada Sumber hidupnya dan kepada kemanusiaan.”
“Jangan
sesorah. Aku tidak dapat mendengar lagi,” sahut orang itu terbata-bata,
“kalau benar
kau memiliki sifat-sifat yang tajam dalam pengabdianmu atas kemanusiaan, kenapa
kau tidak membunuh aku? Supaya aku tidak menderita?”
“Kau belum
mati. Setiap nyawa yang masih melekat ditubuhnya masih ada kemungkinan untuk
hidup terus. Kalau aku membunuhmu dengan dalih kemanusian, maka kemanusiaan
yang demikian adalah kemanusiaan yang tidak berpijak pada Sumber Hidupnya,
kepada Tuhannya.”
“Dalam
peperangan kau juga membunuh”
“Bukankah kita
membunuh karena kita ingin menghindarkan pembunuhan yang lebih besar? Kita
membunuh dalam batas-batas peri kemanusiaan. Sebab kita mempunyai keyakinan
bahwa kita sedang mempertahankan unsur kemanusiaan yang lebih besar. Kita
menghindarkan pembunuhan yang bakal terjadi karena perbuatan lawan kita atas
kami dan keluarga kami. Meskipun cara yang dipergunakan berbeda-beda. Bahkan
pembunuhan dengan cara perlahan-lahan adalah lebih mengerikan. Kalau musuh kita
merampas segala milik kita, menindas kita dan memperlakukan kita di luar batas
peri-kemanusiaan, itu adalah sama kejamnya dengan pembunuhan itu sendiri.
Penghisapan, pemerasan, dan pengingkaran atas keadilan dan kebenaran sejati.”
Orang yang
terbaring itu tidak menyahut.
“Ki Sanak.
Lukamu agak parah. Kau tidak akan dapat barbuat sesuatu lagi bagi kami. Karena
itu aku tidak dapat membunuhmu. Tetapi aku tidak mempunyai alat dan cara untuk
menolongmu.”
Orang tu masih
terdiam.
“Bagaimana?”
Terdengar
keluhan yang panjang dari mulut orang yang terbaring ku. Kemudian katanya,
“Terserah
kepadamu. Kalau kau tidak mau membunuhku, aku tidak dapat memaksamu.”
“Kenapa
kawan-kawanmu meninggalkan kau sendiri?”
“Mereka tidak
mengetahuinya. Aku terjatuh jauh di belakang mereka. Dan suaraku tidak cukup
keras untuk memanggil mereka.”
“Apakah mereka
belum lama lewat di sini?”
“Belum.”
“Apakah paman
Sumngkar juga baru saja lewat di sini?”
“Sumangkar? la
adalah juru masak kami, ia tinggal di perkemahan.”
Agung Sedayu
mengerutkan keningnya. Meskipun tidak diketahuinya, apakan benar kata orang itu
bahwa Sumangkar seorang juru masak, namun menurut orang itu ternyata ia belum
lewat tempat ini. Karena itu, maka kembali Agung Sedayu berdebar-debar. Kalau
saja Sumangkar itu lewat dan melihatnya, apakah katanya? Tetapi kembali timbul
keragu-raguannya. Sumangkar sudah berjalan lebih dahalu, apalagi ia seorang
sakti yang telah mengenal daerah dengan baik. Mustahil kalau Sumangkar dapat
dilampauinya.
Maka kemudian
ia bertanya,
“Apakah ada
jalan lain keperkemahanmu selain jalan ini?”
“Ada seribu
jalan.”
“Kenapa
seribu?”
“Seribu jalan atau
tak ada jalan sama sekali. Semua arah dapat dilalui. Semua arah merupakan hutan
yang pepat.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Semua kata-katanya masuk akal baginya. Terasa
orang yang telah terluka itu berkata seadanya. Seakan-akan tak adayang
disembunyikannya lagi. Meskipun demikian Agung Sedayu tetap tidak kehilangan
kewaspadaan. Perlahan-lahan ia mendekatinya. Dan sekali lagi ia mendengar orang
itu mengerang,
“Aku sangat
haus.”
Timbullah iba
yang dalam di hati Agung Sedayu. Tetapi apa yang akan dilakukannya? Ketika ia
melangkah semakin dekat. Ujung pedangnya sama sekali tidak bergeser dari arah
tubuh orang yang terbaring itu. Agung Sedayu kemudian melihat sesuatu terletak
di sampingnya. Sebatang tombak. Agaknya tombak itu adalah senjatanya.
“Kau tak perlu
bersiaga,” desah orang itu,
“aku tidak
kuat lagi mengangkat tombakku. Ambillah dan tusukan kedadaku. Aku sudah tidak
mampu melawan.”
“Tidak,” sahut
Sedayu. Namun pedangnya tidak juga menunduk.
Orang itu
mengeluh. Dan keluhan itu telah membuat hati Agung Sedayu semakin
berdebar-debar karena ibanya. Dalam pada itu kebimbangan di dadanya menjadi
kian melonjak-lonjak. Tetapi semakin dekat, Agung Sedayu dapat merasakan,
betapa nafas orang itu terengah-engah. Perlahan-lahan erangnya menyentuh hatinya.
“Apakah lukamu
parah?”
“Hampir
mencabut nyawaku. Aku ingin itu lekas terjadi.”
“Jangan,”
potong Agung Sedayu.
Orang itu
tidak menyawab. Dalam keadaan yang tegang Agung Sedayu mencoba mencari jalan
untuk dapat menolong orang itu. la kini telah menemukan jejak yang dapat
membawanya keperkemahan orang-orang Jipang. Kalau ia dapat menolong orang ini,
membawanya menepi dan keluar dari hutan ini: mungkin orang ini akan tertolong.
Seterusnya ia dapat meninggalkannya di tepi hutan setelah diberinya minum, atau
menyerahkannya kepada kawan-kawannya apabila masih ada yang dapat dijumpai di
bekas-bekas pertempuran. Mereka yang bertugas merawat orang yang terluka. Tetapi
kemudian ia menjadi ragu-ragu. Bagaimana kalau dengan demikian tugasnya
terlambat. Bagaimana kalau kemudian hujan yang lebat menghapus bekas-bekas
jejak orang-orang Jipang, sehingga ia tidak dapat menemukannya lagi?
Bagaimanakah kalau perintah yang harus dilakukannya itu gagal? Agung Sedayu
menjadi bimbang. Disatu pihak ia merasa wajib melakukan tugasnya, namun dilain
pihak ia merasa wajib menolong jiwa yang sedang berjuang melawan maut. Dalam
keragu-raguan itu Agung Sedayu bahkan berdiri saja di tempatnya seperti patuhg.
Sekali-sekali ia ingin meneruskan perjalannya, namun sesaat kemudian rintih orang
yang terluka itu seakan-akan menggores dalam di jantungnya. Dalam kegelapan
malam Agung Sedayu mencoba memperhatikan tubuh itu sebaik-baiknya. Bahkan
kemudian ia melangkah semakin dekat lagi.
“Kau ingin
melihat luka itu ?” desah orang yang terbaring itu.
Tanpa
sesadarnya Agung Sedayu berkata, “Iya.”
“Mendekatlah.
Lambungku sobek karena tusukan tombak orang Pajang.”
Agung Sedayu
mendekatkan wajahnya. Pedangnya kini bahkan telah melekat di dada orang itu.
Sehingga akhirnya ia dapat melihat luka itu. Benar-benar sebuah luka yang
parah. Darahnya masih saja mengalir tak henti-hentinya. Karena itu, maka
tiba-tiba ia menggeser pedangnya, dan meraba luka itu dengan sebelah tangannya.
Orang itu
mengeluh. Dan keluhan itu telah membuat hati Agung Sedayu semakin berdebar-debar
karena ibanya.
Dalam pada itu
kebimbangan di dadanya menyadi kian melonjak-lonjak. Ketika ia sibuk
mempertimbangkan keputusan yang akan di ambilnya, maka hutan itu menjadi sepi.
Betapapun orang yang terbaring itu mencoba menahan diri, namun masih juga
terdengar ia mengeluh.
“Aku sangat
haus,” katanya.
“Di sini tidak
ada air,” sahut Sedayu.
Orang itu
terdiam. Agung Sedayu pun terdiam pula.
Namun
tiba-tiba Agung terkejut. Ia mendengar gemerisik daun di sampingnya. Cepat ia
menegakkan pedangnya. Dengan satu loncatan ia telah tegak di atas kedua kakinya
yang kokoh. Pedangnya telah siap menghadapi setiap kemungkinan yang bakal
terjadi. Gemerisik dedaunan itu masih didengarnya. Bahkan semakin jelas. Dan
tiba-tiba ia melihat sesosok tubuh muncul dari dalam rimbunnya dahan perdu.
Bukan sesosok tubuh saja, tetapi sesosok orang lain tergantung di pundaknya.
“Paman
Sumangkar,” desis Agung Sedayu.
Sumangkar
memandangi Agung Sedayu dengan tajamnya. Seakan-akan mata itu dapat menyala di
dalam gelap. Dari sela-sela bibirnya terdengar ia menggeram,
“Angger Agung
Sedayu, kenapa angger berada di tempat ini?”
Agung Sedayu
menjadi bimbang. Bagaimana ia harus menjawab pertanyaan itu ? Karena itu untuk
sesaat ia berdiam diri. Namun keringat dinginnya telah membasahi seluruh
tububnya. Dalam pada itu terdengar Sumangkar berkata perlahan-lahan,
“Aku sudah
menyangka, bahwa seseorang pasti akan mengikuti jalanku.”
Agung Sedayu
masih berdiri kaku tegang di tempatnya, seakan-akan anak muda itu membeku.
Namun tanpa dikehendakinya sendiri pedangnya perlahan-lahan terangkat dalam
genggamannya yang semakin kuat.
Yang terdengar
adalah suara Sumangkar,
“Ternyata
dugaanku tepat. Malahan angger Agung Sedayu sendiri yang telah mendapat
kehormatan mengikuti jejakku. Namun agaknya angger terlalu tergesa-gesa. Angger
tidak mencari jejakku, tetapi angger telah terjerumus ke dalam bekas-bekas
jejak orang-orang Jipang yang mengundurkan diri.”
Agung Sedayu
menggigit bibirnya, ia melihat bahaya menghadang di hadapanya. Namun sejak ia
berangkat, ia telah menyadari tugasnya. Tugas itu sangat berat. Tugas untuk
mengikuti seorang sakti seperti Sumangkar. Ternyata bahwa bukan ia yang
mengikuti orang itu tetapi sebaliknya, Sumangkar lah yang telah mengikutinya.
Namun semuanya sudah terjadi. Kini ia sudah langsung berhadapan dengan bahaya. Terasa
dada Agung Sedayu berdesir.
“Tetapi
agaknya Angger Agung Sedayu menganggap bahwa tak ada bedanya mengikuti jejakku
atau jejak prajurit Jipang itu. Memang sebagian anggapan Angger benar, karena
Angger pasti akan sampai pula di perkemahan kami.”
Agung Sedayu
masih berdiri mematung. Sepatah kata pun ia belum menjawab. Karena Agung Sedayu
masih berdiam diri, kembali terdengar suara Sumangkar,
“Nah, Ngger,
apakah Angger masih tetap akan meneruskan usaha Angger untuk menemukan tempat
itu?”
Terdengar
Agung Sedayu menggeram. Pertanyaan itu benar-benar memusingkan kepalanya. Ia
mendapat tugas untuk melihat dengan mata kepala sendiri perkemahan itu.
Menelusuri jalan-jalan yang dapat dilalui, bukan saja bagi dirinya sendiri,
tetapi bagi seluruh kekuatan pasukan Pajang. Kakaknya agaknya kurang puas
dengan laporan-laporan yang telah diterimanya mengenai perkemahan itu, sehingga
salah seorang kepercayaannya harus sempat mengetahui kebenarannya. Namun apakah
di hadapan Sumangkar ia dapat mengatakan yang sebenarnya. Dalam kebimbangan itu
terdengar Sumangkar mendesak,
“Bagaimana?”
Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam. Diaturnya debar jantungnya, ketika ia menjadi agak
tenang maka ia menjawab,
“Aku telah
menerima perintah itu, dan aku harus melakukannya. Kecuali kalau hal itu tidak
mungkin aku lakukan.”
“Apakah
menurut penilaian Angger, Angger akan mungkin melakukannya?”
“Aku tidak
tahu, tetapi aku harus mencoba.”
“Apakah Angger
tidak menyadari, bahwa aku adalah salah seorang dari penghuni perkemahan itu?”
“Ya.”
“Bahwa aku
akan dapat membunuh Angger Sedayu dengan mudah apabila aku mau.”
“Ya.”
“Nah, sekarang
apakah Angger masih tetap dalam pendirian Angger untuk berjalan terus?”
Dada Agung
Sedayu bergolak. Ia adalah seorang anak muda yang pada dasarnya tidak senang
cepat mati. Bahkan demikian takutnya Agung Sedayu kepada kematian itu, sehingga
ia pernah mengalami suatu masa yang sangat memalukan. Namun kini, betapa ia
tidak ingin mati, tetapi terasa sesuatu yang bergelora di dalam dadanya. Tugas
yang diberikan oleh kakaknya, seakan-akan sedemikian berat membebani diri dalam
pertanggung-jawaban atas kehormatannya. Karena itu, maka pertanyaan Sumangkar
itu tiba-tiba telah membakar jantungnya. Dengan wajah yang menyalakan tekad yang
membara di dalam dadanya terdengar Agung Sedayu mendjawab,
“Paman
Sumangkar, aku telah berangkat melakukan tugas atas perintah Senapati Pajang
yang di tempatkan di daerah ini, dan aku telah menyanggupkan diri untuk
melakukannya. Karena itu, aku harus berjalan terus. Kalau aku harus terbunuh
dalam tugas ini, maka itu adalah salah satu akibat yang selalu dapat terjadi
atas seseorang yang sedang melakukan kewajiban yang penting.”
Jantung
Sumangkar berdentangan mendengar jawaban itu. Bahkan terasa mulutnya menjadi
gemetar, sehingga kata-katanya pun
gemetar pula, karenanya.
“Angger, kau
telah membuat aku bingung.”
Agung Sedayu
berdiam diri. Namun ia cukup bersiaga.
“Aku menyesal
bahwa aku mengintip terlalu lama di belakang gerumbul, sehingga aku melihat bagaimana
Angger telah berbuat atas salah seorang kawanku ini.”
Tanpa
disengaja Agung Sedayu berpaling ke arah orang itu yang masih nampak mengerang,
Betapapun ia mencoba menahan sakitnya.
“Orang itu
benar-benar terluka,” katanya di dalam hati.
“Kalau apa yang
dilakukan itu hanya sekedar pancingan, maka setelah paman Sumangkar hadir di
tempat ini ia tidak perlu masih harus berbaring di tanah yang lembab dan kotor
itu.”
Tetapi yang
didengarnya adalah kata-kata Sumangkar,
“Kalau aku
tidak melihat, apa yang telah Angger lakukan dan Angger katakan kepada orang
yang terluka ini, maka aku tidak usah berpikir terlampau panjang, mungkin
Angger telah terbunuh saat ini karena Angger telah mencoba memata-matai aku.”
Gelora di
dalam dada Agung Sedayu pun menjadi
semakin keras dan ia mendengar Sumangkar berkata terus.
“Kenapa Angger
tidak mau membunuh atau membinasakan saja orang itu, supaya aku tidak ragu-ragu
melakukan perbuatan serupa atas Angger. Kenapa Angger tidak membelah dadanya
dan menyilang punggungnya dengan pedang seperti yang pernah dilakukan oleh
Angger Sidanti atas Plasa Ireng dahulu?”
Agung Sedayu
masih terbungkam. Yang terdengar hanyalah gemeretak giginya karena berbagai
perasaan yang bergelut di dalam dadanya. Sejenak mereka terdiam. Sumangkar
berdiri termangu-mangu dengan Tohpati masih di pundaknya. Agung Sedayu tegak,
seperti patung seorang prajurit yang siap menusukkan pedang di lambung
lawannya. Sedang di sampingnya masih terbaring seorang yang luka parah sambil
mengerang kesakitan. Angin malam yang dingin perlahan-lahan mengusik tubuh
mereka. Daun-daun yang bergetaran membuat suara gemerisik, seperti suara orang
yang saling berbisik di antara batang-batang yang tegak berserak-serak.
Yang terdengar
kemudian adalah suara orang yang terluka itu perlahan-lahan,
“Apakah kau
Sumangkar juru masak itu?”
“Ya, aku
Sumangkar juru masak.”
“Apa kerjamu
di sini?”
“Tidak
apa-apa.”
Orang itu
mengerang kembali. Kemudian katanya,
“Apa kau dapat
menolong aku?”
Sumangkar
tertegun sejenak. Dan orang itu berkata terus,
“Rupa-rupanya
kau sedang membujuk prajurit Pajang itu untuk membunuhku Sumangkar, kalau kau
dapat usahakanlah. Aku memang sudah tidak akan dapat sembuh.”
“Tidak.”
Tiba-tiba
terdengar suara Agung Sedayu meledak. Suara itu seakan-akan dilontarkannya
dengan serta merta untuk melepaskan tekanan-tekanan yang selama itu menghimpit
dadanya. Sumangkar terkejut mendengar teriakan itu. Bahkan orang yang sudah
terbaring itu pun terkejut. Sekali ia menggeliat namun kemudian kembali
terdengar keluhnya semakin pedih dan melambat.
“Paman
Sumangkar,” berkata Agung Sedayu lantang,
“lakukanlah
apa yang akan kau lakukan, kalau kau akan mencoba membunuhku cobalah. Kalau aku
mati terbunuh cepatlah terjadi. Kalau aku mampu menyelamatkan diriku biar
segera terjadi pula. Kemudian salah seorang dari kita akan mendapat kesempatan
untuk menolong orang ini.”
Yang terdengar
adalah tarikan nafas Sumangkar. Bahkan kemudian terdengar ia mengeluh,
“Hem, kenapa
Angger Agung Sedayu yang mendapat tugas ini.”
“Apa bedanya?”
“Baiklah,”
berkata Sumangkar sambil mengangkat wajahnya.
“Aku adalah
seorang prajurit. Aku tidak boleh tenggelam dalam kebimbangan perasaanku. Aku
harus dapat mengendalikan perasaanku dengan nalar. Karena itu, maka
bagaimanapun juga Angger Agung Sedayu harus tidak dapat mengikuti jejakku
maupun jejak para prajurit Jipang.”
“Aku sudah
bersiap,” sahut Agung Sedayu dengan tatagnya,
“apa pun yang
akan kau lakukan.”
Terdengar
Sumangkar menggeram. Namun ia tidak beranjak dari tempatnya. Jantungnya terasa
berdentangan dan otaknya diamuk oleh kebimbangan dan keragu-raguan. Sebagai
seorang prajurit ia tidak dapat mengorbankan pasukannya terjebak dalam
perangkap lawan. Namun sebagai manusia, ia tidak dapat berbuat apa-apa atas
Agung Sedayu setelah ia melihat dan mendengar bagaimana anak muda itu bersikap
dan berpendirian terhadap salah seorang prajurit Jipang. Kembali mereka
terdampar dalam keheningan yang semakin tegang. Angin malam terdengar seperti
suara gemerisik, seolah-olah suara tarikan nafas berpuluh-puluh, bahkan
beratus-ratus orang yang sedang mengintai kedua orang yang berdiri kaku di
tempat masing-masing. Namun tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara orang yang
luka parah itu, meskipun sangat perlahan-lahan,
“Aku haus.
Air. Air.”
Dada Agung
Sedayu tersentak mendengar keluhan itu. Suara itu langsung menyentuh dadanya.
Sehingga sesaat ia berjuang untuk mengatasi perasaannya, namun terloncat pula
kata-katanya.
“Orang itu
perlu air.”
Sumangkar
mengangguk
“Ya, ia sangat
memerlukan air.”
Tetapi
keduanya tidak tahu, bagaimana cara untuk menolongnya sebab masing-masing
sedang terikat dalam kewajiban mereka sendiri-sendiri. Dalam ketegangan itu
tiba-tiba kembali mereka dikejutkan oleh suara gemerisik yang lain. Seperti
digerakkan oleh satu tenaga gaib, mereka berpaling, bahkan digerakkan oleh
naluri mereka masing-masing, maka segera mereka bersiap menghadapi setiap
kemungkinan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar