Jilid 055 Halaman 3


“Kau akan mengejar aku? Silahkan. Aku akan melihat apakah kalian masih mampu melangkahkan kaki?”
Wanakerti dan kedua kawannya yang sudah berhasil berdiri menggeretakkan giginya. Mereka sadar, bahwa mereka sudah tidak akan dapat lagi berlari seperti apabila mereka tidak sedang terluka. Namun demikian, Wanakerti masih mencoba berkata,
“Jangan merasa bahwa kau menang kali ini. Kau pun pasti tidak akan dapat lari secepat yang kau inginkan karena kau pun baru saja sadar dari pingsan yang panjang.”
“Tetapi, aku sudah merasa segar sekarang,” jawab orang itu,
“jauh lebih segar dari kalian yang sudah tidak mampu lagi berdiri tegak.”
“Persetan,” Wanakerti maju selangkah.
Orang itu mundur selangkah sambil berkata,
“Ha, kau akan mencoba mendekat? Sia-sia. Kau harus merelakan aku pergi sekarang ke mana aku suka. Di sekitar tempat ini tidak ada orang yang dapat membantumu. Orang-orang yang tinggal di barak sudah lari bercerai-berai. Mungkin mereka kembali ke barak atau bersembunyi di mana saja. Sedang ketiga orang, ayah dan anaknya itu, masih sibuk mengurusi mayat orang berkumis itu. Yang ada sekarang adalah kalian dan aku. Pemimpin kalian itu sama sekali sudah tidak dapat bangkit, dan kalian bertiga hanya mampu berjalan tertatih-tatih meskipun kalian berpedang.”
“Tetapi kami tidak akan membiarkan kau lari,” geram salah seorang kawan Wanakerti. Betapapun lemahnya, namun ia melangkah maju juga berpencaran, seolah-olah mereka akan mengepung orang berkumis itu.
Tetapi sikap para pengawas itu tampak sangat lucu di mata dukun yang telah berhasil melepaskan diri itu. Sambil tertawa ia berkata,
“Aku seakan-akan melihat tiga ekor siput merayap-rayap. Apakah kalian ingin berlomba lari? Aku memang tidak dapat lari setangkas kijang. Tetapi sudah pasti, jauh lebih cepat dari tiga ekor siput. Asal aku tidak dapat kalian tipu, maka aku pasti akan dapat menyelamatkan diri.”
Ketiga pengawas itu masih juga mencoba maju.
“Cukup,” berkata orang yang sudah berhasil melepaskan dirinya itu,
“kalian tidak usah merayap-rayap lagi. Aku sekarang akan lari. Lari jauh sekali melintasi hutan dan pegunungan. Tetapi itu akan jauh lebih baik daripada aku kalian serahkan kepada Ki Gede Pemanahan atau puteranya, Raden Sutawijaya.”
“Jangan lari. Mari kita berhadapan secara jantan.”
“Kali ini aku sama sekali tidak memerlukan sikap jantan itu. Aku lebih baik lari saja, meskipun kalian menganggap aku bersikap licik, betina atau segala macam istilah yang paling jelek dan menyakitkan hati. Tetapi aku tidak akan menjadi sakit hati kemudian karena harga diri aku berbuat bodoh melawan kalian. Sekarang, yang paling baik bagiku memang lari. Lari sejauh-jauhnya.”
Wanakerti menggeretakkan giginya. Tetapi ia memang tidak akan dapat mengejar orang itu. Apa pun yang dilakukan, maka ia sudah tidak berpengharapan lagi untuk menangkapnya. Karena itu ia hanya dapat mengumpat-umpat meskipun ia masih juga berusaha mendekati lawannya.
Tetapi yang terdengar kemudian adalah suara tertawa. Katanya,
“Lepaskan niatmu yang gila itu. Kalian tidak akan mampu menangkap aku kecuali ketiga orang yang menyusup di dalam lingkungan orang-orang yang membuka hutan itu datang kemari. Mereka adalah orang-orang gila yang berpura-pura,” orang itu berhenti sejenak. Lalu,
“Selamat tinggal. Mudah-mudahan kalian diterkam harimau lapar yang tersesat sampai kemari.”
“Gila! Anak setan!” Wanakerti yang menjadi marah bukan kepalang hanya dapat mengumpat-umpat saja. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa ketika orang itu kemudian memutar dirinya dan siap untuk berlari meninggal-kan mereka.
Tetapi Wanakerti dan kedua kawannya tiba-tiba saja terkejut bukan buatan. Ketika orang itu meloncat maju selangkah, tiba-tiba ia tertegun. Sejenak ia terhuyung-huyung, kemudian dengan wajah yang pucat pasi ia berpaling.
“Siapa, siapa yang telah melakukannya?”

Orang itu masih berdiri sejenak, namun kemudian tubuhnya mulai gemetar, akhirnya ia pun terjatuh di tanah. Wanakerti dan kedua kawannya menyaksikan hal itu dengan pandangan yang tidak berkedip. Sejenak kemudian ia sadar, apa yang telah terjadi. Ternyata pemimpin pengawas yang sangat lemah itu masih berhasil mengerahkan sisa-sisa tenaganya untuk melemparkan sebilah pisau kepada orang yang akan melarikan diri itu, tepat mengenai punggungnya meskipun tidak menghunjam terlampau dalam, karena tenaganya sudah tidak memungkinkan. Tetapi sentuhan yang panas seperti bara, kemudian perasaan sakit yang segera menjalar ke segenap tubuh disertai kekejangan yang perlahan-lahan mencengkamnya, dukun itu sadar, bahwa ia telah terkena racun yang kuat sekali. Itulah sebabnya ia menjadi bingung dan tidak tahu apa yang dilakukan, sedangkan racun itu terlampau cepat mengalir di dalam arus darah, beredar ke segenap tubuhnya. Ketika Wanakerti berpaling, memandang pemimpinnya, ternyata pemimpinnya itu sudah berbaring di tanah. Nafasnya terengah-engah dan matanya sudah separo terpejam.
“Kenapa kau?” bertanya Wanakerti sambil melangkah mendekatinya. Ia pun kemudian bersama kawan-kawannya berjongkok di sampingnya.
“Aku telah mencoba melepaskan seluruh sisa tenaga yang ada,” suara pemimpin pengawas itu menjadi serak.
“Aku melemparkan pisau itu kepadanya. Terpaksa sekali, karena tidak ada jalan lain untuk menangkapnya, meskipun kita sangat memerlukannya.”
“Ya, pisau itu mengenainya,” sahut salah seorang pengawas.
“Ia akan mati karena racun yang kuat. Tunggu dulu. Jangan kau sentuh orang itu. Tunggulah gembala tua beserta kedua anaknya itu. Mungkin mereka dapat memberikan nasehat kepada kalian.”
Wanakerti dan kawannya mengangguk. Namun ia tidak sempat bertanya lagi karena pemimpin pengawas itu kemudian jatuh pingsan. Sejenak kemudian ketiga pengawas yang telah menjadi sangat letih itu, kebingungan. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Mereka sama sekali tidak mengerti, bagaimana mereka harus menolong pemimpin mereka yang pingsan karena kehabisan tenaga itu. Sedang mereka sendiri pun rasa-rasanya hampir menjadi pingsan pula.
Wanakerti yang masih merasa paling baik di antara kawan-kawannya berkata,
“Tidak ada jalan lain. Aku akan memanggil gembala tua beserta kedua anak-anaknya itu. Aku mengharap bahwa mereka akan dapat membantu kita.”
“Ya, ternyata mereka pun memahami ilmu obat-obatan. Bahkan mungkin lebih baik dari dukun yang terbunuh itu,” sahut kawannya.
“Tunggulah kalian berdua di sini.”
Kedua kawannya itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun terasa tubuh mereka sendiri sudah tidak wajar lagi. Kadang-kadang mata mereka menjadi berkunang-kunang dan seolah-olah di telinganya terngiang suara berdesing yang berputaran tidak henti-hentinya. Demikianlah, maka Wanakerti pun segera berjalan tertatih-tatih mencari Kiai Gringsing beserta kedua muridnya, yang untunglah bahwa mereka masih berdiri tegak, menunggui mayat orang berkumis yang menjadi ajang pertarungan dua jenis racun.

“Mudah-mudahan aku berhasil,” berkata Kiai Gringsing,
“sehingga besok mayat itu dapat dikuburkan dengan baik.”
Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Baiklah, kita tinggalkan saja mayat itu. Sudah tentu kita tidak akan menungguinya sampai besok.”
“Lalu, kemana kita sekarang?” bertanya Swandaru.
“Kita pulang ke barak untuk sementara.”

Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepala mereka. Tetapi sebelum mereka beranjak dari tempat mereka, mereka melihat Wanakerti yang lemah berjalan tertatih-tatih mendekati mereka.
“Guru,” desis Agung Sedayu,
“kenapa Ki Wanakerti datang pula kemari?”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Katanya,
“Marilah, kita pergi mendapatkannya.”
Ketiganya pun kemudian berjalan dengan tergesa-gesa menyongsong Wanakerti yang sudah menjadi semakin lemah. Nafasnya terengah-engah dan wajahnya kian menjadi pucat.
“Kenapa Tuan kemari?” bertanya Kiai Gringsing.
Wanakerti menarik nafas dalam-dalam. Sekali, dua kali, seakan-akan ingin mengendapkan nafasnya yang melonjak-lonjak
“Panggil namaku, Wanakerti,” desisnya.
“Ternyata kalian adalah orang-orang aneh di sini.”
Kiai Gringsing tidak menyahut. Dibiarkannya Wanakerti berkata selanjutnya,
“Aku minta kalian datang ke gardu pengawas.”
“Kenapa?”
“Pemimpin kami pingsan.”
“O, kenapa?”
Dengan singkat Wanakerti menceriterakan apa yang sudah terjadi atas pemimpinnya dan atas dukun yang menjadi tawanannya itu.
“Jadi dukun itu terbunuh?” bertanya Kiai Gringsing.
“Ya.”
“Tidak ada harapan untuk diobati?”
“Aku kira ia sudah mati. Aku tidak berani merabanya, mungkin racun itu akan berpengaruh atas aku yang sudah terlampau lemah ini.”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Satu-satunya orang yang akan dapat memberikan keterangan mengenai teki-teki di daerah ini justru sudah terbunuh. Dengan demikian maka mereka telah kehilangan satu-satunya sumber keterangan mengenai rahasia yang selama ini menyelubungi daerah ini.
“Kami tidak sengaja membunuhnya,” berkata Wanakerti,
“tetapi agaknya memang lebih baik begitu daripada ia berhasil melarikan diri dan memberikan keterangan-keterangan kepada kawan-kawannya. Sebab aku yakin bahwa mereka tidak berdiri sendiri. Orang berkumis, kawan kami itu, agaknya orang yang bertanggung jawab di daerah ini.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Kita masih mempunyai dua orang. Tetapi mereka tidak akan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang penting. Mereka hanya tenaga yang diumpankan.”
“Siapa?”
“Orang yang tinggi kekar dan yang kekurus-kurusan itu.”
Wanakerti mengangguk-angguk pula. Tetapi ia pun sependapat bahwa keduanya pasti tidak akan banyak mengetahui tentang gerakan mereka sendiri.
“Baiklah,” berkata Kiai Gringsing.
“Kemudian bagaimana dengan pemimpinmu itu?”
“Ia jatuh pingsan setelah melontarkan pisau ke punggung orang yang berusaha melarikan diri itu.”
“Marilah kita lihat.”
Mereka pun kemudian berjalan perlahan-lahan ke gardu pengawas karena Wanakerti sudah menjadi kian letih dan lemah. Swandaru yang tidak telaten kemudian mendekatinya sambil berkata,
“Marilah, aku bantu kau berjalan.”

Wanakerti pun kemudian bergantung pada pundak Swandaru. Dengan demikian maka mereka pun dapat berjalan lebih cepat.
“Mereka yang pingsan segera memerlukan bantuan,” berkata Swandaru kemudian.
Wanakerti mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Terima kasih,” katanya.
Sejenak kemudian mereka pun telah sampai ke halaman gardu pengawas. Kiai Gringsing mengerutkan keningnya ketika dilihatnya, bukan saja pemimpin pengawas itu yang pingsan, tetapi salah seorang dari kedua pengawas yang tinggal, telah menjadi pingsan pula, sedang yang seorang lagi telah menjadi sangat lemah dan duduk di samping kawannya yang pingsan itu. Wanakerti pun menjadi cemas. Meskipun tubuhnya sendiri serasa tidak bertulang lagi, namun ia berusaha secepat-cepatnya menghampiri kawan-kawannya yang pingsan.
“Kenapa mereka, Ki Sanak?” Wanakerti bertanya kepada Kiai Gringsing yang sudah berjongkok pula di samping mereka yang sedang pingsan.
Kiai Gringsing tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah pengawas yang masih tetap sadar, meskipun menjadi lemah sekali. Pengawas itu seakan-akan dapat mengerti pertanyaan yang terbayang di mata Kiai Gringsing, sehingga ia menjawab,
“Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba ia pingsan.”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian bergumam,
“Kalian terlampau lelah.”
“Jadi, maksud Ki Sanak, mereka tidak terkena racun?” bertanya Wanakerti.
Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya.
“Tidak,” jawabnya,
“mereka tidak terkena racun yang lain. Pemimpinmu ini memang terkena racun, tetapi kekuatan racun itu sudah teratasi.”
Wanakerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kecemasan masih saja membayang di wajahnya. Dan ia pun bertanya pula,
“Tetapi apakah keadaan mereka tidak berbahaya?”
Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya.
“Tidak. Mereka hanya kehabisan tenaga.”
Kemudian Kiai Gringsing pun mulai meraba-raba tubuh para pengawas yang pingsan itu. Dikendorkannya ikat pinggang mereka, kemudian perlahan-lahan Kiai Gringsing menggerak-gerakkan tangan pemimpin pengawas itu, sedang Agung Sedayu melakukan hal yang sama pada pengawas yang lain.
“Swandaru,” berkata Kiai Gringsing,
“ambillah air dingin.”
Swandaru pun kemudian mengambil air kendi di dalam gardu pengawas. Oleh Kiai Gringsing, bibir mereka yang pingsan itu dibasahinya dengan titik-titik air yang dingin. Setitik demi setitik. Ternyata bahwa kesejukan air itu telah menyejukkan tubuh-tubuh yang lemah itu. Perlahan-lahan mereka mulai bergerak-gerak. Yang pertama-tama mereka lakukan adalah membuka mata mereka dan mencoba mengenali keadaan di sekelilingnya. Kemudian mereka mencoba mengingat-ingat apakah yang telah terjadi atas diri mereka masing-masing. Wanakerti menarik nafas dalam-dalam. Ternyata kedua kawannya yang pingsan itu sudah mulai menyadari dirinya. Bahkan pengawas yang seorang, telah berusaha untuk bangkit perlahan-lahan.
Sambil menggosok matanya ia memandang tubuh yang terbujur berapa langkah daripadanya,
“Ya, orang itu sudah mati.”
“Aku menyesal,” berkata Kiai Gringsing.
“Aku tidak melihat jalan lain,” pemimpin pengawas itulah yang menjawab.
“Ya. Agaknya keadaanlah yang sudah menentukan. Tetapi dengan demikian kita kehilangan sumber keterangan, dan kita masih tetap menghadapi suatu rahasia yang gelap.”
Pemimpin pengawas yang terluka itu pun kemudian mencoba mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya, dan berusaha untuk bangkit. Agung Sedayu yang melihatnya, segera menolongnya sehingga pemimpin pengawas itu pun kemudian duduk bersandar pada tangannya. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata,
“Badanku menjadi lemah sekali.”
“Beristirahatlah.”
Pemimpin pengawas itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Kami semua, para pengawas sama sekali sudah tidak berdaya lagi apabila ada sesuatu yang terjadi di sini saat ini. Aku sendiri rasa-rasanya sudah hampir mati, ketiga sisa orang-orangku pun agaknya sudah menjadi sangat letih.”
“Untuk sementara tidak akan ada apa-apa lagi. Untuk sementara,” sahut Kiai Gringsing.
“Belum tentu. Berita kematian kedua orang itu akan segera didengar oleh kawan-kawan mereka. Dan mereka akan segera mengambil tindakan.”
“Mungkin,” Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya,
“tetapi kematian mereka telah menutup segala kemungkinan kita di sini untuk menyelusur suatu kumpulan yang bagi kita sekarang masih merupakan suatu rahasia.”
Pemimpin pengawas itu mengangguk-angguk pula.
“Karena itu,” sambung Kiai Gringsing,
“justru keduanya terbunuh, maka kawan-kawan mereka akan berbuat dengan lebih berhati-hati. Seandainya salah seorang dari mereka masih hidup, mungkin ada usaha-usaha yang segera mereka lakukan untuk mengambil orangnya atau membinasakan sama sekali.”

Pemimpin pengawal itu masih mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Sekarang,” berkata Kiai Gringsing kemudian,
“marilah kita masuk ke dalam gardu pengawas. Agaknya gardu itu sepi.”
“Ya. Beberapa orang pembantu kami agaknya menjadi ketakutan dan bersembunyi. Aku kira mereka semua berkumpul di dalam barak.”
“Mereka harus ditenangkan.”
“Ya. Tetapi kami tidak dapat berbuat banyak saat ini.”
“Nantilah kita pikirkan. Marilah, kita masuk ke dalam.”
Swandaru dan Agung Sedayu pun kemudian ikut pula menolong, membimbing pengawas-pengawas yang masih sangat lemah itu, sedang Kiai Gringsing menolong pemimpin pengawas yang agak parah itu. Setelah mereka duduk di sebuah amben di dalam gardu, maka pemimpin pengawas itu berkata, “Ki Sanak. Meskipun aku belum tahu siapakah kau sebenarnya, tetapi aku telah mempercayaimu. Karena itu selama kami tidak dapat menjalankan tugas, maka terserahlah kepada kalian, apa yang sebaiknya kalian lakukan di sini.”
Tetapi Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya,
“Bukan begitu. Kau tetap memegang tugasmu. Kami akan membantu.” Kiai Gringsing berhenti sejenak lalu,
“Tetapi apakah tidak ada penghubung yang selalu datang kemari?”
Pemimpin pengawas itu termangu-mangu sebentar. Kemudian ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Ya. Setiap kali memang ada pengawas yang datang kemari dari pusat tanah yang baru dibuka ini. Tetapi baru dua hari yang lalu penghubung yang terakhir datang kemari, sehingga mungkin masih tiga empat hari lagi penghubung berikutnya akan datang.”
“Kitalah yang akan memberikan laporan,” sahut Wanakerti.
“Apakah kau mampu?” bertanya pemimpin pengawas itu.
“Aku mampu. Mungkin besok badanku akan terasa bertambah baik. Dengan seekor kuda, aku kira aku akan sampai.”
“Sendiri? Di dalam keadaan seperti ini, kau tidak boleh menganggap perjalanan ke pusat kota Mataram ini seperti sebuah tamasya yang menyenangkan.”
“Berdua atau bertiga.”
“Apakah kawan-kawanmu sudah siap untuk pergi? Mereka terlampau lemah.”
“Besok atau selambat-lambatnya lusa, kami sudah siap apabila penghubung dari pusat tanah Mataram belum juga datang,” sahut seorang pengawas.
“Atau,” sambung Wanakerti,
“barangkali kita dapat minta tolong kepada salah seorang dari Ki Sanak ini untuk menemani aku pergi ke Mataram.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya sejenak. Namun kemudian ia tersenyum sambil menyahut,
“Jangan di antara kami. Kami adalah orang-orang padesan yang sama sekali tidak mengerti unggah-ungguh.”
“Ah, kalian masih saja berpura-pura,” berkata pemimpin pengawas itu.
“Tetapi seandainya demikian itu pun sama sekali tidak akan mengganggu, salah seorang dari kalian hanya mengawasi selama perjalanan. Biarlah Wanakerti nanti yang menghadap pada pimpinan pengawal tanah ini.”
Tetapi Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya,
“Maaf. Kami akan membantu kalian apa saja yang dapat kami lakukan. Tetapi di sini. Tidak ke pusat pemerintahan dari tanah yang baru ini.”
“Kenapa?”
Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian,
“Kami benar-benar tidak pantas. Kami adalah orang-orang yang tidak tahu diri. Berilah kami pekerjaan di sini. Kami akan dengan senang hati melakukannya.”
Pemimpin pengawas itu merasa heran,
“Kenapa gembala itu berkeberatan apabila salah seorang dari mereka itu mengawasi salah seorang pengawas pergi ke Mataram. Banyak sekali dugaan yang melintas di kepalanya. Apakah benar mereka merasa tidak pantas menghadap pimpinan Pemerintahan Mataram, sehingga dengan demikian mereka merasa rendah diri? Atau mereka malas untuk melibatkan diri secara langsung di dalam persoalan ini, atau menurut pertimbangan mereka, jalan ke Mataram sama sekali tidak aman? Tetapi mustahil kalau mereka takut untuk menempuh perjalanan itu. Pasti mereka mempunyai alasan lain. Mungkin mereka memang merasa rendah diri, tetapi mungkin juga mereka segan untuk melibatkan diri langsung di dalam persoalan-persoalan pengamanan daerah yang baru dibuka ini.”
Karena itu maka pemimpin pengawas itu tidak mau memaksanya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata,
“Baiklah. Kalian akan mendapat tugas kalian di sini. Yang sebenarnya lebih tepat, kami akan minta tolong kepada kalian untuk membantu kami di sini.”
“Kami tidak akan berkeberatan,” jawab Kiai Gringsing.
“Selama ini kalian kami minta tinggal di gardu ini.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Baiklah. Tetapi aku kira saat ini orang-orang di barak itu menjadi tegang. Mereka harus ditenangkan.”
“Ya. Kami masih akan minta kepada kalian untuk menenangkan mereka.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Baiklah,” katanya, “aku akan pergi ke barak itu. Biarlah anak-anakku di sini. Aku akan membawa dua tiga orang untuk menguburkan mayat itu.”
“Apakah mayat itu tidak berbahaya?”
Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya,
“Racun yang menyerangnya langsung masuk ke dalam saluran darahnya. Berbeda dengan serbuk racun seperti yang membunuh pengawas yang berkumis itu.”
Pemimpin pengawas itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, aku minta diri untuk pergi ke barak. Biarlah anak-anakku menyelesaikan pekerjaan kalian di sini apabila memang diperlukan.”
“Ya. Aku berterima kasih.”
“Kalian berdua tinggal di sini. Aku kira untuk sementara tidak akan ada apa-apa lagi. Meskipun demikian, kau berdua jangan lengah,” berkata Kiai Gringsing kepada kedua muridnya.
“Baiklah,” jawab Agung Sedayu.
Namun Swandaru kemudian berkata,
“Apakah hari ini tidak ada rangsum?”
“Ah,” desah Agung Sedayu,
“tidak ada orang yang sempat masak pagi ini.”
“Mereka pasti sudah masak ketika keributan ini terjadi. Mungkin mereka belum sempat membungkusnya. Adalah kebetulan sekali apabila aku boleh membungkus sendiri.”
“Hati-hatilah, Swandaru,” berkata Kiai Gringsing,
“bersihkan tanganmu. Meskipun hanya sedikit sekali, kau pasti sudah bersentuhan dengan racun. Kalau begitu saja kau menyuap mulutmu dengan tanganmu, mungkin di dalam makanan itu akan ikut tertelan racun di tanganmu itu. Walaupun tidak membahayakan jiwa, tetapi pasti dapat menumbuhkan gangguan pada pernafasan dan syaraf. Nah, sebelum rangsum itu datang, bersihkan tangan dan tubuhmu.”
“Kapan rangsum itu akan datang?”
“Mungkin sore nanti,” Agung Sedayu-lah yang menyahut.

Swandaru berpaling. Namun kemudian ia bergumam di dalam mulutnya sehingga tidak seorang pun yang mendengar. Sejenak kemudian, maka Kiai Gringsing pun meninggalkan gardu itu, pergi ke barak untuk menenteramkan hati orang-orang yang ada di sana. Ternyata memang seperti yang diduganya, orang-orang di dalam barak itu pun telah dilanda oleh kebingungan, kecemasan dan ketakutan yang amat sangat. Bahkan ada di antara mereka yang lari dari pinggir arena perkelahian antara pengawas berkumis dengan Agung Sedayu, masih tetap bersembunyi. Mereka tidak berani menampakkan mereka karena mereka menyangka, bahwa orang berkumis itu benar-benar akan mengamuk dan membunuh setiap orang yang dijumpainya. Ketika Kiai Gringsing sampai ke barak, dilihatnya berapa orang yang ada di barak itu memandanginya seperti orang asing. Mereka duduk di sudut-sudut sambil mengerutkan leher mereka, bahkan ada di antara mereka yang telah membungkus semua milik mereka. Kiai Gringsing menjadi berdebar-debar karenanya. Ia tidak boleh salah langkah supaya orang-orang di dalam barak itu tidak menjadi semakin ketakutan. Karena itu, ketika ia memasuki barak itu, dicobanya untuk tersenyum. Namun senyumnya justru membuat orang-orang yang ada di dalam barak itu bertanya-tanya. Meskipun demikian ada sedikit kelegaan di hati orang-orang yang ada di dalam barak itu. Ternyata orang tua itu masih hidup. Dan ia datang ke barak itu dengan tenang. Hampir bersamaan tumbuhlah pertanyaan di setiap dada.
“Lalu kemanakah perginya orang berkumis itu?”
Kiai Gringsing agaknya mengetahui apa yang tersimpan di dalam hati orang-orang itu. Ia pun sadar, untuk menenangkan mereka, mereka harus tahu bahwa orang yang mereka takuti itu sudah tidak ada lagi. Karena itu, maka katanya,
“Sekarang kalian tidak perlu takut lagi. Aku yang hampir mati ketakutan, sekarang sudah dapat mengangkat kepala sambil tertawa.”
Beberapa orang saling berpandangan sejenak.
“Bukankah kalian takut kepada orang yang mengamuk dan mengancam akan membunuh kita semua itu?” bertanya Kiai Gringsing.
Tanpa disadarinya, beberapa orang menganggukkan kepalanya.
“Orang itu sudah tidak ada lagi.”
Orang-orang di dalam barak itu mengerutkan keningnya. Salah seorang yang duduk di sudut memberanikan diri untuk bertanya,
“Ke mana pengawas itu sekarang?”
“Ia sudah terbunuh.”
Sejenak ruangan itu menjadi sepi. Tetapi Kiai Gringsing sadar, bahwa sebagian dari mereka hampir tidak dapat mempercayainya.
“Orang itu terbunuh oleh racunnya sendiri. Ketika ia mengangkat bumbung racun itu tinggi-tinggi, ternyata racun itu sudah tumpah dan mengenai hidungnya, sehingga masuk ke jalur pernafasannya. Akhirnya justru ia mati oleh senjatanya sendiri.”
Kiai Gringsing melihat wajah-wajah yang menegang. Mereka saling berpandangan. Tetapi agaknya mereka tidak meyakini.
“Apakah kalian ingin melihatnya?”
Tidak seorang pun yang menjawabnya. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Agaknya ketakutan yang amat sangat memang telah melanda seisi barak itu.
“He,” berkata Kiai Gringsing kemudian,
“di manakah kawan-kawan yang lain? Apakah mereka pergi bekerja?”
Tidak ada jawaban. Dan Kiai Gringsing hanya menarik nafas dan menarik nafas. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya ia pergi ke tempatnya. Kemudian duduk sambil menggeliat,
“Aku akan tidur di sini. Ternyata lebih aman daripada di tempat-tempat lain. Semalam aku hampir terbakar hidup-hidup.”
Beberapa orang di sekitarnya masih saja mematung. Namun Kiai Gringsing tidak menghiraukan mereka lagi. Apakah mereka mendengarkan atau tidak. Kiai Gringsing langsung saja berbicara,
“Memang mengerikan sekali. Orang berkumis itu harus mati oleh senjatanya sendiri. Kini kita pasti akan merasa aman dan tidak akan terganggu lagi. Setidak-tidaknya untuk sementara.”
Beberapa orang yang ada di dalam barak itu mendengarkan kata-kata itu. Tetapi mereka masih juga berdiam diri. Dan tiba-tiba saja Kiai Gringsing bertanya,
“He, apakah kalian sudah makan? Anak-anakku sudah lapar sejak perkelahian itu. Mereka telah memeras tenaga. Tetapi mereka masih belum makan.”
Masih belum ada jawaban, tetapi beberapa orang sudah mulai menyadari bahwa keadaan memang sudah mulai tenang. Dan seseorang yang tadi bertanya, bertanya lagi,
“Jadi, pengawas berkumis itu benar-benar sudah tidak ada lagi?”
“Percayalah. Ia sudah meninggal. Kau dapat melihat mayatnya yang masih terbaring di tempatnya, karena racun yang keras, sehingga masih terlampau berbahaya apabila disentuh tangan.”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam.
“Jadi, sekarang kita telah bebas daripadanya?”
“Ya. Kita sudah bebas.”
“Kau berkata sebenarnya?”
“Percayalah. Aku tidak akan berbohong. Buat apa aku berbohong kepada kalian?”
“Di mana anak-anakmu sekarang? Apakah mereka masih hidup?”
“Tentu. Mereka berada di gardu pengawas. Mereka sedang merawat pemimpin pengawas yang terluka itu.”
Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan seorang yang lain berkata,
“Apakah tidak akan mungkin lagi kami dibunuh bersama-sama?”
“Siapakah sekarang yang akan membunuh kita? Kita memang sudah bebas. Kita dapat bekerja dengan tenang.” Kiai Gringsing berhenti sejenak. Lalu,
“Tetapi, apakah rangsum sudah datang?”
“Tidak ada yang sempat membuatnya. Di dapur pasti tidak ada orang. Mereka bersembunyi seperti sebagian besar dari orang-orang di sini.”
“Kenapa mereka bersembunyi?”
“Mereka tidak mau mati.”
“Dan kenapa kalian tidak?”
Orang-orang itu tidak segera menyahut. Sejenak mereka saling berpandangan, seolah-olah mereka pun bertanya pula satu kepada yang lain, seperti pertanyaan yang diucapkan oleh Kiai Gringsing. Namun sejenak kemudian salah seorang dari mereka menjawab,
“Kami pun sudah siap untuk lari, Ki Sanak. Beberapa orang yang ada di serambi itu akan memberitahukan kepada kita apabila mereka melihat orang itu datang. Dan kita sudah siap untuk lari meninggalkan barak ini. Tetapi kami memang mengharap bahwa orang itu tidak akan datang kemari. Karena kami baginya adalah orang-orang yang tidak berarti sama sekali.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba saja ia bertanya,
“Di mana orang yang bertubuh tinggi kekar dan orang yang kekurus-kurusan itu?”
Orang-orang di dalam barak itu mengerutkan keningnya,
“Mereka tidak datang kemari. Mungkin mereka ada di dapur.”
Kiai Gringsing termenung sejenak. Keduanya yang sudah sangat lemah itu pasti tidak akan dapat pergi terlampau jauh. Apalagi orang yang kekurus-kurusan itu. Tenaganya seakan-akan sudah habis diperas di perkelahian melawan Swandaru.
“Aku akan pergi ke dapur,” desis Kiai Gringsing,
“aku sudah sangat lapar. Apalagi anak-anakku.”
“Di manakah mereka sekarang?” bertanya seseorang.
“Di gardu pengawas.”
Orang-orang itu pun kemudian terdiam. Meskipun pada sorot mata mereka memancar berbagai pertanyaan, namun mereka tidak mengucapkan sepatah kata pun lagi.

Kiai Gringsing pun kemudian meninggalkan barak itu dan pergi ke barak yang lain, yang dipergunakan sebagai dapur dan penampungan perempuan dan anak-anak. Kiai Gringsing terkejut ketika ia memasuki barak itu. Suasananya benar-benar seperti suasana kuburan. Meskipun perempuan dan anak-anak tidak melihat apa yang terjadi, tetapi agaknya mereka memang sudah mendengar, bahwa telah terjadi sesuatu yang dapat mengancam ketenangan mereka. Di barak itu, Kiai Gringsing melihat beberapa orang perempuan memeluk anak-anaknya sambil menyediakan barangnya, pakaiannya dan semua miliknya yang telah terbungkus dengan kain di sisinya. Agaknya ia merasa, bahwa apabila ia harus lari meninggalkan barak itu semuanya sudah dipersiapkannya. Ternyata kedatangan Kiai Gringsing telah mengejutkan mereka. Mereka yang ketakutan menjadi semakin ketakutan. Anak-anak sudah tidak berani menangis lagi. Mereka menahan isak mereka di dalam dada, sehingga dada mereka justru menjadi terlampau sakit. Kiai Gringsing menyadari keadaan itu. Karena itu, maka untuk mengurangi ketegangan, ia bertanya kepada siapa pun yang ada di dalam barak,
He, apakah kalian sudah menanak nasi?”
Tidak seorang pun yang menjawab.
“Bukankah biasanya kalian membantu menanak nasi dan menyiapkan makan orang-orang yang akan bekerja di hutan?”
Tidak seorang pun yang menyahut. Tetapi beberapa orang menganggukkan kepalanya.
“Agaknya kalian telah terpengaruh oleh keributan itu. Kenapa kalian menjadi ketakutan? Semuanya sekarang sudah diselesaikan. Kalian harus percaya kepada para pengawas. Ternyata para pengawas sudah berhasil mengatasi keadaan yang sebenarnya memang tidak berarti apa-apa. Hanya keributan kecil yang segera dapat dikuasai.”
Beberapa orang saling berpandangan sejenak. Tetapi tampak wajah-wajah mereka dibayangi oleh kebimbangan.
“Apakah kalian ragu-ragu?”
Tidak ada yang menjawab. Namun hampir bersamaan beberapa orang memandang ke pintu butulan yang menuju ke dapur. Kiai Gringsing adalah orang tua yang berpengalaman. Pandangan beberapa orang itu agaknya telah menarik perhatiannya. Karena itu, maka ia pun maju selangkah sambil berkata,
“Aku akan melihat, apakah kalian sudah mulai masak.”
Beberapa wajah menegang karenanya. Tetapi Kiai Gringsing pura-pura tidak mengetahuinya. Ia maju selangkah lagi sambi1 berkata,
“Kalau sudah ada nasi saja yang masak, maka cukuplah kiranya. Nasi dan garam.”
Perempuan-perempuan itu menjadi semakin tegang. Tetapi tidak seorang pun yang mencegah Kiai Gringsing. Namun semua memandanginya dengan mata yang hampir tidak berkedip. Kiai Gringsing menyadari keadaan itu. Karena itu, ia pun menjadi semakin berhati-hati. Dengan penuh kewaspadaan ia mendekati pintu butulan. Kemudian dengan kesiagaan sepenuhnya ia melangkah masuk ke dapur. Tetapi ia tidak segera melihat seseorang. Namun Kiai Gringsing yang mempunyai pendengaran yang tajam, segera mendengar arus nafas di sekitar ruangan itu. Ketika Kiai Gringsing memandang berkeliling ruangan yang belum pernah dimasukinya sebelumnya itu, dilihatnya sebuah pintu butulan pula. Dan Kiai Gringsing yakin, suara tarikan nafas itu berasal dari luar pintu. Sejenak Kiai Gringsing berdiri di tempatnya. Dipandanginya keadaan di sekelilingnya. Ruang itu memang sepi. Tidak ada seorang pun di dalamnya. Beberapa peralatan dapur masih berserakan di sana-sini. Kelapa yang baru separuh selesai diparut. Nasi yang sudah masak, tetapi masih belum sempat disenduk dari kukusan, sementara api di perapian sudah padam.
“Dapur ini agaknya telah ditinggalkan dengan tergesa-gesa,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.
“Ternyata di sini tidak ada seorang laki-laki pun. Semua orang laki-laki melarikan diri, bersembunyi atau pergi ke barak sebelah mencari kawan. Di sini tinggal beberapa orang perempuan dan anak-anak yang sudah siap pula untuk lari.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya ketika ia mendengar suara nafas itu lagi. Lebih jelas lagi. Apalagi kalau ia sendiri menahan nafasnya. Maka tarikan nafas yang didengarnya itu seperti hembusan angin di lubang-lubang dinding dapur itu.
Perlahan-lahan, Kiai Gringsing maju mendekati pintu butulan. Ia sendiri berusaha untuk mengatur pernafasannya supaya orang di balik pintu itu tidak mendengarnya. Kiai Gringsing berhenti beberapa langkah di depan pintu. Sejenak ia berdiri tegang. Namun kemudian ia meneruskan langkahnya. Dari tarikan nafas orang itu Kiai Gringsing segera mengetahui, bahwa orang itu tidak terlampau berbahaya baginya, atau orang itu sengaja memancingnya. Namun Kiai Gringsing kemudian menyadarinya bahwa suara tarikan nafas itu bukan sekedar tarikan nafas seseorang. Tetapi, pasti dua orang.
Sejenak kemudian Kiai Gringsing telah melekat pintu leregan itu. Dengan hati-hati ia menempelkan telinganya.
“Tidak salah lagi. Dua orang.”
Tiba-tiba tangannya menghentakkan daun pintu butulan itu. Ketika pintu itu terbuka dilihatnya sebuah ruang kecil. Serambi yang diberi dinding.
Ketika ia melangkah masuk, di dalam ruang yang agak kegelapan karena tidak ada seberkas sinar pun yang masuk, Kiai Gringsing melihat dua orang yang terbaring di lantai. Salah seorang dari mereka mencoba untuk berdiri. Tetapi ia sudah tidak dapat tegak dengan segera. Sambil berpegangan tiang akhirnya ia berhasil berdiri juga. Orang itu adalah orang yang bertubuh kekar, yang sudah dikalahkan oleh Swandaru.
“Kau,” desis orang itu.
“Ya.”
“Apa maksudmu datang kemari?”
“Tidak apa-apa. Aku hanya ingin melihat, apakah kau dapat lari jauh dari tempat ini.”
“Aku hampir mati kehabisan tenaga. Kawanku ini juga. Karena itu aku beristirahat di sini.”
“Sebelum melarikan diri?”
“Kami tidak akan melarikan diri.”
“Selagi kalian masih belum sehat benar. Tetapi pada saatnya kalian akan lari juga.”
Orang itu menggeleng,
“Aku tidak akan lari.”

Kiai Gringsing tidak menyahut lagi. Dilihatnya orang yang kekurus-kurusan yang tubuhnya penuh dengan jalur-jalur bekas ujung senjata Swandaru itu pun mencoba untuk bangkit dan duduk. Namun ia masih selalu menyeringai menahan sakit.
“Berbaringlah,” berkata Kiai Gringsing. Tetapi orang itu agaknya tidak menghiraukannya. Dengan susah payah akhirnya ia berhasil duduk bersandar kedua tangannya.
“Seluruh tubuhku terasa sakit dan pedih seperti berbaring di atas bara,” desisnya.
“Tetapi itu akan lebih baik daripada kau mencoba berbuat sesuatu. Luka-lukamu akan berdarah lebih banyak lagi. Kekuatanmu akan menjadi semakin susut. Dan barangkali kau akan pingsan sekali lagi untuk waktu yang lebih lama. Bahkan kalau kau tidak menjaga dirimu baik-baik, kau akan pingsan selama-lamanya.”
“Kau menakut-nakuti aku.”
“Tidak. Aku berkata sebenarnya. Dan kau sekarang memang tidak perlu takut lagi kepadaku. Apalagi kepada hantu-hantu yang akan marah karena aku dan anak-anakku.”
Wajah keduanya menjadi tegang.
“Sudah aku katakan. Jangan terlampau menghiraukan aku dan anak-anakku. Biarlah kami ditelan hantu-hantu itu. Sekarang akibatnya kau sendirilah yang menanggung,” berkata Kiai Gringsing.
“Karena kau ingin menyelamatkan orang-orang di barak itu, maka kau telah menumbuhkan keonaran.”
“Kami tidak bermaksud membuat keonaran,” berkata orang yang kekurus-kurusan itu.
“Kami tetap pada pendirian kami, hantu-hantu itu akan dapat marah kepada kami semuanya. Kepada kita.”
“Sekali lagi aku katakan. Jangan hiraukan kami.”
“Tidak mungkin.”
“Dengar. Apakah wajar kalau kalian mencoba mencegah kemungkinan malapetaka melanda seisi barak karena hantu-hantu itu marah, tetapi pengawas berkumis yang garang itu akan membunuh orang-orang itu.”
“O, benarkah begitu?”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Katanya kemudian,
“Orang berkumis itu sudah mati. Dukun itu pun sudah mati pula. Yang tinggal adalah kalian berdua.”
“Kenapa dengan kami berdua?”
Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya,
“Tidak apa-apa. Tetapi kenapa kalian berada di sini? Tidak di barak?”
“Aku merasa lebih tenang di sini. Sakit kami tidak terganggu dan kami dapat beristirahat.”
Kiai Gringsing tidak menyahut lagi. Tetapi ia masih berdiri di tempatnya. Sejenak ia merenungi keduanya. Ia menjadi ragu-ragu. Apakah ia akan segera mengobati keduanya atau tidak. Tetapi justru karena luka-luka keduanya tidak berbahaya bagi jiwa mereka, maka Kiai Gringsing mengambil keputusan untuk membiarkan saja mereka dahulu, agar mereka tidak dapat pergi meninggalkan tempat itu.
“Bagaimanapun juga, keduanya masih diperlukan,” katanya di dalam hati,
“meskipun pengetahuannya tentang lingkungannya terlampau sedikit, tetapi mungkin ia dapat menunjukkan jalur yang dapat ditelusur lebih jauh, sehingga akhirnya dapat diketemukan pusat dari usaha yang masih belum dapat diketahui dengan pasti itu.”
“Sudahlah,” berkata Kiai Gringsing kemudian,
“aku juga tidak akan mengganggu kalian. Beristirahatlah.”

Kedua orang itu tidak menjawab. Mereka memandang saja wajah Kiai Gringsing dengan sorot mata yang membayangkan keheranan. Mereka sama sekali tidak berbuat apa pun ketika Kiai Gringsing kemudian melangkah meninggalkan ruangan itu. Di muka pintu ia berpaling sambil berkata,
“Kalian memang harus beristirahat. Tidurlah supaya keadaan tubuh kalian segera menjadi baik.”
Kedua orang itu sama sekali tidak menjawab, selain memandang dengan mata mereka yang hampir tidak berkedip.
Tetapi keduanya terkejut ketika Kiai Gringsing kemudian tidak saja menutup pintu. Tetapi pintu itu di selaraknya dari luar.
“He, Ki Sanak,” orang yang kekar itu berteriak, “apa artinya ini?”
“Tidak apa-apa,” jawab Kiai Gringsing dari luar,
“supaya kalian dapat beristirahat dengan tenang. Jangan cemas, aku tidak akan pergi jauh. Aku selalu ada di sekitar tempat ini, sehingga apabila kalian memerlukan aku, kalian dapat berteriak memanggil.”
“Tetapi kenapa pintu itu diselarak?”
“Tidak apa-apa. Sudah aku katakan, tidak apa-apa.”
“Buka sajalah. Buka sajalah. Kalau aku memerlukan keluar dari tempat ini, aku tidak usah berteriak memanggil siapa pun.”
“Jangan,” sahut Kiai Gringsing,
“nanti kau akan terganggu oleh orang-orang yang keluar masuk ruangan ini.”
“Tidak, tidak,” dan tiba-tiba saja tertatih-tatih orang yang tinggi kekar itu melangkah ke pintu. Sambil memukul-mukul daun pintu leregan ia berkata,
“Buka, buka pintu ini.”
“Tentu, nanti aku akan membukanya. Sekarang biarlah saja dahulu. Jangan hiraukan pintu itu. Sudah aku katakan, kau akan dapat beristirahat dengan tenang.”
Kiai Gringsing pun kemudian tidak menghiraukan orang itu lagi, meskipun ia masih memukul-mukul pintu. Meskipun demikian, orang tua itu masih juga ragu-ragu meninggalkan tempat itu. Perlahan-lahan saja ia melangkah memasuki ruang yang lain. Dilihatnya beberapa orang perempuan dan anak-anak menjadi semakin cemas. Tetapi tidak seorang pun dari mereka yang bertanya kepadanya apa yang telah terjadi.
“Jangan takut,” berkata Kiai Gringsing, karena ia yakin, perempuan-perempuan itu telah mendengar suara orang yang tinggi kekar itu berteriak-teriak. Katanya kemudian, “Orang itu tidak akan terbuat apa-apa. Ia marah kepadaku. Tidak kepada kalian. Aku sengaja menutup dan menyelarak pintu itu dari luar. Jangan dibuka, supaya ia tidak pergi.”
Perempuan dan anak-anak itu memandanginya seperti memandang sebuah tontonan yang paling mencemaskan, seperti mereka melihat seorang penari yang kehilangan kesadaran oleh irama gamelan yang cepat dan menikam dirinya sendiri meskipun tidak terluka. Kiai Gringsing sadar sepenuhnya akan hal itu. Perempuan dan anak-anak itu memang telah dicengkam oleh kecemasan. Tetapi mereka tidak berani mengatakannya.
“Mereka memerlukan perlindungan,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.
“Sayang, bahwa laki-laki yang ada di barak itu telah terpengaruh oleh lingkungan yang dibangkitkan oleh orang-orang itu, sehingga selalu diliputi oleh ketakutan. Bahkan para pengawas pun telah terpengaruh pula, justru karena di dalam lingkungan mereka pun terdapat seorang yang ikut serta di dalam usaha menakut-nakuti para pekerja.”
Dalam pada itu, tiba-tiba saja Kiai Gringsing teringat kepada kedua muridnya. Mungkin ia dapat membagi tugas. Salah seorang tetap di gardu pengawas, yang lain menunggui kedua orang ini.
Kiai Gringsing tiba-tiba mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kepada perempuan dan anak-anak yang ketakutan itu,
“Tunggulah sebentar. Aku akan mencari kawan untuk kalian.”
Kiai Gringsing pun kemudian segera pergi dengan tergesa-gesa kembali ke barak. Ia mengajak beberapa orang yang masih mempunyai sedikit keberanian untuk mengubur mayat dukun yang terbunuh oleh pisau belati beracun, pisaunya sendiri yang dilemparkannya kepada pemimpin pengawas, tetapi yang kemudian justru kembali menikam punggungnya. Kepada beberapa orang yang lain ia berpesan, bahwa sebentar lagi anaknya akan datang dan memerlukan beberapa kawan sekedar untuk menghilangkan kejemuan, menunggui kedua orang yang sedang beristirahat di sebelah dapur.
Agung Sedayu-lah yang kemudian mendapat tugas untuk menunggui kedua orang yang berada di serambi dapur itu. Bersama dua orang yang diajaknya dari barak, ia pergi ke tempat kedua orang itu terkurung.
“Apakah mereka tidak melarikan diri?” bertanya salah seorang dari dua orang yang diajaknya itu.
“Menurut ayahku, pintunya telah diselarak dari luar.”
“Tetapi mereka pasti dapat membuka dinding yang tidak terlampau kuat. Melepas tali-talinya kemudian menyuruk keluar.”
“Keduanya sangat lemah,” jawab Agung Sedayu.
“Menurut Ayah keduanya tidak akan mampu berbuat banyak.”


Halaman 1 2 3


<<< Jilid 054                                                                                                       Jilid 056 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar