“Kau akan mengejar aku? Silahkan. Aku akan melihat apakah kalian masih mampu melangkahkan kaki?”
Wanakerti dan
kedua kawannya yang sudah berhasil berdiri menggeretakkan giginya. Mereka
sadar, bahwa mereka sudah tidak akan dapat lagi berlari seperti apabila mereka
tidak sedang terluka. Namun demikian, Wanakerti masih mencoba berkata,
“Jangan merasa
bahwa kau menang kali ini. Kau pun pasti tidak akan dapat lari secepat yang kau
inginkan karena kau pun baru saja sadar dari pingsan yang panjang.”
“Tetapi, aku
sudah merasa segar sekarang,” jawab orang itu,
“jauh lebih
segar dari kalian yang sudah tidak mampu lagi berdiri tegak.”
“Persetan,”
Wanakerti maju selangkah.
Orang itu mundur
selangkah sambil berkata,
“Ha, kau akan
mencoba mendekat? Sia-sia. Kau harus merelakan aku pergi sekarang ke mana aku
suka. Di sekitar tempat ini tidak ada orang yang dapat membantumu. Orang-orang
yang tinggal di barak sudah lari bercerai-berai. Mungkin mereka kembali ke
barak atau bersembunyi di mana saja. Sedang ketiga orang, ayah dan anaknya itu,
masih sibuk mengurusi mayat orang berkumis itu. Yang ada sekarang adalah kalian
dan aku. Pemimpin kalian itu sama sekali sudah tidak dapat bangkit, dan kalian
bertiga hanya mampu berjalan tertatih-tatih meskipun kalian berpedang.”
“Tetapi kami
tidak akan membiarkan kau lari,” geram salah seorang kawan Wanakerti. Betapapun
lemahnya, namun ia melangkah maju juga berpencaran, seolah-olah mereka akan
mengepung orang berkumis itu.
Tetapi sikap
para pengawas itu tampak sangat lucu di mata dukun yang telah berhasil
melepaskan diri itu. Sambil tertawa ia berkata,
“Aku
seakan-akan melihat tiga ekor siput merayap-rayap. Apakah kalian ingin berlomba
lari? Aku memang tidak dapat lari setangkas kijang. Tetapi sudah pasti, jauh
lebih cepat dari tiga ekor siput. Asal aku tidak dapat kalian tipu, maka aku
pasti akan dapat menyelamatkan diri.”
Ketiga
pengawas itu masih juga mencoba maju.
“Cukup,”
berkata orang yang sudah berhasil melepaskan dirinya itu,
“kalian tidak
usah merayap-rayap lagi. Aku sekarang akan lari. Lari jauh sekali melintasi
hutan dan pegunungan. Tetapi itu akan jauh lebih baik daripada aku kalian
serahkan kepada Ki Gede Pemanahan atau puteranya, Raden Sutawijaya.”
“Jangan lari.
Mari kita berhadapan secara jantan.”
“Kali ini aku
sama sekali tidak memerlukan sikap jantan itu. Aku lebih baik lari saja,
meskipun kalian menganggap aku bersikap licik, betina atau segala macam istilah
yang paling jelek dan menyakitkan hati. Tetapi aku tidak akan menjadi sakit
hati kemudian karena harga diri aku berbuat bodoh melawan kalian. Sekarang,
yang paling baik bagiku memang lari. Lari sejauh-jauhnya.”
Wanakerti
menggeretakkan giginya. Tetapi ia memang tidak akan dapat mengejar orang itu.
Apa pun yang dilakukan, maka ia sudah tidak berpengharapan lagi untuk
menangkapnya. Karena itu ia hanya dapat mengumpat-umpat meskipun ia masih juga
berusaha mendekati lawannya.
Tetapi yang
terdengar kemudian adalah suara tertawa. Katanya,
“Lepaskan
niatmu yang gila itu. Kalian tidak akan mampu menangkap aku kecuali ketiga
orang yang menyusup di dalam lingkungan orang-orang yang membuka hutan itu
datang kemari. Mereka adalah orang-orang gila yang berpura-pura,” orang itu
berhenti sejenak. Lalu,
“Selamat
tinggal. Mudah-mudahan kalian diterkam harimau lapar yang tersesat sampai
kemari.”
“Gila! Anak
setan!” Wanakerti yang menjadi marah bukan kepalang hanya dapat mengumpat-umpat
saja. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa ketika orang itu kemudian memutar
dirinya dan siap untuk berlari meninggal-kan mereka.
Tetapi
Wanakerti dan kedua kawannya tiba-tiba saja terkejut bukan buatan. Ketika orang
itu meloncat maju selangkah, tiba-tiba ia tertegun. Sejenak ia terhuyung-huyung,
kemudian dengan wajah yang pucat pasi ia berpaling.
“Siapa, siapa
yang telah melakukannya?”
Orang itu
masih berdiri sejenak, namun kemudian tubuhnya mulai gemetar, akhirnya ia pun
terjatuh di tanah. Wanakerti dan kedua kawannya menyaksikan hal itu dengan
pandangan yang tidak berkedip. Sejenak kemudian ia sadar, apa yang telah
terjadi. Ternyata pemimpin pengawas yang sangat lemah itu masih berhasil
mengerahkan sisa-sisa tenaganya untuk melemparkan sebilah pisau kepada orang
yang akan melarikan diri itu, tepat mengenai punggungnya meskipun tidak
menghunjam terlampau dalam, karena tenaganya sudah tidak memungkinkan. Tetapi
sentuhan yang panas seperti bara, kemudian perasaan sakit yang segera menjalar
ke segenap tubuh disertai kekejangan yang perlahan-lahan mencengkamnya, dukun
itu sadar, bahwa ia telah terkena racun yang kuat sekali. Itulah sebabnya ia
menjadi bingung dan tidak tahu apa yang dilakukan, sedangkan racun itu
terlampau cepat mengalir di dalam arus darah, beredar ke segenap tubuhnya. Ketika
Wanakerti berpaling, memandang pemimpinnya, ternyata pemimpinnya itu sudah
berbaring di tanah. Nafasnya terengah-engah dan matanya sudah separo terpejam.
“Kenapa kau?”
bertanya Wanakerti sambil melangkah mendekatinya. Ia pun kemudian bersama
kawan-kawannya berjongkok di sampingnya.
“Aku telah
mencoba melepaskan seluruh sisa tenaga yang ada,” suara pemimpin pengawas itu
menjadi serak.
“Aku
melemparkan pisau itu kepadanya. Terpaksa sekali, karena tidak ada jalan lain
untuk menangkapnya, meskipun kita sangat memerlukannya.”
“Ya, pisau itu
mengenainya,” sahut salah seorang pengawas.
“Ia akan mati
karena racun yang kuat. Tunggu dulu. Jangan kau sentuh orang itu. Tunggulah
gembala tua beserta kedua anaknya itu. Mungkin mereka dapat memberikan nasehat
kepada kalian.”
Wanakerti dan
kawannya mengangguk. Namun ia tidak sempat bertanya lagi karena pemimpin
pengawas itu kemudian jatuh pingsan. Sejenak kemudian ketiga pengawas yang
telah menjadi sangat letih itu, kebingungan. Mereka tidak tahu apa yang harus
mereka lakukan. Mereka sama sekali tidak mengerti, bagaimana mereka harus
menolong pemimpin mereka yang pingsan karena kehabisan tenaga itu. Sedang
mereka sendiri pun rasa-rasanya hampir menjadi pingsan pula.
Wanakerti yang
masih merasa paling baik di antara kawan-kawannya berkata,
“Tidak ada
jalan lain. Aku akan memanggil gembala tua beserta kedua anak-anaknya itu. Aku
mengharap bahwa mereka akan dapat membantu kita.”
“Ya, ternyata
mereka pun memahami ilmu obat-obatan. Bahkan mungkin lebih baik dari dukun yang
terbunuh itu,” sahut kawannya.
“Tunggulah
kalian berdua di sini.”
Kedua kawannya
itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun terasa tubuh mereka sendiri sudah
tidak wajar lagi. Kadang-kadang mata mereka menjadi berkunang-kunang dan
seolah-olah di telinganya terngiang suara berdesing yang berputaran tidak
henti-hentinya. Demikianlah, maka Wanakerti pun segera berjalan tertatih-tatih
mencari Kiai Gringsing beserta kedua muridnya, yang untunglah bahwa mereka
masih berdiri tegak, menunggui mayat orang berkumis yang menjadi ajang
pertarungan dua jenis racun.
“Mudah-mudahan
aku berhasil,” berkata Kiai Gringsing,
“sehingga
besok mayat itu dapat dikuburkan dengan baik.”
Kedua muridnya
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Baiklah, kita
tinggalkan saja mayat itu. Sudah tentu kita tidak akan menungguinya sampai
besok.”
“Lalu, kemana
kita sekarang?” bertanya Swandaru.
“Kita pulang
ke barak untuk sementara.”
Kedua muridnya
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Tetapi sebelum mereka beranjak dari tempat
mereka, mereka melihat Wanakerti yang lemah berjalan tertatih-tatih mendekati
mereka.
“Guru,” desis
Agung Sedayu,
“kenapa Ki
Wanakerti datang pula kemari?”
Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya. Katanya,
“Marilah, kita
pergi mendapatkannya.”
Ketiganya pun
kemudian berjalan dengan tergesa-gesa menyongsong Wanakerti yang sudah menjadi
semakin lemah. Nafasnya terengah-engah dan wajahnya kian menjadi pucat.
“Kenapa Tuan
kemari?” bertanya Kiai Gringsing.
Wanakerti
menarik nafas dalam-dalam. Sekali, dua kali, seakan-akan ingin mengendapkan
nafasnya yang melonjak-lonjak
“Panggil
namaku, Wanakerti,” desisnya.
“Ternyata
kalian adalah orang-orang aneh di sini.”
Kiai Gringsing
tidak menyahut. Dibiarkannya Wanakerti berkata selanjutnya,
“Aku minta
kalian datang ke gardu pengawas.”
“Kenapa?”
“Pemimpin kami
pingsan.”
“O, kenapa?”
Dengan singkat
Wanakerti menceriterakan apa yang sudah terjadi atas pemimpinnya dan atas dukun
yang menjadi tawanannya itu.
“Jadi dukun
itu terbunuh?” bertanya Kiai Gringsing.
“Ya.”
“Tidak ada
harapan untuk diobati?”
“Aku kira ia
sudah mati. Aku tidak berani merabanya, mungkin racun itu akan berpengaruh atas
aku yang sudah terlampau lemah ini.”
Kiai Gringsing
menarik nafas dalam-dalam. Satu-satunya orang yang akan dapat memberikan
keterangan mengenai teki-teki di daerah ini justru sudah terbunuh. Dengan
demikian maka mereka telah kehilangan satu-satunya sumber keterangan mengenai
rahasia yang selama ini menyelubungi daerah ini.
“Kami tidak
sengaja membunuhnya,” berkata Wanakerti,
“tetapi
agaknya memang lebih baik begitu daripada ia berhasil melarikan diri dan
memberikan keterangan-keterangan kepada kawan-kawannya. Sebab aku yakin bahwa
mereka tidak berdiri sendiri. Orang berkumis, kawan kami itu, agaknya orang
yang bertanggung jawab di daerah ini.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Kita masih
mempunyai dua orang. Tetapi mereka tidak akan dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang penting. Mereka hanya tenaga yang diumpankan.”
“Siapa?”
“Orang yang
tinggi kekar dan yang kekurus-kurusan itu.”
Wanakerti
mengangguk-angguk pula. Tetapi ia pun sependapat bahwa keduanya pasti tidak
akan banyak mengetahui tentang gerakan mereka sendiri.
“Baiklah,”
berkata Kiai Gringsing.
“Kemudian
bagaimana dengan pemimpinmu itu?”
“Ia jatuh
pingsan setelah melontarkan pisau ke punggung orang yang berusaha melarikan
diri itu.”
“Marilah kita
lihat.”
Mereka pun
kemudian berjalan perlahan-lahan ke gardu pengawas karena Wanakerti sudah
menjadi kian letih dan lemah. Swandaru yang tidak telaten kemudian mendekatinya
sambil berkata,
“Marilah, aku
bantu kau berjalan.”
Wanakerti pun
kemudian bergantung pada pundak Swandaru. Dengan demikian maka mereka pun dapat
berjalan lebih cepat.
“Mereka yang
pingsan segera memerlukan bantuan,” berkata Swandaru kemudian.
Wanakerti mengangguk-anggukkan
kepalanya,
“Terima
kasih,” katanya.
Sejenak
kemudian mereka pun telah sampai ke halaman gardu pengawas. Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya ketika dilihatnya, bukan saja pemimpin pengawas itu yang
pingsan, tetapi salah seorang dari kedua pengawas yang tinggal, telah menjadi
pingsan pula, sedang yang seorang lagi telah menjadi sangat lemah dan duduk di
samping kawannya yang pingsan itu. Wanakerti pun menjadi cemas. Meskipun
tubuhnya sendiri serasa tidak bertulang lagi, namun ia berusaha secepat-cepatnya
menghampiri kawan-kawannya yang pingsan.
“Kenapa
mereka, Ki Sanak?” Wanakerti bertanya kepada Kiai Gringsing yang sudah
berjongkok pula di samping mereka yang sedang pingsan.
Kiai Gringsing
tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah pengawas yang masih tetap sadar,
meskipun menjadi lemah sekali. Pengawas itu seakan-akan dapat mengerti
pertanyaan yang terbayang di mata Kiai Gringsing, sehingga ia menjawab,
“Aku tidak
tahu kenapa tiba-tiba ia pingsan.”
Kiai Gringsing
menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian bergumam,
“Kalian
terlampau lelah.”
“Jadi, maksud
Ki Sanak, mereka tidak terkena racun?” bertanya Wanakerti.
Kiai Gringsing
menggelengkan kepalanya.
“Tidak,”
jawabnya,
“mereka tidak
terkena racun yang lain. Pemimpinmu ini memang terkena racun, tetapi kekuatan
racun itu sudah teratasi.”
Wanakerti
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kecemasan masih saja membayang di wajahnya.
Dan ia pun bertanya pula,
“Tetapi apakah
keadaan mereka tidak berbahaya?”
Kiai Gringsing
menggelengkan kepalanya.
“Tidak. Mereka
hanya kehabisan tenaga.”
Kemudian Kiai
Gringsing pun mulai meraba-raba tubuh para pengawas yang pingsan itu.
Dikendorkannya ikat pinggang mereka, kemudian perlahan-lahan Kiai Gringsing
menggerak-gerakkan tangan pemimpin pengawas itu, sedang Agung Sedayu melakukan
hal yang sama pada pengawas yang lain.
“Swandaru,”
berkata Kiai Gringsing,
“ambillah air
dingin.”
Swandaru pun
kemudian mengambil air kendi di dalam gardu pengawas. Oleh Kiai Gringsing,
bibir mereka yang pingsan itu dibasahinya dengan titik-titik air yang dingin.
Setitik demi setitik. Ternyata bahwa kesejukan air itu telah menyejukkan
tubuh-tubuh yang lemah itu. Perlahan-lahan mereka mulai bergerak-gerak. Yang
pertama-tama mereka lakukan adalah membuka mata mereka dan mencoba mengenali
keadaan di sekelilingnya. Kemudian mereka mencoba mengingat-ingat apakah yang
telah terjadi atas diri mereka masing-masing. Wanakerti menarik nafas
dalam-dalam. Ternyata kedua kawannya yang pingsan itu sudah mulai menyadari
dirinya. Bahkan pengawas yang seorang, telah berusaha untuk bangkit
perlahan-lahan.
Sambil
menggosok matanya ia memandang tubuh yang terbujur berapa langkah daripadanya,
“Ya, orang itu
sudah mati.”
“Aku
menyesal,” berkata Kiai Gringsing.
“Aku tidak
melihat jalan lain,” pemimpin pengawas itulah yang menjawab.
“Ya. Agaknya
keadaanlah yang sudah menentukan. Tetapi dengan demikian kita kehilangan sumber
keterangan, dan kita masih tetap menghadapi suatu rahasia yang gelap.”
Pemimpin
pengawas yang terluka itu pun kemudian mencoba mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya,
dan berusaha untuk bangkit. Agung Sedayu yang melihatnya, segera menolongnya
sehingga pemimpin pengawas itu pun kemudian duduk bersandar pada tangannya.
Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata,
“Badanku
menjadi lemah sekali.”
“Beristirahatlah.”
Pemimpin
pengawas itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Kami semua,
para pengawas sama sekali sudah tidak berdaya lagi apabila ada sesuatu yang
terjadi di sini saat ini. Aku sendiri rasa-rasanya sudah hampir mati, ketiga
sisa orang-orangku pun agaknya sudah menjadi sangat letih.”
“Untuk
sementara tidak akan ada apa-apa lagi. Untuk sementara,” sahut Kiai Gringsing.
“Belum tentu.
Berita kematian kedua orang itu akan segera didengar oleh kawan-kawan mereka.
Dan mereka akan segera mengambil tindakan.”
“Mungkin,”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya,
“tetapi
kematian mereka telah menutup segala kemungkinan kita di sini untuk menyelusur
suatu kumpulan yang bagi kita sekarang masih merupakan suatu rahasia.”
Pemimpin
pengawas itu mengangguk-angguk pula.
“Karena itu,”
sambung Kiai Gringsing,
“justru
keduanya terbunuh, maka kawan-kawan mereka akan berbuat dengan lebih
berhati-hati. Seandainya salah seorang dari mereka masih hidup, mungkin ada
usaha-usaha yang segera mereka lakukan untuk mengambil orangnya atau
membinasakan sama sekali.”
Pemimpin
pengawal itu masih mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Sekarang,” berkata
Kiai Gringsing kemudian,
“marilah kita
masuk ke dalam gardu pengawas. Agaknya gardu itu sepi.”
“Ya. Beberapa
orang pembantu kami agaknya menjadi ketakutan dan bersembunyi. Aku kira mereka
semua berkumpul di dalam barak.”
“Mereka harus
ditenangkan.”
“Ya. Tetapi
kami tidak dapat berbuat banyak saat ini.”
“Nantilah kita
pikirkan. Marilah, kita masuk ke dalam.”
Swandaru dan
Agung Sedayu pun kemudian ikut pula menolong, membimbing pengawas-pengawas yang
masih sangat lemah itu, sedang Kiai Gringsing menolong pemimpin pengawas yang
agak parah itu. Setelah mereka duduk di sebuah amben di dalam gardu, maka
pemimpin pengawas itu berkata, “Ki Sanak. Meskipun aku belum tahu siapakah kau
sebenarnya, tetapi aku telah mempercayaimu. Karena itu selama kami tidak dapat
menjalankan tugas, maka terserahlah kepada kalian, apa yang sebaiknya kalian
lakukan di sini.”
Tetapi Kiai
Gringsing menggelengkan kepalanya,
“Bukan begitu.
Kau tetap memegang tugasmu. Kami akan membantu.” Kiai Gringsing berhenti
sejenak lalu,
“Tetapi apakah
tidak ada penghubung yang selalu datang kemari?”
Pemimpin
pengawas itu termangu-mangu sebentar. Kemudian ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya,
“Ya. Setiap
kali memang ada pengawas yang datang kemari dari pusat tanah yang baru dibuka
ini. Tetapi baru dua hari yang lalu penghubung yang terakhir datang kemari,
sehingga mungkin masih tiga empat hari lagi penghubung berikutnya akan datang.”
“Kitalah yang
akan memberikan laporan,” sahut Wanakerti.
“Apakah kau
mampu?” bertanya pemimpin pengawas itu.
“Aku mampu.
Mungkin besok badanku akan terasa bertambah baik. Dengan seekor kuda, aku kira
aku akan sampai.”
“Sendiri? Di
dalam keadaan seperti ini, kau tidak boleh menganggap perjalanan ke pusat kota
Mataram ini seperti sebuah tamasya yang menyenangkan.”
“Berdua atau
bertiga.”
“Apakah
kawan-kawanmu sudah siap untuk pergi? Mereka terlampau lemah.”
“Besok atau
selambat-lambatnya lusa, kami sudah siap apabila penghubung dari pusat tanah
Mataram belum juga datang,” sahut seorang pengawas.
“Atau,”
sambung Wanakerti,
“barangkali
kita dapat minta tolong kepada salah seorang dari Ki Sanak ini untuk menemani
aku pergi ke Mataram.”
Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya sejenak. Namun kemudian ia tersenyum sambil menyahut,
“Jangan di
antara kami. Kami adalah orang-orang padesan yang sama sekali tidak mengerti
unggah-ungguh.”
“Ah, kalian
masih saja berpura-pura,” berkata pemimpin pengawas itu.
“Tetapi seandainya
demikian itu pun sama sekali tidak akan mengganggu, salah seorang dari kalian
hanya mengawasi selama perjalanan. Biarlah Wanakerti nanti yang menghadap pada
pimpinan pengawal tanah ini.”
Tetapi Kiai
Gringsing menggelengkan kepalanya,
“Maaf. Kami akan
membantu kalian apa saja yang dapat kami lakukan. Tetapi di sini. Tidak ke
pusat pemerintahan dari tanah yang baru ini.”
“Kenapa?”
Kiai Gringsing
termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian,
“Kami
benar-benar tidak pantas. Kami adalah orang-orang yang tidak tahu diri. Berilah
kami pekerjaan di sini. Kami akan dengan senang hati melakukannya.”
Pemimpin
pengawas itu merasa heran,
“Kenapa
gembala itu berkeberatan apabila salah seorang dari mereka itu mengawasi salah
seorang pengawas pergi ke Mataram. Banyak sekali dugaan yang melintas di
kepalanya. Apakah benar mereka merasa tidak pantas menghadap pimpinan
Pemerintahan Mataram, sehingga dengan demikian mereka merasa rendah diri? Atau
mereka malas untuk melibatkan diri secara langsung di dalam persoalan ini, atau
menurut pertimbangan mereka, jalan ke Mataram sama sekali tidak aman? Tetapi
mustahil kalau mereka takut untuk menempuh perjalanan itu. Pasti mereka
mempunyai alasan lain. Mungkin mereka memang merasa rendah diri, tetapi mungkin
juga mereka segan untuk melibatkan diri langsung di dalam persoalan-persoalan
pengamanan daerah yang baru dibuka ini.”
Karena itu
maka pemimpin pengawas itu tidak mau memaksanya. Sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya ia berkata,
“Baiklah.
Kalian akan mendapat tugas kalian di sini. Yang sebenarnya lebih tepat, kami
akan minta tolong kepada kalian untuk membantu kami di sini.”
“Kami tidak
akan berkeberatan,” jawab Kiai Gringsing.
“Selama ini
kalian kami minta tinggal di gardu ini.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Baiklah.
Tetapi aku kira saat ini orang-orang di barak itu menjadi tegang. Mereka harus
ditenangkan.”
“Ya. Kami
masih akan minta kepada kalian untuk menenangkan mereka.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Baiklah,”
katanya, “aku akan pergi ke barak itu. Biarlah anak-anakku di sini. Aku akan
membawa dua tiga orang untuk menguburkan mayat itu.”
“Apakah mayat
itu tidak berbahaya?”
Kiai Gringsing
menggelengkan kepalanya,
“Racun yang
menyerangnya langsung masuk ke dalam saluran darahnya. Berbeda dengan serbuk
racun seperti yang membunuh pengawas yang berkumis itu.”
Pemimpin
pengawas itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, aku
minta diri untuk pergi ke barak. Biarlah anak-anakku menyelesaikan pekerjaan
kalian di sini apabila memang diperlukan.”
“Ya. Aku
berterima kasih.”
“Kalian berdua
tinggal di sini. Aku kira untuk sementara tidak akan ada apa-apa lagi. Meskipun
demikian, kau berdua jangan lengah,” berkata Kiai Gringsing kepada kedua
muridnya.
“Baiklah,”
jawab Agung Sedayu.
Namun Swandaru
kemudian berkata,
“Apakah hari
ini tidak ada rangsum?”
“Ah,” desah
Agung Sedayu,
“tidak ada
orang yang sempat masak pagi ini.”
“Mereka pasti
sudah masak ketika keributan ini terjadi. Mungkin mereka belum sempat
membungkusnya. Adalah kebetulan sekali apabila aku boleh membungkus sendiri.”
“Hati-hatilah,
Swandaru,” berkata Kiai Gringsing,
“bersihkan
tanganmu. Meskipun hanya sedikit sekali, kau pasti sudah bersentuhan dengan
racun. Kalau begitu saja kau menyuap mulutmu dengan tanganmu, mungkin di dalam
makanan itu akan ikut tertelan racun di tanganmu itu. Walaupun tidak
membahayakan jiwa, tetapi pasti dapat menumbuhkan gangguan pada pernafasan dan
syaraf. Nah, sebelum rangsum itu datang, bersihkan tangan dan tubuhmu.”
“Kapan rangsum
itu akan datang?”
“Mungkin sore
nanti,” Agung Sedayu-lah yang menyahut.
Swandaru
berpaling. Namun kemudian ia bergumam di dalam mulutnya sehingga tidak seorang
pun yang mendengar. Sejenak kemudian, maka Kiai Gringsing pun meninggalkan
gardu itu, pergi ke barak untuk menenteramkan hati orang-orang yang ada di
sana. Ternyata memang seperti yang diduganya, orang-orang di dalam barak itu
pun telah dilanda oleh kebingungan, kecemasan dan ketakutan yang amat sangat.
Bahkan ada di antara mereka yang lari dari pinggir arena perkelahian antara
pengawas berkumis dengan Agung Sedayu, masih tetap bersembunyi. Mereka tidak
berani menampakkan mereka karena mereka menyangka, bahwa orang berkumis itu
benar-benar akan mengamuk dan membunuh setiap orang yang dijumpainya. Ketika
Kiai Gringsing sampai ke barak, dilihatnya berapa orang yang ada di barak itu
memandanginya seperti orang asing. Mereka duduk di sudut-sudut sambil
mengerutkan leher mereka, bahkan ada di antara mereka yang telah membungkus
semua milik mereka. Kiai Gringsing menjadi berdebar-debar karenanya. Ia tidak
boleh salah langkah supaya orang-orang di dalam barak itu tidak menjadi semakin
ketakutan. Karena itu, ketika ia memasuki barak itu, dicobanya untuk tersenyum.
Namun senyumnya justru membuat orang-orang yang ada di dalam barak itu
bertanya-tanya. Meskipun demikian ada sedikit kelegaan di hati orang-orang yang
ada di dalam barak itu. Ternyata orang tua itu masih hidup. Dan ia datang ke
barak itu dengan tenang. Hampir bersamaan tumbuhlah pertanyaan di setiap dada.
“Lalu
kemanakah perginya orang berkumis itu?”
Kiai Gringsing
agaknya mengetahui apa yang tersimpan di dalam hati orang-orang itu. Ia pun
sadar, untuk menenangkan mereka, mereka harus tahu bahwa orang yang mereka
takuti itu sudah tidak ada lagi. Karena itu, maka katanya,
“Sekarang kalian
tidak perlu takut lagi. Aku yang hampir mati ketakutan, sekarang sudah dapat
mengangkat kepala sambil tertawa.”
Beberapa orang
saling berpandangan sejenak.
“Bukankah
kalian takut kepada orang yang mengamuk dan mengancam akan membunuh kita semua
itu?” bertanya Kiai Gringsing.
Tanpa
disadarinya, beberapa orang menganggukkan kepalanya.
“Orang itu
sudah tidak ada lagi.”
Orang-orang di
dalam barak itu mengerutkan keningnya. Salah seorang yang duduk di sudut memberanikan
diri untuk bertanya,
“Ke mana
pengawas itu sekarang?”
“Ia sudah
terbunuh.”
Sejenak
ruangan itu menjadi sepi. Tetapi Kiai Gringsing sadar, bahwa sebagian dari
mereka hampir tidak dapat mempercayainya.
“Orang itu
terbunuh oleh racunnya sendiri. Ketika ia mengangkat bumbung racun itu
tinggi-tinggi, ternyata racun itu sudah tumpah dan mengenai hidungnya, sehingga
masuk ke jalur pernafasannya. Akhirnya justru ia mati oleh senjatanya sendiri.”
Kiai Gringsing
melihat wajah-wajah yang menegang. Mereka saling berpandangan. Tetapi agaknya
mereka tidak meyakini.
“Apakah kalian
ingin melihatnya?”
Tidak seorang
pun yang menjawabnya. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Agaknya
ketakutan yang amat sangat memang telah melanda seisi barak itu.
“He,” berkata
Kiai Gringsing kemudian,
“di manakah
kawan-kawan yang lain? Apakah mereka pergi bekerja?”
Tidak ada
jawaban. Dan Kiai Gringsing hanya menarik nafas dan menarik nafas. Sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya ia pergi ke tempatnya. Kemudian duduk sambil
menggeliat,
“Aku akan
tidur di sini. Ternyata lebih aman daripada di tempat-tempat lain. Semalam aku
hampir terbakar hidup-hidup.”
Beberapa orang
di sekitarnya masih saja mematung. Namun Kiai Gringsing tidak menghiraukan
mereka lagi. Apakah mereka mendengarkan atau tidak. Kiai Gringsing langsung
saja berbicara,
“Memang
mengerikan sekali. Orang berkumis itu harus mati oleh senjatanya sendiri. Kini
kita pasti akan merasa aman dan tidak akan terganggu lagi. Setidak-tidaknya
untuk sementara.”
Beberapa orang
yang ada di dalam barak itu mendengarkan kata-kata itu. Tetapi mereka masih
juga berdiam diri. Dan tiba-tiba saja Kiai Gringsing bertanya,
“He, apakah
kalian sudah makan? Anak-anakku sudah lapar sejak perkelahian itu. Mereka telah
memeras tenaga. Tetapi mereka masih belum makan.”
Masih belum
ada jawaban, tetapi beberapa orang sudah mulai menyadari bahwa keadaan memang
sudah mulai tenang. Dan seseorang yang tadi bertanya, bertanya lagi,
“Jadi,
pengawas berkumis itu benar-benar sudah tidak ada lagi?”
“Percayalah.
Ia sudah meninggal. Kau dapat melihat mayatnya yang masih terbaring di
tempatnya, karena racun yang keras, sehingga masih terlampau berbahaya apabila
disentuh tangan.”
Orang itu
menarik nafas dalam-dalam.
“Jadi,
sekarang kita telah bebas daripadanya?”
“Ya. Kita
sudah bebas.”
“Kau berkata
sebenarnya?”
“Percayalah.
Aku tidak akan berbohong. Buat apa aku berbohong kepada kalian?”
“Di mana
anak-anakmu sekarang? Apakah mereka masih hidup?”
“Tentu. Mereka
berada di gardu pengawas. Mereka sedang merawat pemimpin pengawas yang terluka
itu.”
Orang itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dan seorang yang lain berkata,
“Apakah tidak
akan mungkin lagi kami dibunuh bersama-sama?”
“Siapakah
sekarang yang akan membunuh kita? Kita memang sudah bebas. Kita dapat bekerja
dengan tenang.” Kiai Gringsing berhenti sejenak. Lalu,
“Tetapi,
apakah rangsum sudah datang?”
“Tidak ada
yang sempat membuatnya. Di dapur pasti tidak ada orang. Mereka bersembunyi
seperti sebagian besar dari orang-orang di sini.”
“Kenapa mereka
bersembunyi?”
“Mereka tidak
mau mati.”
“Dan kenapa
kalian tidak?”
Orang-orang
itu tidak segera menyahut. Sejenak mereka saling berpandangan, seolah-olah
mereka pun bertanya pula satu kepada yang lain, seperti pertanyaan yang
diucapkan oleh Kiai Gringsing. Namun sejenak kemudian salah seorang dari mereka
menjawab,
“Kami pun
sudah siap untuk lari, Ki Sanak. Beberapa orang yang ada di serambi itu akan
memberitahukan kepada kita apabila mereka melihat orang itu datang. Dan kita
sudah siap untuk lari meninggalkan barak ini. Tetapi kami memang mengharap
bahwa orang itu tidak akan datang kemari. Karena kami baginya adalah
orang-orang yang tidak berarti sama sekali.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba saja ia bertanya,
“Di mana orang
yang bertubuh tinggi kekar dan orang yang kekurus-kurusan itu?”
Orang-orang di
dalam barak itu mengerutkan keningnya,
“Mereka tidak
datang kemari. Mungkin mereka ada di dapur.”
Kiai Gringsing
termenung sejenak. Keduanya yang sudah sangat lemah itu pasti tidak akan dapat
pergi terlampau jauh. Apalagi orang yang kekurus-kurusan itu. Tenaganya
seakan-akan sudah habis diperas di perkelahian melawan Swandaru.
“Aku akan
pergi ke dapur,” desis Kiai Gringsing,
“aku sudah
sangat lapar. Apalagi anak-anakku.”
“Di manakah
mereka sekarang?” bertanya seseorang.
“Di gardu
pengawas.”
Orang-orang
itu pun kemudian terdiam. Meskipun pada sorot mata mereka memancar berbagai
pertanyaan, namun mereka tidak mengucapkan sepatah kata pun lagi.
Kiai Gringsing
pun kemudian meninggalkan barak itu dan pergi ke barak yang lain, yang
dipergunakan sebagai dapur dan penampungan perempuan dan anak-anak. Kiai
Gringsing terkejut ketika ia memasuki barak itu. Suasananya benar-benar seperti
suasana kuburan. Meskipun perempuan dan anak-anak tidak melihat apa yang
terjadi, tetapi agaknya mereka memang sudah mendengar, bahwa telah terjadi
sesuatu yang dapat mengancam ketenangan mereka. Di barak itu, Kiai Gringsing
melihat beberapa orang perempuan memeluk anak-anaknya sambil menyediakan
barangnya, pakaiannya dan semua miliknya yang telah terbungkus dengan kain di
sisinya. Agaknya ia merasa, bahwa apabila ia harus lari meninggalkan barak itu
semuanya sudah dipersiapkannya. Ternyata kedatangan Kiai Gringsing telah
mengejutkan mereka. Mereka yang ketakutan menjadi semakin ketakutan. Anak-anak
sudah tidak berani menangis lagi. Mereka menahan isak mereka di dalam dada,
sehingga dada mereka justru menjadi terlampau sakit. Kiai Gringsing menyadari
keadaan itu. Karena itu, maka untuk mengurangi ketegangan, ia bertanya kepada
siapa pun yang ada di dalam barak,
He, apakah
kalian sudah menanak nasi?”
Tidak seorang
pun yang menjawab.
“Bukankah
biasanya kalian membantu menanak nasi dan menyiapkan makan orang-orang yang
akan bekerja di hutan?”
Tidak seorang
pun yang menyahut. Tetapi beberapa orang menganggukkan kepalanya.
“Agaknya
kalian telah terpengaruh oleh keributan itu. Kenapa kalian menjadi ketakutan?
Semuanya sekarang sudah diselesaikan. Kalian harus percaya kepada para
pengawas. Ternyata para pengawas sudah berhasil mengatasi keadaan yang
sebenarnya memang tidak berarti apa-apa. Hanya keributan kecil yang segera
dapat dikuasai.”
Beberapa orang
saling berpandangan sejenak. Tetapi tampak wajah-wajah mereka dibayangi oleh
kebimbangan.
“Apakah kalian
ragu-ragu?”
Tidak ada yang
menjawab. Namun hampir bersamaan beberapa orang memandang ke pintu butulan yang
menuju ke dapur. Kiai Gringsing adalah orang tua yang berpengalaman. Pandangan
beberapa orang itu agaknya telah menarik perhatiannya. Karena itu, maka ia pun
maju selangkah sambil berkata,
“Aku akan
melihat, apakah kalian sudah mulai masak.”
Beberapa wajah
menegang karenanya. Tetapi Kiai Gringsing pura-pura tidak mengetahuinya. Ia
maju selangkah lagi sambi1 berkata,
“Kalau sudah
ada nasi saja yang masak, maka cukuplah kiranya. Nasi dan garam.”
Perempuan-perempuan
itu menjadi semakin tegang. Tetapi tidak seorang pun yang mencegah Kiai
Gringsing. Namun semua memandanginya dengan mata yang hampir tidak berkedip. Kiai
Gringsing menyadari keadaan itu. Karena itu, ia pun menjadi semakin
berhati-hati. Dengan penuh kewaspadaan ia mendekati pintu butulan. Kemudian
dengan kesiagaan sepenuhnya ia melangkah masuk ke dapur. Tetapi ia tidak segera
melihat seseorang. Namun Kiai Gringsing yang mempunyai pendengaran yang tajam,
segera mendengar arus nafas di sekitar ruangan itu. Ketika Kiai Gringsing
memandang berkeliling ruangan yang belum pernah dimasukinya sebelumnya itu,
dilihatnya sebuah pintu butulan pula. Dan Kiai Gringsing yakin, suara tarikan
nafas itu berasal dari luar pintu. Sejenak Kiai Gringsing berdiri di tempatnya.
Dipandanginya keadaan di sekelilingnya. Ruang itu memang sepi. Tidak ada
seorang pun di dalamnya. Beberapa peralatan dapur masih berserakan di
sana-sini. Kelapa yang baru separuh selesai diparut. Nasi yang sudah masak,
tetapi masih belum sempat disenduk dari kukusan, sementara api di perapian
sudah padam.
“Dapur ini
agaknya telah ditinggalkan dengan tergesa-gesa,” berkata Kiai Gringsing di
dalam hatinya.
“Ternyata di
sini tidak ada seorang laki-laki pun. Semua orang laki-laki melarikan diri,
bersembunyi atau pergi ke barak sebelah mencari kawan. Di sini tinggal beberapa
orang perempuan dan anak-anak yang sudah siap pula untuk lari.”
Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya ketika ia mendengar suara nafas itu lagi. Lebih jelas
lagi. Apalagi kalau ia sendiri menahan nafasnya. Maka tarikan nafas yang
didengarnya itu seperti hembusan angin di lubang-lubang dinding dapur itu.
Perlahan-lahan,
Kiai Gringsing maju mendekati pintu butulan. Ia sendiri berusaha untuk mengatur
pernafasannya supaya orang di balik pintu itu tidak mendengarnya. Kiai
Gringsing berhenti beberapa langkah di depan pintu. Sejenak ia berdiri tegang.
Namun kemudian ia meneruskan langkahnya. Dari tarikan nafas orang itu Kiai
Gringsing segera mengetahui, bahwa orang itu tidak terlampau berbahaya baginya,
atau orang itu sengaja memancingnya. Namun Kiai Gringsing kemudian menyadarinya
bahwa suara tarikan nafas itu bukan sekedar tarikan nafas seseorang. Tetapi,
pasti dua orang.
Sejenak
kemudian Kiai Gringsing telah melekat pintu leregan itu. Dengan hati-hati ia
menempelkan telinganya.
“Tidak salah
lagi. Dua orang.”
Tiba-tiba
tangannya menghentakkan daun pintu butulan itu. Ketika pintu itu terbuka
dilihatnya sebuah ruang kecil. Serambi yang diberi dinding.
Ketika ia
melangkah masuk, di dalam ruang yang agak kegelapan karena tidak ada seberkas
sinar pun yang masuk, Kiai Gringsing melihat dua orang yang terbaring di
lantai. Salah seorang dari mereka mencoba untuk berdiri. Tetapi ia sudah tidak
dapat tegak dengan segera. Sambil berpegangan tiang akhirnya ia berhasil berdiri
juga. Orang itu adalah orang yang bertubuh kekar, yang sudah dikalahkan oleh
Swandaru.
“Kau,” desis
orang itu.
“Ya.”
“Apa maksudmu
datang kemari?”
“Tidak
apa-apa. Aku hanya ingin melihat, apakah kau dapat lari jauh dari tempat ini.”
“Aku hampir
mati kehabisan tenaga. Kawanku ini juga. Karena itu aku beristirahat di sini.”
“Sebelum
melarikan diri?”
“Kami tidak
akan melarikan diri.”
“Selagi kalian
masih belum sehat benar. Tetapi pada saatnya kalian akan lari juga.”
Orang itu
menggeleng,
“Aku tidak
akan lari.”
Kiai Gringsing
tidak menyahut lagi. Dilihatnya orang yang kekurus-kurusan yang tubuhnya penuh
dengan jalur-jalur bekas ujung senjata Swandaru itu pun mencoba untuk bangkit
dan duduk. Namun ia masih selalu menyeringai menahan sakit.
“Berbaringlah,”
berkata Kiai Gringsing. Tetapi orang itu agaknya tidak menghiraukannya. Dengan
susah payah akhirnya ia berhasil duduk bersandar kedua tangannya.
“Seluruh
tubuhku terasa sakit dan pedih seperti berbaring di atas bara,” desisnya.
“Tetapi itu
akan lebih baik daripada kau mencoba berbuat sesuatu. Luka-lukamu akan berdarah
lebih banyak lagi. Kekuatanmu akan menjadi semakin susut. Dan barangkali kau
akan pingsan sekali lagi untuk waktu yang lebih lama. Bahkan kalau kau tidak
menjaga dirimu baik-baik, kau akan pingsan selama-lamanya.”
“Kau
menakut-nakuti aku.”
“Tidak. Aku
berkata sebenarnya. Dan kau sekarang memang tidak perlu takut lagi kepadaku.
Apalagi kepada hantu-hantu yang akan marah karena aku dan anak-anakku.”
Wajah keduanya
menjadi tegang.
“Sudah aku
katakan. Jangan terlampau menghiraukan aku dan anak-anakku. Biarlah kami
ditelan hantu-hantu itu. Sekarang akibatnya kau sendirilah yang menanggung,”
berkata Kiai Gringsing.
“Karena kau
ingin menyelamatkan orang-orang di barak itu, maka kau telah menumbuhkan keonaran.”
“Kami tidak
bermaksud membuat keonaran,” berkata orang yang kekurus-kurusan itu.
“Kami tetap
pada pendirian kami, hantu-hantu itu akan dapat marah kepada kami semuanya.
Kepada kita.”
“Sekali lagi
aku katakan. Jangan hiraukan kami.”
“Tidak
mungkin.”
“Dengar.
Apakah wajar kalau kalian mencoba mencegah kemungkinan malapetaka melanda seisi
barak karena hantu-hantu itu marah, tetapi pengawas berkumis yang garang itu
akan membunuh orang-orang itu.”
“O, benarkah
begitu?”
Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya. Katanya kemudian,
“Orang
berkumis itu sudah mati. Dukun itu pun sudah mati pula. Yang tinggal adalah
kalian berdua.”
“Kenapa dengan
kami berdua?”
Kiai Gringsing
menggelengkan kepalanya,
“Tidak
apa-apa. Tetapi kenapa kalian berada di sini? Tidak di barak?”
“Aku merasa
lebih tenang di sini. Sakit kami tidak terganggu dan kami dapat beristirahat.”
Kiai Gringsing
tidak menyahut lagi. Tetapi ia masih berdiri di tempatnya. Sejenak ia merenungi
keduanya. Ia menjadi ragu-ragu. Apakah ia akan segera mengobati keduanya atau
tidak. Tetapi justru karena luka-luka keduanya tidak berbahaya bagi jiwa
mereka, maka Kiai Gringsing mengambil keputusan untuk membiarkan saja mereka
dahulu, agar mereka tidak dapat pergi meninggalkan tempat itu.
“Bagaimanapun
juga, keduanya masih diperlukan,” katanya di dalam hati,
“meskipun
pengetahuannya tentang lingkungannya terlampau sedikit, tetapi mungkin ia dapat
menunjukkan jalur yang dapat ditelusur lebih jauh, sehingga akhirnya dapat
diketemukan pusat dari usaha yang masih belum dapat diketahui dengan pasti
itu.”
“Sudahlah,” berkata
Kiai Gringsing kemudian,
“aku juga
tidak akan mengganggu kalian. Beristirahatlah.”
Kedua orang
itu tidak menjawab. Mereka memandang saja wajah Kiai Gringsing dengan sorot
mata yang membayangkan keheranan. Mereka sama sekali tidak berbuat apa pun
ketika Kiai Gringsing kemudian melangkah meninggalkan ruangan itu. Di muka pintu
ia berpaling sambil berkata,
“Kalian memang
harus beristirahat. Tidurlah supaya keadaan tubuh kalian segera menjadi baik.”
Kedua orang
itu sama sekali tidak menjawab, selain memandang dengan mata mereka yang hampir
tidak berkedip.
Tetapi
keduanya terkejut ketika Kiai Gringsing kemudian tidak saja menutup pintu.
Tetapi pintu itu di selaraknya dari luar.
“He, Ki
Sanak,” orang yang kekar itu berteriak, “apa artinya ini?”
“Tidak
apa-apa,” jawab Kiai Gringsing dari luar,
“supaya kalian
dapat beristirahat dengan tenang. Jangan cemas, aku tidak akan pergi jauh. Aku
selalu ada di sekitar tempat ini, sehingga apabila kalian memerlukan aku, kalian
dapat berteriak memanggil.”
“Tetapi kenapa
pintu itu diselarak?”
“Tidak
apa-apa. Sudah aku katakan, tidak apa-apa.”
“Buka sajalah.
Buka sajalah. Kalau aku memerlukan keluar dari tempat ini, aku tidak usah
berteriak memanggil siapa pun.”
“Jangan,”
sahut Kiai Gringsing,
“nanti kau
akan terganggu oleh orang-orang yang keluar masuk ruangan ini.”
“Tidak,
tidak,” dan tiba-tiba saja tertatih-tatih orang yang tinggi kekar itu melangkah
ke pintu. Sambil memukul-mukul daun pintu leregan ia berkata,
“Buka, buka
pintu ini.”
“Tentu, nanti
aku akan membukanya. Sekarang biarlah saja dahulu. Jangan hiraukan pintu itu.
Sudah aku katakan, kau akan dapat beristirahat dengan tenang.”
Kiai Gringsing
pun kemudian tidak menghiraukan orang itu lagi, meskipun ia masih memukul-mukul
pintu. Meskipun demikian, orang tua itu masih juga ragu-ragu meninggalkan
tempat itu. Perlahan-lahan saja ia melangkah memasuki ruang yang lain. Dilihatnya
beberapa orang perempuan dan anak-anak menjadi semakin cemas. Tetapi tidak
seorang pun dari mereka yang bertanya kepadanya apa yang telah terjadi.
“Jangan
takut,” berkata Kiai Gringsing, karena ia yakin, perempuan-perempuan itu telah
mendengar suara orang yang tinggi kekar itu berteriak-teriak. Katanya kemudian,
“Orang itu tidak akan terbuat apa-apa. Ia marah kepadaku. Tidak kepada kalian.
Aku sengaja menutup dan menyelarak pintu itu dari luar. Jangan dibuka, supaya
ia tidak pergi.”
Perempuan dan
anak-anak itu memandanginya seperti memandang sebuah tontonan yang paling
mencemaskan, seperti mereka melihat seorang penari yang kehilangan kesadaran
oleh irama gamelan yang cepat dan menikam dirinya sendiri meskipun tidak
terluka. Kiai Gringsing sadar sepenuhnya akan hal itu. Perempuan dan anak-anak
itu memang telah dicengkam oleh kecemasan. Tetapi mereka tidak berani
mengatakannya.
“Mereka
memerlukan perlindungan,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.
“Sayang, bahwa
laki-laki yang ada di barak itu telah terpengaruh oleh lingkungan yang
dibangkitkan oleh orang-orang itu, sehingga selalu diliputi oleh ketakutan.
Bahkan para pengawas pun telah terpengaruh pula, justru karena di dalam
lingkungan mereka pun terdapat seorang yang ikut serta di dalam usaha
menakut-nakuti para pekerja.”
Dalam pada
itu, tiba-tiba saja Kiai Gringsing teringat kepada kedua muridnya. Mungkin ia
dapat membagi tugas. Salah seorang tetap di gardu pengawas, yang lain menunggui
kedua orang ini.
Kiai Gringsing
tiba-tiba mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kepada perempuan dan
anak-anak yang ketakutan itu,
“Tunggulah
sebentar. Aku akan mencari kawan untuk kalian.”
Kiai Gringsing
pun kemudian segera pergi dengan tergesa-gesa kembali ke barak. Ia mengajak
beberapa orang yang masih mempunyai sedikit keberanian untuk mengubur mayat
dukun yang terbunuh oleh pisau belati beracun, pisaunya sendiri yang
dilemparkannya kepada pemimpin pengawas, tetapi yang kemudian justru kembali
menikam punggungnya. Kepada beberapa orang yang lain ia berpesan, bahwa
sebentar lagi anaknya akan datang dan memerlukan beberapa kawan sekedar untuk
menghilangkan kejemuan, menunggui kedua orang yang sedang beristirahat di
sebelah dapur.
Agung
Sedayu-lah yang kemudian mendapat tugas untuk menunggui kedua orang yang berada
di serambi dapur itu. Bersama dua orang yang diajaknya dari barak, ia pergi ke
tempat kedua orang itu terkurung.
“Apakah mereka
tidak melarikan diri?” bertanya salah seorang dari dua orang yang diajaknya
itu.
“Menurut
ayahku, pintunya telah diselarak dari luar.”
“Tetapi mereka
pasti dapat membuka dinding yang tidak terlampau kuat. Melepas tali-talinya
kemudian menyuruk keluar.”
“Keduanya sangat
lemah,” jawab Agung Sedayu.
“Menurut Ayah
keduanya tidak akan mampu berbuat banyak.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar