“Kalau sudah terlampau lemah karena luka-luka itu,” berkata Agung Sedayu kepada Wanakerti,
“beristirahatlah.
Rawatlah luka-lukamu agar darahnya berhenti mengalir.”
Wanakerti
mengerutkan keningnya. Tetapi ia harus mengakui bahwa tangannya memang sudah
hampir tidak dapat bergerak lagi. Apalagi kawannya yang mengalami tekanan yang
lebih berat, serta luka-lukanya pun lebih parah. Tetapi apakah ia dapat
melepaskan tugasnya begitu saja? Padahal ia tahu pasti bahwa orang itu cukup
berbahaya, bahkan agaknya ia memang telah bersepakat untuk membunuh
pemimpinnya.
“Aku harus
menangkapnya,” Wanakerti menggeram,“atau aku harus beristirahat dan membiarkan
ia membunuh aku, kawan-kawanku, serta pemimpin kami itu?”
“Aku akan
mencoba mencegahnya,” desis Agung Sedayu.
Wanakerti
memandang Agung Sedayu sejenak. Anak itu tampaknya memang tidak bergurau.
Tetapi apakah ia mampu melawan orang berkumis itu seorang diri?
“He,” teriak
orang berkumis,
“jadi kaulah
yang akan menggantikan ketiga pengawas ini, he? Kau memang terlampau sombong.
Tiga orang bersenjata pedang tidak berhasil mengalahkan aku. Apa kau sangka
karena adikmu yang gemuk itu mampu mengalahkan kedua cucurut itu, lalu kau pun
dapat mengalahkan aku?”
“Soalnya bukan
kalah atau menang. Tetapi kami yakin, bahwa kami akan dapat menghentikan segala
macam perbuatanmu yang telah menggoncangkan daerah ini.”
“Persetan!” ia
menggeram.
“Kalian memang
ingin mati.”
“Tentu tidak.
Kami akan dapat berbuat banyak. Kalau aku tidak dapat menangkap kau sendiri,
maka ketiga pengawas ini setelah beristirahat akan dapat membantuku. Juga
adikku yang gemuk itu, dan mungkin satu dua orang di antara para penonton ini
pun bersedia membantu meskipun hanya melempari kau dengan batu dari kejauhan.”
“Gila, gila!
Ayo cepat mulai. Jangan banyak bicara lagi.”
Orang berkumis
itu pun segera maju mendekati Agung Sedayu. Pedangnya yang tajam terayun-ayun
mengerikan. Sedang matanya yang merah menjadi semakin merah.
“Kau harus
mati. Mati!”
Agung Sedayu
memang merasa bahwa ia harus berhati-hati. Ia tidak dapat bergurau melawan
orang ini. Kecuali ia memang mempunyai ilmu yang cukup, orang itu pun telah
dilambari dengan kemarahan yang memuncak. Sehingga dengan demikian, maka ia
harus benar-benar berhati-hati menghadapinya.
Ketika orang
itu melangkah semakin dekat. Agung Sedayu pun segera bersiaga. Orang-orang yang
berdiri mengelilingi arena itu menjadi semakin tegang. Bahkan ada di antara
mereka yang menjadi pening, hampir pingsan. Tetapi mereka tidak dapat berbuat
apa-apa. Namun dengan demikian, mereka hari ini telah melupakan kerja mereka
melanjutkan pembukaan hutan ini. Tetapi agaknya penyelesaian dari persoalan di
arena ini akan menjadi landasan keadaan daerah ini untuk selanjutnya. Orang-orang
itu mengerutkan keningnya ketika mereka melihat, seperti Swandaru, Agung Sedayu
pun telah mengurai sesuatu di lambungnya. Sebuah cambuk panjang, seperti
senjata anak yang gemuk itu.
“Setiap
gembala memang menyimpan cambuk,” desis Agung Sedayu. Lalu,
“Memang cambuk
ini mempunyai bermacam-macam guna.”
Orang berkumis
itu tidak menyahut. Tetapi ia melangkah semakin dekat dan pedangnya kemudian
mulai bergetar. Agung Sedayu sadar, bahwa orang itu agaknya benar-benar sudah
akan mulai. Karena itu, maka ia pun harus segera bersiap. Sejenak kemudian,
maka orang itu pun telah meloncat dengan pedang terjulur menyerang Agung
Sedayu. Tetapi Agung Sedayu telah bersiap menghindarinya. Ia meloncat ke
samping sambil mengibaskan cambuknya sendal pancing. Terdengar cambuk itu
meledak memekakkan telinga. Namun orang berkumis itu pun cukup tangkas. Ia
berhasil menghindari dengan suatu loncatan yang cepat dan panjang. Agung Sedayu
mengerutkan keningnya. Ia semakin menyadari, bahwa lawannya memang seorang yang
memiliki ilmu yang cukup. Dengan demikian maka ia tidak boleh lengah. Ia belum
tahu pasti, sampai berapa jauh lawannya memiliki kemampuan. Sejenak Agung
Sedayu memandang wajah gurunya. Dan wajah itu pun tampaknya menjadi tegang pula
karenanya. Orang berkumis itu pun kemudian telah bersiap pula untuk menyerang.
Tetapi seperti Agung Sedayu, ia menyadari bahwa lawannya kali ini meskipun
hanya seorang, tetapi lebih berbahaya dari ketiga pengawas yang hampir saja
dikalahkannya itu. Apalagi senjatanya yang lentur itu tampaknya memang sangat
berbahaya baginya. Dengan senjata semacam itu pula, anak muda yang gemuk itu
berhasil merebut senjata lawannya. Sejenak kemudian maka keduanya pun segera
terlibat dalam perkelahian yang semakin lama semakin seru. Setiap kali
terdengar ledakan cambuk Agung Sedayu di antara kilatan daun pedang lawannya
yang memantulkan cahaya matahari, yang semakin terik pula. Orang yang
menyaksikan perkelahian itu pun menjadi semakin tegang. Mereka seakan-akan
telah membeku di tempatnya. Mata mereka hampir tidak berkedip sama sekali.
Kedua orang yang berkelahi itu mempunyai kemampuan yang luar biasa.
Masing-masing menguasai senjata yang ada di tangannya. Pedang orang berkumis
itu berputaran seperti baling-baling melindungi dirinya. Sekali-sekali pedang
itu mematuk seperti seekor ular menyelinap di antara ujung cambuk lawannya.
Sejenak kemudian pedang itu menyambar dengan derasnya, mendatar setinggi bahu.
Orang berkumis
itu memang benar-benar cekatan. Apalagi dilandasi oleh kemarahan yang memuncak,
sehingga seolah-olah ia mendapat tambahan kekuatan untuk mengayunkan pedangnya.
Namun cambuk Agung Sedayu mampu mengimbangi kelincahan ujung pedang itu.
Cambuknya berputaran meledak-ledak. Bahkan sekali-sekali Agung Sedayu berhasil
menyentuh lawannya meskipun tidak meninggalkan bekas. Namun sentuhan-sentuhan
itu semakin lama menjadi semakin sering. Bahkan semakin keras. Apalagi setelah
Agung Sedayu berhasil menyesuaikan dirinya dengan tata gerak lawannya. Maka
sejenak kemudian perkelahian itu pun menjadi semakin cepat. Orang berkumis itu
segera menyadari, bahwa lawannya bukanlah seorang anak gembala yang sekedar
mampu menyombongkan diri. Tetapi lebih daripada itu, maka orang berkumis itu
pun menyadari pula, bahwa kedatangan ayah dan kedua anaknya itu bukanlah
sekedar tanpa maksud. Kalau mereka benar-benar sekedar ingin membuka tanah
garapan yang baru, maka mereka tidak akan berbuat sampai sedemikian jauh. Namun
pendapat itu ternyata justru telah membuatnya semakin gelisah. Sehingga akhirnya
tidak ada kesimpulan lain kecuali membinasakan semuanya, selagi hal ini masih
belum didengar oleh lingkungan yang lebih tinggi lagi. Ia akan dapat membuat
ceritera apa pun untuk mengelabuhi atasannya. Sedangkan orang-orang lain yang
menyaksikan perkelahian itu, akan dapat dibungkamnya dengan menakut-nakuti dan
mengancam mereka. Mereka pasti akan menjadi semakin ketakutan apabila kepada
mereka diyakinkan bahwa apa yang telah terjadi, telah membuat hantu-hantu Alas
Mentaok menjadi semakin marah. Mereka masih belum kehilangan kepercayaan mereka
terhadap hantu.
Dengan
demikian maka orang berkumis itu pun kemudian berkelahi semakin garang.
Pedangnya berputar-putar dan menyambar-nyambar dengan cepatnya. Namun lawannya
pun dapat berbuat lebih cepat pula. Pedang itu sama sekali tidak berhasil
menyentuh tubuh Agung Sedayu sama sekali. Swandaru menyaksikan perkelahian itu
dengan tegangnya. Namun Kiai Gringsing kemudian menarik nafas dalam-dalam. Ia
yakin bahwa Agung Sedayu akan dapat mempertahankan dirinya kalau ia tidak
membuat kesalahan. Sementara itu, pemimpin pengawas yang terluka di punggungnya
masih juga meletakkan ujung pedangnya di tubuh tawanannya. Bahkan kemudian
seperti acuh tak acuh dibiarkan ujung pedang itu menyentuh-nyentuh lehernya. Dukun
yang terikat itu mengumpat-umpat di dalam hati. Apalagi ketika ia melihat
pemimpin pengawas itu kini sama sekali tidak memegangi hulu pedangnya.
Diletakkannya saja hulu pedang itu di pangkuannya, sedang ujungnya terasa
menyentuh-nyentuh kulit lehernya. Tetapi akhirnya orang yang terikat itu tidak
dapat membiarkan ujung pedang itu semakin menekan lehernya sehingga sambil
beringsut ia berkata,
“Ujung pedang
itu menyakiti leherku. Kalau kau bergerak tanpa kau sadari, ujungnya dapat
menembus tenggorokan.”
“O, maaf. Tetapi
aku tidak sempat memegangi tangkainya. Tanganku masih terlampau lemah karena
luka di punggung. Agaknya luka di leher memang lebih berbahaya dari luka di
punggung. Tetapi apa boleh buat. Kalau kau tidak melukai punggungku, maka aku
akan dapat menggenggam tangkai pedangku itu. Tetapi sekarang aku merasa sangat
malas. Kalau terpaksa ujungnya perlahan-lahan masuk ke lehermu, itu namanya
suatu kecelakaan. Maaf.”
“Anak setan!”
orang itu mengumpat. Tetapi mulutnya segera terkatup ketika pemimpin pengawas
itu justru menekankan ujung pedangnya sambil bertanya,
“Apa? Apa
katamu?”
Tawanannya
hanya diam saja.
“Ayo, ulangi.”
Dukun yang
terikat itu menggeleng sambil menyeringai.
“Kalau sekali
lagi kau mengumpat, aku gores lehermu dengan ujung pedang ini.”
Sekali lagi
dukun itu menggelengkan kepalanya.
Dalam pada itu
perkelahian di arena menjadi semakin sengit. Namun ternyata, ujung cambuk Agung
Sedayu semakin banyak membuat jalur-jalur mereka di kulit lawannya, sehingga
pada suatu saat, darah telah menitik dari luka-lukanya. Orang berkumis itu
menggeram. Ia tidak akan dapat membiarkan dirinya menjadi tawanan. Ia tidak mau
di tangkap oleh siapa pun juga. Kini ia harus menghadapi suatu kenyataan, bahwa
ia tidak akan dapat mengalahkan anak muda itu. Apalagi apabila adiknya yang
gemuk, yang sudah mendapat kesempatan beristirahat, bersama-sama dengan para
pengawas yang lain akan bertindak. Tetapi ia tidak mendapatkan cara untuk
melepaskan diri. Ketika ia mencoba memandang orang-orang yang berdiri di paling
depan dari lingkaran perkelahian itu, hatinya menjadi semakin berdebar-debar.
Ia melihat anak muda yang gemuk itu masih menggenggam cambuknya, kemudian
ketiga pengawas yang berpencar. Agaknya mereka telah berhasil memampatkan darah
dari luka-luka mereka. Dan orang berkumis itu sama sekali tidak mengetahuinya,
bahwa gembala tua itulah yang telah membagikan obat untuk mereka. Orang
berkumis itu kini benar-benar merasa terkepung. Meskipun ia tidak dapat
dikalahkan oleh ketiga pengawas itu, namun di pinggir arena itu berdiri ketiganya
dan anak yang gemuk itu, ditambah lawannya yang masih segar di arena dengan
cambuk di tangan. Tetapi ia tidak boleh menyerah. Apa pun yang akan terjadi
atasnya, bahkan mati pun akan lebih baik daripada ia dapat ditangkap dan
diperas segala macam keterangan yang diketahuinya.
“Persetan
dukun itu!” ia menggeram di dalam hatinya.
“Ia tidak akan
membuka mulutnya kalau ia benar-benar seorang jantan. Ia harus mati pula
seandainya aku mati di arena ini.”
Namun orang
berkumis itu masih mempunyai harapan betapapun tipisnya. Seperti dugaan Kiai
Gringsing, pedang itu memang bukan satu-satunya senjatanya. Kiai Gringsing yang
ada di pinggir arena itu pun menjadi semakin waspada. Semakin terdesak lawan
Agung Sedayu, Kiai Gringsing pun semakin tajam mengamati gerak orang berkumis
itu. Dalam keadaan yang terjepit dan putus asa ia akan dapat melakukan sesuatu
yang sangat berbahaya bagi Agung Sedayu. Ternyata dugaan Kiai Gringsing itu
tidak salah. Setelah orang berkumis itu benar-benar merasa tidak dapat bertahan
lagi, maka sampailah ia kepada puncak kemampuan yang ada padanya. Oleh
keputus-asaan yang tidak terhindarkan lagi, maka ia bertekad untuk berbuat apa
saja yang dapat dilakukan.
“Aku tidak mau
mati sendiri. Biarlah kita mati bersama,” katanya di dalam hati.
“Apabila di
dalam puncak perkelahian ini beberapa orang di luar arena menjadi korban, itu
sama sekali bukan salahku.”
Sesaat
kemudian terasa oleh Agung Sedayu, orang berkumis itu mengerahkan segenap
kemampuan yang ada padanya. Dengan sisa tenaganya, ia menyerang Agung Sedayu
dengan garangnya. Namun seperti serangan-serangannya yang lampau, maka ia sama
sekali tidak berhasil mengenai lawan-nya, meskipun di dalam keadaan terakhir
Agung Sedayu pun telah menjadi basah oleh keringatnya. Bahkan nafasnya pun
menjadi semakin cepat mengalir. Ia telah memeras tenaganya untuk selalu
menghindari serangan-serangan lawannya yang berbahaya dan menahan
serangan-serangan itu dengan lecutan-lecutan cambuk yang memekakkan telinga.
Namun dengan demikian, ia sudah mengerahkan sebagian besar tenaganya. Dalam
keadaan yang demikian itulah, ia harus semakin berhati-hati, karena seperti
peringatan yang diberikan oleh gurunya, bahwa pedang itu bukan satu-satunya
senjata lawannya. Kiai Gringsing pun tanpa sesadarnya melangkah maju. Ia melihat
pandangan yang aneh memancar di mata orang berkumis itu. Sejenak kemudian,
sekali lagi orang itu menyerang Agung Sedayu dengan sisa tenaganya. Namun
ketika cambuk Agung Sedayu meledak dan mengenai pundaknya ia terloncat mundur. Tetapi
pada saat ia berputar menjauhi lawannya, Kiai Gringsing melihat bagaimana ia
menarik sebuah bumbung kecil dari kantong ikat pinggangnya. Kemudian dicabutnya
tutup bumbung kecil itu. Ketika ia menghadap Agung Sedayu, maka dengan tangan
kiri ia sudah siap menyerang Agung Sedayu dengan bumbung itu. Agung Sedayu
melihat juga bumbung kecil itu. Tetapi ia tidak segera mengerti, bagaimanakah
cara lawannya menyerang dengan senjatanya yang aneh. Semula ia mengira bahwa
bumbung itu akan dilemparkannya dengan kekuatan yang melampaui kekuatan manusia
sewajarnya, didukung oleh tenaga cadangan yang ada di dalam dirinya. Karena
itu, ia pun segera bersiap untuk menghindarinya. Karena ia tidak dapat menduga
betapa besar tenaga itu, maka yang paling baik adalah menghindari benturan
dengan cara apa pun, karena ia sendiri masih belum berhasil sepenuhnya
mengungkat tenaga cadangan yang ada di dalam dirinya untuk dibangunkan setiap
saat, dan dalam waktu yang hanya sekejap. Sejenak kemudian ia melihat mata
orang berkumis itu menjadi liar. Diedarkannya tatapan matanya ke sekelilingnya.
Namun kemudian ia menggeram,
“Kalian semua
akan mati. Kalian semua yang berdiri di hadapanku. Kemudian akan datang giliran
orang-orang lain yang ada di seputar arena ini.”
Kata-kata
dalam nada yang dalam itu telah mendirikan segenap bulu-bulu di tubuh
orang-orang yang mendengarnya. Apalagi apabila terlihat oleh mereka, mata orang
berkumis yang menjadi merah dan liar itu. Sejenak ia masih mengacu-acukan
bumbung itu. Katanya,
“Jangan
menyesal. Serbuk beracun ini akan membunuh kalian. Aku akan menaburkannya.
Setiap butir, akan membunuh seorang dari antara kalian.”
Ancaman itu
benar-benar sangat mengerikan. Bahkan Agung Sedayu pun tertegun sejenak. Tetapi
akhirnya ia sadar, bahwa orang itu tidak hanya sekedar menakut-nakuti, karena
orang-orang di dalam lingkungan mereka adalah orang-orang yang selalu
bermain-main dengan racun. Karena itu ia pun segera mengerti, bahwa bumbung itu
memang berisi serbuk racun yang keras sekali. Sebentar lagi orang itu pasti
akan mengibaskan bumbung itu, sehingga isinya akan menghambur keluar, berpencar
mengenai orang-orang yang ada di bagian depannya. Agaknya ia masih belum akan
puas. Ia akan berputar dengan bumbung yang lain dan mengibaskannya pula,
sehingga orang-orang yang terkena kemudian akan mati.
“Gila,” desis
Agung Sedayu, “jangan bermain-main dengan racun.”
Orang itu
menatap Agung Sedayu sejenak, namun kemudian ia tertawa terbahak-bahak,
“Nah, ternyata
kau pun menjadi ketakutan mendengar ancaman ini. Tetapi apa boleh buat. Kau
memang harus mati. Kalau ada orang lain yang akan mati pula, itu adalah nasib
mereka. Nasib mereka lah yang memang kurang baik pada hari ini.”
Agung Sedayu
memandang bumbung itu dengan wajah yang tegang. Jarak yang memisahkan mereka
cukup panjang, karena orang berkumis itu meloncat beberapa langkah surut.
“Kalau kau
mendekat, maka itu akan berarti mempercepat kematianmu bersama dengan
orang-orang di sekitarmu,” berkata orang itu lantang.
“Itu tidak
adil,” sahut Agung Sedayu,
“hanya akulah
yang bertempur melawan kau. Kau tidak seharusnya membunuh orang lain kecuali
aku.”
“Aku sudah
bertempur melawan tiga cucurut itu. Mereka pun harus mati. Kemudian anak muda
yang gemuk itu, kau, ayahmu, pemimpin pengawas yang dungu itu dan orang-orang
yang berdiri di sekitar arena ini, yang melihat kecurangan dan pengkhianatan
kalian tetapi tidak mau berbuat apa-apa. Itu pun merupakan suatu kesalahan yang
tidak dapat dimaafkan.”
Agung Sedayu
tidak menyahut. Dipandanginya saja bumbung di tangan kiri orang berkumis itu,
sedang di tangan kanan masih tetap tergenggam pedangnya.
“Isi bumbung
itulah agaknya yang berbahaya,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. Tetapi
ia masih belum dapat menebak dengan pasti, apakah isi itu. Namun yang pasti,
senjata itu mengandung racun. Serbuk racun apa pun wujudnya. Serbuk besi, baja,
batu atau tulang?
Karena itu,
maka ia harus berhati-hati. Ia sudah menerima obat pemunah racun dari gurunya.
Tetapi kalau serbuk racun itu mengenai seluruh atau sebagian besar tubuhnya,
apakah ia sempat melumurkan obat itu? Dan apakah obat yang ditelannya sudah
cukup kuat untuk menahan racun yang keras dan tajam, yang tersimpan di dalam
serbuk itu? Bahkan seandainya mungkin, untuk beberapa saat ia akan kehilangan
kesempatan untuk melawan. Demikian juga orang-orang lain. Agung Sedayu menjadi
berdebar-debar. Ujung cambuknya tidak dapat mencapai jarak antara dirinya dan
orang berkumis itu.
Dalam
ketegangan itu ia mendengar orang berkumis itu tertawa,
“Jangan
menjadi pucat. Apakah kau ketakutan?”
Agung Sedayu
menggeram. Ketika ia memandang gurunya dan Swandaru, mereka pun berdiri pada
jarak yang tidak tercapai oleh juntai cambuk mereka.
“Ha, kau akan
minta tolong kepada adikmu yang gemuk itu?” desis orang berkumis itu,
“Jangan
coba-coba. Setiap gerak dari siapa pun juga akan berakibat gawat. Aku masih
memberi kau kesempatan mengucapkan pesan terakhir sebelum aku mengibaskan
bumbung ini.”
Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam. Sejenak dilihatnya bumbung di tangan kiri orang
berkumis itu.
“Cepat!”
bentaknya,
“Kalau kau
tidak mau berbicara, aku akan segera membunuhmu.”
Perlahan-lahan
orang berkumis itu mengangkat bumbungnya tinggi-tinggi. Dada Agung Sedayu
menjadi semakin berdebar-debar. Tiba-tiba saja ia menjadi gelisah.
Sekali-sekali ditatapnya wajah gurunya, kemudian wajah adiknya yang gemuk.
Diremasnya tangkai dan ujung cambuknya dan bahkan kemudian diacukannya
cambuknya itu sambil berkata,
“Tunggu.
Tunggu sebentar.”
“Apa yang
harus aku tunggu?” bertanya orang berkumis itu.
“Jangan kau
taburkan serbukmu itu dengan cara yang sama sekali tidak berperikemanusiaan,”
berkata Agung Sedayu.
“Kau akan
membunuh banyak orang di belakangku.”
“Sudah aku
katakan. Nasib merekalah yang jelek.”
“Kalau kau
tidak menghendaki aku pergi, biarlah mereka yang pergi.”
“Jangan banyak
bicara. Aku sudah cukup memberi kesempatan kepadamu. Sekarang katakan pesanmu.”
“Tunggu,
tunggu,” Agung Sedayu tiba-tiba saja menjadi tergagap. Sambil mengacu-acukan
cambuknya ia berkata,
“aku masih
akan berbicara. Tidak tentang diriku sendiri. Tetapi tentang orang-orang ini.”
“Bicaralah
tentang dirimu sendiri.”
“Tunggu,”
tangan Agung Sedayu menjadi gemetar, dan tiba-tiba saja cambuknya terjatuh.
Dengan serta-merta ia memungut cambuknya sambil berkata tergagap,
“aku minta
waktu sebentar.”
Orang berkumis
itu tiba-tiba tertawa menyentak. Ia senang sekali melihat Agung Sedayu yang
kebingungan, namun kemudian ia berkata,
“Sudah cukup.
Aku sudah muak melihat kau, meskipun sebenarnya aku senang sekali melihat kau
ketakutan.”
“Belum, belum
cukup. Kau harus memberi kesempatan orang-orang lain ini pergi. Taburan
serbukmu akan membunuh orang-orang yang tidak bersalah. Apakah kau tidak dapat
mengambil cara lain, misalnya dengan mengumpulkan kami, orang-orang yang akan
kau bunuh dan mengusir orang-orang yang tidak berkepentingan?”
Orang berkumis
itu berpikir sejenak. Ketika seseorang di pinggir arena bergerak, ia membentak,
“Diam di
tempatmu! Atau kau dahulu yang mati.”
“Tetapi,
tetapi ……..,” minta orang itu, “kami tidak ikut apa-apa di dalam persoalan ini.
Kami hanya sekedar melihat.”
“Ya, kami
tidak bersalah,” teriak yang lain.
“Biarkan kami
pergi. Kami tidak akan mencampuri persoalan kalian.”
“Ya, kami
tidak. Kami tidak.”
Dan tiba-tiba
orang berkumis itu membentak,
“Diam. Diam!
Kalian sama sekali tidak membantuku selagi aku dalam kesulitan. Sekarang kalian
mengemis belas kasihanku. Gila! Itu adalah pikiran gila. Matilah kalian bersama
anak muda yang sombong ini, yang merasa dirinya tidak terkalahkan. Sambil
menunggu saat matimu, berdoalah agar kau tidak terjerumus ke dalam neraka.”
“Ampunkan
kami, ampunkan kami,” minta orang-orang yang berada di pinggir arena. Tanpa
mereka sadari mereka pun mulai berdesak-desakan mencari perlindungan yang satu
pada yang lain, sehingga mereka pun justru dorong-mendorong di antara mereka.
“Menyenangkan
sekali. Pemandangan yang paling menarik yang pernah aku lihat. Seorang anak
muda perkasa yang ketakutan menghadapi maut, dan sekelompok tikus-tikus yang
ketakutan pula, saling berdesakan.”
Namun kini
Agung Sedayu sudah tidak menjadi gelisah lagi. Bahkan kemudian ia maju
selangkah sambil berkata,
“Baiklah.
Kalau kau sudah tidak mau mendengarkan aku lagi.”
Orang berkumis
itu mengerutkan keningnya. Sejenak kemudian ia membentak,
“Gila! Kau
menantang?”
“Bukan
maksudku, tetapi kau sudah tidak mau mendengar lagi. Apa boleh buat.”
Orang itu
menjadi tegang. Dipandanginya Agung Sedayu sejenak. Kemudian ia menggeram,
“Bagus! Aku
memang harus cepat-cepat membunuhmu.”
Orang itu pun
maju selangkah pula. Ia mengangkat tabung serbuknya semakin tinggi, sedang
matanya menjadi semakin merah dan liar oleh nafsunya yang membakar dadanya.
Nafsu membunuh dan membinasakan lawannya. Orang-orang yang berdiri di belakang
Agung Sedayu tidak menghiraukan apa pun lagi. Tiba-tiba mereka berlarian tidak
menentu, saling melanggar dan berdesakan menjauhi arena. Beberapa orang
terjatuh dan terinjak oleh kawan-kawan mereka. Pada saat itulah orang yang
berkumis itu siap untuk mengibaskan tabung serbuknya. Ia mengangkat bumbungnya
semakin tinggi dan siap mengayunkannya ke arah Agung Sedayu. Ternyata bukan
saja orang-orang yang berada di belakang Agung Sedayu, tetapi hampir semua
orang di sekeliling arena itu menjadi ketakutan. Mereka merasa bahwa orang
berkumis itu akan membunuh mereka semua dengan serbuk mautnya. Karena itu,
hampir semua orang berlari-larian berpencaran tanpa tujuan, asal menjauhi
lingkaran yang mengerikan itu. Orang-orang yang hatinya sekecil menir, bahkan
tidak sempat lagi melarikan diri. Mereka terduduk di tanah dengan tubuh
gemetar. Yang masih tetap berdiri tegak di tempatnya adalah Agung Sedayu,
Swandaru dan Kiai Gringsing. Selain mereka adalah ketiga pengawas yang terluka
yang berdiri berpencaran.
Sejenak
kemudian, di dalam kekacauan yang kisruh, orang-orang yang berlari-larian itu
masih mendengar suara jerit melengking tinggi. Beberapa orang mencoba menutup
telinga mereka, sambil berlari semakin kencang. Mereka membayangkan bahwa anak
muda yang bersenjata cambuk itu pun kemudian tergolek di tanah dengan tubuh
yang hangus kebiru-biruan. Ketiga pengawas yang berdiri tegang di pinggir
lingkaran perkelahian itu pun terkejut bukan kepalang. Ternyata mereka, masih
sempat melihat orang berkumis itu siap mengayunkan bumbungnya. Namun tiba-tiba
sesuatu telah membentur bumbung itu, sehingga justru serbuk yang ada di
dalamnya tertumpah mengenai tubuhnya sendiri. Suara jerit yang melengking itu
adalah suara orang berkumis itu sendiri.
Agung Sedayu
masih tetap berdiri di tempatnya. Namun wajahnya menjadi tegang dan bahkan
seolah-olah ia membeku di tempatnya.
“Kau berhasil,
Agung Sedayu,” desis Kiai Gringsing yang masih menggenggam sebuah bumbung kecil
pula meskipun bumbung ini berisi obat-obat yang berharga,
“hampir saja
aku melemparkannya untuk membentur bumbung orang berkumis itu. Tetapi agaknya
kau sendiri telah dapat mengenainya.”
Swandaru pun
mendekatinya sambil berkata,
“Aku akan
melemparkan cambukku. Aku tidak dapat berpikir lagi.”
Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam.
“Dari mana kau
mendapat batu yang kau lontarkan tepat mengenai bumbung itu?” bertanya
Swandaru.
Agung Sedayu masih
mencoba menenangkan jantungnya yang bergolak. Ketiga pengawas yang masih
berdiri di seputar arena maut itu pun mendekati Agung Sedayu pula. Seperti
Swandaru, mereka pun bertanya,
“Darimana kau
mendapatkan batu itu?”
“Cambukku
telah terjatuh,” jawab Agung Sedayu,
“ketika aku
memungutnya, aku menggenggam sebutir batu.”
“Tetapi kau
luar biasa. Kau dapat membidik dengan tepat bumbung di tangan orang berkumis
itu.”
“Ya,” Agung
Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Jangankan
bumbung sebesar itu,” sahut Swandaru dengan bangga, seolah ia sendirilah yang
telah berhasil,
“sedang telur
burung pipit di pucuk pohon cemara pun dapat dikenainya.”
Ketiga
pengawas itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Luar biasa,”
desis Wanakerti,
“kami sudah
menyangka, bahwa kita akan mati bersama-sama.”
Agung Sedayu
tidak menyahut. Perlahan-lahan ia maju mendekati orang berkumis yang terbaring
di tanah. Tubuhnya menjadi merah biru seperti terbakar.
“Apakah Guru
tidak dapat berbuat apa-apa atasnya?” bertanya Agung Sedayu.
Kiai Gringsing
mendekati orang itu. Tetapi ia berusaha untuk tidak menyentuh racun yang justru
berhamburan di sekitar tubuh itu.
“Racun itu
keras sekali. Karena itu jangan terlampau dekat,” berkata Kiai Gringsing.
Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya ia berkata,
“Agaknya aku
tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi atasnya. Racun itu sudah mengenai mata
dan masuk ke dalam jalur pernafasan, karena serbuk itu menghambur mengenai
wajahnya.”
“Jadi kita
biarkan orang itu mati?”
“Orang itu
sudah mati,” jawab Kiai Gringsing.
“O,” Agung
Sedayu menundukkan kepalanya, “mengerikan sekali.”
“Ya,” berkata
gurunya.
“Kalau serbuk
itu mengenaimu dan orang-orang lain, akibatnya akan seperti itu juga. Kau tidak
akan sempat menahan racun itu dengan obat pemunah macam apa pun.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Racun yang
berhamburan di sekitar orang itu pun cukup berbahaya. Karena itu, harus
diusahakan untuk menguranginya.”
“Apa yang akan
Guru lakukan?”
“Aku akan
mencoba mencairkan racun pemunahnya, meskipun hanya sekedar mengurangi
ketajaman racun ini. Racun pemunah itu kita cairkan, kemudian kita siramkan ke
sekeliling tempat itu. Kita akan menunggu sampai besok. Kalau pemunah itu
berhasil, kita akan dapat mengambil mayat itu dan menguburkannya.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia benar-benar telah berhadapan dengan sejenis
racun yang tajam sekali. Apalagi apabila racun itu langsung masuk ke dalam
jalur pernafasan.
“Untunglah,
bahwa aku masih mendapat perlindungan dari Yang Maha Kuasa,” berkata Agung
Sedayu di dalam hatinya.
“Tiba-tiba
saja terbersit akal untuk memungut batu. Kalau tidak, maka aku akan hangus
seperti orang itu pula.”
“Sudahlah,”
berkata Kiai Gringsing,
“kita masih
harus mencoba membersihkan tempat ini dari racun itu.” Lalu katanya kepada para
pengawas,
“Kalau kalian
masih mempunyai kekuatan, silahkan kembali ke gardu pengawas. Nanti aku akan
mengobati luka-luka itu. Aku dan anak-anakku akan mengurusi tempat ini supaya
tidak berbahaya bagi orang lewat.”
Ketiga
pengawas itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi Wanakerti berkata,
“Tetapi
bagaimana dengan pemimpin kami itu?”
Kiai Gringsing
pun kemudian berpaling. Dilihatnya pemimpin pengawas itu masih duduk saja di
tempatnya. Meskipun demikian pemimpin pengawas itu menjadi tegang pula. Ia
tidak segera tahu apa yang terjadi di arena. Namun ketika ia melihat orang tua
dan kedua anaknya, ketiga pengawas bawahannya masih berdiri tegak, ia pun
menarik nafas dalam-dalam.
“Kita harus
membawanya ke gardu pengawas,” berkata Wanakerti.
“Ya. Tetapi
bagaimana? Kita sendiri hampir tidak dapat membawa tubuh kita masing-masing.
Apalagi membawa seseorang,” jawab kawannya.
Mereka saling
berpandangan sejenak. Tetapi mereka tidak segera menemukan jawaban.
“Bagaimana
dengan tawanan yang terikat itu?” bertanya Swandaru.
“Apakah
mungkin ia menolong?”
“Tetapi ia
terikat,” sahut Wanakerti.
“Lepaskan
ikatannya sementara ia harus membantu pemimpin pengawas itu berjalan. Kalian
bertiga dapat mengawasi di belakangnya. Supaya ia tidak mungkin lari lagi,
siapkan pedang kalian di punggungnya. Meskipun kalian sudah lemah, tetapi
kalian pasti masih dapat menguasainya. Apalagi kalian bertiga.”
Ketiga
pengawas itu saling berpandangan sejenak. Akhirnya mereka mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Baiklah kita
coba,” berkata Wanakerti,
“mungkin kita
masih dapat menguasainya. Nanti, di gardu pengawas orang itu akan segera kita
ikat lagi.”
Demikianlah,
maka ketiga pengawas itu diikuti oleh Kiai Gringsing bersama kedua muridnya
mendekati pemimpin pengawas yang terluka. Mereka memberitahukan maksud mereka
kepada keduanya, kepada pemimpin pengawas itu dan kepada tawanan mereka.
“Aku tidak
mau,” geram tawanan itu.
“Coba ucapkan
sekali lagi,” desis Swandaru sambil mengangkat cambuknya.
“Ayo ulangi.”
Tawanan itu
memandang Swandaru dengan sorot mata yang memancarkan kemarahan. Tetapi ia
tidak mengulanginya, ia sadar bahwa ujung cambuk itu akan dapat menyobek bukan
saja pakaiannya, tetapi juga kulitnya.
“Nah, lepaskan
talinya,” berkata Swandaru kemudian kepada ketiga pengawas yang sudah
berjongkok di samping pemimpinnya.
“Kalian
terluka?” bertanya pemimpin itu.
“Ya,” sahut
Wanakerti,
“ia jauh lebih
parah daripadaku. Untunglah bahwa Ki Sanak itu dapat memberi obat pemampat
darah, sehingga kami tidak kehabisan tenaga karenanya.”
“Omong kosong,”
tawanan itulah yang menyahut,
“tidak ada
orang yang dapat memampatkan darah dan mengobati luka-luka selain aku. Apalagi
luka-luka beracun.”
“Jangan
mengigau,” jawab pemimpin pengawas itu,
“kau lihat
bahwa aku tidak mati karena racunmu, meskipun aku menjadi sangat lemah saat
ini?”
Dukun yang
telah menjadi tawanan itu mengerutkan keningnya. Ia memang menjadi heran,
kenapa pemimpin pengawas itu tidak mati.
“Nah, apa
katamu sekarang? Apakah kau masih tetap tidak mau mematuhi perintahku?”
bertanya pemimpin pengawas itu.
“Katakanlah,
apakah kau tidak mau menolongnya?” bertanya Agung Sedayu pula.
Orang itu
menjadi termangu-mangu. Tetapi setiap kali ia melihat ujung cambuk yang
berjuntai menyentuh kakinya, kemudian ujung-ujung pedang yang berkilat-kilat,
hatinya menjadi susut.
“Jawablah,”
desak Swandaru.
“Tetapi ……..”
“Jawablah,”
sekali lagi Swandaru mendesaknya sambil memutar cambuknya.
“Ya, ya. Aku
akan menolongnya.”
“Terima
kasih,” berkata Kiai Gringsing kemudian. “Lepaskan talinya.”
“Tetapi hati-hatilah,”
berkata Swandaru,
“jangan
biarkan orang itu lari. Ia sangat penting bagi kita.”
“Ya. Kami akan
menjaganya sebaik-baiknya. Meskipun aku terluka, tetapi tenagaku serasa masih
cukup kuat untuk menghunjamkan ujung pedang.”
Demikianlah,
maka dukun itu pun kemudian dibebaskan dari ikatannya. Setelah ia berdiri
tegak, maka di bawah ancaman pedang, ia menolong pemimpin pengawas yang terluka
itu.
“Bawa
pedangku,” berkata pemimpin pengawas itu kepada Wanakerti.
Wanakerti
menerima pedang itu sambil bertanya, “Kenapa tidak disarungkan saja?”
“Berbahaya.
Orang ini dapat menyalahgunakan senjata itu,” jawabnya. Namun tidak setahu
siapa pun, ia membawa pisau beracun yang diambilnya di medan dan
diselusupkannya di dalam sarung pedangnya. Meskipun sarung itu terlampau
longgar, namun tangkai pisau belati itu tidak dapat masuk seluruhnya ke dalam. Tertatih-tatih
mereka pun kemudian berjalan menuju ke gardu pengawas. Tawanan itu telah
memapah pemimpin pengawas yang masih lemah. Sedang ketiga pengawas yang lain,
betapapun lemahnya namun mereka masih harus mengikuti dukun yang memapah
pemimpin mereka dan langsung mengawasi dengan saksama. Sementara itu Kiai
Gringsing bersama kedua anaknya telah sibuk mencari upih atau dedaunan yang
cukup lebar untuk menampung air. Mereka harus mencairkan sejenis racun yang ada
pada Kiai Gringsing untuk memunahkan racun yang tersebar di sekitar mayat orang
berkumis itu. Akhirnya mereka mendapatkan daun lumbu yang besar, yang dapat
mereka pergunakan seperlunya. Dalam daun lumbu itulah mereka mencairkan racun
pemunah itu. Kedua murid Kiai Gringsing itu masing-masing memegang selembar
daun lumbu yang besar. Kemudian setelah ditaburi racun yang dilarutkan ke dalam
air, maka cairan itu pun dipercikkan kepada mayat orang berkumis itu dan
sekitarnya.
“Jangan
mendekat,” Kiai Gringsing memperingatkan kedua muridnya.
Sejenak,
kemudian ketiganya berdiri saja mengawasi apa yang terjadi. Mereka tidak
melihat apa pun juga selain gelembung-gelembung kecil di kulit orang berkumis
yang sudah tidak bernyawa lagi itu. Gelembung-gelembung yang hanya sesaat,
kemudian pecah dan mengeluarkan asap yang tipis.
Agung Sedayu
dan Swandaru berdiri membeku di tempatnya. Meskipun mereka belum memahami
betapa kerja berjenis-jenis racun, tetapi yang mereka lihat itu telah
mendirikan bulu roma mereka. Bukan saja di tubuh orang berkumis itu, tetapi
juga di atas pasir dan tanah di sekitarnya. Tetapi tidak sejelas yang mereka
lihat pada tubuh mayat yang masih terbujur itu.
“Tidak ada
kesempatan untuk menolong orang yang terkena serbuk racun itu. Apalagi apabila
sudah masuk ke dalam arus pernafasan. Racun itu adalah reramuan dari jenis
racun ular dan racun tumbuh-tumbuhan yang dapat melukai kulit,” berkata Kiai
Gringsing.
“Tetapi
bagaimana dengan obat pemunah itu?” bertanya Agung Sedayu.
Kiai Gringsing
menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya,
“Tidak dapat
banyak menolong seandainya racun itu belum membunuhnya sekalipun. Aku hanya
dapat memperlunak dan mempercepat hilangnya daya perusak dari racun itu atas
jaringan-jaringan tubuh manusia, bahkan binatang yang kebal akan racun ular
sekalipun.”
Kedua muridnya
hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kita tidak
dapat berbuat apa-apa atas mayat itu hari ini. Kita terpaksa meninggalkannya di
sini.”
“Bagaimana
dengan binatang buas, Guru?” bertanya Swandaru.
Gurunya
menarik nafas dalam-dalam. Terdengar ia kemudian menjawab,
“Binatang buas
yang berani menjamah mayat itu akan terkena racun pula. Harimau adalah binatang
yang termasuk tahan terhadap racun. Tetapi kalau ia menjilatnya hari ini, ia
pasti akan mati.”
“Hanya hari
ini?”
“Mudah-mudahan
racun itu akan segera menjadi lemah dan kehilangan kemampuannya yang
mengerikan.”
“Jadi, apakah
kita tidak dapat berbuat apa-apa?” bertanya Agung Sedayu.
Gurunya
menggelengkan kepalanya, “Apa boleh buat. Kita tidak dapat mengatasi
persoalannya.”
Kedua muridnya
itu pun mengangguk-anggukkan kepala mereka pula. Tetapi mereka hanya dapat
berdiri tegak memandangi mayat yang terbujur di tanah. Kulitnya benar-benar
menjadi seperti hangus. Apalagi di tempat-tempat yang langsung tersentuh oleh
serbuk racun yang dahsyat itu.
“Kenapa ia
sendiri tidak mempergunakan pemunah atau obat yang membuat mereka sendiri kebal
akan racun?” bertanya Swandaru tiba-tiba.
“Memang
seseorang dapat membekali dirinya dengan semacam obat yang dapat membuatnya kebal
terhadap racun. Tetapi itu pun sangat terbatas. Hanya orang-orang yang
benar-benar ahli dan menguasai persoalan segala jenis racun sajalah yang dapat
melakukannya. Seseorang yang berusaha untuk mengebalkan dirinya terhadap
racun-racun tertentu, harus meracuni dirinya lebih dahulu. Itulah yang sulit.
Kalau takarannya tidak tepat, maka orang itu telah membunuh dirinya sendiri.
Tetapi kalau ia berhasil, maka ia akan dapat menjadi kebal untuk bertahun-tahun
lamanya.”
Kedua muridnya
hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku pernah
mempelajarinya,” berkata Kiai Gringsing kemudian,
“tetapi belum
sempurna sekali, sehingga aku masih ragu-ragu untuk mencobanya. Kalau aku pada
suatu saat tidak lagi melakukan pengembaraan dan petualangan serupa ini,
mungkin aku akan berhasil setelah melakukan percobaan-percobaan atas
berjenis-jenis binatang termasuk ular, dan tumbuh-tumbuhan.”
“Kapan hal itu
akan Guru lakukan?” bertanya Swandaru.
“Pertanyaan
aneh,” sahut gurunya, “aku tidak tahu.”
Swandaru
mengerutkan keningnya. Dan gurunya masih berkata terus,
“Tergantung
kepada keadaanku, keadaan di sekitarku dan keadaan kalian berdua.”
Swandaru
menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling ke arah Agung Sedayu, maka
dilihatnya anak muda itu justru menundukkan kepalanya. Swandaru pun tidak
bertanya lagi. Kini ia kembali merenungi mayat yang hangus itu. Sementara itu,
para pengawas berjalan tertatih-tatih menuju ke gardu mereka. Dukun yang
menjadi tawanan mereka itu pun dengan tanpa dapat berbuat apa-apa, harus
memapah pemimpin pengawas yang telah dilukainya sendiri, sedang di punggungnya,
tiga ujung pedang telah siap untuk melubangi tubuhnya apabila ia berbuat
sesuatu. Tetapi ternyata dukun itu bukan seseorang yang mudah berputus asa. Ia
masih juga mencari akal, bagaimana ia dapat melepaskan dirinya. Ia sadar, bahwa
orang berkumis itu telah mati. Dengan demikian, maka ia merupakan tawanan
tunggal yang pasti akan dihadapkan kepada para pemimpin di Mataram. Ia akan
menjadi sumber keterangan tentang keadaan di daerah yang kisruh ini.
“Kalau aku
mencoba menutup mulut, aku pasti, aku akan diperasnya sampai darahku kering,”
desisnya. Meskipun ia baru berangan-angan, tetapi terasa bulu-bulu tengkuknya
telah berdiri. Orang-orang Mataram akan dapat banyak berbuat hal itu.
Dadanya berdesir
apabila terbayang ujung-ujung pisau yang akan menyentuhnya apabila ia kelak
dihukum picis. Hukuman yang paling terkutuk buat seorang pengkhianat.
“Aku pasti
dianggapnya seorang pengkhianat,” katanya di dalam hati.
“Ki Gede
Pemanahan dan puteranya dapat saja memutuskan untuk menghukum aku dengan cara
demikian. Hukum picis yang mengerikan itu.”
Dengan
demikian, maka dukun yang menjadi tawanan itu masih tetap berusaha, bagaimana
ia dapat lolos dari semua kemungkinan yang mengerikan itu. Sekali-sekali ia
mencoba memandang pemimpin pengawas yang terluka itu dengan sudut matanya.
Tetapi ia tidak dapat menangkap kesan apa pun, karena pemimpin pengawas itu
sekali-sekali masih saja menyeringai menahan sakit. Ketika ia mencoba
berpaling, terasa hampir bersamaan ketiga ujung pedang para pengawas yang
terluka itu menyentuh tubuhnya.
“Kau akan
berbuat sesuatu yang dapat mencelakakan dirimu sendiri?” bentak Wanakerti.
Tawanan itu
menarik nafas. Memang ketiga pengawas itu selalu bersiaga dengan ujung
pedangnya, sehingga setiap usaha untuk melarikan diri, agaknya memang sulit
dilakukan. Namun demikian, apakah itu berarti bahwa ia harus menyerah untuk
dihukum picis?
“Aku harus
menemukan cara,” ia berdesis di dalam dadanya.
Dalam pada
itu, mereka pun setapak demi setapak maju. Semakin lama menjadi semakin dekat
dengan gardu pengawas. Apabila ia kemudian meletakkan pemimpin pengawas itu di
gardu, maka ketiga pengawas yang lain itu akan segera mengikatnya kembali dan
besok atau lusa menyerahkannya kepada Ki Gede Pemanahan. Ketika dukun itu
kemudian memandang ke depan, hatinya berdesir. Gardu pengawas itu sudah tidak
begitu jauh lagi di hadapannya. Sebelum sampai ke gardu itu ia harus mendapat
akal. Harus. Selangkah demi selangkah ia maju. Dalam pada itu dadanya pun
menjadi semakin berdebar-debar. Namun yang dilakukan kemudian adalah
menundukkan kepalanya. Dipapahnya pemimpin yang terluka itu sebaik-baiknya.
Bahkan seperti memapah anak sendiri yang sedang sakit. Dengan demikian ia
berharap, bahwa pengawas yang lain menjadi lengah. Ia ingin mendapat waktu
sekejap saja, untuk dapat melarikan diri seperti yang diinginkannya.
“Para pengawas
itu terluka. Mereka agaknya sudah sangat lemah. Kalau aku dapat meloncat
selangkah menjauh, maka mereka pasti tidak akan dapat mengejar aku. Agaknya aku
masih cukup kuat untuk berlari dan bersembunyi di dalam hutan itu.”
Akhirnya dukun
yang tertawan itu memutuskan, bahwa ia akan melakukannya. Lari. Semakin dekat
mereka dengan gardu pengawas, hati dukun itu menjadi kian berdebar-debar. Ia
memerlukan waktu hanya selangkah maju. Kini mereka sudah siap memasuki halaman
sempit di depan gardu pengawas. Dengan demikian maka dukun itu pun segera mulai
mempersiapkan dirinya. Ia tidak berbuat sesuatu ketika mereka memasuki halaman
yang berpagar kayu itu. Pagar itu sama sekali tidak berarti apa-apa baginya. Ia
akan dengan mudahnya meloncati pagar yang tidak begitu tinggi itu. Yang
diperlukannya kemudian adalah kesempatan itu. Kesempatan yang hanya sekejap
saja. Ketika mereka sudah sampai di depan gardu pengawas, maka dukun itu
merasa, waktunya memang sudah tiba. Ia tidak dapat menunggu lagi, karena
apabila sudah terlanjur masuk, maka ia tidak akan dapat keluar lagi tanpa
terikat kaki dan tangannya. Demikianlah, maka ketika ia benar-benar sudah
hampir melangkah memasuki ruangan gardu pengawas, maka tiba-tiba saja ia
bertindak. Dengan kecepatan yang tinggi, ia memutar pemimpin pengawas itu,
kemudian didorongnya ke arah ketiga pengawas yang mengikutinya.
Semua itu
terjadi di dalam sekejap mata. Apalagi ketiga pengawas itu tidak menduga sama
sekali. Dukun itu tampaknya sudah menjadi sangat jinak, bahkan berpaling pun
tidak berani lagi. Namun tiba-tiba mereka melihat pemimpin pengawas yang
terluka itu seakan-akan terlempar ke arah mereka. Yang dapat mereka lakukan
adalah menyingkirkan ujung pedang-pedang mereka agar tidak justru mengenai
pemimpin mereka yang terlempar itu. Namun sejenak kemudian mereka harus
berusaha menahan pemimpin mereka yang terlempar itu agar ia tidak jatuh. Tetapi
ternyata para pengawas itu sudah begitu lemahnya. Ketika mereka menahan
pemimpin mereka, maka justru mereka pun telah terdorong selangkah surut,
kemudian tanpa dapat mempertahankan keseimbangan me-reka lagi, mereka pun
berjatuhan saling menimpa, sehingga ketiganya tidak dapat bertahan sama sekali,
jatuh tindih menindih. Sejenak dukun itu menikmati kemenangannya. Ia melihat
para pengawas itu tidak berdaya lagi. Mereka tidak akan dapat segera bangkit
dan mengejarnya. Seandainya salah seorang dari mereka dapat segera bangun
kembali, ia tidak akan dapat berbuat banyak. Bahkan, seandainya mereka bertiga
sekalipun, dukun itu tidak akan gentar lagi menghadapinya. Karena itu, dukun
itu seolah-olah tidak menghiraukan para pengawas itu lagi. Sejenak ia masih
melihat mereka menggeliat dan mencoba berkisar dari tempat mereka, dan
tertatih-tatih mereka mencoba untuk bangkit. Dukun itu tertawa berkepanjangan.
Ia berdiri beberapa langkah sambil bertolak pinggang.
“Kenapa aku
harus lari?” ia berkata. “Kenapa aku tidak membunuh kalian saja?”
Ternyata ketiga
pengawas yang mengawal pemimpin mereka yang terluka itu tidak segera dapat
bangkit dan berdiri tegak. Namun demikian dukun itu berkata,
“Tetapi kalau
kalian benar-benar mengerahkan sisa-sisa tenaga kalian, agaknya cukup berbahaya
juga bagiku. Aku memang tidak setangkas kawanku yang kalian bunuh itu. Namun
demikian, aku yakin kalian tidak akan dapat menangkap aku.”
“Gila. Jangan
mencoba berlari,” desis Wanakerti.
Tetapi orang
itu tertawa,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar