Jilid 055 Halaman 2


“Kalau sudah terlampau lemah karena luka-luka itu,” berkata Agung Sedayu kepada Wanakerti,
“beristirahatlah. Rawatlah luka-lukamu agar darahnya berhenti mengalir.”
Wanakerti mengerutkan keningnya. Tetapi ia harus mengakui bahwa tangannya memang sudah hampir tidak dapat bergerak lagi. Apalagi kawannya yang mengalami tekanan yang lebih berat, serta luka-lukanya pun lebih parah. Tetapi apakah ia dapat melepaskan tugasnya begitu saja? Padahal ia tahu pasti bahwa orang itu cukup berbahaya, bahkan agaknya ia memang telah bersepakat untuk membunuh pemimpinnya.
“Aku harus menangkapnya,” Wanakerti menggeram,“atau aku harus beristirahat dan membiarkan ia membunuh aku, kawan-kawanku, serta pemimpin kami itu?”
“Aku akan mencoba mencegahnya,” desis Agung Sedayu.
Wanakerti memandang Agung Sedayu sejenak. Anak itu tampaknya memang tidak bergurau. Tetapi apakah ia mampu melawan orang berkumis itu seorang diri?
“He,” teriak orang berkumis,
“jadi kaulah yang akan menggantikan ketiga pengawas ini, he? Kau memang terlampau sombong. Tiga orang bersenjata pedang tidak berhasil mengalahkan aku. Apa kau sangka karena adikmu yang gemuk itu mampu mengalahkan kedua cucurut itu, lalu kau pun dapat mengalahkan aku?”
“Soalnya bukan kalah atau menang. Tetapi kami yakin, bahwa kami akan dapat menghentikan segala macam perbuatanmu yang telah menggoncangkan daerah ini.”
“Persetan!” ia menggeram.
“Kalian memang ingin mati.”
“Tentu tidak. Kami akan dapat berbuat banyak. Kalau aku tidak dapat menangkap kau sendiri, maka ketiga pengawas ini setelah beristirahat akan dapat membantuku. Juga adikku yang gemuk itu, dan mungkin satu dua orang di antara para penonton ini pun bersedia membantu meskipun hanya melempari kau dengan batu dari kejauhan.”
“Gila, gila! Ayo cepat mulai. Jangan banyak bicara lagi.”
Orang berkumis itu pun segera maju mendekati Agung Sedayu. Pedangnya yang tajam terayun-ayun mengerikan. Sedang matanya yang merah menjadi semakin merah.
“Kau harus mati. Mati!”
Agung Sedayu memang merasa bahwa ia harus berhati-hati. Ia tidak dapat bergurau melawan orang ini. Kecuali ia memang mempunyai ilmu yang cukup, orang itu pun telah dilambari dengan kemarahan yang memuncak. Sehingga dengan demikian, maka ia harus benar-benar berhati-hati menghadapinya.

Ketika orang itu melangkah semakin dekat. Agung Sedayu pun segera bersiaga. Orang-orang yang berdiri mengelilingi arena itu menjadi semakin tegang. Bahkan ada di antara mereka yang menjadi pening, hampir pingsan. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Namun dengan demikian, mereka hari ini telah melupakan kerja mereka melanjutkan pembukaan hutan ini. Tetapi agaknya penyelesaian dari persoalan di arena ini akan menjadi landasan keadaan daerah ini untuk selanjutnya. Orang-orang itu mengerutkan keningnya ketika mereka melihat, seperti Swandaru, Agung Sedayu pun telah mengurai sesuatu di lambungnya. Sebuah cambuk panjang, seperti senjata anak yang gemuk itu.
“Setiap gembala memang menyimpan cambuk,” desis Agung Sedayu. Lalu,
“Memang cambuk ini mempunyai bermacam-macam guna.”
Orang berkumis itu tidak menyahut. Tetapi ia melangkah semakin dekat dan pedangnya kemudian mulai bergetar. Agung Sedayu sadar, bahwa orang itu agaknya benar-benar sudah akan mulai. Karena itu, maka ia pun harus segera bersiap. Sejenak kemudian, maka orang itu pun telah meloncat dengan pedang terjulur menyerang Agung Sedayu. Tetapi Agung Sedayu telah bersiap menghindarinya. Ia meloncat ke samping sambil mengibaskan cambuknya sendal pancing. Terdengar cambuk itu meledak memekakkan telinga. Namun orang berkumis itu pun cukup tangkas. Ia berhasil menghindari dengan suatu loncatan yang cepat dan panjang. Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ia semakin menyadari, bahwa lawannya memang seorang yang memiliki ilmu yang cukup. Dengan demikian maka ia tidak boleh lengah. Ia belum tahu pasti, sampai berapa jauh lawannya memiliki kemampuan. Sejenak Agung Sedayu memandang wajah gurunya. Dan wajah itu pun tampaknya menjadi tegang pula karenanya. Orang berkumis itu pun kemudian telah bersiap pula untuk menyerang. Tetapi seperti Agung Sedayu, ia menyadari bahwa lawannya kali ini meskipun hanya seorang, tetapi lebih berbahaya dari ketiga pengawas yang hampir saja dikalahkannya itu. Apalagi senjatanya yang lentur itu tampaknya memang sangat berbahaya baginya. Dengan senjata semacam itu pula, anak muda yang gemuk itu berhasil merebut senjata lawannya. Sejenak kemudian maka keduanya pun segera terlibat dalam perkelahian yang semakin lama semakin seru. Setiap kali terdengar ledakan cambuk Agung Sedayu di antara kilatan daun pedang lawannya yang memantulkan cahaya matahari, yang semakin terik pula. Orang yang menyaksikan perkelahian itu pun menjadi semakin tegang. Mereka seakan-akan telah membeku di tempatnya. Mata mereka hampir tidak berkedip sama sekali. Kedua orang yang berkelahi itu mempunyai kemampuan yang luar biasa. Masing-masing menguasai senjata yang ada di tangannya. Pedang orang berkumis itu berputaran seperti baling-baling melindungi dirinya. Sekali-sekali pedang itu mematuk seperti seekor ular menyelinap di antara ujung cambuk lawannya. Sejenak kemudian pedang itu menyambar dengan derasnya, mendatar setinggi bahu.
Orang berkumis itu memang benar-benar cekatan. Apalagi dilandasi oleh kemarahan yang memuncak, sehingga seolah-olah ia mendapat tambahan kekuatan untuk mengayunkan pedangnya. Namun cambuk Agung Sedayu mampu mengimbangi kelincahan ujung pedang itu. Cambuknya berputaran meledak-ledak. Bahkan sekali-sekali Agung Sedayu berhasil menyentuh lawannya meskipun tidak meninggalkan bekas. Namun sentuhan-sentuhan itu semakin lama menjadi semakin sering. Bahkan semakin keras. Apalagi setelah Agung Sedayu berhasil menyesuaikan dirinya dengan tata gerak lawannya. Maka sejenak kemudian perkelahian itu pun menjadi semakin cepat. Orang berkumis itu segera menyadari, bahwa lawannya bukanlah seorang anak gembala yang sekedar mampu menyombongkan diri. Tetapi lebih daripada itu, maka orang berkumis itu pun menyadari pula, bahwa kedatangan ayah dan kedua anaknya itu bukanlah sekedar tanpa maksud. Kalau mereka benar-benar sekedar ingin membuka tanah garapan yang baru, maka mereka tidak akan berbuat sampai sedemikian jauh. Namun pendapat itu ternyata justru telah membuatnya semakin gelisah. Sehingga akhirnya tidak ada kesimpulan lain kecuali membinasakan semuanya, selagi hal ini masih belum didengar oleh lingkungan yang lebih tinggi lagi. Ia akan dapat membuat ceritera apa pun untuk mengelabuhi atasannya. Sedangkan orang-orang lain yang menyaksikan perkelahian itu, akan dapat dibungkamnya dengan menakut-nakuti dan mengancam mereka. Mereka pasti akan menjadi semakin ketakutan apabila kepada mereka diyakinkan bahwa apa yang telah terjadi, telah membuat hantu-hantu Alas Mentaok menjadi semakin marah. Mereka masih belum kehilangan kepercayaan mereka terhadap hantu.

Dengan demikian maka orang berkumis itu pun kemudian berkelahi semakin garang. Pedangnya berputar-putar dan menyambar-nyambar dengan cepatnya. Namun lawannya pun dapat berbuat lebih cepat pula. Pedang itu sama sekali tidak berhasil menyentuh tubuh Agung Sedayu sama sekali. Swandaru menyaksikan perkelahian itu dengan tegangnya. Namun Kiai Gringsing kemudian menarik nafas dalam-dalam. Ia yakin bahwa Agung Sedayu akan dapat mempertahankan dirinya kalau ia tidak membuat kesalahan. Sementara itu, pemimpin pengawas yang terluka di punggungnya masih juga meletakkan ujung pedangnya di tubuh tawanannya. Bahkan kemudian seperti acuh tak acuh dibiarkan ujung pedang itu menyentuh-nyentuh lehernya. Dukun yang terikat itu mengumpat-umpat di dalam hati. Apalagi ketika ia melihat pemimpin pengawas itu kini sama sekali tidak memegangi hulu pedangnya. Diletakkannya saja hulu pedang itu di pangkuannya, sedang ujungnya terasa menyentuh-nyentuh kulit lehernya. Tetapi akhirnya orang yang terikat itu tidak dapat membiarkan ujung pedang itu semakin menekan lehernya sehingga sambil beringsut ia berkata,
“Ujung pedang itu menyakiti leherku. Kalau kau bergerak tanpa kau sadari, ujungnya dapat menembus tenggorokan.”
“O, maaf. Tetapi aku tidak sempat memegangi tangkainya. Tanganku masih terlampau lemah karena luka di punggung. Agaknya luka di leher memang lebih berbahaya dari luka di punggung. Tetapi apa boleh buat. Kalau kau tidak melukai punggungku, maka aku akan dapat menggenggam tangkai pedangku itu. Tetapi sekarang aku merasa sangat malas. Kalau terpaksa ujungnya perlahan-lahan masuk ke lehermu, itu namanya suatu kecelakaan. Maaf.”
“Anak setan!” orang itu mengumpat. Tetapi mulutnya segera terkatup ketika pemimpin pengawas itu justru menekankan ujung pedangnya sambil bertanya,
“Apa? Apa katamu?”
Tawanannya hanya diam saja.
“Ayo, ulangi.”
Dukun yang terikat itu menggeleng sambil menyeringai.
“Kalau sekali lagi kau mengumpat, aku gores lehermu dengan ujung pedang ini.”
Sekali lagi dukun itu menggelengkan kepalanya.
Dalam pada itu perkelahian di arena menjadi semakin sengit. Namun ternyata, ujung cambuk Agung Sedayu semakin banyak membuat jalur-jalur mereka di kulit lawannya, sehingga pada suatu saat, darah telah menitik dari luka-lukanya. Orang berkumis itu menggeram. Ia tidak akan dapat membiarkan dirinya menjadi tawanan. Ia tidak mau di tangkap oleh siapa pun juga. Kini ia harus menghadapi suatu kenyataan, bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan anak muda itu. Apalagi apabila adiknya yang gemuk, yang sudah mendapat kesempatan beristirahat, bersama-sama dengan para pengawas yang lain akan bertindak. Tetapi ia tidak mendapatkan cara untuk melepaskan diri. Ketika ia mencoba memandang orang-orang yang berdiri di paling depan dari lingkaran perkelahian itu, hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Ia melihat anak muda yang gemuk itu masih menggenggam cambuknya, kemudian ketiga pengawas yang berpencar. Agaknya mereka telah berhasil memampatkan darah dari luka-luka mereka. Dan orang berkumis itu sama sekali tidak mengetahuinya, bahwa gembala tua itulah yang telah membagikan obat untuk mereka. Orang berkumis itu kini benar-benar merasa terkepung. Meskipun ia tidak dapat dikalahkan oleh ketiga pengawas itu, namun di pinggir arena itu berdiri ketiganya dan anak yang gemuk itu, ditambah lawannya yang masih segar di arena dengan cambuk di tangan. Tetapi ia tidak boleh menyerah. Apa pun yang akan terjadi atasnya, bahkan mati pun akan lebih baik daripada ia dapat ditangkap dan diperas segala macam keterangan yang diketahuinya.
“Persetan dukun itu!” ia menggeram di dalam hatinya.
“Ia tidak akan membuka mulutnya kalau ia benar-benar seorang jantan. Ia harus mati pula seandainya aku mati di arena ini.”
Namun orang berkumis itu masih mempunyai harapan betapapun tipisnya. Seperti dugaan Kiai Gringsing, pedang itu memang bukan satu-satunya senjatanya. Kiai Gringsing yang ada di pinggir arena itu pun menjadi semakin waspada. Semakin terdesak lawan Agung Sedayu, Kiai Gringsing pun semakin tajam mengamati gerak orang berkumis itu. Dalam keadaan yang terjepit dan putus asa ia akan dapat melakukan sesuatu yang sangat berbahaya bagi Agung Sedayu. Ternyata dugaan Kiai Gringsing itu tidak salah. Setelah orang berkumis itu benar-benar merasa tidak dapat bertahan lagi, maka sampailah ia kepada puncak kemampuan yang ada padanya. Oleh keputus-asaan yang tidak terhindarkan lagi, maka ia bertekad untuk berbuat apa saja yang dapat dilakukan.
“Aku tidak mau mati sendiri. Biarlah kita mati bersama,” katanya di dalam hati.
“Apabila di dalam puncak perkelahian ini beberapa orang di luar arena menjadi korban, itu sama sekali bukan salahku.”

Sesaat kemudian terasa oleh Agung Sedayu, orang berkumis itu mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya. Dengan sisa tenaganya, ia menyerang Agung Sedayu dengan garangnya. Namun seperti serangan-serangannya yang lampau, maka ia sama sekali tidak berhasil mengenai lawan-nya, meskipun di dalam keadaan terakhir Agung Sedayu pun telah menjadi basah oleh keringatnya. Bahkan nafasnya pun menjadi semakin cepat mengalir. Ia telah memeras tenaganya untuk selalu menghindari serangan-serangan lawannya yang berbahaya dan menahan serangan-serangan itu dengan lecutan-lecutan cambuk yang memekakkan telinga. Namun dengan demikian, ia sudah mengerahkan sebagian besar tenaganya. Dalam keadaan yang demikian itulah, ia harus semakin berhati-hati, karena seperti peringatan yang diberikan oleh gurunya, bahwa pedang itu bukan satu-satunya senjata lawannya. Kiai Gringsing pun tanpa sesadarnya melangkah maju. Ia melihat pandangan yang aneh memancar di mata orang berkumis itu. Sejenak kemudian, sekali lagi orang itu menyerang Agung Sedayu dengan sisa tenaganya. Namun ketika cambuk Agung Sedayu meledak dan mengenai pundaknya ia terloncat mundur. Tetapi pada saat ia berputar menjauhi lawannya, Kiai Gringsing melihat bagaimana ia menarik sebuah bumbung kecil dari kantong ikat pinggangnya. Kemudian dicabutnya tutup bumbung kecil itu. Ketika ia menghadap Agung Sedayu, maka dengan tangan kiri ia sudah siap menyerang Agung Sedayu dengan bumbung itu. Agung Sedayu melihat juga bumbung kecil itu. Tetapi ia tidak segera mengerti, bagaimanakah cara lawannya menyerang dengan senjatanya yang aneh. Semula ia mengira bahwa bumbung itu akan dilemparkannya dengan kekuatan yang melampaui kekuatan manusia sewajarnya, didukung oleh tenaga cadangan yang ada di dalam dirinya. Karena itu, ia pun segera bersiap untuk menghindarinya. Karena ia tidak dapat menduga betapa besar tenaga itu, maka yang paling baik adalah menghindari benturan dengan cara apa pun, karena ia sendiri masih belum berhasil sepenuhnya mengungkat tenaga cadangan yang ada di dalam dirinya untuk dibangunkan setiap saat, dan dalam waktu yang hanya sekejap. Sejenak kemudian ia melihat mata orang berkumis itu menjadi liar. Diedarkannya tatapan matanya ke sekelilingnya. Namun kemudian ia menggeram,
“Kalian semua akan mati. Kalian semua yang berdiri di hadapanku. Kemudian akan datang giliran orang-orang lain yang ada di seputar arena ini.”
Kata-kata dalam nada yang dalam itu telah mendirikan segenap bulu-bulu di tubuh orang-orang yang mendengarnya. Apalagi apabila terlihat oleh mereka, mata orang berkumis yang menjadi merah dan liar itu. Sejenak ia masih mengacu-acukan bumbung itu. Katanya,
“Jangan menyesal. Serbuk beracun ini akan membunuh kalian. Aku akan menaburkannya. Setiap butir, akan membunuh seorang dari antara kalian.”
Ancaman itu benar-benar sangat mengerikan. Bahkan Agung Sedayu pun tertegun sejenak. Tetapi akhirnya ia sadar, bahwa orang itu tidak hanya sekedar menakut-nakuti, karena orang-orang di dalam lingkungan mereka adalah orang-orang yang selalu bermain-main dengan racun. Karena itu ia pun segera mengerti, bahwa bumbung itu memang berisi serbuk racun yang keras sekali. Sebentar lagi orang itu pasti akan mengibaskan bumbung itu, sehingga isinya akan menghambur keluar, berpencar mengenai orang-orang yang ada di bagian depannya. Agaknya ia masih belum akan puas. Ia akan berputar dengan bumbung yang lain dan mengibaskannya pula, sehingga orang-orang yang terkena kemudian akan mati.
“Gila,” desis Agung Sedayu, “jangan bermain-main dengan racun.”
Orang itu menatap Agung Sedayu sejenak, namun kemudian ia tertawa terbahak-bahak,
“Nah, ternyata kau pun menjadi ketakutan mendengar ancaman ini. Tetapi apa boleh buat. Kau memang harus mati. Kalau ada orang lain yang akan mati pula, itu adalah nasib mereka. Nasib mereka lah yang memang kurang baik pada hari ini.”
Agung Sedayu memandang bumbung itu dengan wajah yang tegang. Jarak yang memisahkan mereka cukup panjang, karena orang berkumis itu meloncat beberapa langkah surut.
“Kalau kau mendekat, maka itu akan berarti mempercepat kematianmu bersama dengan orang-orang di sekitarmu,” berkata orang itu lantang.
“Itu tidak adil,” sahut Agung Sedayu,
“hanya akulah yang bertempur melawan kau. Kau tidak seharusnya membunuh orang lain kecuali aku.”
“Aku sudah bertempur melawan tiga cucurut itu. Mereka pun harus mati. Kemudian anak muda yang gemuk itu, kau, ayahmu, pemimpin pengawas yang dungu itu dan orang-orang yang berdiri di sekitar arena ini, yang melihat kecurangan dan pengkhianatan kalian tetapi tidak mau berbuat apa-apa. Itu pun merupakan suatu kesalahan yang tidak dapat dimaafkan.”

Agung Sedayu tidak menyahut. Dipandanginya saja bumbung di tangan kiri orang berkumis itu, sedang di tangan kanan masih tetap tergenggam pedangnya.
“Isi bumbung itulah agaknya yang berbahaya,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. Tetapi ia masih belum dapat menebak dengan pasti, apakah isi itu. Namun yang pasti, senjata itu mengandung racun. Serbuk racun apa pun wujudnya. Serbuk besi, baja, batu atau tulang?
Karena itu, maka ia harus berhati-hati. Ia sudah menerima obat pemunah racun dari gurunya. Tetapi kalau serbuk racun itu mengenai seluruh atau sebagian besar tubuhnya, apakah ia sempat melumurkan obat itu? Dan apakah obat yang ditelannya sudah cukup kuat untuk menahan racun yang keras dan tajam, yang tersimpan di dalam serbuk itu? Bahkan seandainya mungkin, untuk beberapa saat ia akan kehilangan kesempatan untuk melawan. Demikian juga orang-orang lain. Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Ujung cambuknya tidak dapat mencapai jarak antara dirinya dan orang berkumis itu.
Dalam ketegangan itu ia mendengar orang berkumis itu tertawa,
“Jangan menjadi pucat. Apakah kau ketakutan?”
Agung Sedayu menggeram. Ketika ia memandang gurunya dan Swandaru, mereka pun berdiri pada jarak yang tidak tercapai oleh juntai cambuk mereka.
“Ha, kau akan minta tolong kepada adikmu yang gemuk itu?” desis orang berkumis itu,
“Jangan coba-coba. Setiap gerak dari siapa pun juga akan berakibat gawat. Aku masih memberi kau kesempatan mengucapkan pesan terakhir sebelum aku mengibaskan bumbung ini.”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sejenak dilihatnya bumbung di tangan kiri orang berkumis itu.
“Cepat!” bentaknya,
“Kalau kau tidak mau berbicara, aku akan segera membunuhmu.”
Perlahan-lahan orang berkumis itu mengangkat bumbungnya tinggi-tinggi. Dada Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar. Tiba-tiba saja ia menjadi gelisah. Sekali-sekali ditatapnya wajah gurunya, kemudian wajah adiknya yang gemuk. Diremasnya tangkai dan ujung cambuknya dan bahkan kemudian diacukannya cambuknya itu sambil berkata,
“Tunggu. Tunggu sebentar.”
“Apa yang harus aku tunggu?” bertanya orang berkumis itu.
“Jangan kau taburkan serbukmu itu dengan cara yang sama sekali tidak berperikemanusiaan,” berkata Agung Sedayu.
“Kau akan membunuh banyak orang di belakangku.”
“Sudah aku katakan. Nasib merekalah yang jelek.”
“Kalau kau tidak menghendaki aku pergi, biarlah mereka yang pergi.”
“Jangan banyak bicara. Aku sudah cukup memberi kesempatan kepadamu. Sekarang katakan pesanmu.”
“Tunggu, tunggu,” Agung Sedayu tiba-tiba saja menjadi tergagap. Sambil mengacu-acukan cambuknya ia berkata,
“aku masih akan berbicara. Tidak tentang diriku sendiri. Tetapi tentang orang-orang ini.”
“Bicaralah tentang dirimu sendiri.”
“Tunggu,” tangan Agung Sedayu menjadi gemetar, dan tiba-tiba saja cambuknya terjatuh. Dengan serta-merta ia memungut cambuknya sambil berkata tergagap,
“aku minta waktu sebentar.”

Orang berkumis itu tiba-tiba tertawa menyentak. Ia senang sekali melihat Agung Sedayu yang kebingungan, namun kemudian ia berkata,
“Sudah cukup. Aku sudah muak melihat kau, meskipun sebenarnya aku senang sekali melihat kau ketakutan.”
“Belum, belum cukup. Kau harus memberi kesempatan orang-orang lain ini pergi. Taburan serbukmu akan membunuh orang-orang yang tidak bersalah. Apakah kau tidak dapat mengambil cara lain, misalnya dengan mengumpulkan kami, orang-orang yang akan kau bunuh dan mengusir orang-orang yang tidak berkepentingan?”
Orang berkumis itu berpikir sejenak. Ketika seseorang di pinggir arena bergerak, ia membentak,
“Diam di tempatmu! Atau kau dahulu yang mati.”
“Tetapi, tetapi ……..,” minta orang itu, “kami tidak ikut apa-apa di dalam persoalan ini. Kami hanya sekedar melihat.”
“Ya, kami tidak bersalah,” teriak yang lain.
“Biarkan kami pergi. Kami tidak akan mencampuri persoalan kalian.”
“Ya, kami tidak. Kami tidak.”
Dan tiba-tiba orang berkumis itu membentak,
“Diam. Diam! Kalian sama sekali tidak membantuku selagi aku dalam kesulitan. Sekarang kalian mengemis belas kasihanku. Gila! Itu adalah pikiran gila. Matilah kalian bersama anak muda yang sombong ini, yang merasa dirinya tidak terkalahkan. Sambil menunggu saat matimu, berdoalah agar kau tidak terjerumus ke dalam neraka.”
“Ampunkan kami, ampunkan kami,” minta orang-orang yang berada di pinggir arena. Tanpa mereka sadari mereka pun mulai berdesak-desakan mencari perlindungan yang satu pada yang lain, sehingga mereka pun justru dorong-mendorong di antara mereka.
“Menyenangkan sekali. Pemandangan yang paling menarik yang pernah aku lihat. Seorang anak muda perkasa yang ketakutan menghadapi maut, dan sekelompok tikus-tikus yang ketakutan pula, saling berdesakan.”
Namun kini Agung Sedayu sudah tidak menjadi gelisah lagi. Bahkan kemudian ia maju selangkah sambil berkata,
“Baiklah. Kalau kau sudah tidak mau mendengarkan aku lagi.”
Orang berkumis itu mengerutkan keningnya. Sejenak kemudian ia membentak,
“Gila! Kau menantang?”
“Bukan maksudku, tetapi kau sudah tidak mau mendengar lagi. Apa boleh buat.”
Orang itu menjadi tegang. Dipandanginya Agung Sedayu sejenak. Kemudian ia menggeram,
“Bagus! Aku memang harus cepat-cepat membunuhmu.”
Orang itu pun maju selangkah pula. Ia mengangkat tabung serbuknya semakin tinggi, sedang matanya menjadi semakin merah dan liar oleh nafsunya yang membakar dadanya. Nafsu membunuh dan membinasakan lawannya. Orang-orang yang berdiri di belakang Agung Sedayu tidak menghiraukan apa pun lagi. Tiba-tiba mereka berlarian tidak menentu, saling melanggar dan berdesakan menjauhi arena. Beberapa orang terjatuh dan terinjak oleh kawan-kawan mereka. Pada saat itulah orang yang berkumis itu siap untuk mengibaskan tabung serbuknya. Ia mengangkat bumbungnya semakin tinggi dan siap mengayunkannya ke arah Agung Sedayu. Ternyata bukan saja orang-orang yang berada di belakang Agung Sedayu, tetapi hampir semua orang di sekeliling arena itu menjadi ketakutan. Mereka merasa bahwa orang berkumis itu akan membunuh mereka semua dengan serbuk mautnya. Karena itu, hampir semua orang berlari-larian berpencaran tanpa tujuan, asal menjauhi lingkaran yang mengerikan itu. Orang-orang yang hatinya sekecil menir, bahkan tidak sempat lagi melarikan diri. Mereka terduduk di tanah dengan tubuh gemetar. Yang masih tetap berdiri tegak di tempatnya adalah Agung Sedayu, Swandaru dan Kiai Gringsing. Selain mereka adalah ketiga pengawas yang terluka yang berdiri berpencaran.

Sejenak kemudian, di dalam kekacauan yang kisruh, orang-orang yang berlari-larian itu masih mendengar suara jerit melengking tinggi. Beberapa orang mencoba menutup telinga mereka, sambil berlari semakin kencang. Mereka membayangkan bahwa anak muda yang bersenjata cambuk itu pun kemudian tergolek di tanah dengan tubuh yang hangus kebiru-biruan. Ketiga pengawas yang berdiri tegang di pinggir lingkaran perkelahian itu pun terkejut bukan kepalang. Ternyata mereka, masih sempat melihat orang berkumis itu siap mengayunkan bumbungnya. Namun tiba-tiba sesuatu telah membentur bumbung itu, sehingga justru serbuk yang ada di dalamnya tertumpah mengenai tubuhnya sendiri. Suara jerit yang melengking itu adalah suara orang berkumis itu sendiri.
Agung Sedayu masih tetap berdiri di tempatnya. Namun wajahnya menjadi tegang dan bahkan seolah-olah ia membeku di tempatnya.
“Kau berhasil, Agung Sedayu,” desis Kiai Gringsing yang masih menggenggam sebuah bumbung kecil pula meskipun bumbung ini berisi obat-obat yang berharga,
“hampir saja aku melemparkannya untuk membentur bumbung orang berkumis itu. Tetapi agaknya kau sendiri telah dapat mengenainya.”
Swandaru pun mendekatinya sambil berkata,
“Aku akan melemparkan cambukku. Aku tidak dapat berpikir lagi.”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
“Dari mana kau mendapat batu yang kau lontarkan tepat mengenai bumbung itu?” bertanya Swandaru.
Agung Sedayu masih mencoba menenangkan jantungnya yang bergolak. Ketiga pengawas yang masih berdiri di seputar arena maut itu pun mendekati Agung Sedayu pula. Seperti Swandaru, mereka pun bertanya,
“Darimana kau mendapatkan batu itu?”
“Cambukku telah terjatuh,” jawab Agung Sedayu,
“ketika aku memungutnya, aku menggenggam sebutir batu.”
“Tetapi kau luar biasa. Kau dapat membidik dengan tepat bumbung di tangan orang berkumis itu.”
“Ya,” Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Jangankan bumbung sebesar itu,” sahut Swandaru dengan bangga, seolah ia sendirilah yang telah berhasil,
“sedang telur burung pipit di pucuk pohon cemara pun dapat dikenainya.”
Ketiga pengawas itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Luar biasa,” desis Wanakerti,
“kami sudah menyangka, bahwa kita akan mati bersama-sama.”
Agung Sedayu tidak menyahut. Perlahan-lahan ia maju mendekati orang berkumis yang terbaring di tanah. Tubuhnya menjadi merah biru seperti terbakar.
“Apakah Guru tidak dapat berbuat apa-apa atasnya?” bertanya Agung Sedayu.
Kiai Gringsing mendekati orang itu. Tetapi ia berusaha untuk tidak menyentuh racun yang justru berhamburan di sekitar tubuh itu.
“Racun itu keras sekali. Karena itu jangan terlampau dekat,” berkata Kiai Gringsing. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya ia berkata,
“Agaknya aku tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi atasnya. Racun itu sudah mengenai mata dan masuk ke dalam jalur pernafasan, karena serbuk itu menghambur mengenai wajahnya.”
“Jadi kita biarkan orang itu mati?”
“Orang itu sudah mati,” jawab Kiai Gringsing.
“O,” Agung Sedayu menundukkan kepalanya, “mengerikan sekali.”
“Ya,” berkata gurunya.
“Kalau serbuk itu mengenaimu dan orang-orang lain, akibatnya akan seperti itu juga. Kau tidak akan sempat menahan racun itu dengan obat pemunah macam apa pun.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Racun yang berhamburan di sekitar orang itu pun cukup berbahaya. Karena itu, harus diusahakan untuk menguranginya.”
“Apa yang akan Guru lakukan?”
“Aku akan mencoba mencairkan racun pemunahnya, meskipun hanya sekedar mengurangi ketajaman racun ini. Racun pemunah itu kita cairkan, kemudian kita siramkan ke sekeliling tempat itu. Kita akan menunggu sampai besok. Kalau pemunah itu berhasil, kita akan dapat mengambil mayat itu dan menguburkannya.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia benar-benar telah berhadapan dengan sejenis racun yang tajam sekali. Apalagi apabila racun itu langsung masuk ke dalam jalur pernafasan.
“Untunglah, bahwa aku masih mendapat perlindungan dari Yang Maha Kuasa,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.
“Tiba-tiba saja terbersit akal untuk memungut batu. Kalau tidak, maka aku akan hangus seperti orang itu pula.”
“Sudahlah,” berkata Kiai Gringsing,
“kita masih harus mencoba membersihkan tempat ini dari racun itu.” Lalu katanya kepada para pengawas,
“Kalau kalian masih mempunyai kekuatan, silahkan kembali ke gardu pengawas. Nanti aku akan mengobati luka-luka itu. Aku dan anak-anakku akan mengurusi tempat ini supaya tidak berbahaya bagi orang lewat.”
Ketiga pengawas itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi Wanakerti berkata,
“Tetapi bagaimana dengan pemimpin kami itu?”
Kiai Gringsing pun kemudian berpaling. Dilihatnya pemimpin pengawas itu masih duduk saja di tempatnya. Meskipun demikian pemimpin pengawas itu menjadi tegang pula. Ia tidak segera tahu apa yang terjadi di arena. Namun ketika ia melihat orang tua dan kedua anaknya, ketiga pengawas bawahannya masih berdiri tegak, ia pun menarik nafas dalam-dalam.
“Kita harus membawanya ke gardu pengawas,” berkata Wanakerti.
“Ya. Tetapi bagaimana? Kita sendiri hampir tidak dapat membawa tubuh kita masing-masing. Apalagi membawa seseorang,” jawab kawannya.
Mereka saling berpandangan sejenak. Tetapi mereka tidak segera menemukan jawaban.
“Bagaimana dengan tawanan yang terikat itu?” bertanya Swandaru.
“Apakah mungkin ia menolong?”
“Tetapi ia terikat,” sahut Wanakerti.
“Lepaskan ikatannya sementara ia harus membantu pemimpin pengawas itu berjalan. Kalian bertiga dapat mengawasi di belakangnya. Supaya ia tidak mungkin lari lagi, siapkan pedang kalian di punggungnya. Meskipun kalian sudah lemah, tetapi kalian pasti masih dapat menguasainya. Apalagi kalian bertiga.”
Ketiga pengawas itu saling berpandangan sejenak. Akhirnya mereka mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Baiklah kita coba,” berkata Wanakerti,
“mungkin kita masih dapat menguasainya. Nanti, di gardu pengawas orang itu akan segera kita ikat lagi.”
Demikianlah, maka ketiga pengawas itu diikuti oleh Kiai Gringsing bersama kedua muridnya mendekati pemimpin pengawas yang terluka. Mereka memberitahukan maksud mereka kepada keduanya, kepada pemimpin pengawas itu dan kepada tawanan mereka.
“Aku tidak mau,” geram tawanan itu.
“Coba ucapkan sekali lagi,” desis Swandaru sambil mengangkat cambuknya.
“Ayo ulangi.”
Tawanan itu memandang Swandaru dengan sorot mata yang memancarkan kemarahan. Tetapi ia tidak mengulanginya, ia sadar bahwa ujung cambuk itu akan dapat menyobek bukan saja pakaiannya, tetapi juga kulitnya.
“Nah, lepaskan talinya,” berkata Swandaru kemudian kepada ketiga pengawas yang sudah berjongkok di samping pemimpinnya.
“Kalian terluka?” bertanya pemimpin itu.
“Ya,” sahut Wanakerti,
“ia jauh lebih parah daripadaku. Untunglah bahwa Ki Sanak itu dapat memberi obat pemampat darah, sehingga kami tidak kehabisan tenaga karenanya.”
“Omong kosong,” tawanan itulah yang menyahut,
“tidak ada orang yang dapat memampatkan darah dan mengobati luka-luka selain aku. Apalagi luka-luka beracun.”
“Jangan mengigau,” jawab pemimpin pengawas itu,
“kau lihat bahwa aku tidak mati karena racunmu, meskipun aku menjadi sangat lemah saat ini?”
Dukun yang telah menjadi tawanan itu mengerutkan keningnya. Ia memang menjadi heran, kenapa pemimpin pengawas itu tidak mati.
“Nah, apa katamu sekarang? Apakah kau masih tetap tidak mau mematuhi perintahku?” bertanya pemimpin pengawas itu.
“Katakanlah, apakah kau tidak mau menolongnya?” bertanya Agung Sedayu pula.
Orang itu menjadi termangu-mangu. Tetapi setiap kali ia melihat ujung cambuk yang berjuntai menyentuh kakinya, kemudian ujung-ujung pedang yang berkilat-kilat, hatinya menjadi susut.
“Jawablah,” desak Swandaru.
“Tetapi ……..”
“Jawablah,” sekali lagi Swandaru mendesaknya sambil memutar cambuknya.
“Ya, ya. Aku akan menolongnya.”
“Terima kasih,” berkata Kiai Gringsing kemudian. “Lepaskan talinya.”
“Tetapi hati-hatilah,” berkata Swandaru,
“jangan biarkan orang itu lari. Ia sangat penting bagi kita.”
“Ya. Kami akan menjaganya sebaik-baiknya. Meskipun aku terluka, tetapi tenagaku serasa masih cukup kuat untuk menghunjamkan ujung pedang.”

Demikianlah, maka dukun itu pun kemudian dibebaskan dari ikatannya. Setelah ia berdiri tegak, maka di bawah ancaman pedang, ia menolong pemimpin pengawas yang terluka itu.
“Bawa pedangku,” berkata pemimpin pengawas itu kepada Wanakerti.
Wanakerti menerima pedang itu sambil bertanya, “Kenapa tidak disarungkan saja?”
“Berbahaya. Orang ini dapat menyalahgunakan senjata itu,” jawabnya. Namun tidak setahu siapa pun, ia membawa pisau beracun yang diambilnya di medan dan diselusupkannya di dalam sarung pedangnya. Meskipun sarung itu terlampau longgar, namun tangkai pisau belati itu tidak dapat masuk seluruhnya ke dalam. Tertatih-tatih mereka pun kemudian berjalan menuju ke gardu pengawas. Tawanan itu telah memapah pemimpin pengawas yang masih lemah. Sedang ketiga pengawas yang lain, betapapun lemahnya namun mereka masih harus mengikuti dukun yang memapah pemimpin mereka dan langsung mengawasi dengan saksama. Sementara itu Kiai Gringsing bersama kedua anaknya telah sibuk mencari upih atau dedaunan yang cukup lebar untuk menampung air. Mereka harus mencairkan sejenis racun yang ada pada Kiai Gringsing untuk memunahkan racun yang tersebar di sekitar mayat orang berkumis itu. Akhirnya mereka mendapatkan daun lumbu yang besar, yang dapat mereka pergunakan seperlunya. Dalam daun lumbu itulah mereka mencairkan racun pemunah itu. Kedua murid Kiai Gringsing itu masing-masing memegang selembar daun lumbu yang besar. Kemudian setelah ditaburi racun yang dilarutkan ke dalam air, maka cairan itu pun dipercikkan kepada mayat orang berkumis itu dan sekitarnya.
“Jangan mendekat,” Kiai Gringsing memperingatkan kedua muridnya.
Sejenak, kemudian ketiganya berdiri saja mengawasi apa yang terjadi. Mereka tidak melihat apa pun juga selain gelembung-gelembung kecil di kulit orang berkumis yang sudah tidak bernyawa lagi itu. Gelembung-gelembung yang hanya sesaat, kemudian pecah dan mengeluarkan asap yang tipis.
Agung Sedayu dan Swandaru berdiri membeku di tempatnya. Meskipun mereka belum memahami betapa kerja berjenis-jenis racun, tetapi yang mereka lihat itu telah mendirikan bulu roma mereka. Bukan saja di tubuh orang berkumis itu, tetapi juga di atas pasir dan tanah di sekitarnya. Tetapi tidak sejelas yang mereka lihat pada tubuh mayat yang masih terbujur itu.
“Tidak ada kesempatan untuk menolong orang yang terkena serbuk racun itu. Apalagi apabila sudah masuk ke dalam arus pernafasan. Racun itu adalah reramuan dari jenis racun ular dan racun tumbuh-tumbuhan yang dapat melukai kulit,” berkata Kiai Gringsing.
“Tetapi bagaimana dengan obat pemunah itu?” bertanya Agung Sedayu.
Kiai Gringsing menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya,
“Tidak dapat banyak menolong seandainya racun itu belum membunuhnya sekalipun. Aku hanya dapat memperlunak dan mempercepat hilangnya daya perusak dari racun itu atas jaringan-jaringan tubuh manusia, bahkan binatang yang kebal akan racun ular sekalipun.”
Kedua muridnya hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kita tidak dapat berbuat apa-apa atas mayat itu hari ini. Kita terpaksa meninggalkannya di sini.”
“Bagaimana dengan binatang buas, Guru?” bertanya Swandaru.
Gurunya menarik nafas dalam-dalam. Terdengar ia kemudian menjawab,
“Binatang buas yang berani menjamah mayat itu akan terkena racun pula. Harimau adalah binatang yang termasuk tahan terhadap racun. Tetapi kalau ia menjilatnya hari ini, ia pasti akan mati.”
“Hanya hari ini?”
“Mudah-mudahan racun itu akan segera menjadi lemah dan kehilangan kemampuannya yang mengerikan.”
“Jadi, apakah kita tidak dapat berbuat apa-apa?” bertanya Agung Sedayu.
Gurunya menggelengkan kepalanya, “Apa boleh buat. Kita tidak dapat mengatasi persoalannya.”
Kedua muridnya itu pun mengangguk-anggukkan kepala mereka pula. Tetapi mereka hanya dapat berdiri tegak memandangi mayat yang terbujur di tanah. Kulitnya benar-benar menjadi seperti hangus. Apalagi di tempat-tempat yang langsung tersentuh oleh serbuk racun yang dahsyat itu.
“Kenapa ia sendiri tidak mempergunakan pemunah atau obat yang membuat mereka sendiri kebal akan racun?” bertanya Swandaru tiba-tiba.
“Memang seseorang dapat membekali dirinya dengan semacam obat yang dapat membuatnya kebal terhadap racun. Tetapi itu pun sangat terbatas. Hanya orang-orang yang benar-benar ahli dan menguasai persoalan segala jenis racun sajalah yang dapat melakukannya. Seseorang yang berusaha untuk mengebalkan dirinya terhadap racun-racun tertentu, harus meracuni dirinya lebih dahulu. Itulah yang sulit. Kalau takarannya tidak tepat, maka orang itu telah membunuh dirinya sendiri. Tetapi kalau ia berhasil, maka ia akan dapat menjadi kebal untuk bertahun-tahun lamanya.”
Kedua muridnya hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku pernah mempelajarinya,” berkata Kiai Gringsing kemudian,
“tetapi belum sempurna sekali, sehingga aku masih ragu-ragu untuk mencobanya. Kalau aku pada suatu saat tidak lagi melakukan pengembaraan dan petualangan serupa ini, mungkin aku akan berhasil setelah melakukan percobaan-percobaan atas berjenis-jenis binatang termasuk ular, dan tumbuh-tumbuhan.”
“Kapan hal itu akan Guru lakukan?” bertanya Swandaru.
“Pertanyaan aneh,” sahut gurunya, “aku tidak tahu.”
Swandaru mengerutkan keningnya. Dan gurunya masih berkata terus,
“Tergantung kepada keadaanku, keadaan di sekitarku dan keadaan kalian berdua.”

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling ke arah Agung Sedayu, maka dilihatnya anak muda itu justru menundukkan kepalanya. Swandaru pun tidak bertanya lagi. Kini ia kembali merenungi mayat yang hangus itu. Sementara itu, para pengawas berjalan tertatih-tatih menuju ke gardu mereka. Dukun yang menjadi tawanan mereka itu pun dengan tanpa dapat berbuat apa-apa, harus memapah pemimpin pengawas yang telah dilukainya sendiri, sedang di punggungnya, tiga ujung pedang telah siap untuk melubangi tubuhnya apabila ia berbuat sesuatu. Tetapi ternyata dukun itu bukan seseorang yang mudah berputus asa. Ia masih juga mencari akal, bagaimana ia dapat melepaskan dirinya. Ia sadar, bahwa orang berkumis itu telah mati. Dengan demikian, maka ia merupakan tawanan tunggal yang pasti akan dihadapkan kepada para pemimpin di Mataram. Ia akan menjadi sumber keterangan tentang keadaan di daerah yang kisruh ini.
“Kalau aku mencoba menutup mulut, aku pasti, aku akan diperasnya sampai darahku kering,” desisnya. Meskipun ia baru berangan-angan, tetapi terasa bulu-bulu tengkuknya telah berdiri. Orang-orang Mataram akan dapat banyak berbuat hal itu.
Dadanya berdesir apabila terbayang ujung-ujung pisau yang akan menyentuhnya apabila ia kelak dihukum picis. Hukuman yang paling terkutuk buat seorang pengkhianat.
“Aku pasti dianggapnya seorang pengkhianat,” katanya di dalam hati.
“Ki Gede Pemanahan dan puteranya dapat saja memutuskan untuk menghukum aku dengan cara demikian. Hukum picis yang mengerikan itu.”
Dengan demikian, maka dukun yang menjadi tawanan itu masih tetap berusaha, bagaimana ia dapat lolos dari semua kemungkinan yang mengerikan itu. Sekali-sekali ia mencoba memandang pemimpin pengawas yang terluka itu dengan sudut matanya. Tetapi ia tidak dapat menangkap kesan apa pun, karena pemimpin pengawas itu sekali-sekali masih saja menyeringai menahan sakit. Ketika ia mencoba berpaling, terasa hampir bersamaan ketiga ujung pedang para pengawas yang terluka itu menyentuh tubuhnya.
“Kau akan berbuat sesuatu yang dapat mencelakakan dirimu sendiri?” bentak Wanakerti.
Tawanan itu menarik nafas. Memang ketiga pengawas itu selalu bersiaga dengan ujung pedangnya, sehingga setiap usaha untuk melarikan diri, agaknya memang sulit dilakukan. Namun demikian, apakah itu berarti bahwa ia harus menyerah untuk dihukum picis?
“Aku harus menemukan cara,” ia berdesis di dalam dadanya.
Dalam pada itu, mereka pun setapak demi setapak maju. Semakin lama menjadi semakin dekat dengan gardu pengawas. Apabila ia kemudian meletakkan pemimpin pengawas itu di gardu, maka ketiga pengawas yang lain itu akan segera mengikatnya kembali dan besok atau lusa menyerahkannya kepada Ki Gede Pemanahan. Ketika dukun itu kemudian memandang ke depan, hatinya berdesir. Gardu pengawas itu sudah tidak begitu jauh lagi di hadapannya. Sebelum sampai ke gardu itu ia harus mendapat akal. Harus. Selangkah demi selangkah ia maju. Dalam pada itu dadanya pun menjadi semakin berdebar-debar. Namun yang dilakukan kemudian adalah menundukkan kepalanya. Dipapahnya pemimpin yang terluka itu sebaik-baiknya. Bahkan seperti memapah anak sendiri yang sedang sakit. Dengan demikian ia berharap, bahwa pengawas yang lain menjadi lengah. Ia ingin mendapat waktu sekejap saja, untuk dapat melarikan diri seperti yang diinginkannya.
“Para pengawas itu terluka. Mereka agaknya sudah sangat lemah. Kalau aku dapat meloncat selangkah menjauh, maka mereka pasti tidak akan dapat mengejar aku. Agaknya aku masih cukup kuat untuk berlari dan bersembunyi di dalam hutan itu.”
Akhirnya dukun yang tertawan itu memutuskan, bahwa ia akan melakukannya. Lari. Semakin dekat mereka dengan gardu pengawas, hati dukun itu menjadi kian berdebar-debar. Ia memerlukan waktu hanya selangkah maju. Kini mereka sudah siap memasuki halaman sempit di depan gardu pengawas. Dengan demikian maka dukun itu pun segera mulai mempersiapkan dirinya. Ia tidak berbuat sesuatu ketika mereka memasuki halaman yang berpagar kayu itu. Pagar itu sama sekali tidak berarti apa-apa baginya. Ia akan dengan mudahnya meloncati pagar yang tidak begitu tinggi itu. Yang diperlukannya kemudian adalah kesempatan itu. Kesempatan yang hanya sekejap saja. Ketika mereka sudah sampai di depan gardu pengawas, maka dukun itu merasa, waktunya memang sudah tiba. Ia tidak dapat menunggu lagi, karena apabila sudah terlanjur masuk, maka ia tidak akan dapat keluar lagi tanpa terikat kaki dan tangannya. Demikianlah, maka ketika ia benar-benar sudah hampir melangkah memasuki ruangan gardu pengawas, maka tiba-tiba saja ia bertindak. Dengan kecepatan yang tinggi, ia memutar pemimpin pengawas itu, kemudian didorongnya ke arah ketiga pengawas yang mengikutinya.

Semua itu terjadi di dalam sekejap mata. Apalagi ketiga pengawas itu tidak menduga sama sekali. Dukun itu tampaknya sudah menjadi sangat jinak, bahkan berpaling pun tidak berani lagi. Namun tiba-tiba mereka melihat pemimpin pengawas yang terluka itu seakan-akan terlempar ke arah mereka. Yang dapat mereka lakukan adalah menyingkirkan ujung pedang-pedang mereka agar tidak justru mengenai pemimpin mereka yang terlempar itu. Namun sejenak kemudian mereka harus berusaha menahan pemimpin mereka yang terlempar itu agar ia tidak jatuh. Tetapi ternyata para pengawas itu sudah begitu lemahnya. Ketika mereka menahan pemimpin mereka, maka justru mereka pun telah terdorong selangkah surut, kemudian tanpa dapat mempertahankan keseimbangan me-reka lagi, mereka pun berjatuhan saling menimpa, sehingga ketiganya tidak dapat bertahan sama sekali, jatuh tindih menindih. Sejenak dukun itu menikmati kemenangannya. Ia melihat para pengawas itu tidak berdaya lagi. Mereka tidak akan dapat segera bangkit dan mengejarnya. Seandainya salah seorang dari mereka dapat segera bangun kembali, ia tidak akan dapat berbuat banyak. Bahkan, seandainya mereka bertiga sekalipun, dukun itu tidak akan gentar lagi menghadapinya. Karena itu, dukun itu seolah-olah tidak menghiraukan para pengawas itu lagi. Sejenak ia masih melihat mereka menggeliat dan mencoba berkisar dari tempat mereka, dan tertatih-tatih mereka mencoba untuk bangkit. Dukun itu tertawa berkepanjangan. Ia berdiri beberapa langkah sambil bertolak pinggang.
“Kenapa aku harus lari?” ia berkata. “Kenapa aku tidak membunuh kalian saja?”
Ternyata ketiga pengawas yang mengawal pemimpin mereka yang terluka itu tidak segera dapat bangkit dan berdiri tegak. Namun demikian dukun itu berkata,
“Tetapi kalau kalian benar-benar mengerahkan sisa-sisa tenaga kalian, agaknya cukup berbahaya juga bagiku. Aku memang tidak setangkas kawanku yang kalian bunuh itu. Namun demikian, aku yakin kalian tidak akan dapat menangkap aku.”
“Gila. Jangan mencoba berlari,” desis Wanakerti.
Tetapi orang itu tertawa,


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar