Membentak para peronda yang sebenarnya mereka ketahui dengan pasti, bahwa orang-orang itu berpihak kepada Sidanti, tetapi mereka sama sekali tidak dilukainya. Seperti pada saat ia datang dengan tiba-tiba, maka dengan tiba-tiba pula mereka pergi sambil meninggalkan getar yang meledak dari ujung-ujung cambuk mereka.
“Beberapa
orang bersenjata cambuk,” bisik para peronda itu.
Kawannya menganggukkan
kepalanya sambil meraba lehernya. “He, apakah lehermu ini tidak putus?”
“Kenapa?”
bertanya yang lain.
“Seharusnya
mereka menyembelih kita seperti menyembelih kambing. Tetapi mereka pergi tanpa
berbuat sesuatu.”
Keheranan yang
ternyata merata di beberapa gardu yang lain. Agaknya orang-orang berkuda dan
bercambuk itu telah mendatangi beberapa buah gardu berturut-turut. Sebenarnyalah
bahwa orang-orang berkuda itu telah mendapat pesan dari Ki Argapati untuk tidak
membunuh apabila tidak terpaksa. Mereka yang menyaksikan kehadiran orang-orang
berkuda itu harus dibiarkan hidup supaya mereka dapat berceritera tentang apa
yang dilihatnya. Tentang orang-orang berkuda dan tentang orang-orang yang
bersenjata cambuk.
Ketika laporan
itu sampai ke telinga Ki Tambak Wedi, maka kemarahannya pun meluap sampai ke
ubun-ubun. Memang terlampau sulit baginya untuk menjelajahi daerah seluas Tanah
Perdikan Menoreh untuk berusaha bertemu dengan orang-orang berkuda yang
mempunyai tujuan tidak menentu itu.
“Aku akan
menjelajahi daerah ini malam nanti dengan kuda pula. Aku akan menyilang semua
jalan dan lorong-lorong,” ia menggeram.
“Aku ikut
pergi bersama Guru,” minta Sidanti.
“Kau tetap
berada di pasukanmu. Kalau desa itu tidak kita kepung mungkin pasukan berkuda
itu pun tidak bergerak,” berkata Ki Tambak Wedi kemudian.
“Kau tidak
usah mencemaskanku. Aku pasti bahwa seandainya dugaan kita benar, yang pergi
bersama orang-orang berkuda itu bukan yang tua. Tetapi anak-anak yang masih
sepanas nafas mudamu.”
Demikianlah
maka pada malam berikutnya, Ki Tambak Wedi benar-benar pergi seorang diri di
atas punggung kuda, menyelusuri jalan dan lorong, untuk menemukan serombongan
pasukan berkuda yang berkeliaran di Tanah Perdikan Menoreh di malam hari.
Tetapi usaha Ki Tambak Wedi itu tidak segera dapat berhasil karena ada
beratus-ratus jalan silang menyilang di atas Tanah Perdikan Menoreh.
Namun
sementara itu kekuasan Argapati benar-benar telah terkurung dalam daerah yang
sangat sempit. Di siang hari pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh kadang-kadang
dapat berhubungan dengan padesan-padesan di sekitar tempat mereka bertahan.
Namun semakin lama orang-orang di padesan itu
pun menjadi semakin ketakutan. Orang-orang Sidanti selalu mengancam
siapa saja yang berhuhungan dengan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Apa
lagi bagi mereka yang bersedia memberikan perbekalan. Meskipun demikian, masih
juga ada orang-orang yang dengan beraninya berusaha membantu para pengawal yang
seolah-olah terkurung dalam pemusatan pasukannya. Sementara itu luka Ki Argapati
sendiri menjadi semakin berangsur berkurang. Tetapi betapa lambatnya
perkembangan kesehatannya, karena obat yang diterimanya dari orang bercambuk
itu seolah-olah sudah tidak dapat membantunya sama sekali. Kekuatannya menjadi
hambar setelah berhari-hari melekat di atas luka. Namun luka itu kini tidak
lagi berbahaya bagi jiwanya. Luka itu kini telah menjadi luka biasa, karena
racunnya telah menjadi tawar. Meskipun demikian, luka biasa yang sekian panjang
dan dalamnya di dada adalah luka yang terlampau parah. Persoalan-persoalan itu,
tentang luka, tentang bahan makanan yang menipis, tentang kesempatan bergerak
yang semakin sempit, dan tentang berbagai macam hal, selalu menimbulkan masalah
bagi para pemimpin pasukan pengawal tanah perdikan. Setiap hari mereka berusaha
mencari pemecahan yang paling baik yang dapat dilakukan. Tetapi mereka masih
belum menemukan jalan yang lurus dan lapang. Yang dapat mereka lakukan adalah
mengatasi kesulitan buat sementara dan sementara.
Namun apa yang
didengar oleh Argapati, dapat memberinya sedikit harapan. Ternyata beberapa
petugas sandinya telah menangkap hasil usahanya, gelar sandi. Orang-orang di
seluruh Menoreh kini membicarakan orang-orang berkuda, dan orang-orang yang ada
di antara mereka, yang mempergunakan cambuk sebagai senjata menonjolkan
senjata-senjata cambuk itu, sehingga benar-benar berkesan pada orang-orang yang
melihatnya dan bahkan mengalami sekali dua kali disengat oleh ujung senjata
yang aneh itu. Tetapi kesan mereka pada umumnya adalah menganggap orang-orang
berkuda dan terutama orang yang bersenjatakan cambuk itu terlampau aneh. Ternyata
berita tentang orang-orang bercambuk itu benar-benar telah merata sebelum Ki
Tambak Wedi berhasil menemukan mereka pada suatu saat. Hampir saja Ki Tambak
Wedi menjadi jemu. Namun adalah tugasnya untuk berusaha memecahkan teka-teki
tentang orang-orang berkuda itu.
“Kalau aku
tidak segera berhasil menemukan mereka, aku harus berada di mulut sumbernya,
sehingga aku dapat melihat mereka keluar dari padesan itu dan mengikuti sampai
jarak yang cukup, meskipun dapat berakibat mereka membatalkan perjalanan mereka
apabila mereka merasa seseorang mengikuti mereka,” berkata Ki Tambak Wedi dalam
hatinya. Memang agak sulit baginya untuk mengikuti mereka dengan berkuda pula
tanpa diketahui oleh orang-orang berkuda itu sampai jarak yang cukup jauh dari
padesan tempat pasukan pengawal yang masih setia kepada Argapati itu bertahan.
Tetapi apabila tidak ada jalan lain yang dapat dipilih, maka jalan itu pun akan
dilalukannya. Sudah tentu Ki Tambak Wedi tidak akan menghentikan orang-orang
berkuda itu selagi mereka masih berada di sekitar pemusatan pasukan Menoreh
itu. Sebab dengan demikian, mereka masih akan dapat memberikan tanda-tanda
sandi untuk mengundang orang-orang tua yang mungkin berada di tempat itu,
terutama orang bercambuk itu.
Tetapi
ternyata berita tentang orang-orang yang bersenjata cambuk itu tidak hanya
menggelisahkan Ki Tambak Wedi saja. Pada saat Ki Tambak Wedi berusaha
mati-matian untuk menjumpai mereka, maka di sebuah gubug terpencil, di sudut
desa yang kecil, dua orang anak muda sedang duduk menghadapi seorang tua yang
duduk tepekur di atas sehelai tikar yang dibentangkan di atas jerami kering.
“Kami juga
telah mendengar, Guru,” berkata salah seorang anak muda yang menyebut dirinya
bernama Gupita.
“Hampir setiap
mulut mengatakan tentang serombongan orang-orang berkuda dan bersenjata
cambuk,” sambung yang lain, seorang anak muda gemuk bulat, dan menamakan
dirinya Gupala.
Orang tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Apakah kita
terpaksa melibatkan diri kita dengan langsung ke dalam persoalan ini?”
“Kita tidak
akan dapat tinggal diam, Guru,” sahut Gupita.
“Kita akan
berkepentingan langsung. Apakah kita dapat melihat Sidanti dan Ki Tambak Wedi
menguasai daerah ini?”
Orang tua itu
tidak segera menjawab. Dan Gupita melanjutkannya,
“Kalau kali
ini mereka berhasil, maka mereka akan menginginkan lebih banyak lagi.”
“Mereka akan
melintasi alas Mentaok, Guru. Prambanan akan terancam dan Sangkal Putung adalah
pancadan yang paling baik untuk pergi ke Pajang.”
“Ya. Ya,”
jawab orang tua itu, “kalian benar.”
“Adalah kewajiban
kita untuk berbuat sesuatu di sini.”
Orang tua itu
masih mengangguk-snggukkan kepalanya. Namun kemudian ia berkata,
“Tetapi aku
menyesal, cara yang ditempuh oleh Argapati itu seolah-olah telah menyudutkan
kita ke dalam persoalan ini. Apa pun
yang akan kita lakukan, kesan yang didapat oleh Ki Tambak Wedi adalah bahwa
orang-orang yang bersenjata cambuk itu telah ikut serta secara langsung.
Mungkin Argapati menganggap dan memperhitungkan, bahwa Ki Tambak Wedi pun
pernah mendengar dan mengenal orang-orang yang bersenjata cambuk. Sekalipun
cara ini dipakai oleh Ki Argapati untuk memaksa orang-orang bercambuk yang
sesungguhnya untuk tampil di arena.”
Kedua
anak-anak muda yang bernama Gupita dan Gupala itu pun menundukkan kepalanya
dalam-dalam. Mereka menyadari kebenaran kata-kata gurunya. Tetapi dorongan di
dalam hati mereka sendiri menghendaki, agar mereka secara langsung ikut serta
di dalam persoalan ini. Apalagi anak muda yang gemuk itu, yang merasa langsung
terancam apabila Sidanti benar-benar dapat menguasai tanah perdikan yang besar
ini.
Namun mereka
tidak berani menekankan pendapat mereka. Mereka pun menyadari bahwa gurunya itu
sebenarnya condong kepada sikapnya pula. Tetapi sebagai orang tua, gurunya
pasti jauh lebih berhati-hati daripada mereka sendiri.
“Sekarang kita
tidak dapat menghindar lagi,” berkata orang tua itu selanjutnya,
“sehingga mau
tidak mau kita harus menentukan sikap.”
“Apakah yang
akan kita lakukan, Guru?” bertanya Gupita.
“Kita terpaksa
melibatkan diri kita. Meskipun demikian kita tidak akan berbuat tergesa-gesa,”
jawab gurunya.
“Tetapi
keadaan telah memanjat semakin panas. Kalau malam yang pertama sejak Argapati
terluka itu, Ki Tambak Wedi mengambil langkah yang benar maka Ki Gede Menoreh
pasti akan menjadi semakin parah. Bukan saja lukanya tetapi juga kedudukannya.”
Gurunya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Kita sudah
tentu tidak akan membiarkannya. Aku melihat keragu-raguan sikap Tambak Wedi
pada malam itu, menilik gelar yang dipergunakan, sehingga aku pasti bahwa
Tambak Wedi tidak akan segera berbuat sesuatu. Kegagalan Tambak Wedi di Pucang
Kembar pasti diperhitungkannya juga. Kemudian kekalahan Ki Peda Sura dan
tanda-tanda lain yang dapat menghambat maksud Ki Tambak Wedi, ditambah
kecerdasan berpikir orang-orang Argapati dengan membentuk pasukan berkuda itu.
Apalagi Argapati telah membuat tiruan dari orang-orang yang bersenjata cambuk
seperti kita. Sekaligus ia mendapat dua keuntungan. Ia dapat membuat Ki Tambak
Wedi semakin ragu-ragu dan memaksa kita untuk tampil.”
Kedua
anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi mereka tidak segera
menyahut.
“Sekarang,”
berkata orang tua itu,
“kita harus
mulai. Tetapi kita tidak akan dapat dengan serta-merta datang menemui Argapati.
Kita harus menilai suasana lebih dahulu, sementara Ki Tambak Wedi jangan sampai
melihat lebih dahulu, bahwa kita sebenarnya hadir di sini.”
“Tetapi
bagaimanakah kalau Ki Tambak Wedi itu segera tahu bahwa orang-orang berkuda itu
sama sekali bukan orang-orang yang dibayangkannya? Bukankah dengan demikian ia
akan segera menyerang Ki Argapati?” bertanya Gupita.
“Mungkin,”
jawab gurunya.
“Kita pun
tidak akan menunda terlampau lama. Dalam pada itu, obat yang kita berikan
kepada Ki Argapati itu pun pasti sudah hambar. Ia memerlukan obat baru.
Mudah-mudahan tidak ada orang lain yang mencampur obat itu dengan jenis
obat-obatan yang lain yang dapat memperlemah daya penyembuhnya atau bahkan
saling memunahkan. Dan mudah-mudahan tidak pula disusupi oleh obat dari Ki Wasi
atau lebih-lebih lagi Ki Muni.”
“Jadi, apakah
kita akan menemui Ki Argapati untuk menyerahkan obat itu?” bertanya Gupala.
“Ya,” jawab
gurunya, “tetapi kita memerlukan cara yang tidak terlampau kasar.”
“Maksud Guru?”
“Salah seorang
dari kita harus dapat melihat suasana lebih dahulu, supaya kita tidak menemukan
kesulitan. Kita minta waktu kepada Argapati kapan ia dapat menerima kita. Kalau
tidak, mungkin kita akan berurusan dengan para peronda dan para pengawal.
Apabila demikian keadaan kita akan dapat menjadi sulit, sebab mereka sama
sekali belum mengenal kita.”
Kedua muridnya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan sejenak kemudian Gupala berkata,
“Baiklah. Aku
akan nencoba mencari kesempatan untuk bertemu dengan Ki Argapati.”
“Jangan kau,
Gupala.”
“Kenapa Guru?”
“Bentuk
tubuhmu terlampau mudah untuk dikenal. Setiap orang akan mengatakan bahwa satu
di antara orang-orang bercambuk itu bertubuh gemuk bulat. Nah, setiap orang
akan segera mengenal siapa kau sebenarnya.”
“Bukankah kita
tidak berkeberatan, Guru, seandainya Ki Tambak Wedi segera mengetahui?”
“Sementara ini
jangan. Aku sebenarnya senang juga melihat Tambak Wedi kebingungan. Semalam aku
melihat ia berpacu dengan kudanya seperti orang gila. Mungkin ia ingin
membuktikan dengan mata kepalanya sendiri, siapakah sebenarnya orang-orang
bercambuk itu. Kalau ia segera menemukan kepastian karena orang-orangnya
mengenalmu, maka ia akan segera menentukan sikap. Apa pun yang akan
dilakukannya.”
Gupala menarik
nafas dalam-dalam. Tanpa disengajanya, ia memandangi anggauta badannya.
Tangannya yang sebesar pering petung, kaki-kakinya dan jari-jarinya.
“Hem,” ia
menarik nafas dalam-dalam.
“Jadi, Kakang
Gupita lagi yang mendapat kesempatan. Kali ini seperti waktu yang terdahulu?”
Gurunya
tersenyum, dan Gupita pun tersenyum.
“Baiklah,”
Gupala seakan-akan mengeluh.
“Lain kali kau
akan mendapat kesempatan pula dalam tugas yang yang lain.”
Gupala
mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun sorot matanya membayangkan hatinya
yang kecewa.
“Kapan aku
harus membawa obat itu, Guru?” bertanya Gupita,
“Segera.
Tetapi kau harus berusaha, bahwa kau akan bertemu dengan Ki Argapati sendiri.
Aku akan mengawasi kau dari kejauhan bersama Gupala.”
“Tetapi,”
tiba-tiba Gupala memotong, “Ki Argapati justru pernah mengenal aku.”
“Tetapi bukan
petugas sandi Ki Tambak Wedi. Kalau salah seorang dari mereka melihat kau dan
mengatakannya kepada Ki Tambak Wedi, maka segera Ki Tambak Wedi yakin, bahwa
orang bercambuk yang gemuk bulat itu adalah kau. Sudah tentu bersama kita
semua.”
Gupala tidak
segera menyahut. Tetapi ia tidak mengerti kenapa gurunya berkeberatan. Bukankah
pada saatnya nanti Ki Tambak Wedi akan tahu juga bahwa mereka berada di Tanah
Perdikan Menoreh ini bersama-sama? Namun demikian Gupala memang harus
mematuhinya. Sehingga betapa ia berkeinginan untuk berperanan, namun niat itu
harus disimpannya saja di dalam hati. Maka setelah menyediakan beberapa jenis
obat-obatan yang akan dapat menolong Ki Argapati dari lukanya yang parah, maka
Gupita pun segera harus berangkat. Gurunya memberinya beberapa macam pesan
apabila ia menghadapi kesulitan. Sementara ia mendekati padesan tempat
pemusatan pasukan Tanah Perdikan Menoreh, gurunya dan Gupala akan mengawasinya
dari kejauhan.
“Kalau kau
benar-benar tidak dapat mengatasi kesulitan yang datang dengan tiba-tiba, maka
panggillah kami dengan ledakan cambukmu,” pesan gurunya.
“Kami tidak
akan terlampau jauh daripadamu.”
“Baik, Guru,”
jawab Gupita yang segera minta diri kepada gurunya dan kepada adik seperguruannya.
Dengan
hati-hati Gupita, gembala yang bersenjata cambuk itu pun segera pergi mendekati
padukuhan tempat pemusatan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi kali
ini ia tidak membawa seekor kambing pun. Ia harus dapat menerobos masuk dan menyerahkan
obat itu kepada Ki Argapati sendiri sambil membicarakan kemungkinan, bahwa
gurunya akan datang sendiri untuk menemui Ki Argapati.
Di padukuhan
yang dilingkari dengan pohon pering ori, para pemimpin pasukan pengawal selalu
dipeningkan oleh kesulitan-kesulitan yang setiap saat timbul. Kekurangan
makanan telah mulai membayang, meskipun di lumbung masih ada persediaan. Namun
persediaan itu telah menipis. Sedang tidak seorang pun dari orang-orang
padukuhan itu yang dapat keluar untuk menggarap sawah mereka, karena dengan
demikian akan dapat membahayakan kedudukan para prajurit. Yang mereka harapkan
adalah bantuan bahan makanan dari daerah di sekitar desa itu, yang kini semakin
ketat diawasi oleh orang-orang Sidanti yang agaknya lebih leluasa berkeliaran
hampir di seluruh daerah tanah perdikan ini. Selain masalah-masalah yang tumbuh
pada lingkungan pasukan itu sendiri, maka Pandan Wangi juga dibebani oleh
persoalan pribadi yang kadang-kadang membuatnya kehilangan akal. Sebagai
seorang gadis, kadang-kadang Pandan Wangi mengurung dirinya di dalam biliknya
sambil menangis. Pertanyaan Wrahasta benar-benar telah membuatnya cemas. Tetapi
sampai begitu jauh, ia sama sekali tidak berani mengatakannya kepada ayahnya.
Sehingga kegelapan hati itu disimpannya sendiri di dalam dadanya.
Masalah-masalah
yang menyangkut Tanah Perdikan Menoreh dapat diperbincangkannya dengan banyak
orang. Betapapun berat, namun agak lapanglah rasa dadanya, karena beban itu
ditanggungkan oleh orang-orang lain pula. Tetapi beban perasaannya yang satu
ini sama sekali harus dipikulnya sendiri. Tidak ada kawan untuk berbagi.
Ayahnya juga tidak. Karena luka ayahnya sendiri masih cukup parah, sedang
obatnya pun telah hampir punah daya penyembuhnya. Dengan demikian ia tidak
sampai hati untuk menambah beban perasaan Argapati yang sedang disaput oleh
keprihatinan itu. Untuk sementara yang dapat dilakukan oleh Pandan Wangi adalah
selalu berusaha untuk menghindari pertemuan seorang dengan seorang dari
Wrahasta. Setiap kali ia selalu berusaha untuk berada di dekat Kerti atau
Samekta, bahkan pemimpin pasukan yang lain kecuali Wrahasta, meskipun ia
berusaha sedapat-dapat dilakukan, untuk tidak menimbulkan kesan yang
menyakitkan hati pada anak muda yang bertubuh raksasa itu. Sebenarnyalah bahwa
Wrahasta selalu mencari kesempatan untuk dapat menemui Pandan Wangi seorang
diri. Namun usahanya itu masih belum pernah berhasil. Setiap kali pasti ada
orang lain di antara mereka. Dan orang lain itu rasa-rasanya benar-benar
mengganggunya.
Di siang hari,
Pandan Wangi lebih banyak bersama-sama dengan pemomongnya yang tua, Kerti.
Hampir setiap saat Kerti selalu dibawanya. Meskipun tidak jelas, tetapi Pandan
Wangi telah membayangkan kesulitannya kepada orang tua itu. Tetapi di malam
hari, Kerti selalu berada di desa sebelah untuk memimpin pasukan yang mengawal
keluarga dalam pengungsian.
“Apakah Paman
Kerti harus bertugas di sana setiap malam?” bertanya Pandan Wangi ketika mereka
bersama-sama berdiri di mulut regol.
Kerti
menganggukkan kepalanya sambil menjawab,
“Ya, aku harus
pergi ke sana.”
“Apakah tidak
dapat secara bergilir, orang lain yang harus memimpin pasukan itu?”
“Tentu saja
dapat,” jawab Kerti, “tetapi kini masih belum waktunya.”
Pandan Wangi
menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia menengadahkan wajahnya, dilihatnya
matahari sedang memanjat langit. Cahayanya masih belum terlampau panas, namun
kecerahan sinarnya membuat dedaunan seakan-akan ikut bersinar.
Namun Pandan
Wangi itu tiba-tiba menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak sempat menikmati cahaya
pagi yang segar ini sepuas-puasnya seperti ketika tanah perdikan ini masih
belum dibakar oleh api kedengkian dan nafsu. Ketika itu, apabila ia berpakaian
seperti yang dikenakannya kini, adalah saat-saat yang menyenangkan. Karena
dengan pakaian ini ia pasti berada di padang perburuan bersamn Kerti dan satu
dua pengawal. Tetapi kini tidak. Kalau kali ini ia berada di padang perburuan,
adalah perburuan yang paling buas yang dikenalnya. Berburu sesamanya, manusia. Angan-angan
itu telah membuat Pandan Wangi menjadi semakin muram. Dengan mata yang sayu
ditatapnya sinar matahari yang jatuh di atas rerumputan liar di tanah
persawahan yang tidak sempat disentuh oleh tangan.
“Tanah itu
benar telah kering,” desisnya.
Kerti
berpaling. Ia mendengar suara Pandan Wangi, tetapi ia tidak segera menyahut.
Tetapi
tiba-tiba Pandan Wangi itu mengangkat wajahnya. Sesuatu telah menyentuh hatinya
lewat telinganya. Suara seruling. Mula-mula Pandan Wangi ragu-ragu atas
pendengarannya sendiri. Di dalam keadaan serupa ini, apakah ada seseorang yang
sempat meniup serulingnya? Apalagi suara itu datang dari arah luar benteng
bambu berduri yang mengelilingi desa itu. Tiba-tiba teringat olehnya seorang
gembala yang biasa bermain-main dengan serulingnya. Ia pernah menemui gembala
itu bermain seruling di muka pasukan pengawal tanah perdikan ini yang sudah
dalam kesiagaan tertinggi sewaktu masih berada di induk tanah perdikan. Gembala
itu bermain dengan nyamannya seolah-olah tidak terjadi sesuatu di sekitarnya. Kini,
ia mendengar suara seruling itu pula. Juga di hadapan hidung para pengawal yang
sedang dalam kesiagaan tertinggi. Dalam kebimbangan itu Pandan Wangi berpaling,
memandangi wajah Kerti. Sekilas Pandan Wangi melihat kening orang tua itu
bergerak-gerak. Dan tanpa disadarinya ia bertanya,
“Apakah Paman
Kerti mendengar sesuatu?”
Kerti mengangguk
ragu. Namun ia menjawab,
“Aku mendengar
suara seruling dari balik rerungkudan di tengah-tengah sawah yang tidak digarap
itu.”
“Ya, aku
mendengarnya pula,” berkata Pandan Wangi kemudian.
“Aneh,” desis
Kerti.
Pandan Wangi
tidak segera menyahut. Didengarkannya suara seruling itu dengan seksama.
Semakin lama menjadi semakin nyata mengalun bersama angin yang berhembus dari
Utara. Kadang-kadang meninggi, kemudian turun merendah, seperti kegelisahan
yang sedang merayap di hati Pandan Wangi.
“Gembala itu
pula,” berkata Pandan Wangi lambat.
“Gembala yang
mana Wangi?”
Pandan Wangi
menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia menjawab,
“Paman Samekta
pernah melihatnya.”
“Lalu?”
“Apakah Paman
Kerti tidak melihatnya ketika aku menjumpainya di pinggir padukuhan induk tanah
perdikan ini, dahulu?”
Kerti
mengerutkan keningnya.
“Mungkin Paman
memang tidak ada waktu itu. Tetapi seperti sekarang, ia bersenandung dengan
serulingnya di depan hidung para pengawal. Aku mencurigainya waktu itu. Aku
sangka ia adalah salah seorang petugas sandi Kakang Sidanti.”
“Sekarang pun
kau harus mencurigainya.”
Kerti menjadi
heran ketika ia melihat Pandan Wangi menggelengkan kepalanya.
“Aku tidak
akan dapat mencurigainya lagi, Paman.”
“Kenapa?”
“Orang itulah
yang bernama Gupita, yang telah membebaskan aku dari tangan Ki Peda Sura.”
Wajah Kerti
yang tua itu rnenjadi semakin berkerut-kerut. Perlahan-lahan ia
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil bergumam seolah-olah kepada diri sendiri,
“Jadi orang
inilah yang kau katakan itu Wangi?”
“Ya, Paman.”
Kerti terdiam
sejenak. Sekilas melonjak di dalam kenangannya, seseorang yang gemuk bulat
memberikan obat kepada Ki Gede Menoreh, dan ternyata obat itu telah
menolongnya. Anak muda yang gemuk bulat itu juga bersenjata sebuah cambuk yang
berjuntai panjang dan bertangkai pendek, seperti yang pernah diceriterakan oleh
Pandan Wangi tentang seorang gembala yang bernama Gupita, yang telah menolong
melepaskannya dari tangan Ki Peda Sura.
“Ternyata
ceritera tentang orang-orang bercambuk itu telah berkembang di Tanah ini,”
gumam Kerti.
“Ya, apalagi
setelah di antara pasukan berkuda itu terdapat juga beberapa orang bercambuk,”
jawab Pandan Wangi.
Kerti
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak segera menjawab. Di dalam dadanya
telah bergulat beberapa macam pendapat tentang orang yangg menyebut dirinya
Gupita itu. Ia dapat mengerti bahwa Pandan Wangi tidak akan dapat
mencurigainya, tetapi ia tidak dapat menolak seluruh pendapat Wrahasta yang
dengan hati-hati menanggapi peristiwa itu. Tidak mustahil bahwa Sidanti telah
membuat gelar sandi seperti yang dilakukan oleh Ki Argapati dengan menempatkan
seseorang untuk dengan sengaja menghubungi Pandan Wangi dan menolong
membebaskannya dari tangan Ki Peda Sura.
“Tetapi,”
katanya di dalam hati, “Ki Gede mempercayainya.” Namun segera timbul persoalan
di dalam dirinya.
“Apakah benar,
bahwa Gupita dan Gupala itu bersumber pada satu keluarga atau suatu perguruan?
Apakah mereka tidak justru berdiri berseberangan dengan berebut ciri dari manusia
bercambuk itu, namun sebenarnya mereka semuanya sama sekali bukan orang yang
dimaksud oleh Ki Argapati. Atau bahkan semuanya telah dipersiapkan dengan
cermat oleh Ki Tambak Wedi? Namun jika demikian, maka Ki Argapati itu pasti
sudah tidak akan dapat tertolong lagi. Obat itu pasti akan mempercepat
kematiannya. Namun justru obat itu ternyata bermanfaat baginya.”
Pertanyaan
yang bersimpang siur telah mengganggu jantung Kerti. Semuanya dapat terjadi.
Semuanya dapat keliru, tetapi mungkin juga semua tanggapan Ki Argapati dan
Pandan Wangi tentang orang-orang bercambuk itu benar. Dan apakah kira-kira
sikap Wrahasta terhadap orang itu nanti apabila ia mendengarnya juga?
Kerti tersedak
dari angan-angannya ketika ia mendengar suara Pandan Wangi,
“Apa yang akan
kau lakukan?”
Ketika Kerti
mengangkat wajahnya dilihatnya dua orang pengawal dengan tombak di tangan telah
berdiri beberapa langkah di belakangnya.
“Aku mendengar
suara seruling,” sahut pengawal itu hampir bersamaan.
“Lalu?” desak
Pandan Wangi.
“Kami ingin melihatnya.
Terlampau mencurigakan bahwa ada seseorang bermain seruling di tengah-tengah
sawah yang kering itu.”
“Aku juga mendengar,”
berkata Pandan Wangi.
“Biarlah aku
dan Paman Kerti sajalah melihatnya.”
Kedua pengawal
itu saling berpandangan sejenak. Bahkan Kerti
pun rnenjadi termangu-mangu. Sehingga salah seorang dari pengawal itu
berkata,
“Apakah tidak
terlampau berbahaya apabila kalian berdua yang pergi melihatnya.”
Pandan Wangi
mengerutkan keningnya. Di pandanginya wajah kedua pengawal yang berdiri tegak
itu. Kemudian berpindah kepada wajah Kerti yang tegang.
Sejenak
kemudian terdengar suara Pandan Wangi,
“Apakah
perbuatan yang serupa yang akan kalian lakukan tidak berbahaya bagi kalian?”
“Bukan
begitu,” jawab salah seorang dari kedua pengawal itu.
“Betapapun
juga bahaya itu akan menimpa kami, tetapi kami tidaklah sepenting kalian berdua
bagi tanah perdikan ini.”
Pandan Wangi
menarik nafas dalam-dalam. Ia terdiam mendengar jawaban pengawal itu. Begitu
besar pengorbanan yang disediakan untuk kepentingannya dan kepentingan Tanah
ini. Tidak dihiraukannya lagi, apakah yang akan terjadi atas diri mereka
sendiri.
“Kita akan
pergi bersama-sama,” berkata Pandan Wangi kemudian.
Kedua pengawal
itu masih ragu-ragu. Namun salah seorang dari mereka akhirnya berkata,
“Kalau memang
itu yang kau kehendaki, baiklah. Kami akan melakukanya.”
Maka pergilah
mereka berempat dengan hati-hati ke arah suara seruling yang masih saja
mengalun di sela-sela desir angin yang berhembus di antara dedaunan. Daun
rerumputan yang liar dan batang-batang ilalang yang menjadi semakin tinggi.
Para peronda
di gardu melihat keempatnya berjalan semakin lama semakin jauh. Beberapa orang
menjadi cemas dan berbisik di antara mereka,
“Kenapa Ki
Kerti dan Pandan Wangi pergi juga.”
Kawannya menggelengkan
kepalanya. Jawabnya,
“EntahIah.
Tetapi meskipun ia seorang gadis. Pandan Wangi mempunyai kelebihan dari kita
semua. Bahkan Ki Kerti dan Ki Samekta tidak dapat menyamainya. Ternyata pada
saat ia berkelahi melawan Ki Peda Sura.”
Kawan-kawannya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebenarnyalah bahwa Pandan Wangi adalah seorang
gadis yang luar biasa. Meskipun demikian, kepergiannya itu telah membuat para
pengawal menjadi cemas. Sehingga dengan demikian maka tanpa mereka kehendaki
dan tanpa berjanji mereka telah bersiap, berdiri berjajar di muka gardu di
regol desa. Setiap saat mereka siap untuk meloncat ke arah suara seruling di
balik ilalang itu. Dari sela-sela rerumputan yang meninggi, gerumbul-gerumbul
perdu yang liar, para peronda masih melihat bagian kepala Pandan Wangi dan
ketiga kawannya berjalan semakin jauh. Sedang suara seruling yang
melonjak-lonjak itu pun masih juga menyentuh telinga mereka. Orang-orang di
depan gardu itu menahan nafas mereka ketika mereka melihat Pandan Wangi
berhenti. Agaknya Pandan Wangi telah menjumpai sumber suara seruling itu. Sebenarnyalah
bahwa kini Pandan Wangi telah berdiri beberapa langkah di belakang seorang anak
muda yang duduk di bekas pematang yang kering sambil meniup serulingnya.
Agaknya ia begitu asyik bermain sehingga kehadiran orang-orang yang
mendekatinya itu tidak dapat menggangunya. Meskipun Pandan Wangi telah berdiri
beberapa langkah di belakangnya, namun anak muda itu masih saja berlagu dengan
kesungguhan hatinya. Kerti berdiri termangu-mangu di belakang Pandan Wangi.
Kalau anak muda ini yang dimaksud oleh Pandan Wangi, bersama-sama mengalahkan
Ki Peda Sura, maka adalah mustahil, bahwa ia tidak mendengar kehadiran mereka
berempat. Berbeda dengan tanggapan Pandan Wangi. Gadis itu yakin, bahwa gembala
yang meniup seruling itu pasti sudah mendengar kehadirannya, tetapi sengaja ia
berbuat seolah-olah tidak mengetahui kedatangannya.
Pandan Wangi
menarik nafas dalam-dalam. Sikap anak muda yang meniup seruling itu terasa lain
di dalam hatinya. Kalau selama ini ia selalu dihadapkan kepada ketegangan,
kecemasan dan berbagai macam perasaan yang membuatnya terlampau lelah lahir dan
batin maka, sikap gembala itu memberinya suasana yang berbeda. Terasa bahwa
gembala itu sengaja ingin bergurau seperti kebiasaan anak yang pernah
dilihatnya. Gembala itu kadang-kadang bersikap seperti seorang gembala yang
dungu, yang membuat Samekta kebingungan menjawab pertanyaan-pertanyaannya
ketika mereka bertemu setelah ia dicegat oleh orang-orang liar yang berpihak
kepada Sidanti. Sepercik kesegaran melonjak di dalam hati Pandan Wangi yang
seolah-olah selama ini menjadi kering. Timbullah niatnya untuk menanggapi sikap
gembala yang pura-pura tidak tahu kehadirannya itu. Karena itu maka tiba-tiba
ia berpaling. Sambil meletakkan jari telunjuknya di depan bibirnya, Pandan
Wangi melangkah perlahan-lahan menjauhi gembala yang sedang bersenandung dengan
serulingnya itu. Kerti dan kedua pengawal yang datang bersamanya menjadi
bingung. Tetapi mereka tidak mengucapkan sepatah kata pun karena Pandan Wangi masih tetap
meletakkan telunjuknya di muka bibirnya yang terkatup rapat-rapat.
Kerti dan
kedua pengawal itu pun berjalan pula
sambil kebingungan di belakang Pandan Wangi.
Namun
tiba-tiba langkah mereka tertegun ketika tiba-tiba suara seruling itu berhenti.
Tetapi sebelum mereka berpaling Pandan Wangi telah berkata lantang,
“Mari Paman,
kita tidak akan mengganggu orang yang sedang terlampau asyik bermain dengan
serulingnya. Kita tidak akan mematahkan arus perasaan yang sedang terungkap
lewat nada-nada. Begitu mencekam seperti batu karang dibelai angin pegunungan.”
“Maafkan aku,”
tiba-tiba terdengar gembala itu berkata,
“maafkan aku.
Aku tidak mendengar kehadiran tuan-tuan di sini.”
Namun suara Pandan
Wangi masih tetap lantang,
“Kita sama
sekali tidak cukup berharga untuk dapat mematahkan kidung yang syahdu itu.”
“Bukan, bukan
maksudku.”
Tetapi Pandan
Wangi tidak berhenti. Ia masih terus melangkah meskipun perlahan-lahan. Sedang
kedua pengawal tanah perdikan yang mengikutinya berjalan dengan penuh kebingungan.
Sekali-sekali mereka berpaling. Dilihatnya gembala yang meniup seruling itu
melangkah tergesa-gesa di belakangnya. Namun Kerti yang tua segera tanggap atas
keadaan itu. Karena itu, maka tanpa dikehendakinya ia menarik nafas dalam
sekali.
Pandan Wangi
masih juga melangkah menuju ke padesan kembali diikuti oleh ketiga
kawan-kawannya. Sedangkan gembala yang baru saja bersenandung dengan
serulingnya itu masih saja mengikutinya dari belakang sambil berkata,
“Maafkan aku.
Bukan maksudku untuk mengabaikan kedatangan tuan-tuan. Sebenarnya aku memang
tidak mengetahuinya.”
“Bohong!”
jawab Pandan Wangi.
“Kalau kau
tidak mengetahui kedatangan kami, kenapa kau sekarang dapat mengikuti kami.”
“Aku mendengar
kalian berbalik meninggalkan aku. Sebelum itu aku benar-benar tidak
mendengarnya.”
“Aku tidak
percaya. Kau sengaja mengabaikan kedatangan kami.”
“Sungguh
mati.”
“Dan sekarang,
apakah alasanmu mengikuti aku? Ini adalah daerah kami.”
“Aku akan
minta maaf,” jawab gembala itu, lalu,
“dan aku akan
menawarkan sebuah ceritera yang sangat menarik. Sama menariknya dengan ceritera
Arjuna Wiwaha.”
Langkah Pandan
Wangi tertegun sejenak. Tanpa sesadarnya ia memandangi wajah Kerti yang tua.
Tanpa sesadarnya pula Kerti yang tua itu tersenyum. Sepercik warna merah
membayang di pipi Pandan Wangi. Tiba-tiba ia menundukkan kepalanya. Sesuatu
terasa berdesir di dadanya. Kini gembala yang menamakan dirinya Gupita itu
telah berdiri di hadapan Pandan Wangi dan Kerti. Sambil membungkukkan kepalanya
dalam-dalam ia berkata,
“Maafkan aku,
Kiai.”
Kerti tidak
menyahut, tetapi ia berpaling kepada Pandan Wangi. Namun Pandan Wangi masih
menundukkan kepalanya. Sedang kedua pengawal yang ikut bersama mereka itu pun menjadi bingung. Apakah sebenarnya yang
telah terjadi?
Tiba-tiba
terdengar suara Pandan Wangi lirih,
“Silahkan,
Paman. Aku hanya mengantarkan Paman mencari suara seruling itu. Kalau Paman
memang mencurigainya, silahkan Paman bertanya dan memeriksanya.”
Kerti menarik
nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba terbayang di rongga matanya seorang anak
muda yang bertubuh raksasa, yang selama ini telah menggelisahkan dada Pandan
Wangi. Sebagai seorang yang telah cukup berpengalaman, segera Kerti menarik
garis yang akan bersilang di antara mereka. Tanpa sesadarnya orang tua itu
menggelengkan kepalanya. Namun diangkatnya wajahnya ketika ia mendengar gembala
itu bertanya,
“Kenapa Kiai
mencurigai aku?”
Kerti
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia harus berbuat sesuai dengan keadaan yang
menyudutkankannya saat itu untuk menolong Pandan Wangi.
“Ya, anak
muda,” berkata Kerti.
“Adalah
mencurigakan sekali, bahwa dalam keadaan yang demikian kau bersenandung dengan
serulingmu di muka regol desa kami.”
“Apakah aku
telah melanggar suatu peraturan di daerah ini?” bertanya gembala itu.
“Memang tidak
ada peraturan yang melarang seseorang membunyikan seruling di sini. Tetapi
bahwa ada juga yang melakukanya adalah menarik sekali.”
“Apakah
anehnya, Kiai. Aku berjalan lewat jalan di depan kita itu. Karena aku merasa
lelah, aku beristirahat di tempat yang teduh sambil membunyikan seruling untuk
melupakan kesibukanku sehari-hari.”
Sekali lagi
Kerti menarik nafas dalam-dalam. Ia telah cukup tua untuk menangapi persoalan
itu. Karena itu maka katanya kemudian,
“Sebaiknya kau
mengatakan, apakah maksudmu dengan perbuatanmu itu. Aku pernah mendengar
ceritera tentang kau, Ngger, bahwa kau adalah seorang gembala yang bernama
Gupita, bukankah begitu? Yang pernah bertempur melawan Ki Peda Sura untuk
menolong membantu Angger Pandan Wangi membebaskan dirinya dari tangan hantu
itu. Dengan demikian, maka akan sangat menarik sekali ceritera Angger yang
menurut penilaianmu sendiri sama menariknya dengan Arjuna Wiwaha. Atau
barangkali harus ditegaskan, Arjuna Wiwaha yang mendapat hadiah seorang
bidadari karena jasa-jasanya bagi bumi ini?”
“Ah,” gembala
itu berdesis. Ketika ia memandang Pandan Wangi dengan sudut matanya maka
dilihatnya gadis itu masih saja menundukkan kepalanya.
“Maaf Kiai.
Ceriteraku sebenarnya sama sekali tidak menarik. Aku hanya ingin memaksa Kiai
dan Tuan-tuan yang lain terhenti. Sebab sebenarnya aku memang mempunyai sebuah
ceritera meskipun tidak akan dapat memikat perhatian.”
Kerti
mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya,
“Kami sudah
menyangka. Karena itu kami mencari suara serulingmu. Kehadiranmu pasti bukan
tanpa maksud. Bukankah begitu?”
“Begitulah.
Tetapi kenapa Tuan-tuan begitu saja akan meningalkan aku sebelum bertanya
sesuatu kepadaku hanya karena aku terlambat menyapa Tuan-tuan?”
“Ah,” Kerti
berdesah,
“bertanyalah
kepada Angger Pandan Wangi.”
“Kenapa
kepadaku,” dengan serta-merta Pandan Wangi menyahut.
“Bukankah
Angger yang memerintahkan kepada kami untuk meninggalkannya.”
“Ah,” Pandan
Wangi-lah yang kemudian berdesah,
“Paman-lah
pemimpin rombongan kami. Aku hanya tunduk kepada perintah Paman.”
Kerti
tersenyum di dalam hati. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata,
“Baiklah,
biarlah aku yang menyusun alasan.” Kerti berhenti sejenak, lalu,
“Begini anak
muda. Sebenarnyalah bahwa kami sudah tahu. Seandainya kami melangkah pergi, kau
pasti akan menyusul kami. Bukankah begitu? Ternyata dugaan kami benar
seluruhnya. Dengan serta-merta kau mengikuti kami. Meskipun semula kau
berpura-pura tidak mengetahui kehadiran kami. Nah, begitulah kira-kira.”
Kini wajah
gembala itulah yang sejenak menjadi kemerah-merahan. Namun sejenak kemudian ia
segera dapat menguasai parasaannya dan berkata,
“Baiklah, aku
tidak akan menyangkal.”
“Nah, sekarang
apa ceriteramu itu?” bertanya Kerti.
Gupita menarik
nafas dalam-dalam. Tetapi sebelum ia menjawab pertanyaan itu tiba-tiba matanya
terlempar kepada seseorang yang dengan tergesa-gesa datang ke arah mereka.
Seorang anak muda yang bertubuh raksasa bersama dua orang pengawal.
Dada Kerti
berdesir ia melihat Wrahasta datang. Orang tua itu mendapat firasat bahwa
masalah yang akan terjadi di antara mereka, bukanlah sekedar
persoalan-persoalan yang menyangkut masalah Tanah Perdikan ini dalam segala
segi hubungannya. Tetapi masalahnya akan menyentuh hati anak muda yang bertubuh
raksasa itu, sebagai persoalan pribadi, meskipun dapat dibentuk menurut
kepentingannya, sebagai persoalan Tanah ini. Tetapi Kerti tidak mengucapkannya
dalam kalimat-kalimat. Namun pandangan matanya yang buram agaknya telah
berhasil menyentuh perasaan Pandan Wangi. Sebelum Wrahasta itu mendekat, ia
sudah bertanya lantang,
“He, kenapa
kau berada di situ, Pandan Wangi?”
Pandan Wangi
tidak segera menjawab. Dipandanginya wajah Wrahasta dengan tajamnya. Namun
karena jarak mereka masih agak jauh, maka ditunggunya saja Wrahasta itu
mendekat.
“Kenapa,
Pandan Wangi?” desak Wrahasta.
Pandan Wangi
masih belum menjawab. Sekali-sekali disentuhnya wajah Kerti dengan sudut
matanya. Tampaklah wajah orang itu menyorotkan kecemasan hatinya. Langkah
Wrahasta semakin lama menjadi semakin cepat. Beberapa langkah dari Pandan
Wangi, sekali lagi ia bertanya,
“Kenapa kau
berada di sini?”
“Aku menunggu
kau mendekat Wrahasta. Aku tidak dapat berteriak sekeras kau.”
“Hem,”
Wrahasta berdesah,
“apakah kau
tidak mempunyai kerja yang lain dari mengurusi seseorang macam anak itu?”
Terasa sesuatu
bergetar di dada Pandan Wangi. Tetapi ia tidak segera menjawab. Ditunggunya
Wrahasta semakin dekat, dan yang kemudian berhenti beberapa langkah di
hadapannya. Tetapi setelah berada di antara Pandan Wangi, Kerti, dan Gupita,
Wrahasta tidak lagi bertanya kepada Pandan Wangi. Ditatapnya wajah Gupita
tajam-tajam. Kemudian meloncatlah pertanyaannya,
“Kaukah orang
yang membunyikan seruling itu?”
“Ya, Tuan,”
jawab Gupita.
“Kenapa?”
Gupita menjadi
bingung mendapat pertanyaan itu. Ditatapnya wajah Pandan Wangi sekilas,
kemudian Kerti, para pengawal dan yang terakhir Wrahasta.
“Mengapa kau
berada di tempat ini?”
“Kebetulan
sekali, Tuan. Hanya kebetulan saja aku berada di tempat ini.”
Sebelum
Wrahasta bertanya lebih banyak lagi. Pandan Wangi memotongnya,
“Wrahasta,
anak muda inilah gembala yang pernah aku ceriterakan kepada ayah.”
Wrahasta
mengerutkan keningnya. Tanpa disangka-sangkanya ia menjawab,
“Aku sudah
menduga.”
“Apakah kau
sudah tahu atau mengenal ciri-cirinya.”
“Tidak. Tetapi
bahwa kau memerlukan turun sendiri ke tengah-tengah bulak untuk menyongsongnya,
tentu orang ini adalah seseorang yang pantas mendapat kehormatan.”
Jawaban itu
telah menggoncangkan dada Pandan Wangi. Sebagai seorang gadis, maka langsung ia
dapat menangkap maksud kata-kata Wrahasta itu. Namun dengan demikian getar di
dadanya justru serasa membungkam mulutnya. Sejenak ia berdiri mematung dengan
jantung yang berdentangan.
Kerti yang tua
menarik nafas dalam-dalam. Dugaanya tidak akan terlampau jauh berkisar dari
sasaran. Sementara Gupita sendiri berdiri dengan gelisahnya. Di wajahnya
membayang keheranan dan kecemasan menghadapi sikap Wrahasta itu. Karena tidak
seorang pun yang menjawab kata-katanya,
maka Wrahasta berkata pula,
“He anak muda.
Apakah kau tidak berpikir bahwa kehadiranmu di daerah ini dapat menumbuhkan
kecurigaan pada kami?”
Gupita tidak
segera menyahut. Namun wajahnya kini menjadi kian bersungguh-sungguh.
“Apakah kau
kira bahwa permainan serulingmu itu hanya sekedar dapat memikat hati
gadis-gadis dan tidak menumbuhkan persoalan pada para pengawal?”
Sekali lagi
getar yang tajam tergores di mata Pandan Wangi. Tetapi ia masih saja
terbungkam, dan Kerti pun masih belum
dapat menyesuaikan dirinya dengan pembicaraan itu.
“Tuan,” Gupita-lah
yang kemudian menjawab,
“bukan
maksudku untuk berbuat yang bukan-bukan. Sudah tentu bahwa aku bukan sekedar
kebetulan sepenuhnya berada di tempat ini. Tetapi benar-benar suatu kebetulan
bahwa Tuan-tuan inilah yang datang melihat seseorang yang dengan serulingnya
berada di depan regol desa ini.”
“Nah, kau
sudah mulai berubah. Ternyata bahwa di dalam dirimu tersimpan persoalan yang
kau selimuti dengan berbagai macam dalih dan sikap yang pada saatnya akan
terungkap satu demi satu. Nah, sekarang sebutkan, kenapa kau berada di tempat
ini? Meskipun aku tahu bahwa kau akan dapat menyebut seribu macam alasan, namun
aku akan mencoba mendengarnya.”
Gupita
mengerutkan keningnya. Orang yang bertubuh raksasa ini tidak dapat
ditanggapinya dengan sikap yang aneh-aneh. Ia harus bersungguh-sungguh, namun
ia tidak akan dapat melanggar pesan gurunya, bahwa ia harus berusaha bertemu
dengan Ki Argapati. Tetapi kehadiran orang ini telah membuat rencananya menjadi
kabur. Pada saat Pandan Wangi datang kepadanya, karena suara serulingnya, ia
telah berbesar hati, bahwa ia akan mendapat jalan yang cukup lancar. Tetapi
ternyata kini ia berhadapan dengan sikap yang lain. Sekilas disambarnya wajah
Pandan Wangi. Ia mengharap gadis itu mengambil sikap sebagai seorang puteri
Kepala Tanah Perdikan, dan memberinya jalan yang lurus untuk menghadap ayahnya.
Tetapi agaknya Pandan Wangi hanya menundukkan kepalanya saja. Gadis itu
ternyata tidak berbuat sesuatu, seolah-olah Wrahasta-lah yang paling berkuasa
di dalam lingkungan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Sejenak suasana
menjadi hening. Hanya nafas mereka sajalah yang terdengar memburu dari
lubang-lubang hidung. Wrahasta berdiri dengan sorot mata yang memancarkan
kecurigaan dan bahkan kebencian kepada orang yang belum dikenalnya itu.
“Cepat,
katakan,” Wrahasta menggeram, “kenapa kau berada di tempat ini dalam keadaan
yang panas ini?”
Gupita menarik
nafas dalam-dalam. Betapapun sulitnya tetapi ia harus tetap berusaha untuk
dapat menghadap Ki Argapati sesuai dengan pesan gurunya.
“Katakan!”
berteriak Wrahasta,
“Baiklah,”
jawab Gupita yang tidak akan dapat menghindar lagi. Tetapi sekali lagi ia
terperosok ke dalam keadaan yang semakin sulit. Anak muda itu sama sekali tidak
mengerti apa yang tersimpan di dalam hati Wrahasta. Ia sama sekali tidak
memperhitungkan kemungkinan yang lain daripada kecurigaan seorang pengawal atas
kehadirannya di tempat yang tidak sewajarnya. Dan ia dapat mengerti. Karena
itu, maka ia mencoba mencari alasan lain, yang menurut perhitungannya tidak
akan dapat disangkutkan dengan kemelutnya keadaan, dengan pertentangan yang
terjadi antara Ki Argapati dan puteranya Sidanti.
Tetapi
jawabnya ternyata telah membuat telinga Wrahasta menjadi merah. Berkata gembala
itu,
“Sebenarnya
kedatanganku sama sekali tidak bersangkut paut dengan keadaan tanah perdikan
ini. Aku hanya ingin menemui seseorang yang pernah aku kenal. Beberapa kali
kami telah bertemu sebelumnya. Karena aku tidak berani mendekati regol desa
yang agaknya dijaga kuat maka aku berusaha memanggilnya dengan suara
serulingku. Ternyata ia benar-benar datang.”
Jawaban itu
benar-benar mengejutkan. Bukan saja dada Wrahasta yang terbakar oleh
perasaannya sebagai seorang laki-laki muda, tetapi juga Kerti, para pengawal
dan bahkan Pandan Wangi sendiri. Kerti yang tua itu dan Pandan Wangi, menjadi
sangat cemas. Mereka dapat menduga, apa yang akan menyala di hati Wrahasta. Dugaan
mereka itu ternyata tepat. Wrahasta yang wajahnya menjadi merah padam itu
terbungkam sesaat. Ia tahu pasti bahwa yang dimaksud Gupita itu adalah Pandan
Wangi. Melihat sikap orang-orang Menoreh itu Gupita menjadi bingung. Ia sama
sekali tidak menyangka, bahwa usahanya menghindari masalah yang dianggapnya
dapat mengganggu rencananya itu agaknya telah menumbuhkan persoalan yang lebih
rumit.
Sejenak
kemudian sambil menggeretakkan giginya Wrahasta berkata lantang,
“Kau kira apa
he, gadis ini? Apa kau kira sebegitu rendah dan bersedia secara sadar
menghubungi seorang gembala yang tidak punya sangkan paran macam kau?” Wrahasta
berhenti sejenak untuk mengatur getar darahnya, kemudian,
“Ternyata kau
tidak lebih dari orang-orang liar yang telah mencegat Pandan Wangi di
perjalanan meskipun caramu lain. Kau mengelabuinya dengan macam-macam
perbuatanmu untuk membuat Pandan Wangi menjadi kagum. Kau bersepakat dengan
Peda Sura agar kau dapat menimbulkan kesan yang baik dari Pandan Wangi dan
menganggapmu sebagai seorang pahlawan. Tetapi justru karena itu, kau adalah
orang yang jauh lebih berbahaya dari laki-laki yang kasar dan buas itu, tetapi
juga lebih licik. Adalah lebih baik bertempur beradu dada, daripada
mempergunakan cara seperti yang kau lakukan itu. Apalagi dengan demikian kau
akan mendapatkan rahasia dan keterangan mengenai apa pun juga di dalam daerah tertutup kami ini.”
Tuduhan itu
benar-benar tidak disangka-sangka oleh Gupita sehingga ia menjadi semakin
bingung. Sejenak ia masih saja berdiri termangu-mangu. Ia tidak tahu, apakah
yang sebaiknya dilakukan, karena ia sama sekali tidak menyangka akan menghadapi
masalah serupa itu.
Namun sebelum
Gupita menyadari keadaannya, ia semakin terkejut ketika ia mendengar Wrahasta
berkata lantang,
“Kau menjadi
tawananku.”
Gupita
tersentak. Wajahnya menegang sejenak. Namun kumudian dicobanya untuk menekan
perasaannya. Dengan gemetar ia berkata,
“Apakah
salahku?”
“Kau berada di
daerah terlarang. Apa pun alasanmu.”
“Tetapi aku
mempunyai alasan. Aku tidak akan mencampuri persoalan tanah perdikan ini.
Persoalanku adalah persoalan pribadi yang sama sekali tidak bersangkut paut
dengan soal apa pun.”
“Bohong,
bohong!” Wrahasta menjadi semakin marah. Justru persoalan pribadi itulah yang
telah membakar jantungnya. Tetapi ternyata hal itu sama sekali tidak disadari
oleh Gupita yang kebingungan.
“Jangan
mencoba melawan. Jangan kau sangka bahwa karena kau telah berhasil mengalahkan
Ki Peda Sura, maka kami akan menjadi ketakutan. Kami, para pengawal tahu benar,
bahwa semua itu hanyalah sebuah permainan yang sama sekali tidak menarik. Dan
kami pun tahu benar banwa dengan
demikian kau akan mendapatkan keuntungan yang berganda, kau akan mendapatkan
rahasia yang diperlukan oleh Sidanti dari dalam lingkungan kami, dan sekaligus
kau akan mendapatkan seorang gadis yang masih terlampau hijau. Pandan Wangi
memang tidak akan berprasangka apa pun, karena hatinya yang masih terlampau
bersih. Ia bersikap terlalu jujur terhadap siapa pun. Tetapi sayang, bahwa
suatu ketika ia terperosok dalam suatu pertemuan dengan seorang semacam kau.”
Gupita menjadi
semakin bingung. Sekilas dicobanya untuk memandang wajah Pandan Wangi, tetapi
ia tidak dapat melihat kesan yang tersirat pada wajah itu. Ia hanya melihat
wajah gadis itu pun menjadi tegang.
Kemudian ditatapnya wajah Kerti yang tua. Wajah itu pun menjadi tegang pula. Namun seperti pada
wajah Pandan Wangi, ia tidak dapat mengerti, apakah yang sebenarnya bergolak di
hati orang tua itu.
Dada Gupita
menjadi semakin berdebar-debar ketika ia mendengar Wrahasta berkata lantang,
“Ikutilah
kami. Jangan mencoba melawan perintah ini. Aku tidak bermain-main. Dalam
keadaan serupa ini, kesalahan yang kecil sekalipun dapat menyeret kami ke
neraka. Karena itu, kami tidak dapat bersikap lain terhadapmu.”
Darah Gupita
serasa bergolak di dalam jantungnya. Sikap Wrahasta benar-benar tidak
menyenangkannya. Tetapi meskipun demikian ia masih mencoba untuk mengerti.
Ditrapkannya keadaan yang dihadapi oleh Wrahasta itu pada dirinya sendiri.
Apakah yang akan dilakukannya seandainya ia menjadi pengawal tanah perdikan
yang kemelut, dan menjumpai seseorang yang mencurigakan seperti dirinya itu?
“Aku hanya
dapat mengharap bantuan Pandan Wangi,” katanya di dalam hati. “Sikap pemimpin
pengawal yang bertubuh raksasa itu adalah wajar.”
Tetapi dalam
pada itu, Pandan Wangi sendiri mengalami kesulitan yang tiada taranya. Ia tahu
benar, mengapa Wrahasta bersikap terlampau keras terhadap gembala itu.
Laki-laki muda yang bertubuh raksasa itu tidak hanya sekedar bercuriga terhadap
Gupita, tetapi dadanya telah dibakar oleh perasaan cemburu. Karena itu, maka
gadis itu tidak dapat segera mengambil sikap. Kalau ia mencoba untuk melindungi
Gupita, maka api yang menyala di dada Wrahasta pasti akan semakin berkobar.
Sikap itu akan menjadi minyak yang terpercik ke dalam api di dalam dada raksasa
muda itu. Tetapi untuk membiarkan Gupita menjadi tawanan Wrahasta, agaknya
perasaannya pun terasa terlampau berat. Dalam
kesulitan itu tanpa disadarinya, dipandanginya wajah Kerti seakan-akan ia minta
bantuan kepada pemomongnya itu. Kerti menarik nafas. Pandangan mata Pandan
Wangi itu ternyata telah menyentuh hatinya. Karena itu, maka kemudian ia
melangkah maju sambil berkata,
“Angger
Wrahasta, serahkan gembala ini kepadaku. Aku memang sudah berpendirian serupa.
Sebelum Angger datang, maka gembala ini sudah menjadi tawananku, maksudku,
tawanan kita. Aku berhasrat untuk membawanya kepada Ki Samekta, atau bahkan
langsung Ki Argapati. Sebab di Pucang Kembar, Ki Argapati memamg sudah berhubungan
dengan seorang anak muda yang bernama Gupala yang barangkali ada bersangkut
paut dengan Gupita ini.”
“Ya, ya,” sela
Gupita. “Gupala adalah adikku.”
Wrahasta
mengerutkan keningnya. Tetapi perasaannya sebagai seorang anak muda agaknya
lebih tebal menyelimuti pertimbangannya, sehingga ia menggeram.
“Ia harus
berkata sebenarnya. Aku tidak berhasrat membawanya kepada siapa pun juga. Aku ingin memaksanya untuk
mengakui, bahwa sebenarnya ia adalah petugas sandi Sidanti.”
“Tidak. Sama
sekali tidak,” bantah Gupita.
“Diam!” bentak
Wrahasta. Lalu, “Sekali lagi aku katakan, kau adalah tawananku.”
Gupita masih
akan menjawab, tetapi sebelum mulutnya terbuka, maka ia melangkah surut. Ujung
pedang Wrahasta yang besar dan panjang itu telah menyentuh dadanya.
“Jangan banyak
bicara!” Wrahasta hampir berteriak. “Ayo berjalanlah!”
Sorot mata
Gupita tiba-tiba menyala. Tetapi dengan sepenuh tenaganya ia mencoba menekan
perasaan yang bergolak di dalam dadanya. Yang penting baginya adalah kesempatan
untuk memasuki pusat pertahanan para pengawal dan kemudian berusaha bertemu
dengan Ki Argapati. Tetapi apabila ia mengadakan perlawanan, maka jalan untuk
menghadap Ki Argapati akan menjadi semakin jauh.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar