“Kenapa tiga dan sembilan?”
“Hus,” desis
Samekta,
“berapa saja
tidak menjadi soal. Tetapi kita bersepakat, bilangan itu tiga dan sembilan. Kau
mengerti. Bilangan itu dapat berubah setiap saat kita membuat perjanjian baru.
Bahkan mungkin kita akan berjanji menyebut nama binatang, atau nama gunung,
atau sungai, atau apa saja.”
Kerti
mengangguk-angguk,
“Baik. Aku
akan memberi tahukan kepada setiap penghubung sasmita sandi itu. Tetapi
bagaimanakah sasmita sandi itu, apabila Wrahasta yang berkepentingan dengan
kau?
“Aku lebih
percaya kepadamu.”
“Jangan
berprasangka. Suatu ketika ia dapat mempunyai kepentingan dengan kau. Bukan
kepentingan diri sendiri, tetapi kepentingan kita bersama.”
“Baik,”
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya, “sebut juga sasmita sandi serupa untuk
hari ini. Tetapi tidak usah menyebut namanya, sehingga aku dapat membedakan
dengan penghubung siapa aku berbicara.”
Kerti
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia berkata,
“Pergilah ke
banjar. Mungkin kau segera akan mendapat tugas di dalam kemelutnya suasana
ini.”
“Aku akan
segera pergi, tetapi aku akan minta diri dahulu kepada Pandan Wangi dan membawa
beberapa orang pemimpin pengawal yang lain di dalam tugas ini. Aku akan
menyiapkan beberapa ekor kuda di banjar, di gardu-gardu peronda, dan di rumah
ini, supaya setiap perkembangan dapat segera kita ketahui.”
“Marilah. Kita
masuk ke pringgitan.”
Kedua segera
melangkahkan kakinya menyusuri orang-orang lain yang telah mendahului berada di
pringgitan. Samekta segera minta diri bersama beberapa orang yang bertugas
bersamanya, pergi ke banjar untuk menyusun jaring-jaring pengamanan di
tempat-tempat yang telah ditentukannya. Terutama tempat-tempat yang langsung
berhadapan dengan daerah yang hampir pasti berada di bawah pengaruh Argajaya
dan Sidanti. Sejenak kemudian, maka beberapa ekor kuda telah berderap
meninggalkan halaman rumah itu pula. Kali ini membawa Samekta dan beberapa
pemimpin pengawal yang lain, pergi ke banjar dan ke tempat-tempat penting yang
lelah ditentukan. Mereka memencar untuk melihat keadaan dari dekat di setiap
penjuru, dan pada saatnya mereka selalu membuat hubungan-hubungan satu dengan
yang lain. Di setiap tempat penting, telah disediakan beberapa penghubung
berkuda dan senjata-senjata sasmita yang lain. Panah-panah sendaren, panah api,
kentongan dan tanda yang lain, yang telah disepakati bersama.
Di rumah Ki
Gede tinggallah kini beberapa orang tetua tanah perdikan dan beberapa orang
pengawal di bawah pimpinan Wrahasta, di samping Kerti dengan beberapa orang
yang harus mengawani Pandan Wangi di dalam rumah itu. Setiap orang telah
mengenal Kerti sebagai pemomong Pandan Wangi, terutama apabila Pandan Wangi
pergi berburu. Meskipun Kerti sudah agak lanjut, namun ia masih dapat dipercaya
untuk mengawani Pandan Wangi, apabila gadis itu berada di dalam bahaya.
Tetapi
kehadiran Kerti di dalam rumah itu, agaknya terasa kurang memberi keleluasaan
bagi Wrahasta. Ia merasa kepercayaan Argapati dikurangi. Seharusnya ia menerima
seluruh tanggung jawab atas keselamatan gadis itu. Sehingga ia adalah
satu-satunya pelindung yang terpercaya untuk Pandan Wangi. Untunglah, bahwa
umur Kerti telah merayap ke pertengahan abad, sehingga bagaimanapun juga,
kehadirannya masih dapat diterima oleh Wrahasta. Sementara itu, matahari
menjadi semakin lama semakin rendah. Cahayanya mulai menjadi pudar dan
kemerah-merahan. Sisa-sisa sinarnya sudah tidak lagi berwarna cerah dan
menyilaukan. Tetapi semakin lama menjadi semakin suram.
Awan yang
putih kemerah-merahan hanyut dibawa angin dari Selatan. Menyentuh ujung
perbukitan, mengalir ke Utara. Satu-satu burung seriti terbang berputaran.
Kemudian saling bertemu, dan berkumpul dalam kelompok-kelompok yang
semakin-besar. Akhirnya, mereka terbang mengitari sebatang pohon randu alas tua
di ujung pedukuhan. Ratusan, seperti segumpal mendung yang mengambang.
Seekor kuda
berderap dengan kencangnya di atas tanah berbatu-batu. Semakin lama semakin
laju. Sekali-sekali penunggangnya menengadahkan wajahnya, melihat langit yang
menjadi semakin suram. Dan setiap kali tangannya menggerakkan kendali, supaya
kudanya terbang lebih cepat lagi. Sejenak kemudian, kaki-kaki kuda itu telah
berderap menyusur lereng-lereng perbukitan. Menyusup di antara semak-semak yang
rimbun dan liur, sepanjang jalan sempit menuju ke Pucang Kembar. Di tangan
kanannya tergenggam sebatang tombak pendek yang masih berada di selongsongnya. Orang
itu adalah Ki Argapati, yang bergelar Ki Gede Menoreh. Ia ingin sampai ke
tempat yang telah dijanjikan, sebelum saat purnama naik. Ia tidak mau
terlambat, meskipun hanya sepenginang. Karena itu, maka ia berpacu semakin
cepat. Suara derak kaki kudanya menggelepar di lereng bukit-bukit yang terjal. Matahari
di langit menjadi semakin rendah. Kini telah meyentuh punggung bukit di sebelah
Barat. Sebentar lagi matahari itu akan tenggelam, dan sebentar pula hari akan
menjadi semakin gelap. Sejenak kemudian akan segera disusul oleh saat purnama
yang akan naik di ujung Timur.
Kuda Argapati
berlari semakin kencang. Meluncur dari Selatan ke Utara.
Di sepanjang
perjalanannya, pikiran dan angan-angan Argapati telah hinggap pada pertemuan
yang akan datang, meloncat-loncat di antara kenangan masa lampaunya pada kesempatan
yang serupa. Jalan ke Pucang Kembar yang dilaluinya kini, sama sekali tidak
berubah seperti saat ia melampauinya beberapa puluh tahun yang lampau. Jalan
sempit yang dahulu disusurinya adalah jalan sempit ini pula. Ketika itu, ia
menjinjing tombak pula seperti saat ini. Tetapi tombak yang dibawanya kini,
bukan tombaknya beberapa puluh tahun yang lampau.
Hatinya
berdesir, ketika terbayang di rongga matanya senjata Tambak Wedi yang
nggegirisi. Sepasang senjata yang bermata rangkap. Sehingga ujung tombaknya
waktu itu, harus melawan empat ujung mata senjata yang mengerikan dari sepasang
Nenggala Ki Tambak Wedi.
Tanpa
sesadarnya, Ki Argapati memandangi selongsong senjatanya. Namun perlahan-lahan
ia bergumam kepada diri sendiri,
“tidak ada
bedanya, meskipun tombak ini bukan tombakku sendiri.”
Pucang Kembar
semakin lama menjadi semakin dekat. Matahari
pun sudah semakin dalam membenam di balik bukit. Sisa-sisa cahayanya
yang kemerah-merahan masih menyangkut di pinggir mega yang berarak di langit
yang biru bersih. Ki Argapati menengadahkan wajahnya. Dilihatnya kesuraman yang
kelabu perlahan-lahan menurun menyelubungi puncak perbukitan. Sehingga dengan
demikian, kudanya berpacu semakin laju. Demikian asyiknya, Kepala Tanah
Perdikan Menoreh itu terpukau oleh kemungkinan yang bakal datang, sehingga ia
sama sekali tidak mengetahui, bahwa dua pasang mata sedang mengawasinya dari
balik gerumbul beberapa langkah dari jalan yang dilaluinya. Ketika salah
seorang dari mereka mencoba bergerak, maka yang seorang segera menggamitnya
sambil menggoyangkan kepalanya. Keduanya kemudaan terdiam. Hanya mata mereka
sajalah yang bergerak mengikuti derap kuda yang laju meninggalkan debu yang
putih, menghambur di atas jalan yang dilaluinya itu. Ketika kuda itu telah
hilang di kejauhan, maka mereka berdua yang sedang mengintip di balik rimbunnya
dedaunan itu pun segera keluar dari persembunyiannya.
“Itukah yang
bernama Argapati?” bertanya yang seorang.
Yang lain menganggukkan
kepalanya. Jawabnya,
“Ya. Orang
itulah yang bernama Argapati, dan bergelar Ki Gede Menoreh.
“Orang yang
pertama mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya,
“Ia menepati
janjinya. Pada saat purnama naik, ia pasti sudah berada di bawah Pucang
Kembar.”
“Tidak
terpikir olehnya untuk ingkar atau justru berkhianat. Ia adalah seorang yang
menjunjung tinggi nilai-nilai harga dirinya dan sifat-sifat kesatria. Jarang
orang yang berpegang teguh, pada pendirian yang demikian meskipun keadaan tanah
perdikan ini sedang goncang.”
Orang yang
pertama masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian,
“Ki Argapati
benar-benar pergi ke Pucang Kembar seorang diri.”
“Aku sudah
menduga. Ia akan pergi seorang diri.”
Yang lain
mengangguk-angguk lagi,
“Lalu, apakah
kita akan pergi ke Pucang Kembar pula?”
“Ya, bukankah
kita memang akan pergi ke sana untuk melihat apa yang terjadi? Marilah. Kita
jangan terlambat. Kita tidak naik kuda seperti Argapati. Kita tidak mau
kehilangan pertunjukan ini sejak dari permulaan sekali.”
“Marilah. Kita
dapat memintas. Kita menyusup di antara gerumbul-gerumbul liar, sehingga kita
tidak akan tertinggal terlampau jauh dari Ki Argapati.”
Yang lain
tidak menjawab. Tetapi mereka pun
kemudian segera melangkahkan kaki mereka menyusup di antara gerumbul-gerumbul
liar dan hilang di dalam kemuraman senja. Dari arah yang lain, Ki Tambak Wedi
berjalan dengan tergesa-gesa pula, menuju ke bawah Pucang Kembar, sambil
menjinjing senjatanya yang mendebarkan jantung. Tetapi ia kini tidak membawa
sepasang. Ia hanya tinggal mempunyai sebatang, karena yang sebatang telah
tertinggal di Sangkal Putung. Bahkan pernah dibawa pula oleh Kiai Gringsing.
Namun ia sama sekali tidak menjadi gelisah, bahwa ia harus melawan Argapati
dengan sebatang senjatanya itu. Tetapi ternyata di dalam perjalanan itu, Ki
Tambak Wedi tidak hanya berjalan seorang diri. Di belakangnya berjalan dua
orang yang bertubuh kekar, berbulu lebat di dadanya. Yang seorang berambut
panjang terurai di bawah ikat kepalanya, sedang yang seorang lagi justru hampir
tidak berambut, karena botaknya yang memenuhi sebagian besar dari kepalanya.
Ikat kepalanya sama sekali tidak dikenakannya di atas botaknya, tetapi
disangkutkannya saja di atas pundaknya.
“Apakah kau
yakin, bahwa Argapati akan datangi seorang diri?” bertanya orang yang berkepala
botak.
“Ya,” jawab Ki
Tambak Wedi.
“Aku tidak
yakin,” sahut yang berambut panjang, “mungkin ia akan menjebakmu.”
Ki Tambak Wedi
menggelengkan kepalanya,
“Tidak, ia
tidak akan berbuat demikian.”
“Tetapi kaulah
yang berbuat demikian,” sambung yang berkepala botak.
Ki Tambak Wedi
mengerutkan keningnya. Lalu jawabnya,
“Aku terpaksa
berbuat demikian untuk menyelamatkan tanah ini. Kalau Argapati telah tidak ada,
maka tidak akan seorang pun yang berani
mengambil alih pemerintahan, kecuali satu-satunya trah Argapati, Sidanti.
Dengan demikian, pertumpahan darah akan terhindarkan. Memang kita harus
berkorban. Kali ini, korban itu kebetulan adalah Argapati. Dan mungkin korban
lain yang tidak kalah pentingnya, adalah justru harga diriku sendiri. Tetapi
aku memandang kepentingan yang jauh lebih besar dari harga diri seorang Tambak
Wedi.”
Kedua orang
kawan Tambak Wedi itu mengerutkan keningnya. Sejenak mereka berdiam diri.
Tetapi mereka tidak dapat mengerti jalan pikiran Ki Tambak Wedi itu, sehingga
salah orang dari mereka tiba-tiba tertawa terbahak-bahak sambil berkata,
“Ho, kau aneh
Ki Tambak Wedi. Jalan pikiranmu memang berbelit-belit. Kalau kau memang tidak
ingin terjadi pertumpahan darah, kenapa kau tidak berusaha mencegah muridmu,
anak Argapati itu untuk memberontak terhadap ayahnya? Itu jalan yang paling
mudah dapat kau tempuh daripada jalan yang kau pilih sekarang.”
“Itu tidak
mungkin,” sahut Ki Tambak Wedi, “dengan demikian, keadaan tanah ini akan tetap
seperti sekarang dan hari-hari yang lampau. Rakyat Menoreh ingin mendapat nafas
baru, di atas tanah perdikan ini.”
Tiba-tiba
orang yang lain, yang berkepala botak berkata,
“Aku tidak
peduli, apa saja yang sedang berkecamuk di atas tanah ini. Aku tidak peduli,
apakah kau korbankan harga dirimu, bahkan nyawamu sama sekali. Tetapi peristiwa
ini membuat aku menjadi gembira. Aku akan menerima upah darimu, sementara aku
mendapat kesempatan untuk membunuh. Sudah lama aku tidak melibatkan diri dalam
perkelahian yang ribut, seperti apa yang akan terjadi di atas tanah ini.
Mudah-mudahan aku akan berhasil membunuh Argapati.”
Kawannya yang
berambut panjang mengerutkan dahinya Katanya,
“Kenapa kau
tidak yakin? Meskipun aku dan kau tidak dapat melawannya seorang demi seorang,
tetapi kita akan merupakan unsur penentu di dalam perkelahian yang akan datang.
Kita mengharap, bahwa Ki Tambak Wedi dan Argapati akan merupakan kekuatan yang
seimbang. Maka kehadiran kita akan menjadi penyebab, bahwa keseimbangan itu
akan goyah. Dan Argapati akan dapat kita selesaikan.”
“Ha itu jangan
kau ragukan lagi,” berkata Tambak Wedi,
“seandainya
Argapati membawa beberapa orang kawan, maka sepasukan kecil di belakang kita
akan menyelesaikannya.”
Kedua
kawan-kawannya itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Semua rencana itu sudah
siap dan meyakinkan. Argapati tidak akan dapat keluar lagi dari jebakan mereka.
Sejenak kemudian mereka berhenti. Ki Tambak Wedi memberi isyarat kepada mereka,
agar mereka tidak berjalan bersamanya. Keduanya harus memilih jalan lain,
supaya mereka dapat mencapai tempat yang mereka tentukan tanpa diketahui oleh
Ki Argapati.
Kedua orang
itu segera memisahkan diri dan masuk ke dalam gerumbul di pinggir jalan. Mereka
mencari jalan sendiri untuk mencapai Pucang Kembar. Tugas mereka adalah
membantu Ki Tambak Wedi memusnahkan Ki Gede Menoreh. Bukan saja sekedar mereka
berdua, tetapi di belakang mereka masih ada sepasukan kecil, yang terdiri dari
sebagian orang-orang Menoreh sendiri, dan sebagian lagi orang-orang dari luar,
yang sengaja diundang oleh Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya.
Tetapi rencana
Ki Tambak Wedi ternyata jauh lebih besar dari kedua rencana yang akan saling
mengisi itu. Bukan hanya sekedar rencana yang dipersiapkan untuk membunuh
Argapati. Tetapi sementara itu, Sidanti
pun telah sibuk bersama Argajaya. Sepeninggal Ki Tambak Wedi, maka
Sidanti dan Argajaya telah menjalankan tugas masing-masing sesuai dengan
kesatuan rencana Ki Tambak Wedi. Mereka menyiapkan sebagian besar dari
kekuatannya. Menurut Ki Tambak Wedi, Sidanti dan Argajaya malam itu juga harus
dapat merebut padukuhan induk dari Tanah Perdikan Menoreh. Mereka sadar, bahwa
seandainya benar-benar terjadi peperangan antara dua kekuatan yang ada di
Menoreh, maka peperangan itu tidak akan dapat selesai sehari dua hari. Tetapi
peperangan itu akan dapat menjadi jauh lebih cepat selesai, apabila pedukuhan
induk segera dapat direbutnya. Pasukan Argapati yang telah kehilangan
pimpinannya itu pasti akan pecah tercerai-berai, sehingga untuk membangun satu
kekuatan yang utuh pasti akan sangat sulit.
“Apakah kita
akan mulai sekarang paman?” bertanya Sidanti.
“Jangan
terlampau tergesa-gesa. Kita mulai setelah purnama naik di atas cakrawala. Kita
mengharap, bahwa Kakang Argapati sudah terikat dalam sebuah perang tanding
dengan Ki Tambak Wedi, supaya Kakang Argapati tidak sempat mengetahui, apa yang
terjadi sepeninggalnya. Seandainya seseorang pergi melaporkan kepadanya atau
tanda-tanda lainnya, maka itu akan berakibat terlampau jelek pula bagi Kakang
Argapati. Dengan demikian, ia akan kehilangan pemusatan perhatiannya atas
perang tanding itu, sehingga kematiannya
pun akan menjadi lebih cepat.”
Sidanti
mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang demikianlah maksud Ki Tambak Wedi. Malam
ini juga, mereka harus mendapat kepastian, bahwa mereka akan berhasil menguasai
Tanah Perdikan Menoreh, meskipun penyelesaiannya masih memerlukan waktu. Tetapi
bagi Sidanti, waktu rasa-rasanya berjalan terlampau lambat. Matahari yang telah
hilang di balik pegunungan, masih saja meninggalkan sinar yang cerah di langit.
Namun kemuraman senja pun semakin lama
menjadi semakin muram. Matahari menjadi semakin dalam terbenam, sehingga
akhirnya sisa-sisa sinarnya sama sekali sudah tidak lagi dapat menerangi lereng
Bukit Menoreh.
“Kita harus
bersiap Paman,” berkata Sidanti, “sebentar lagi purnama pasti akan naik.”
“Ya, kita akan
bersiap.” jawab pamannya,
“yang
mula-mula harus berangkat adalah pasukan kecil, yang harus meyakinkan, bahwa
Kakang Argapati pasti akan terbunuh di bawah Pucang Kembar.”
“Pasukan itu
sudah lama siap.”
“Nah,
lepaskanlah. Biarlah mereka berangkat.”
Sidanti pun
segera memberikan perintah bagi pasukan kecil yang akan pergi ke Pucang Kembar.
Pasukan yang mendapat tugas khusus. Apabila Ki Tambak Wedi dan kedua orang
kawannya tidak segera berhasil menyelesaikan Argapati, maka adalah menjadi
tugas pasukan kecil itu untuk bertindak. Juga seandainya Argapati membawa
beberapa orang pengawalnya, maka semuanya harus ditumpas.
Ketika pasukan
kecil itu sudah berangkat, maka Sidanti segera mempersiapkan induk pasukannya.
Induk pasukannya inilah yang nanti harus langsung masuk ke pedukuhan induk dan
mendudukinya. Meskipun peperangan masih akan berlangsung terus, namun dengan
menduduki padukuhan induk, maka Sidanti sudah mempunyai alas yang kuat menuju
ke arah kemenangannya. Pada saat Sidanti mempersiapkan pasukannya yang cukup
kuat untuk langsung menusuk jantung Tanah Perdikan Menoreh, maka kuda yang
membawa Argapati telah naik memanjat tebing, sebuah puntuk kecil lereng bukit.
Di atas puntuk itu berdiri dua batang pohon pucang, sehingga puntuk itu disebut
Pucang Kembar. Di bawah sepasang pohon pucang itu, terbentang sebuah dataran
yang tidak terlampau luas, ditumbuhi oleh rumput-rumput liar dan pohon-pohon
perdu yang rimbun. Dibawah sepasang pohon pucang itulah, Argapati berjanji
untuk menemui Ki Tambak Wedi dalam perang tanding, seperti yang pernah terjadi
beberapa puluh tahun yang lampau. Ketika kaki-kaki kudanya berderap di bawah
sepasang pucang itu, hati Argapati berdesir. Hatinya telah dilanda oleh arus
kenangan lama, seolah-olah terguncang dengan dahsyatnya di dalam dadanya. Dan
kini ia sekali lagi akan melakukannya. Dengan orang yang sama dan di tempat
yang sama. Argapati kemudian meloncat turun dari punggung kudanya. Dituntunnya
kudanya ke arah sebatang pohon perdu dan mengikatnya di sana. Kemudian
perlahan-lahan ia melangkahkan kakinya ke bawah sepasang pucang itu kembali.
“Aku tidak
terlambat,” gumamnya perlahan sekali. Disapunya keadaan di sekitarnya yang
telah mulai suram dengan pandangan matanya. Tetapi ia tidak melihat sesuatu. Ki
Tambak Wedi pun masih belum tampak
olehnya.
Dengan
tenangnya Ki Argapati menyandarkan dirinya pada sebatang dari sepasang pohon
pucang itu. Perlahan-lahan tangannya mengangkat senjatanya dan melepas
selongsongnya, kemudian melipatnya. Namun ketika terasa olehnya landean
tombaknya, maka sekali lagi dadanya berdesir. Tiba-tiba saja, ia menyadari
bahwa ia akan berkelahi dengan senjata yang kurang dikenalnya. Ia masih biasa
mempergunakan tombak itu. Beratnya, sifat-sifatnya dan kebiasaannya.
“Mudah-mudahan
aku dapat segera menyesuaikan diriku,” gumamnya pula perlahan-lahan.
Dan dengan
perlahan-lahan pula, Ki Argapati membuka wrangka ujung tombaknya dan meletakkan
wrangka itu di samping lipatan selongsongnya.
“Tajam tombak
ini pun cukup baik,” desisnya, “tidak jauh berbeda dengan ujung tombakku.” Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kedua tombak itu memang tombak sipat kandel
Tanah Perdikan Menoreh, yang masing-masing dimiliki oleh kakak beradik,
Argapati dan Argajaya. Tetapi ternyata Argajaya diam-diam telah menukarkan
tombak itu, karena ia menganggap bahwa tombak Argapati lebih baik dari
tombaknya sendiri. Sambil menunggu Ki Tambak Wedi, Argapati mencoba
menimang-nimang tombaknya, supaya ia tidak salah hitung. Ia harus tahu pasti
berapa banyak tenaga yang diperlukannya untuk mengayunkan tombak itu pada jarak
tertentu.
Ketika
Argapati menengadahkan wajahnya, dilihatnya warna yang merah kekuningan
menyaput langit di ujung Timur.
“Purnama itu
hampir naik,” tanpa sesadarnya ia berbicara kepada diri sendiri.
“Ya,”
tiba-tiba terdengar sebuah jawaban, “purnama hampir naik.”
Argapati
berpaling ke arah suara itu. Dilihatnya di atas sebongkah batu padas sesosok
tubuh, berdiri di atas sepasang kakinya yang renggang. Tegak seperti sebatang
tombak baja yang kokoh kuat tertancap dalam-dalam pada tanah yang keras
berbatu-batu.
Ki Gede
Menoreh mengerutkan keningnya. Segera ia mengenal, siapakah orang yang berdiri
di atas sebongkah batu padas itu. Ki Tambak Wedi. Karena itu, maka katanya
seperti acuh tidak acuh,
“Hem, kau
datang tepat pada saatnya.”
“Aku tidak pernah
ingkar janji,” jawab Ki Tambak Wedi,
“sebentar lagi
purnama akan naik. Kita akan segera berhadapan seperti beberapa puluh tahun
lampau. Berhadapan sebagai laki-laki jantan yang tahu akan harga dirinya.”
“Aku mengharap
demikian.”
“Apakah kau
datang seorang diri?” bertanya Ki Tambak Wedi.
Pertanyaan itu
ternyata membuat Argapati menjadi heran. Dipandanginya Ki Tambak Wedi di dalam
sinar yang temaram. Perlahan-lahan ia maju setapak sambil berkata,
“Pertanyaan
itu aneh sekali?”
“Kenapa aneh?”
potong Ki Tambak Wedi.
“Tidak
sepantasnya kita menyimpan pertanyaan itu di dalam hati kita. Aku pun tidak
akan bertanya demikian. Kalau kita sudah kehilangan kepercayaan kepada diri
masing-masing, maka kita sudah kehilangan sebagian dari kejantanan kita.” Ki
Gede Menoreh terdiam sejenak, lalu tiba-tiba,
“He, Ki Tambak
Wedi. Meskipun hanya sepercik, apakah pernah tersirat di dalam hatimu untuk
datang ke tempat ini bersama satu atau dua orang kawan yang meskipun hanya akan
menjadi saksi? Sehingga kau dipengaruhi oleh pertanyaanmu itu?”
Pertanyaan itu
telah mengguncangkan dada Ki Tambak Wedi. Serasa ujung tombak Argapati itu
telah mematuk pusat dadanya. Ia tidak menyangka, bahwa pertanyaannya dapat
menumbuhkan kecurigaan pada lawannya. Namun segera ia berusaha melepaskan kesan
itu dari wajahnya. Kemuraman senja telah menolongnya untuk melindungi
perubahan-perubahan pada kerut-kerut di keningnya.
“Pertanyaanmu
itu pun aneh Argapati. Selama Ki Tambak Wedi masih menyebut dirinya Ki Tambak
Wedi, maka aku masih orang yang pernah kau hadapi beberapa puluh tahun di
tempat ini.”
“Bagus,” sahut
Argapati,
“turunlah.
Sebentar lagi cahaya di langit itu akan menjadi semakin cerah. Kemudian pada
saatnya purnama akan segera naik. Marilah kita peringati masa-masa muda kita,
sebagai Paguhan dan Arya Teja dengan cara ini. Loloskan senjatamu itu dari
selongsongnya. Aku ingin melihat, betapa dahsyatnya senjata yang berujung
rangkap itu.”
Terdengar
suara tertawa perlahan-lahan,
“Kau terlampau
tergesa-gesa,” sahut Ki Tambak Wedi,
“meskipun
sesaat lagi purnama akan naik, tetapi malam masih panjang. Kau tidak akan
kehabisan waktu untuk memeras keringatmu. Aku akan melayanimu. Kenapa kita
harus tergesa-gesa dan memulainya tepat pada saat purnama itu nanti naik dari
atas cakrawala?”
Sekali lagi
Argapati menjadi terheran-heran. Pertanyaan di dalam dirinya menjadi semakin
tajam menggores di jantungnya. Sikap Ki Tambak Wedi itu tidak dapat
dimengertinya. Beberapa puluh tahun, ketika ia bertemu di tempat ini pula
dengan Ki Tambak Wedi, maka orang itu sama sekali tidak terlampau bersabar hati
seperti kini.
“Waktu itu
telah cukup lama berlalu,” katanya di dalam hati,
“sepanjang
itu, adalah mungkin sekali seseorang mengalami perubahan tabiat dan sifatnya.
Mungkin Ki Tambak Wedi mendapat pengalaman yang cukup banyak untuk merubah
sifat-sifatnya itu. Kini ia menanggapi keadaan dengan hati yang mengendap.”
Meskipun
demikian, Argapati itu menjawab juga, “Ki Tambak Wedi. Aku memang tidak
tergesa-gesa. Tetapi bukankah ancer-ancer waktu itu telah kita letakkan? Marilah
kita mencoba menepatinya. Kita akan segera menyelesaikan pekerjaan kita.
Bukankah masih ada pekerjaan lain yang menunggu?”
Terdengar
suara tertawa Ki Tambak Wedi,
“Apakah kau
masih mengharap dapat keluar dari tempat ini?”
Ki Argapati
mengerutkan keningnya. “Tentu,” jawabnya,
“di rumah
anakku menunggu kedatanganku.”
Suara Ki
Tambak Wedi itu tiba-tiba meninggi. Katanya,
“Seandainya
kau dapat keluar dari tempat ini, belum tentu kau akan dapat bertemu lagi
dengan anakmu.”
“Kenapa?”
bertanya Argapati dengan herannya.
“Kedua kakak
beradik seibu itu, berada dalam pertentangan yang tajam. Aku tidak tahu, apakah
Sidanti dapat mengendalikan dirinya, supaya tidak segera bertindak. Tetapi
jangan takut. Seandainya Sidanti malam ini berhasil menguasai Menoreh, puterimu,
adik Sidanti itu, tidak akan mengalami cidera. Sidanti menyayanginya sebagai
seorang adik, meskipun adiknya itu berpihak kepadamu. Tetapi sebagai seseorang
yang bercita-cita, maka Sidanti harus bertindak, meskipun ia yakin bahwa kau
pasti telah berjanji untuk menyerahkan tanah perdikan ini kepada gadismu itu.”
Terasa sesuatu
berdesir di dalam dada Argapati. Ia sudah menduga, bahwa hal serupa itu akan
terjadi. Sidanti pasti akan mempergunakan saat yang genting ini. Saat ia tidak
dapat memimpin perlawanan langsung untuk menghadapinya. Namun ia sadar pula,
bahwa Ki Tambak Wedi sengaja mengatakan hal itu kepadanya, karena Ki Tambak
Wedi berusaha untuk mempengaruhi perasaannya. Apabila perasaannya dikacaukan
oleh berbagai macam persoalan, maka ia pasti tidak akan dapat mencurahkan
segenap perhatiannya di dalam perlawanannya. Meskipun demikian sepercik
kebimbangan membayang pada dinding hati Argapati.
“Kenapa kau
diam saja?” bertanya Ki Tambak Wedi,
“jangan
hiraukan mereka. Biarlah hal itu diurus oleh anak-anak. Mereka sedang membuat
permainan untuk diri mereka sendiri. Biarlah Sidanti dan Pandan Wangi bergurau
dengan caranya. Dan marilah kita melakukan pekerjaan kita pula di sini.”
Ki Argapati
mengerutkan keningnya. Namun sejenak kemudian ia menjawab,
“kau keliru
Paguhan. Aku tidak membiarkan Pandan Wangi melakukan perlawanan, seandainya
Sidanti benar-benar akan memulainya malam ini. Meskipun Pandan Wangi memiliki
kemampuan bermain senjata, tetapi ia masih terlampau hijau. Aku menyerahkan
pimpinan pasukan pengawal kepada seseorang, yang aku percaya akan dapat
melakukan perlawanan sebaik-baiknya. Mungkin tenaga Pandan Wangi diperlukan,
tetapi tidak menentukan cara perlawanan yang harus dilakukan.”
Ki Tambak Wedi
mengerutkan keningnya. Tanpa sesadarnya ia bertanya,
“Siapa orang
itu?”
Kini
Argapati-lah yang tertawa. Perlahan-lahan sekali,
“Kau belum
mengenalnya. Ia orang baru di Menoreh, tetapi ia bukan orang baru di dalam tata
keprajuritan.”
“Siapa?
Sebutkan namanya. Aku mengenal hampir setiap orang di sini.”
“Kau tidak
perlu mengetahuinya. Biarlah itu diselesaikan oleh anak-anak. Marilah kita
melakukan pekerjaan kita di sini.”
Terdengar Ki
Tambak Wedi menggeram. Namun sejenak kemudian ia berkata,
“Tetapi tidak
akan ada harapan lagi buatmu. Kau tidak akan dapat keluar dari tempat ini.
Seandainya kau dapat juga melarikan diri, tetapi kau tidak mempunyai lagi tanah
untuk berpijak.”
“Marilah kita
tidak membicarakan hal-hal yang belum terjadi. Lihat, cahaya yang merah itu
sudah semakin cerah. Turunlah. Kita akan segera mulai.”
Ki Tambak Wedi
tidak segera menjawab. Tetapi kini justru di dadanya tersimpan berbagai macam
pertanyaan tentang kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi di dalam
pertempuran yang pasti akan segera berkobar. Siapakah yang telah diserahi
pimpinan oleh Argapati itu?
“Huh, ia
sekedar membesarkan hatinya sendiri,” katanya di dalam hati.
Karena Ki
Tambak Wedi tidak segera menjawab, maka Ki Argapati mendesaknya,
“Turunlah.
Kita tidak dapat bermain-main di atas padas itu. Terlampau sempit dan terjal.”
Ki Tambak Wedi
menggeram. Tetapi ia tidak segera beranjak dari tempatnya. Ia mencoba
menduga-duga, apakah pasukan kecil yang telah dipersiapkan itu telah dilepaskan
oleh Sidanti. Ia tidak ingin perkelahian akan berlangsung terlampau lama. Ia
harus segera menyelesaikannya, kemudian ikut serta bersama Sidanti,
menyelesaikan rencananya untuk menduduki induk tanah perdikan malam itu juga.
“He, apakah
kau tertidur?” desak Argapati.
“Hem,” sekali
lagi Ki Tambak Wedi menggeram. Kemudian ia menjawab,
“kau terlampau
tergesa-gesa. Baiklah. Aku akan segera turun. Bersiaplah, supaya kita segera
dapat mulai.”
“Aku sudah
bersiap sejak aku datang ke tempat ini.”
Terdengar
suara Ki Tambak Wedi tertawa hambar. Kemudian ia mulai melangkahkan kakinya
setapak demi setapak menuruni padas yang terjal.
“He,” berkata
Ki Argapati hampir berteriak,
“apakah kau
sudah pikun Paguhan. Seharusnya dengan sekali loncat kau sudah berada di atas
tanah yang datar. Kenapa kau merangkak seperti bayi yang sedang berumur tiga
bulan?”
Dada Ki Tambak
Wedi berdesir mendengar sindiran Argapati. Sebenarnyalah bahwa betapapun
curamnya puntuk padas itu, namun seorang Tambak Wedi tidak sepantasnya
menuruninya setapak demi setapak sambil berpegangan erat-erat seperti anak-anak
sedang turun dari pembaringan. Tetapi Ki Tambak Wedi tidak menyangka, bahwa
perbuatannya itu mendapat pengamatan yang saksama dari lawannya. Ia tidak
menyangka, bahwa usahanya untuk mengulur waktu itu dapat ditangkap oleh
Argapati. Meskipun demikian, Ki Tambak Wedi yang licik itu menjawab,
“Ki Gede
Menoreh, aku memang sudah tua. Aku sudah lama sekali tidak mengenali lagi
setiap jengkal tanah di bawah Pucang Kembar ini, sehingga aku harus sangat
berhati-hati.
Argapati
mengerutkan keningnya. Keheranannya menjadi kian bertambah-tambah. Kelakuan Ki
Tambak Wedi tampak semakin lama semakin tidak wajar. Dan ketidak- wajaran itu
membuat Ki Argapati kadang-kadang tidak mengerti, apakah ia masih berhadapan
dengan Ki Tambak Wedi beberapa puluh tahun yang lampau.
“Aku tidak
boleh berprasangka,” ia mencoba menenteramkan hatinya yang mulai gelisah. Dalam
keadaan itu, berbagai persoalan timbul terbenam di dalam dadanya. Tiba-tiba
pada saat yang demikian, Ki Argapati menyadari keadaan yang sebenarnya di
hadapi. Apakah artinya kejantanan kini bagi Ki Tambak Wedi. Ternyata ia lelah
mengundang langsung kekuatan-kekuatan di luar tanah perdikan untuk mencampuri
persoalan yang sedang berkecamuk di atas tanah ini. Tanpa menghiraukan
akibatnya, Ki Tambak Wedi dan Sidanti telah membakar rumah sendiri.
“Apakah yang telah
berbuat demikian itu masih juga mempunyai harga diri untuk berperang tanding
dengan jujur?” Pertanyaan itu kini mengganggu perasaan Ki Argapati. Namun
sekali lagi ia mencoba mengusir prasangka itu. Tidak, Aku mengharap bahwa tidak
terjadi kecurangan serupa itu.”
Tetapi
Argapati masih melihat Ki Tambak Wedi turun perlahan-lahan. Kadang orang itu
berhenti, kemudian berdiri menengadahkan wajahnya.
“Ki Tambak
Wedi,” berkata Argapati,
“lihat, bulan
purnama telah naik. Beberapa puluh tahun yang lampau, kau sudah tidak dapat di
ajak berbicara apa pun lagi. Begitu cahaya bulan menyentuh senjatamu, begitu
kau menyerang seperti orang gila. Tetapi kenapa kau sekarang masih juga berdiri
saja di situ?”
Ki Tambak Wedi
tertawa. Jawabnya,
“Kita sudah
bukan anak-anak muda yang dibakar oleh nafsu kemudaan kita, Argapati. Kita
bukan lagi anak-anak muda yang. mendambakan kasih di terang bulan purnama.
Apakah artinya bagi kita kini? Cahaya bulan itu sudah terlampau banyak kita
lihat dan kita rasai. Karena itu, kita tidak perlu lagi mengaguminya seperti
pengantin batu. Biar sajalah bulan itu naik di langit yang biru. Ujung senjata
kita tidak akan segera tumpul.”
Wayah Argapati
menjadi semakin berkerut-merut. Kecurigaannya menjadi kian meruncing. Dengan
demikian ia menjadi kian gelisah. Kenyataan-kenyataan yang dihadapinya telah
membuatnya semakin curiga atas orang yang bergelar Ki Tambak Wedi itu. Meskipun
demikian ia masih menahan dirinya. Kecurigaannya masih belum berpijak pada
alasan yang jelas.
“Semuanya itu
sekedar prasangka,” Argapati masih mencoba memulas perasaannya itu.
Tetapi ia
masih melihat Ki Tambak Wedi berdiri di lambung puntuk padas itu. Sebenarnya
tidak terlampau tinggi. Seorang anak tanggung
pun akan dapat segera meloncat turun. Tetapi tampaknya Ki Tambak Wedi
itu terlampau berhati-hati. Ki Tambak Wedi yang namanya telah menggemparkan
udara di sekitar Gunung Merapi.
“Itu tidak
mungkin,” berkata Argapati di dalam hatinya. Dan tumbuhlah kecurigaannya
semakin tajam di dalam dadanya.
Ki Tambak Wedi
itu mengangkat wajahnya sekali lagi seolah-olah ia sedang menikmati bulatnya
bulan. Tetapi dalam pada itu didengarnya lama-lama suara burung kedasih.
Lamat-lamat sekali. Tetapi cukup jelas. Ngelangut, seperti ratap seorang nenek
kematian cucunya tercinta.
“Aku telah
mendengar suara burung kedasih itu,” berkata Ki Tambak Wedi di dalam hatinya.
Dan tiba-tiba saja ia menggeram sambil meloncat turun. Sama sekali tidak
mengalami kesulitan, bahkan seandainya ia meloncat dari ujung seonggok batu
padas itu.
“Kita akan
segera mulai Argapati,” suaranya bernada berat dan datar.
Tetapi
ternyata sikapnya itu telah menggetarkan dada Argapati. Seolah-olah ia mendapat
suatu keyakinan, bahwa sebenarnya ia tidak hanya sekedar bercuriga. Tiba-tiba
kini ia hampir pasti, bahwa ia tidak berhadapan dengan Paguhan beberapa puluh
tahun yang lampau, tetapi ia kini berhadapan dengan seorang yang sangat licik.
Karena itu,
betapa kemarahan telah menghentak dada Argapati. Selangkah ia maju sambil berkata
dengan suara gemetar,
“Paguhan.
Jangan kau anggap aku anak-anak yang heran melihat tingkah lakumu. Aku kini
tahu pasti, meskipun aku belum melihatnya. Tetapi seperti kau, aku pun
mempunyai telinga. Aku mendengar suara burung kedasih yang kau dengar itu pula.
Aku menangkap perbedaan suara itu dengan suara burung kedasih yang sebenarnya.
Hampir setiap malam aku mendengar suara burung itu. Dan suara burung yang
setiap malam aku dengar itu sama sekali tidak serupa dengan suara burung yang
baru saja menggerakkanmu, meloncat turun dari batu padas itu.”
Tuduhan itu
serasa seonggok bara yang menyentuh telinga Ki Tambak Wedi. Ternyata perasaan
Argapati terlampau tajam, sehingga segera ia dapat mencium apa yang sebenarnya
sedang dipersiapkan. Ternyata Argapati kini sudah mengetahui hampir seluruhnya,
apa yang tersembunyi di balik gerumbul-gerumbul di dalam kesuraman malam terang
bulan. Agaknya Argapati telah membayangkan, berapa orang sedang
merangkak-rangkak mendekati Pucang Kembar. Dan orang-orang itu akan berbuat
curang. Karena itu, maka Ki Tambak Wedi sudah tidak dapat berusaha untuk
menyembunyikannya. Meskipun demikian, ia masih juga ingin menghadapi Argapati
seorang lawan seorang lebih dahulu. Ia masih ingin melihat, betapa Ki Gede
Menoreh kini meloncat jauh maju dari Arya Teja beberapa puluh tahun lampau. Karena
itu, maka Ki Tambak Wedi pun beberapa
langkah meloncat mendekati Argapati sambil menarik senjatanya. Tetapi kini ia
hanya membawa sebatang dari sepasang senjatanya yang mengerikan itu. Ketika ia
sudah berdiri tegak beberapa langkah di hadapan Argapati, maka ia pun menggeram,
“Argapati,
apakah yang sebenarnya sedang kau ingatkan itu? Apakah kau sedang mimpi
terlampau buruk, sehingga kau membayangkan seolah-olah di sekitar tempat ini
bertebaran orang-orangku yang bertanda sandi suara burung kedasih? O, Kepala
Tanah Perdikan yang malang. Ternyata kau telah dipengaruhi oleh kegelisahan dan
kecemasan yang luar biasa, sehingga kau tidak lagi dapat membayangkan harapan
untuk mendapatkan kemenangan, setidak-tidaknya kesempatan untuk melarikan diri
dari arena, sehingga kau berpikir yang bukan-bukan.”
Argapati
mengerutkan keningnya. Terdengar suaranya dalam nada yang berat,
“Mungkin aku
memang bermimpi buruk Tambak Wedi. Mungkin pula pendengaranku salah.
Mudah-mudahan kau masih dapat bersikap jantan seperti Paguhan beberapa tahun
yang lampau.”
“Arya Teja,”
berkata Ki Tambak Wedi,
“kau ternyata
sudah berputus asa sebelum kau berbuat sesuatu. Apabila memang demikian, maka
sebaiknya kau urungkan niatmu untuk melakukan perang tanding. Kau hanya akan
membuang waktu dan tenaga. Sebenarnya lebih baik bagimu untuk mati dengan
tenang daripada dengan tusukan senjata di lambungmu. Apakah kau pernah berpikir
demikian. Kalau kau setuju, marilah. Aku mempunyai sebutir racun yang sudah aku
keringkan. Kalau kau bersedia menelannya, maka kau akan dapat berbaring di
tanah dengan tenang. Kau akan menghembuskan nafasmu yang terakhir tanpa
merasakan sakit, karena lambungmu sobek oleh senjata.”
Terasa dada Ki
Argapati berdesir mendengar penghinaan itu. Namun dengan susah payah ia berhasil
menahan dirinya. Bahkan kemudian terdengar suara tertawanya perlahan-lahan,
“Terima kasih
atas kebaikan hatimu, Tambak Wedi. Memang mati dengan menelan racun itu agaknya
lebih menyenangkan daripada mati setelah memuntahkan darah dari luka di tubuh
ini. Tetapi bagi seorang laki-laki, maka mati dengan senjata di tangan adalah
suatu kebanggaan. Sudah tentu kita akan lebih berbangga, apabila kita untuk
selamanya tidak pernah menyentuh senjata. Namun apabila keadaan memaksa seperti
keadaanku kini, maka adalah paling nikmat untuk berjuang sekuat tenaga daripada
membunuh diri.”
Ki Tambak Wedi
menganggukkan kepalanya, tetapi wajahnya menjadi tegang. Katanya,
“Hem, kau
memang keras kepala Argapati. Sejak muda kau memang keras kepala. Baiklah.
Marilah kita segera mulai. Agaknya perkembanganmu sepeninggalku telah merubah
kau menjadi seorang yang mabuk berkelahi. Tak ada tanda-tanda sikap damaimu
sama sekali. Sejak kau melihat aku, maka kau begitu tergesa-gesa untuk
melakukan perkelahian.”
“Aku kira kau
sudah menyimpan jawaban atas kata-katamu sendiri, Argapati. Aku tidak perlu
menjawabnya.” Argapati berhenti sejenak, lalu tiba-tiba ia berkata,
“Ki Tambak
Wedi. Aku mempunyai usul yang barangkali baik buatmu. Suatu sikap damai yang
barangkali sesuai dengan keinginanmu atasku.”
Ki Tambak Wedi
mengerutkan keningnya, sehingga alisnya yang tebal seakan-akan bertemu,
“Apakah usulmu
itu?” ia bertanya dengan ragu-ragu.
Ki Argapati
tersenyum. Tetapi ujung tombaknya merendah setinggi dada. Katanya,
“Marilah kita
saling berbaik hati. Supaya kita masing-masing tidak lelah seperti kau
inginkan. Aku harap kau terbaring di tanah, kemudian aku akan melakukannya
perlahan-lahan sampai saatnya ujung tombakku menyentuh jantungmu.”
Ternyata darah
Ki Tambak Wedi tiba-tiba saja telah mendidih, ia tidak mampu menahan dirinya
lagi. Tiba-tiba ia berteriak nyaring. Tangannya bergetar secepat kilat,
hampir-hampir tidak dapat dilihat oleh mata. Tetapi yang berdiri di hadapannya
adalah Argapati. Argapati telah memperhitungkan, bahwa hal itu akan dapat terjadi,
sehingga begitu matanya yang tajam menangkap gerakan Ki Tambak Wedi, maka
secepat itu pula ia memiringkan tubuhnya sambil menarik sebelah kakinya surut.
“He,” katanya,
“kau sudah mulai Tambak Wedi.”
Dada Ki Tambak
Wedi serasa akan meledak, ketika ia melihat sikap Argapati yang dengan mudah
berhasil menghindari sambaran, gelang-gelang besinya yang meluncur sejengkal di
depan dada.
“Alangkah
tangkasnya kau sekarang,” Tambak Wedi menggeram.
“Jangan
memuji. Marilah kita mulai dengan bersunguh-sungguh . Aku tidak akan melayani,
apabila kau sekedar bermain lempar-lemparan. Bukankah kau menggenggam senjatamu
yang dahsyat itu. Tetapi kenapa kau hanya membawa sebatang saja?”
“Aku
menganggap bahwa terlampau berlebih-lebihan bagiku untuk membawa kedua-duanya,”
sahut Tambak Wedi, “tetapi jangan banyak bicara. Kita akan segera mulai.”
Argapati tidak
menjawab lagi. Selangkah ia maju. Kini keduanya lelah berhadapan dalam jarak
yang lebih dekat. Ujung tombak Argapati mempergunakan sebatang Nenggalanya,
namun setiap saat ia dapat melemparnya dengan gelang-gelang besi yang cukup
banyak tersimpan di bawah kain panjangnya, bergantungan pada ikat pinggang yang
khusus. Sejenak mereka berdiri berhadapan. Dan sejenak kemudian Argapati telah
menjulurkan senjatanya. Kemudian dengan gerak yang sukar dipahami, keduanya
segera terlibat dalam perkelahian yang seru. Pada benturan yang mula-mula,
telah terdengar dentang kedua senjata itu dengan dahsyatnya, sehingga
bunga-bunga api memercik seperti ribuan kunang-kunang yang berloncatan
menghambur menjauhi kedua senjata itu. Pada saat berikutnya, maka mereka
bertempur seperti pergulatan sepanjang angin pusaran. Kemudian saling
berbenturan seperti prahara menghantam batu karang. Keduanya adalah
orang-orang’ yang hampir mumpuni dalam olah kanuragan. Keduanya adalah
orang-orang yang mempunyai banyak kelebihan dari orang-orang kebanyakan. Senjata
Ki Tambak Wedi mematuk-matuk seperti ribuan mulut ular yang berkerumun dari
segala arah. Kedua tajamnya seakan-akan berubah menjadi beribu-ribu Nenggala
yang bergerak bersama-sama. Ternyata Ki Tambak Wedi benar-benar seorang yang
pilih tanding.
Kakinya
melontar-lontarkan tubuhnya, seperti tidak berinjak di atas tanah.
Namun ternyata
pula bahwa Argapati mampu mengimbanginya. Tombaknya berputar seperti
baling-baling. Kadang-kadang menebas seperti sehelai pedang, namun kemudian
menusuk langsung ke pusat jantung. Tubuhnya seolah-olah menjadi ringan seperti
kapas yang berputar-putar ditiup angin pusaran. Di dalam perkelahian itu,
kaki-kaki mereka telah menyapu bersih tetanaman liar di sekitar sepasang Pucang
Kembar itu. Rerumputan dan batang-batang perdu menjadi rata, seolah-olah habis
dibajak. Ujung-ujung senjata mereka telah menebas semua tumbuh-tumbuhan dan
batang-batang kayu yang tumbuh di seputar tempat perkelahian. Burung-burung
liar yang bersarang di dekat Pucang Kembar itu pun segera berterbangan. Mereka
terkejut mendengar derak batang-batang yang patah, serta ranting-ranting yang
berguncang seperti dilanda angin ribut. Sedang gelombang kedahsyatan
perkelahian itu telah melanda binatang-binatang yang berkeliaran di sekitarnya,
sehingga berlari-larian. Rusa, kijang-kijang di dalam gerumbul, dan bahkan
macan-macan kumbang. Mereka segera menjauh dan bersembunyi di dalam
lubang-lubang yang gelap di balik puntuk-puntuk padas. Perkelahian itu semakin
lama menjadi semakin dahsyat. Seperti seekor harimau yang lapar, melawan seekor
banteng terluka. Tangguh tanggon. Serangan-serangan mereka datang seperti petir
di langit, dan benturan-benturan di antara mereka serasa akan meruntuhkan
gunung dan mengeringkan lautan.
Tetapi yang
pernah terjadi ternyata terulang kembali. Tidak ada di antara mereka yang
segera mampu menguasai lawannya. Setelah sekian puluh tahun mereka berpisah,
setelah mereka mengembangkan ilmu masing-masing, dengan cara masing-masing
pula, kini mereka bertemu dalam keseimbangan yang serupa dengan beberapa puluh
tahun yang lampau. Mereka tidak dapat menentukan siapakah yang akan menang di
antara mereka. Yang dapat mereka lakukan adalah bertempur sebaik-baiknya.
Setiap kelengahan dan kesalahan betapa
pun kecilnya, akan mempunyai akibat yang sangat berbahaya. Yang terasa
di dalam perang tanding itu adalah, bahwa Ki Tambak Wedi hanya mempergunakan
sebatang senjatanya. Senjata itu ternyata lebih pendek dari senjata Argapati.
Keuntungan ini lah yang dipergunakan oleh Argapati sebaik-baiknya untuk
menyerang lawannya dalam jangkauan panjang tombaknya. Namun Ki Tambak Wedi pun menyadari hal itu pula. Karena itu, maka
setiap kali ia memanfaatkan jarak di antara mereka untuk meluncurkan
gelang-gelang besinya. Satu demi satu, di setiap kesempatan. Dan beruntung
pulalah Ki Tambak Wedi, bahwa tombak Argapati itu bukan tombaknya yang
dipergunakan bertempur beberapa puluh tahun yang lampau. Tombak yang dipakai
ini agak terlampau ringan bagi Argapati. Ayunan dan lontarannya agak kurang
mantap. Apalagi ia masih harus menyesuaikan diri untuk beberapa saat.
Sementara itu,
di rumahnya, Pandan Wangi selalu dalam keadaan gelisah. Ia menjadi terlampau
berdebar-debar, ketika ia melihat purnama mulai merayap naik di atas cakrawala.
Terbayang di dalam angan-angannya, ayahnya telah mulai melakukan perang tanding
dengan Ki Tambak Wedi. Gadis itu menyadari, bahwa persoalan mereka yang lamalah
yang sebenarnya telah mendorong keduanya untuk melakukan perang tanding.
Seandainya di antara mereka tidak ada persoalan apa pun, maka perselisihan
paham pada saat-saat itu tidak akan segera menyeret ke dalam suatu kancah
perkelahian. Bagaimanapun juga, Argapati tidak dapat segera menghapus kenyataan
bahwa Sidanti sebenarnya bukan anaknya. Meskipun ia telah berusaha dengan,
susah payah, meskipun dalam beberapa puluh tahun, seolah-olah hal itu tidak
berbekas, bahkan yang nampak pada Pandai Wangi, bahwa ayahnya telah berlaku
sebaik-baiknya terhadap kakaknya, tetapi ungkapan kepahitan kenyataan itu
betapa kecilnya akan segera mengangkat kembali luka di dalam hati ayahnya.
Apalagi ayahnya harus mempertaruhkan tanah yang selama ini telah dibinanya. Dalam
kegelisahan dan kecemasan itu, Pandan Wangi duduk seperti sebuah patung yang
mati. Tidak sepatah kata pun
diucapkannya dan seolah-olah semua keadaan di sekitarnya tidak menarik
perhatiannya. Di luar rumahnya, di halaman, Wrahasta sedang sibuk mengatur para
pengawal yang berada di bawah tanggung jawabnya. Dengan sepenuh hati, ia
melakukan tugasnya untuk mengamankan halaman dan seluruh isi rumah itu,
terutama Pandan Wangi. Dengan sepenuh hati, ia setiap kali memeriksa setiap
sudut dan setiap kelompok. Tidak ada sejengkal dinding pun yang terlepas dari pengawasan para
pengawal tanah perdikan yang bertugas di halaman.
Sedang di luar
halaman, para peronda hilir mudik tidak henti-hentinya. Peronda-peronda yang
berkeliaran di setiap pedukuhan, dan peronda-peronda yang nganglang dari
pedukuhan yang satu kepedukuhan yang lain di atas punggung kuda dengan senjata
telanjang. Setiap orang dari mereka selalu dilengkapi pula dengan
senjata-senjata yang dapat dipergunakan untuk mengirimkan tanda dan sasmita.
Panah-panah api dan panah-panah sendaren. Mereka tidak henti-hentinya
menghubungi gardu-gardu peronda di setiap pedukuhan, dan kemudian melaporkannya
ke banjar. Di banjar, Samekta duduk menghadapi lampu minyak yang berkerdipan
ditiup angin malam. Sekali-sekali ia berdiri, berjalan hilir mudik di halaman. Kemudian
duduk di antara para pengawal yang berjaga-jaga di gardu di regol halaman.
Kadang-kadang ia pergi ke gandok, di mana telah berkumpul sepasukan pengawal
yang siap untuk bertempur ke segenap medan di atas tanah perdikan ini. Pasukan
itu adalah pasukan yang dipersiapkan untuk dikirim kemana pun yang memerlukannya, membantu setiap
pasukan pengawal yang telah siap di setiap padukuhan, apalagi yang langsung
berhadapan dengan padukuhan-padukuhan yang diperkirakan telah berada di bawah
pengaruh Sidanti dan Argajaya. Pasukan-pasukan sandi pun berkeliaran di segenap sudut dalam
samaran dan selimut masing-masing. Bahkan ada di antara mereka yang sama sekali
tidak dapat di lihat oleh siapa pun, bertengger di atas batang pohon yang rimbun
dan berdaun lebat. Maka malam pun
menjadi kian malam. Bulan yang bulat di langit merambat semakin tinggi.
Lamat-lamat di kejauhan terdengar suara anjing-anjing liar menggonggong
bersahut-sahutan.
Pandan Wangi
masih saja duduk di pringgitan menghadapi mangkuk air jahe yang hangat. Tetapi
sejak dihidangkan, mangkuk itu sama sekali belum disentuhnya. Apalagi makanan
yang teronggok di hadapannya. Sama sekali tidak menarik perhatiannya. Kerti pun terpaksa harus duduk sambil berdiam diri
di hadapan momongannya. Hanya kadang-kadang saja ia berpaling memandangi dua
orang kawannya yang duduk sebelah menyebelah. Tetapi kedua kawannya itu pun
menundukkan kepala mereka sambil mengembara di dalam angan-angan. Yang dapat di
lakukan oleh Kerti, berulang kali adalah menarik nafas dalam-dalam, untuk
mengurangi ketegangan yang menyekat dadanya. Namun ia tidak berani lebih dahulu
membawa Pandan Wangi ke dalam pembicaraan. Tiba-tiba mereka yang duduk di
pringgitan itu terkejut ketika pintu perlahan-lahan terbuka. Serentak mereka
berpaling, dan mereka segera melihat Wrahasta berdiri di muka pintu.
“Oh,”
desisnya, “maafkan apabila aku mengganggu.”
Kerut-merut.
Tiba-tiba saja dadanya dijalari oleh kegelisahan yang lain menghadapi orang
yang bertubuh raksasa ini. Ia masih dihinggapi oleh kebingungan dan
keragu-raguan atas pertanyaan yang mengalir seperti banjir. Bahkan terasa
bulu-bulu tengkuk gadis itu meremang. Ia telah membayangkan, bahwa Wrahasta itu
pasti akan mendesaknya lagi supaya ia menjawab pertanyaan yang membingungkan
itu. Namun hatinya agak tenang, karena di dalam ruangan itu duduk pula Kerti
dan dua erang pembantunya. Orang-orang tua itu lelah mendapat kepercayaan pula
dari ayahnya, untuk mengawasi seisi rumah, dan terutama karena orang tua itu
adalah pemomongnya. Dalam setiap perburuan, maka sebagian terbesar Kerti-lah
yang mengawaninya dengan beberapa orang yang lain.
“Apakah aku
boleh duduk?” bertanya Wrahasta yang masih berdiri di muka pintu.
“Oh,” Pandan
Wangi tergagap, “silahkan.”
Wrahasta
melangkah maju sambil bergumam, “Aku perlu melaporkan semua kegiatan di halaman
rumah ini, Pandan Wangi.”
“Ya,” Pandan
Wangi bergumam, “silahkan.”
Wrahasta pun kemudian duduk di samping Pandan Wangi.
Sekali-sekali ditatapnya Kerti dengan sudut matanya.
“Semuanya
telah aku persiapkan sebagaimana seharusnya, Pandan Wangi. Setiap saat tidak
akan mengecewakan. Mudah-mudahan Paman Samekta berhasil menguasai keadaan di
luar halaman, sehingga kami tidak perlu terlampau banyak berbuat.”
“Terima
kasih,” sahut Pandan Wangi, “mudah-mudahan Kakang Sidanti tidak berbuat malam
ini, sehingga Ayah besok akan dapat memimpin langsung pasukan pengawal tanah
perdikan ini, apabila terjadi sesuatu.”
Wrahasta
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Mudah-mudahan,” katanya, “tetapi seandainya
Sidanti mulai juga malam ini, aku tidak akan berkeberatan untuk melayaninya.”
“Terima kasih,
Wrahasta,” jawab Pandan Wangi, “tetapi aku mengharap, supaya tidak terjadi
sesuatu.”
“Kita boleh
mengharap, Pandan Wangi, tetapi kita tidak tahu, apakah yang kini sedang
dipikirkan oleh Sidanti. Karena itu, adalah sebaiknya kita bersiap menghadapi
setiap kemungkinan.” Wrahasta berhenti sejenak. Ditatapnya sekali lagi Kerti
dengan sudut matanya, lalu katanya pula,
“Seharusnya,
kau melihat sendiri kesiagaan pasukanmu di dalam halaman ini.”
Tanpa
dikehendakinya sendiri, Kerti mengangkat wajahnya. Namun ketika tatapan matanya
membentur mata Pandan Wangi yang suram, maka orang tua itu pun segera
berpaling. Namun dengan demikian hatinya menjadi berdebar. Segera teringat
olehnya pesan Samekta, bahwa agaknya Pandan Wangi telah dirisaukan oleh sikap
Wrahasta, justru dalam saat-saat yang menegangkan ini.
Kerti menarik
nafas dalam-dalam ketika ia mendengar Pandan Wangi menjawab,
“Aku percaya
kepadamu, Wrahasta. Kau sudah cukup berpengalaman. Mudah-mudahan semuanya seperti
yang kau katakan.”
“O, itu kurang
bijaksana, Wangi. Ki Argapati selalu mengawasi pasukannya langsung, apalagi
dalam keadaan yang genting ini. Apakah kau tidak ingin berbuat seperti ayahmu?
Kau akan mendapat banyak sekali keuntungan. Kau akan dapat melihat langsung
semua persiapan. Kau akan mengetahui, bahwa tidak ada kelengahan di dalam
barisanmu. Dan yang tidak kalah pentingnya, kau akan memberi mereka pengaruh
yang dapat membesarkan hati mereka di dalam ketegangan yang semakin memuncak.”
Pandan Wangi tidak
segera menjawab. Ia dapat menerima alasan itu. Tetapi terasa sekali lagi
bulu-bulu tengkuknya meremang. Ia takut akan di hadapkan lagi pada
pertanyaan-pertanyaan yang membuat hatinya semakin bingung, bahkan hatinya akan
dapat menjadi gelap sama sekali. Ia akan dapat kehilangan akal, dan bertindak
di luar kesadaran.”
Namun
tiba-tiba Pandan Wangi mengangkat dadanya. Dipandanginya Kerti dan dua orang
kawannya. Maka katanya kemudian perlahan-lahan, “Paman, marilah kita melihat
kesiagaan pasukan pengawal di halaman.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar