“Seandainya ia salah seorang dari mereka yang membantu kakang Sidanti, maka orang ini pasti golongan yang lain dari orang-orang yang telah mencegatku kemarin,” berkata Pandan Wangi di dalam hatinya. Namun kemudian ia sekali lagi menggeretakkan giginya sambil berdesis,
“Buat apa aku
mempersoalkannya dari mana ia datang? Kalau benar-benar ia berpihak kepada
Kakang Sidanti, maka orang itu pun harus
disingkirkan. Ia hanya akan mengotori tanah ini dengan tindakan-tindakan yang
tidak bertanggung jawab,” Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian
ia berdesis,
“Ia harus
dilenyapkan. Tak ada orang lain yang pantas mempersoalkan tanah ini, selain
orang-orang Menoreh sendiri. Tidak seorang
pun dari para pengawal yang telah mengenalnya. Gupita. Nama itu pun asing bagi para pengawal. Seandainya
benar-benar ia anak Menoreh, pasti salah seorang dari para pengawal itu
mengenalnya atau setidak-tidaknya mendengar namanya.”
Tiba-tiba
Pandan Wangi mempercepat langkahnya. Tiba-tiba saja ia ingin segera bertemu
dengan ayahnya dan menceriterakan tentang seorang gembala yang aneh yang telah
dijumpainya dua hari berturut-turut.
Ketika Pandan
Wangi masuk ke pringgitan, ayahnya masih duduk bersama beberapa orang. Ketika
ia membuka pintu, dilihatnya ayahnya itu berpaling. Tetapi sinar mata ayahnya
telah mengejutkan hati Pandan Wangi. Mata itu tampaknya terlampau dalam, dan
terlampau suram.
Sejenak Pandan
Wangi berdiri termangu-mangu, sehingga ayahnya menyapanya,
“Darimana kau,
Wangi?”
“Dari ujung
jalan di mulut desa, Ayah.”
“Kemarilah,
Wangi,” suara ayahnya datar, dalam nada yang dalam sekali, “duduklah.”
Pandan
Wangi pun kemudian duduk di hadapan
ayahnya. Sejenak ia menundukkan kepalanya sambil berdiam diri. Ia menunggu
ayahnya mendahului bertanya kepadanya. Tetapi ternyata ayahnya tidak bertanya
lagi. Yang didengarnya adalah keterangan ayahnya tentang pembicaraan yang telah
dibicarakannya dengan para pemimpin tanah perdikan ini dan para pemimpin
pengawal.
“Pandan
Wangi,” berkata ayahnya,
“kau sudah
cukup dewasa. Kau tidak boleh tetap pada angan-angan seorang gadis kecil yang
sedang bermain-main. Tanah perdikan ini sekarang sedang dibakar oleh suasana
yang semakin panas. Setiap saat dapat meledak peristiwa-peristiwa yang tidak
kita kehendaki. Dan kau tahu, bahwa nanti malam aku telah mengikat janji dengan
Ki Tambak Wedi. Janji itu harus aku tepati. Aku harus datang ke bawah Pucang
Kembar, untuk membuat perhitungan pribadi. Meskipun persoalan yang berkembang
kini adalah persoalan antara Menoreh dan Pajang, yang menyangkut diri kakakmu,
Sidanti, tetapi masalah pribadilah yang telah meledakkan hati kami
masing-masing, sehingga kami telah melontarkan janji tanpa dapat kami
kendalikan lagi.”
Ayahnya
berhenti sejenak. Sesaat ia berdiam diri sambil memandangi anyaman tikar di
bawah kakinya. Sejenak kemudian, suaranya yang datar terdengar lagi mengambang,
“Pandan Wangi. Semuanya akan mungkin terjadi. Tentang tanah ini dan tentang
diriku sendiri. Karena itu, aku minta kalian selalu bersiaga. Mungkin Sidanti
dan Argajaya akan menggunakan kesempatan selagi aku berada di bawah Pucang
Kembar bersama Ki Tambak Wedi. Karena itu, selagi aku pergi, Pandan Wangi, kau
harus tetap berada di rumah ini untuk memegang segenap pimpinan, bersama para
pemimpin pengawal. Kau dapat mendengar nasehat mereka. Kau pertimbangkan,
kemudian kau dapat mengambil keputusan yang kau anggap baik. Lakukanlah menurut
kata hatimu, Kau tidak perlu menunggu aku lagi. Juga seandainya malam nanti
ayah tidak kembali.”
“Ayah,” suara
Pandan Wangi terpotong di kerongkongan.
“Sudah aku
katakan. Kau bukan anak-anak lagi. Kau bukan seorang gadis yang sedang menunggu
kekasih merantau. Kau adalah seorang puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang
telah sanggup membawa sepasang pedang di kedua lambungnya. Nah, hatimu harus
sesuai dengan sikapmu, dengan pedangmu dan dengan kedudukanmu sebagai seorang
pewaris satu-satunya Tanah Perdikan Menoreh. Apakah kau mengerti?”
Sejenak Pandan
Wangi tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun, Tetapi gelora di hatinya justru
menjadi semakin keras melanda dinding jantung. Pesan ayahnya itu terdengar
olehnya, seolah-olah ayahnya minta diri kepadanya, untuk tidak kembali lagi.
Memang kemungkinan yang demikian itu dapat terjadi di dalam perang tanding.
Salah seorang akan terbunuh. Dan siapakah yang akan terbunuh itu, tidak
seorang pun yang tahu.
Argapati
melihat kecemasan di hati puterinya. Tetapi hal itu adalah hal yang wajar
sekali. Namun ia harus mencoba memberinya sedikit pengharapan. Katanya,
“Pandan Wangi.
Sudah berulang kali aku katakan. Aku tidak akan menyerahkan leherku sukarela.
Aku akan bertahan. Aku tahu, siapakah orang yang bergelar Tambak Wedi itu,
sehingga aku dapat menduga, apakah yang akan terjadi kemudian. Meskipun
demikian, semuanya terserah kepada kekuasaan Yang Tunggal. Namun sejauh mungkin
kita memang harus berusaha.”
Pandan Wangi
menundukkan kepalanya. Tetapi tidak sepatah kata pun yang diucapkannya.
“Hadapilah hari
depanmu dengan dada tengadah, Wangi,” berkata ayahnya kemudian, “semuanya akan
dapat kau atasi, apabila kau berusaha sungguh-sungguh sambil berdoa kepada Yang
Maha Esa.” Ayahnya berhenti sejenak, lalu,
“sekarang
biarlah aku beristirahat. Aku akan mencoba mengumpulkan tenaga dan kekuatanku.
Aku juga akan berdoa supaya aku mendapat perlindungan. Aku tidak akan berbuat
seperti saat ini, mengumpulkan para pemimpin dan memberimu terlampau banyak
pesan, seandainya keadaan tanah ini tidak sedang panas seperti ini. Seandainya
janji itu tidak kami ucapkan dalam kemelutnya asap perpecahan di tanah perdikan
ini, maka aku tidak akan memberitahukannya kepada siapa pun juga. Tetapi kali ini tidak mungkin,
sebab keadaan akan berkembang di luar kemungkinan aku tangani sendiri selagi
aku sedang berada di bawah Pucang Kembar. Itulah sebabnya aku berpesan kepadamu
dan kepada para pemimpin tanah perdikan ini dan para pemimpin pengawal. Tetapi
kau tidak perlu menjadi cemas. Kau harus bersikap benar-benar seperti seorang
putera Kepala Tanah Perdikan. Kalau kau menjumpai goncangan-goncangan perasaan,
dan kau tenggelam di dalamnya, maka seluruh tanah ini akan tenggelam pula.
Karena itu, kau harus tetap tabah. Kau harus mampu menguasai perasaanmu, supaya
kau dapat berbuat sebaik-baiknya demi tanah yang kita pertahankan ini.”
Pandan Wangi
masih menundukkan kepalanya. Ia masih tetap diam. Namun ia berjanji di dalam
hatinya, akan melakukan segala pesan ayahnya.
“Wangi,”
berkata ayahnya,
“kau jangan
pergi lagi. Kau harus selalu berada di rumah, supaya kau melihat aku
meninggalkan rumah ini.”
Pandan Wangi
mengangkat wajahnya. Dengan mata yang basah, dipandanginya wajah ayahnya yang
suram. Dan ia mendengar ayahnya berkata,
“Jangan kau
basahi pipimu dengan air mata. Itu adalah tingkah laku seorang gadis manja. Kau
bukan seorang gadis manja, dan kau bukan seorang gadis cengeng. Kau adalah
seorang gadis dengan sepasang pedang di lambungmu.”
Sekali lagi
Pandan Wangi tertunduk dalam-dalam. Ia tidak dapat memandangi wajah ayahnya.
Terasa getaran yang asing menyentuh dinding hatinya. Pandan Wangi itu masih
mendengar beberapa nasehat ayahnya, sehingga akhirnya ayahnya merasa cukup.
Maka katanya kemudian,
“Sudahlah.
Tinggallah kau di sini bersama para pemimpin tanah ini. Aku akan pergi ke dalam
bilikku.”
Gadis itu
menganggukkan kepalanya. Diawasinya saja ketika ayahnya kemudian melangkah
meninggalkan pertemuan itu. Terasa matanya menjadi panas dan pandangannya
menjadi kabur. Ayahnya seolah-olah melangkahkan kakinya masuk ke dalam asap
putih yang tebal. Semakin lama menjadi semakin suram. Sehingga pada suatu saat
ayahnya itu seolah-olah hilang dari pandangan matanya, tepat pada saat ayahnya
melangkahi pintu, masuk ke ruang dalam. Bersamaan dengan itu, terasa setitik
air jatuh di pangkuannya. Baru disadarinya, bahwa air matanyalah yang telah
menghalangi pandangannya. Bukan kabut yang putih dan bukan asap yang menelan
tubuh ayahnya. Dengan lengan bajunya, Pandan Wangi mengusap air matanya. Tetapi
ketika kemudian disadarinya dirinya, di mana ia sedang berada, maka ia mencoba
berjuang sekuat-kuatnya untuk tidak menangis. Di sekitarnya duduk beberapa
orang pemimpin tanah perdikan dan pemimpin pengawal yang terpenting. Namun
tidak seorang pun yang berbicara. Mereka tenggelam dalam kediaman,
Masing-masing menundukkan kepala mereka.
Namun
dengan-demikian, dada Pandan Wangi menjadi sesak. Kediaman itu terasa terlampau
tegang menghimpit dadanya. Karena itu, maka ingin ia pergi meninggalkan ruangan
itu, dan berjalan di luar untuk melepaskan diri dari kepengapan udara yang
menyesakkan nafasnya. Pandan Wangi menarik nafasnya dalam-dalam sambil
mengedarkan pandangan matanya di sekitarnya. Dilihatnya beberapa orang tua
duduk termenung. Beberapa orang pengawal dengan pedang di lambung. Seorang yang
bertubuh raksasa, masih muda duduk tepekur. Bahkan agak mengantuk. Ketegangan
suasana di pringgitan itu, seolah-olah sama sekali tidak mempengaruhinya.
“Hem,” Pandan
Wangi berdesah. Ia kenal anak muda yang bertubuh raksasa itu. Ia adalah seorang
pemimpin pengawal yang mendapat kepercayaan dari ayahnya, dan dari
pimpinan-pimpinan pengawal yang lain, karena ketrampilannya bermain senjata dan
karena kekuatannya yang luar biasa. Tubuhnya yang tinggi besar, berdada bidang,
memberi kesan yang meyakinkan, bahwa anak muda yang bernama Wrahasta itu adalah
seorang pengawal yang baik. Pandan Wangi yang dadanya menjadi semakin sesak
itu, tiba-tiba bergumam, tidak ditujukan kepada siapapun,
“Aku akan
keluar sebentar. Aku akan berada di halaman.”
Anak muda yang
bernama Wrahasta itu memandanginya. Kemudian katanya,
“Jangan Pandan
Wangi. Kau harus tetap berada di ruangan, ini seperti pesan Ki Gede Menoreh.
Setiap saat semua persoalan akan dibicarakan di sini. Selama Ki Gede tidak ada,
maka kaulah yang harus mengambil keputusan. Aku telah mendapat kepercayaan
untuk melindungimu, dalam keadaan yang bagaimanapun juga, bersama beberapa
orang pengawal yang lain.”
Dada Pandan
Wangi berdesir. Agaknya ayahnya telah membuat persiapan yang matang, untuk
menahannya supaya ia tidak pergi keluar padukuhan ini. Bahkan keluar halaman
ini. Mungkin ayahnya benar-benar menghendaki agar ia tetap berada di rumah ini
untuk memimpin perlawanan, apabila keadaan tiba-tiba saja memburuk selama
ayahnya berada di bawah Pucang-Kembar. Tetapi mungkin pula ayahnya sama sekali
tidak menghendaki, apabila pergi juga melihat apa yang terjadi di tempat yang
telah di janjikan oleh ayahnya dan Ki Tambak Wedi itu.
Karena itu,
sejenak Pandan Wangi berdiam diri. Ditatapnya wajah anak muda yang bertubuh
raksasa itu. Tubuhnya memang meyakinkan, bahwa ia adalah seorang pengawal yang
baik.
Tetapi untuk
tetap berada di dalam ruangan itu, Pandan Wangi sama sekali tidak akan dapat
betah. Terasa ruangan itu terlampau panas dan sesak. Meskipun sebenarnya bahwa
dadanyalah yang terasa pepat.
“Aku akan
keluar sebentar,” tiba-tiba Pandan Wangi mengulangi. Seolah-olah ia tidak
mendengar kata-kata Wrahasta.
“Jangan,” Wrahasta pun mencegahnya pula,
“kau tetap
tinggal di sini seperti pesan ayahmu.”
“Ya, aku tidak
akan pergi. Tetapi aku tidak tahan berada di dalam ruangan yang panas ini. Aku
tidak akan keluar dari halaman ini, apabila memang Ayah menghendakinya. Setiap
saat aku dapat dipanggil dan berbicara apa saja di dalam ruangan ini.”
Wrahasta
mengerutkan keningnya. Sesaat ia berpaling kepada beberapa orang tua yang
berada di dalam ruangan itu.
“Bagaimanakah
pertimbangan kalian?”
Seorang yang
berjanggut putih berkata,
“Apabila
Angger Pandan Wangi tidak meninggalkan halaman, aku kira Ki Gede Menoreh pun tidak akan berkeberatan. Sebab setiap
saat ada perkembangan keadaan Angger Pandan Wangi akan dapat diberitahukannya
untuk membuat pertimbangan dan kemudian keputusan apa yang harus dilakukan.”
Wrahasta
mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, “Baiklah Pandan Wangi. Tetapi
jangan keluar dari regol halaman. Selain itu, aku harus mengawasimu sesuai
dengan kepercayaan Ki Gede Menoreh kepadaku.”
Tetapi Pandan
Wangi menggelengkan kepalanya,
“Tidak usah
Wrahasta. Aku tidak akan disergap oleh musuh di dalam halaman ini. Seandainya,
ya seandainya demikian, aku akan berteriak memanggilmu.”
“Tetapi aku
harus melakukan pesan Ki Gede, Pandan Wangi. Aku harus mengawalmu di setiap
keadaan.”
“Sudah tentu
maksud Ayah, apabila aku berada di dalam bahaya. Tidak di halaman rumahku
sendiri.”
Sekali lagi
Wrahasta memandang berkeliling. Dan sekali lagi orang berjanggut putih itu
berkata,
“Pandan Wangi
benar, Wrahasta. Ia memerlukan pengawalan hanya apabila keadaan sangat
berbahaya baginya. Tidak di setiap keadaan seperti yang kau katakan, apalagi
selama ia berada di halaman rumah ini.”
Wrahasta
sekali lagi mengangguk-anggukkan kepalanya dan berkata,
“Baiklah,
tetapi jangan keluar dari halaman mi. Setiap petugas di regol halaman telah
mendapat perintah itu.”
Pandan Wangi
menarik nafas dalam-dalam. Dengan demikian, ia merasa tidak lebih dari seorang
tahanan daripada seorang wakil Kepala Tanah Perdikan, selagi ayahnya
berhalangan melakukan tugasnya. Tetapi dengan demikian, dugaannya menjadi
semakin kuat, bahwa yang penting bagi ayahnya, bukan masalah pemecahan setiap
masalah yang berkembang apabila ia harus tetap berada di rumah ini, tetapi
supaya ia tidak pergi ke Pucang Kembar melihat pertempuran itu. Sesaat
kemudian, Pandan Wangi itu pun meninggalkan ruangan yang dirasanya terlampau
panas itu. Ketika kakinya melangkah turun ke halaman, terasa udara yang sejuk
menyusup ke dalam tubuhnya. Ketika ia menengadahkan wajahnya, maka dilihat
matahari telah condong ke Barat. Tiba-tiba saja dadanya berdebar kembali. Saat
purnama tidak akan terlalu lama lagi. Begitu matahari tenggelam, maka datanglah
saat yang mendebarkan jantung itu. Dalam kegelisahannya, Pandan Wangi berjalan
menyusuri sudut-sudut rumahnya. Ketika ia sampai di muka pintu dapur,
dilihatnya beberapa orang perempuan lagi sibuk menyiapkan makan, lebih-sibuk
dari hari-hari biasa. Pandan Wangi terkejut, ketika seorang perempuan setengah
umur menegurnya,
“Kau belum
makan, Wangi.”
Pandan Wangi
menganggukkan kepalanya. Tetapi ia sama sekali tidak merasa lapar. Karena itu,
maka jawabnya,
“Aku tidak
makan.”
“Makanlah,
supaya kau menjadi segar.”
Pandan Wangi
menggeleng. Langkahnya kemudian diteruskannya menuju ke halaman belakang.
Menyusup di antara tanaman di kebun. Pohon buah-buahan dan batang-batang perdu
yang rimbun. Namun di halaman belakang itu pun dilihatnya beberapa orang sedang
berjaga-jaga di depan regol-regol butulan. Panas udara telah membawa Pandan
Wangi duduk di bawah sebatang pohon yang rimbun. Terasa angin yang sejuk
mengusap tubuhnya yeng penat. Tiba-tiba Pandan Wangi itu mengangkat kepalanya.
Lamat-lamat ia mendengar suara seruling mengalun lirih, seakan-akan menyusur
sepanjang silirnya angin. Suara seruling yang menyentuh-nyentuh dinding
hatinya. Ia tidak tahu, pengaruh apakah yang telah mencengkamnya. Tetapi suara
seruling itu telah mendebarkan jantungnya. Perlahan-lahan Pandan Wangi berdiri.
Ditangkapnya suara seruling itu selengkapnya. Nadanya yang meninggi, kemudian
perlahan-lahan menurun, seperti debar dada seorang gadis yang menunggu
kedatangan kekasih. Tetapi sejenak kemudian, Pandan Wangi itu terkejut, ketika ia
mendengar suara gemersik di belakangnya. Ketika ia berpaling, dilihatnya
Wrahasta yang bertubuh raksasa itu telah berdiri beberapa langkah di
belakangnya. Sejenak mereka saling memandang, namun sejenak kemudian, Pandan
Wangi melemparkan tatapan matanya ke kejauhan, sambil bertanya,
“Apakah Ayah
memanggil aku?”
Perlahan-lahan
anak muda yang bertubuh raksasa dan bernama Wrahasta itu menggelengkan
kepalanya. Namun tatapan matanya masih saja melekat pada wajah Pandan Wangi,
sehingga Pandan Wangi pun kemudian
terpaksa menundukkan kepalanya.
“Tidak,
Wangi,” jawab Wrahasta itu kemudian.
“Ayahmu tidak
memanggilmu.”
“Kenapa kau
menyusul aku? Apakah ada sesuatu yang penting yang harus dibicarakan?”
Wrahasta
tampak ragu-ragu. Tanpa sesadarnya dilayangkannya pandangan matanya ke
sekelilingnya. Namun ia tidak segera menjawab. Wajahnya tampak berkerut-merut,
dan di keningnya mengembun beberapa titik keringat. Pandan Wangi menjadi heran
melihat sikap Wrahasta itu. Ia kenal betul kepadanya, karena anak muda itu
terlampau sering berada di rumahnya. Sebagai seorang pengawal yang mendapat
kepercayaan melampaui orang lain, maka setiap kali Wrahasta mendapat
tugas-tugas dari ayahnya, sehingga dengan demikian, anak muda yang bertubuh
raksasa itu sering benar berada di antara keluarganya. Tetapi ia tidak pernah
melihat sikap yang begitu aneh dan kaku.
“Pandan
Wangi,” berkata Wrahasta kemudian dengan suara gemetar,
“memang ada
hal yang harus kita bicarakan.”
Pandan Wangi
mengerutkan keningnya. Maka jawabnya,
“Baiklah. Aku
akan segera kembali.”
“Tidak Wangi,
Tidak. Aku tidak akan membicarakannya dengan orang lain, selain dengan kau
sendiri.”
Pandan Wangi
menjadi semakin heran. Apalagi ketika ia melihat keringat yang semakin banyak
mengalir di kening Wrahasta yang tinggi besar dan berdada bidang itu.
“Kenapa tidak
dengan orang lain?” bertanya Pandan Wangi.
“Persoalan ini
sama sekali bukan persoalan orang lain, Wangi. Tetapi persoalan ini adalah
persoalan kita berdua. Hanya kita berdua.”
“Aku tidak
mengerti,” desis Pandan Wangi kemudian,
“aku tidak
mempunyai persoalan dengan kau, Wrahasta.
“Mungkin.
Mungkin kau merasa bahwa kau tidak mempunyai persoalan dengan aku. Tetapi aku
lain, Wangi. Aku merasa mempunyai persoalan dengan kau,” Wrahasta berhenti
sejenak. Wajahnya kini menjadi tegang dan nafasnya menjadi terengah-engah. Sejenak
kemudian dilanjutkannya,
“Persoalan ini
tidak langsung menyangkut keadaan tanah perdikan di masa yang menegangkan ini.
Tetapi mau tidak mau, persoalan ini akan sangat berpengaruh.”
“Apakah
persoalan yang kau maksud itu?” bertanya Pandan Wangi.
“Wangi. Aku
tidak tahu, kenapa ayahmu menyerahkan rumah ini dalam perlindunganku. Di tanah
perdikan ini ada beberapa orang yang mendapat kepercayaan dari ayahmu selain
aku. Tetapi Ki Gede justru menyerahkannya kepadaku.” Wrahasta itu berhenti
sejenak, lalu,
“Dan
penyerahan itu telah membuat jantungku berdebar-debar. Sudah lama aku mengenal
kau, Wangi. Tetapi aku tidak pernah mendapat kesempatan untuk berbicara. Dan
aku memang tidak sering berbicara. Namun dalam kediaman itu, aku telah
menyimpan sesuatu di dalam hatiku Wangi. Apakah kau dapat menangkap maksudku?”
Kini terasa
jantung Pandan Wangi menjadi berdebar-debar. Dalam keadaan serupa ini, ia
mendengar persoalan yang lain sekali dengan persoalan yang selama ini membuat
darahnya serasa bergolak. Sebagai seorang gadis yang lelah meningkat dewasa,
Pandan Wangi segera dapat menangkap maksud Wrahasta. Tetapi sebagai seorang
gadis yang belum pernah mendengar kata-kata serupa itu, maka bajunya telah
dibasahi oleh keringat dingin, yang seolah-olah mengalir dari setiap lubang di
kulitnya.
“Pandan
Wangi,” Wrahasta berkata seterusnya, aku ingin mendengar tanggapanmu tentang
perasaanku. Perasaanku sebagai seorang laki-laki terhadap seorang gadis. Aku
mempunyai tangkapan, bahwa ayahmu sengaja mempertemukan kita di dalam keadaan
yang sulit ini. Aku tahu benar, bahwa apa yang dipikirkannya semata-mata
diperuntukkannya bagi tanah perdikan ini. Aku kira hal ini pun telah
dihubungkannya dengan kepentingan itu pula. Supaya aku selalu dapat
melindungimu, tidak hanya sekedar di saat-saat yang kemelut ini, maka aku harap
kau dapat menerimanya.”
Debar jantung
Pandan Wangi menjadi semakin cepat berdentang, seolah-olah menggelepar di dalam
dadanya. Sesaat ia tidak dapat mengucapkan kata-kata. Ia membeku, seperti
sebatang tonggak mati. Namun keringatnya mengalir seperti terperas dari dalam
tubuhnya.
“Aku ingin
mendengar jawabmu, Wangi.”
Pandan Wangi
masih belum mampu menjawab. Bahkan kemudian kepalanya menjadi semakin menunduk.
“Wangi.
Jawablah, supaya aku dapat berbuat apa saja untukmu, dan untuk tanah perdikan
ini. Hidup matiku akan aku serahkan sepenuhnya untuk kepentinganmu dan
kepentingan tanah ini. Seandainya aku mati sebelum aku dapat memenuhi keinginan
ini, tetapi apabila aku sudah mendengar kesanggupanmu, aku akan rela. Aku
merasa bahwa aku berkorban untuk sesuatu yang paling berharga bagiku. Kau dan
tanah ini.”
Terasa kini
tubuh Pandan Wangi menjadi gemetar. Ia tidak menduga sama sekali, bahwa ia akan
di hadapkan pada persoalan ini begitu tiba-tiba. Justru pada saat hatinya
dicengkam oleh kegelisahan dan kecemasan tentang nasib ayahnya sebentar lagi.
Sebentar lagi, apabila matahari tenggelam dan purnama naik. Pada saat itulah,
akan terjadi suatu peristiwa yang dahsyat bagi keluarganya.
“Jawablah
Wangi,” desak Wrahasta,
“aku ingin
mendengarnya, meskipun aku sudah dapat menduga sebelumnya. Kau pasti tidak akan
ingkar dari keinginan ayahmu. Ingat, bahwa kau telah diserahkan kepadaku.”
Pandan Wangi
kini menjadi semakin bingung. Persoalan yang begitu tiba-tiba di hadapkan
kepadanya, menambah hatinya menjadi semakin pepat.
“Jawablah.
Jawablah Wangi, meskipun hanya sepatah kata.”
Tubuh Pandan
Wangi menjadi semakin gemetar mendengar desakan itu. Namun ia sadar, bahwa ia
harus menjawab. Karena itu, maka setelah berjuang sejenak ia menjawab,
“Tunggulah
Wrahasta. Kita sedang menghadapi bahaya yang besar.”
Pandan Wangi
menjadi semakin berdebar-debar melihat wajah Wrahasta menegang. Tampaklah
kekecewaan yang sangat, memancar dari sepasang matanya, Sejenak ia berdiri
mematung. Dipandanginya Pandan Wangi, seolah-olah hendak dilihatnya langsung ke
dalam hatinya. Sejenak keduanya terdiam. Terasa angin yang sejuk mengalir
menyentuh dedaunan. Namun keduanya sama sekali tidak mengacuhkannya. Baru
ketika Wrahasta telah sempat mengatur perasaannya, maka terdengar ia berkata,
“Pandan Wangi.
Jangan membuat aku kecewa. Sebentar lagi aku harus menghadapi pekerjaan yang
terlampau berat. Karena itu, berilah aku kekuatan, supaya aku tidak ragu-ragu
mengangkat senjata. Aku tidak tahu, sampai di mana kemampuan Sidanti kini
bermain dengan senjata. Tetapi apabila mungkin, aku akan mencobanya. Untuk
kepentinganmu dan kepentingan tanah ini, mudah-mudahan aku dapat
menghancurkannya.”
Dada Pandan
Wangi berdesir mendengarnya. Ia tahu benar, betapa besar kemampuan kakaknya
Sidanti dalam olah kanuragan. Dan ia dapat pula mengira-irakan, sampai di mana
kemampuan Wrahasta itu. Tetapi Pandan Wangi sama sekali tidak menyatakannya. Ia
tidak ingin mengecewakan Wrahasta dalam menilai diri. Tetapi sudah tentu ia
tidak akan segera dapat menjawab pertanyaannya itu.
“Berjanjilah
Wangi. Aku tidak terikat dan mengikatkan diri kepada waktu. Seandainya kau
masih ingin hidup sebagai seorang gadis setahun, dua tahun, bahkan sepuluh
tahun sekalipun. Aku akan tetap menunggumu. Yang ingin aku dengar sekarang
adalah janji kesanggupanmu untuk hidup bersamaku kelak, seperti yang diharapkan
oleh ayahmu.”
Wajah Pandan
Wangi menjadi kemerah-merahan. Kepalanya yang tunduk menjadi semakin tunduk,
Perlahan-lahan ia menjawab,
“Wrahasta, aku
tidak akan dapat memutuskannya sendiri. Aku harus berbicara dengan Ayah lebih
dahulu.”
“Wangi,” sahut
Wrahasta,
“apakah kau
masih meragukan keinginan ayahmu? Kau harus tanggap akan sasmita yang telah
diberikan. Dalam keadaan yang kalut ini, kau diserahkan kepadaku. Kepada
perlindunganku, justru pada saat Ki Gede akan melakukan suatu pekerjaan yang
sangat berbahaya.”
“Tetapi Ayah
belum pernah mengatakannya kepadaku. Sama sekali belum. Bahkan menyinggung
mengenai masalah itu pun belum, yang selalu dikatakannya setiap hari adalah
keadaan yang panas ini, yang setiap saat dapat membakar Tanah Perdikan Menoreh
menjadi abu.”
“Justru saat
ini adalah saat yang paling tepat bagi Ki Argapati untuk menyatakan
keinginannya itu. Kita tidak menginginkan sesuatu terjadi atasnya, Wangi.
Tetapi agaknya Ki Argapati sendiri tidak ingin kau kehilangan akal apabila
terjadi sesuatu. Kau sudah di sandarkan pada sandaran yang dikehendaki. Dan aku
akan mencoba untuk berbuat sebaik-baiknya.”
“Berilah aku
kesempatan berpikir, Wrahasta.”
“Waktunya
telah datang sekarang. Sebentar lagi Ki Argapati akan pergi ke bawah Pucang
Kembar itu.”
Pandan Wangi
menjadi semakin terdesak. Ia sadar, bahwa Wrahasta adalah seorang pemimpin
pasukan pengawal tanah perdikan yang berpengaruh. Terutama atas anak-anak
mudanya. Saat ini sebagian dan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh telah
dipengaruhi oleh Sidanti, dan memihak kepadanya. Apabila Wrahasta ini menjadi
kecewa, dan meninggalkan ayahnya, maka kekuatan ayahnya pasti akan menjadi
semakin jauh berkurang. Sedang agaknya Sidanti sama sekali tidak lagi mengingat
tanggung jawabnya atas tanah ini dengan mengundang orang-orang yang sama sekali
tidak dikenal, untuk ikut serta mengeruhkan keadaan di Tanah Perdikan Menoreh.
Dalam keragu-raguan
yang mencengkam itu, lamat-lamat Pandan Wangi mendengar suara seruling di
kejauhan. Melonjak, memekik tinggi, kemudian hilang dibawa angin dari Selatan.
Sejenak kemudian, suara itu melengking dan menjerit. Suara seruling itu
seolah-olah seperti suara yang menggelora di dalam dadanya sendiri. Menjerit,
kemudian pepat dan sama sekali kehilangan arah. Karena Pandan Wangi masih juga
membisu, maka terdengar Wrahasta mendesaknya,
“Kenapa kau
diam saja, Wangi? Matahari semakin lama menjadi semakin rendah. Kita akan
kehabisan waktu.”
“Tidak. Kita
tidak akan kehabisan waktu. Waktu masih terlampau panjang.”
“Wangi,”
Wrahasta melangkah setapak maju. Dan tanpa disadarinya Pandan Wangi pun surut
setapak.
“Aku ingin
mendengar jawabmu sekarang.”
Pandan Wangi
menjadi semakin bingung. Ingin ia berteriak keras-keras seperti suara seruling
yang memekik-mekik di kejauhan. Ia kini benar-benar terdorong ke sudut yang
paling sulit. Ia harus memilih. Sedang pilihan itu semuanya tidak
menyenangkannya. Ia tidak dapat menolak dan mengecewakan Wrahasta. Tetapi ia
masih belum sempat membuat pertimbangan-pertimbangan untuk menerima pernyataan
itu. Ia masih belum sempat menjajagi hatinya, apakah ia dapat membuka
perasaannya untuk anak muda yang bertubuh raksasa itu. Kesulitan itu telah
membuat kepala Pandan Wangi menjadi pening. Apalagi ketika ia melihat matahari
sudah menjadi semakin rendah. Hampir-hampir ia menangis seperti anak-anak yang
kehilangan permainan.
Namun
tiba-tiba Pandan Wangi itu mengangkat wajahnya. Ia mendengar suara berdesir.
Ketika ia berpaling, dilihatnya Samekta datang mendekatinya.
“Paman,” desis
Pandan Wangi tanpa sesadarnya.
Wrahasta pun kemudian berpaling pula. Tampaklah betapa
wajahnya diwarnai oleh kekecewaan yang tidak terkatakan. Sehingga dengan serta
merta ia bertanya,
“Kenapa kau
kemari?”
Samekta
mengerutkan keningnya. Dipandanginya Wrahasta berganti-ganti dengan Pandan
Wangi. Ia tidak tahu, apakah yang sudah terjadi, tetapi karena ia melihat
seorang anak muda dan seorang gadis berdua saja, maka tiba-tiba ia tersenyum.
Katanya,
“Maafkan,
apabila aku mengganggu. Tetapi aku terpaksa memotong pertemuan kalian.”
Sepercik warna
merah memulas wajah Pandan Wangi. Sebagai seorang gadis yang masih sedang
meningkat dewasa, maka sindiran itu telah membuatnya sangat berdebar-debar.
Sejenak dipandanginya Samekta dengan sudut matanya, namun sejenak kemudian
kepalanya telah tertunduk pula. Dalam sekali.
Dalam pada
itu, wajah Wrahasta pun terasa menjadi
panas. Tetapi ia sama sekali tidak menyesal mendengar gurau itu. Bahkan
kemudian ia tersenyum sambil berkata sendat,
“Ah, jangan
mengganggu. Kami tidak sengaja bertemu di sini.”
Samekta masih
juga tersenyum. Dipandanginya wajah Pandan Wangi yang tertunduk dan
kemerah-merahan. Kemudian dipandanginya wajah anak muda yang bertubuh raksasa
itu. Tanpa disadarinya, terasa sesuatu berdesir di dadanya. Wajah anak muda itu
agaknya terlampau keras dibanding dengan wajah Pandan Wangi yang lembut,
meskipun kerut keningnya menunjukkan ketajaman pikirannya.
Meskipun
demikian, meskipun sendau gurau itu menyenangkan hati Wrahasta, namun ia
diganggu pula oleh perasaan kecewa, karena kehadiran pemimpin pengawal yang
sudah setengah umur itu. Karena itu maka sekali lagi ia bertanya,
“Apakah
keperluanmu kemari?”
Samekta masih
ingin bergurau,
“kalau begitu,
aku tidak akan menahan kau lebih lama di sini.”
“Akulah yang
akan tinggal di sini lebih lama,” jawab Samekta sambil tersenyum.
“Ah,” sekali
lagi Wrahasta, berdesis.
Namun dalam
pada itu, Pandan Wangi sama sekali tidak berani mengangkat wajahnya. Ia tidak
tahu, perasaan apa yang bergolak di dalam dadanya. Tetapi ia sama sekali tidak
senang mendengar sindiran-sindiran itu. Ia tidak merasakan kejenakaannya sama
sekali. Bahkan sendau gurau itu sangat menjengkelkannya.
“Tetapi,”
Wrahasta kemudian berkata dengan suara bergetar,
“apakah
tugasmu sudah selesai.”
Samekta
menggelengkan kepalanya, “Belum. Tugasku belum selesai.”
“Aku tidak
akan mengganggu tugasmu, Paman Samekta. Lakukanlah. Nanti pada saatnya, aku
akan menggantikanmu dengan kelompokku.”
“Terima kasih
Wrahasta. Aku akan melakukan tugasku. Tetapi aku terpaksa minta maaf kepadamu,
bahwa aku sedikit mengganggumu.” Samekta berhenti sejenak, lalu ia berpaling
kepada Pandan Wangi,
“Maaf Ngger.
Aku terpaksa mengganggu. Tetapi adalah tugasku saat ini. Ayahmu memanggilmu
sekarang.”
Terasa
seolah-olah dada Pandan Wangi yang sedang membara itu tersiram air. Dengan
serta-merta ia bertanya,
“Ayah
memanggil aku sekarang?”
Samekta
terdiam sejenak. Ia menjadi ragu-ragu, tetapi akhirnya ia menganggukkan kepalanya
sambil menjawab,
“Ya. Ayahmu
memanggilmu sekarang. Aku terpaksa menyampaikan ini kepadamu.”
Pandan Wangi
menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa terlepas dari himpitan pertanyaan yang
paling sulit untuk dijawabnya. Maka katanya terbata-bata,
“Baik. Baik paman.
Aku akan menghadap Ayah.”
Samekta
mengerutkan keningnya. Ternyata ia salah mengerti. Disangkanya Pandan Wangi
menjadi sangat kecewa atas panggilan itu, sehingga katanya,
“Maaf Ngger.
Aku hanya sekedar menyampaikannya.”
Sebelum Pandan
Wangi menyahut, maka Wrahasta telah mendahuluinya,
“Baiklah,
Paman Samekta. Katakanlah kepada Ki Argapati, bahwa sebentar lagi Pandan Wangi
akan menghadap.”
Samekta
mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya,
“Tetapi Ki
Argapati memanggilnya sekarang. Lihatlah, matahari telah menjadi terlampau
rendah. Hampir tidak ada waktu lagi baginya. Sebentar lagi ia harus pergi.
Sebelum purnama naik, Ki Argapati harus sudah berada di bawah Pucang Kembar.”
“Ya, ya, aku
tahu,” sahut Pandan Wangi,
“aku akan
kembali sekarang. Ayah harus segera pergi.”
“Tetapi,”
potong Wrahasta,
“apakah kau
dapat menunggu sebentar, Wangi?” Lalu kepada Samekta ia berkata,
“dahululah
paman. Katakan kepada Ki Gede. Sebentar lagi kami akan datang.”
“Sekarang,”
Pandan Wangi memotong,
“sekarang.
Tidak ada waktu lagi.”
Samekta
menjadi bingung. Ia tidak mengerti, kenapa keduanya tidak sependapat. Tetapi ia
tidak sempat untuk berpikir, karena Pandan Wangi kemudian telah melangkah
mendahuluinya.
“Pandan Wangi,
tunggulah,” panggil Wrahasta. Tetapi Pandan Wangi tidak berhenti, sehingga
Wrahasta-lah yang harus berjalan menyusulnya.
Samekta masih
berdiri di tempatnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia menjadi bingung.
Namun kemudian sambil meraba-raba janggutnya, ia berdesis,
“Anak-anak
muda memang terlampau aneh.” Tetapi sejenak kemudian ia mengerutkan keningnya
sambil berdesah,
“Dalam keadaan
semacam ini, masih juga mereka sempat memikirkan diri mereka sendiri.”
Wrahasta yang
kemudian telah berada di samping Pandan Wangi, mendesaknya pula,
“Katakan
Wangi. Katakan, satu kata saja. Aku hanya ingin mendengar satu kata saja.”
“Tunggulah
Wrahasta. Tunggulah. Pada saatnya aku akan menjawab.”
“Tetapi
bagaimana jawabmu itu.”
“Aku belum
tahu Wrahasta. Aku akan memikirkannya, apabila persoalan tanah perdikan ini
sudah selesai.”
“Tetapi,
tetapi aku memerlukannya sekarang. Aku memerlukannya sebelum ujung pedang
Sidanti atau Ki Tambak Wedi membekas pada kulitku.”
Dada Pandan
Wangi serasa akan bengkak. Tetapi ia justru terdiam sejenak.
“Wangi,” desak
Wrahasta.
“Sst,” Pandan
Wangi berdesis,
“kita akan
dilihat oleh banyak orang. Biarlah aku berjalan sendiri.”
“Tetapi kau
belum menjawab, Wangi. Kau belum menjawab.”
Pertanyaan-pertanyaan
yang meluncur seperti hujan yang tercurah dari langit itu membuat Pandan Wangi
menjadi semakin bingung. Dadanya serasa menjadi pepat, dan nafasnya serasa
sesak. Wrahasta masih saja mendesaknya dan berjalan di sampingnya.
“Wrahasta,”
berkata Pandan Wangi kemudian,
“biarlah aku
berjalan sendiri. Bukankah kurang baik dilihat orang, apabila kita berjalan bersama-sama.”
“Aku
pengawalmu, sesuai seperti yang dikehendaki oleh Ki Argapati. Meskipun
demikian, aku akan berhenti di sini kalau kau sudah menjawab pertanyaanku.”
“Jangan
membuat aku menjadi sangat bingung Wrahasta. Sebentar lagi Ayah akan pergi.
Seolah-olah Ayah akan terjun ke dalam kegelapan. Tak seorang pun tahu, apakah yang ada di dalamnya. Di
dalam kegelapan itu. Sekarang kau membuat persoalan yang membuat aku menjadi
semakin pening. Kalau kau menaruh sedikit pengertian tentang keadaanku,
Wrahasta, aku harap kau menunda pertanyaanmu itu.”
“Tetapi apakah
aku akan dapat menyimpan harapan, seandainya aku menunda pertanyaan ini?”
“Pertanyaan
itu tidak ada bedanya. Simpanlah semua persoalan di dalam hati.”
“Aku ingin
tahu Pandan Wangi.”
Pandan Wangi merasa
semakin terdesak. Ia tidak melihat jalan untuk keluar dari persoalan itu.
Tetapi ia sadar, bahwa ia tidak dapat menolaknya. Karena di dalam kepepatan
hati, Pandan Wangi menjawab sekenanya,
“Simpanlah
harapanmu itu, Wrahasta.”
Jantung anak
muda yang bertubuh tinggi tegap, berdada bidang, dan berbulu lebat di dadanya
itu berdesir. Dengan serta-merta ia bertanya,
“Jadi aku
dapat menyimpan harapan kepadamu Wangi.”
Dada Pandan
Wangi yang semakin pepat itu menjawab,
“Setiap orang
harus berpengharapan bagi masa depannya.”
Wrahasta
mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia bergumam,
“Terima kasih
Pandan Wangi. Aku sudah puas untuk sementara mendengar jawabmu. Aku harap kau
tidak ingkar.”
Kini dada
Pandan Wangi-lah yang berdesir. Ia sadar, bahwa jawabannya telah menimbulkan
salah mengerti. Tetapi ketika ia ingin menjelaskannya, Wrahasta telah
mendahului,
“Aku kini
sudah siap, Pandan Wangi. Siap untuk berbuat apa saja untukmu dan tanah
perdikan ini. Apa pun yang harus aku lakukan, aku telah bersedia dengan dada
tengadah. Kau adalah pewaris satu-satunya atas tanah ini. Semua persoalanmu
adalah persoalanku. Seperti yang dikehendaki oleh Ki Gede Menoreh.”
Pandan Wangi
sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk menjawab. Wrahasta itu segera
meloncat meninggalkannya. Langkahnya ringan, seperti seekor burung yang
berloncatan menyambar bilalang. Dalam sekejap kemudian, Wrahasta itu sudah
hilang di balik dedaunan yang rimbun di halaman belakang rumah Pandan Wangi. Pandan
Wangi kemudian berdiri termangu-mangu. Tiba-tiba hatinya menjadi terlampau
gelisah. Beberapa macam persoalan bercampur-baur, menggelegak di dalam dadanya.
Tanpa sesadarnya, telapak tangannya diletakkannya di dadanya sambil menarik
nafas dalam-dalam. Namun sesaat kemudian terasa setitik air meleleh dari
pelupuk matanya. Tetapi sejenak kemudian, seperti orang yang terbangun dari
mimpinya, ia menggeram. Mimpinya terlampau mencemaskannya. Namun kini ia sadar,
bahwa ayahnya sedang menunggunya. Sebentar lagi ayahnya akan pergi ke bawah
Pucang Kembar. Persoalan itu jauh lebih penting dan berharga dari persoalannya
sendiri. Karena itu, maka Pandan Wangi
pun segera berlari-lari mendapatkan ayahnya yang duduk di antara
beberapa pemimpin Tanah Perdikan Menoreh. Ternyata di sana telah duduk pula
Wrahasta yang masih terengah-engah. Dan sekejap kemudian masuk pula Samekta.
Ternyata orang tua itu telah mengikutinya, dan mendengar semua percakapannya
dengan Wrahasta. Orang yang telah cukup menyimpan pengalaman itu segera dapat
mengerti, persoalan yang tumbuh di antara Wrahasta dan Pandan Wangi. Di dalam
hatinya ia bergumam,
“Kasihan
Angger Pandan Wangi.” Tetapi untuk sementara Samekta tidak dapat mencampurinya.
“Apabila
persoalan itu dapat mereka selesaikan sendiri, biarlah mereka selesaikan,”
katanya di dalam hati.
Ketika Pandan
Wangi berada di dalam lingkungan para pemimpin tanah perdikan itu, ayahnya
telah bersiap untuk memenuhi janjinya. Telah dikenakannya pakaian
keprajuritannya ,yang telah lama disimpannya. Di pangkuannya terletak sebatang
tombak pendek yang masih berada di dalam selongsong putih. Namun Pandan Wangi
kini melihat perubahan pada wajah ayahnya. Wajah itu tiba-tiba tampak menjadi
cerah dan seolah-olah bahkan berseri-seri. Ia melihat senyum yang tergores pada
bibir ayahnya. Dan sejenak kemudian Pandan Wangi mendengar ayahnya berkata,
“Wangi, semua
persiapan telah selesai. Aku tinggal menunggu matahari merendah di atas bukit,
kemudian aku akan pergi ke Pucang Kembar untuk memenuhi janjiku.”
Pandan Wangi
tidak segera menyahut. Tanpa disadarinya, matanya menyentuh sorot mata
Wrahasta, yang seolah-olah membakar dadanya, sehingga dengan serta-merta
kepalanya menunduk dalam-dalam.
“Aku sudah
cukup memberikan pesan kepada semua orang yang aku anggap penting di sini.
Kepada orang-orang tua, kepada para pemimpin pengawal, dan kepadamu, Wangi.
Sepeninggalku, maka kaulah yang akan memegang semua kekuasaan atas tanah ini,
sampai aku datang kembali. Apabila sepeninggalku ada perkembangan yang cepat
melanda tanah ini, maka kaulah yang harus memutuskan, apakah yang sebaik-baiknya
kau kerjakan. Di sini ada beberapa orang yang akan mengawanimu di dalam segala
pertimbangan. Dalam tata pemerintahan kau dapat berbicara dengan orang-orang
tua. Sedang dalam persoalan keamanan tanah, ini kau dapat berbicara dengan para
pemimpin pengawal. Aku telah menyerahkan pimpinan keselamatan rumah ini dengan
segala isinya kepada Wrahasta. Sedang untuk persoalan yang timbul di luar rumah
dan halaman, aku serahkan kepada Samekta. Kecuali itu, pemomongmu, Kerti, aku
tempatkan di dalam rumah ini, supaya kau selalu dapat berhubungan dengan orang
itu. Ia akan merupakan penghubung yang baik pula antara kau dan Samekta. Namun
jangan kau lupakan, sebaiknya kau tetap berada di rumah ini. Kau dapat
menyerahkan semua persoalan kepada orang-orang yang telah aku serahi tugasnya
masing-masing.”
Darah Pandan
Wangi serasa menjadi semakin cepat mengalir. Ia tahu benar arti pesan ayahnya.
Ia tidak akan dapat meninggalkan halaman rumahnya. Apalagi pergi ke Pucang
Kembar. Karena itu maka untuk sejenak ia masih berdiam diri, tanpa menjawab
sepatah kata pun. Ki Gede Menoreh melihat kekecewaan di wajah puterinya.
Agaknya Pandan Wangi telah menangkap maksudnya, tetapi Ki Gede tidak punya cara
lain. Ia pun tahu benar, bahwa
seandainya tidak demikian, puterinya itu pasti akan pergi ke Pucang Kembar.
Setidak-tidaknya ingin menyaksikan apa yang akan terjadi.
“Pandan Wangi,”
berkata Ki Gede kemudian,
“tidak
seorang pun yang akan ikut serta
bersamaku. Aku akan pergi seorang diri, karena aku pun yakin, bahwa Ki Tambak Wedi pun akan pergi sendiri pula. Mudah-mudahan Ki
Tambak Wedi yang sekarang masih Ki Tambak Wedi yang dahulu.” Ki Argapati itu
terdiam sejenak. Lalu,
“Seperti sudah
aku katakan, seandainya hal ini tidak bersamaan waktunya dengan kemelut yang
mengasapi tanah perdikan ini, maka tidak seorang pun yang boleh tahu, apa yang akan terjadi.
Tidak boleh seorang pun mendengar, bahwa
akan terjadi perang tanding itu. Tetapi dalam keadaan ini, aku tidak dapat
berbuat demikian.”
Pandan Wangi
masih tetap diam. Kepalanya tunduk, dan matanya menjadi basah. Ia sangat
gelisah dan cemas, tetapi juga sangat kecewa.
“Aku tahu, kau
kecewa Wangi,” berkata ayahnya.
Tanpa
sesadarnya Pandan Wangi mengangguk. Tanpa sesadarnya ia bergumam,
“Sebenarnya
aku ingin pergi ke Pucang Kembar, Ayah.”
“Aku sudah
tahu,” sahut ayahnya,
“karena itu,
aku memaksa kau untuk tinggal di sini. Kehadiranmu akan memecahkan pemusatan
perlawananku. Mungkin akan berakibat kurang baik bagiku dan bagimu. Tetapi
seorang diri, aku akan dapat mempergunakan setiap saat untuk menolong dan
memperhatikan diriku sendiri.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya per-lahan-lahan. Ia dapat mengerti keterangan
itu. Tetapi ia tidak dapat melepaskan keinginannya untuk melihat perang tanding
itu.
“Karena itu
Wangi,” berkata Ki Gede Menoreh seterusnya,
“tinggallah di
rumah. Mungkin kau akan diperlukan sekali. Mungkin orang-orang Sidanti akan
melakukan gerakan justru pada saat aku tidak ada di rumah. Apabila kau tidak
ada, maka mungkin kita akan kehilangan segala-galanya. Apakah kau mengerti?”
Sekali lagi
Pandan Wangi mengangguk.
“Nah,
mudah-mudahan kau benar-benar mengerti.” Ki Argapati berhenti sejenak.
Dilemparkan pandangan matanya menembus pintu hinggap di halaman rumahnya. Sinar
matahari sudah menjadi terlampau lemah. Dan waktu yang ditentukan telah menjadi
terlampau sempit.
“Aku sudah
kehabisan waktu,” gumam Ki Argapati,
“aku kira
sudah saat aku berangkat. Mungkin aku akan sampai beberapa saat, sebelum saat
yang kami tunggu.”
Pandan Wangi
mengerutkan keningnya. Ketika ia mencoba memandang setiap wajah, maka
dilihatnya wajah-wajah itu menjadi tegang. Orang-orang tua dan para pemimpin
pasukan pengawal yang berada di ruangan itu agaknya benar-benar terpengaruh
oleh keadaan itu. Oleh keberangkatan Ki Gede Menoreh sebentar lagi. Tetapi
mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Ki Gede Menoreh sama sekali tidak mau
membawa seorang pun untuk mengawaninya.
Setidak-tidaknya untuk menjadi saksi dalam perang tanding itu. Ki Gede telah
memutuskan untuk melakukannya sebagaimana pernah dilakukan. Sendiri. Ketika Ki
Gede kemudian beringsut, wajah-wajah di dalam ruangan itu menjadi kian
menegang. Apalagi ketika kemudian Ki Gede itu berdiri sambil berkata,
“Sudah
waktunya aku berangkat. Tinggallah kalian pada tugas kalian masing-masing. Aku
mengharap bahwa Ki Tambak Wedi cukup jantan.”
Pandan Wangi
hampir-hampir tidak dapat menahan diri lagi. Hampir saja air matanya memecahkan
pertahanannya. Tetapi Ki Gede yang melihatnya segera berkata,
“Pandan Wangi,
lepaskan aku sebagaimana seorang laki-laki pergi berperang. Jangan kau lepaskan
aku seperti kanak-kanak nakal yang pergi ke ladang orang. Kau pun harus
bersikap seperti sikap-sikap yang seharusnya kau perlihatkan. Kau adalah puteri
Kepala Tanah Perdikan yang kini memegang tampuk pimpinan selama aku tidak di
rumah. Ingat, jangan kau tinggalkan rumah ini. Kau harus tetap dalam
kewaspadaan yang tertinggi.”
Pandan Wangi
menganggukkan kepalanya. Tetapi tidak sepatah kata pun yang diucapkannya. Sejenak kemudian, Ki
Gede Menoreh itu pun melangkahkan kakinya, diikuti oleh setiap orang yang
berada di dalam ruangan itu. Perlahan-lahan melintas pendapa, kemudian turun ke
halaman. Ketika ia berpaling, maka dilihatnya Pandan Wangi memandanginya.
Kemudian terdengar bibirnya berdesis,
“Ayah. Tombak
itu.”
KI Argapati
mengangkat tombaknya. Dipandanginya tombak yang masih berada di selongsongnya
itu. Terasa dadanya berdesir. Tombak itu memang bukan tombaknya yang
dipergunakan beberapa puluh tahun yang lalu untuk melawan Paguhan. Namun
sejenak kemudian ia tersenyum. Katanya,
“Tidak ada
bedanya Wangi. Keduanya pusaka sipat kandel tanah perdikan ini.”
Pandan Wangi
tidak berkata-kata lagi. Ia berjalan dengan lemahnya di belakang ayahnya. Di
belakangnya, anak muda yang bertubuh raksasa melangkah dengan tegapnya. Dan di
sampingnya, di antara orang-orang lain adalah Samekta, yang sudah agak lanjut
usia.
Ketika
Argapati sampai di regol halaman rumahnya, sejenak berhenti. Ditayangkannya
pandangan matanya berkeliling, seolah-olah ingin dilihatnya sekali lagi
sudut-sudut halamannya. Pohon-pohon buah-buahan dan tanam-tanaman perdu yang
tersebar menghijau di halaman. Kemudian katanya,
“Aku akan
berangkat.”
Seorang
pekatik maju ke depan orang-orang yang berdiri berjajar itu membawa seekor
kuda. Dengan tenangnya Ki Gede Menoreh menerima kendali, lalu dengan tenangnya
pula ia meloncat ke atas punggung kuda itu.
“Selamat
tinggal,” desisnya,
“aku serahkan
tanah ini kepada kalian selamat aku belum kembali. Mudah-mudahan kita semua
selamat. Kita akan selalu bermohon kepada Tuhan.”
Tidak seorang pun yang menjawab. Tetapi setiap pasang mata
memancarkan kesediaan yang mantap. Apa
pun yang akan terjadi, mereka akan bersedia menjalani. Sampai pada
pengorbanan yang tertinggi yang dapat diberikan kepada tanah ini.
Sesaat
kemudian, Ki Argapati menarik kendali kudanya. Ketika kuda itu bergerak, maka
Ki Gede Menoreh tersenyum sambil berkata,
“Kita yakin,
bahwa kita berada di pihak yang benar.”
Tidak
seorang pun yang menyahut. Tetapi Ki
Gede Menoreh dapat menangkap sorot mata yang memancar dari setiap wajah. Karena
itu, maka dengan hati yang tetap ia pun
segera berpacu meninggalkan regol halaman rumahnya, melintas lewat lapangan
kecil di depan rumahnya, yang biasa disebut alun-alun Menoreh. Debu yang putih
mengepul di belakang derap kaki-kaki kudanya. Ki Gede Menoreh itu semakin lama
menjadi semakin jauh. Kemudian hilang di balik dedaunan di seberang alun-alun
kecil itu.
Setiap orang
yang berdiri di depan regol halaman rumah Ki Gede itu, menarik nafas
dalam-dalam. Betapapun juga, mereka merasa dirayapi oleh kecemasan di dadanya.
Mereka memang tidak dapat meramalkan, apa yang akan terjadi. Ki Gede Menoreh
dan Ki Tambak Wedi mempunyai kesempatan yang sama. Keduanya dapat menang, dan
keduanya dapat kalah dalam perang tanding itu. Tetapi mungkin juga, bahwa
perang tanding itu akan berlangsung lebih lama dari semalam suntuk. Mungkin
apabila matahari besok terbit di Timur, perang tanding itu masih juga
berlangsung. Dan kemungkinan yang lain adalah sampyuh. Keduanya terbunuh dengan
luka di tubuh masing-masing. Pandan Wangi masih berdiri tegak di tempatnya.
Tetapi tiba-tiba ia seakan-akan menemukan kekuatan di dalam dirinya. Ketika ia
melihat kuda ayahnya berderap, serta melihat debu yang putih mengepul di
belakang kaki-kaki kuda itu, terasa sebuah getar menyentuh dadanya. Tiba-tiba
ia menemukan tekad yang menyala di dalam dirinya. Dengan dada tengadah ia
bergumam di dalam hatinya,
“Aku adalah
pewaris satu-satunya tanah perdikan ini. Aku harus menyelamatkannya dari setiap
bencana yang bakal datang.”
Pandan Wangi
itu tersedar ketika ia mendengar suara Wrahasta di belakangnya,
“Sudahlah
Pandan Wangi. Masuklah. Ki Argapati sudah tidak kelihatan lagi.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia
pun melangkah masuk menyusup regol halaman, melintas ke pendapa dan
masuk ke dalam pringgitan, diikuti oleh orang-orang tua dan pemimpin-pemimpin
pengawal.
Di paling
belakang berjalan Samekta dengan wajah yang suram. Ketika dilihatnya Kerti,
maka segera digamitnya sambil berbisik,
“He, aku ingin
berbicara sedikit.”
Kerti berpaling.
Jawabnya,
“Berbicaralah,
Kau tidak berbicara sedikit. Kau biasanya berbicara terlampau banyak.”
Samekta tersenyum.
Sudah lama ia mengenal Kerti dengan segala tabiatnya.
“Dengar,”
berkata Samekta kemudian,
“kau mendapat
pekerjaan yang cukup berat dari Ki Gede.”
Kerti
mengerutkan keningnya, “Apa?”
“Bukankah kau
telah mendengarnya sendiri?”
Kerti tertawa,
“Kau membuat aku berdebar-debar. Apakah anehnya tugas itu?”
“Dengar,” berkata
Samekta perlahan-lahan,
“kau harus
melindungi gadis momonganmu itu. Lebih berhati-hati apabila ia pergi berburu.
Kau mengerti maksudku?”
Kerti mengerutkan
keningnya. Katanya,
“Mana mungkin
aku mengerti. Tetapi apakah kau bermaksud membuat teka-teki?”
“Tidak. Aku
berkata sebenarnya. Lindungilah gadis itu baik-baik.”
“Kau bergurau.
Kau harus tahu, bahwa seharusnya Pandan Wangi-lah yang akan selalu melindungi
aku. Bukan aku yang akan melindunginya. Kemampuannya lipat sepuluh dari
kemampuanku berkelahi. O, kalau kau melihat bagaimana ia berkelahi melawan
Sidanti, meskipun tidak bersungguh-sungguh kau pasti akan pingsan.”
“Aku sudah
melihat, meskipun tidak langsung. Enam orang-orang liar tidak dapat
mengalahkannya segera.”
“He?” Kerti
mengangguk-anggukkan kepalanya, “ya. Kau pernah berceritera. Tetapi, lalu
apakah yang harus aku lindungi?”
“Lindungilah
perasaannya. Ia sedang dikejar oleh kecemasan tentang ayahnya. Tetapi ia
dikejar pula oleh persoalan lain.”
Samekta
mengedarkan pandangan matanya. Satu-satu para tetua tanah perdikan dan para
pemimpin pengawal telah masuk ke dalam pringgitan.
“Wrahasta. Ia
salah paham atas kepercayaan Ki Argapati kepadanya tentang Pandan Wangi. Ia
merasa, bahwa ia mendapat kepercayaan bukan sekedar dalam mengemban kewajibannya.
Ia merasa bahwa tugas itu merupakan kepercayaan rangkap. Sebagai seorang
pengawal yang terpercaya dan sebagai seorang anak muda.”
Kerti
mengerutkan keningnya. Dan ia mendengar Samekta berkata selanjutnya tentang
anak muda yang bertubuh raksasa itu.
Sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya, Kerti berkata,
“Kasian Angger
Pandan Wangi. Tetapi aku kira Wrahasta tidak akan dapat berbuat apa-apa atas
gadis itu. Tiga sampai lima Wrahasta akan digilasnya dengan ilmu yang
diterimanya dari ayahnya.”
“Tetapi Pandan
Wangi tidak dapat berbuat demikian. Ia terlalu mementingkan tanah ini, sehingga
ia tidak berani menyakiti hati raksasa yang mabuk itu.”
Sekali lagi
Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Gumamnya,
“Baik. Aku
akan berusaha, bahwa bagi raksasa itu tidak akan ada kesempatan untuk
mempersoalkannya lagi selama ini. Aku akan selalu berada di sampingnya.
Bukankah aku mendapat tugas di dalam rumah itu, Samekta di luar halaman, tetapi
meliputi seluruh tanah ini dengan segala macam bentuknya, dan Wrahasta mendapat
tugas di dalam halaman ini. Mengawal dan menyelamatkan segala isinya, termasuk
Pandan Wangi dan aku.”
“Hus,” desis
Samekta,
“pergilah.
Sebentar lagi aku akan meninggalkan halaman ini. Untuk sementara aku akan
berada di banjar. Setiap persoalan dengan tanah ini dari segi pengamanannya,
hubungilah aku di banjar. Kau tidak usah pergi sendiri. Kau dapat menyuruh satu
dua orang yang kau percaya untuk itu, tetapi yang harus sudah aku kenal baik-baik.”
Kerti
mengangguk-anggukan kepalanya. Di dalam keadaan yang demikian, maka semua orang
harus berhati-hati. Semua menjadi saling bercuriga. Mereka tidak segera dapat
membedakan, siapakah lawan mereka masing-masing, dan siapakah yang menjadi
kawan. Karena itu, maka setiap orang harus sangat berhati-hati. Mereka harus
tahu pasti, apakah mereka tidak berhadapan dengan lawan.
“Aku akan
memberi mereka sasmita sandi. Hanya mereka yang memakai sasmita sandilah yang
harus kau percaya, “berkata Kerti, “dan sebaliknya orang-orangmu yang
menghubungi aku pun, harus memakai sasmita sandi yang serupa.”
“Bagus, “jawab
Samekta, “apakah sasmita sandi itu?”
“Katakan. Apa
yang harus di ucapkan oleh orang-orangku dan, orang-orangmu dalam sasmita
sandi.”
Samekta berpikir
sejenak. Kemudian jawabnya,
“Nah, kita
bersepakat untuk mempergunakan sasmita sandi. Orang-orang kita harus menyebut
namanya dalam sasmita sandi itu, kemudian mengucapkan bilangan tiga dan
sembilan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar