Jilid 054 Halaman 3


Wajah orang yang tinggi kekar itu menjadi merah padam. Ia pun mengerti pula, bahwa Swandaru kini dapat menilai kemampuannya. Namun demikian orang yang tinggi kekar itu tidak segera menyerah kepada keadaan. Benturan itu memang bukan penentuan. Karena itu, ia pun segera mempersiapkan diri. Namun sikap Swandaru kemudian justru sangat menyakitkan hatinya. Anak yang gemuk itu berjalan seperti ayam aduan menghadapi lawannya yang sudah terikat kedua belah kakinya.
“Setan alas!” orang yang tinggi itu mengumpat.
“Jangan menyebut nama itu. Kalau ada hantu yang mendengar, ia akan marah. Bukankah di sini banyak hantu?” berkata Swandaru.
“Sebutlah yang lain, jangan setan alas. Apalagi Alas Mentaok. Sebutlah setan gunung atau setan jurang atau setan apa pun.”

Kemarahan orang itu benar-benar serasa meledakkan dadanya. Karena itu ia tidak menyahut lagi. Dengan serta-merta ia meloncat menyerang Swandaru. Kali ini ia telah mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya. Swandaru yang sebenarnya sama sekali tidak kehilangan kewaspadaan, segera menghindar. Tangan orang yang tinggi kekar itu terjulur di samping dadanya. Dengan serta-merta Swandaru memutar tubuhnya sambil menangkap tangan itu. Dengan sekuat tenaga Swandaru menarik tangan orang itu lewat di atas pundak, sedang tubuhnya merendah di atas lututnya, membelakangi lawannya. Orang itu tidak sempat berbuat apa-apa lagi. Terdorong oleh kekuatannya sendiri, ditarik pula oleh kekuatan Swandaru, maka orang yang tinggi bertubuh kekar itu terpelanting lewat di atas kepala Swandaru. Setelah sekali ia terputar di udara, maka ia pun kemudian terlempar dan jatuh terbanting di tanah. Setiap mulut hampir saja berteriak melihat hal itu. Tetapi setiap mulut itu pun tertahan oleh bibir yang terkatup rapat. Bahkan ada di antara mereka yang menutup mulutnya dengan telapak tangannya. Bukan saja orang-orang yang tinggal di dalam barak, tetapi para pengawas pun menjadi sangat kagum melihat cara Swandaru menguasai lawannya yang lebih tinggi dan besar daripadanya. Apalagi melihat tubuh Swandaru yang gemuk itu, mereka menjadi terheran-heran melihat kelincahannya. Sejenak orang yang tinggi kekar yang masih terbaring di tanah itu menggeliat. Mulutnya menyeringai menahan sakit. Tangannya ditekankan pada lambungnya yang agaknya menjadi sangat sakit. Sejenak orang itu tidak segera mampu berdiri. Perlahan-lahan ia berusaha duduk. Meskipun, matanya menjadi merah oleh kemarahan yang memuncak, tetapi ia benar-benar tidak segera dapat bangun.
“Anak iblis!” ia mengumpat.
Swandaru masih berdiri di tempatnya. Ditatapnya saja wajah orang itu. Wajah yang menjadi semakin tegang. Namun dalam pada itu, perhatian setiap orang kini berpindah. Tiba-tiba saja orang yang kekurus-kurusan melangkahi mendekati orang yang tinggi kekar, yang masih saja duduk di tanah.
“Berdirilah,” katanya.
Orang itu tidak menjawab. Tetapi ia tidak segera berdiri.
“Marilah, aku tolong,” berkata orang yang kurus itu.
Maka orang yang tinggi kekar itu pun dibantunya berdiri. Meskipun dengan susah payah, akhirnya ia dapat tegak di atas kedua kakinya.
“Apakah kau masih mampu berkelahi?” orang yang kekurus-kurusan itu bertanya.
Sekali orang yang tinggi itu menggeliat. Namun ia tidak segera menjawab.
“Apakah kau masih mampu berkelahi?” orang yang kekurus-kurusan itu bertanya lagi. Lalu,
“Inilah kebodohan kita. Orang-orang ini adalah orang-orang yang dengan sengaja ingin membuat kisruh di tempat ini. Mereka memang bukan orang kebanyakan. Anak yang gemuk ini telah mampu membantingmu. Agaknya kau menganggapnya terlampau rendah. Sekarang, hati-hatilah. Bersungguh-sungguhlah. Kalau perlu, kau dapat mempergunakan senjatamu. Aku akan mengawasi ayah dan kakaknya. Mereka pun bukan orang-orang kebanyakan.”
Orang yang tinggi kekar itu menjadi ragu-ragu. Tanpa sesadarnya ia meraba ikat pinggangnya yang besar. Swandaru berdiri membeku di tempatnya. Demikian juga Agung Sedayu dan Kiai Gringsing. Mereka memang melihat hubungan dari keduanya. Tetapi kini semakin ternyata bahwa keduanya memang bukan orang lain. Keduanya pasti mempunyai ikatan lebih dari kawan di dalam pembukaan hutan ini. Namun yang mengherankan, agaknya orang yang kekurus-kurusan itulah yang mempunyai pengaruh yang lebih besar daripada orang yang tinggi kekar, sehingga seandainya benar-benar mereka mempunyai ikatan tertentu, maka orang yang kekurus-kurusan itu pasti mempunyai kedudukan selapis lebih tinggi. Dalam pada itu, wajah Swandaru, Agung Sedayu, dan Kiai Gringsing menegang, ketika mereka melihat orang yang tinggi kekar itu tiba-tiba mencabut sepasang pisau di kedua tangannya.
“Nah, tidak ada salahnya kalau kau mempergunakannya,” berkata orang yang kekurus-kurusan itu.
“Bahkan kalau terpaksa orang-orang itu mati, sama sekali bukan salah kita. Mereka telah melawan ketentuan yang ada di sini.”
“Tunggu,” sela Kiai Gringsing,
“siapakah yang berhak mengawasi daerah ini? Kalau ada pelanggaran atau perlawanan terhadap peraturan yang berlaku, siapakah yang berhak bertindak?”
“Persetan,” desis orang yang kekurus-kurusan,
“kami akan berjasa kalau kami dapat membantu melakukan tugas para pengawas.”
“Demikian juga kami,” tiba-tiba saja Swandaru menyahut.
Orang yang kekurus-kurusan, orang yang tinggi kekar, dan orang-orang yang ada di sekitar arena itu pun menjadi heran.
“Kami juga merasa membantu para petugas, apabila kami dapat membuat kalian jera. Kalian adalah orang-orang yang sama sekali tidak menghargai orang lain, termasuk para petugas yang ada di sini. Justru kalian menganggap beberapa petugas yang ada itu sama sekali tidak mampu berbuat apa-apa, sehingga kalian perlu membantu mereka.”
“Diam!” teriak orang yang kekurus-kurusan.

Suara teriakannya telah mengejutkan setiap orang yang mendengarnya. Suara itu keras, lantang dan berat, sehingga sama sekali berbeda dengan sifat-sifat yang setiap kali dilihat oleh orang-orang di dalam barak itu. Orang yang kekurus-kurusan itu sering menggigil ketakutan apabila ia melihat sesuatu, bahkan kesannya ia adalah seorang penakut yang cengeng. Tetapi kini tiba-tiba saja ia menjadi sangat garang dan kasar.
“Jangan biarkan ia berbicara lagi. Bunuhlah kalau kau terpaksa melakukannya. Kau dan kita semua, tidak akan dihukum oleh siapa pun.”
Orang yang bertubuh kekar itu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba matanya menjadi liar dan kemerah-merahan, sedang kedua pisau di tangannya menjadi gemetar. Sekilas Swandaru memandang mata pisau yang bergetar itu. Dadanya menjadi berdebar-debar ketika tampak olehnya bahwa daun pisau itu berwarna hitam kemerah-merahan. Sama sekali tidak putih mengkilap seperti sebilah pedang. Gurunya melihat pula warna itu, sekaligus melihat keraguan Swandaru. Karena itu, maka ia pun kemudian berkata,
“Hati-hatilah atas sepasang pisau itu.”
Orang yang kekurus-kurusan dan orang yang tinggi kekar itu pun berpaling kepadanya, sementara Kiai Gringsing berkata terus,
“Pisau itu berbahaya bagimu. Setiap goresan di kulitmu, akibatnya akan sangat berbahaya bagimu. Ingat, orang-orang itu adalah orang-orang yang senang sekali bermain-main dengan racun. Demikian juga pisau itu. Pisau itu tidak sekedar diberi warangan biasa, tetapi warangan yang mengandung racun yang paling tajam.”
“Persetan dengan igauanmu,” potong orang yang kekurus-kurusan.
“Tetapi jangan takut,” berkata Kiai Gringsing pula,
“kau adalah orang yang kebal, setidak-tidaknya telah dibekali dengan berbagai macam obat untuk melawan racun. Berapa kali kau hampir mati karena racun. Tetapi kau masih tetap hidup sampai sekarang.”
Tetapi suara Kiai Gringsing terputus ketika orang yang kekurus-kurusan itu berteriak,
“Jangan hiraukan kicau orang tua itu. Cepat, lakukanlah tugas ini sebaik-baiknya.”
Orang yang tinggi kekar itu memang tidak menunggu lagi. Perlahan-lahan ia maju mendekati Swandaru. Meskipun tenaganya kini sudah jauh berkurang, namun sepasang pisau itu benar-benar telah mendebarkan jantung. Pisau yang beracun itu seakan-akan terayun-ayun di tangan orang yang tinggi itu. Sekali-sekali berputar dan sekali-sekali terjulur lurus ke depan.
“Gila,” berkata Swandaru di dalam hatinya.
“Untunglah, bahwa tenaganya sudah hampir habis. Nafasnya pun agaknya sudah hampir putus. Kalau aku dapat menghindar terus-menerus, tanpa perlawanan apa pun, ia pasti akan berhenti dengan sendirinya, kehabisan nafas.”
Demikianlah, maka sejenak kemudian orang itu pun sudah mulai menyerang. Meskipun geraknya tidak lagi terlampau cepat, tetapi kini ia memusatkan serangannya pada ujung pisaunya. Swandaru merasa, bahwa ia harus benar-benar berhati-hati. Menurut gurunya, racun itu adalah racun yang sangat kuat. Sehingga karena itu, maka ia pun selalu menghindari serangan-serangan yang segera datang beruntun. Dengan ragu-ragu Swandaru mencari kesempatan untuk menyerang. Tetapi sepasang pisau itu benar-benar sangat berbahaya. Sekali ia memang melihat pertahanan orang itu terbuka. Namun ternyata Swandaru cukup waspada juga karena ia melihat jebakan-jebakan yang akan menyeretnya untuk berpelukan dengan maut. Dalam pada itu, ternyata untuk beberapa saat Swandaru sama sekali tidak berdaya menghadapi kedua pisau beracun itu. Ia sama sekali tidak mau tergores meskipun hanya seujung rambut. Dengan demikian, maka ia hanya dapat berloncatan mundur dan berputar di arena perkelahian itu tanpa mendapat kesempatan sama sekali untuk menyerang.
“Selesaikan saja anak itu,” berkata orang yang kekurus-kurusan.
Tetapi seperti yang diperhitungkan oleh Swandaru, maka orang itu pun sudah menjadi semakin lelah. Nafasnya menjadi terengah-engah dan keringatnya sudah membasahi seluruh permukaan kulitnya.
“Apakah kau masih mampu mempergunakan tenagamu terakhir,” bertanya orang yang kekurus-kurusan.
Orang itu menggeram. Ditatapnya wajah Swandaru yang menegang sejenak. Tetapi Swandaru itu justru kemudian tersenyum sambil menjawab,
“Mari kita berlomba lari. Berputar-putar di arena ini. Pada suatu saat, tanpa perlawanan apa pun kau akan pingsan. Nafasmu tinggal tersangkut di ujung hidungmu.”
“Licik,” teriak orang yang kekurus-kurusan,
“Kau sangat licik. Itu bukan perbuatan jantan.”
“Senjata itu sangat berbahaya,” sahut Swandaru.
“Sentuhan yang tidak berarti dapat membuatku mati. Dan aku tidak mau. Lebih baik kita berkejar-kejaran sampai kawanmu itu pingsan sendiri.”
“Kenapa kau tidak pulang saja?” bertanya orang yang kekurus-kurusan.
“Kenapa?” bertanya Swandaru.
“Menanak nasi seperti perempuan. Kalau kau laki-laki, kau tidak akan berkelahi dengan cara itu. Kau pasti akan berusaha melawan meskipun akibatnya mati.”

Wajah Swandaru menegang kembali. Terasa darahnya melonjak mendengar penghinaan itu. Dan orang yang kekurus-kurusan itu masih berkata,
“Nah, apa katamu sekarang? Orang-orang di sekitar kita menjadi saksi, bahwa ternyata kau adalah orang yang hanya dapat berteriak-teriak tanpa arti.”
Sejenak Swandaru tidak menyahut. Namun kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata,
“Jadi menurut penilaianmu sekarang ini akulah yang licik meskipun kawanmu yang menggenggam senjata yang ganas itu?”
Pertanyaan itu benar-benar tidak diduga-duga. Orang yang kekurus-kurusan itu mengharap Swandaru marah dan langsung menyerang. Tetapi agaknya anak yang gemuk itu masih saja dapat menahan diri. Karena itu justru ia sendirilah yang menjadi tidak sabar lagi. Katanya kepada orang yang tinggi kekar,
“Nah, kau telah cukup mendapat istirahat. Lakukanlah sekarang. Kejar anak gemuk itu sampai dapat. Kalau ia menghadapkan dadanya tikamlah dadanya. Kalau ia lari tikamlah punggungnya.”
“Kalau aku miring?” bertanya Swandaru.
“Gila,” teriak orang yang kekurus-kurusan. “Lakukan sekarang!”
Orang yang kekar itu menggeram, ia maju selangkah demi selangkah dengan wajah yang semakin liar. Dalam pada itu Swandaru menjadi lebih berhati-hati menghadapinya. Namun demikian ia memang merasa, kalau dengan cara ini maka perkelahian akan berlangsung terlalu lama. Ia harus menemukan kesempatan yang sebaik-baiknya untuk mengalahkan lawannya, tetapi kulitnya sendiri tidak tergores ujung senjata beracun itu. Namun akhirnya Swandaru menarik nafas ketika gurunya berkata,
“Sudahlah, jangan biarkan permainan ini berlangsung terlampau lama. Bukankah kita ini gembala yang baik, yang masih tetap menyimpan cambuk kita masing-masing? Pergunakan cambukmu untuk mencegah pisau-pisau beracun itu.”
Agung Sedayu menegang sejenak, memandangi wajah gurunya. Tetapi ia pun segera mengangguk-angguk. Gurunya sama sekali tidak sekedar diburu oleh kegelisahan. Namun agaknya gurunya memang merasa tidak perlu lagi menyembunyikan cambuk-cambuk ini. Sebagian dari cirri-ciri dirinya sudah mulai diperlihatkannya. Swandaru yang semula juga ragu-ragu, kemudian tersenyum ketika ia melihat gurunya mengangguk-anggukkan kepalanya. Bahkan ia masih sempat berkata,
“Apakah aku harus menggembalakan pisau ini?”
Sebelum Kiai Gringsing menjawab, orang yang tinggi kekar itu sudah mulai menyerangnya sambil menggeram,
“Persetan dengan gembala gila seperti kalian.”
Swandaru masih harus meloncat menghindar. Namun kemudian ketika ia berdiri di atas sepasang kakinya, tangannya sudah menggenggam cambuknya yang diurai dari bawah bajunya.
“Nah,” katanya,
“sekarang kita masing-masing sudah bersenjata. Senjatamu adalah senjata seseorang yang menguasai racun, sedang senjataku adalah senjata seorang gembala.”
Mata orang yang tinggi kekar itu menjadi merah padam. Sejenak dipandanginya ujung cambuk Swandaru. Namun kemudian ia menggeram,
“Persetan! Kau sangka aku sekedar seekor kambing domba yang ketakutan mendengar bunyi cambuk.”
Swandaru tidak menjawab. Tetapi diputarnya cambuknya di atas kepalanya. Sudah agak lama ia tidak mempergunakan cambuk itu, sehingga ia merasa perlu untuk melemaskan otot-otot pergelangan tangannya. Orang yang tinggi kekar itu pun tidak sabar lagi. Dengan satu loncatan yang panjang ia menyerang, menyusup di bawah putaran cambuk Swandaru. Namun, meskipun sudah agak lama Swandaru tidak mempergunakan cambuknya, ia masih tetap cukup lincah menguasai senjatanya. Ketika sebuah ledakan melengking, maka terdengarlah keluhan tertahan. Orang yang tinggi besar itu dengan serta-merta meloncat surut. Sebuah goresan yang kemerah-merahan telah melekat di kakinya.
“Setan alas!” ia mengumpat. Ketika ia melangkah maju, ternyata kakinya menjadi timpang.
Swandaru tidak membiarkannya lagi. Ia pun segera mendesak. Yang menjadi pusat perhatiannya adalah sepasang pisau beracun itu. Karena itu, maka dengan tiba-tiba ia pun menyerang. Sekali lagi cambuknya meledak. Kali ini mengenai pergelangan tangan orang yang tinggi kekar itu. Sekali lagi sebuah keluhan terdengar. Bahkan kemudian disusul dengan umpatan yang kasar. Bukan saja pergelangan tangannya berdarah, tetapi satu pisaunya telah terlepas dari tangannya.
“Hem,” orang yang kekurus-kurusan berdesah,
“orang ini memang luar biasa. Minggirlah,” katanya kemudian kepada orang yang tinggi itu, “aku akan mencobanya.”

Kiai Gringsing sama sekali tidak terkejut mendengar kata-kata orang yang kekurus-kurusan. Ia memang sudah menyangka, bahwa orang yang tampaknya sebagai seorang penakut itu, pasti mempunyai kelebihan dari orang yang tinggi kekar, yang tampaknya sehari-hari adalah orang yang tidak terkalahkan di barak itu. Bahkan para penjaga pun takut kepadanya, karena ia memiliki kekuatan raksasa. Namun, meskipun orang yang kekurus-kurusan ini agaknya tidak memiliki kekuatan jasmaniah sebesar orang yang tinggi kekar itu, tetapi agaknya orang ini memiliki ilmu yang lebih masak. Selain Kiai Gringsing, maka orang-orang yang menyaksikan perkelahian itu menjadi heran. Mereka sama sekali tidak menyangka, bahwa orang yang kekurus-kurusan itu pada suatu saat dapat berbuat seperti itu seolah-olah memiliki kemampuan lebih besar dari orang yang tinggi dan kekar itu. Namun para petugas yang ada di tempat itu pun segera dapat mengetahui, bahwa sebenarnya orang yang kekurus-kurusan itu memang mempunyai kelebihan dari orang yang tinggi kekar itu. Swandaru yang masih memegang cambuknya berdiri termangu di tempatnya. Ia melihat orang yang tinggi kekar itu masih menyeringai menahan sakit.
“Simpan pisaumu,” berkata orang yang kekurus-kurusan itu.
“Jangan sampai pisaumu menyentuh lukamu sendiri. Kau akan segera mati karenanya.”
Orang yang tinggi kekar itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Segera ia menyarungkan pisau yang masih di genggamnya.
“Ambil yang satu,” berkata Swandaru.
“Kalau mengenai anak-anak yang sedang bermain-main, maka kau akan berdosa sepuluh kali lipat.”
Yang terdengar adalah gemeretak gigi orang yang tinggi kekar itu. Namun yang berkata adalah orang yang kekurus-kurusan.
“Jangan marah. Sepantasnya kau memang hanya menakut-nakuti anak-anak. Tetapi kalau kau bertemu dengan lawan yang agak kuat, kau tidak dapat berbuat apa-apa.”
Orang itu sama sekali tidak menjawab. Setapak demi setapak ia melangkah mendekati pisaunya.
“Ambil,” berkata Swandaru.
“Ya, ambil,” ulang orang yang kekurus-kurusan.
Orang itu ragu-ragu sejenak. Tanpa sesadarnya diamat-amatinya pergelangan tangannya yang terluka dan menitikkan darah.
“Cepat ambil,” desis Swandaru pula.
“Ya, cepat ambil,” ulang orang yang kekurus-kurusan.
Meskipun dengan hati yang bimbang, namun tangannya dijulurkannya pula meraih pisau yang tergolek di tanah itu. Namun ia terloncat surut ketika tiba-tiba saja ia dikejutkan oleh cambuk Swandaru yang meledak. Dengan wajah yang tegang ia berdiri termangu-mangu. Tangannya yang berdarah itu pun menjadi gemetar.
“He, kenapa kau?” bertanya Swandaru sambil tersenyum.
“Gila,” geram orang yang kekurus-kurusan,
“ambillah. Kenapa kau tiba-tiba menjadi pengecut?”
Orang itu masih berdiri gemetar. Sejenak ditatapnya wajah Swandaru, kemudian wajah orang yang kekurus-kurusan itu.
“Ambillah!” teriak orang yang kekurus-kurusan itu.
“Kalau orang itu akan mengganggumu, biarlah aku putuskan batang lehernya.”
Swandaru mengerutkan keningnya. Sementara Agung Sedayu menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah laku adik seperguruannya.
“Anak itu memang bengal,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. Namun sementara itu, ia melihat bahwa orang yang kekurus-kurusan itu benar-benar merasa terhina oleh perbuatan Swandaru.
“Orang yang kekurus-kurusan ini agaknya lebih berbahaya dari kawannya yang tinggi kekar namun seperti kerbau itu,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.

Sementara itu, orang yang tinggi kekar itu pun telah melangkah maju dengan penuh keragu-raguan. Sekali-sekali ditatapnya wajah kawannya yang kekurus-kurusan itu, kemudian ditatapnya pula wajah Swandaru.
“Cepat,” berkata orang yang kekurus-kurusan.
Orang yang tinggi kekar itu hampir terloncat. Dengan secepat-cepatnya, ia meraih pisaunya yang beracun. Kemudian ia pun segera meloncat mundur. Swandaru tidak dapat menahan tertawanya, sedang Agung Sedayu pun tersenyum pula tertahan-tahan.
“Kau memang terlampau sombong anak yang gemuk,” berkata orang yang tinggi kekurus-kurusan itu.
“Sekarang kau jangan menyebut dirimu bernama Sangkan. Aku tahu bahwa kau pasti bernama lain. Dan aku pun kini tahu, selama ini kau berpura-pura menjadi orang-orang bodoh, miskin dan setengah gila. Tetapi sebenarnyalah bahwa kalian adalah orang-orang sombong yang tidak ada duanya di dunia. Kini kalian akan membuat semua orang terkejut. Kalian akan mendapat pujian, sebagai orang-orang bodoh yang ternyata memiliki kelebihan yang luar biasa.”
“He,” tiba-tiba Swandaru memotong,
“apakah kau tidak berbuat seperti itu? Selama ini, orang yang tinggi kekar itu sajalah yang kau taruh di depan. Kau sendiri selalu bersembunyi di belakang. Bukankah kau selalu berpura-pura menjadi seorang penakut yang paling ketakutan apabila ada suara tikus sekalipun? Sekarang kau juga akan tampil sebagai seorang pahlawan.”
“Diam! Diam kau,” orang yang kekurus-kurusan itu benar-benar telah menjadi marah.
“Aku memang menunggu kesempatan ini. Selama ini aku memang sedang meyakinkan, bagaimana kita harus menghadapi hantu-hantu dari Alas Mentaok. Justru untuk kepentingan kita bersama. Tetapi kedatangan kalian telah merusakkan semua rencanaku. Usaha yang aku lakukan akan menjadi sia-sia, dan hantu-hantu itu tetap akan marah kepada kita.”
“He, apakah kita masih harus berbicara tentang hantu?”
“Gila! Kau sangka kau, kakakmu, dan ayahmu ini siapa? Betapapun saktinya kalian, kalian tidak akan dapat berbuat sesuatu di sini tanpa berbicara tentang hantu.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia bertanya,
“Apakah kau sudah berhasil setelah sekian lama melakukannya?”
Orang yang kekurus-kurusan itu terdiam sejenak. Ditatapnya saja wajah Swandaru dengan sorot mata yang memancarkan kemarahan. Namun pertanyaan itu tidak segera dijawabnya.
“Bagaimana?” Swandaru mendesaknya.
Orang itu menggelengkan kepalanya,
“Belum. Sebenarnya aku memang sudah hampir berhasil. Tetapi kedatangan kalian ini telah menjauhkan kami dari mereka, sehingga usaha yang sudah lama aku lakukan itu, menjadi sia-sia. Karena itu, maka kalianlah yang harus menanggung akibat kegagalan itu. Kalian terpaksa dikorbankan. Sudah lama aku ingin membuat korban semacam ini untuk hantu-hantu itu. Korban darah. Mudah-mudahan mereka menjadi lulut dan dapat mengerti keinginan kami.”
“Apakah korban darah itu?” bertanya Swandaru.
“Sama dengan korban nyawa.”
Swandaru mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba saja ia berkata sambil mengangguk-angguk,
“O, jadi kau ingin membunuh diri?”
“Persetan!” kemarahan orang itu sudah memuncak.
Agung Sedayu masih saja mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak dapat mencegah Swandaru. Kebiasaannya yang ternyata menyakitkan hati orang yang kekurus-kurusan itu tidak dapat dihindarinya. Sejenak kemudian maka sambil maju selangkah orang yang kekurus-kurusan itu menggeram,
“Kini memang sudah tiba saatnya. Salah satu dari kalian bertiga akan mati, atau kalau kalian sama-sama maju, maka kalian bertiga akan mati pula bersama-sama. Semakin banyak korban yang aku berikan, maka kami yang tinggal di sini akan menjadi semakin aman.”
Swandaru melihat sorot mata orang itu. Ia benar-benar sudah ada di puncak kemarahannya. Karena itu, ia kini tidak dapat berkelakar lagi. Sejenak kemudian orang yang kekurus-kurusan itu pun sudah siap. Dengan wajah yang tegang ditatapnya cambuk Swandaru. Namun sejenak kemudian ia pun segera melenting menyerang dengan dahsyatnya. Swandaru memang sudah bersiap menghadapinya. Cambuknya sudah terlanjur berada di tangannya, sehingga karena itu, maka cambuk itu pun segera meledak memekakkan telinga. Tetapi orang yang kekurus-kurusan itu memang cukup tangkas. Ia masih mampu menggeliat menghindarkan dirinya, sehingga cambuk Swandaru sama sekali tidak mengenainya. Namun dalam pada itu, ketika orang yang kekurus-kurusan itu tegak berdiri di atas kedua kakinya, di tangannya telah tergenggam seutas rantai besi yang diambilnya dari kantong ikat pinggangnya. Rantai itu tampaknya tidak begitu besar, hampir sepanjang lengan tangannya. Tetapi yang berbahaya dari senjata itu adalah sebuah gerigi pada bola besi sebesar kemiri. Swandaru menjadi tegang sejenak. Tanpa diberitahukan lagi, ia sadar, bahwa bola besi yang tampaknya hanya sekecil kemiri itu pasti sangat berbahaya. Geriginya yang kehitam-hitaman itu pasti mengandung racun seperti pisau belati orang yang tinggi besar itu.
Ternyata gurunya membenarkan dugaannya itu. Dengan sungguh-sungguh Kiai Gringsing berdesis,
“Hati-hatilah dengan bola kecil yang bergerigi itu, Swandaru.”
Swandaru menganggukkan kepalanya. Dan ia pun menjadi kian berhati-hati.

Sejenak kemudian bola kecil itu sudah berputaran seperti baling-baling. Untunglah bahwa Swandaru pun mempergunakan senjata yang hampir sejenis. Ujung cambuknya adalah senjata yang lentur, meskipun tidak kurang berbahayanya. Kalau Swandaru bersungguh-sungguh mempergunakan senjata itu, maka lecutan sendal pancing apabila menyentuh tubuh lawannya, pasti akan menyobek kulit, karena karah-karah besi yang melingkar pada juntai cambuk itu. Sejenak kemudian keduanya sudah berhadapan kembali. Sejenak mereka bergeser beberapa tapak. Sedang orang-orang yang menyaksikan perkelahian itu menjadi semakin berdebar-debar. Mereka pun berdesakan surut beberapa langkah, karena orang yang kekurus-kurusan itu selalu memutar rantai yang berbola di ujungnya. Dengan sedikit membungkukkan badannya, Swandaru bersiap menghadapi setiap kemungkinan. Digenggamnya tangkai cambuknya dengan tangan kanannya, sedang ujungnya dipegangnya dengan tangan kiri. Namun demikian, cambuk itu siap meledak setiap saat. Perkelahian yang seru itu tidak dapat dihindarkannya lagi. Dengan garangnya orang itu menyerang Swandaru dengan ujung rantainya. Sejenak bola itu melingkar-lingkar di udara, namun kemudian menukik menyerang dengan cepatnya. Selagi Swandaru menghindarinya, maka bola itu seperti kepala seekor ular mematuknya dari arah yang lain. Orang yang kekurus-kurusan itu benar-benar menguasai senjatanya yang sangat berbahaya itu. Seperti senjata-senjata beracun lainnya, setiap sentuhan akan berarti maut. Tetapi Swandaru pun mampu mempergunakan senjatanya sebaik-baiknya. Setiap kali ia masih sempat meledakkan cambuknya. Bahkan ujung cambuknya telah beberapa kali menyentuh tubuh lawannya, sehingga jalur-jalur merah melekat di bahu dan lengannya, setelah karah-karah besi dijuntai cambuk itu menyobek baju orang yang kekurus-kurusan itu. Meskipun demikian, orang yang kekurus-kurusan itu seakan-akan tidak menghiraukannya. Meskipun ia tidak kebal, tetapi ia sama sekali tidak gentar. Menurut perhitungannya, luka-lukanya itu sama sekali tidak akan membahayakan jiwanya. Tetapi kalau ia berhasil menyentuh lawannya, maka itu akan berarti kematian. Sehingga dengan demikian, ia justru semakin mendesak maju, menyusup di antara ayunan ujung cambuk Swandaru. Perkelahian itu semakin lama menjadi semakin sengit. Kadang-kadang kedua senjata itu saling melilit. Tetapi agaknya keduanya cukup menguasai, dan senjata-senjata itu pun cukup kuat, sehingga setiap kali, lilitan itu pun segera terurai. Agung Sedayu dan Kiai Gringsing menyaksikan perkelahian itu dengan hati yang berdebar-debar. Orang yang kekurus-kurusan ini ternyata tidak sekedar berkelahi seperti kawannya yang tinggi itu. Agaknya Swandaru mempertimbangkannya juga. Ternyata ia kini menghadapinya dengan bersungguh-sungguh. Kerut keningnya dan tatapan matanya menunjukkan bahwa ia tidak lagi bermain-main. Tetapi ternyata bahwa senjata orang yang kekurus-kurusan itu pun mempunyai kelebihan dari senjata Swandaru. Senjata Swandaru dapat melukai kulit, tetapi tidak membunuh dengan kejam seperti senjata lawannya. Itulah sebabnya, maka Swandaru agak mengalami kesulitan. Meskipun demikian, latihan-latihan yang berat selama ini membuatnya menjadi seorang yang tabah menghadapi kesulitan apa pun juga. Dengan demikian, maka Swandaru tampaknya selalu terdesak. Ia kadang-kadang melangkah surut, kadang-kadang berloncatan ke samping. Namun setiap kali ia masih juga berhasil melukai kulit lawannya. Setiap kali orang yang kekurus-kurusan itu tertegun, apabila cambuk Swandaru meledak. Dan setiap kali sebuah goresan merah yang baru telah melekat di tubuh orang itu, bahkan kadang-kadang luka yang menitikkan darah. Orang yang menyaksikan perkelahian itu menjadi semakin berdebar-debar. Apalagi mereka yang tidak mengerti kedudukan masing-masing. Mereka hanya melihat Swandaru selalu terdesak, tanpa melihat bagaimana senjatanya berhasil melukai lawannya. Lawan Swandaru yang kekurus-kurusan itu pun mengumpat di dalam hatinya. Sekian lama ia bertempur, namun ia masih belum berhasil menyentuh kulit lawannya. Bahkan kulitnya sendiri yang semakin lama menjadi semakin parah.
“Persetan,” ia menggeram di dalam hatinya.
“Luka-luka ini hanya akan menimbulkan sedikit gangguan pada kulitku. Tetapi aku harus menyentuhnya. Ia akan segera mati sebelum meninggalkan lingkaran perkelahian ini.”
Dengan sepenuh kemampuannya, orang itu sudah bertekad untuk membunuh Swandaru dengan racunnya. Ia sama sekali tidak menghiraukan lagi ledakan-ledakan senjata lawannya. Ujung cambuk yang mengenainya sama sekali tidak dihiraukannya, meskipun kadang-kadang ia harus menyeringai menahan sakit. Meskipun Swandaru berhasil melukai lawannya semakin sering, tetapi Agung Sedayu dan gurunya masih juga selalu dicemaskan oleh senjata lawannya. Orang yang kekurus-kurusan itu seolah-olah sama sekali tidak merasa bahwa kulitnya telah terkelupas di beberapa bagian. Pakaiannya telah menjadi kemerah-merahan karena darah yang meleleh dari setiap jalur luka, meskipun tidak dalam. Swandaru pun kemudian menjadi heran. Kekuatan apakah yang membuat lawannya seperti orang kesurupan. Luka-luka itu seolah-olah sama sekali tidak terasa. Ia masih saja mendesaknya sambil mengayunkan bola besinya yang kecil dan bergerigi itu. Setiap kali menyambar di samping telinganya, kemudian terjulur mematuk lambungnya. Agaknya lawannya tidak memilih tempat di tubuhnya. Manapun yang dapat dikenainya akibatnya sama saja. Bahkan di bagian yang tertutup oleh pakaian, karena gerigi yang tajam itu pasti akan dapat menembusnya.
“Gila,” geram Swandaru di hatinya,
“apakah orang ini menyimpan nafas kuda atau kulitnya memang sudah mati, sehingga ia tidak merasakan sakit sama sekali?”
Namun dengan demikian kemarahan yang merambat di hati Swandaru pun sampai ke puncaknya. Sepercik kegelisahan telah mewarnai hatinya pula,
“Kalau aku tidak segera melumpuhkannya, akulah yang akan dibunuhnya. Aku dan orang ini mempunyai tujuan yang lain. Agaknya ia benar-benar akan membunuh aku,” Swandaru mengerutkan keningnya.
“Kalau saja Guru tidak terlalu lembut hatinya, aku bunuh juga orang ini.”
Dengan demikian, maka terdengar gigi anak muda yang gemuk itu gemeretak. Agung Sedayu yang selalu memperhatikan wajah adik seperguruannya, segera menangkap, betapa hati anak muda yang gemuk itu kini semakin menyala. Dengan demikian, maka perkelahian itu pun menjadi semakin cepat. Swandaru pun telah mengerahkan bukan saja kemampuannya, tetapi juga kekuatannya. Setiap sambaran cambuknya kini menjadi kian berbahaya. Dan setiap sentuhan juntai berkarah besi itu, menjadi semakin dalam menyobek kulit.

Orang yang kekurus-kurusan itu pun setiap kali terpaksa menahan sakit yang menyengat. Ia merasakan pula, bahwa lecutan cambuk lawannya menjadi semakin keras. Tetapi hatinya yang sekeras batu sama sekali tidak menahannya. Ia maju terus tanpa menghiraukan badannya yang seakan-akan sudah menjadi arang keranjang oleh goresan-goresan ujung cambuk lawannya. Namun dalam pada itu, karena Swandaru yang baru saja sembuh dari sakitnya masih belum mendapatkan segenap kekuatan dan kemampuannya kembali, semakin lama menjadi semakin lelah. Apalagi setelah ia memeras segenap kemampuan dan tenaganya. Setiap kali ia harus meloncat menghindari sambaran dan patukan bola besi beracun itu, kemudian mengerahkan segenap tenaganya untuk mengayunkan cambuknya. Kadang-kadang sundul puyuh, kadang sendal pancing. Bahkan ia pun menjadi ngeri juga melihat lawannya yang seakan-akan sudah menjadi merah karena darah. Namun ia masih juga maju dengan beraninya, seakan-akan sama sekali tidak terjadi apa pun padanya.
“Gila,” desis Swandaru,
“apakah aku berhadapan dengan anak setan Alas Mentaok, atau orang itu telah kesurupan sehingga daya tahannya menjadi lipat sepuluh dari daya tahan manusia wajar, atau memang aku sedang bertempur dengan salah satu dari jenis hantu di Alas Mentaok ini?”
Tetapi Swandaru tidak sempat merenungi pertanyaan yang mengganggunya itu. Ia masih harus bertempur terus. Dalam pada itu nafasnya semakin lama menjadi semakin cepat mengalir lewat lubang hidungnya, sedang kekuatannya pun semakin lama menjadi semakin susut pula.
“Sebentar lagi, aku akan kehilangan kekuatan untuk melawannya,” ia berdesis oleh kesadarannya bahwa ternyata setelah ia sakit kekuatannya masih belum pulih seluruhnya.
Agung Sedayu dan Kiai Gringsing pun menjadi semakin tegang pula menyaksikan perkelahian itu. Meskipun cambuk Swandaru sudah berhasil melukai tubuh lawannya bahkan tidak sekadar di satu dua tempat, namun ia masih belum berhasil mengurangi ketangkasan orang yang kekurus-kurusan itu. Senjatanya yang beracun itu masih tetap menyambar-nyambar dan mematuk mengerikan. Agung Sedayu yang hampir tidak dapat menguasai perasaan cemasnya, tanpa sesadarnya bergeser maju. Tetapi gurunya menggamitnya sambil berbisik,
“Kita menunggu sejenak. Aku melihat sesuatu.”
Agung Sedayu tertegun sejenak. Ia memang tidak akan dapat begitu saja memasuki arena, karena meskipun tanpa berjanji, adik seperguruannya seolah-olah sedang melakukan perang tanding seorang lawan seorang. Tetapi ia pasti tidak akan sampai hati melihat kegagalan Swandaru yang masih belum pulih kembali kekuatannya, apalagi ia sudah harus berkelahi melawan dua orang berturut-turut.
“Itu tidak adil,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.
Namun demikian ia tidak bergeser maju lagi. Ia mematuhi pesan gurunya.
“Tetapi, apakah yang sudah dilihat oleh Guru?” pertanyaan itu telah tumbuh di dalam hatinya.
Ketika ia berpaling sedikit, dilihatnya gurunya mengamati perkelahian itu dengan sangat tegangnya, seolah-olah ia sedang memperhitungkan setiap gerak dari keduanya.
“Nafas Adi Swandaru sudah hampir putus, Guru,” bisik Agung Sedayu.
Kiai Gringsing sama sekali tidak menyahut. Tetapi ia masih mengikuti perkelahian itu. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kini ia pun memperhatikan setiap gerak dari kedua belah pihak yang terjadi di arena. Swandaru masih tetap selalu bergeser surut. Keringatnya telah membasahi seluruh tubuhnya, sedang nafasnya menjadi semakin terengah-engah. Cambuknya sudah tidak begitu lincah lagi, meskipun di saat-saat yang berbahaya, Swandaru masih dapat menghentakkan tangannya, dan di tubuh lawannya bertambah lagi seleret luka.
Sejenak kemudian agaknya perkelahian itu sudah memanjat sampai ke puncaknya. Orang yang kekurus-kurusan itu menjadi semakin liar. Ia semakin mendesak maju, sedang rantainya yang berujung bola besi bergerigi sebesar kemiri, berputaran semakin cepat. Namun untuk mempertahankan dirinya, Swandaru pun telah mengerahkan segenap tenaganya. Untunglah bahwa pikirannya masih tetap tenang, sehingga meskipun tidak sekuat semula, tetapi ia masih mampu melihat kelemahan-kelemahan pada lawannya yang akhirnya menjadi seperti orang kesurupan itu, yang tidak menghiraukan lagi dirinya, betapapun cambuk Swandaru melecut tubuhnya. Swandaru benar-benar hampir kehabisan akal. Sekali-sekali ia terhuyung-huyung surut. Sebuah lubang yang kecil di atas tanah tempat ia berpijak, telah membuatnya hampir-hampir terbanting jatuh. Pada saat-saat yang demikian, Swandaru telah mencoba memeras otaknya, bagaimana ia dapat menjatuhkan lawannya. Meskipun ia jarang-jarang melakukannya, benar-benar memeras otaknya, namun ia menemukan juga sikap yang dapat menguntungkannya. Lawannya sama sekali tidak menghiraukan lagi sentuhan ujung cambuk Swandaru, sehingga ia menyadari bahwa ia harus menemukan cara lain untuk menghentikan lawannya. Karena itu, selagi lawannya menyerang membabi buta dengan senjata rantainya menyambar-nyambar kepala Swandaru, maka anak yang gemuk itu telah menyerang lawannya dengan caranya. Disambarnya kaki orang yang kekurus-kurusan itu dengan ujung cambuknya. Kemudian, selagi ujung cambuk itu masih melilit pergelangan kaki dengan sekuat-kuat sisa tenaganya, Swandaru telah menghentakkan juntai cambuknya itu.
Ternyata bahwa sisa tenaga Swandaru itu masih cukup kuat. Orang yang kekurus-kurusan itu sama sekali tidak menyangka, bahwa lawannya akan menyerang dengan cara yang aneh itu, apalagi selama ini ia seolah-olah sama sekali tidak menghiraukan lagi serangan-serangan lawannya atas tubuhnya. Karena itu, hentakkan ujung cambuk itu telah mengait kakinya dan seakan-akan menariknya dengan serta-merta. Hentakkan itu benar-benar tidak dapat dilawannya. Sejenak ia terhuyung-huyung, namun kemudian dengan kerasnya ia terbanting jatuh di tanah. Swandaru sendiri yang telah mengerahkan sisa tenaganya, ternyata hampir tidak mampu lagi untuk berdiri tegak. Dengan nafas yang terengah-engah ia mencoba menarik cambuknya yang masih melilit di kaki lawannya yang kini terbanting di tanah. Bagaimanapun juga, Swandaru tidak mau membiarkan dirinya diterkam oleh keganasan racun senjata lawannya. Karena itu, ia masih harus tetap berusaha melawan dengan senjatanya. Namun ternyata Swandaru tidak segera berhasil. Tenaganya sudah tidak cukup mampu untuk menarik cambuknya yang masih melilit di kaki lawannya, betapapun ia mencoba. Bahkan akhirnya ia terpaksa menghentikan usahanya ketika nafasnya hampir-hampir menjadi putus karenanya. Tetapi, kemudian ia menjadi heran. Baru setelah ia tidak berhasil menarik senjatanya, ia menyadari, bahwa lawannya yang terbanting jatuh itu sama sekali sudah tidak mampu lagi untuk bangkit. Ternyata setelah ia memeras segenap kemampuan dan tenaganya tanpa menghiraukan apa pun juga itu, sampai jugalah ia pada batas kekuatan jasmaniahnya yang sebenarnya telah tidak mampu lagi mendukung hasratnya yang menyala-nyala di dalam dada. Membunuh lawannya yang gemuk. Karena itu, ketika ia tersentak oleh keadaan yang tidak terlawan lagi itu, serasa punahlah semua tenaganya. Perasaan sakit kini serasa telah mencengkeram seluruh urat nadinya. Pedih dan sakit. Selebihnya, tenaganya serasa telah punah sama sekali.

Swandaru masih berdiri di tempatnya dengan nafas terengah-engah. Tangannya sudah tidak mampu lagi memegang tangkai cambuknya. Bahkan dengan susah payah ia bertahan untuk tetap berdiri di tempatnya. Semua yang menyaksikan akhir dari perkelahian itu menahan nafasnya. Sejenak mereka seolah-olah terpukau oleh peristiwa yang menegangkan itu. Mereka melihat orang yang kekurus-kurusan tergolek di tanah dengan darah yang memerahi pakaiannya, yang robek-robek karena senjata Swandaru, seperti kulitnya yang robek-robek pula. Sedang Swandaru berdiri dengan susah payah mempertahankan keseimbangannya dengan nafas yang terengah-engah. Sejenak, tempat itu telah diliputi oleh suasana yang menegang. Setiap orang berdiri membeku di tempatnya. Sekali-sekali mereka mendengar orang yang kekurus-kurusan itu mengaduh perlahan-lahan, sedang nafas Swandaru mengalir semakin tidak teratur. Bahkan kemudian Swandaru tidak berhasil lagi bertahan berdiri di tempatnya. Perlahan-lahan ia menjatuhkan diri dan duduk di tanah. Dalam pada itu, selagi mereka dicengkam oleh keadaan yang menegangkan, seorang petugas maju mendekati Swandaru. Sambil bertolak pinggang ia berkata lantang,
“Kau sudah membuat onar di sini. Atas nama kekuasaan Ki Gede Pemanahan dan puteranya Mas Ngabehi Loring Pasar, kau dan kedua orang yang kini aku ragukan, apakah mereka benar-benar saudaramu dan ayahmu itu, aku tangkap.”
Swandaru yang masih duduk di tanah terkejut. Tetapi sebelum ia menyahut, Agung Sedayu telah melangkah maju mendekati petugas itu sambil bertanya,
“Apakah kesalahan kami?”
“Kau sudah membuat onar, sehingga di sini terjadi perkelahian.”
“Siapakah yang sebenarnya sudah mulai?”
“Lihat akibat dari perbuatanmu ini. Kau harus sadar, bahwa kau tidak hidup seperti binatang di dalam rimba ini. Anak yang gemuk ini sudah membuat seseorang menjadi luka parah.”
“Tetapi bukan maksudnya. Bukan maksud kami menumbuhkan pertentangan di sini.”
“Aku tidak peduli, apakah kau bermaksud demikian atau tidak. Tetapi yang terjadi adalah bukti yang tidak dapat kau ingkari.”
“Tetapi apakah kau tidak mengikuti perkembangan keadaan yang sebenarnya, sehingga kau mengambil kesimpulan yang salah, bahwa kamilah yang telah bersalah?”
“Jangan banyak bicara. Kau berbicara dengan petugas yang mendapat kekuasaan dari Ki Gede Pemanahan.”
“Lalu?”
“Kau harus tunduk kepada kami. Kau akan kami tangkap, kami ikat dan kami bawa menghadap Ki Gede Pemanahan.”
“Menarik sekali. Tetapi barangkali orang-orang itulah yang pantas kau tangkap.”
“Tidak. Kalian bertiga.”
“Tunggu,” tiba-tiba terdengar suara yang lain. Ketika mereka berpaling, mereka melihat Wanakerti mau mendekati petugas itu. “Sebenarnya tidak pantas kalau kita berselisih pendapat. Apalagi di hadapan orang-orang yang seharusnya kita awasi, kita bimbing dan kita arahkan selagi mereka bekerja di sini. Tetapi aku juga tidak dapat tinggal diam melihat kesalah-pahaman ini.”
“Apa yang kau anggap dengan salah paham itu?” bertanya petugas yang ingin menangkap Swandaru. Seorang yang berwajah keras seperti batu. Berkumis lebat dan berjanggut jarang.
“Sebenarnyalah kita harus berbicara dulu. Kita bersama-sama akan menentukan siapakah yang bersalah di dalam hal itu. Terutama kita harus menghiraukan pimpinan kita di sini. Ingat, kita terikat di dalam ketentuan tugas dan wewenang. Kita mempunyai pemimpin yang dapat memberikan bimbingan di dalam tugas kita.”
“Persetan,” berkata orang berkumis itu,
“lihat. Apakah yang dilakukan oleh pemimpin kita di dalam keadaan yang gawat ini? Lihat, ia hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya sambil mencabuti janggut. Aku tidak mempedulikannya.”
Pemimpin dari para petugas, yang sebenarnya masih belum mempunyai sikap apa pun itu, tiba-tiba merasa terhina. Selangkah ia maju sambil berkata,
“Jangan berkata begitu. Aku memang tidak bersikap dengan tergesa-gesa. Tetapi kau jangan menyebut aku tidak dapat berbuat apa-apa.”
“Apa yang sudah kau lakukan, he?” bertanya orang berkumis itu.
Pemimpin para pengawas itu berdiri tegang memandangi wajah orang berkumis itu. Sejenak ia tidak mengucapkan kata-kata. Namun sejenak kemudian ia berkata,
“Akulah yang paling berkuasa di sini, berdasarkan limpahan kekuasaan dari Ki Gede Pemanahan.”
“Omong kosong,” bantah orang berkumis itu,
“aku akan membuktikan, bahwa Ki Gede Pemanahan akan membenarkan sikapku.”
“Kau jangan memperbodoh kami. Kami tahu pasti, bahwa ada ketidakwajaran di antara kalian. Kau, orang yang gagah itu, dan orang yang sudah dikalahkan oleh anak yang gemuk ini.”
“Apa maksudmu?”
“Setiap hidung akan merasakan kejanggalan perbuatanmu ini. Di dalam keadaan yang seperti ini, tiba-tiba kau tampil dan akan menangkap ketiga orang ini. Itu adalah mustahil. Kita harus bersikap adil. Sebaiknya kedua pihak kita hadapkan kepada Ki Gede Pemanahan karena keonaran ini.”
“Itu tidak perlu. Yang dua orang ini kita sudah mengenal sejak lama. Mereka adalah orang-orang yang bertanggung jawab selama ini. Dengan maksud baik berbuat untuk kawan-kawannya. Tetapi yang tiga orang ini memang keras kepala.”
“Aku yang menentukan. Aku yang memutuskan.”
Sejenak keadaan menjadi semakin tegang. Agung Sedayu kini bahkan berdiri termangu-mangu seperti juga Wanakerti. Sedang Kiai Gringsing mengikuti setiap perkembangan keadaan dengan saksama. Dalam pada itu orang yang berkumis itu pun menjadi gelisah. Agaknya ia tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Namun ia kini berhadapan dengan pimpinannya. Karena itu ia hanya dapat menghentak-hentakkan kaki sambil menggeretakkan giginya. Dalam pada itu, selagi orang-orang yang berdiri di sekitar tempat itu dicengkam oleh ketegangan, tiba-tiba mereka hampir terlonjak di tempatnya ketika mereka mendengar pemimpin pengawas itu tiba-tiba mengaduh sambil terhuyung-huyung. Kiai Gringsing yang berdiri selangkah daripadanya, masih sempat meloncat dan menahannya, ketika pemimpin pengawas itu roboh. Dengan dada yang berdebaran dilihatnya sebuah pisau belati yang menancap di punggung pemimpin pengawas itu. Selagi Kiai Gringsing menahan pemimpin pengawas yang menjadi lemah, maka Agung Sedayu sempat meloncat ke luar dari lingkaran orang-orang yang sedang berbantah. Ia sempat melihat sesosok tubuh berdiri di atas batu padas. Bahkan Agung Sedayu masih melihat orang itu menggerakkan tangannya melemparkan pisau ke arahnya. Untunglah bahwa Agung Sedayu mempunyai bekal ilmu yang cukup. Dengan tangkasnya ia menghindar. Sambil meloncat ke samping ia memiringkan tubuhnya, sehingga pisau itu meluncur di sisinya. Tetapi orang di atas batu padas itu tidak segera menghentikan serangannya. Sebelum Agung Sedayu sempat memperbaiki kedudukannya, sebuah pisau yang lain telah meluncur mengarah ke dadanya. Dalam keadaan yang sulit, Agung Sedayu masih sempat menjatuhkan dirinya, meskipun ia masih tetap memperhitungkan bahwa pisau berikutnya akan menyambarnya pula. Perhitungannya ternyata benar. Ia terpaksa berguling sekali ketika sebilah pisau meluncur sekali lagi.

Orang-orang yang menyaksikan hal itu, bagaikan tonggak-tonggak mati yang membeku di tempatnya. Mereka rasa-rasanya sedang bermimpi menyaksikan pameran ketangkasan yang luar biasa. Ketangkasan melontarkan pisau, dan ketangkasan menghindarinya. Namun jantung mereka serasa menjadi berhenti berdetak, ketika mereka melihat Agung Sedayu terpaksa berguling-guling menghindari serangan lawannya. Namun Agung Sedayu sendiri sudah tentu tidak mau membiarkan dirinya menjadi sasaran serangan tanpa berbuat sesuatu. Ketika ia mendapat kesempatan, maka tiba-tiba ia meloncat berdiri. Hampir tidak kasat mata, bagaimana ia melakukan. Tetapi Agung Sedayu sudah membalas serangan-serangan pisau itu. Dengan sekuat tenaganya ia melempar orang yang berdiri di atas batu padas itu. Tidak dengan pisau, tetapi dengan batu sebesar telur ayam yang disambarnya pada saat ia berguling-guling di tanah. Ternyata Agung Sedayu masih memiliki kecakapannya membidik yang dipelajarinya sejak kanak-kanak. Sejak ayahnya masih ada. Ayahnya pun adalah seorang pembidik yang baik. Jangankan sasaran yang seakan-akan terpancang di atas batu padas, sedangkan sasaran yang bergerak di udara pun, Agung Sedayu mampu mengenainya. Itulah sebabnya, maka sejenak kemudian, terdengar pekik kesakitan. Orang yang berdiri di atas batu padas itu terhuyung-huyung sejenak dan kemudian jatuh terguling di tanah. Agung Sedayu tidak menunggu lebih lama lagi. Ia pun segera berlari mendapatkan orang itu.
“Berhenti di situ!” tiba-tiba terdengar pengawas yang berkumis lebat itu berteriak.
Agung Sedayu tertegun sejenak. Ketika ia berpaling, dilihatnya orang yang berkumis itu berjalan tergesa-gesa mendekatinya.


Halaman 1 2 3


<<< Jilid 053                                                                                                       Jilid 055 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar