Wajah orang yang tinggi kekar itu menjadi merah padam. Ia pun mengerti pula, bahwa Swandaru kini dapat menilai kemampuannya. Namun demikian orang yang tinggi kekar itu tidak segera menyerah kepada keadaan. Benturan itu memang bukan penentuan. Karena itu, ia pun segera mempersiapkan diri. Namun sikap Swandaru kemudian justru sangat menyakitkan hatinya. Anak yang gemuk itu berjalan seperti ayam aduan menghadapi lawannya yang sudah terikat kedua belah kakinya.
“Setan alas!”
orang yang tinggi itu mengumpat.
“Jangan
menyebut nama itu. Kalau ada hantu yang mendengar, ia akan marah. Bukankah di
sini banyak hantu?” berkata Swandaru.
“Sebutlah yang
lain, jangan setan alas. Apalagi Alas Mentaok. Sebutlah setan gunung atau setan
jurang atau setan apa pun.”
Kemarahan
orang itu benar-benar serasa meledakkan dadanya. Karena itu ia tidak menyahut
lagi. Dengan serta-merta ia meloncat menyerang Swandaru. Kali ini ia telah
mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya. Swandaru yang sebenarnya sama
sekali tidak kehilangan kewaspadaan, segera menghindar. Tangan orang yang
tinggi kekar itu terjulur di samping dadanya. Dengan serta-merta Swandaru
memutar tubuhnya sambil menangkap tangan itu. Dengan sekuat tenaga Swandaru
menarik tangan orang itu lewat di atas pundak, sedang tubuhnya merendah di atas
lututnya, membelakangi lawannya. Orang itu tidak sempat berbuat apa-apa lagi.
Terdorong oleh kekuatannya sendiri, ditarik pula oleh kekuatan Swandaru, maka
orang yang tinggi bertubuh kekar itu terpelanting lewat di atas kepala
Swandaru. Setelah sekali ia terputar di udara, maka ia pun kemudian terlempar
dan jatuh terbanting di tanah. Setiap mulut hampir saja berteriak melihat hal
itu. Tetapi setiap mulut itu pun tertahan oleh bibir yang terkatup rapat.
Bahkan ada di antara mereka yang menutup mulutnya dengan telapak tangannya. Bukan
saja orang-orang yang tinggal di dalam barak, tetapi para pengawas pun menjadi
sangat kagum melihat cara Swandaru menguasai lawannya yang lebih tinggi dan
besar daripadanya. Apalagi melihat tubuh Swandaru yang gemuk itu, mereka
menjadi terheran-heran melihat kelincahannya. Sejenak orang yang tinggi kekar
yang masih terbaring di tanah itu menggeliat. Mulutnya menyeringai menahan
sakit. Tangannya ditekankan pada lambungnya yang agaknya menjadi sangat sakit. Sejenak
orang itu tidak segera mampu berdiri. Perlahan-lahan ia berusaha duduk.
Meskipun, matanya menjadi merah oleh kemarahan yang memuncak, tetapi ia
benar-benar tidak segera dapat bangun.
“Anak iblis!”
ia mengumpat.
Swandaru masih
berdiri di tempatnya. Ditatapnya saja wajah orang itu. Wajah yang menjadi
semakin tegang. Namun dalam pada itu, perhatian setiap orang kini berpindah.
Tiba-tiba saja orang yang kekurus-kurusan melangkahi mendekati orang yang
tinggi kekar, yang masih saja duduk di tanah.
“Berdirilah,”
katanya.
Orang itu
tidak menjawab. Tetapi ia tidak segera berdiri.
“Marilah, aku
tolong,” berkata orang yang kurus itu.
Maka orang
yang tinggi kekar itu pun dibantunya berdiri. Meskipun dengan susah payah,
akhirnya ia dapat tegak di atas kedua kakinya.
“Apakah kau
masih mampu berkelahi?” orang yang kekurus-kurusan itu bertanya.
Sekali orang
yang tinggi itu menggeliat. Namun ia tidak segera menjawab.
“Apakah kau
masih mampu berkelahi?” orang yang kekurus-kurusan itu bertanya lagi. Lalu,
“Inilah
kebodohan kita. Orang-orang ini adalah orang-orang yang dengan sengaja ingin
membuat kisruh di tempat ini. Mereka memang bukan orang kebanyakan. Anak yang
gemuk ini telah mampu membantingmu. Agaknya kau menganggapnya terlampau rendah.
Sekarang, hati-hatilah. Bersungguh-sungguhlah. Kalau perlu, kau dapat
mempergunakan senjatamu. Aku akan mengawasi ayah dan kakaknya. Mereka pun bukan
orang-orang kebanyakan.”
Orang yang
tinggi kekar itu menjadi ragu-ragu. Tanpa sesadarnya ia meraba ikat pinggangnya
yang besar. Swandaru berdiri membeku di tempatnya. Demikian juga Agung Sedayu
dan Kiai Gringsing. Mereka memang melihat hubungan dari keduanya. Tetapi kini
semakin ternyata bahwa keduanya memang bukan orang lain. Keduanya pasti
mempunyai ikatan lebih dari kawan di dalam pembukaan hutan ini. Namun yang
mengherankan, agaknya orang yang kekurus-kurusan itulah yang mempunyai pengaruh
yang lebih besar daripada orang yang tinggi kekar, sehingga seandainya
benar-benar mereka mempunyai ikatan tertentu, maka orang yang kekurus-kurusan
itu pasti mempunyai kedudukan selapis lebih tinggi. Dalam pada itu, wajah
Swandaru, Agung Sedayu, dan Kiai Gringsing menegang, ketika mereka melihat
orang yang tinggi kekar itu tiba-tiba mencabut sepasang pisau di kedua
tangannya.
“Nah, tidak
ada salahnya kalau kau mempergunakannya,” berkata orang yang kekurus-kurusan
itu.
“Bahkan kalau
terpaksa orang-orang itu mati, sama sekali bukan salah kita. Mereka telah
melawan ketentuan yang ada di sini.”
“Tunggu,” sela
Kiai Gringsing,
“siapakah yang
berhak mengawasi daerah ini? Kalau ada pelanggaran atau perlawanan terhadap
peraturan yang berlaku, siapakah yang berhak bertindak?”
“Persetan,” desis
orang yang kekurus-kurusan,
“kami akan
berjasa kalau kami dapat membantu melakukan tugas para pengawas.”
“Demikian juga
kami,” tiba-tiba saja Swandaru menyahut.
Orang yang
kekurus-kurusan, orang yang tinggi kekar, dan orang-orang yang ada di sekitar
arena itu pun menjadi heran.
“Kami juga
merasa membantu para petugas, apabila kami dapat membuat kalian jera. Kalian
adalah orang-orang yang sama sekali tidak menghargai orang lain, termasuk para
petugas yang ada di sini. Justru kalian menganggap beberapa petugas yang ada
itu sama sekali tidak mampu berbuat apa-apa, sehingga kalian perlu membantu
mereka.”
“Diam!” teriak
orang yang kekurus-kurusan.
Suara
teriakannya telah mengejutkan setiap orang yang mendengarnya. Suara itu keras,
lantang dan berat, sehingga sama sekali berbeda dengan sifat-sifat yang setiap
kali dilihat oleh orang-orang di dalam barak itu. Orang yang kekurus-kurusan
itu sering menggigil ketakutan apabila ia melihat sesuatu, bahkan kesannya ia
adalah seorang penakut yang cengeng. Tetapi kini tiba-tiba saja ia menjadi
sangat garang dan kasar.
“Jangan
biarkan ia berbicara lagi. Bunuhlah kalau kau terpaksa melakukannya. Kau dan
kita semua, tidak akan dihukum oleh siapa pun.”
Orang yang
bertubuh kekar itu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba matanya menjadi liar dan
kemerah-merahan, sedang kedua pisau di tangannya menjadi gemetar. Sekilas
Swandaru memandang mata pisau yang bergetar itu. Dadanya menjadi berdebar-debar
ketika tampak olehnya bahwa daun pisau itu berwarna hitam kemerah-merahan. Sama
sekali tidak putih mengkilap seperti sebilah pedang. Gurunya melihat pula warna
itu, sekaligus melihat keraguan Swandaru. Karena itu, maka ia pun kemudian
berkata,
“Hati-hatilah
atas sepasang pisau itu.”
Orang yang
kekurus-kurusan dan orang yang tinggi kekar itu pun berpaling kepadanya,
sementara Kiai Gringsing berkata terus,
“Pisau itu
berbahaya bagimu. Setiap goresan di kulitmu, akibatnya akan sangat berbahaya
bagimu. Ingat, orang-orang itu adalah orang-orang yang senang sekali
bermain-main dengan racun. Demikian juga pisau itu. Pisau itu tidak sekedar
diberi warangan biasa, tetapi warangan yang mengandung racun yang paling
tajam.”
“Persetan
dengan igauanmu,” potong orang yang kekurus-kurusan.
“Tetapi jangan
takut,” berkata Kiai Gringsing pula,
“kau adalah
orang yang kebal, setidak-tidaknya telah dibekali dengan berbagai macam obat
untuk melawan racun. Berapa kali kau hampir mati karena racun. Tetapi kau masih
tetap hidup sampai sekarang.”
Tetapi suara
Kiai Gringsing terputus ketika orang yang kekurus-kurusan itu berteriak,
“Jangan
hiraukan kicau orang tua itu. Cepat, lakukanlah tugas ini sebaik-baiknya.”
Orang yang
tinggi kekar itu memang tidak menunggu lagi. Perlahan-lahan ia maju mendekati
Swandaru. Meskipun tenaganya kini sudah jauh berkurang, namun sepasang pisau
itu benar-benar telah mendebarkan jantung. Pisau yang beracun itu seakan-akan
terayun-ayun di tangan orang yang tinggi itu. Sekali-sekali berputar dan
sekali-sekali terjulur lurus ke depan.
“Gila,” berkata
Swandaru di dalam hatinya.
“Untunglah,
bahwa tenaganya sudah hampir habis. Nafasnya pun agaknya sudah hampir putus.
Kalau aku dapat menghindar terus-menerus, tanpa perlawanan apa pun, ia pasti
akan berhenti dengan sendirinya, kehabisan nafas.”
Demikianlah,
maka sejenak kemudian orang itu pun sudah mulai menyerang. Meskipun geraknya
tidak lagi terlampau cepat, tetapi kini ia memusatkan serangannya pada ujung
pisaunya. Swandaru merasa, bahwa ia harus benar-benar berhati-hati. Menurut
gurunya, racun itu adalah racun yang sangat kuat. Sehingga karena itu, maka ia
pun selalu menghindari serangan-serangan yang segera datang beruntun. Dengan
ragu-ragu Swandaru mencari kesempatan untuk menyerang. Tetapi sepasang pisau
itu benar-benar sangat berbahaya. Sekali ia memang melihat pertahanan orang itu
terbuka. Namun ternyata Swandaru cukup waspada juga karena ia melihat
jebakan-jebakan yang akan menyeretnya untuk berpelukan dengan maut. Dalam pada
itu, ternyata untuk beberapa saat Swandaru sama sekali tidak berdaya menghadapi
kedua pisau beracun itu. Ia sama sekali tidak mau tergores meskipun hanya
seujung rambut. Dengan demikian, maka ia hanya dapat berloncatan mundur dan
berputar di arena perkelahian itu tanpa mendapat kesempatan sama sekali untuk
menyerang.
“Selesaikan
saja anak itu,” berkata orang yang kekurus-kurusan.
Tetapi seperti
yang diperhitungkan oleh Swandaru, maka orang itu pun sudah menjadi semakin
lelah. Nafasnya menjadi terengah-engah dan keringatnya sudah membasahi seluruh
permukaan kulitnya.
“Apakah kau
masih mampu mempergunakan tenagamu terakhir,” bertanya orang yang
kekurus-kurusan.
Orang itu
menggeram. Ditatapnya wajah Swandaru yang menegang sejenak. Tetapi Swandaru itu
justru kemudian tersenyum sambil menjawab,
“Mari kita
berlomba lari. Berputar-putar di arena ini. Pada suatu saat, tanpa perlawanan
apa pun kau akan pingsan. Nafasmu tinggal tersangkut di ujung hidungmu.”
“Licik,” teriak
orang yang kekurus-kurusan,
“Kau sangat
licik. Itu bukan perbuatan jantan.”
“Senjata itu
sangat berbahaya,” sahut Swandaru.
“Sentuhan yang
tidak berarti dapat membuatku mati. Dan aku tidak mau. Lebih baik kita
berkejar-kejaran sampai kawanmu itu pingsan sendiri.”
“Kenapa kau
tidak pulang saja?” bertanya orang yang kekurus-kurusan.
“Kenapa?”
bertanya Swandaru.
“Menanak nasi
seperti perempuan. Kalau kau laki-laki, kau tidak akan berkelahi dengan cara
itu. Kau pasti akan berusaha melawan meskipun akibatnya mati.”
Wajah Swandaru
menegang kembali. Terasa darahnya melonjak mendengar penghinaan itu. Dan orang
yang kekurus-kurusan itu masih berkata,
“Nah, apa
katamu sekarang? Orang-orang di sekitar kita menjadi saksi, bahwa ternyata kau
adalah orang yang hanya dapat berteriak-teriak tanpa arti.”
Sejenak
Swandaru tidak menyahut. Namun kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya
sambil berkata,
“Jadi menurut
penilaianmu sekarang ini akulah yang licik meskipun kawanmu yang menggenggam
senjata yang ganas itu?”
Pertanyaan itu
benar-benar tidak diduga-duga. Orang yang kekurus-kurusan itu mengharap
Swandaru marah dan langsung menyerang. Tetapi agaknya anak yang gemuk itu masih
saja dapat menahan diri. Karena itu justru ia sendirilah yang menjadi tidak
sabar lagi. Katanya kepada orang yang tinggi kekar,
“Nah, kau
telah cukup mendapat istirahat. Lakukanlah sekarang. Kejar anak gemuk itu
sampai dapat. Kalau ia menghadapkan dadanya tikamlah dadanya. Kalau ia lari
tikamlah punggungnya.”
“Kalau aku
miring?” bertanya Swandaru.
“Gila,” teriak
orang yang kekurus-kurusan. “Lakukan sekarang!”
Orang yang
kekar itu menggeram, ia maju selangkah demi selangkah dengan wajah yang semakin
liar. Dalam pada itu Swandaru menjadi lebih berhati-hati menghadapinya. Namun
demikian ia memang merasa, kalau dengan cara ini maka perkelahian akan
berlangsung terlalu lama. Ia harus menemukan kesempatan yang sebaik-baiknya
untuk mengalahkan lawannya, tetapi kulitnya sendiri tidak tergores ujung
senjata beracun itu. Namun akhirnya Swandaru menarik nafas ketika gurunya
berkata,
“Sudahlah,
jangan biarkan permainan ini berlangsung terlampau lama. Bukankah kita ini
gembala yang baik, yang masih tetap menyimpan cambuk kita masing-masing?
Pergunakan cambukmu untuk mencegah pisau-pisau beracun itu.”
Agung Sedayu
menegang sejenak, memandangi wajah gurunya. Tetapi ia pun segera
mengangguk-angguk. Gurunya sama sekali tidak sekedar diburu oleh kegelisahan.
Namun agaknya gurunya memang merasa tidak perlu lagi menyembunyikan
cambuk-cambuk ini. Sebagian dari cirri-ciri dirinya sudah mulai
diperlihatkannya. Swandaru yang semula juga ragu-ragu, kemudian tersenyum
ketika ia melihat gurunya mengangguk-anggukkan kepalanya. Bahkan ia masih sempat
berkata,
“Apakah aku
harus menggembalakan pisau ini?”
Sebelum Kiai
Gringsing menjawab, orang yang tinggi kekar itu sudah mulai menyerangnya sambil
menggeram,
“Persetan
dengan gembala gila seperti kalian.”
Swandaru masih
harus meloncat menghindar. Namun kemudian ketika ia berdiri di atas sepasang
kakinya, tangannya sudah menggenggam cambuknya yang diurai dari bawah bajunya.
“Nah,”
katanya,
“sekarang kita
masing-masing sudah bersenjata. Senjatamu adalah senjata seseorang yang
menguasai racun, sedang senjataku adalah senjata seorang gembala.”
Mata orang
yang tinggi kekar itu menjadi merah padam. Sejenak dipandanginya ujung cambuk
Swandaru. Namun kemudian ia menggeram,
“Persetan! Kau
sangka aku sekedar seekor kambing domba yang ketakutan mendengar bunyi cambuk.”
Swandaru tidak
menjawab. Tetapi diputarnya cambuknya di atas kepalanya. Sudah agak lama ia
tidak mempergunakan cambuk itu, sehingga ia merasa perlu untuk melemaskan
otot-otot pergelangan tangannya. Orang yang tinggi kekar itu pun tidak sabar
lagi. Dengan satu loncatan yang panjang ia menyerang, menyusup di bawah putaran
cambuk Swandaru. Namun, meskipun sudah agak lama Swandaru tidak mempergunakan
cambuknya, ia masih tetap cukup lincah menguasai senjatanya. Ketika sebuah
ledakan melengking, maka terdengarlah keluhan tertahan. Orang yang tinggi besar
itu dengan serta-merta meloncat surut. Sebuah goresan yang kemerah-merahan
telah melekat di kakinya.
“Setan alas!”
ia mengumpat. Ketika ia melangkah maju, ternyata kakinya menjadi timpang.
Swandaru tidak
membiarkannya lagi. Ia pun segera mendesak. Yang menjadi pusat perhatiannya
adalah sepasang pisau beracun itu. Karena itu, maka dengan tiba-tiba ia pun
menyerang. Sekali lagi cambuknya meledak. Kali ini mengenai pergelangan tangan
orang yang tinggi kekar itu. Sekali lagi sebuah keluhan terdengar. Bahkan
kemudian disusul dengan umpatan yang kasar. Bukan saja pergelangan tangannya
berdarah, tetapi satu pisaunya telah terlepas dari tangannya.
“Hem,” orang
yang kekurus-kurusan berdesah,
“orang ini
memang luar biasa. Minggirlah,” katanya kemudian kepada orang yang tinggi itu,
“aku akan mencobanya.”
Kiai Gringsing
sama sekali tidak terkejut mendengar kata-kata orang yang kekurus-kurusan. Ia
memang sudah menyangka, bahwa orang yang tampaknya sebagai seorang penakut itu,
pasti mempunyai kelebihan dari orang yang tinggi kekar, yang tampaknya
sehari-hari adalah orang yang tidak terkalahkan di barak itu. Bahkan para
penjaga pun takut kepadanya, karena ia memiliki kekuatan raksasa. Namun,
meskipun orang yang kekurus-kurusan ini agaknya tidak memiliki kekuatan
jasmaniah sebesar orang yang tinggi kekar itu, tetapi agaknya orang ini
memiliki ilmu yang lebih masak. Selain Kiai Gringsing, maka orang-orang yang
menyaksikan perkelahian itu menjadi heran. Mereka sama sekali tidak menyangka,
bahwa orang yang kekurus-kurusan itu pada suatu saat dapat berbuat seperti itu
seolah-olah memiliki kemampuan lebih besar dari orang yang tinggi dan kekar
itu. Namun para petugas yang ada di tempat itu pun segera dapat mengetahui,
bahwa sebenarnya orang yang kekurus-kurusan itu memang mempunyai kelebihan dari
orang yang tinggi kekar itu. Swandaru yang masih memegang cambuknya berdiri
termangu di tempatnya. Ia melihat orang yang tinggi kekar itu masih menyeringai
menahan sakit.
“Simpan
pisaumu,” berkata orang yang kekurus-kurusan itu.
“Jangan sampai
pisaumu menyentuh lukamu sendiri. Kau akan segera mati karenanya.”
Orang yang
tinggi kekar itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Segera ia menyarungkan pisau
yang masih di genggamnya.
“Ambil yang
satu,” berkata Swandaru.
“Kalau
mengenai anak-anak yang sedang bermain-main, maka kau akan berdosa sepuluh kali
lipat.”
Yang terdengar
adalah gemeretak gigi orang yang tinggi kekar itu. Namun yang berkata adalah
orang yang kekurus-kurusan.
“Jangan marah.
Sepantasnya kau memang hanya menakut-nakuti anak-anak. Tetapi kalau kau bertemu
dengan lawan yang agak kuat, kau tidak dapat berbuat apa-apa.”
Orang itu sama
sekali tidak menjawab. Setapak demi setapak ia melangkah mendekati pisaunya.
“Ambil,” berkata
Swandaru.
“Ya, ambil,”
ulang orang yang kekurus-kurusan.
Orang itu
ragu-ragu sejenak. Tanpa sesadarnya diamat-amatinya pergelangan tangannya yang
terluka dan menitikkan darah.
“Cepat ambil,”
desis Swandaru pula.
“Ya, cepat
ambil,” ulang orang yang kekurus-kurusan.
Meskipun
dengan hati yang bimbang, namun tangannya dijulurkannya pula meraih pisau yang
tergolek di tanah itu. Namun ia terloncat surut ketika tiba-tiba saja ia
dikejutkan oleh cambuk Swandaru yang meledak. Dengan wajah yang tegang ia
berdiri termangu-mangu. Tangannya yang berdarah itu pun menjadi gemetar.
“He, kenapa
kau?” bertanya Swandaru sambil tersenyum.
“Gila,” geram
orang yang kekurus-kurusan,
“ambillah.
Kenapa kau tiba-tiba menjadi pengecut?”
Orang itu
masih berdiri gemetar. Sejenak ditatapnya wajah Swandaru, kemudian wajah orang
yang kekurus-kurusan itu.
“Ambillah!”
teriak orang yang kekurus-kurusan itu.
“Kalau orang
itu akan mengganggumu, biarlah aku putuskan batang lehernya.”
Swandaru
mengerutkan keningnya. Sementara Agung Sedayu menggeleng-gelengkan kepalanya
melihat tingkah laku adik seperguruannya.
“Anak itu
memang bengal,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. Namun sementara itu, ia
melihat bahwa orang yang kekurus-kurusan itu benar-benar merasa terhina oleh
perbuatan Swandaru.
“Orang yang
kekurus-kurusan ini agaknya lebih berbahaya dari kawannya yang tinggi kekar
namun seperti kerbau itu,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.
Sementara itu,
orang yang tinggi kekar itu pun telah melangkah maju dengan penuh
keragu-raguan. Sekali-sekali ditatapnya wajah kawannya yang kekurus-kurusan
itu, kemudian ditatapnya pula wajah Swandaru.
“Cepat,”
berkata orang yang kekurus-kurusan.
Orang yang
tinggi kekar itu hampir terloncat. Dengan secepat-cepatnya, ia meraih pisaunya
yang beracun. Kemudian ia pun segera meloncat mundur. Swandaru tidak dapat
menahan tertawanya, sedang Agung Sedayu pun tersenyum pula tertahan-tahan.
“Kau memang
terlampau sombong anak yang gemuk,” berkata orang yang tinggi kekurus-kurusan
itu.
“Sekarang kau
jangan menyebut dirimu bernama Sangkan. Aku tahu bahwa kau pasti bernama lain.
Dan aku pun kini tahu, selama ini kau berpura-pura menjadi orang-orang bodoh,
miskin dan setengah gila. Tetapi sebenarnyalah bahwa kalian adalah orang-orang
sombong yang tidak ada duanya di dunia. Kini kalian akan membuat semua orang
terkejut. Kalian akan mendapat pujian, sebagai orang-orang bodoh yang ternyata
memiliki kelebihan yang luar biasa.”
“He,”
tiba-tiba Swandaru memotong,
“apakah kau
tidak berbuat seperti itu? Selama ini, orang yang tinggi kekar itu sajalah yang
kau taruh di depan. Kau sendiri selalu bersembunyi di belakang. Bukankah kau
selalu berpura-pura menjadi seorang penakut yang paling ketakutan apabila ada
suara tikus sekalipun? Sekarang kau juga akan tampil sebagai seorang pahlawan.”
“Diam! Diam
kau,” orang yang kekurus-kurusan itu benar-benar telah menjadi marah.
“Aku memang
menunggu kesempatan ini. Selama ini aku memang sedang meyakinkan, bagaimana
kita harus menghadapi hantu-hantu dari Alas Mentaok. Justru untuk kepentingan
kita bersama. Tetapi kedatangan kalian telah merusakkan semua rencanaku. Usaha
yang aku lakukan akan menjadi sia-sia, dan hantu-hantu itu tetap akan marah
kepada kita.”
“He, apakah
kita masih harus berbicara tentang hantu?”
“Gila! Kau
sangka kau, kakakmu, dan ayahmu ini siapa? Betapapun saktinya kalian, kalian
tidak akan dapat berbuat sesuatu di sini tanpa berbicara tentang hantu.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia bertanya,
“Apakah kau
sudah berhasil setelah sekian lama melakukannya?”
Orang yang
kekurus-kurusan itu terdiam sejenak. Ditatapnya saja wajah Swandaru dengan
sorot mata yang memancarkan kemarahan. Namun pertanyaan itu tidak segera
dijawabnya.
“Bagaimana?”
Swandaru mendesaknya.
Orang itu
menggelengkan kepalanya,
“Belum.
Sebenarnya aku memang sudah hampir berhasil. Tetapi kedatangan kalian ini telah
menjauhkan kami dari mereka, sehingga usaha yang sudah lama aku lakukan itu,
menjadi sia-sia. Karena itu, maka kalianlah yang harus menanggung akibat
kegagalan itu. Kalian terpaksa dikorbankan. Sudah lama aku ingin membuat korban
semacam ini untuk hantu-hantu itu. Korban darah. Mudah-mudahan mereka menjadi
lulut dan dapat mengerti keinginan kami.”
“Apakah korban
darah itu?” bertanya Swandaru.
“Sama dengan
korban nyawa.”
Swandaru
mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba saja ia berkata sambil
mengangguk-angguk,
“O, jadi kau
ingin membunuh diri?”
“Persetan!”
kemarahan orang itu sudah memuncak.
Agung Sedayu
masih saja mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak dapat mencegah
Swandaru. Kebiasaannya yang ternyata menyakitkan hati orang yang
kekurus-kurusan itu tidak dapat dihindarinya. Sejenak kemudian maka sambil maju
selangkah orang yang kekurus-kurusan itu menggeram,
“Kini memang
sudah tiba saatnya. Salah satu dari kalian bertiga akan mati, atau kalau kalian
sama-sama maju, maka kalian bertiga akan mati pula bersama-sama. Semakin banyak
korban yang aku berikan, maka kami yang tinggal di sini akan menjadi semakin
aman.”
Swandaru
melihat sorot mata orang itu. Ia benar-benar sudah ada di puncak kemarahannya.
Karena itu, ia kini tidak dapat berkelakar lagi. Sejenak kemudian orang yang
kekurus-kurusan itu pun sudah siap. Dengan wajah yang tegang ditatapnya cambuk
Swandaru. Namun sejenak kemudian ia pun segera melenting menyerang dengan
dahsyatnya. Swandaru memang sudah bersiap menghadapinya. Cambuknya sudah
terlanjur berada di tangannya, sehingga karena itu, maka cambuk itu pun segera
meledak memekakkan telinga. Tetapi orang yang kekurus-kurusan itu memang cukup
tangkas. Ia masih mampu menggeliat menghindarkan dirinya, sehingga cambuk
Swandaru sama sekali tidak mengenainya. Namun dalam pada itu, ketika orang yang
kekurus-kurusan itu tegak berdiri di atas kedua kakinya, di tangannya telah
tergenggam seutas rantai besi yang diambilnya dari kantong ikat pinggangnya.
Rantai itu tampaknya tidak begitu besar, hampir sepanjang lengan tangannya.
Tetapi yang berbahaya dari senjata itu adalah sebuah gerigi pada bola besi
sebesar kemiri. Swandaru menjadi tegang sejenak. Tanpa diberitahukan lagi, ia
sadar, bahwa bola besi yang tampaknya hanya sekecil kemiri itu pasti sangat
berbahaya. Geriginya yang kehitam-hitaman itu pasti mengandung racun seperti
pisau belati orang yang tinggi besar itu.
Ternyata
gurunya membenarkan dugaannya itu. Dengan sungguh-sungguh Kiai Gringsing
berdesis,
“Hati-hatilah
dengan bola kecil yang bergerigi itu, Swandaru.”
Swandaru
menganggukkan kepalanya. Dan ia pun menjadi kian berhati-hati.
Sejenak
kemudian bola kecil itu sudah berputaran seperti baling-baling. Untunglah bahwa
Swandaru pun mempergunakan senjata yang hampir sejenis. Ujung cambuknya adalah
senjata yang lentur, meskipun tidak kurang berbahayanya. Kalau Swandaru
bersungguh-sungguh mempergunakan senjata itu, maka lecutan sendal pancing
apabila menyentuh tubuh lawannya, pasti akan menyobek kulit, karena karah-karah
besi yang melingkar pada juntai cambuk itu. Sejenak kemudian keduanya sudah
berhadapan kembali. Sejenak mereka bergeser beberapa tapak. Sedang orang-orang
yang menyaksikan perkelahian itu menjadi semakin berdebar-debar. Mereka pun
berdesakan surut beberapa langkah, karena orang yang kekurus-kurusan itu selalu
memutar rantai yang berbola di ujungnya. Dengan sedikit membungkukkan badannya,
Swandaru bersiap menghadapi setiap kemungkinan. Digenggamnya tangkai cambuknya
dengan tangan kanannya, sedang ujungnya dipegangnya dengan tangan kiri. Namun
demikian, cambuk itu siap meledak setiap saat. Perkelahian yang seru itu tidak
dapat dihindarkannya lagi. Dengan garangnya orang itu menyerang Swandaru dengan
ujung rantainya. Sejenak bola itu melingkar-lingkar di udara, namun kemudian
menukik menyerang dengan cepatnya. Selagi Swandaru menghindarinya, maka bola
itu seperti kepala seekor ular mematuknya dari arah yang lain. Orang yang
kekurus-kurusan itu benar-benar menguasai senjatanya yang sangat berbahaya itu.
Seperti senjata-senjata beracun lainnya, setiap sentuhan akan berarti maut. Tetapi
Swandaru pun mampu mempergunakan senjatanya sebaik-baiknya. Setiap kali ia
masih sempat meledakkan cambuknya. Bahkan ujung cambuknya telah beberapa kali
menyentuh tubuh lawannya, sehingga jalur-jalur merah melekat di bahu dan
lengannya, setelah karah-karah besi dijuntai cambuk itu menyobek baju orang
yang kekurus-kurusan itu. Meskipun demikian, orang yang kekurus-kurusan itu
seakan-akan tidak menghiraukannya. Meskipun ia tidak kebal, tetapi ia sama
sekali tidak gentar. Menurut perhitungannya, luka-lukanya itu sama sekali tidak
akan membahayakan jiwanya. Tetapi kalau ia berhasil menyentuh lawannya, maka
itu akan berarti kematian. Sehingga dengan demikian, ia justru semakin mendesak
maju, menyusup di antara ayunan ujung cambuk Swandaru. Perkelahian itu semakin
lama menjadi semakin sengit. Kadang-kadang kedua senjata itu saling melilit.
Tetapi agaknya keduanya cukup menguasai, dan senjata-senjata itu pun cukup
kuat, sehingga setiap kali, lilitan itu pun segera terurai. Agung Sedayu dan
Kiai Gringsing menyaksikan perkelahian itu dengan hati yang berdebar-debar.
Orang yang kekurus-kurusan ini ternyata tidak sekedar berkelahi seperti
kawannya yang tinggi itu. Agaknya Swandaru mempertimbangkannya juga. Ternyata
ia kini menghadapinya dengan bersungguh-sungguh. Kerut keningnya dan tatapan
matanya menunjukkan bahwa ia tidak lagi bermain-main. Tetapi ternyata bahwa
senjata orang yang kekurus-kurusan itu pun mempunyai kelebihan dari senjata
Swandaru. Senjata Swandaru dapat melukai kulit, tetapi tidak membunuh dengan
kejam seperti senjata lawannya. Itulah sebabnya, maka Swandaru agak mengalami
kesulitan. Meskipun demikian, latihan-latihan yang berat selama ini membuatnya
menjadi seorang yang tabah menghadapi kesulitan apa pun juga. Dengan demikian,
maka Swandaru tampaknya selalu terdesak. Ia kadang-kadang melangkah surut,
kadang-kadang berloncatan ke samping. Namun setiap kali ia masih juga berhasil
melukai kulit lawannya. Setiap kali orang yang kekurus-kurusan itu tertegun,
apabila cambuk Swandaru meledak. Dan setiap kali sebuah goresan merah yang baru
telah melekat di tubuh orang itu, bahkan kadang-kadang luka yang menitikkan
darah. Orang yang menyaksikan perkelahian itu menjadi semakin berdebar-debar.
Apalagi mereka yang tidak mengerti kedudukan masing-masing. Mereka hanya
melihat Swandaru selalu terdesak, tanpa melihat bagaimana senjatanya berhasil
melukai lawannya. Lawan Swandaru yang kekurus-kurusan itu pun mengumpat di
dalam hatinya. Sekian lama ia bertempur, namun ia masih belum berhasil
menyentuh kulit lawannya. Bahkan kulitnya sendiri yang semakin lama menjadi
semakin parah.
“Persetan,” ia
menggeram di dalam hatinya.
“Luka-luka ini
hanya akan menimbulkan sedikit gangguan pada kulitku. Tetapi aku harus
menyentuhnya. Ia akan segera mati sebelum meninggalkan lingkaran perkelahian
ini.”
Dengan sepenuh
kemampuannya, orang itu sudah bertekad untuk membunuh Swandaru dengan racunnya.
Ia sama sekali tidak menghiraukan lagi ledakan-ledakan senjata lawannya. Ujung
cambuk yang mengenainya sama sekali tidak dihiraukannya, meskipun kadang-kadang
ia harus menyeringai menahan sakit. Meskipun Swandaru berhasil melukai lawannya
semakin sering, tetapi Agung Sedayu dan gurunya masih juga selalu dicemaskan
oleh senjata lawannya. Orang yang kekurus-kurusan itu seolah-olah sama sekali
tidak merasa bahwa kulitnya telah terkelupas di beberapa bagian. Pakaiannya
telah menjadi kemerah-merahan karena darah yang meleleh dari setiap jalur luka,
meskipun tidak dalam. Swandaru pun kemudian menjadi heran. Kekuatan apakah yang
membuat lawannya seperti orang kesurupan. Luka-luka itu seolah-olah sama sekali
tidak terasa. Ia masih saja mendesaknya sambil mengayunkan bola besinya yang
kecil dan bergerigi itu. Setiap kali menyambar di samping telinganya, kemudian
terjulur mematuk lambungnya. Agaknya lawannya tidak memilih tempat di tubuhnya.
Manapun yang dapat dikenainya akibatnya sama saja. Bahkan di bagian yang
tertutup oleh pakaian, karena gerigi yang tajam itu pasti akan dapat
menembusnya.
“Gila,” geram
Swandaru di hatinya,
“apakah orang
ini menyimpan nafas kuda atau kulitnya memang sudah mati, sehingga ia tidak
merasakan sakit sama sekali?”
Namun dengan
demikian kemarahan yang merambat di hati Swandaru pun sampai ke puncaknya.
Sepercik kegelisahan telah mewarnai hatinya pula,
“Kalau aku
tidak segera melumpuhkannya, akulah yang akan dibunuhnya. Aku dan orang ini
mempunyai tujuan yang lain. Agaknya ia benar-benar akan membunuh aku,” Swandaru
mengerutkan keningnya.
“Kalau saja
Guru tidak terlalu lembut hatinya, aku bunuh juga orang ini.”
Dengan
demikian, maka terdengar gigi anak muda yang gemuk itu gemeretak. Agung Sedayu
yang selalu memperhatikan wajah adik seperguruannya, segera menangkap, betapa
hati anak muda yang gemuk itu kini semakin menyala. Dengan demikian, maka
perkelahian itu pun menjadi semakin cepat. Swandaru pun telah mengerahkan bukan
saja kemampuannya, tetapi juga kekuatannya. Setiap sambaran cambuknya kini
menjadi kian berbahaya. Dan setiap sentuhan juntai berkarah besi itu, menjadi
semakin dalam menyobek kulit.
Orang yang
kekurus-kurusan itu pun setiap kali terpaksa menahan sakit yang menyengat. Ia
merasakan pula, bahwa lecutan cambuk lawannya menjadi semakin keras. Tetapi
hatinya yang sekeras batu sama sekali tidak menahannya. Ia maju terus tanpa
menghiraukan badannya yang seakan-akan sudah menjadi arang keranjang oleh
goresan-goresan ujung cambuk lawannya. Namun dalam pada itu, karena Swandaru
yang baru saja sembuh dari sakitnya masih belum mendapatkan segenap kekuatan
dan kemampuannya kembali, semakin lama menjadi semakin lelah. Apalagi setelah
ia memeras segenap kemampuan dan tenaganya. Setiap kali ia harus meloncat
menghindari sambaran dan patukan bola besi beracun itu, kemudian mengerahkan
segenap tenaganya untuk mengayunkan cambuknya. Kadang-kadang sundul puyuh,
kadang sendal pancing. Bahkan ia pun menjadi ngeri juga melihat lawannya yang
seakan-akan sudah menjadi merah karena darah. Namun ia masih juga maju dengan
beraninya, seakan-akan sama sekali tidak terjadi apa pun padanya.
“Gila,” desis
Swandaru,
“apakah aku
berhadapan dengan anak setan Alas Mentaok, atau orang itu telah kesurupan
sehingga daya tahannya menjadi lipat sepuluh dari daya tahan manusia wajar,
atau memang aku sedang bertempur dengan salah satu dari jenis hantu di Alas
Mentaok ini?”
Tetapi
Swandaru tidak sempat merenungi pertanyaan yang mengganggunya itu. Ia masih
harus bertempur terus. Dalam pada itu nafasnya semakin lama menjadi semakin
cepat mengalir lewat lubang hidungnya, sedang kekuatannya pun semakin lama
menjadi semakin susut pula.
“Sebentar
lagi, aku akan kehilangan kekuatan untuk melawannya,” ia berdesis oleh
kesadarannya bahwa ternyata setelah ia sakit kekuatannya masih belum pulih
seluruhnya.
Agung Sedayu
dan Kiai Gringsing pun menjadi semakin tegang pula menyaksikan perkelahian itu.
Meskipun cambuk Swandaru sudah berhasil melukai tubuh lawannya bahkan tidak
sekadar di satu dua tempat, namun ia masih belum berhasil mengurangi
ketangkasan orang yang kekurus-kurusan itu. Senjatanya yang beracun itu masih
tetap menyambar-nyambar dan mematuk mengerikan. Agung Sedayu yang hampir tidak
dapat menguasai perasaan cemasnya, tanpa sesadarnya bergeser maju. Tetapi
gurunya menggamitnya sambil berbisik,
“Kita menunggu
sejenak. Aku melihat sesuatu.”
Agung Sedayu
tertegun sejenak. Ia memang tidak akan dapat begitu saja memasuki arena, karena
meskipun tanpa berjanji, adik seperguruannya seolah-olah sedang melakukan
perang tanding seorang lawan seorang. Tetapi ia pasti tidak akan sampai hati
melihat kegagalan Swandaru yang masih belum pulih kembali kekuatannya, apalagi
ia sudah harus berkelahi melawan dua orang berturut-turut.
“Itu tidak
adil,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.
Namun demikian
ia tidak bergeser maju lagi. Ia mematuhi pesan gurunya.
“Tetapi,
apakah yang sudah dilihat oleh Guru?” pertanyaan itu telah tumbuh di dalam
hatinya.
Ketika ia
berpaling sedikit, dilihatnya gurunya mengamati perkelahian itu dengan sangat
tegangnya, seolah-olah ia sedang memperhitungkan setiap gerak dari keduanya.
“Nafas Adi
Swandaru sudah hampir putus, Guru,” bisik Agung Sedayu.
Kiai Gringsing
sama sekali tidak menyahut. Tetapi ia masih mengikuti perkelahian itu. Agung
Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kini ia pun memperhatikan setiap gerak dari
kedua belah pihak yang terjadi di arena. Swandaru masih tetap selalu bergeser
surut. Keringatnya telah membasahi seluruh tubuhnya, sedang nafasnya menjadi
semakin terengah-engah. Cambuknya sudah tidak begitu lincah lagi, meskipun di
saat-saat yang berbahaya, Swandaru masih dapat menghentakkan tangannya, dan di
tubuh lawannya bertambah lagi seleret luka.
Sejenak
kemudian agaknya perkelahian itu sudah memanjat sampai ke puncaknya. Orang yang
kekurus-kurusan itu menjadi semakin liar. Ia semakin mendesak maju, sedang
rantainya yang berujung bola besi bergerigi sebesar kemiri, berputaran semakin
cepat. Namun untuk mempertahankan dirinya, Swandaru pun telah mengerahkan
segenap tenaganya. Untunglah bahwa pikirannya masih tetap tenang, sehingga
meskipun tidak sekuat semula, tetapi ia masih mampu melihat kelemahan-kelemahan
pada lawannya yang akhirnya menjadi seperti orang kesurupan itu, yang tidak
menghiraukan lagi dirinya, betapapun cambuk Swandaru melecut tubuhnya. Swandaru
benar-benar hampir kehabisan akal. Sekali-sekali ia terhuyung-huyung surut.
Sebuah lubang yang kecil di atas tanah tempat ia berpijak, telah membuatnya
hampir-hampir terbanting jatuh. Pada saat-saat yang demikian, Swandaru telah
mencoba memeras otaknya, bagaimana ia dapat menjatuhkan lawannya. Meskipun ia
jarang-jarang melakukannya, benar-benar memeras otaknya, namun ia menemukan
juga sikap yang dapat menguntungkannya. Lawannya sama sekali tidak menghiraukan
lagi sentuhan ujung cambuk Swandaru, sehingga ia menyadari bahwa ia harus
menemukan cara lain untuk menghentikan lawannya. Karena itu, selagi lawannya
menyerang membabi buta dengan senjata rantainya menyambar-nyambar kepala
Swandaru, maka anak yang gemuk itu telah menyerang lawannya dengan caranya.
Disambarnya kaki orang yang kekurus-kurusan itu dengan ujung cambuknya.
Kemudian, selagi ujung cambuk itu masih melilit pergelangan kaki dengan
sekuat-kuat sisa tenaganya, Swandaru telah menghentakkan juntai cambuknya itu.
Ternyata bahwa
sisa tenaga Swandaru itu masih cukup kuat. Orang yang kekurus-kurusan itu sama
sekali tidak menyangka, bahwa lawannya akan menyerang dengan cara yang aneh
itu, apalagi selama ini ia seolah-olah sama sekali tidak menghiraukan lagi
serangan-serangan lawannya atas tubuhnya. Karena itu, hentakkan ujung cambuk
itu telah mengait kakinya dan seakan-akan menariknya dengan serta-merta. Hentakkan
itu benar-benar tidak dapat dilawannya. Sejenak ia terhuyung-huyung, namun
kemudian dengan kerasnya ia terbanting jatuh di tanah. Swandaru sendiri yang
telah mengerahkan sisa tenaganya, ternyata hampir tidak mampu lagi untuk
berdiri tegak. Dengan nafas yang terengah-engah ia mencoba menarik cambuknya
yang masih melilit di kaki lawannya yang kini terbanting di tanah. Bagaimanapun
juga, Swandaru tidak mau membiarkan dirinya diterkam oleh keganasan racun
senjata lawannya. Karena itu, ia masih harus tetap berusaha melawan dengan
senjatanya. Namun ternyata Swandaru tidak segera berhasil. Tenaganya sudah
tidak cukup mampu untuk menarik cambuknya yang masih melilit di kaki lawannya,
betapapun ia mencoba. Bahkan akhirnya ia terpaksa menghentikan usahanya ketika
nafasnya hampir-hampir menjadi putus karenanya. Tetapi, kemudian ia menjadi
heran. Baru setelah ia tidak berhasil menarik senjatanya, ia menyadari, bahwa
lawannya yang terbanting jatuh itu sama sekali sudah tidak mampu lagi untuk
bangkit. Ternyata setelah ia memeras segenap kemampuan dan tenaganya tanpa
menghiraukan apa pun juga itu, sampai jugalah ia pada batas kekuatan
jasmaniahnya yang sebenarnya telah tidak mampu lagi mendukung hasratnya yang
menyala-nyala di dalam dada. Membunuh lawannya yang gemuk. Karena itu, ketika
ia tersentak oleh keadaan yang tidak terlawan lagi itu, serasa punahlah semua
tenaganya. Perasaan sakit kini serasa telah mencengkeram seluruh urat nadinya.
Pedih dan sakit. Selebihnya, tenaganya serasa telah punah sama sekali.
Swandaru masih
berdiri di tempatnya dengan nafas terengah-engah. Tangannya sudah tidak mampu
lagi memegang tangkai cambuknya. Bahkan dengan susah payah ia bertahan untuk
tetap berdiri di tempatnya. Semua yang menyaksikan akhir dari perkelahian itu
menahan nafasnya. Sejenak mereka seolah-olah terpukau oleh peristiwa yang
menegangkan itu. Mereka melihat orang yang kekurus-kurusan tergolek di tanah
dengan darah yang memerahi pakaiannya, yang robek-robek karena senjata
Swandaru, seperti kulitnya yang robek-robek pula. Sedang Swandaru berdiri
dengan susah payah mempertahankan keseimbangannya dengan nafas yang
terengah-engah. Sejenak, tempat itu telah diliputi oleh suasana yang menegang.
Setiap orang berdiri membeku di tempatnya. Sekali-sekali mereka mendengar orang
yang kekurus-kurusan itu mengaduh perlahan-lahan, sedang nafas Swandaru
mengalir semakin tidak teratur. Bahkan kemudian Swandaru tidak berhasil lagi
bertahan berdiri di tempatnya. Perlahan-lahan ia menjatuhkan diri dan duduk di
tanah. Dalam pada itu, selagi mereka dicengkam oleh keadaan yang menegangkan,
seorang petugas maju mendekati Swandaru. Sambil bertolak pinggang ia berkata
lantang,
“Kau sudah
membuat onar di sini. Atas nama kekuasaan Ki Gede Pemanahan dan puteranya Mas
Ngabehi Loring Pasar, kau dan kedua orang yang kini aku ragukan, apakah mereka
benar-benar saudaramu dan ayahmu itu, aku tangkap.”
Swandaru yang
masih duduk di tanah terkejut. Tetapi sebelum ia menyahut, Agung Sedayu telah
melangkah maju mendekati petugas itu sambil bertanya,
“Apakah
kesalahan kami?”
“Kau sudah
membuat onar, sehingga di sini terjadi perkelahian.”
“Siapakah yang
sebenarnya sudah mulai?”
“Lihat akibat
dari perbuatanmu ini. Kau harus sadar, bahwa kau tidak hidup seperti binatang
di dalam rimba ini. Anak yang gemuk ini sudah membuat seseorang menjadi luka
parah.”
“Tetapi bukan
maksudnya. Bukan maksud kami menumbuhkan pertentangan di sini.”
“Aku tidak
peduli, apakah kau bermaksud demikian atau tidak. Tetapi yang terjadi adalah
bukti yang tidak dapat kau ingkari.”
“Tetapi apakah
kau tidak mengikuti perkembangan keadaan yang sebenarnya, sehingga kau
mengambil kesimpulan yang salah, bahwa kamilah yang telah bersalah?”
“Jangan banyak
bicara. Kau berbicara dengan petugas yang mendapat kekuasaan dari Ki Gede
Pemanahan.”
“Lalu?”
“Kau harus
tunduk kepada kami. Kau akan kami tangkap, kami ikat dan kami bawa menghadap Ki
Gede Pemanahan.”
“Menarik
sekali. Tetapi barangkali orang-orang itulah yang pantas kau tangkap.”
“Tidak. Kalian
bertiga.”
“Tunggu,”
tiba-tiba terdengar suara yang lain. Ketika mereka berpaling, mereka melihat
Wanakerti mau mendekati petugas itu. “Sebenarnya tidak pantas kalau kita
berselisih pendapat. Apalagi di hadapan orang-orang yang seharusnya kita awasi,
kita bimbing dan kita arahkan selagi mereka bekerja di sini. Tetapi aku juga
tidak dapat tinggal diam melihat kesalah-pahaman ini.”
“Apa yang kau
anggap dengan salah paham itu?” bertanya petugas yang ingin menangkap Swandaru.
Seorang yang berwajah keras seperti batu. Berkumis lebat dan berjanggut jarang.
“Sebenarnyalah
kita harus berbicara dulu. Kita bersama-sama akan menentukan siapakah yang
bersalah di dalam hal itu. Terutama kita harus menghiraukan pimpinan kita di
sini. Ingat, kita terikat di dalam ketentuan tugas dan wewenang. Kita mempunyai
pemimpin yang dapat memberikan bimbingan di dalam tugas kita.”
“Persetan,”
berkata orang berkumis itu,
“lihat. Apakah
yang dilakukan oleh pemimpin kita di dalam keadaan yang gawat ini? Lihat, ia hanya
dapat mengangguk-anggukkan kepalanya sambil mencabuti janggut. Aku tidak
mempedulikannya.”
Pemimpin dari
para petugas, yang sebenarnya masih belum mempunyai sikap apa pun itu,
tiba-tiba merasa terhina. Selangkah ia maju sambil berkata,
“Jangan berkata
begitu. Aku memang tidak bersikap dengan tergesa-gesa. Tetapi kau jangan
menyebut aku tidak dapat berbuat apa-apa.”
“Apa yang
sudah kau lakukan, he?” bertanya orang berkumis itu.
Pemimpin para
pengawas itu berdiri tegang memandangi wajah orang berkumis itu. Sejenak ia
tidak mengucapkan kata-kata. Namun sejenak kemudian ia berkata,
“Akulah yang
paling berkuasa di sini, berdasarkan limpahan kekuasaan dari Ki Gede
Pemanahan.”
“Omong
kosong,” bantah orang berkumis itu,
“aku akan
membuktikan, bahwa Ki Gede Pemanahan akan membenarkan sikapku.”
“Kau jangan
memperbodoh kami. Kami tahu pasti, bahwa ada ketidakwajaran di antara kalian.
Kau, orang yang gagah itu, dan orang yang sudah dikalahkan oleh anak yang gemuk
ini.”
“Apa
maksudmu?”
“Setiap hidung
akan merasakan kejanggalan perbuatanmu ini. Di dalam keadaan yang seperti ini,
tiba-tiba kau tampil dan akan menangkap ketiga orang ini. Itu adalah mustahil.
Kita harus bersikap adil. Sebaiknya kedua pihak kita hadapkan kepada Ki Gede
Pemanahan karena keonaran ini.”
“Itu tidak
perlu. Yang dua orang ini kita sudah mengenal sejak lama. Mereka adalah
orang-orang yang bertanggung jawab selama ini. Dengan maksud baik berbuat untuk
kawan-kawannya. Tetapi yang tiga orang ini memang keras kepala.”
“Aku yang
menentukan. Aku yang memutuskan.”
Sejenak
keadaan menjadi semakin tegang. Agung Sedayu kini bahkan berdiri termangu-mangu
seperti juga Wanakerti. Sedang Kiai Gringsing mengikuti setiap perkembangan
keadaan dengan saksama. Dalam pada itu orang yang berkumis itu pun menjadi gelisah.
Agaknya ia tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Namun ia kini berhadapan
dengan pimpinannya. Karena itu ia hanya dapat menghentak-hentakkan kaki sambil
menggeretakkan giginya. Dalam pada itu, selagi orang-orang yang berdiri di
sekitar tempat itu dicengkam oleh ketegangan, tiba-tiba mereka hampir terlonjak
di tempatnya ketika mereka mendengar pemimpin pengawas itu tiba-tiba mengaduh
sambil terhuyung-huyung. Kiai Gringsing yang berdiri selangkah daripadanya,
masih sempat meloncat dan menahannya, ketika pemimpin pengawas itu roboh.
Dengan dada yang berdebaran dilihatnya sebuah pisau belati yang menancap di
punggung pemimpin pengawas itu. Selagi Kiai Gringsing menahan pemimpin pengawas
yang menjadi lemah, maka Agung Sedayu sempat meloncat ke luar dari lingkaran
orang-orang yang sedang berbantah. Ia sempat melihat sesosok tubuh berdiri di
atas batu padas. Bahkan Agung Sedayu masih melihat orang itu menggerakkan
tangannya melemparkan pisau ke arahnya. Untunglah bahwa Agung Sedayu mempunyai
bekal ilmu yang cukup. Dengan tangkasnya ia menghindar. Sambil meloncat ke
samping ia memiringkan tubuhnya, sehingga pisau itu meluncur di sisinya. Tetapi
orang di atas batu padas itu tidak segera menghentikan serangannya. Sebelum
Agung Sedayu sempat memperbaiki kedudukannya, sebuah pisau yang lain telah
meluncur mengarah ke dadanya. Dalam keadaan yang sulit, Agung Sedayu masih
sempat menjatuhkan dirinya, meskipun ia masih tetap memperhitungkan bahwa pisau
berikutnya akan menyambarnya pula. Perhitungannya ternyata benar. Ia terpaksa
berguling sekali ketika sebilah pisau meluncur sekali lagi.
Orang-orang
yang menyaksikan hal itu, bagaikan tonggak-tonggak mati yang membeku di
tempatnya. Mereka rasa-rasanya sedang bermimpi menyaksikan pameran ketangkasan
yang luar biasa. Ketangkasan melontarkan pisau, dan ketangkasan menghindarinya.
Namun jantung mereka serasa menjadi berhenti berdetak, ketika mereka melihat
Agung Sedayu terpaksa berguling-guling menghindari serangan lawannya. Namun
Agung Sedayu sendiri sudah tentu tidak mau membiarkan dirinya menjadi sasaran
serangan tanpa berbuat sesuatu. Ketika ia mendapat kesempatan, maka tiba-tiba
ia meloncat berdiri. Hampir tidak kasat mata, bagaimana ia melakukan. Tetapi
Agung Sedayu sudah membalas serangan-serangan pisau itu. Dengan sekuat
tenaganya ia melempar orang yang berdiri di atas batu padas itu. Tidak dengan
pisau, tetapi dengan batu sebesar telur ayam yang disambarnya pada saat ia
berguling-guling di tanah. Ternyata Agung Sedayu masih memiliki kecakapannya
membidik yang dipelajarinya sejak kanak-kanak. Sejak ayahnya masih ada. Ayahnya
pun adalah seorang pembidik yang baik. Jangankan sasaran yang seakan-akan
terpancang di atas batu padas, sedangkan sasaran yang bergerak di udara pun,
Agung Sedayu mampu mengenainya. Itulah sebabnya, maka sejenak kemudian,
terdengar pekik kesakitan. Orang yang berdiri di atas batu padas itu
terhuyung-huyung sejenak dan kemudian jatuh terguling di tanah. Agung Sedayu
tidak menunggu lebih lama lagi. Ia pun segera berlari mendapatkan orang itu.
“Berhenti di
situ!” tiba-tiba terdengar pengawas yang berkumis lebat itu berteriak.
Agung Sedayu
tertegun sejenak. Ketika ia berpaling, dilihatnya orang yang berkumis itu
berjalan tergesa-gesa mendekatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar