“sebaiknya kau berpikir dari arah lain. Lepaskanlah kami. Biarlah kami dimakan hantu, harimau, atau apa saja. Ular Gundala Seta dan Wereng sekali pun.”
“Sudah seribu
kali aku katakan. Kau tidak dapat berdiri sendiri di mata hantu-hantu itu. Kau
adalah satu dengan kami.”
Kiai Gringsing
tidak menyahut lagi. Ketika Swandaru bergeser setapak, maka gurunya telah
menginjak kakinya, sehingga Swandaru hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
“Terserahlah
kepadamu. Aku akan berangkat. Semua sudah selesai,” berkata orang yang tinggi
itu.
Ketika Kiai
Gringsing berpaling, dilihatnya gardu itu memang sudah agak sepi. Hanya
beberapa orang yang datang dengan tergesa-gesa karena agak lambatlah, yang
masih berada di muka pintu untuk menerima rangsum mereka. Setelah itu, mereka
pun dengan tergesa-gesa segera berangkat menyusul kawan-kawan mereka yang telah
pergi lebih dahulu.
“Mereka
bekerja dalam kelompok-kelompok,” berkata orang yang tinggi itu,
“sehingga
mereka harus mulai bersama-sama. Tetapi itu lebih baik daripada sifat sombong
yang kau pertahankan.”
Kiai Gringsing
tidak sempat menjawab, karena orang itu pun kemudian pergi meninggalkannya.
“Orang aneh,”
desis Agung Sedayu.
“Aku tidak
sabar lagi,” sahut Swandaru.
“Jangan berbuat
bodoh,” potong gurunya.
“Marilah, kita
pun harus segera berangkat, supaya kita tidak dianggap sebagai orang-orang
malas yang hanya akan menghabiskan rangsum makan saja.”
Ketiganya pun
kemudian pergi lewat di depan gardu pengawas. Sambil membungkukkan kepalanya
Kiai Gringsing berkata,
“Kami sudah
mendapat rangsum, Tuan.”
Seorang pengawas
tertawa sambil menyahut,
“Kalian
termasuk orang aneh di sini.”
Kiai Gringsing
hanya tertawa saja. Tetapi ia tidak menjawab. Bersama kedua muridnya ia pun
pergi ke tanah garapan mereka yang dianggap oleh orang-orang yang sedang
membuka hutan itu sebagai daerah yang paling wingit. Dengan penuh kewaspadaan
mereka bekerja. Setiap kali mereka memperhatikan sesuatu yang agak asing,
karena mereka tahu, bahwa ada pihak-pihak yang sedang bermain-main dengan racun
di daerah ini. Untunglah bahwa Kiai Gringsing adalah seorang dukun tua yang
sudah terlampau kaya dengan pengalaman, dengan segala macam penyakit dan juga
dengan segala macam racun. Lamat-lamat mereka masih juga mendengar suara burung
kedasih yang umumnya hanya berbunyi di malam hari. Tetapi karena mereka sudah
biasa mendengarnya, maka mereka sudah tidak menghiraukannya lagi. Tetapi
ternyata sehari itu mereka, tidak menjumpai peristiwa apa pun. Pada saatnya
mereka pulang, mereka pun segera meninggalkan pekerjaan mereka. Ketika mereka
sampai di gubug yang telah mereka pergunakan sebagai tempat tinggal, maka
mulailah mereka membersihkannya. Setiap benda mereka amati sebelum mereka
pindahkan.
“Tidak ada
sebuah benda pun yang bergeser, Guru,” berkata Agung Sedayu.
“Ya, agaknya
memang tidak ada seorang pun yang memasuki gubug ini. Tetapi itu bukan berarti
bahwa kita dapat tidur dengan nyenyak nanti malam.”
Agung Sedayu
dan Swandaru saling berpandangan sejenak.
“Jangan
takut,” berkata Kiai Gringsing yang seolah-olah mengerti perasaan kedua
anak-anak muda itu, “kita akan dapat tidur. Tetapi kita harus mengatur diri,
sehingga setiap kali pasti ada yang terjaga di antara kita.”
Demikianlah,
setelah gubug itu menjadi bersih dari sarang-sarang laba-laba dan
kotoran-kotoran lain, debu dan serangga-serangga kecil, mereka pun menjadi
semakin kerasan tinggal di dalam gubug itu. Swandaru tidak lagi segan berbaring
di pembaringan, meskipun selalu diganggu oleh bunyinya yang berderit-derit.
Tetapi amben bambu itu sudah tidak dilekati lagi oleh debu yang tebal dan
sarang laba-laba yang kehitam-hitaman.
“Di sebelah
masih ada beberapa jenis alat-alat dapur,” desis Swandaru kemudian.
“Kita tidak
memerlukannya. Bukankah kita sudah mendapat makan?”
“Kalau kita
haus?”
“Ambil saja di
gardu pengawas,” sahut Agung Sedayu,
“bukankah di
sana disediakan berapa saja kita akan minum.”
“Di malam hari
kadang-kadang kita haus. Atau barangkali di pagi hari, begitu kira bangun
tidur, ingin juga rasa-rasanya minum air panas, seperti ketika kita berada di
Tanah Perdikan Menoreh.”
“Hus,” desis
Agung Sedayu, “kau mulai mengigau.
“Swandaru
tersenyum. Memang terkilas sebuah kenangan atas Tanah Perdikan itu dengan
segala isinya.
“Barangkali
kau memang tidak kerasan, tinggal di sini,” berkata Agung Sedayu,
“karena di
sini kita hanya berkawan hantu-hantu saja. Kalau di sini ada orang yang
menyediakan minummu di pagi hari, mungkin kau kerasan juga.”
Swandaru tidak
menjawab. Tetapi ia masih saja tersenyum sambil mengusap-usap pipinya yang
gembung, meskipun beberapa hari terakhir tampak ia agak susut sedikit.
“Nanti kalian
tidurlah dahulu,” berkata Kiai Gringsing kemudian,
“aku akan
berjaga-jaga. Kemudian aku akan tidur, dan kalian berdualah yang harus
berjaga-jaga.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia mengerutkan keningnya ketika ia
memandangi amben yang seolah-olah sudah penuh dipergunakan oleh Swandaru
sendiri
“Minggirlah
sedikit,” desis Agung Sedayu kemudian.
Swandaru
tersenyum pula. “Kau akan tidur sekarang?” ia bertanya.
“Tidak. Aku
hanya akan berbaring sejenak.”
Agung Sedayu
pun kemudian berbaring pula di sisi Swandaru, sementara Kiai Gringsing duduk di
sebuah dingklik kayu yang usang. Sejenak mereka saling berdiam diri. Agaknya
mereka sedang menjelajahi angan-angan masing-masing yang menyelusur ke dunia
yang asing. Ketika gelap menjadi semakin pekat, maka mereka pun segera
menyalakan lampu minyak kelapa. Dari para pengawas mereka mendapatkan minyak
untuk mengisi pelita. Agung Sedayu dan Swandaru-lah yang lebih dahulu akan
tidur. Gurunya akan tetap berjaga-jaga sampai tengah malam, sementara Agung
Sedayu dan Swandaru bangun, gurunyalah yang akan beristirahat. Sampai menjelang
tengah malam, Kiai Gringsing yang duduk terkantuk-kantuk di dalam lindungan
bayangan dinding yang menyekat ruangan gubug itu tidak melihat tanda-tanda yang
mencurigakan. Meskipun demikian ia tidak kehilangan kewaspadaan. Setiap desir,
betapa pun lembutnya, tidak lepas dari pengamatan telinganya yang tajam. Tetapi
Kiai Gringsing tidak mendengar sesuatu yang dapat menumbuhkan kegelisahan. Sampai
tengah malam Kiai Gringsing duduk tanpa bergerak di tempatnya. Sedang Agung
Sedayu dan Swandaru telah tertidur dengan nyenyaknya. Meskipun kadang-kadang
amben yang mereka pergunakan berderit-derit keras, kedua anak-anak muda itu
tidak menghiraukannya. Bahkan Swandaru setiap kali berdesah apabila derit
pembaringannya itu telah membangunkannya. Sedikit lewat tengah malam, Kiai Gringsing
mulai menguap. Ingin juga ia berbaring meskipun hanya sejenak. Agaknya Agung
Sedayu dan Swandaru sudah cukup lama beristirahat.
“Biarlah
mereka ganti berjaga-jaga,” katanya di dalam hati.
Tetapi sebelum
ia bangkit dari tempat duduknya yang terlindung bayangan dinding penyekat
terasa sesuatu berdesir di dadanya, sehingga Kiai Gringsing itu mengurungkan
niatnya. Kini jelas ditelinganya ia mendengar sesuatu. Tetapi pasti bukan bunyi
desis ular seperti semalam.
“Apalagi yang
akan terjadi?” ia bertanya kepada diri sendiri.
Tetapi Kiai
Gringsing tidak segera berbuat sesuatu. Ia menunggu saja, apakah kira-kira yang
akan terjadi. Sejenak suara-suara yang mencurigakannya itu terdiam. Yang
didengar oleh Kiai Gringsing hanya desah nafas Agung Sedayu dan Swandaru yang
masih tertidur nyenyak.
“Tetapi
tidak,” Kiai Gringsing berkata di dalam hati,
“aku mendengar
suara nafas yang lain. Tidak teratur seperti nafas anak-anak muda yang sedang
tidur itu.”
Dengan
demikian Kiai Gringsing mengetahui, bahwa di luar rumah itu ada seseorang yang
sedang mengintip, sehingga orang tua itu sama sekali tidak bergerak dan bahkan
nafasnya pun diaturnya baik-baik. Dalam keheningan malam, di antara desah nafas
anak-anak muda yang sedang tidur, dan nafas seseorang yang ada diluar gubug.
Kiai Gringsing mendengar suara berbisik,
“Mereka sudah
tidur.”
Dada Kiai
Gringsing menjadi semakin berdebar-debar. Kalau begitu pasti tidak hanya
seorang saja yang berada di luar rumah ini. Sedikit-dikitnya pasti dua orang,
“Apakah kita
lakukan sekarang?” bisik yang lain.
Sejenak tidak
terdengar jawaban, sehingga dada Kiai Gringsing pun menjadi tegang pula. Sebuah
pertanyaan melonjak di hatinya,
“Apakah yang
akan mereka lakukan sekarang?”
Tetapi Kiai
Gringsing harus tetap bersabar. Ia harus tetap berada di tempatnya, di bayangan
dinding penyekat, supaya ia tidak mengejutkan orang-orang yang berada di luar
gubug, sehingga mereka mengurungkan niat mereka. Yang dilakukan Kiai Gringsing
adalah mempersiapkan dirinya untuk menghadapi segala kemungkinan, ia dapat
meloncat selangkah untuk mencapai ujung amben Agung Sedayu dan Swandaru apabila
diperlukan. Sejenak Kiai Gringsing tidak mendengar sesuatu selain tarikan nafas
yang memburu. Agaknya orang-orang yang berada di luar rumah itu pun menjadi
gelisah.
“Sekarang,”
desis salah seorang dari mereka.
“Ya,
sekarang,” jawab yang lain.
Kiai Gringsing
menjadi semakin tegang. Apalagi sejenak kemudian ia mendengar gemerisik di
depan pintu rumahnya.
“Bunyi apa
lagi sekarang?” ia bertanya di dalam hatinya.
Tetapi bunyi itu
sama sekali berbeda dari bunyi ular yang menyelusur lantai dan berdesis-desis.
Sejenak Kiai
Gringsing menunggu. Dibiarkannya saja apa yang akan dilakukan oleh orang-orang
di luar rumah itu. Namun ia menjadi berdebar-debar ketika ia mendengar
orang-orang itu bergeser. Kini mereka berada di sudut gubug. Sekali lagi ia
mendengar bunyi yang aneh itu. Gemerisik. Ternyata bunyi itu berpindah-pindah
dari satu sudut ke sudut yang lain. Bahkan kemudian di beberapa tempat di
seputar rumah itu. Dari sudut ke sudut.
“Cukup?”
bertanya salah seorang dari mereka.
“Cukup,” jawab
yang lain.
“Jadi, kita
mulai saja sekarang.”
Tidak ada
jawaban.
Sejenak Kiai
Gringsing tidak mendengar sesuatu. Orang-orang itu pun agaknya bergeser
menjauh, sehingga desah nafas mereka tidak terdengar lagi.
Kiai Gringsing
duduk sambil menahan nafasnya. Ia yakin bahwa sebentar lagi akan terjadi
sesuatu. Karena itu, ia tidak berbuat apa pun agar yang akan terjadi itu
terjadilah. Ia pun tidak berusaha untuk menangkap keduanya, agar setiap orang
masih tetap menganggap mereka sebagai petani-petani miskin yang tidak berarti,
sehingga perhatian orang-orang di barak dan para pengawas tidak berubah. Dengan
demikian Kiai Gringsing bermaksud untuk mendapat kesempatan yang agak luas
tanpa, prasangka apa-apa. Tiba-tiba Kiai Gringsing terkejut ketika ia mendengar
suara gemericik, tetapi bukan suara air. Dengan serta-merta ia memandang
keluar, lewat celah-celah dinding. Sesaat ia tidak melihat bayangan apa pun di
luar karena gelap malam. Tetapi sejenak kemudian dadanya berdesir tajam.
Bayangan kemerah-merahan telah mewarnai lubang-lubang dinding yang jarang.
“Api,”
desisnya. Hampir saja Kiai Gringsing meloncat mengejar orang-orang yang ada di
luar gubugnya. Tetapi ia pun segera menahan diri. Apalagi ketika dilihatnya
Agung Sedayu dan Swandaru masih tertidur nyenyak.
“Mereka harus
segera bangun,” desisnya.
Kiai Gringsing
pun kemudian meloncat ke pembaringan. Diguncangnya tubuh kedua muridnya itu
sambil berdesis,
“Bangun. Rumah
ini akan terbakar.”
Agung Sedayu
segera meloncat bangkit. Tetapi Swandaru masih menggeliat sambil berdesis,
“Apa lagi,
Guru?
“Api. Rumah
ini sedang terbakar.”
Swandaru pun
kemudian bangkit. Tetapi matanya segera terbelalak ketika ia melihat api mulai
merayapi pintu.
“Pintu sudah
terbakar,” desis Swandaru.
Kiai Gringsing
kini mengerti, bahwa agaknya suara gemerisik itu adalah suara batang-batang
ilalang, daun-daun rerumputan kering, yang sengaja diletakkan oleh orang-orang
yang membakar gubug ini.
“Kita harus
segera keluar dari rumah ini,” berkata Kiai Gringsing.
Tetapi
ternyata api sudah menjalar hampir di seputar gubug kecil itu.
“Kita sudah
dilingkari api,” berkata Swandaru kemudian.
“Belum. Kita
masih mempunyai jalan. Mari, cepat. Ikuti aku.”
Kiai Gringsing
pun kemudian mengambil ancang-ancang sejenak. Dengan sepenuh kekuatan ia
mendorong dinding yang masih baru mulai dijalari api. Tetapi ternyata dinding
itu tidak sekuat yang diduganya sehingga, kekuatan Kiai Gringsing jauh
melampaui kemampuan dinding bambu itu. Dengan demikian Kiai Gringsing justru
terdorong oleh kekuatannya sendiri sehingga ia terpelanting beberapa langkah.
Karena itu, ia pun segera berguling sekali, lalu dengan sigapnya melenting
berdiri. Meskipun api sudah menjilat hampir segenap bagian dinding gubug itu,
Swandaru masih sempat menyambar bungkusan pakaian mereka. Sedang Agung Sedayu
sempat pula tersenyum melihat gurunya yang hampir kehilangan keseimbangan. Kedua
anak-anak muda itu pun kemudian berloncatan pula di atas api yang mulai
membakar dinding yang sudah roboh itu.
“Guru sempat
berlatih, bergumul dengan padas,” desis Swandaru yang melihat juga betapa
gurunya berguling di tanah.
Kiai Gringsing
berdiri bertolak pinggang sambil memandang api yang menjadi semakin besar.
“Aku kira
dinding itu masih cukup kuat,” sahutnya, “apalagi aku agak tergesa-gesa juga.”
“Untunglah
bahwa rumah ini tidak ikut serta roboh. Jika demikian maka kami yang ada di
dalam, justru tidak akan mendapat kesempatan lolos lagi, karena timbunan
reruntuhan itu akan segera dimakan api,” gumam Swandaru.
“Ah kau,”
berkata gurunya,
“bukankah
kalian bukan cacing-cacing yang mudah sekali menyerah kepada keadaan?”
Swandaru tidak
menyahut. Tetapi ia masih juga tersenyum membayangkan bagaimana gurunya jatuh
berguling-guling karena kekuatannya sendiri. Sejenak kemudian mereka bertiga
berdiri tegak memancang api yang menjadi semakin besar menelan gubug yang
dibuat dari kayu dan bambu itu. Begitu cepatnya, seolah-olah gubug itu
merupakan makanan yang sangat lezat bagi api yang melonjak-lonjak
menggapai-gapai langit
“Kenapa gubug
itu tiba-tiba saja terbakar?” bertanya Agung Sedayu kemudian.
Kiai Gringsing
menjadi ragu-ragu sejenak. Dipandanginya saja api yang semakin lama menjadi
semakin besar. Sejenak kemudian mereka mendengar gubug itu berderak-derak
roboh.
“Ada kesengajaan,”
jawab Kiai Gringsing kemudian.
“Darimana Guru
mengetahui?”
“Aku mendengar
suara orang di luar dan suara rerumputan kering yang ditimbun di muka pintu dan
di seputar gubug itu.”
“Dan Guru
membiarkan hal itu terjadi?”
Kiai Gringsing
menganggukkan kepalanya,
“Aku ingin
tahu apa saja yang mereka lakukan. Sampai di mana usaha mereka untuk menekankan
maksudnya, agar kita meninggalkan tempat ini.”
Kedua muridnya
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil memandangi api yang menjilat ke udara. Sejenak
ketiganya saling berdiam diri. Wajah-wajah mereka menjadi kemerah-merahan
tersentuh oleh cahaya api. Titik-titik keringat tampak mengembun di kening dan
dahi.
“Tidak ada
seorang pun yang datang menjenguk,” desis Swandaru tiba-tiba.
“Tentu tidak,”
sahut gurunya, “tidak ada orang yang berani keluar dari barak.”
“Para
petugas?”
“Mereka pun
tidak berani keluar dari gardu pengawas.”
“Bagaimana
kalau terjadi kebakaran hutan di dalam keadaan begini?”
“Semuanya akan
habis menjadi abu. Tetapi itu lebih baik. Kita tidak usah menebang pepohonan
lagi.”
“Apakah dapat
kita coba?”
Kiai Gringsing
menggelengkan kepalanya. Jawabnya,
“Tidak. Tidak
akan dapat. Hutan ini adalah hutan yang hijau dan lebat. Sulit sekali terjadi
kebakaran. Apalagi tanahnya yang lembab mengandung air.”
Agung Sedayu
dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka masih saja memandangi api
yang melonjak-lonjak meskipun semakin lama menjadi semakin susut.
“Kita
kehilangan gubug yang baru saja kita pergunakan. Kalau tahu, gubug itu akan
terbakar, kita tidak usah membersihkannya,” gumam Swandaru.
“Kalau saja kita
tahu,” sahut Agung Sedayu,
“tetapi
untunglah bahwa kita tidak tahu apa yang akan terjadi, sehingga dengan demikian
kita berbuat sesuatu. Kalau kita tahu apa yang akan terjadi, maka kita tidak
akan berbuat apa-apa.”
“Yang kita
tahu pasti,” berkata gurunya,
“besok
matahari akan terbit lagi. Kemudian berjalan mengarungi langit dan tenggelam di
sebelah Barat. Tetapi apa yang terjadi selama itu, adalah di luar kemampuan
kita untuk mengetahuinya. Bahkan apa yang akan terjadi atas diri kita sendiri.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih saja memandangi api yang masih
menyala. Sekali-sekali masih terdengar derak kayu-kayu yang patah dan bambu
yang meledak. Namun semakin lama api itu pun menjadi semakin susut. Gubug yang
terpencil itu, sejenak kemudian telah menjadi seonggok bara yang merah, yang
perlahan-lahan menjadi semakin suram.
“Apa yang akan
kita lakukan sekarang, Guru?” bertanya Swandaru kemudian.
“Mencari
orang-orang yang membakar gubug kita itu?”
Kiai Gringsing
menggelengkan kepalanya,
“Tidak. Kita
tidak akan dapat mencarinya. Tetapi aku yakin bahwa pada suatu saat kita akan
menemukannya.”
Swandaru
mengerutkan keningnya yang kemerah-merahan oleh cahaya bara yang sudah hampir
padam.
“Tidak seorang
pun yang berani keluar dari barak dan dari gardu pengawas,” desis Swandaru
kemudian.
“Ya. Mereka
telah benar-benar ketakutan. Itulah yang menyulitkan,” sahut gurunya.
“Kita masih
dapat mengerti, kalau orang-orang yang di dalam barak itu tidak berani keluar.
Mereka takut kepada hantu-hantu, tetapi mereka juga selalu ditakut-takuti oleh
orang-orang tertentu seperti kita,” potong Agung Sedayu.
“Tetapi
seharusnya tidak demikian bagi para pengawas di gardu itu.”
“Agaknya
mereka sudah terlalu lama berada di tempat ini. Sebaiknya setiap kali para
pengawas itu diganti dengan orang-orang baru, sehingga menumbuhkan kesegaran
dan kegairahan kerja di sepanjang daerah pembukaan hutan ini.”
Kedua muridnya
hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Sudahlah.
Relakan gubug itu. Gubug itu memang bukan milik kita,” berkata gurunya
kemudian. Lalu,
“tetapi kita
harus bersiap-siap menghadapi orang dari barak itu. Mereka pasti akan
menyalahkan kita dengan segala macam dalih dan kemudian berusaha mengusir
kita.”
“Darimana Guru
tahu?”
“Itulah maksud
mereka sebenarnya.”
“Lalu, apakah
kita akan pergi?”
“Tentu tidak.
Kita akan tetap di sini. Kita akan mengetahui lebih lanjut, apakah yang akan
terjadi di sini, yang pasti merupakan salah satu gambaran dari daerah-daerah
lain di sepanjang jalur perluasan Tanah Mataram ini.”
Kedua
murid-muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya pula.
“Pada suatu
saat kita akan bertemu dengan usaha Raden Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi
Loring Pasar beserta Ki Gede Pemanahan, yang pasti tidak akan tetap tinggal
diam menghadapi keadaan serupa ini.”
Kedua muridnya
masih saja mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, sekarang
justru kalian akan dapat tidur. Tidurlah, aku akan menunggui kalian.”
“Tidak Guru,”
jawab Agung Sedayu,
“kami sudah
tidur lebih dari separo malam. Apakah Guru tidak lelah, dan ingin
beristirahat?”
Gurunya
tersenyum. Katanya, “Lihat, langit sudah menjadi kemerah-merahan.
Kedua murid
Kiai Gringsing itu mengangkat kepalanya bersama-sama. Mereka pun melihat warna
merah yang membayang di langit. Sementara bintang-bintang telah bergeser jauh
ke Barat. Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata,
“Tetapi masih
ada waktu sedikit, Guru. Kita dapat duduk di bawah pepohonan itu dan melepaskan
lelah sejenak.”
Kiai Gringsing
tersenyum, “Aku tidak lelah.”
“Dua malam
Guru tidak tidur sekejap pun.”
“Baru dua
malam. Kita harus dapat menguasai tubuh kita sebaik-baiknya. Tidak hanya dua
malam. Dalam keadaan tertentu, kita harus dapat berbuat lebih banyak lagi.
Tetapi sudah tentu bahwa kita menyadari, kekuatan tubuh kita pun sangat
terbatas. Namun demikian dengan latihan-latihan yang baik, sedikit demi sedikit
kita dapat memperlengkapi kemampuan yang sebenarnya memang sudah ada di dalam
diri kita.”
Agung Sedayu
tidak menyahut. Ditatapnya wajah gurunya yang sudah dipenuhi oleh kerut-merut
ketuaannya. Tetapi wajah itu masih tampak segar, sesegar dedaunan yang basah
oleh embun. Sementara Swandaru menundukkan kepalanya sambil mengusap dagunya.
“Tetapi, baiklah,”
berkata gurunya kemudian,
“kita tidak
perlu berdiri di sini sampai pagi. Kita dapat duduk di bawah pohon itu sambil
menunggu, siapakah orang yang pertama-tama akan datang kemari.”
Ketiganya pun
kemudian duduk di bawah sebatang pohon di halaman gubug yang sudah terbakar
itu. Sejenak mereka saling berdiam diri. Namun tatapan mereka masih saja
melekat pada seonggok abu yang masih mengepulkan asap yang kehitam-hitaman. Sementara
itu, langit menjadi semakin cerah. Dan bayangan cahaya matahari pun menjadi
semakin terang, menyentuh mega putih yang bergumpal-gumpal di punggung
cakrawala. Tanpa sesadarnya Agung Sedayu menyelusuri bayangan fajar yang merah.
Tanah Mataram memang sudah terbuka, seolah-olah menghadap ke Timur. Sedang di
bagian Barat, hutan masih terbujur seperti dinding raksasa yang membatasi tanah
yang sedang tumbuh ini. Namun angan-angannya justru menerawang semakin jauh.
Terbayang di rongga matanya hutan yang meskipun tidak sebesar Mentaok, namun
cukup lebat adalah hutan Tambak Baya, yang menurut pendengarannya sudah mulai
disentuh pula oleh tangan para pendatang di tanah Mataram ini. Kalau hutan itu
kelak terbuka, maka jalur jalan ke Timur menjadi semakin luas. Batas Tanah
Mataram akan langsung bersentuhan dengan padukuhan dan kademangan-kademangan
yang kini ada di sebelah Timur Hutan Tambak Baya. Desa-desa kecil yang terpisah
dari jalur-jalur jalan ramai itu akan mengalami banyak sekali perubahan. Cupu
Watu, Temu Agal, Bogeman yang mulai ramai dan terletak di sisi Barat Kademangan
Prambanan. Jalur ini akan terus merambat ke Timur, lewat hutan-hutan yang tidak
begitu garang, dan yang memang sudah tertembus oleh jalan-jalan niaga, akan
segera sampai ke tlatah padukuhan Benda dan kemudian Kademangan Sangkal Putung.
Agung Sedayu menarik nafas. Tanpa sesadarnya ia berpaling memandang wajah
Swandaru yang bulat itu. Terkilas sejenak wajah seorang gadis, adik anak muda
yang gemuk itu. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat ingkar,
bahwa ia sebenarnya ingin juga segera meninggalkan hutan ini pergi ke Sangkal
Putung. Namun dalam pada itu, tiba-tiba matanya seakan-akan telah menembus
hutan yang hijau kehitam-hitaman, menyeberangi Kali Praga menginjak ke tlatah
Menoreh. Tanah Perdikan yang baru saja ditinggalkannya. Tanah Perdikan yang
kini sedang berusaha menyembuhkan luka-luka yang telah mencengkamnya selama
ini, seperti juga Ki Gede Menoreh berusaha menyembuhkan luka-luka pada dirinya.
Sekali lagi Agung Sedayu berpaling memandangi Swandaru. Dan bahkan terbersit
suatu pertanyaan di kepalanya.
“Agaknya Tanah
Perdikan Menoreh masih harus mengalami banyak masalah. Apakah kelak Swandaru
akan menjadi Demang di Sangkal Putung sekaligus Kepala Tanah Perdikan Menoreh
atas nama Pandan Wangi, apabila mereka benar-benar akan menjadi suami isteri?”
Agung Sedayu
yang sedang menerawang di dunia angan-angannya itu, tiba-tiba tersadar ketika
Swandaru menggamitnya sambil berkata,
“Hem, aku
mengantuk lagi.”
“Tidurlah,”
hampir tidak sadar Agung Sedayu menjawab.
“Tidur?
Sekarang ini?”
“O, maksudku,
bukan kau sudah tidur separo malam.”
Swandaru tiba-tiba
memandang wajah Agung Sedayu dengan tatapan mata yang aneh. Sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata dalam nada yang tinggi, meskipun
perlahan-lahan,
“He, agaknya
kau sedang melamun, Kakang. Nah, apa saja yang kau pikirkan? Tentu bukan hutan
yang lebat ini, dan tentu bukan hantu-hantu dan eh, kau tahu bahwa hantu-hantu
perempuan, maksudku hantu betina. Mana yang benar, perempuan atau betina,
namanya peri. Apakah kau melihat sesosok peri? Peri berbentuk seorang perempuan
yang sangat, sangat cantik. Seperti bidadari dalam pengertian yang bertolak
belakang. Bentuknya saja seperti bidadari.”
“Kau pernah
melihat bidadari?”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Jawabnya,
“Kata orang.
Sedang peri itu pun sekedar kata orang.”
“Kau percaya?”
“Tentu, hantu-hantu
tidak semuanya laki-laki. Mereka berumah tangga seperti manusia. Bukankah
kesimpulan daripada itu, ada juga hantu-hantu perempuan? Hanya hantu yang
bertingkat tinggi sajalah yang beristerikan peri. Bukan jerangkong. Kalau
jerangkong, isterinya wewe. Tetapi kalau prayangan, itulah yang beristerikan
peri.”
Agung Sedayu
tidak menjawab. Tetapi masih saja seperti orang yang tidak menyadari dirinya,
ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia terkejut ketika tiba-tiba saja
Swandaru meraba dahinya sambil berdesis,
“Eh, tidak
panas.”
“Hus,” desis Agung
Sedayu sambil menggeliat,
“jangan
main-main. Lihat, langit sudah terang. Sebentar lagi mereka akan datang.”
Swandaru
mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun mengangkat wajah menatap langit. Meskipun
demikian ia masih bertanya kepada Agung Sedayu,
“Siapakah yang
akan datang? Peri-peri yang cantik itu?”
“Ah,” desah
Agung Sedayu sambil berdiri,
“orang-orang
itu pasti sudah bangun. Mereka akan segera mendengar bahwa rumah kita telah
terbakar. Mereka akan beramai-ramai datang kemari. Orang yang kurus dan orang
yang tinggi kekar itu pasti akan marah lagi kepada kita.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya,
“Orang itu
meskipun bertubuh kekar, hatinya sekecil menir. Demikian ketakutan mencengkam
jantungnya, sehingga ia begitu bernafsu untuk mengusir kita.”
“Mungkin tidak
begitu,” berkata Kiai Gringsing,
“bukan karena
ketakutan yang mencengkamnya. Tetapi barangkali ia mempunyai maksud-maksud
lain.”
“Apakah
kira-kira maksud itu, Guru?” bertanya Swandaru sambil berpaling.
“Itulah yang
masih harus kita selidiki. Kita ingin mengetahui apakah sebenarnya yang
dikehendakinya.”
Kedua muridnya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan gurunya berkata seterusnya,
“Karena itu,
kita harus menahan diri. Kecuali apabila kita sudah terpaksa, kita akan
menentukan sikap sejauh harus kita lakukan. Tetapi pada dasarnya kita akan
tetap berada di daerah ini.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia kemudian menengadahkan wajahnya,
dilihatnya langit menjadi semakin cerah.
“Sebentar lagi
mereka akan datang,” desisnya.
Sebelum gurunya
menyahut, Swandaru berkata,
“Para pengawas
pun pasti akan datang juga. Agaknya merekalah yang melihat api itu lebih dahulu
dari gardunya daripada orang-orang yang ada di dalam barak.”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya ketika di dalam keremangan pagi ia melihat seseorang berjalan dengan
tergesa-gesa.
“Siapakah
itu?” ia bertanya.
Swandaru dan
gurunya pun kemudian berdiri. Dipandanginya orang yang semakin lama menjadi
semakin dekat.
“Seorang
petugas.”
“Ki
Wanakerti.”
Sebenarnyalah
bahwa orang yang mendekati mereka itu adalah Wanakerti. Dengan suara yang
terbata-bata ia berkata,
“Syukurlah
kalau kalian selamat. Aku cemas, bahwa kami para pengawas hanya akan menemukan
abu dari kerangka kalian. Sejak api itu berkobar, hatiku sama sekali tidak
tenteram. Karena itu, aku telah mendahului kawan-kawanku untuk menengok kalian.
Ketika aku melihat beberapa sosok tubuh di sini, hatiku menjadi agak tenteram.
Ternyata kalian benar-benar masih selamat.”
“Tuhan masih melindungi
kami,” berkata Kiai Gringsing.
“Syukurlah.
Sebentar lagi beberapa orang petugas yang lain pasti akan datang juga. Mereka
pun menjadi cemas, bahwa mereka tidak akan dapat melihat kalian lagi.”
“Ternyata kami
masih akan menyambut mereka.”
“Sudah tentu
orang-orang di barak itu pun akan datang pula kemari.”
“Ya. Mereka
ingin tahu, apa yang sudah terjadi di sini.”
Wanakerti
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Kami
berpendapat, bahwa hantu-hantu itu memang benar-benar telah marah kepada
kalian, sehingga kalian telah dibakarnya hidup-hidup.”
“Tetapi mereka
tidak berhasil.”
Petugas itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi keheranan yang sangat telah terbersit di
wajahnya. Di dalam hati ia berkata,
“Orang-orang
ini memang orang-orang aneh.”
Namun dalam
pada itu pembicaraan mereka pun terhenti. Di kejauhan tampak bayangan beberapa
orang yang berdatangan. Semakin lama menjadi semakin dekat. Ternyata yang
datang adalah beberapa orang dari barak dan beberapa orang petugas.
“Hem, kalian
memang orang-orang yang bernasib baik,” berkata salah seorang petugas.
“Kami sudah
menyangka, bahwa kalian telah menjadi abu.”
“Seperti yang
Tuan lihat,” jawab Kiai Gringsing.
“Jangan
sombong,” orang yang tinggi kekar itu menyahut,
“kali ini
kalian bernasib baik. Tetapi besok, lusa, kalian akan mengalami perlakuan yang
sangat mengerikan.”
“Seperti yang
sudah aku katakan kepada Ki Wanakerti. Tuhan selalu melindungi kami,” berkata
Kiai Gringsing.
“Tetapi lain
kali kau tidak akan dapat lolos. Dan kami pun tidak dapat memberi kesempatan
hal itu terjadi. Sebab kemungkinan yang paling besar, lain kali barak kami
itulah yang akan menjadi sasaran kemarahan hantu-hantu itu.”
“Ki Sanak,”
berkata Kiai Gringsing,
“kami sudah
melepaskan diri dari kalian. Tidak ada sangkut pautnya lagi. Biarlah kemarahan
itu menimpa diri kami.”
“Gila. Sudah
aku katakan. Tidak mungkin. Tidak mungkin.”
“Kami sudah
siap seandainya kami harus mengalami perlakuan yang sangat mengerikan seperti
apapun. Kami yakin bahwa Tuhan masih melindungi kami. Itu adalah pendapat kami
yang sebenarnya. Kiai Damar, hantu dari Gunung Merapi yang bernama Kiai Dandang
Wesi dan siapa pun lagi, adalah lantaran-lantaran yang dapat saja dipergunakan
oleh Tuhan untuk menyelamatkan kami. Tetapi adalah menjadi pegangan kami yang
sebenarnya, bahwa kehendak Tuhan-lah yang akan berlaku. Bukan kehendak
hantu-hantu yang manapun juga. Betapa hantu-hantu itu menjadi marah kepada
kami, tetapi selama Tuhan tidak membiarkan kami menjadi korbannya, tidak ada
suatu pun yang dapat dilakukannya atas kami di sini.”
“Persetan,”
teriak orang yang tinggi kekar itu,
“kalian telah
menghasut kami dan membiarkan kami menjadi korban. Kalian memang benar-benar
pengkhianat yang harus dimusnahkan. Dengar, bahwa kami pun dapat memusnahkan
kalian sekarang juga. Sekarang.”
Kiai Gringsing
tidak segera menjawab. Ditatapnya saja wajah orang yang tinggi kekar itu. Wajah
yang menjadi kemerah-merahan oleh perasaannya yang meledak-ledak. Sekali lagi
Kiai Gringsing harus menggamit Swandaru yang menjadi gelisah.
“Tidak ada
maaf lagi bagi kalian sekarang,” berkata orang yang tinggi kekar itu.
“Kami sudah
terlampau banyak memberi kesempatan. Tetapi setiap kali kalian seolah-olah
telah menghinakan kami.”
“Sama sekali
tidak,” jawab Kiai Gringsing.
“Semuanya
telah terbukti. Mula-mula hanya anakmu sajalah yang telah dikutuk oleh
hantu-hantu itu sehingga menjadi sakit dan bahkan hampir mati. Kemudian barak
kami telah dilempari dengan batu. Sekarang salah satu gubug kami telah
terbakar. Maka besok atau lusa, barak kamilah yang akan terbakar habis. Nah,
jika demikian, maka kami semuanya akan menderita. Usaha kami selama ini akan
sia-sia.”
“Itu tidak
mungkin. Barak kalian tidak akan terbakar. Biarlah hantu-hantu itu datang
kepada kami. Kami akan memberi mereka penjelasan.”
“Omong kosong.
Semuanya omong kosong,” berkata orang yang tinggi kekar itu.
“Kami sudah
mengambil keputusan, bahwa kalian memang harus pergi dari sini. Sekarang tidak
akan dapat kau tunda lagi. Tidak akan ada alasan apa pun yang dapat kalian
kemukakan.”
“Tunggu,” sahut
Kai Gringsing,
“aku masih
mempunyai masalah yang dapat aku katakan kepada kalian.”
“Tidak. Kau
tidak mendapat kesempatan apa pun. Pagi ini kalian harus pergi dari tempat ini.
Selama ini kalian tidak bermanfaat apa pun bagi kami, justru kalian telah membuat
kami semakin tidak tenteram. Karena itu, kalian hanya dapat pergi. Pergi.
Bawalah semua yang kalian punyai di sini. Kalian tidak akan dapat kembali
lagi.”
“Ki Sanak,” berkata
Kiai Gringsing kemudian,
“siapakah yang
sebenarnya berkuasa dan berhak mengatur tata tertib di sini. Kau atau para
petugas yang resmi di tempatkan di sini?”
“Akulah yang
berkuasa,” berkata orang yang tinggi kekar itu.
“O, tentu
tidak. Kau pendatang seperti kami.”
“Jangan kau
bantah lagi. Akulah yang di dalam kenyataannya berkuasa di sini. Ayo,
bertanyalah kepada para petugas. Di sini ada beberapa orang petugas. Mereka
tidak akan berani berbuat apa-apa terhadap aku.”
Kiai Gringsing
tidak segera menjawab. Dipandanginya saja orang yang tinggi kekar itu. Namun
sebagai seorang yang memiliki pengalaman dan pengetahuan yang cukup, ia memang
melihat sesuatu pada orang yang tinggi kekar itu.
“Kesempatan
terakhir buat kalian adalah minta diri. Ayo, berpamitanlah kepada kawan-kawan
dan sahabat-sahabatmu di sini, serta kepada para petugas.”
Kiai Gringsing
tidak segera menyahut, ia masih tetap berdiri termangu-mangu di tempatnya.
“Cepat,
sebelum kami kehabisan kesabaran,” berkata orang yang tinggi kekar itu.
Selagi Kiai
Gringsing masih termangu-mangu, maka seseorang telah maju mendekatinya. Katanya,
“Sebenarnya
kami merasa sayang juga kehilangan kalian. Tetapi apa boleh buat. Memang
sebaiknya kalian pergi meninggalkan tempat ini.”
“Kenapa?”
bertanya Kiai Gringsing.
“Setidak-tidaknya
kau tidak akan menimbulkan keributan. Kau tidak akan mengalami nasib yang buruk
seperti yang pernah terjadi. Seseorang yang tidak menjadi sakit karena
hantu-hantu, tetapi justru karena ia keras kepala, sehingga terpaksa diusir
dengan kekerasan. Apalagi orang itu mencoba melawan. Maka akhirnya ia menjadi
kecewa dan menyesal. Ia mengalami luka-luka dan harus meninggalkan tempat ini
pula.”
“Siapakah yang
melukainya?”
“Orang ini
juga. Ia selalu mencoba menyelamatkan barak kami seisinya dengan menyingkirkan
orang-orang yang mungkin akan mendatangkan bencana bagi kami.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi jawabnya sangat mengejutkan,
“Maaf, Ki
Sanak. Kami sudah bertekad untuk tetap tinggal di sini. Selama para petugas
tidak mengusir kami, kami tidak akan pergi. Bahkan seandainya hak kami dicabut
sekalipun oleh para petugas, kami akan menghadap langsung kepada Ki Gede
Pemanahan atau puteranya Mas Ngabehi Loring Pasar, karena kami merasa berhak
ikut serta membuka hutan ini.”
“Kami tidak
berbicara tentang hak,” potong orang yang tinggi kekar itu,
“tetapi kami
ingin menyelamatkan diri kami.”
“Sudahlah,”
berkata orang yang kekurus-kurusan, “tinggalkan tempat ini selagi kalian masih
sehat.”
“Ya,” berkata
orang yang lain.
“Lebih baik
kalian pergi. Pergilah ke pedukuhan yang telah menjadi ramai di pusat Tanah
Mataram. Kalian akan menemukan lapangan yang cukup untuk mencari sesuap nasi.”
“Ya, pergilah,
pergilah,” yang lain lagi berkata, “untuk kebaikanmu sendiri.”
Tetapi Kiai
Gringsing masih tetap membungkam. Keningnya menjadi semakin berkerut-merut.
“He, apakah
kalian menunggu kesabaranku habis?” teriak orang yang tinggi kekar itu.
Kiai Gringsing
memandang wajah para petugas yang diliputi oleh keragu-raguan. Mereka berdiri
saja mematung tanpa dapat berbuat apa pun juga, sehingga Kiai Gringsing
bertanya kepada mereka,
“Bagaimana
Tuan? Apakah aku memang sudah boleh tinggal di sini?”
Sebelum para
petugas itu dapat menjawab, orang yang tinggi itu mendahului,
“Tidak ada
kesempatan lagi. Pergi, sekarang ini juga. Kalau kalian masih juga berbicara,
maka mulut kalian akan aku sobek.”
Mata orang itu
terbelalak ketika ia melihat Swandaru membuka mulutnya. Bahkan terlalu lebar.
Hampir saja ia meloncat menampar pipinya yang gembung itu. Tetapi niat itu
diurungkannya, karena ternyata Swandaru hanya menguap. Namun wajah orang yang
tinggi kekar itu menjadi merah padam, ketika ia mendengar Swandaru berdesis,
“Aku jadi
mengantuk sekali.”
Orang yang
tinggi kekar itu benar-benar merasa terhina. Karena itu ia menjadi gemetar.
Tetapi ketika ia melangkah maju, beberapa orang mencoba mencegahnya,
“Sudahlah.
Biarlah mereka pergi.”
Salah seorang
telah mendekati Kiai Gringsing sambil berbisik,
“Sudahlah.
Tinggalkan tempat yang sama sekali tidak memberikan harapan apa pun ini.
Mungkin besok atau lusa, datang giliranku untuk meninggalkan tempat ini.”
“Maaf,” Kiai
Gringsing menggeleng, “aku tetap tinggal di sini.”
Wajah orang
itu menjadi tegang. Namun kemudian ia berkata,
“Terserahlah
kepadamu. Kami sudah mencoba mencegah keributan dan mencoba memberimu
peringatan. Tetapi kalau kau tetap keras kepala, kami tidak dapat berbuat
apa-apa apabila sesuatu terjadi atas kalian. Para petugas itu pun tidak.”
Kiai Gringsing
tidak beranjak dari tempatnya. Bahkan kemudian ia berpaling kepada kedua
muridnya. Ketika ia mengangguk kecil, seperti berebutan Agung Sedayu dan
Swandaru berloncatan maju.
“Biarlah
Swandaru menguap lagi,” berkata Kiai Gringsing.
Sikap
ketiganya sama sekali tidak dimengerti oleh orang-orang yang berdiri di seputar
mereka. Sejenak mereka berdiri mematung, sementara cahaya matahari telah mulai
menyentuh ujung dedaunan.
“Matahari
telah naik,” Kiai Gringsing justru berkata,
“kenapa kalian
tidak mempersiapkan diri untuk pergi bekerja?”
“Gila, gila!”
orang yang tinggi kekar itu berteriak.
“Memang kalian
ingin mengalaminya. Minggir! Minggir!”
Wajah-wajah di
sekitar orang yang tinggi kekar itu menjadi tegang. Mereka kini tidak akan
dapat mencegahnya lagi. Sebagian dari mereka telah menjadi gelisah. Tetapi
sebagian yang lain berkata di dalam hatinya,
“Terserahlah.
Kami sudah mencoba memperingatkannya. Tetapi mereka benar-benar orang-orang
yang keras kepala.”
Dan orang yang
berdiri termangu-mangu itu pun kemudian menyibak, seolah-olah membuat suatu
lingkaran di sekeliling orang yang tinggi kekar yang kini berdiri berhadapan
dengan Kiai Gringsing itu. Sementara itu, orang yang kekurus-kurusan itu pun
maju selangkah sambil berkata,
“Kalian telah
menyia-nyiakan maksud baik kami. Sekarang, kalian akan mengalaminya. Kalian
akan menyesal karenanya. Tetapi penyesalan itu tidak akan banyak berarti.
Nanti, setelah kalian pingsan, kalian akan dilempar ke pinggir hutan.
Terserahlah akan nasib kalian. Apakah kalian akan mati ditelan harimau, atau
sama sekali disendal mayang oleh hantu-hantu, itu bukan urusan kami lagi.”
“Apakah hal
itu dapat dibenarkan oleh tata tertib kehidupan beradab di Mataram?” bertanya
Kiai Gringsing.
Ternyata
pertanyaan itu telah membuat orang yang kekurus-kurusan itu menjadi ragu-ragu
sejenak, sedang Kiai Gringsing berkata terus,
“Kalian telah
melakukan pelanggaran tata tertib kehidupan yang beradab bagi Mataram. Kalau
hal itu kalian lakukan, maka saksi-saksi akan berbicara. Atau Mataram memang
tidak mempunyai hukum sama sekali, sehingga setiap orang berhak berbuat
sekehendak hatinya? Apakah di sini kekuatan akan berarti kekuasaan?”
Orang yang
kurus itu masih termangu-mangu, sementara para petugas mengerutkan keningnya. Tetapi
orang yang tinggi kekar itu agaknya sama sekali sudah tidak dapat menguasai
kemarahannya. Selangkah demi selangkah ia maju. Bahkan ia pun kemudian
berteriak,
“Ayo. Kalau
kalian akan melawan, lawanlah bertiga. Kalau tidak, siapa yang lebih dahulu aku
pukuli sampai pingsan?”
Benar-benar di
luar dugaan bahwa Swandaru tertawa karenanya. Pertanyaan itu adalah pertanyaan
yang sangat menggelikan baginya. Agung Sedayu yang berdiri di sampingnya
menggamitnya. Tetapi ia pun telah tersenyum pula.
“Aku tidak
dapat menahan hati lagi,” berkata Swandaru sambil maju selangkah. Agaknya
gurunya memang telah memberi kesempatan kepadanya.
“Pertanyaanmu
lucu sekali. Siapa yang dengan suka rela bersedia dipukuli sampai pingsan? Kau
barangkali.”
Wajah orang
yang tinggi kekar itu menegang sejenak. Seperti orang-orang lain, ia tidak
menyangka sama sekali, bahwa anak yang baru saja sembuh itu, dengan beraninya
maju mendekatinya selagi ia marah bukan kepalang. Namun dengan demikian, orang
itu justru membeku sejenak di tempatnya, seolah-olah ia tidak percaya atas
penglihatannya.
“He, kenapa
kau justru mematung?” bertanya Swandaru yang tidak lagi berusaha mengekang
kata-katanya.
“Sebenarnya
aku harus mengucapkan terima kasih, karena kau telah memberi air selagi aku
kehausan. Kau ingat? Air apakah yang kau berikan kepadaku itu?” Swandaru
berhenti sejenak. Ditatapnya orang yang tinggi kekar dan orang yang kekurus-kurusan
itu berganti-ganti.
“He, kau ingat
kepada air itu? Sayang, air itu tidak berhasil membunuhku. Kemudian, apakah kau
dapat meyakinkan kami tentang ceritera ular Gundala Seta dan Gundala Wereng
justru ceritera itu bersamaan dengan serangan beberapa ekor ular di dalam gubug
kami? Dan yang terakhir ceritera tentang gubug kami yang terbakar yang kau
katakan, dibakar oleh hantu-hantu?”
Orang yang
tinggi kekar itu tidak dapat menahan hati lagi. Dengan serta-merta ia meloncat
maju sambil mengayunkan telapak tangannya ke pipi Swandaru yang gembung itu,
meskipun sudah agak susut. Swandaru sama sekali tidak bergeser. Ia hanya
menarik kepalanya sambil berpaling. Orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu,
seakan-akan membeku karenanya. Darah mereka serasa berhenti dan wajah-wajah
mereka menjadi pucat. Orang yang tinggi kekar itu adalah orang yang mempunyai
kekuatan yang luar biasa. Mereka pernah melihat bagaimana ia kehilangan
kesabaran, karena seseorang yang tidak mau menuruti nasehatnya. Kini hal itu
terulang lagi. Meskipun orang tua itu mempunyai dua orang anak yang masih muda,
dan yang mungkin memiliki keberanian pula untuk berkelahi, tetapi melawan orang
yang tinggi kekar itu sama sekali pasti tidak akan berarti. Tetapi kini mereka
melihat anak yang gemuk itu tanpa membayangkan kecemasan dan ketakutan sama sekali
telah berdiri menghadapinya. Apalagi, ketika mereka melihat tangan orang yang
tinggi kekar itu terayun di depan wajah Swandaru, hampir menyentuh pipinya.
Tetapi tangan itu sama sekali tidak menyinggungnya, meskipun Swandaru masih
tetap berdiri di tempatnya. Orang-orang yang menyaksikan hal itu menjadi heran.
Mereka hampir tidak melihat bagaimana Swandaru menghindar. Dan mereka
menganggap bahwa orang yang tinggi kekar itu telah bergerak begitu cepatnya.
Orang yang
tinggi kekar, yang merasa tangannya sama sekali tidak menyinggung sasarannya,
menjadi semakin marah. Hal itu tidak pernah terjadi atasnya. Ia pernah memukul
seorang anak muda di dalam lingkungan para pendatang yang mencoba melawan
kehendaknya. Bahkan ia pernah berkelahi melawan sekelompok pendatang yang
merasa dirugikan oleh tindakan-tindakannya. Dan ia pun pernah menghajar
seseorang yang tidak mau diusir dari daerah pembukaan hutan ini, sehingga orang
itu menjadi pingsan. Dan kini anak muda yang gemuk itu, yang pernah hampir mati
karena sakit dan bisa itu, dengan begitu saja telah berhasil menghindari
tangannya.
Karena itu
sejenak ia berdiri mematung. Ditatapnya wajah Swandaru sejenak. Tetapi
kemarahan di dadanya serasa menjadi semakin menyala, karena Swandaru justru
tersenyum kepadanya sambil berkata,
“Kau memang
terlampau kasar. Apakah, kau benar-benar tidak mau berbicara lagi?”
Orang itu
tidak menjawab. Kini ia telah bersiap untuk dengan bersungguh-sungguh berkelahi
melawan Swandaru. Karena menurut dugaannya, Swandaru sedikit atau banyak, pasti
mampu pula berkelahi, ternyata dengan caranya menghindari tangannya. Swandaru
melihat sikap orang yang tinggi kekar itu dengan dada yang berdebar-debar.
Kemudian perlahan-lahan ia mengangguk-anggukkan kepalanya, Swandaru pun
menduga, orang ini memang seorang yang pantas ditakuti di daerah pembukaan
hutan ini, bahkan para petugas yang bersenjata pun tidak dapat berbuat apa-apa
atasnya. Sejenak kemudian, keduanya telah bersiap untuk menghadapi setiap
kemungkinan. Orang-orang yang berdiri mengitari mereka pun semakin menyibak
pula. Mereka menduga bahwa akan terjadi suatu perkelahian. Tetapi dalam pada
itu mereka menaruh belas yang semakin mendalam kepada Swandaru yang sombong
itu. Kalau orang yang tinggi kekar itu tidak lagi dapat menahan diri, maka
kemungkinan yang paling buruk dapat terjadi atas Swandaru. Bukan saja ia akan
menjadi pingsan, tetapi barangkali lebih daripada itu. Apalagi kalau saudara
laki-lakinya dan ayahnya itu ikut membantu pula. Maka akibatnya akan
menyedihkan sekali. Swandaru yang sudah bersiap pula menghadapi orang yang
tinggi kekar itu tidak mau bermain-main lagi. Ia tidak tahu, sampai berapa jauh
kemampuan lawannya. Kalau orang itu tidak berhasil memukul pipinya, itu
bukannya suatu ukuran, karena hal itu dilakukannya sambil lalu saja, dan tanpa
memperhitungkan kemungkinan bahwa lawannya akan menghindar. Sejenak kemudian,
ketegangan pun memuncak ketika orang yang tinggi itu mulai menyerang. Dengan
kecepatan yang luar biasa ia meloncat langsung menyerang Swandaru, dengan
kakinya yang mendatar, sedang tubuhnya yang miring agak merendah pada lutut
kakinya yang lain. Namun Swandaru pun telah bersiap menghadapinya. Dengan
tangkasnya pula ia menarik sebelah kakinya. Ketika kaki lawannya meluncur di
sisinya, dengan cepat ia mendorong kaki itu ke depan. Namun lawannya pun lincah
pula. Begitu kakinya yang terlempar itu menjejak tanah, maka ia pun segera
berputar dengan sebuah serangan kaki mendatar. Swandaru terpaksa meloncat
surut. Tetapi segera ia bersiap untuk menyerang lawannya yang masih terputar
setengah lingkar. Begitu lawannya itu berhenti berputar, Swandaru meloncat
maju. Tangannya yang kuat langsung menjulur ke arah pundak kanan. Tetapi orang
itu masih sempat menggeliat. Sambil memiringkan tubuhnya ia menangkis pukulan
Swandaru itu. Ia terlampau percaya akan kekuatannya, sehingga ia yakin, bahwa
anak yang gemuk itu pasti akan terpental oleh kekuatannya sendiri. Tetapi
Swandaru ternyata telah mempergunakan sebagian besar dari kekuatannya, karena
ia belum tahu betapa besar kekuatan lawannya. Karena itu sentuhan pukulan
Swandaru dengan lengan orang yang tinggi kekar, yang menangkis serangannya itu,
merupakan suatu benturan dua kekuatan yang besar. Swandaru tergetar selangkah
surut. Namun ia segera tegak di atas kedua kakinya yang renggang, sedikit
merendah di atas lututnya. Satu tangannya bersilang di muka dadanya, sedang
tangannya yang lain terjulur lurus ke depan. Telapak tangannya terbuka, dan
keempat jari-jarinya merapat, sedang ibu jarinya sedikit merenggang di hadapan
telapak tangannya. Suatu sikap dalam unsur gerak Naga Rangsang. Dalam pada itu,
setiap dada serasa berhenti berdetak ketika mereka melihat akibat yang terjadi
atas seorang yang tinggi kekar itu.
Tanpa diduga
sama sekali oleh setiap orang, maka orang yang tinggi kekar itu ternyata telah
terlempar tiga langkah. Hampir saja ia kehilangan keseimbangannya. Hanya dengan
susah payah ia masih dapat tetap bertahan berdiri di atas kedua kakinya. Karena
itu, orang yang tinggi kekar itu tidak akan sempat untuk berbuat sesuatu,
apabila Swandaru langsung menyerangnya. Sikap Naga Rangsang itu sangat
berbahaya baginya. Setiap saat Swandaru dapat meloncat dan kedua tangannya
mematuk seperti seekor naga dari arah yang berbeda. Jari-jari tangannya yang
merapat, adalah senjata dari unsur gerak itu yang sangat berbahaya. Jari-jari
tangan Swandaru yang terlatih baik itu, akan mampu mencengkam daging lawannya.
Apalagi apabila daya tahan lawannya tidak memadai. Tetapi ketika Swandaru
melihat akibat benturan itu, ia tidak segera menyerang. Bahkan ia sempat
berpaling memandang gurunya yang berdiri di luar arena. Swandaru masih melihat
gurunya menggelengkan kepalanya. Karena itu, maka sikapnya pun mengendor pula.
Tangannya kini tidak lagi terjulur lurus ke depan. Kakinya tidak lagi
merenggang dan merendah pada lututnya, meskipun satu tangannya masih bersilang
di depan dadanya. Benturan itu dapat memberinya petunjuk, bahwa lawannya
bukanlah seseorang yang memiliki kemampuan luar biasa. Ia adalah seseorang yang
kuat dan berilmu. Tetapi bukan orang yang tidak terkalahkan. Meskipun benturan
itu belum berarti penentuan akhir dari perkelahian itu, tetapi setidak-tidaknya
Swandaru telah mempunyai sedikit gambaran tentang lawannya. Karena itulah, maka
ketika lawannya sedang memperbaiki keadaannya, maka Swandaru melangkah
seenaknya mendekatinya, meskipun sebenarnya ia tidak kehilangan kewaspadaan.
Tangan kirinya masih tetap bersilang di muka dadanya, tetapi tangan kanannya
melenggang di sisi tubuhnya.
“Luar biasa,”
ia berdesis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar