Jilid 054 Halaman 2


“sebaiknya kau berpikir dari arah lain. Lepaskanlah kami. Biarlah kami dimakan hantu, harimau, atau apa saja. Ular Gundala Seta dan Wereng sekali pun.”
“Sudah seribu kali aku katakan. Kau tidak dapat berdiri sendiri di mata hantu-hantu itu. Kau adalah satu dengan kami.”

Kiai Gringsing tidak menyahut lagi. Ketika Swandaru bergeser setapak, maka gurunya telah menginjak kakinya, sehingga Swandaru hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
“Terserahlah kepadamu. Aku akan berangkat. Semua sudah selesai,” berkata orang yang tinggi itu.
Ketika Kiai Gringsing berpaling, dilihatnya gardu itu memang sudah agak sepi. Hanya beberapa orang yang datang dengan tergesa-gesa karena agak lambatlah, yang masih berada di muka pintu untuk menerima rangsum mereka. Setelah itu, mereka pun dengan tergesa-gesa segera berangkat menyusul kawan-kawan mereka yang telah pergi lebih dahulu.
“Mereka bekerja dalam kelompok-kelompok,” berkata orang yang tinggi itu,
“sehingga mereka harus mulai bersama-sama. Tetapi itu lebih baik daripada sifat sombong yang kau pertahankan.”
Kiai Gringsing tidak sempat menjawab, karena orang itu pun kemudian pergi meninggalkannya.
“Orang aneh,” desis Agung Sedayu.
“Aku tidak sabar lagi,” sahut Swandaru.
“Jangan berbuat bodoh,” potong gurunya.
“Marilah, kita pun harus segera berangkat, supaya kita tidak dianggap sebagai orang-orang malas yang hanya akan menghabiskan rangsum makan saja.”
Ketiganya pun kemudian pergi lewat di depan gardu pengawas. Sambil membungkukkan kepalanya Kiai Gringsing berkata,
“Kami sudah mendapat rangsum, Tuan.”
Seorang pengawas tertawa sambil menyahut,
“Kalian termasuk orang aneh di sini.”
Kiai Gringsing hanya tertawa saja. Tetapi ia tidak menjawab. Bersama kedua muridnya ia pun pergi ke tanah garapan mereka yang dianggap oleh orang-orang yang sedang membuka hutan itu sebagai daerah yang paling wingit. Dengan penuh kewaspadaan mereka bekerja. Setiap kali mereka memperhatikan sesuatu yang agak asing, karena mereka tahu, bahwa ada pihak-pihak yang sedang bermain-main dengan racun di daerah ini. Untunglah bahwa Kiai Gringsing adalah seorang dukun tua yang sudah terlampau kaya dengan pengalaman, dengan segala macam penyakit dan juga dengan segala macam racun. Lamat-lamat mereka masih juga mendengar suara burung kedasih yang umumnya hanya berbunyi di malam hari. Tetapi karena mereka sudah biasa mendengarnya, maka mereka sudah tidak menghiraukannya lagi. Tetapi ternyata sehari itu mereka, tidak menjumpai peristiwa apa pun. Pada saatnya mereka pulang, mereka pun segera meninggalkan pekerjaan mereka. Ketika mereka sampai di gubug yang telah mereka pergunakan sebagai tempat tinggal, maka mulailah mereka membersihkannya. Setiap benda mereka amati sebelum mereka pindahkan.
“Tidak ada sebuah benda pun yang bergeser, Guru,” berkata Agung Sedayu.
“Ya, agaknya memang tidak ada seorang pun yang memasuki gubug ini. Tetapi itu bukan berarti bahwa kita dapat tidur dengan nyenyak nanti malam.”
Agung Sedayu dan Swandaru saling berpandangan sejenak.
“Jangan takut,” berkata Kiai Gringsing yang seolah-olah mengerti perasaan kedua anak-anak muda itu, “kita akan dapat tidur. Tetapi kita harus mengatur diri, sehingga setiap kali pasti ada yang terjaga di antara kita.”
Demikianlah, setelah gubug itu menjadi bersih dari sarang-sarang laba-laba dan kotoran-kotoran lain, debu dan serangga-serangga kecil, mereka pun menjadi semakin kerasan tinggal di dalam gubug itu. Swandaru tidak lagi segan berbaring di pembaringan, meskipun selalu diganggu oleh bunyinya yang berderit-derit. Tetapi amben bambu itu sudah tidak dilekati lagi oleh debu yang tebal dan sarang laba-laba yang kehitam-hitaman.
“Di sebelah masih ada beberapa jenis alat-alat dapur,” desis Swandaru kemudian.
“Kita tidak memerlukannya. Bukankah kita sudah mendapat makan?”
“Kalau kita haus?”
“Ambil saja di gardu pengawas,” sahut Agung Sedayu,
“bukankah di sana disediakan berapa saja kita akan minum.”
“Di malam hari kadang-kadang kita haus. Atau barangkali di pagi hari, begitu kira bangun tidur, ingin juga rasa-rasanya minum air panas, seperti ketika kita berada di Tanah Perdikan Menoreh.”
“Hus,” desis Agung Sedayu, “kau mulai mengigau.
“Swandaru tersenyum. Memang terkilas sebuah kenangan atas Tanah Perdikan itu dengan segala isinya.
“Barangkali kau memang tidak kerasan, tinggal di sini,” berkata Agung Sedayu,
“karena di sini kita hanya berkawan hantu-hantu saja. Kalau di sini ada orang yang menyediakan minummu di pagi hari, mungkin kau kerasan juga.”
Swandaru tidak menjawab. Tetapi ia masih saja tersenyum sambil mengusap-usap pipinya yang gembung, meskipun beberapa hari terakhir tampak ia agak susut sedikit.
“Nanti kalian tidurlah dahulu,” berkata Kiai Gringsing kemudian,
“aku akan berjaga-jaga. Kemudian aku akan tidur, dan kalian berdualah yang harus berjaga-jaga.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia mengerutkan keningnya ketika ia memandangi amben yang seolah-olah sudah penuh dipergunakan oleh Swandaru sendiri
“Minggirlah sedikit,” desis Agung Sedayu kemudian.
Swandaru tersenyum pula. “Kau akan tidur sekarang?” ia bertanya.
“Tidak. Aku hanya akan berbaring sejenak.”

Agung Sedayu pun kemudian berbaring pula di sisi Swandaru, sementara Kiai Gringsing duduk di sebuah dingklik kayu yang usang. Sejenak mereka saling berdiam diri. Agaknya mereka sedang menjelajahi angan-angan masing-masing yang menyelusur ke dunia yang asing. Ketika gelap menjadi semakin pekat, maka mereka pun segera menyalakan lampu minyak kelapa. Dari para pengawas mereka mendapatkan minyak untuk mengisi pelita. Agung Sedayu dan Swandaru-lah yang lebih dahulu akan tidur. Gurunya akan tetap berjaga-jaga sampai tengah malam, sementara Agung Sedayu dan Swandaru bangun, gurunyalah yang akan beristirahat. Sampai menjelang tengah malam, Kiai Gringsing yang duduk terkantuk-kantuk di dalam lindungan bayangan dinding yang menyekat ruangan gubug itu tidak melihat tanda-tanda yang mencurigakan. Meskipun demikian ia tidak kehilangan kewaspadaan. Setiap desir, betapa pun lembutnya, tidak lepas dari pengamatan telinganya yang tajam. Tetapi Kiai Gringsing tidak mendengar sesuatu yang dapat menumbuhkan kegelisahan. Sampai tengah malam Kiai Gringsing duduk tanpa bergerak di tempatnya. Sedang Agung Sedayu dan Swandaru telah tertidur dengan nyenyaknya. Meskipun kadang-kadang amben yang mereka pergunakan berderit-derit keras, kedua anak-anak muda itu tidak menghiraukannya. Bahkan Swandaru setiap kali berdesah apabila derit pembaringannya itu telah membangunkannya. Sedikit lewat tengah malam, Kiai Gringsing mulai menguap. Ingin juga ia berbaring meskipun hanya sejenak. Agaknya Agung Sedayu dan Swandaru sudah cukup lama beristirahat.
“Biarlah mereka ganti berjaga-jaga,” katanya di dalam hati.
Tetapi sebelum ia bangkit dari tempat duduknya yang terlindung bayangan dinding penyekat terasa sesuatu berdesir di dadanya, sehingga Kiai Gringsing itu mengurungkan niatnya. Kini jelas ditelinganya ia mendengar sesuatu. Tetapi pasti bukan bunyi desis ular seperti semalam.
“Apalagi yang akan terjadi?” ia bertanya kepada diri sendiri.
Tetapi Kiai Gringsing tidak segera berbuat sesuatu. Ia menunggu saja, apakah kira-kira yang akan terjadi. Sejenak suara-suara yang mencurigakannya itu terdiam. Yang didengar oleh Kiai Gringsing hanya desah nafas Agung Sedayu dan Swandaru yang masih tertidur nyenyak.
“Tetapi tidak,” Kiai Gringsing berkata di dalam hati,
“aku mendengar suara nafas yang lain. Tidak teratur seperti nafas anak-anak muda yang sedang tidur itu.”
Dengan demikian Kiai Gringsing mengetahui, bahwa di luar rumah itu ada seseorang yang sedang mengintip, sehingga orang tua itu sama sekali tidak bergerak dan bahkan nafasnya pun diaturnya baik-baik. Dalam keheningan malam, di antara desah nafas anak-anak muda yang sedang tidur, dan nafas seseorang yang ada diluar gubug. Kiai Gringsing mendengar suara berbisik,
“Mereka sudah tidur.”
Dada Kiai Gringsing menjadi semakin berdebar-debar. Kalau begitu pasti tidak hanya seorang saja yang berada di luar rumah ini. Sedikit-dikitnya pasti dua orang,
“Apakah kita lakukan sekarang?” bisik yang lain.
Sejenak tidak terdengar jawaban, sehingga dada Kiai Gringsing pun menjadi tegang pula. Sebuah pertanyaan melonjak di hatinya,
“Apakah yang akan mereka lakukan sekarang?”
Tetapi Kiai Gringsing harus tetap bersabar. Ia harus tetap berada di tempatnya, di bayangan dinding penyekat, supaya ia tidak mengejutkan orang-orang yang berada di luar gubug, sehingga mereka mengurungkan niat mereka. Yang dilakukan Kiai Gringsing adalah mempersiapkan dirinya untuk menghadapi segala kemungkinan, ia dapat meloncat selangkah untuk mencapai ujung amben Agung Sedayu dan Swandaru apabila diperlukan. Sejenak Kiai Gringsing tidak mendengar sesuatu selain tarikan nafas yang memburu. Agaknya orang-orang yang berada di luar rumah itu pun menjadi gelisah.
“Sekarang,” desis salah seorang dari mereka.
“Ya, sekarang,” jawab yang lain.
Kiai Gringsing menjadi semakin tegang. Apalagi sejenak kemudian ia mendengar gemerisik di depan pintu rumahnya.
“Bunyi apa lagi sekarang?” ia bertanya di dalam hatinya.
Tetapi bunyi itu sama sekali berbeda dari bunyi ular yang menyelusur lantai dan berdesis-desis.
Sejenak Kiai Gringsing menunggu. Dibiarkannya saja apa yang akan dilakukan oleh orang-orang di luar rumah itu. Namun ia menjadi berdebar-debar ketika ia mendengar orang-orang itu bergeser. Kini mereka berada di sudut gubug. Sekali lagi ia mendengar bunyi yang aneh itu. Gemerisik. Ternyata bunyi itu berpindah-pindah dari satu sudut ke sudut yang lain. Bahkan kemudian di beberapa tempat di seputar rumah itu. Dari sudut ke sudut.
“Cukup?” bertanya salah seorang dari mereka.
“Cukup,” jawab yang lain.
“Jadi, kita mulai saja sekarang.”
Tidak ada jawaban.
Sejenak Kiai Gringsing tidak mendengar sesuatu. Orang-orang itu pun agaknya bergeser menjauh, sehingga desah nafas mereka tidak terdengar lagi.

Kiai Gringsing duduk sambil menahan nafasnya. Ia yakin bahwa sebentar lagi akan terjadi sesuatu. Karena itu, ia tidak berbuat apa pun agar yang akan terjadi itu terjadilah. Ia pun tidak berusaha untuk menangkap keduanya, agar setiap orang masih tetap menganggap mereka sebagai petani-petani miskin yang tidak berarti, sehingga perhatian orang-orang di barak dan para pengawas tidak berubah. Dengan demikian Kiai Gringsing bermaksud untuk mendapat kesempatan yang agak luas tanpa, prasangka apa-apa. Tiba-tiba Kiai Gringsing terkejut ketika ia mendengar suara gemericik, tetapi bukan suara air. Dengan serta-merta ia memandang keluar, lewat celah-celah dinding. Sesaat ia tidak melihat bayangan apa pun di luar karena gelap malam. Tetapi sejenak kemudian dadanya berdesir tajam. Bayangan kemerah-merahan telah mewarnai lubang-lubang dinding yang jarang.
“Api,” desisnya. Hampir saja Kiai Gringsing meloncat mengejar orang-orang yang ada di luar gubugnya. Tetapi ia pun segera menahan diri. Apalagi ketika dilihatnya Agung Sedayu dan Swandaru masih tertidur nyenyak.
“Mereka harus segera bangun,” desisnya.
Kiai Gringsing pun kemudian meloncat ke pembaringan. Diguncangnya tubuh kedua muridnya itu sambil berdesis,
“Bangun. Rumah ini akan terbakar.”
Agung Sedayu segera meloncat bangkit. Tetapi Swandaru masih menggeliat sambil berdesis,
“Apa lagi, Guru?
“Api. Rumah ini sedang terbakar.”
Swandaru pun kemudian bangkit. Tetapi matanya segera terbelalak ketika ia melihat api mulai merayapi pintu.
“Pintu sudah terbakar,” desis Swandaru.
Kiai Gringsing kini mengerti, bahwa agaknya suara gemerisik itu adalah suara batang-batang ilalang, daun-daun rerumputan kering, yang sengaja diletakkan oleh orang-orang yang membakar gubug ini.
“Kita harus segera keluar dari rumah ini,” berkata Kiai Gringsing.
Tetapi ternyata api sudah menjalar hampir di seputar gubug kecil itu.
“Kita sudah dilingkari api,” berkata Swandaru kemudian.
“Belum. Kita masih mempunyai jalan. Mari, cepat. Ikuti aku.”
Kiai Gringsing pun kemudian mengambil ancang-ancang sejenak. Dengan sepenuh kekuatan ia mendorong dinding yang masih baru mulai dijalari api. Tetapi ternyata dinding itu tidak sekuat yang diduganya sehingga, kekuatan Kiai Gringsing jauh melampaui kemampuan dinding bambu itu. Dengan demikian Kiai Gringsing justru terdorong oleh kekuatannya sendiri sehingga ia terpelanting beberapa langkah. Karena itu, ia pun segera berguling sekali, lalu dengan sigapnya melenting berdiri. Meskipun api sudah menjilat hampir segenap bagian dinding gubug itu, Swandaru masih sempat menyambar bungkusan pakaian mereka. Sedang Agung Sedayu sempat pula tersenyum melihat gurunya yang hampir kehilangan keseimbangan. Kedua anak-anak muda itu pun kemudian berloncatan pula di atas api yang mulai membakar dinding yang sudah roboh itu.
“Guru sempat berlatih, bergumul dengan padas,” desis Swandaru yang melihat juga betapa gurunya berguling di tanah.
Kiai Gringsing berdiri bertolak pinggang sambil memandang api yang menjadi semakin besar.
“Aku kira dinding itu masih cukup kuat,” sahutnya, “apalagi aku agak tergesa-gesa juga.”
“Untunglah bahwa rumah ini tidak ikut serta roboh. Jika demikian maka kami yang ada di dalam, justru tidak akan mendapat kesempatan lolos lagi, karena timbunan reruntuhan itu akan segera dimakan api,” gumam Swandaru.
“Ah kau,” berkata gurunya,
“bukankah kalian bukan cacing-cacing yang mudah sekali menyerah kepada keadaan?”
Swandaru tidak menyahut. Tetapi ia masih juga tersenyum membayangkan bagaimana gurunya jatuh berguling-guling karena kekuatannya sendiri. Sejenak kemudian mereka bertiga berdiri tegak memancang api yang menjadi semakin besar menelan gubug yang dibuat dari kayu dan bambu itu. Begitu cepatnya, seolah-olah gubug itu merupakan makanan yang sangat lezat bagi api yang melonjak-lonjak menggapai-gapai langit
“Kenapa gubug itu tiba-tiba saja terbakar?” bertanya Agung Sedayu kemudian.
Kiai Gringsing menjadi ragu-ragu sejenak. Dipandanginya saja api yang semakin lama menjadi semakin besar. Sejenak kemudian mereka mendengar gubug itu berderak-derak roboh.
“Ada kesengajaan,” jawab Kiai Gringsing kemudian.
“Darimana Guru mengetahui?”
“Aku mendengar suara orang di luar dan suara rerumputan kering yang ditimbun di muka pintu dan di seputar gubug itu.”
“Dan Guru membiarkan hal itu terjadi?”
Kiai Gringsing menganggukkan kepalanya,
“Aku ingin tahu apa saja yang mereka lakukan. Sampai di mana usaha mereka untuk menekankan maksudnya, agar kita meninggalkan tempat ini.”
Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya sambil memandangi api yang menjilat ke udara. Sejenak ketiganya saling berdiam diri. Wajah-wajah mereka menjadi kemerah-merahan tersentuh oleh cahaya api. Titik-titik keringat tampak mengembun di kening dan dahi.
“Tidak ada seorang pun yang datang menjenguk,” desis Swandaru tiba-tiba.
“Tentu tidak,” sahut gurunya, “tidak ada orang yang berani keluar dari barak.”
“Para petugas?”
“Mereka pun tidak berani keluar dari gardu pengawas.”
“Bagaimana kalau terjadi kebakaran hutan di dalam keadaan begini?”
“Semuanya akan habis menjadi abu. Tetapi itu lebih baik. Kita tidak usah menebang pepohonan lagi.”
“Apakah dapat kita coba?”
Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya. Jawabnya,
“Tidak. Tidak akan dapat. Hutan ini adalah hutan yang hijau dan lebat. Sulit sekali terjadi kebakaran. Apalagi tanahnya yang lembab mengandung air.”

Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka masih saja memandangi api yang melonjak-lonjak meskipun semakin lama menjadi semakin susut.
“Kita kehilangan gubug yang baru saja kita pergunakan. Kalau tahu, gubug itu akan terbakar, kita tidak usah membersihkannya,” gumam Swandaru.
“Kalau saja kita tahu,” sahut Agung Sedayu,
“tetapi untunglah bahwa kita tidak tahu apa yang akan terjadi, sehingga dengan demikian kita berbuat sesuatu. Kalau kita tahu apa yang akan terjadi, maka kita tidak akan berbuat apa-apa.”
“Yang kita tahu pasti,” berkata gurunya,
“besok matahari akan terbit lagi. Kemudian berjalan mengarungi langit dan tenggelam di sebelah Barat. Tetapi apa yang terjadi selama itu, adalah di luar kemampuan kita untuk mengetahuinya. Bahkan apa yang akan terjadi atas diri kita sendiri.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih saja memandangi api yang masih menyala. Sekali-sekali masih terdengar derak kayu-kayu yang patah dan bambu yang meledak. Namun semakin lama api itu pun menjadi semakin susut. Gubug yang terpencil itu, sejenak kemudian telah menjadi seonggok bara yang merah, yang perlahan-lahan menjadi semakin suram.
“Apa yang akan kita lakukan sekarang, Guru?” bertanya Swandaru kemudian.
“Mencari orang-orang yang membakar gubug kita itu?”
Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya,
“Tidak. Kita tidak akan dapat mencarinya. Tetapi aku yakin bahwa pada suatu saat kita akan menemukannya.”
Swandaru mengerutkan keningnya yang kemerah-merahan oleh cahaya bara yang sudah hampir padam.
“Tidak seorang pun yang berani keluar dari barak dan dari gardu pengawas,” desis Swandaru kemudian.
“Ya. Mereka telah benar-benar ketakutan. Itulah yang menyulitkan,” sahut gurunya.
“Kita masih dapat mengerti, kalau orang-orang yang di dalam barak itu tidak berani keluar. Mereka takut kepada hantu-hantu, tetapi mereka juga selalu ditakut-takuti oleh orang-orang tertentu seperti kita,” potong Agung Sedayu.
“Tetapi seharusnya tidak demikian bagi para pengawas di gardu itu.”
“Agaknya mereka sudah terlalu lama berada di tempat ini. Sebaiknya setiap kali para pengawas itu diganti dengan orang-orang baru, sehingga menumbuhkan kesegaran dan kegairahan kerja di sepanjang daerah pembukaan hutan ini.”
Kedua muridnya hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Sudahlah. Relakan gubug itu. Gubug itu memang bukan milik kita,” berkata gurunya kemudian. Lalu,
“tetapi kita harus bersiap-siap menghadapi orang dari barak itu. Mereka pasti akan menyalahkan kita dengan segala macam dalih dan kemudian berusaha mengusir kita.”
“Darimana Guru tahu?”
“Itulah maksud mereka sebenarnya.”
“Lalu, apakah kita akan pergi?”
“Tentu tidak. Kita akan tetap di sini. Kita akan mengetahui lebih lanjut, apakah yang akan terjadi di sini, yang pasti merupakan salah satu gambaran dari daerah-daerah lain di sepanjang jalur perluasan Tanah Mataram ini.”
Kedua murid-muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya pula.
“Pada suatu saat kita akan bertemu dengan usaha Raden Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar beserta Ki Gede Pemanahan, yang pasti tidak akan tetap tinggal diam menghadapi keadaan serupa ini.”
Kedua muridnya masih saja mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, sekarang justru kalian akan dapat tidur. Tidurlah, aku akan menunggui kalian.”
“Tidak Guru,” jawab Agung Sedayu,
“kami sudah tidur lebih dari separo malam. Apakah Guru tidak lelah, dan ingin beristirahat?”
Gurunya tersenyum. Katanya, “Lihat, langit sudah menjadi kemerah-merahan.
Kedua murid Kiai Gringsing itu mengangkat kepalanya bersama-sama. Mereka pun melihat warna merah yang membayang di langit. Sementara bintang-bintang telah bergeser jauh ke Barat. Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata,
“Tetapi masih ada waktu sedikit, Guru. Kita dapat duduk di bawah pepohonan itu dan melepaskan lelah sejenak.”
Kiai Gringsing tersenyum, “Aku tidak lelah.”
“Dua malam Guru tidak tidur sekejap pun.”
“Baru dua malam. Kita harus dapat menguasai tubuh kita sebaik-baiknya. Tidak hanya dua malam. Dalam keadaan tertentu, kita harus dapat berbuat lebih banyak lagi. Tetapi sudah tentu bahwa kita menyadari, kekuatan tubuh kita pun sangat terbatas. Namun demikian dengan latihan-latihan yang baik, sedikit demi sedikit kita dapat memperlengkapi kemampuan yang sebenarnya memang sudah ada di dalam diri kita.”

Agung Sedayu tidak menyahut. Ditatapnya wajah gurunya yang sudah dipenuhi oleh kerut-merut ketuaannya. Tetapi wajah itu masih tampak segar, sesegar dedaunan yang basah oleh embun. Sementara Swandaru menundukkan kepalanya sambil mengusap dagunya.
“Tetapi, baiklah,” berkata gurunya kemudian,
“kita tidak perlu berdiri di sini sampai pagi. Kita dapat duduk di bawah pohon itu sambil menunggu, siapakah orang yang pertama-tama akan datang kemari.”
Ketiganya pun kemudian duduk di bawah sebatang pohon di halaman gubug yang sudah terbakar itu. Sejenak mereka saling berdiam diri. Namun tatapan mereka masih saja melekat pada seonggok abu yang masih mengepulkan asap yang kehitam-hitaman. Sementara itu, langit menjadi semakin cerah. Dan bayangan cahaya matahari pun menjadi semakin terang, menyentuh mega putih yang bergumpal-gumpal di punggung cakrawala. Tanpa sesadarnya Agung Sedayu menyelusuri bayangan fajar yang merah. Tanah Mataram memang sudah terbuka, seolah-olah menghadap ke Timur. Sedang di bagian Barat, hutan masih terbujur seperti dinding raksasa yang membatasi tanah yang sedang tumbuh ini. Namun angan-angannya justru menerawang semakin jauh. Terbayang di rongga matanya hutan yang meskipun tidak sebesar Mentaok, namun cukup lebat adalah hutan Tambak Baya, yang menurut pendengarannya sudah mulai disentuh pula oleh tangan para pendatang di tanah Mataram ini. Kalau hutan itu kelak terbuka, maka jalur jalan ke Timur menjadi semakin luas. Batas Tanah Mataram akan langsung bersentuhan dengan padukuhan dan kademangan-kademangan yang kini ada di sebelah Timur Hutan Tambak Baya. Desa-desa kecil yang terpisah dari jalur-jalur jalan ramai itu akan mengalami banyak sekali perubahan. Cupu Watu, Temu Agal, Bogeman yang mulai ramai dan terletak di sisi Barat Kademangan Prambanan. Jalur ini akan terus merambat ke Timur, lewat hutan-hutan yang tidak begitu garang, dan yang memang sudah tertembus oleh jalan-jalan niaga, akan segera sampai ke tlatah padukuhan Benda dan kemudian Kademangan Sangkal Putung. Agung Sedayu menarik nafas. Tanpa sesadarnya ia berpaling memandang wajah Swandaru yang bulat itu. Terkilas sejenak wajah seorang gadis, adik anak muda yang gemuk itu. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat ingkar, bahwa ia sebenarnya ingin juga segera meninggalkan hutan ini pergi ke Sangkal Putung. Namun dalam pada itu, tiba-tiba matanya seakan-akan telah menembus hutan yang hijau kehitam-hitaman, menyeberangi Kali Praga menginjak ke tlatah Menoreh. Tanah Perdikan yang baru saja ditinggalkannya. Tanah Perdikan yang kini sedang berusaha menyembuhkan luka-luka yang telah mencengkamnya selama ini, seperti juga Ki Gede Menoreh berusaha menyembuhkan luka-luka pada dirinya. Sekali lagi Agung Sedayu berpaling memandangi Swandaru. Dan bahkan terbersit suatu pertanyaan di kepalanya.
“Agaknya Tanah Perdikan Menoreh masih harus mengalami banyak masalah. Apakah kelak Swandaru akan menjadi Demang di Sangkal Putung sekaligus Kepala Tanah Perdikan Menoreh atas nama Pandan Wangi, apabila mereka benar-benar akan menjadi suami isteri?”
Agung Sedayu yang sedang menerawang di dunia angan-angannya itu, tiba-tiba tersadar ketika Swandaru menggamitnya sambil berkata,
“Hem, aku mengantuk lagi.”
“Tidurlah,” hampir tidak sadar Agung Sedayu menjawab.
“Tidur? Sekarang ini?”
“O, maksudku, bukan kau sudah tidur separo malam.”
Swandaru tiba-tiba memandang wajah Agung Sedayu dengan tatapan mata yang aneh. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata dalam nada yang tinggi, meskipun perlahan-lahan,
“He, agaknya kau sedang melamun, Kakang. Nah, apa saja yang kau pikirkan? Tentu bukan hutan yang lebat ini, dan tentu bukan hantu-hantu dan eh, kau tahu bahwa hantu-hantu perempuan, maksudku hantu betina. Mana yang benar, perempuan atau betina, namanya peri. Apakah kau melihat sesosok peri? Peri berbentuk seorang perempuan yang sangat, sangat cantik. Seperti bidadari dalam pengertian yang bertolak belakang. Bentuknya saja seperti bidadari.”
“Kau pernah melihat bidadari?”
Swandaru mengerutkan keningnya. Jawabnya,
“Kata orang. Sedang peri itu pun sekedar kata orang.”
“Kau percaya?”
“Tentu, hantu-hantu tidak semuanya laki-laki. Mereka berumah tangga seperti manusia. Bukankah kesimpulan daripada itu, ada juga hantu-hantu perempuan? Hanya hantu yang bertingkat tinggi sajalah yang beristerikan peri. Bukan jerangkong. Kalau jerangkong, isterinya wewe. Tetapi kalau prayangan, itulah yang beristerikan peri.”
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi masih saja seperti orang yang tidak menyadari dirinya, ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia terkejut ketika tiba-tiba saja Swandaru meraba dahinya sambil berdesis,
“Eh, tidak panas.”
“Hus,” desis Agung Sedayu sambil menggeliat,
“jangan main-main. Lihat, langit sudah terang. Sebentar lagi mereka akan datang.”
Swandaru mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun mengangkat wajah menatap langit. Meskipun demikian ia masih bertanya kepada Agung Sedayu,
“Siapakah yang akan datang? Peri-peri yang cantik itu?”
“Ah,” desah Agung Sedayu sambil berdiri,
“orang-orang itu pasti sudah bangun. Mereka akan segera mendengar bahwa rumah kita telah terbakar. Mereka akan beramai-ramai datang kemari. Orang yang kurus dan orang yang tinggi kekar itu pasti akan marah lagi kepada kita.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya,
“Orang itu meskipun bertubuh kekar, hatinya sekecil menir. Demikian ketakutan mencengkam jantungnya, sehingga ia begitu bernafsu untuk mengusir kita.”
“Mungkin tidak begitu,” berkata Kiai Gringsing,
“bukan karena ketakutan yang mencengkamnya. Tetapi barangkali ia mempunyai maksud-maksud lain.”
“Apakah kira-kira maksud itu, Guru?” bertanya Swandaru sambil berpaling.
“Itulah yang masih harus kita selidiki. Kita ingin mengetahui apakah sebenarnya yang dikehendakinya.”
Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan gurunya berkata seterusnya,
“Karena itu, kita harus menahan diri. Kecuali apabila kita sudah terpaksa, kita akan menentukan sikap sejauh harus kita lakukan. Tetapi pada dasarnya kita akan tetap berada di daerah ini.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia kemudian menengadahkan wajahnya, dilihatnya langit menjadi semakin cerah.
“Sebentar lagi mereka akan datang,” desisnya.
Sebelum gurunya menyahut, Swandaru berkata,
“Para pengawas pun pasti akan datang juga. Agaknya merekalah yang melihat api itu lebih dahulu dari gardunya daripada orang-orang yang ada di dalam barak.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya ketika di dalam keremangan pagi ia melihat seseorang berjalan dengan tergesa-gesa.
“Siapakah itu?” ia bertanya.
Swandaru dan gurunya pun kemudian berdiri. Dipandanginya orang yang semakin lama menjadi semakin dekat.
“Seorang petugas.”
“Ki Wanakerti.”
Sebenarnyalah bahwa orang yang mendekati mereka itu adalah Wanakerti. Dengan suara yang terbata-bata ia berkata,
“Syukurlah kalau kalian selamat. Aku cemas, bahwa kami para pengawas hanya akan menemukan abu dari kerangka kalian. Sejak api itu berkobar, hatiku sama sekali tidak tenteram. Karena itu, aku telah mendahului kawan-kawanku untuk menengok kalian. Ketika aku melihat beberapa sosok tubuh di sini, hatiku menjadi agak tenteram. Ternyata kalian benar-benar masih selamat.”
“Tuhan masih melindungi kami,” berkata Kiai Gringsing.
“Syukurlah. Sebentar lagi beberapa orang petugas yang lain pasti akan datang juga. Mereka pun menjadi cemas, bahwa mereka tidak akan dapat melihat kalian lagi.”
“Ternyata kami masih akan menyambut mereka.”
“Sudah tentu orang-orang di barak itu pun akan datang pula kemari.”
“Ya. Mereka ingin tahu, apa yang sudah terjadi di sini.”
Wanakerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Kami berpendapat, bahwa hantu-hantu itu memang benar-benar telah marah kepada kalian, sehingga kalian telah dibakarnya hidup-hidup.”
“Tetapi mereka tidak berhasil.”
Petugas itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi keheranan yang sangat telah terbersit di wajahnya. Di dalam hati ia berkata,
“Orang-orang ini memang orang-orang aneh.”
Namun dalam pada itu pembicaraan mereka pun terhenti. Di kejauhan tampak bayangan beberapa orang yang berdatangan. Semakin lama menjadi semakin dekat. Ternyata yang datang adalah beberapa orang dari barak dan beberapa orang petugas.
“Hem, kalian memang orang-orang yang bernasib baik,” berkata salah seorang petugas.
“Kami sudah menyangka, bahwa kalian telah menjadi abu.”
“Seperti yang Tuan lihat,” jawab Kiai Gringsing.
“Jangan sombong,” orang yang tinggi kekar itu menyahut,
“kali ini kalian bernasib baik. Tetapi besok, lusa, kalian akan mengalami perlakuan yang sangat mengerikan.”
“Seperti yang sudah aku katakan kepada Ki Wanakerti. Tuhan selalu melindungi kami,” berkata Kiai Gringsing.
“Tetapi lain kali kau tidak akan dapat lolos. Dan kami pun tidak dapat memberi kesempatan hal itu terjadi. Sebab kemungkinan yang paling besar, lain kali barak kami itulah yang akan menjadi sasaran kemarahan hantu-hantu itu.”
“Ki Sanak,” berkata Kiai Gringsing,
“kami sudah melepaskan diri dari kalian. Tidak ada sangkut pautnya lagi. Biarlah kemarahan itu menimpa diri kami.”
“Gila. Sudah aku katakan. Tidak mungkin. Tidak mungkin.”
“Kami sudah siap seandainya kami harus mengalami perlakuan yang sangat mengerikan seperti apapun. Kami yakin bahwa Tuhan masih melindungi kami. Itu adalah pendapat kami yang sebenarnya. Kiai Damar, hantu dari Gunung Merapi yang bernama Kiai Dandang Wesi dan siapa pun lagi, adalah lantaran-lantaran yang dapat saja dipergunakan oleh Tuhan untuk menyelamatkan kami. Tetapi adalah menjadi pegangan kami yang sebenarnya, bahwa kehendak Tuhan-lah yang akan berlaku. Bukan kehendak hantu-hantu yang manapun juga. Betapa hantu-hantu itu menjadi marah kepada kami, tetapi selama Tuhan tidak membiarkan kami menjadi korbannya, tidak ada suatu pun yang dapat dilakukannya atas kami di sini.”
“Persetan,” teriak orang yang tinggi kekar itu,
“kalian telah menghasut kami dan membiarkan kami menjadi korban. Kalian memang benar-benar pengkhianat yang harus dimusnahkan. Dengar, bahwa kami pun dapat memusnahkan kalian sekarang juga. Sekarang.”

Kiai Gringsing tidak segera menjawab. Ditatapnya saja wajah orang yang tinggi kekar itu. Wajah yang menjadi kemerah-merahan oleh perasaannya yang meledak-ledak. Sekali lagi Kiai Gringsing harus menggamit Swandaru yang menjadi gelisah.
“Tidak ada maaf lagi bagi kalian sekarang,” berkata orang yang tinggi kekar itu.
“Kami sudah terlampau banyak memberi kesempatan. Tetapi setiap kali kalian seolah-olah telah menghinakan kami.”
“Sama sekali tidak,” jawab Kiai Gringsing.
“Semuanya telah terbukti. Mula-mula hanya anakmu sajalah yang telah dikutuk oleh hantu-hantu itu sehingga menjadi sakit dan bahkan hampir mati. Kemudian barak kami telah dilempari dengan batu. Sekarang salah satu gubug kami telah terbakar. Maka besok atau lusa, barak kamilah yang akan terbakar habis. Nah, jika demikian, maka kami semuanya akan menderita. Usaha kami selama ini akan sia-sia.”
“Itu tidak mungkin. Barak kalian tidak akan terbakar. Biarlah hantu-hantu itu datang kepada kami. Kami akan memberi mereka penjelasan.”
“Omong kosong. Semuanya omong kosong,” berkata orang yang tinggi kekar itu.
“Kami sudah mengambil keputusan, bahwa kalian memang harus pergi dari sini. Sekarang tidak akan dapat kau tunda lagi. Tidak akan ada alasan apa pun yang dapat kalian kemukakan.”
“Tunggu,” sahut Kai Gringsing,
“aku masih mempunyai masalah yang dapat aku katakan kepada kalian.”
“Tidak. Kau tidak mendapat kesempatan apa pun. Pagi ini kalian harus pergi dari tempat ini. Selama ini kalian tidak bermanfaat apa pun bagi kami, justru kalian telah membuat kami semakin tidak tenteram. Karena itu, kalian hanya dapat pergi. Pergi. Bawalah semua yang kalian punyai di sini. Kalian tidak akan dapat kembali lagi.”
“Ki Sanak,” berkata Kiai Gringsing kemudian,
“siapakah yang sebenarnya berkuasa dan berhak mengatur tata tertib di sini. Kau atau para petugas yang resmi di tempatkan di sini?”
“Akulah yang berkuasa,” berkata orang yang tinggi kekar itu.
“O, tentu tidak. Kau pendatang seperti kami.”
“Jangan kau bantah lagi. Akulah yang di dalam kenyataannya berkuasa di sini. Ayo, bertanyalah kepada para petugas. Di sini ada beberapa orang petugas. Mereka tidak akan berani berbuat apa-apa terhadap aku.”
Kiai Gringsing tidak segera menjawab. Dipandanginya saja orang yang tinggi kekar itu. Namun sebagai seorang yang memiliki pengalaman dan pengetahuan yang cukup, ia memang melihat sesuatu pada orang yang tinggi kekar itu.
“Kesempatan terakhir buat kalian adalah minta diri. Ayo, berpamitanlah kepada kawan-kawan dan sahabat-sahabatmu di sini, serta kepada para petugas.”
Kiai Gringsing tidak segera menyahut, ia masih tetap berdiri termangu-mangu di tempatnya.
“Cepat, sebelum kami kehabisan kesabaran,” berkata orang yang tinggi kekar itu.
Selagi Kiai Gringsing masih termangu-mangu, maka seseorang telah maju mendekatinya. Katanya,
“Sebenarnya kami merasa sayang juga kehilangan kalian. Tetapi apa boleh buat. Memang sebaiknya kalian pergi meninggalkan tempat ini.”
“Kenapa?” bertanya Kiai Gringsing.
“Setidak-tidaknya kau tidak akan menimbulkan keributan. Kau tidak akan mengalami nasib yang buruk seperti yang pernah terjadi. Seseorang yang tidak menjadi sakit karena hantu-hantu, tetapi justru karena ia keras kepala, sehingga terpaksa diusir dengan kekerasan. Apalagi orang itu mencoba melawan. Maka akhirnya ia menjadi kecewa dan menyesal. Ia mengalami luka-luka dan harus meninggalkan tempat ini pula.”
“Siapakah yang melukainya?”
“Orang ini juga. Ia selalu mencoba menyelamatkan barak kami seisinya dengan menyingkirkan orang-orang yang mungkin akan mendatangkan bencana bagi kami.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi jawabnya sangat mengejutkan,
“Maaf, Ki Sanak. Kami sudah bertekad untuk tetap tinggal di sini. Selama para petugas tidak mengusir kami, kami tidak akan pergi. Bahkan seandainya hak kami dicabut sekalipun oleh para petugas, kami akan menghadap langsung kepada Ki Gede Pemanahan atau puteranya Mas Ngabehi Loring Pasar, karena kami merasa berhak ikut serta membuka hutan ini.”
“Kami tidak berbicara tentang hak,” potong orang yang tinggi kekar itu,
“tetapi kami ingin menyelamatkan diri kami.”
“Sudahlah,” berkata orang yang kekurus-kurusan, “tinggalkan tempat ini selagi kalian masih sehat.”
“Ya,” berkata orang yang lain.
“Lebih baik kalian pergi. Pergilah ke pedukuhan yang telah menjadi ramai di pusat Tanah Mataram. Kalian akan menemukan lapangan yang cukup untuk mencari sesuap nasi.”
“Ya, pergilah, pergilah,” yang lain lagi berkata, “untuk kebaikanmu sendiri.”
Tetapi Kiai Gringsing masih tetap membungkam. Keningnya menjadi semakin berkerut-merut.
“He, apakah kalian menunggu kesabaranku habis?” teriak orang yang tinggi kekar itu.

Kiai Gringsing memandang wajah para petugas yang diliputi oleh keragu-raguan. Mereka berdiri saja mematung tanpa dapat berbuat apa pun juga, sehingga Kiai Gringsing bertanya kepada mereka,
“Bagaimana Tuan? Apakah aku memang sudah boleh tinggal di sini?”
Sebelum para petugas itu dapat menjawab, orang yang tinggi itu mendahului,
“Tidak ada kesempatan lagi. Pergi, sekarang ini juga. Kalau kalian masih juga berbicara, maka mulut kalian akan aku sobek.”
Mata orang itu terbelalak ketika ia melihat Swandaru membuka mulutnya. Bahkan terlalu lebar. Hampir saja ia meloncat menampar pipinya yang gembung itu. Tetapi niat itu diurungkannya, karena ternyata Swandaru hanya menguap. Namun wajah orang yang tinggi kekar itu menjadi merah padam, ketika ia mendengar Swandaru berdesis,
“Aku jadi mengantuk sekali.”
Orang yang tinggi kekar itu benar-benar merasa terhina. Karena itu ia menjadi gemetar. Tetapi ketika ia melangkah maju, beberapa orang mencoba mencegahnya,
“Sudahlah. Biarlah mereka pergi.”
Salah seorang telah mendekati Kiai Gringsing sambil berbisik,
“Sudahlah. Tinggalkan tempat yang sama sekali tidak memberikan harapan apa pun ini. Mungkin besok atau lusa, datang giliranku untuk meninggalkan tempat ini.”
“Maaf,” Kiai Gringsing menggeleng, “aku tetap tinggal di sini.”
Wajah orang itu menjadi tegang. Namun kemudian ia berkata,
“Terserahlah kepadamu. Kami sudah mencoba mencegah keributan dan mencoba memberimu peringatan. Tetapi kalau kau tetap keras kepala, kami tidak dapat berbuat apa-apa apabila sesuatu terjadi atas kalian. Para petugas itu pun tidak.”
Kiai Gringsing tidak beranjak dari tempatnya. Bahkan kemudian ia berpaling kepada kedua muridnya. Ketika ia mengangguk kecil, seperti berebutan Agung Sedayu dan Swandaru berloncatan maju.
“Biarlah Swandaru menguap lagi,” berkata Kiai Gringsing.
Sikap ketiganya sama sekali tidak dimengerti oleh orang-orang yang berdiri di seputar mereka. Sejenak mereka berdiri mematung, sementara cahaya matahari telah mulai menyentuh ujung dedaunan.
“Matahari telah naik,” Kiai Gringsing justru berkata,
“kenapa kalian tidak mempersiapkan diri untuk pergi bekerja?”
“Gila, gila!” orang yang tinggi kekar itu berteriak.
“Memang kalian ingin mengalaminya. Minggir! Minggir!”
Wajah-wajah di sekitar orang yang tinggi kekar itu menjadi tegang. Mereka kini tidak akan dapat mencegahnya lagi. Sebagian dari mereka telah menjadi gelisah. Tetapi sebagian yang lain berkata di dalam hatinya,
“Terserahlah. Kami sudah mencoba memperingatkannya. Tetapi mereka benar-benar orang-orang yang keras kepala.”

Dan orang yang berdiri termangu-mangu itu pun kemudian menyibak, seolah-olah membuat suatu lingkaran di sekeliling orang yang tinggi kekar yang kini berdiri berhadapan dengan Kiai Gringsing itu. Sementara itu, orang yang kekurus-kurusan itu pun maju selangkah sambil berkata,
“Kalian telah menyia-nyiakan maksud baik kami. Sekarang, kalian akan mengalaminya. Kalian akan menyesal karenanya. Tetapi penyesalan itu tidak akan banyak berarti. Nanti, setelah kalian pingsan, kalian akan dilempar ke pinggir hutan. Terserahlah akan nasib kalian. Apakah kalian akan mati ditelan harimau, atau sama sekali disendal mayang oleh hantu-hantu, itu bukan urusan kami lagi.”
“Apakah hal itu dapat dibenarkan oleh tata tertib kehidupan beradab di Mataram?” bertanya Kiai Gringsing.
Ternyata pertanyaan itu telah membuat orang yang kekurus-kurusan itu menjadi ragu-ragu sejenak, sedang Kiai Gringsing berkata terus,
“Kalian telah melakukan pelanggaran tata tertib kehidupan yang beradab bagi Mataram. Kalau hal itu kalian lakukan, maka saksi-saksi akan berbicara. Atau Mataram memang tidak mempunyai hukum sama sekali, sehingga setiap orang berhak berbuat sekehendak hatinya? Apakah di sini kekuatan akan berarti kekuasaan?”
Orang yang kurus itu masih termangu-mangu, sementara para petugas mengerutkan keningnya. Tetapi orang yang tinggi kekar itu agaknya sama sekali sudah tidak dapat menguasai kemarahannya. Selangkah demi selangkah ia maju. Bahkan ia pun kemudian berteriak,
“Ayo. Kalau kalian akan melawan, lawanlah bertiga. Kalau tidak, siapa yang lebih dahulu aku pukuli sampai pingsan?”
Benar-benar di luar dugaan bahwa Swandaru tertawa karenanya. Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang sangat menggelikan baginya. Agung Sedayu yang berdiri di sampingnya menggamitnya. Tetapi ia pun telah tersenyum pula.
“Aku tidak dapat menahan hati lagi,” berkata Swandaru sambil maju selangkah. Agaknya gurunya memang telah memberi kesempatan kepadanya.
“Pertanyaanmu lucu sekali. Siapa yang dengan suka rela bersedia dipukuli sampai pingsan? Kau barangkali.”
Wajah orang yang tinggi kekar itu menegang sejenak. Seperti orang-orang lain, ia tidak menyangka sama sekali, bahwa anak yang baru saja sembuh itu, dengan beraninya maju mendekatinya selagi ia marah bukan kepalang. Namun dengan demikian, orang itu justru membeku sejenak di tempatnya, seolah-olah ia tidak percaya atas penglihatannya.
“He, kenapa kau justru mematung?” bertanya Swandaru yang tidak lagi berusaha mengekang kata-katanya.
“Sebenarnya aku harus mengucapkan terima kasih, karena kau telah memberi air selagi aku kehausan. Kau ingat? Air apakah yang kau berikan kepadaku itu?” Swandaru berhenti sejenak. Ditatapnya orang yang tinggi kekar dan orang yang kekurus-kurusan itu berganti-ganti.
“He, kau ingat kepada air itu? Sayang, air itu tidak berhasil membunuhku. Kemudian, apakah kau dapat meyakinkan kami tentang ceritera ular Gundala Seta dan Gundala Wereng justru ceritera itu bersamaan dengan serangan beberapa ekor ular di dalam gubug kami? Dan yang terakhir ceritera tentang gubug kami yang terbakar yang kau katakan, dibakar oleh hantu-hantu?”
Orang yang tinggi kekar itu tidak dapat menahan hati lagi. Dengan serta-merta ia meloncat maju sambil mengayunkan telapak tangannya ke pipi Swandaru yang gembung itu, meskipun sudah agak susut. Swandaru sama sekali tidak bergeser. Ia hanya menarik kepalanya sambil berpaling. Orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu, seakan-akan membeku karenanya. Darah mereka serasa berhenti dan wajah-wajah mereka menjadi pucat. Orang yang tinggi kekar itu adalah orang yang mempunyai kekuatan yang luar biasa. Mereka pernah melihat bagaimana ia kehilangan kesabaran, karena seseorang yang tidak mau menuruti nasehatnya. Kini hal itu terulang lagi. Meskipun orang tua itu mempunyai dua orang anak yang masih muda, dan yang mungkin memiliki keberanian pula untuk berkelahi, tetapi melawan orang yang tinggi kekar itu sama sekali pasti tidak akan berarti. Tetapi kini mereka melihat anak yang gemuk itu tanpa membayangkan kecemasan dan ketakutan sama sekali telah berdiri menghadapinya. Apalagi, ketika mereka melihat tangan orang yang tinggi kekar itu terayun di depan wajah Swandaru, hampir menyentuh pipinya. Tetapi tangan itu sama sekali tidak menyinggungnya, meskipun Swandaru masih tetap berdiri di tempatnya. Orang-orang yang menyaksikan hal itu menjadi heran. Mereka hampir tidak melihat bagaimana Swandaru menghindar. Dan mereka menganggap bahwa orang yang tinggi kekar itu telah bergerak begitu cepatnya.
Orang yang tinggi kekar, yang merasa tangannya sama sekali tidak menyinggung sasarannya, menjadi semakin marah. Hal itu tidak pernah terjadi atasnya. Ia pernah memukul seorang anak muda di dalam lingkungan para pendatang yang mencoba melawan kehendaknya. Bahkan ia pernah berkelahi melawan sekelompok pendatang yang merasa dirugikan oleh tindakan-tindakannya. Dan ia pun pernah menghajar seseorang yang tidak mau diusir dari daerah pembukaan hutan ini, sehingga orang itu menjadi pingsan. Dan kini anak muda yang gemuk itu, yang pernah hampir mati karena sakit dan bisa itu, dengan begitu saja telah berhasil menghindari tangannya.
Karena itu sejenak ia berdiri mematung. Ditatapnya wajah Swandaru sejenak. Tetapi kemarahan di dadanya serasa menjadi semakin menyala, karena Swandaru justru tersenyum kepadanya sambil berkata,
“Kau memang terlampau kasar. Apakah, kau benar-benar tidak mau berbicara lagi?”

Orang itu tidak menjawab. Kini ia telah bersiap untuk dengan bersungguh-sungguh berkelahi melawan Swandaru. Karena menurut dugaannya, Swandaru sedikit atau banyak, pasti mampu pula berkelahi, ternyata dengan caranya menghindari tangannya. Swandaru melihat sikap orang yang tinggi kekar itu dengan dada yang berdebar-debar. Kemudian perlahan-lahan ia mengangguk-anggukkan kepalanya, Swandaru pun menduga, orang ini memang seorang yang pantas ditakuti di daerah pembukaan hutan ini, bahkan para petugas yang bersenjata pun tidak dapat berbuat apa-apa atasnya. Sejenak kemudian, keduanya telah bersiap untuk menghadapi setiap kemungkinan. Orang-orang yang berdiri mengitari mereka pun semakin menyibak pula. Mereka menduga bahwa akan terjadi suatu perkelahian. Tetapi dalam pada itu mereka menaruh belas yang semakin mendalam kepada Swandaru yang sombong itu. Kalau orang yang tinggi kekar itu tidak lagi dapat menahan diri, maka kemungkinan yang paling buruk dapat terjadi atas Swandaru. Bukan saja ia akan menjadi pingsan, tetapi barangkali lebih daripada itu. Apalagi kalau saudara laki-lakinya dan ayahnya itu ikut membantu pula. Maka akibatnya akan menyedihkan sekali. Swandaru yang sudah bersiap pula menghadapi orang yang tinggi kekar itu tidak mau bermain-main lagi. Ia tidak tahu, sampai berapa jauh kemampuan lawannya. Kalau orang itu tidak berhasil memukul pipinya, itu bukannya suatu ukuran, karena hal itu dilakukannya sambil lalu saja, dan tanpa memperhitungkan kemungkinan bahwa lawannya akan menghindar. Sejenak kemudian, ketegangan pun memuncak ketika orang yang tinggi itu mulai menyerang. Dengan kecepatan yang luar biasa ia meloncat langsung menyerang Swandaru, dengan kakinya yang mendatar, sedang tubuhnya yang miring agak merendah pada lutut kakinya yang lain. Namun Swandaru pun telah bersiap menghadapinya. Dengan tangkasnya pula ia menarik sebelah kakinya. Ketika kaki lawannya meluncur di sisinya, dengan cepat ia mendorong kaki itu ke depan. Namun lawannya pun lincah pula. Begitu kakinya yang terlempar itu menjejak tanah, maka ia pun segera berputar dengan sebuah serangan kaki mendatar. Swandaru terpaksa meloncat surut. Tetapi segera ia bersiap untuk menyerang lawannya yang masih terputar setengah lingkar. Begitu lawannya itu berhenti berputar, Swandaru meloncat maju. Tangannya yang kuat langsung menjulur ke arah pundak kanan. Tetapi orang itu masih sempat menggeliat. Sambil memiringkan tubuhnya ia menangkis pukulan Swandaru itu. Ia terlampau percaya akan kekuatannya, sehingga ia yakin, bahwa anak yang gemuk itu pasti akan terpental oleh kekuatannya sendiri. Tetapi Swandaru ternyata telah mempergunakan sebagian besar dari kekuatannya, karena ia belum tahu betapa besar kekuatan lawannya. Karena itu sentuhan pukulan Swandaru dengan lengan orang yang tinggi kekar, yang menangkis serangannya itu, merupakan suatu benturan dua kekuatan yang besar. Swandaru tergetar selangkah surut. Namun ia segera tegak di atas kedua kakinya yang renggang, sedikit merendah di atas lututnya. Satu tangannya bersilang di muka dadanya, sedang tangannya yang lain terjulur lurus ke depan. Telapak tangannya terbuka, dan keempat jari-jarinya merapat, sedang ibu jarinya sedikit merenggang di hadapan telapak tangannya. Suatu sikap dalam unsur gerak Naga Rangsang. Dalam pada itu, setiap dada serasa berhenti berdetak ketika mereka melihat akibat yang terjadi atas seorang yang tinggi kekar itu.
Tanpa diduga sama sekali oleh setiap orang, maka orang yang tinggi kekar itu ternyata telah terlempar tiga langkah. Hampir saja ia kehilangan keseimbangannya. Hanya dengan susah payah ia masih dapat tetap bertahan berdiri di atas kedua kakinya. Karena itu, orang yang tinggi kekar itu tidak akan sempat untuk berbuat sesuatu, apabila Swandaru langsung menyerangnya. Sikap Naga Rangsang itu sangat berbahaya baginya. Setiap saat Swandaru dapat meloncat dan kedua tangannya mematuk seperti seekor naga dari arah yang berbeda. Jari-jari tangannya yang merapat, adalah senjata dari unsur gerak itu yang sangat berbahaya. Jari-jari tangan Swandaru yang terlatih baik itu, akan mampu mencengkam daging lawannya. Apalagi apabila daya tahan lawannya tidak memadai. Tetapi ketika Swandaru melihat akibat benturan itu, ia tidak segera menyerang. Bahkan ia sempat berpaling memandang gurunya yang berdiri di luar arena. Swandaru masih melihat gurunya menggelengkan kepalanya. Karena itu, maka sikapnya pun mengendor pula. Tangannya kini tidak lagi terjulur lurus ke depan. Kakinya tidak lagi merenggang dan merendah pada lututnya, meskipun satu tangannya masih bersilang di depan dadanya. Benturan itu dapat memberinya petunjuk, bahwa lawannya bukanlah seseorang yang memiliki kemampuan luar biasa. Ia adalah seseorang yang kuat dan berilmu. Tetapi bukan orang yang tidak terkalahkan. Meskipun benturan itu belum berarti penentuan akhir dari perkelahian itu, tetapi setidak-tidaknya Swandaru telah mempunyai sedikit gambaran tentang lawannya. Karena itulah, maka ketika lawannya sedang memperbaiki keadaannya, maka Swandaru melangkah seenaknya mendekatinya, meskipun sebenarnya ia tidak kehilangan kewaspadaan. Tangan kirinya masih tetap bersilang di muka dadanya, tetapi tangan kanannya melenggang di sisi tubuhnya.
“Luar biasa,” ia berdesis.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar