Tetapi kita telah gagal. Ternyata di antara para pengawal itu terdapat juga kaki tangan Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak yang menumbuhkan keragu-raguan di antara para pengawal sendiri.”
Ki Gede
Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini terasa betapa jauh akibat yang
timbul dari persoalan yang semula dianggapnya sebagai persoalan yang kecil,
yang perlahan-lahan akan dapat diatasi. Sejenak kemudian mereka pun melintasi
daerah yang sudah mulai dibuka. Pepohonan yang besar sudah roboh membujur
lintang. Bahkan di sana-sini terdapat beberapa buah gubug yang sudah mulai
rusak dan tidak terpelihara.
“Mereka sudah
mulai membuka padukuhan-padukuhan kecil. Tetapi mereka segera menarik diri
ketika mereka merasa di ganggu oleh hantu-hantu,” berkata Sutawijaya pula.
“Ternyata
keterangan yang selama ini kau berikan kepadaku tidak lengkap Sutawijaya. Kau
tidak menggambarkan apa yang terjadi sebenarnya.”
“Bukan
maksudku, Ayah. Aku menganggap bahwa persoalannya tidak begitu penting untuk
aku sampaikan kepada Ayah. Aku kira, aku akan dapat mengatasinya sendiri sampai
pada keadaan terakhir. Tetapi ternyata kita berhadapan dengan orang-orang yang
mumpuni. Bukan saja dalam olah kanuragan, tetapi juga merupakan seorang
perencana yang baik untuk mencoba menggagalkan usaha yang besar ini.”
Ki Gede
Pemanahan tidak segera menjawab. Diangguk-anggukkannya kepalanya. Terbayang
betapa ketakutan dan kengerian yang menyelubungi tanah-tanah garapan yang
sedang dibuka itu. Dan terbayang pula, usaha yang tidak kenal lelah dari Kiai
Gringsing, murid-muridnya bersama Sumangkar untuk membuka kedok hantu-hantuan
itu.
Sejenak
kemudian mereka pun telah berada di dekat barak yang sudah mulai ramai lagi
oleh kesibukan penghuni-penghuninya yang sedang mengemasi alat-alat mereka yang
selama ini hampir tidak pernah mereka sentuh. Mereka sudah akan mulai lagi
dengan kerja mereka, membuka hutan yang lebat itu untuk tanah garapan. Ternyata
kedatangan pasukan kecil itu benar-benar telah mengejutkan para pengawal.
Mereka sama sekali tidak menduga bahwa Sutawijaya akan begitu cepatnya kembali,
apalagi bersama Ki Gede Pemanahan sendiri. Karena itu, maka setiap orang di
barak itu menjadi sibuk. Ada yang mempersiapkan tempat, ada yang berlari-lari
ke dapur dan ada yang langsung menyongsong kedatangan pemimpin tertinggi dari
Tanah Mataram yang sedang di buka itu. Kedatangan Ki Gede Pemanahan disertai
putera dan beberapa orang pengawal benar-benar tidak terduga-duga, sehingga
para pengawal pun menjadi bingung menerimanya. Sejenak kemudian Ki Gede
Pemanahan pun telah duduk di serambi barak yang masih belum teratur, karena
anak-anak dan perempuan masih berada di barak itu pula. Mereka masih belum
berani kembali ke barak yang diperuntukkan bagi mereka, meskipun agaknya
keadaan telah menjadi semakin baik. Setelah menanyakan keadaan barak dan tanah
yang akan mereka garap kembali, maka mulailah Ki Gede Pemanahan mencari-cari.
Tetapi tidak ada seorang pun yang pernah dikenalnya atau pernah dilihatnya
sebelumnya. Bahkan di antara mereka Ki Gede Pemanahan tidak melihat pula
Sumangkar.
Karena itu,
maka Ki Gede Pemanahan pun segera bertanya kepada Wanakerti,
“Apakah orang
yang menamakan dirinya Truna Podang masih ada di sini?”
Wanakerti
mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menjawab,
“Tidak Ki
Gede. Ki Truna Podang telah meninggalkan tempat ini bersama seorang saudaranya
dan kedua anak-anaknya.”
Ki Gede
Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Kiai Gringsing benar-benar tidak
mau menemuinya. Mungkin ia merasa belum datang saatnya, atau barangkali ia
benar-benar tidak mempunyai waktu lagi untuk berada lebih lama di pinggir hutan
itu.
“Mereka pergi
ke Sangkal Putung,“ desis Sutawijaya.
“Kalau kita menyusul
mereka berkuda, kita pasti akan menemukan mereka di perjalanan.”
Ki Gede
Pemanahan menggelengkan kepalanya.
“Jadi maksud
Ayah?”
Ki Gede
Pemanahan merenung sejenak. Kemudian katanya,
“Kita akan
bermalam di sini. Besok kita kembali.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun rencana itu telah membuat Wanakerti menjadi bingung tetapi
juga merasa tenteram. Sepeninggal Kiai Gringsing malam itu, mereka telah
ditunggui oleh Ki Gede Pemanahan sendiri, sehingga seandainya masih juga ada
bahaya yang mengancam barak itu, akan segera dapat teratasi. Tetapi di samping
itu ia menjadi bingung juga, di mana nanti malam Ki Gede Pemanahan akan
dipersilahkan tidur. Barak itu merupakan sebuah ruangan yang memanjang hampir
tanpa batas. Di dalam barak itu, bahkan sampai di serambinya, telah penuh
berderet-deret tikar dan alas tidur bagi penghuninya. Agaknya Ki Gede melihat
kegelisahan Wanakerti. Karena itu maka katanya,
“Jangan
bingung di mana aku akan tidur nanti malam. Aku adalah seorang prajurit.
Setidaknya bekas seorang prajurit. Di masa kecil pun aku hidup di sebuah
padesan yang bernama Sela. Aku sudah biasa tidur di sembarang tempat. Aku dapat
tidur sambil duduk, bahkan sambil bersandar dan berdiri.”
Wanakerti
tidak menyahut. Ia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja.
Dalam pada
itu, selagi Ki Gede Pemanahan berada, di daerah yang baru dibuka, yang baru
saja dilanda oleh badai yang hampir menggagalkan segala usaha itu, Kiai
Gringsing dan kedua muridnya bersama Ki Sumangkar sedang berjalan menuju ke
Sangkal Putung. Mereka berangkat hampir bersamaan waktunya dengan keberangkatan
Ki Gede Pemanahan dari pusat pemerintahan tanah Mataram. Tetapi jarak yang
ditempuh oleh Kiai Gringsing lebih panjang dari jarak yang dilalui oleh Ki Gede
Pemanahan. Apalagi Kiai Gringsing bersama murid-muridnya dan Sumangkar hanya
sekedar berjalan kaki, sedang Ki Gede Pemanahan dan pengiringnya naik di atas
punggung kuda. Perjalanan yang sedang dilakukan itu merupakan perjalanan yang
mendebarkan hati bagi Swandaru dan Agung Sedayu. Swandaru tiba-tiba saja merasa
rindu kepada ayah dan ibunya, kepada adiknya dan kawan-kawannya bermain. Sedang
Agung Sedayu mulai dibayangi oleh wajah Sekar Mirah. Wajah yang kadang-kadang
lunak dan lembut, tetapi kadang-kadang menyala seperti api yang berkobar-kobar.
Tatapan matanya yang kadang-kadang tampak redup itu dapat dengan tiba-tiba pula
memancarkan sikapnya yang angkuh dan tinggi hati. Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Bagaimana pun juga ia sudah tertambat kepada gadis itu.
“Tidak ada
manusia yang sempurna,“ berkata Agung Sedayu di dalam hatinya
“tentu ada
kelebihan dan kekurangan. Demikian juga pada Sekar Mirah. Aku melihat kelebihan
yang ada pada dirinya sebagai seorang gadis yang lincah dan gembira, tetapi ada
juga beberapa kekurangan. Namun mudah-mudahan aku kelak akan dapat menuntunnya.
Membina kelebihan-kelebihan yang ada padanya, dan menyingkirkan
kekurangan-kekurangannya, meskipun tidak sempurna.”
Namun
tiba-tiba di luar kehendaknya sendiri, terbayang pula wajah seorang gadis lain
yang mereka tinggalkan di Tanah Perdikan Menoreh. Gadis yang mempunyai sifat
yang berbeda dengan Sekar Mirah. Meskipun keduanya sama-sama anak perempuan
tunggal, tetapi puteri Ki Argapati itu sama sekali tidak manja, tidak tinggi
hati dan hidup dalam suasana prihatin karena ibunya meninggal sejak lama,
sehingga ia tidak banyak mempunyai kesempatan bermanja-manja.
“Kalau mereka
kelak kawin,“ berkata Agung Sedayu di dalam hatinya,
“Swandarulah
agaknya yang akan menjadi manja.”
Agung Sedayu
menundukkan kepalanya. Dipandanginya jari-jari kakinya yang melangkah, di
antara rerumputan yang kering. Namun kemudian ia berkata pula di dalam hatinya,
“Mudah-mudahan
mereka kelak berbahagia. Dan mudah-mudahan aku pun berbahagia juga.”
Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam. Tanpa disadarinya ia telah berada di paling belakang
dari iring-iringan kecil yang menyusup di hutan yang semakin lebat. Meskipun
tidak selebat dan seluas Alas Mentaok, tetapi Tambak Baya juga termasuk hutan
yang jarang-jarang dilalui orang. Bahkan kadang-kadang beberapa orang perampok
telah menunggu di pinggir jalan setapak di tengah-tengah hutan. Apabila ada
beberapa orang pedagang yang lewat, maka kadang-kadang mereka berani mengganggu
dan merampas barang-barang yang dibawanya. Tetapi pada umumnya pedagang-pedagang
yang berani lewat Alas Tambak Baya adalah pedagang-pedagang yang percaya kepada
kemampuan diri atau membawa beberapa orang yang dapat melindungi mereka dari
para penjahat itu. Tetapi iring-iringan itu sama sekali tidak perlu
menghiraukan apakah mereka akan bertemu dengan penjahat atau tidak. Mereka sama
sekali tidak membawa barang-barang yang berharga selain senjata masing-masing.
Dan agaknya tidak ada sekelompok penjahat di Alas Mentaok pun yang dapat
mengganggu iring-iringan yang terdiri dari empat orang itu. Tetapi mereka
adalah Kiai Gringsing dan dua muridnya serta Ki Sumangkar. Ketika mereka sampai
di tengah-tengah Alas Mentaok, mereka pun tertegun sejenak, ketika mereka
mendengar suara gemeremang di hadapan mereka. Kiai Gringsing yang berjalan di
paling depan berpaling. Sambil menunjuk ia berkata,
“Aku kira
serombongan pedagang yang lewat.”
“Ya,“ jawab
Sumangkar.
”Kalau mereka
penjahat, mereka tidak akan berbicara di antara mereka selagi ada orang lewat.”
“Tetapi kita
harus ber-hati-hati,“ desis Kiai Gringsing yang mendengar desir dedaunan di
sekitarnya. Namun ia berdiri saja di tempatnya, seperti juga Sumangkar dan
kedua muridnya, seolah-olah mereka sama sekali tidak mengetahuinya.
Sejenak
kemudian beberapa orang bersenjata bermunculan di sekitarnya. Lima orang.
“He, siapakah
kalian?”, bertanya salah seorang.
Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya. Kini ia mengerti, bahwa orang-orang yang bergeremang itu
sengaja menarik perhatian mereka, agar kedatangan kawan-kawannya yang mengepung
itu tidak diketahui.
“Siapa?”
bentak salah seorang dari mereka.
Kiai Gringsing
masih belum menjawab. Diamatinya saja mereka seorang demi seorang.
Dalam pada itu
suara orang-orang yang berseragam itu pun menjadi semakin dekat. Ketika
terdengar seorang dari mereka bersiul maka salah seorang dari kelima orang
bersenjata itu pun menjawab dengan sebuah siulan pula. Sejenak kemudian
muncullah beberapa orang menuntun beberapa ekor kuda kerdil yang dimuati dengan
berbagai macam barang. Mereka benar pedagang-pedagang yang menyeberang hutan
Mentaok bersama beberapa orang pengawal. Beberapa orang di antara mereka
ternyata bersenjata pula, dan ikut serta mengepung Kiai Gringsing bersama
murid-muridnya dan Ki Sumangkar.
“Kalian belum
menjawab. Siapakah kalian?”
“Namaku Truna
Podang,“ jawab Kiai Gringsing. Orang-orang itu saling berpandangan sejenak.
Lalu salah seorang bertanya pula, ”Apa maksudmu berada di tengah-tengah hutan
ini?”
“Kami akan
pergi ke Sangkal Putung.”
“Jadi kalian
bukan penjahat yang akan menyamun kami?”
Kiai Gringsing
menggelengkan kepalanya, “Tidak. Tidak.”
”Dan kalian
tidak takut berjalan hanya berempat di hutan Tambak Baya ini?” bertanya yang
lain.
“Kenapa
takut?”
“Di hutan ini
kadang-kadang ada perampok dan penyamun.”
“Kami tidak
membawa apa pun juga. Seandainya kami bertemu dengan perampok atau penyamun,
maka apa yang dimintanya akan kami berikan.”
“Kalau
nyawamu?”
“Apa boleh
buat.”
Orang-orang
itu saling berpandangan sejenak. Namun mereka pun kemudian berbicara di antara
mereka sendiri.
“Kita berjalan
terus,“ berkata para pengawal itu.
Namun demikian
seorang pedagang yang berambut putih tetapi masih cukup tegap dan kuat berkata,
“Apakah kau
tidak menjumpai penyamun di perjalananmu?”
“Tidak. Aku
tidak menjumpai seorang pun.”
“Darimanakah
kalian sebenarnya?”
“Kami datang
dari Alas Mentaok. Dari daerah yang baru dibuka itu. Kami akan kembali ke
Sangkal Putung untuk mengambil alat-alat lebih banyak lagi. Agaknya tanah yang
sedang dibuka itu akan menjadi daerah yang ramai.”
Para pedagang
dan pengawal itu tidak bertanya lagi. Mereka pun segera meneruskan
perjalanannya. Agaknya mereka pun akan pergi ke Mataram atau daerah-daerah yang
telah agak ramai di dekat Pasisir Kidul, di pinggir Kali Praga. Sepeninggal
mereka maka Kiai Grhigsing pun berkata,
“Perdagangan
ke daerah yang baru dibuka itu dan sekitarnya pasti menjadi semakin ramai.
Jalan ini ternyata menjadi semakin banyak dilalui, menilik rerumputan yang
sudah menjadi gundul di jalan setapak ini.”
Ki Sumangkar
pun menganggukkan kepalanya sambil menjawab,
”Ya. Perdagangan
di daerah Selatan akan mengalir ke Barat, tidak lagi ke Timur. Namun dengan
demikian ketegangan antara daerah-daerah yang berkepentingan pun kian
menjadi-jadi.”
“Mudah-mudahan
tidak menumbuhkan persoalan yang sama tidak dikehendaki.”
Sumangkar masih
ingin menjawab. Tetapi tiba-tiba ia menelan ludahnya seakan-akan ia telah
menelan kata-kata yang hampir terloncat dari bibirnya. Di dalam hati ia
bergumam,
“Aku lebih
baik diam. Aku kira aku tidak perlu memberikan tanggapan atas kedua daerah yang
sedang berkembang itu. Kalau lidahku salah ucap, maka akan dapat menumbuhkan
banyak persoalan pada diriku, justru karena aku berasal dari Jipang.”
Mereka pun
kemudian meneruskan perjalanan mereka pula di bawah sinar matahari yang semakin
condong ke Barat, menyusup di antara dedaunan, membuat garis-garis yang
kemerah-merahan. Ternyata perjalanan di daerah yang masih berhutan lebat itu
telah membuat langkah mereka menjadi agak lambat. Mereka harus menghindari
kayu-kayu yang roboh dan merunduk di bawah dahan-dahan yang digayuti oleh
sulur-sulur yang rendah. Namun karena jalan yang agaknya menjadi sering
dilalui, maka mereka tidak banyak menjumpai kesulitan yang berarti. Meski pun
demikian mereka tidak dapat mencapai Sangkal Putung di hari itu juga. Ketika
matahari terbenam, mereka masih harus berjalan terus. Mereka mencoba
menghindari padukuhan-padukuhan yang ramai di daerah Prambanan, supaya tidak
menumbuhkan kecurigaan karena mereka masih kurang dikenal di Kademangan itu.
Mereka lebih senang berjalan di bulak-bulak panjang atau apabila terpaksa,
melintasi padukuhan-padukuhan kecil saja. Namun sekali-sekali mereka tidak
dapat menghindari sebuah padukuhan yang cukup besar di hadapan perjalanan
mereka. Tetapi karena hari masih belum terlampau malam, maka mereka pun tidak
banyak mengalami gangguan. Hanya kadang-kadang seorang dua orang yang berdiri
di ujung padukuhan menyapanya dan bertanya tujuannya. Tetapi mereka tidak
pernah menghentikannya dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
bersungguh-sungguh. Apalagi gardu-gardu peronda masih belum terisi, sehingga
mereka tidak banyak mengalami gangguan. Demikianlah mereka berjalan semakin
cepat. Setelah mereka melintas beberapa padukuhan, maka mereka kembali memasuki
hutan-hutan yang membujur di Timur. Tetapi hutan-hutan itu sudah bukan lagi
hutan-hutan lebat. Di pinggir hutan itu telah banyak terdapat tanah garapan.
Namun agaknya karena masih belum dibuat parit-parit yang dapat mengairinya,
tanah garapan yang masih merupakan pategalan itu masih belum banyak
menghasilkan. Meskipun demikian, di hutan-hutan yang tidak begitu lebat itu
masih juga terdapat beberapa pasang harimau yang kadang-kadang mengganggu
padukuhan-padukuhan di sekitarnya. Namun demikian Kiai Gringsing dan kedua
muridnya beserta Sumangkar telah bertekad untuk berjalan terus, sehingga mereka
akan sampai ke Sangkal Putung sebelum tengah malam. Untunglah bahwa mereka
adalah orang-orang yang memiliki ketahanan tubuh yeng baik karena
latihan-latihan yang berat sebelumnya, sehingga meskipun mereka berjalan sehari
penuh, bahkan lebih hampir separo malam deagan waktu istirahat yang sangat
pendek, namun mereka masih tampak cukup segar. Demikianlah ketika mereka
menjadi semakin dekat dengan Kademangan Sangkal Putung, maka mereka pun menjadi
semakin berdebar-debar. Kademangan itu sudah agak lama mereka tinggalkan,
sehingga mungkin sudah ada beberapa perubahan yang cukup berarti.
Kini Sangkal
Putung sudah bukan menjadi daerah yang perlu mendapat perlindungan prajurit
karena tidak ada lagi gangguan yang dapat mengancam kademangan itu. Widura
sudah tidak berada lagi di Sangkal Putung. Tetapi bersama-sama dengan Untara
mereka berada di Jati Anom.
“Agar tidak
nampak jelas, bahwa mereka sedang mengamat-amati perkembangan daerah baru itu,“
desis Agung Sedayu di dalam hati. “Adalah kebetulan Kakang Untara berasal dari
Jati Anom.”
Tetapi Agung
Sedayu tidak mengatakannya kepada siapa pun juga, meskipun ia mengira bahwa
baik Kiai Gringsing maupun Sumangkar dan bahkan juga Swandaru, mempunyai
pikiran yang serupa itu pula. Tiba-tiba saja langkah mereka berempat itu
tertegun ketika mereka mendengar derap beberapa ekor kuda. Sejenak kemudian
muncullah di hadapan mereka dalam keremangan malam, bayangan beberapa orang
berkuda mendekatinya, sehingga mereka pun harus segera menepi. Tetapi ketika
tampak oleh para penunggangnya, maka kuda-kuda itu pun segera berhenti beberapa
langkah dari Kiai Gringsing dan rombongannya.
“Siapakah
kalian?” terdengar salah seorang dari mereka bertanya.
Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya. Ternyata mereka adalah prajurit-prajurit Pajang. Agaknya
mereka sedang meronda. Namun memang agak berlebih-lebihan, bahwa di daerah yang
aman ini mereka meronda bersama-sama empat orang sekaligus.
“Tetapi
mungkin juga mereka mempunyai kepentingan lain,“ desis Kiai Gringsing di dalam
hatinya.
“Siapa, he?”
prajurit itu mengulangi.
“Kami
orang-orang Sangkal Putung, Tuan,“ jawab Kiai Gringsing.
“Dari mana?”
Sejenak Kiai
Gringsing termangu-mangu, namun kemudian,
“Kami baru
saja kembali dari Prambanan menengok saudara kami yang tinggal di sana.”
“Kenapa
malam-malam begini? Kenapa tidak besok pagi atau siang tadi.”
“Kami
berangkat pagi-pagi dari Sangkal Putung. Dan kami berusaha untuk hari ini juga
sampai di rumah kami, karena besok kami mempunjai kuwajiban di sawah dan ladang
kami.”
Sejenak
prajurit-prajurit itu mengamat-amati Kiai Gringsing dan kawan-kawannya. Karena
tidak ada yang mencurigakan, maka prajurit-prajurit itu pun kemudian berkata,
“Hati-hati1ah.”
Kiai Gringsing
memandang orang-orang berkuda itu sejenak. Namun ia tidak sempat menjawab dan
bertanya apa pun lagi. Orang-orang berkuda itu pun segera meninggalkan mereka
berdiri termangu-mangu. Ketika orang-orang berkuda itu sudah menjadi semakin
jauh, maka Kiai Gringsing pun berdesis,
“Kenapa harus
berhati-hati? Bukankah daerah ini sekarang menjadi daerah yang aman?”
Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Ya. Daerah
ini sebenarnya termasuk daerah yang aman sekarang. Mungkin sebagai prajurit
adalah menjadi kebiasaannya untuk berpesan begitu kepada bawahannya, atau
kepada siapa pun juga.”
Kiai Gringsing
pun mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Tetapi pesan itu telah berkesan di
hatinya. Meskipun demikian ia tidak bertanya-tanya lagi tentang pesan itu. Ternyata
seperti gurunya, Agung Sedayu pun mempersoalkan pesan itu di hatinya. Namun
kemudian ia berkata,
“Mungkin aku
terlampau peka mendengar setiap pesan orang lain setelah aku berada di daerah
yang selalu diliputi oleh kegelisahan untuk waktu yang agak lama. Mudah-mudahan
tidak ada persoalan apa pun yang tumbuh lagi di daerah ini.”
Demikianlah
maka keempat orang itu pun melanjutkan perjalanan mereka ke Sangkal Putung.
Jarak itu menjadi semakin lama semakin pendek, sehingga akhirnya kaki mereka
pun telah melangkah masuk ke dalam lingkungan wilayah Kademangan Sangkal
Putung.
Swandaru
menarik nafas dalam-dalam. Sambil menengadahkan kepalanya ia berkata,
“Alangkah
segarnya udara Sangkal Putung.”
Kiai Gringsing
tersenyum. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia pun berkata,
“Ya. Alangkah
segarnya udara Sangkal Putung. Setelah sekian lama kita meninggalkan daerah
ini, masih juga daerah ini bersedia menerima kita lagi.”
Tanpa
dikehendakinya sendiri Agung Sedayu pun tiba-tiba telah menarik nafas
dalam-dalam pula, seolah-olah udara di atas daerah Sangkal Putung itu memang
memberikan kesegaran bagi mereka. Demikianlah maka mereka pun segera
melanjutkan langkah mereka. Seperti ketika berada di Prambanan, mereka pun
berusaha menghindari padukuhan-padukuhan yang ramai agar perjalanan mereka
tidak terganggu. Apalagi apabila orang-orang padukuhan itu mengenal mereka
sebagai Swandaru, maka langkahnya pasti akan terhenti setiap kali untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang pasti akan sangat menjemukan sebelum ia
menghadap ayah dan ibunya, demang di Sangkal Putung. Karena itu, maka mereka pun
berusaha melalui jalan-jalan di bulak-bulak dan bahkan kadang-kadang lewat
pematang yang memintas. Selain menghindari orang-orang Sangkal Putung yang
kebetulan sedang meronda, dengan demikian mereka pun akan segera sampai ke
induk kademangan.
Tetapi, apabila
perlu, untuk menghindari peronda di gardu-gardu yang terletak di mulut lorong
padukuhan, maka mereka justru lewat jalan yang agak memutar, sekedar untuk
menghindari gardu itu. Sebab Swandaru menganggap bahwa di gardu-gardu itu pasti
masih banyak anak-anak muda yang sedang meronda atau sekedar duduk sambil
berbicara bersama kawan-kawannya. Dengan demikian maka perjalanan mereka
benar-benar tidak terganggu. Ada juga satu dua orang yang sedang berada di
sawah menunggui air parit yang mengaliri sawahnya itu. Tetapi orang-orang itu
agaknya tidak berusaha menyapanya. Bahkan mereka seakan-akan tidak melihat
mereka atau sama sekali acuh tidak acuh.
Namun
sikap-sikap itu tidak begitu menarik perhatian, apalagi Swandaru yang ingin
segera sampai ke rumahnya. Menemui ibu bapanya. Ketika mereka turun ke jalan
yang langsung menusuk padukuhan induk Kademangan Sangkal Putung, maka dada
Swandaru menjadi semakin berdebar-debar. Juga dada Agung Sedayu. Bahkan terasa
kakinya menjadi berat untuk melangkah maju. Berbagai perasaan telah bergulat di
dalam dirinya. Tentang dirinya sendiri, tetapi juga tentang pesan Sutawijaya
yang tiba-tiba telah meloncat di kepalanya. Pesan untuk kakaknya Untara yang
seolah-olah telah menempatkan dirinya ke dalam suatu keadaan yang dipisahkan
oleh batas yang tidak kasat mata.
Tetapi Agung
Sedayu berusaha menenangkan dirinya. Katanya di dalam hati,
“Biarlah aku
pikirkan besok. Aku masih belum akan bertemu dengan Kakang Untara malam ini.
Bahkan besok pun belum.”
Seperti yang
mereka duga, maka di regol padukuhan itu masih juga terdapat sebuah gardu yang
terisi oleh beberapa orang peronda. Dan mereka berempat tidak akan dapat
menghindari para peronda itu, kecuali apabila mereka memasuki padukuhan itu
lewat jalan-jalan sempit di antara kebun-kebun yang rimbun. Ternyata bahwa para
peronda itu melihat mereka di dalam keremangan malam. Salah seorang dari para
peronda itu meloncat turun dari gardu dan berjalan maju beberapa langkah
disusul oleh dua orang yang lain.
“Berhentilah,
Ki Sanak,“ sapa salah seorang peronda itu “siapakah kalian?”
Kiai
Gringsing, dua orang muridnya dan Sumangkar berhenti beberapa langkah dari
peronda itu.
“Siapakah
kalian dan hendak pergi ke mana?”
Kiai Gringsing
termangu-mangu sejenak. Namun sudah tentu bahwa kepada orang-orang Sangkal
Putung ia tidak akan dapat menyembunyikan diri. Terlebih-lebih lagi Swandaru
dan Agung Sedayu yang pasti sudah dikenal oleh anak-anak muda. Karena itu, maka
tanpa ragu-ragu lagi ia menjawab,
“Aku mengantar
putera Ki Demang.”
Para peronda
itu mengangkat wajahnya. Sesuatu terlintas pada kesan di wajah mereka. Bahkan
mereka pun saling berpandangan sejenak, lalu salah seorang dari mereka berkata,
“Putera Ki
Demang yang manakah yang kalian maksudkan?”
Kiai Gringsing
menepuk bahu Swandaru, lalu didorongnya anak muda itu maju selangkah sambil
berkata,
“Apakah kalian
pernah mengenal anak muda yang bulat ini.”
Para peronda
itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian hampir berbareng mereka berdesis,
“Swandaru.
Swandaru kah ini?”
Swandaru tidak
menjawab. Ia hanya tersenyum, saja melihat tingkah laku para peronda itu.
Mereka yang masih berada di atas gardu itu pun segera berloncatan turun.
Serentak mereka maju mendekati anak muda yang gemuk itu dan mencoba
mengamat-amatinya di dalam keremangan malam.
“He, kaukah
Swandaru Geni?” seorang anak muda maju.
“Apakah kau
tidak mengenal aku lagi?” jawab Swandaru.
“O, kau,“
seorang anak muda yang lain langsung menepuk perutnya.
“Kau masih
juga sebulat jeruk gulung.”
Para peronda
itu pun segera mengelilingi dan hampir tidak menghiraukan lagi orang-orang yang
lain, yang datang bersama Swandaru itu. Berebutan mereka memberikan salam dan
menepuk bagian-bagian tubuhnya. Pundaknya, lengannya, perutnya bahkan
punggungnya.
“Kau agak
susut sedikit,“ berkata seorang anak muda yang tinggi kekurus-kurusan,
“tetapi dengan
demikian kau menjadi semakin tampan.”
“Ya, badanmu
agak susut sedikit.”
“Ya. Swandaru
menjadi bertambah langsing.”
Dan seperti
yang dicemaskan Swandaru itu pun terjadilah. Seperti grojogan sewu,
kawan-kawannya melontarkan seribu macam pertanyaan berurutan sehingga Swandaru
menjadi bingung.
“Ke mana saja
kau selama ini, Swandaru?” dan sebelum Swandaru menjawab, yang lain telah
memotong,
“Kami sangat
merindukan kau. Apakah kau pergi bertapa he?” Dan yang lain, “He, apakah kau
membawa oleh-oleh buat kami?”
Swandaru
tertawa saja. Katanya kemudian,
“Simpanlah
pertanyaan kalian. Aku akan segera menemui ayah dan ibu lebih dahulu. Besok
datanglah ke kademangan. Kita dapat berbicara semalam suntuk sambil membakar
sate. Setuju?”
“Ya, baik,
baik. Besok kita akan datang. Kau harus memotong seekor kambing yang gemuk dan
muda.”
“Semuda kau?”
bertanya Swandaru.
Anak-anak muda
itu tertawa, dan Swandaru berkata,
“Sekarang, aku
minta ijin untuk menemui ayah ibuku lebih dahulu, karena mereka memang sedang
menunggu kedatanganku.”
“Ya, ya.
Silahkan. Tetapi besok jangan ingkar janji.”
“Aku tidak
pernah ingkar. Aku undang kalian besok ke rumah. Aku akan memotong seekor
kelinci, eh, seekor kambing. Kambing yang paling baik buat makan bersama kawan-kawan
sekalian.”
Demikianlah
maka Swandaru pun minta diri kepada kawan-kawannya, yang melepaskannya sambil
berkata_ hampir berbareng,
“Besok kami
akan datang. Lepas matahari turun di Barat.”
“Ya. Lepas
matahari turun.”
“Menjelang
senja. Aku datang menjelang senja.”
“Baik, baik.
Menjelang senja.”
“Jadi, yang
mana?”
“Aku menunggu
kapan pun kalian datang,” sahut Swandaru.
Anak-anak muda
itu tertawa. Mereka kemudian memandang Swandaru berjalan di antara tiga orang
kawan-kawannya. Semakin lama semakin jauh dari gerdu itu dan hilang di dalam
gelapnya malam. Mereka masuk ke jalan padukuhan semakin dalam menuju ke halaman
rumah. Kademangan.
“Siapakah tiga
orang yang lain?” bertanya salah seorang anak muda yang berdiri di sebelah
gardu.
Kawannya
menggelengkan kepalanya.
”Entahlah.
Mungkin pengiring-pengiringnya.”
“Aku pernah
melihat. Mereka adalah orang-orang yang dahulu berada di Kademangan atau di
banjar. Yang tua itu pun aku pernah melihat. Yang seorang agaknya yang selalu
mengawasi Sekar Mirah, apalagi kalau bepergian.”
“O ya. Orang
tua itu agaknya pemomong Sekar Mirah. Tetapi tidak sejak kecil. Mungkin karena
ia menjadi semakin dewasa dan semakin cantik diperlukan seorang pengawas yang
khusus.”
“Yang seorang,
kita pun pasti pernah melihat. Dahulu, ketika daerah ini masih dibayangi oleh
kekuatan Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan.”
“O, ya. Dan
yang muda itu adalah adik Untara, aku ingat, Anak muda itu adik Panglima
pasukan Pajang di daerah ini. Anak muda yang berasal dari Jati Anom.”
“O, ya. Aku
ingat sekarang. Anak muda yang rendah hati yang ternyata telah menyelamatkan
padukuhan ini dari terkaman Tohpati. Aku ingat sekarang. Aku ingat bagaimana ia
datang ke padukuhan ini. Bagaimana ia mendapat banyak perhatian dari setiap
orang, dan terutama Sekar Mirah. Bagaimana kemudian Sidanti menjadi cemburu
kepadanya. O, jelas sekali. Kenapa aku tadi tidak menyapanya, he? Kenapa aku,
dan kau dan kita semua tidak bertanya apa pun kepadanya?”
“Kita agaknya
ragu-ragu. Atau belum teringat tentang dirinya dan kedua orang tua-tua itu.”
“Ah besok kita
bertemu lagi dengan mereka. Besok kita akan dijamu oleh Swandaru dengan seekor
kambing yang gemuk dan muda. Kita dapat bertanya tentang apa saja dan tentang
anak muda yang bernama Agung Sedayu itu. Ha, bukankah namanya Agung Sedayu?”
“Ya, namanya
Agung Sedayu. Sekarang kita ingat jelas tentang dirinya. Agung Sedayu. Agung
Sedayu.”
Kawan-kawannya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas teringat oleh mereka, apa yang pernah
dilakukan oleh Agung Sedayu. Di tengah malam ia datang seorang diri selagi
Sangkal Putung dibayangi oleh kekuatan sepasukan prajurit Jipang yang dipimpin
oleh Macan Kepatihan. Hampir tidak masuk akal bahwa seorang anak muda yang
bukan prajurit, mempunyai keberanian seperti Agung Sedayu.
“Tentu ia
memiliki keberanian yang berlebihan,“ berkata mereka di dalam hati,
“karena ia
adalah adik seorang senapati muda yang namanya sejajar dengan Tohpati yang
bergelar Macan Kepatihan itu.”
Namun mereka
sama sekali tidak membayangkan bahwa Agung Sedayu saat itu hampir pingsan
ketika ia melihat pohon randu alas yang besar di tikungan, yang seolah-olah
mencegatnya dengan sorot matanya yang hanya sebuah. Gendruwo yang hanya bermata
tunggal. Dan tidak seorang pun yang membayangkan pula, bagaimana Agung Sedayu
berusaha melarikan diri dari kejaran Alap-alap Jalatunda. Sehingga dengan
ketakutan ia membenamkan diri ke dalam parit di pinggir jalan. Tetapi semuanya
itu seolah-olah tidak membekas lagi di dalam diri Agung Sedayu itu. Seperti
yang dilihat oleh orang-orang Sangkal Putung, Agung Sedayu adalah pahlawan bagi
mereka, bagi Sangkal Putung. Pahlawan yang rendah bati. Demikianlah maka
keempat orang itu sudah menjadi semakin dekat dengan halaman rumah Ki Demang di
Sangkal Putung. Dengan demikian hati anak-anak muda itu pun menjadi semakin
berdebar-debar. Apalagi ketika mereka melihat sebuah pelita di gardu yang ada
di pinggir regol halaman kademangan. Dada Swandaru pun serasa terguncang
karenanya. Sudah lama sekali ia tidak melihat suasana itu. Suasana yang
rasa-rasanya seperti di dalam mimpi, setelah untuk beberapa lamanya Swandaru
berada di pinggir Alas Mentaok bergulat dengan hantu-hantuan yang dikendalikan
oleh Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak. Seperti di gardu di ujung lorong, maka
para peronda di regol halamannya itu pun menjadi ribut. Mereka mengerumuni
Swandaru sambil menepuk-nepuk tubuhnya yang gemuk itu.
“Seluruh
kademangan sudah menunggu kedatanganmu,“ berkata salah seorang dari mereka.
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya.
”Terima kasih.
Agaknya karena itulah aku selalu keduten di belakang telinga.”
Agaknya
keributan di halaman itu telah membangunkan Ki Demang di Sangkal Putung,
sehingga ia pun kemudian bangkit dan pergi ke pintu pringgitan.
“Kenapa
anak-anak itu menjadi ribut?” ia bertanya kepada diri sendiri.
Ki Demang pun
kemudian membuka pintu pringgitan, dan menjenguk ke halaman. Dilihatnya
beberapa orang yang berkerumun sambil berbicara di antara mereka. Sejenak Ki
Demang termangu-mangu. Namun kemudian ia pun melangkah mendekati para peronda
yang sedang ribut itu. Tiba-tiba saja langkah Ki Demang tertegun. Lamat-lamat
ia mendengar suara yang dikenalnya baik-baik. Suara anaknya. Sehingga tanpa
sesadarnya ia bertanya dari tangga pendapa,
”He, siapa
itu?”
Semua orang
berpaling ke arahnya. Juga Swandaru, Agung Sedayu, Kiai Gringsing, dan Ki
Sumangkar.
“Ayah,“
tiba-tiba Swandaru berteriak. Sejenak kemudian ia pun segera berlari
mendapatkan ayahnya yang berdiri di tangga pendapa.
“Ayah, aku
datang,” desis swandaru kemudian sambil memeluk perut ayahnya karena ayahnya masih
berada di atas tangga.
“Kau sudah
pulang?” suara ayahnya tiba-tiba menjadi dalam. Ditepuknya kepala anaknya
beberapa kali. Lalu,
”Dengan siapa
kau datang?”
Swandaru
melepaskan ayahnya sambil berpaling. Dilihatnya Kiai Gringsing, Sumangkar, dan
Agung Sedayu melangkah mendekatinya.
“O, selamat
datang Kiai,“ sapa Ki Demang sambil turun dari tangga.
”Marilah,
silahkan.”
Kiai Gringsing
dan Sumangkar menganggukkan kepalanya. Hampir berbareng mereka menjawab,
“Terima kasih
Ki Demang.”
“Dan agaknya
kau juga Sedayu.”
“Ya, Ki
Demang.”
“Kakang Sedayu
pasti selalu bersama kami,“ potong Swandaru.
“Ia tidak akan
berani ditinggalkan di mana pun juga.”
“Ah,“ desis Ki
Demang, lalu “marilah. Silahkan, masuk ke pringgitan.”
Mereka pun
kemudian naik ke pendapa dan masuk ke pringgitan. Dengan tergesa-gesa seorang
anak muda telah membentangkan tikar yang putih untuk tempat duduk mereka. Tetapi
Swandaru tidak ikut duduk bersama mereka. Ia langsung masuk ke ruang dalam
sambil memanggil,
“Ibu, ibu. Aku
sudah datang.”
Sekar Mirah
yang mendengar suara kakaknya segera meloncat dari pembaringannya. Sambil
berlari-lari ia mendorong daun pintu biliknya dan langsung pergi, ke ruang
dalam. Tetapi Swandaru telah masuk ke bilik ibunya. Ketika Sekar Mirah
menyusulnya, dilihatnya ibunya yang duduk di pembaringan memeluk kepala
kakaknya yang berlutut di hadapannya.
“Sudah lama
sekali aku menunggu. Aku menjadi cemas kalau terjadi sesuatu atasmu, sehingga
aku minta pertolongan Ki Sumangkar untuk mencarimu. Yang pertama bersama dengan
Sekar Mirah. Kemudian Ki Sumangkar pergi sendiri. Apakah kau tidak bertemu
dengan orang itu?” berkata ibunya dengan suara serak
“Aku datang
bersama Ki Sumangkar, Kakang Agung. Sedayu, dan Kiai Gringsing.”
“O,” Sekar
Mirah-lah yang menyahut,
“kau datang
bersama Kakang Agung Sedayu?”
Swandaru
berpaling. Ditatapnya mata Sekar Mirah yang seakan-akan memancar cerah sekali.
Karena itu maka timbullah keinginan Swandaru untuk mengganggunya, katanya,
“Kenapa kau
bertanya tentang Agung Sedayu? Kau belum bertanya tentang aku. Tentang
keselamatanku dan keselamatan gurumu.”
Wajah Sekar
Mirah menjadi merah.
“Aku memang
datang bersama Agung Sedayu. Tetapi anak itu terus pergi ke Jati Anom. Ia sudah
terlampau rindu kepada kakaknya Untara dan sanak kadangnya.”
“Bohong. Ia
pasti singgah ke mari.”
“Buat apa
singgah ke mari? Di sini tidak ada siapa pun yang termasuk keluarganya.”
Sekar Mirah
tidak memperdulikannya lagi. Tiba-tiba saja ia berlari ke luar.
“Mirah, Mirah.
Tunggu dulu,” panggil Swandaru.
”Mirah,“
panggil ibunya “jangan tergesa-gesa menemuinya.”
Tetapi Sekar
Mirah tidak mendengarnya. Ia berlari melintasi ruang dalam langsung ke
pringgitan. Ia tahu bahwa tamu-tamu itu pasti berada di pringgitan. Tetapi
ketika ia sampai ke pintu pringgitan, hampir saja ia melanggar ayahnya yang melangkah
masuk.
“O,“ desis
Sekar Mirah.
“Kau mau ke
mana Mirah?” bertanya ayahnya.
Sekar Mirah
tidak menyahut. Tetapi kepalanya ditundukkannya. Ayahnya tidak bertanya lagi.
Dibimbingnya saja Sekar Mirah kembali ke bilik ibunya. Katanya
“Nah, itu
kakakmu sudah datang. Bukankah selama ini kau selalu bertanya, kenapa Swandaru
masih belum datang. Sekarang ia sudah datang.”
“Kakang
Swandaru selalu mengganggu aku. Ia masih nakal seperti dahulu,” Sekar Mirah
bersungut-sungut.
Ayahnya
memandang Swandaru yang masih berlutut. Tetapi anak muda itu pun kemudian
ditarik oleh ibunya dan didudukkannya di bibir pembaringan.
“Aku hanya
mengatakan kalau Kakang Agung Sedayu datang bersama aku, Ayah. Lalu Sekar Mirah
berlari-lari ke pringgitan meskipun aku sudah mencegahnya.”
“Hanya itu?”
“Ya, hanya
itu.”
“Bohong. Kau
katakan bahwa kakang Agung Sedayu langsung pergi ke Jati Anom.”
“Seandainya
demikian, apa salahnya?” bertanya ayahnya.
“Ah, Ayah,”
Sekar Mirah mencubit ayahnya sehingga ayahnya menyeringai.
“Sudah, sudah
Mirah. Ia tidak pergi ke Jati Anom. Ia ada di sini.“
”Aku tidak
memerlukan anak itu. Aku hanya ingin membuktikan bahwa Kakang Swandaru
berbohong.”
“Sudahlah,“
desis ibunya sambil bangkit berdiri.
“Mirah.
Marilah kita pergi ke dapur.”
Sekar Mirah
tidak menyahut. Dan ibunya bertanya pula kepada Swandaru,
“Sejak kapan
kalian berangkat dari tempat tinggal kalian yang terakhir?”
“Sejak
matahari terbit, Ibu,“ jawab Swandaru. “Sehari penuh aku tidak makan apa pun,
ditambah ujung malam ini. Aku memang lapar sekali.”
“Ah,“ potong
Sekar Mirah, “itukah caramu berprihatin? Seharusnya kau tidak mengeluh meskipun
tiga hari tiga malam kau tidak makan.”
“Aku juga
tidak makan, bukan saja tiga hari tiga malam, tetapi lebih dari sepekan.”
“Tidak makan
apa?” bertanya Sekar Mirah.
“Tidak makan,
kerikil.”
Ayah dan
ibunya tersenyum mendengar jawaban itu. Sekar Mirah justru memberengut. Tetapi
ia segera pergi ke luar. Ketika ia tidak dapat menahan senyumnya, ia pun pergi
menghindar. Ia tidak mau memperlihatkan senyum itu kepada Swandaru. Demikianlah,
maka ibu Swandaru dan Sekar Mirah pun segera pergi ke dapur. Seorang pelayan
pun dibangunkannya pula untuk membantu mereka menyiapkan minum dan makan,
karena mereka hampir tidak makan nasi di sepanjang perjalanan. Tetapi
sebenarnya hal itu tidak mengganggu sama sekali. Apa lagi Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar yang sudah melatih diri menghadapi keadaan yang bagaimanapun juga
sulitnya. Sedangkan Agung Sedayu dan Swandaru pun sudah berlatih pula
mengurangi makan dan minum serta keperluan-keperluan jasmaniah yang lain, untuk
membiasakan diri apabila mereka menghadapi keadaan yang sulit sekali di luar
perhitungan mereka. Selagi Nyai Demang berada di dapur, maka berita tentang
kedatangan Swandaru bersama Agung Sedayu itu sudah menjalar. Para peronda yang
berkeliling di malam hari mengatakannya kepada setiap orang yang ditemuinya.
Orang-orang yang ada di gardu-gardu kecil di sudut-sudut padesan, orang yang
pergi ke sawah untuk menengok apakah air sudah mengalir, dan orang-orang yang
kebetulan keluar rumah di malam hari. Ketika dua orang peronda yang berkeliling
lewat di depan rumah seorang kawannya yang baru saja melahirkan anaknya, dan di
pendapa rumah itu beberapa orang anak muda sedang duduk berkelakar dan di
pringgitan orang-orang tua sedang mengelilingi sebuah lampu minyak dan kitab
yang berisi kidung, maka kedua peronda itu singgah juga sejenak. Kepada
anak-anak muda di pringgitan mereka berceritera, bahwa Swandaru telah pulang
bersama Agung Sedayu.
“He,“
seseorang menyahut, “kalau begitu kita pergi ke sana sekarang.”
“Jangan
sekarang. Ia masih lelah. Besok kita diundang untuk makan dan mendengarkan
ceriteranya. Ia akan memotong seekor kambing.”
Anak-anak muda
itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak mereka saling berpandangan. Namun
sejenak kemudian berita itu telah menjalar dari mulut ke mulut, karena
anak-anak muda itu pun segera berbisik di antara mereka sambung-menyambung. Ketika
kedua orang peronda itu meninggalkan halaman, maka semua orang yang ada di
rumah itu sudah mendengar bahwa Swandaru telah datang. Mereka diundang besok
sore untuk berkunjung ke rumahnya. Malam ini Swandaru masih sangat lelah.
Mungkin juga besok pagi.
“Ia akan
memotong seekor kambing,” berkata salah seorang dari antara mereka.
“Seekor
kambing?” bertanya yang lain.
“Ya, seekor
kambing yang gemuk dan muda.”
“Ah, itu tidak
akan berarti sama sekali. Besok aku kira semua orang mendengar kedatangannya.
Kalau ia minta kita semua datang pada sore hari, maka aku kira seekor kambing
tidak akan mencukupi sama sekali. Paling sedikit ia harus memotong tiga ekor
kambing.”
“Tiga?”
“Ya.”
Kawannya
merenung sejenak. Lalu
“Tunggu. Kalau
tiga ekor, aku kira terlampau banyak buat Swandaru. Kalau seekor, memang
terlampau kurang.”
“Ah, macam
kau. Kenapa kau ribut tentang kambing itu? Besok kita datang menyambutnya.
Tidak peduli apakah ia akan memotong seekor kambing, tiga ekor kambing atau
seekor gajah sekali pun,” potong kawan yang lain.
“Oh,“
kawan-kawannya pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya.
Demikianlah
seisi rumah itu kini berbicara tentang Swandaru, putera Ki Demang yang sudah
agak lama merantau bersama Agung Sedayu dan Ki Tanu Metir, dukun tua itu.
“Apakah yang
sudah mereka lakukan selama merantau?” pertanyaan itu selalu melonjak di dada
kawan-kawannya. Mereka menghubungkan kepergian Swandaru itu dengan
peristiwa-peristiwa sebelumnya yang pernah terjadi di Sangkal Putung.
“Tentu sebuah
ceritera yang mendebarkan jantung,“ desis seorang anak muda yang berambut
jarang.
“Apa yang
mendebarkan?” bertanya anak muda yang duduk di sisinya.
“Pengalaman
Swandaru selama ia pergi merantau. Apa yang pernah dijumpainya di perjalanan
pasti sangat menarik perhatian.”
Kawannya
mengangguk-angguk, tetapi ia tidak menyahut lagi.
Orang-orang
tua yang duduk di pringgitan agak terganggu juga sedikit mendengar berita itu.
Namun mereka pun segera melanjutkan acara mereka. Seseorang yang sedang membaca
sebuah kidung pun segera melanjutkannya dengan suaranya yang panjang mengalun
memenuhi ruangan. Swandaru di rumahnya sedang sibuk membersihkan diri di
pakiwan. Sehari-harian ia berjalan, sehingga debu yang kotor telah melekat di
tubuhnya yang basah karena keringat. Pakaiannya yang kusut dan kakinya yang
terasa penat. Air sumur di malam hari terasa sangat segar menyiram tubuhnya
yang lelah. Seakan-akan air di Sangkal Putung jauh lebih segar dari air di mana
pun juga daerah yang pernah dikunjungi. Setelah Swandaru selesai, maka
berturut-turut Agung Sedayu, Kiai Gringsing, dan Sumangkar pun mandi pula
membersihkan dirinya. Mereka masing-masing mendapat pakaian yang baru dari Ki
Demang Sangkal Putung karena pakaian mereka yang telah kotor dan kusut. Namun
Kiai Gringsing agaknya segan juga melepaskan kain gringsingnya, sehingga
katanya,
“Biarlah kain
itu besok aku cuci. Aku masih memerlukannya.”
“Besok aku
akan membeli kain gringsing yang baru,” berkata Ki Demang.
“Kiai akan
mendapat ganti yang lebih, baik dari kain itu.”
Tetapi Kiai
Gringsing tersenyum.
”Terima kasih.
Untuk sementara kain ini masih dapat aku pergunakan. Aku hanya harus mencucinya
besok.”
Ki Demang
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak memaksanya, karena ia menganggap bahwa
Kiai Gringsing memerlukan ciri bagi dirinya selain senjatanya yang aneh itu.
Meskipun hari
sudah menjadi semakin malam, namun di kademangan itu masih juga terdengar suara
riuh. Ketika nasi sudah masak, mereka pun segera makan bersama-sama. Bukan saja
Ki Demang dengan keluarganya, tetapi juga bersama dengan para peronda di gardu
yang kemudian dipanggil naik ke pringgitan. Ternyata anak-anak muda itu tidak
sabar lagi menunggu besok. Mereka sudah mulai mengajukan beberapa pertanyaan
kepada Swandaru, apakah yang dilihat dan dialami selama perjalanannya itu.
“Besok saja
aku akan berceritera,“ berkata Swandaru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar