Jilid 061 Halaman 2


Tetapi kita telah gagal. Ternyata di antara para pengawal itu terdapat juga kaki tangan Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak yang menumbuhkan keragu-raguan di antara para pengawal sendiri.”
Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini terasa betapa jauh akibat yang timbul dari persoalan yang semula dianggapnya sebagai persoalan yang kecil, yang perlahan-lahan akan dapat diatasi. Sejenak kemudian mereka pun melintasi daerah yang sudah mulai dibuka. Pepohonan yang besar sudah roboh membujur lintang. Bahkan di sana-sini terdapat beberapa buah gubug yang sudah mulai rusak dan tidak terpelihara.
“Mereka sudah mulai membuka padukuhan-padukuhan kecil. Tetapi mereka segera menarik diri ketika mereka merasa di ganggu oleh hantu-hantu,” berkata Sutawijaya pula.
“Ternyata keterangan yang selama ini kau berikan kepadaku tidak lengkap Sutawijaya. Kau tidak menggambarkan apa yang terjadi sebenarnya.”
“Bukan maksudku, Ayah. Aku menganggap bahwa persoalannya tidak begitu penting untuk aku sampaikan kepada Ayah. Aku kira, aku akan dapat mengatasinya sendiri sampai pada keadaan terakhir. Tetapi ternyata kita berhadapan dengan orang-orang yang mumpuni. Bukan saja dalam olah kanuragan, tetapi juga merupakan seorang perencana yang baik untuk mencoba menggagalkan usaha yang besar ini.”
Ki Gede Pemanahan tidak segera menjawab. Diangguk-anggukkannya kepalanya. Terbayang betapa ketakutan dan kengerian yang menyelubungi tanah-tanah garapan yang sedang dibuka itu. Dan terbayang pula, usaha yang tidak kenal lelah dari Kiai Gringsing, murid-muridnya bersama Sumangkar untuk membuka kedok hantu-hantuan itu.

Sejenak kemudian mereka pun telah berada di dekat barak yang sudah mulai ramai lagi oleh kesibukan penghuni-penghuninya yang sedang mengemasi alat-alat mereka yang selama ini hampir tidak pernah mereka sentuh. Mereka sudah akan mulai lagi dengan kerja mereka, membuka hutan yang lebat itu untuk tanah garapan. Ternyata kedatangan pasukan kecil itu benar-benar telah mengejutkan para pengawal. Mereka sama sekali tidak menduga bahwa Sutawijaya akan begitu cepatnya kembali, apalagi bersama Ki Gede Pemanahan sendiri. Karena itu, maka setiap orang di barak itu menjadi sibuk. Ada yang mempersiapkan tempat, ada yang berlari-lari ke dapur dan ada yang langsung menyongsong kedatangan pemimpin tertinggi dari Tanah Mataram yang sedang di buka itu. Kedatangan Ki Gede Pemanahan disertai putera dan beberapa orang pengawal benar-benar tidak terduga-duga, sehingga para pengawal pun menjadi bingung menerimanya. Sejenak kemudian Ki Gede Pemanahan pun telah duduk di serambi barak yang masih belum teratur, karena anak-anak dan perempuan masih berada di barak itu pula. Mereka masih belum berani kembali ke barak yang diperuntukkan bagi mereka, meskipun agaknya keadaan telah menjadi semakin baik. Setelah menanyakan keadaan barak dan tanah yang akan mereka garap kembali, maka mulailah Ki Gede Pemanahan mencari-cari. Tetapi tidak ada seorang pun yang pernah dikenalnya atau pernah dilihatnya sebelumnya. Bahkan di antara mereka Ki Gede Pemanahan tidak melihat pula Sumangkar.
Karena itu, maka Ki Gede Pemanahan pun segera bertanya kepada Wanakerti,
“Apakah orang yang menamakan dirinya Truna Podang masih ada di sini?”
Wanakerti mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menjawab,
“Tidak Ki Gede. Ki Truna Podang telah meninggalkan tempat ini bersama seorang saudaranya dan kedua anak-anaknya.”
Ki Gede Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Kiai Gringsing benar-benar tidak mau menemuinya. Mungkin ia merasa belum datang saatnya, atau barangkali ia benar-benar tidak mempunyai waktu lagi untuk berada lebih lama di pinggir hutan itu.
“Mereka pergi ke Sangkal Putung,“ desis Sutawijaya.
“Kalau kita menyusul mereka berkuda, kita pasti akan menemukan mereka di perjalanan.”
Ki Gede Pemanahan menggelengkan kepalanya.
“Jadi maksud Ayah?”
Ki Gede Pemanahan merenung sejenak. Kemudian katanya,
“Kita akan bermalam di sini. Besok kita kembali.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun rencana itu telah membuat Wanakerti menjadi bingung tetapi juga merasa tenteram. Sepeninggal Kiai Gringsing malam itu, mereka telah ditunggui oleh Ki Gede Pemanahan sendiri, sehingga seandainya masih juga ada bahaya yang mengancam barak itu, akan segera dapat teratasi. Tetapi di samping itu ia menjadi bingung juga, di mana nanti malam Ki Gede Pemanahan akan dipersilahkan tidur. Barak itu merupakan sebuah ruangan yang memanjang hampir tanpa batas. Di dalam barak itu, bahkan sampai di serambinya, telah penuh berderet-deret tikar dan alas tidur bagi penghuninya. Agaknya Ki Gede melihat kegelisahan Wanakerti. Karena itu maka katanya,
“Jangan bingung di mana aku akan tidur nanti malam. Aku adalah seorang prajurit. Setidaknya bekas seorang prajurit. Di masa kecil pun aku hidup di sebuah padesan yang bernama Sela. Aku sudah biasa tidur di sembarang tempat. Aku dapat tidur sambil duduk, bahkan sambil bersandar dan berdiri.”
Wanakerti tidak menyahut. Ia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja.

Dalam pada itu, selagi Ki Gede Pemanahan berada, di daerah yang baru dibuka, yang baru saja dilanda oleh badai yang hampir menggagalkan segala usaha itu, Kiai Gringsing dan kedua muridnya bersama Ki Sumangkar sedang berjalan menuju ke Sangkal Putung. Mereka berangkat hampir bersamaan waktunya dengan keberangkatan Ki Gede Pemanahan dari pusat pemerintahan tanah Mataram. Tetapi jarak yang ditempuh oleh Kiai Gringsing lebih panjang dari jarak yang dilalui oleh Ki Gede Pemanahan. Apalagi Kiai Gringsing bersama murid-muridnya dan Sumangkar hanya sekedar berjalan kaki, sedang Ki Gede Pemanahan dan pengiringnya naik di atas punggung kuda. Perjalanan yang sedang dilakukan itu merupakan perjalanan yang mendebarkan hati bagi Swandaru dan Agung Sedayu. Swandaru tiba-tiba saja merasa rindu kepada ayah dan ibunya, kepada adiknya dan kawan-kawannya bermain. Sedang Agung Sedayu mulai dibayangi oleh wajah Sekar Mirah. Wajah yang kadang-kadang lunak dan lembut, tetapi kadang-kadang menyala seperti api yang berkobar-kobar. Tatapan matanya yang kadang-kadang tampak redup itu dapat dengan tiba-tiba pula memancarkan sikapnya yang angkuh dan tinggi hati. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Bagaimana pun juga ia sudah tertambat kepada gadis itu.
“Tidak ada manusia yang sempurna,“ berkata Agung Sedayu di dalam hatinya
“tentu ada kelebihan dan kekurangan. Demikian juga pada Sekar Mirah. Aku melihat kelebihan yang ada pada dirinya sebagai seorang gadis yang lincah dan gembira, tetapi ada juga beberapa kekurangan. Namun mudah-mudahan aku kelak akan dapat menuntunnya. Membina kelebihan-kelebihan yang ada padanya, dan menyingkirkan kekurangan-kekurangannya, meskipun tidak sempurna.”
Namun tiba-tiba di luar kehendaknya sendiri, terbayang pula wajah seorang gadis lain yang mereka tinggalkan di Tanah Perdikan Menoreh. Gadis yang mempunyai sifat yang berbeda dengan Sekar Mirah. Meskipun keduanya sama-sama anak perempuan tunggal, tetapi puteri Ki Argapati itu sama sekali tidak manja, tidak tinggi hati dan hidup dalam suasana prihatin karena ibunya meninggal sejak lama, sehingga ia tidak banyak mempunyai kesempatan bermanja-manja.
“Kalau mereka kelak kawin,“ berkata Agung Sedayu di dalam hatinya,
“Swandarulah agaknya yang akan menjadi manja.”
Agung Sedayu menundukkan kepalanya. Dipandanginya jari-jari kakinya yang melangkah, di antara rerumputan yang kering. Namun kemudian ia berkata pula di dalam hatinya,
“Mudah-mudahan mereka kelak berbahagia. Dan mudah-mudahan aku pun berbahagia juga.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tanpa disadarinya ia telah berada di paling belakang dari iring-iringan kecil yang menyusup di hutan yang semakin lebat. Meskipun tidak selebat dan seluas Alas Mentaok, tetapi Tambak Baya juga termasuk hutan yang jarang-jarang dilalui orang. Bahkan kadang-kadang beberapa orang perampok telah menunggu di pinggir jalan setapak di tengah-tengah hutan. Apabila ada beberapa orang pedagang yang lewat, maka kadang-kadang mereka berani mengganggu dan merampas barang-barang yang dibawanya. Tetapi pada umumnya pedagang-pedagang yang berani lewat Alas Tambak Baya adalah pedagang-pedagang yang percaya kepada kemampuan diri atau membawa beberapa orang yang dapat melindungi mereka dari para penjahat itu. Tetapi iring-iringan itu sama sekali tidak perlu menghiraukan apakah mereka akan bertemu dengan penjahat atau tidak. Mereka sama sekali tidak membawa barang-barang yang berharga selain senjata masing-masing. Dan agaknya tidak ada sekelompok penjahat di Alas Mentaok pun yang dapat mengganggu iring-iringan yang terdiri dari empat orang itu. Tetapi mereka adalah Kiai Gringsing dan dua muridnya serta Ki Sumangkar. Ketika mereka sampai di tengah-tengah Alas Mentaok, mereka pun tertegun sejenak, ketika mereka mendengar suara gemeremang di hadapan mereka. Kiai Gringsing yang berjalan di paling depan berpaling. Sambil menunjuk ia berkata,
“Aku kira serombongan pedagang yang lewat.”
“Ya,“ jawab Sumangkar.
”Kalau mereka penjahat, mereka tidak akan berbicara di antara mereka selagi ada orang lewat.”
“Tetapi kita harus ber-hati-hati,“ desis Kiai Gringsing yang mendengar desir dedaunan di sekitarnya. Namun ia berdiri saja di tempatnya, seperti juga Sumangkar dan kedua muridnya, seolah-olah mereka sama sekali tidak mengetahuinya.
Sejenak kemudian beberapa orang bersenjata bermunculan di sekitarnya. Lima orang.
“He, siapakah kalian?”, bertanya salah seorang.
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Kini ia mengerti, bahwa orang-orang yang bergeremang itu sengaja menarik perhatian mereka, agar kedatangan kawan-kawannya yang mengepung itu tidak diketahui.
“Siapa?” bentak salah seorang dari mereka.
Kiai Gringsing masih belum menjawab. Diamatinya saja mereka seorang demi seorang.

Dalam pada itu suara orang-orang yang berseragam itu pun menjadi semakin dekat. Ketika terdengar seorang dari mereka bersiul maka salah seorang dari kelima orang bersenjata itu pun menjawab dengan sebuah siulan pula. Sejenak kemudian muncullah beberapa orang menuntun beberapa ekor kuda kerdil yang dimuati dengan berbagai macam barang. Mereka benar pedagang-pedagang yang menyeberang hutan Mentaok bersama beberapa orang pengawal. Beberapa orang di antara mereka ternyata bersenjata pula, dan ikut serta mengepung Kiai Gringsing bersama murid-muridnya dan Ki Sumangkar.
“Kalian belum menjawab. Siapakah kalian?”
“Namaku Truna Podang,“ jawab Kiai Gringsing. Orang-orang itu saling berpandangan sejenak. Lalu salah seorang bertanya pula, ”Apa maksudmu berada di tengah-tengah hutan ini?”
“Kami akan pergi ke Sangkal Putung.”
“Jadi kalian bukan penjahat yang akan menyamun kami?”
Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya, “Tidak. Tidak.”
”Dan kalian tidak takut berjalan hanya berempat di hutan Tambak Baya ini?” bertanya yang lain.
“Kenapa takut?”
“Di hutan ini kadang-kadang ada perampok dan penyamun.”
“Kami tidak membawa apa pun juga. Seandainya kami bertemu dengan perampok atau penyamun, maka apa yang dimintanya akan kami berikan.”
“Kalau nyawamu?”
“Apa boleh buat.”
Orang-orang itu saling berpandangan sejenak. Namun mereka pun kemudian berbicara di antara mereka sendiri.
“Kita berjalan terus,“ berkata para pengawal itu.
Namun demikian seorang pedagang yang berambut putih tetapi masih cukup tegap dan kuat berkata,
“Apakah kau tidak menjumpai penyamun di perjalananmu?”
“Tidak. Aku tidak menjumpai seorang pun.”
“Darimanakah kalian sebenarnya?”
“Kami datang dari Alas Mentaok. Dari daerah yang baru dibuka itu. Kami akan kembali ke Sangkal Putung untuk mengambil alat-alat lebih banyak lagi. Agaknya tanah yang sedang dibuka itu akan menjadi daerah yang ramai.”

Para pedagang dan pengawal itu tidak bertanya lagi. Mereka pun segera meneruskan perjalanannya. Agaknya mereka pun akan pergi ke Mataram atau daerah-daerah yang telah agak ramai di dekat Pasisir Kidul, di pinggir Kali Praga. Sepeninggal mereka maka Kiai Grhigsing pun berkata,
“Perdagangan ke daerah yang baru dibuka itu dan sekitarnya pasti menjadi semakin ramai. Jalan ini ternyata menjadi semakin banyak dilalui, menilik rerumputan yang sudah menjadi gundul di jalan setapak ini.”
Ki Sumangkar pun menganggukkan kepalanya sambil menjawab,
”Ya. Perdagangan di daerah Selatan akan mengalir ke Barat, tidak lagi ke Timur. Namun dengan demikian ketegangan antara daerah-daerah yang berkepentingan pun kian menjadi-jadi.”
“Mudah-mudahan tidak menumbuhkan persoalan yang sama tidak dikehendaki.”
Sumangkar masih ingin menjawab. Tetapi tiba-tiba ia menelan ludahnya seakan-akan ia telah menelan kata-kata yang hampir terloncat dari bibirnya. Di dalam hati ia bergumam,
“Aku lebih baik diam. Aku kira aku tidak perlu memberikan tanggapan atas kedua daerah yang sedang berkembang itu. Kalau lidahku salah ucap, maka akan dapat menumbuhkan banyak persoalan pada diriku, justru karena aku berasal dari Jipang.”
Mereka pun kemudian meneruskan perjalanan mereka pula di bawah sinar matahari yang semakin condong ke Barat, menyusup di antara dedaunan, membuat garis-garis yang kemerah-merahan. Ternyata perjalanan di daerah yang masih berhutan lebat itu telah membuat langkah mereka menjadi agak lambat. Mereka harus menghindari kayu-kayu yang roboh dan merunduk di bawah dahan-dahan yang digayuti oleh sulur-sulur yang rendah. Namun karena jalan yang agaknya menjadi sering dilalui, maka mereka tidak banyak menjumpai kesulitan yang berarti. Meski pun demikian mereka tidak dapat mencapai Sangkal Putung di hari itu juga. Ketika matahari terbenam, mereka masih harus berjalan terus. Mereka mencoba menghindari padukuhan-padukuhan yang ramai di daerah Prambanan, supaya tidak menumbuhkan kecurigaan karena mereka masih kurang dikenal di Kademangan itu. Mereka lebih senang berjalan di bulak-bulak panjang atau apabila terpaksa, melintasi padukuhan-padukuhan kecil saja. Namun sekali-sekali mereka tidak dapat menghindari sebuah padukuhan yang cukup besar di hadapan perjalanan mereka. Tetapi karena hari masih belum terlampau malam, maka mereka pun tidak banyak mengalami gangguan. Hanya kadang-kadang seorang dua orang yang berdiri di ujung padukuhan menyapanya dan bertanya tujuannya. Tetapi mereka tidak pernah menghentikannya dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bersungguh-sungguh. Apalagi gardu-gardu peronda masih belum terisi, sehingga mereka tidak banyak mengalami gangguan. Demikianlah mereka berjalan semakin cepat. Setelah mereka melintas beberapa padukuhan, maka mereka kembali memasuki hutan-hutan yang membujur di Timur. Tetapi hutan-hutan itu sudah bukan lagi hutan-hutan lebat. Di pinggir hutan itu telah banyak terdapat tanah garapan. Namun agaknya karena masih belum dibuat parit-parit yang dapat mengairinya, tanah garapan yang masih merupakan pategalan itu masih belum banyak menghasilkan. Meskipun demikian, di hutan-hutan yang tidak begitu lebat itu masih juga terdapat beberapa pasang harimau yang kadang-kadang mengganggu padukuhan-padukuhan di sekitarnya. Namun demikian Kiai Gringsing dan kedua muridnya beserta Sumangkar telah bertekad untuk berjalan terus, sehingga mereka akan sampai ke Sangkal Putung sebelum tengah malam. Untunglah bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki ketahanan tubuh yeng baik karena latihan-latihan yang berat sebelumnya, sehingga meskipun mereka berjalan sehari penuh, bahkan lebih hampir separo malam deagan waktu istirahat yang sangat pendek, namun mereka masih tampak cukup segar. Demikianlah ketika mereka menjadi semakin dekat dengan Kademangan Sangkal Putung, maka mereka pun menjadi semakin berdebar-debar. Kademangan itu sudah agak lama mereka tinggalkan, sehingga mungkin sudah ada beberapa perubahan yang cukup berarti.

Kini Sangkal Putung sudah bukan menjadi daerah yang perlu mendapat perlindungan prajurit karena tidak ada lagi gangguan yang dapat mengancam kademangan itu. Widura sudah tidak berada lagi di Sangkal Putung. Tetapi bersama-sama dengan Untara mereka berada di Jati Anom.
“Agar tidak nampak jelas, bahwa mereka sedang mengamat-amati perkembangan daerah baru itu,“ desis Agung Sedayu di dalam hati. “Adalah kebetulan Kakang Untara berasal dari Jati Anom.”
Tetapi Agung Sedayu tidak mengatakannya kepada siapa pun juga, meskipun ia mengira bahwa baik Kiai Gringsing maupun Sumangkar dan bahkan juga Swandaru, mempunyai pikiran yang serupa itu pula. Tiba-tiba saja langkah mereka berempat itu tertegun ketika mereka mendengar derap beberapa ekor kuda. Sejenak kemudian muncullah di hadapan mereka dalam keremangan malam, bayangan beberapa orang berkuda mendekatinya, sehingga mereka pun harus segera menepi. Tetapi ketika tampak oleh para penunggangnya, maka kuda-kuda itu pun segera berhenti beberapa langkah dari Kiai Gringsing dan rombongannya.
“Siapakah kalian?” terdengar salah seorang dari mereka bertanya.
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Ternyata mereka adalah prajurit-prajurit Pajang. Agaknya mereka sedang meronda. Namun memang agak berlebih-lebihan, bahwa di daerah yang aman ini mereka meronda bersama-sama empat orang sekaligus.
“Tetapi mungkin juga mereka mempunyai kepentingan lain,“ desis Kiai Gringsing di dalam hatinya.
“Siapa, he?” prajurit itu mengulangi.
“Kami orang-orang Sangkal Putung, Tuan,“ jawab Kiai Gringsing.
“Dari mana?”
Sejenak Kiai Gringsing termangu-mangu, namun kemudian,
“Kami baru saja kembali dari Prambanan menengok saudara kami yang tinggal di sana.”
“Kenapa malam-malam begini? Kenapa tidak besok pagi atau siang tadi.”
“Kami berangkat pagi-pagi dari Sangkal Putung. Dan kami berusaha untuk hari ini juga sampai di rumah kami, karena besok kami mempunjai kuwajiban di sawah dan ladang kami.”
Sejenak prajurit-prajurit itu mengamat-amati Kiai Gringsing dan kawan-kawannya. Karena tidak ada yang mencurigakan, maka prajurit-prajurit itu pun kemudian berkata,
“Hati-hati1ah.”

Kiai Gringsing memandang orang-orang berkuda itu sejenak. Namun ia tidak sempat menjawab dan bertanya apa pun lagi. Orang-orang berkuda itu pun segera meninggalkan mereka berdiri termangu-mangu. Ketika orang-orang berkuda itu sudah menjadi semakin jauh, maka Kiai Gringsing pun berdesis,
“Kenapa harus berhati-hati? Bukankah daerah ini sekarang menjadi daerah yang aman?”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Ya. Daerah ini sebenarnya termasuk daerah yang aman sekarang. Mungkin sebagai prajurit adalah menjadi kebiasaannya untuk berpesan begitu kepada bawahannya, atau kepada siapa pun juga.”
Kiai Gringsing pun mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Tetapi pesan itu telah berkesan di hatinya. Meskipun demikian ia tidak bertanya-tanya lagi tentang pesan itu. Ternyata seperti gurunya, Agung Sedayu pun mempersoalkan pesan itu di hatinya. Namun kemudian ia berkata,
“Mungkin aku terlampau peka mendengar setiap pesan orang lain setelah aku berada di daerah yang selalu diliputi oleh kegelisahan untuk waktu yang agak lama. Mudah-mudahan tidak ada persoalan apa pun yang tumbuh lagi di daerah ini.”
Demikianlah maka keempat orang itu pun melanjutkan perjalanan mereka ke Sangkal Putung. Jarak itu menjadi semakin lama semakin pendek, sehingga akhirnya kaki mereka pun telah melangkah masuk ke dalam lingkungan wilayah Kademangan Sangkal Putung.
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Sambil menengadahkan kepalanya ia berkata,
“Alangkah segarnya udara Sangkal Putung.”
Kiai Gringsing tersenyum. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia pun berkata,
“Ya. Alangkah segarnya udara Sangkal Putung. Setelah sekian lama kita meninggalkan daerah ini, masih juga daerah ini bersedia menerima kita lagi.”
Tanpa dikehendakinya sendiri Agung Sedayu pun tiba-tiba telah menarik nafas dalam-dalam pula, seolah-olah udara di atas daerah Sangkal Putung itu memang memberikan kesegaran bagi mereka. Demikianlah maka mereka pun segera melanjutkan langkah mereka. Seperti ketika berada di Prambanan, mereka pun berusaha menghindari padukuhan-padukuhan yang ramai agar perjalanan mereka tidak terganggu. Apalagi apabila orang-orang padukuhan itu mengenal mereka sebagai Swandaru, maka langkahnya pasti akan terhenti setiap kali untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang pasti akan sangat menjemukan sebelum ia menghadap ayah dan ibunya, demang di Sangkal Putung. Karena itu, maka mereka pun berusaha melalui jalan-jalan di bulak-bulak dan bahkan kadang-kadang lewat pematang yang memintas. Selain menghindari orang-orang Sangkal Putung yang kebetulan sedang meronda, dengan demikian mereka pun akan segera sampai ke induk kademangan.
Tetapi, apabila perlu, untuk menghindari peronda di gardu-gardu yang terletak di mulut lorong padukuhan, maka mereka justru lewat jalan yang agak memutar, sekedar untuk menghindari gardu itu. Sebab Swandaru menganggap bahwa di gardu-gardu itu pasti masih banyak anak-anak muda yang sedang meronda atau sekedar duduk sambil berbicara bersama kawan-kawannya. Dengan demikian maka perjalanan mereka benar-benar tidak terganggu. Ada juga satu dua orang yang sedang berada di sawah menunggui air parit yang mengaliri sawahnya itu. Tetapi orang-orang itu agaknya tidak berusaha menyapanya. Bahkan mereka seakan-akan tidak melihat mereka atau sama sekali acuh tidak acuh.

Namun sikap-sikap itu tidak begitu menarik perhatian, apalagi Swandaru yang ingin segera sampai ke rumahnya. Menemui ibu bapanya. Ketika mereka turun ke jalan yang langsung menusuk padukuhan induk Kademangan Sangkal Putung, maka dada Swandaru menjadi semakin berdebar-debar. Juga dada Agung Sedayu. Bahkan terasa kakinya menjadi berat untuk melangkah maju. Berbagai perasaan telah bergulat di dalam dirinya. Tentang dirinya sendiri, tetapi juga tentang pesan Sutawijaya yang tiba-tiba telah meloncat di kepalanya. Pesan untuk kakaknya Untara yang seolah-olah telah menempatkan dirinya ke dalam suatu keadaan yang dipisahkan oleh batas yang tidak kasat mata.
Tetapi Agung Sedayu berusaha menenangkan dirinya. Katanya di dalam hati,
“Biarlah aku pikirkan besok. Aku masih belum akan bertemu dengan Kakang Untara malam ini. Bahkan besok pun belum.”
Seperti yang mereka duga, maka di regol padukuhan itu masih juga terdapat sebuah gardu yang terisi oleh beberapa orang peronda. Dan mereka berempat tidak akan dapat menghindari para peronda itu, kecuali apabila mereka memasuki padukuhan itu lewat jalan-jalan sempit di antara kebun-kebun yang rimbun. Ternyata bahwa para peronda itu melihat mereka di dalam keremangan malam. Salah seorang dari para peronda itu meloncat turun dari gardu dan berjalan maju beberapa langkah disusul oleh dua orang yang lain.
“Berhentilah, Ki Sanak,“ sapa salah seorang peronda itu “siapakah kalian?”
Kiai Gringsing, dua orang muridnya dan Sumangkar berhenti beberapa langkah dari peronda itu.
“Siapakah kalian dan hendak pergi ke mana?”
Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun sudah tentu bahwa kepada orang-orang Sangkal Putung ia tidak akan dapat menyembunyikan diri. Terlebih-lebih lagi Swandaru dan Agung Sedayu yang pasti sudah dikenal oleh anak-anak muda. Karena itu, maka tanpa ragu-ragu lagi ia menjawab,
“Aku mengantar putera Ki Demang.”
Para peronda itu mengangkat wajahnya. Sesuatu terlintas pada kesan di wajah mereka. Bahkan mereka pun saling berpandangan sejenak, lalu salah seorang dari mereka berkata,
“Putera Ki Demang yang manakah yang kalian maksudkan?”
Kiai Gringsing menepuk bahu Swandaru, lalu didorongnya anak muda itu maju selangkah sambil berkata,
“Apakah kalian pernah mengenal anak muda yang bulat ini.”
Para peronda itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian hampir berbareng mereka berdesis,
“Swandaru. Swandaru kah ini?”

Swandaru tidak menjawab. Ia hanya tersenyum, saja melihat tingkah laku para peronda itu. Mereka yang masih berada di atas gardu itu pun segera berloncatan turun. Serentak mereka maju mendekati anak muda yang gemuk itu dan mencoba mengamat-amatinya di dalam keremangan malam.
“He, kaukah Swandaru Geni?” seorang anak muda maju.
“Apakah kau tidak mengenal aku lagi?” jawab Swandaru.
“O, kau,“ seorang anak muda yang lain langsung menepuk perutnya.
“Kau masih juga sebulat jeruk gulung.”
Para peronda itu pun segera mengelilingi dan hampir tidak menghiraukan lagi orang-orang yang lain, yang datang bersama Swandaru itu. Berebutan mereka memberikan salam dan menepuk bagian-bagian tubuhnya. Pundaknya, lengannya, perutnya bahkan punggungnya.
“Kau agak susut sedikit,“ berkata seorang anak muda yang tinggi kekurus-kurusan,
“tetapi dengan demikian kau menjadi semakin tampan.”
“Ya, badanmu agak susut sedikit.”
“Ya. Swandaru menjadi bertambah langsing.”
Dan seperti yang dicemaskan Swandaru itu pun terjadilah. Seperti grojogan sewu, kawan-kawannya melontarkan seribu macam pertanyaan berurutan sehingga Swandaru menjadi bingung.
“Ke mana saja kau selama ini, Swandaru?” dan sebelum Swandaru menjawab, yang lain telah memotong,
“Kami sangat merindukan kau. Apakah kau pergi bertapa he?” Dan yang lain, “He, apakah kau membawa oleh-oleh buat kami?”
Swandaru tertawa saja. Katanya kemudian,
“Simpanlah pertanyaan kalian. Aku akan segera menemui ayah dan ibu lebih dahulu. Besok datanglah ke kademangan. Kita dapat berbicara semalam suntuk sambil membakar sate. Setuju?”
“Ya, baik, baik. Besok kita akan datang. Kau harus memotong seekor kambing yang gemuk dan muda.”
“Semuda kau?” bertanya Swandaru.
Anak-anak muda itu tertawa, dan Swandaru berkata,
“Sekarang, aku minta ijin untuk menemui ayah ibuku lebih dahulu, karena mereka memang sedang menunggu kedatanganku.”
“Ya, ya. Silahkan. Tetapi besok jangan ingkar janji.”
“Aku tidak pernah ingkar. Aku undang kalian besok ke rumah. Aku akan memotong seekor kelinci, eh, seekor kambing. Kambing yang paling baik buat makan bersama kawan-kawan sekalian.”
Demikianlah maka Swandaru pun minta diri kepada kawan-kawannya, yang melepaskannya sambil berkata_ hampir berbareng,
“Besok kami akan datang. Lepas matahari turun di Barat.”
“Ya. Lepas matahari turun.”
“Menjelang senja. Aku datang menjelang senja.”
“Baik, baik. Menjelang senja.”
“Jadi, yang mana?”
“Aku menunggu kapan pun kalian datang,” sahut Swandaru.

Anak-anak muda itu tertawa. Mereka kemudian memandang Swandaru berjalan di antara tiga orang kawan-kawannya. Semakin lama semakin jauh dari gerdu itu dan hilang di dalam gelapnya malam. Mereka masuk ke jalan padukuhan semakin dalam menuju ke halaman rumah. Kademangan.
“Siapakah tiga orang yang lain?” bertanya salah seorang anak muda yang berdiri di sebelah gardu.
Kawannya menggelengkan kepalanya.
”Entahlah. Mungkin pengiring-pengiringnya.”
“Aku pernah melihat. Mereka adalah orang-orang yang dahulu berada di Kademangan atau di banjar. Yang tua itu pun aku pernah melihat. Yang seorang agaknya yang selalu mengawasi Sekar Mirah, apalagi kalau bepergian.”
“O ya. Orang tua itu agaknya pemomong Sekar Mirah. Tetapi tidak sejak kecil. Mungkin karena ia menjadi semakin dewasa dan semakin cantik diperlukan seorang pengawas yang khusus.”
“Yang seorang, kita pun pasti pernah melihat. Dahulu, ketika daerah ini masih dibayangi oleh kekuatan Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan.”
“O, ya. Dan yang muda itu adalah adik Untara, aku ingat, Anak muda itu adik Panglima pasukan Pajang di daerah ini. Anak muda yang berasal dari Jati Anom.”
“O, ya. Aku ingat sekarang. Anak muda yang rendah hati yang ternyata telah menyelamatkan padukuhan ini dari terkaman Tohpati. Aku ingat sekarang. Aku ingat bagaimana ia datang ke padukuhan ini. Bagaimana ia mendapat banyak perhatian dari setiap orang, dan terutama Sekar Mirah. Bagaimana kemudian Sidanti menjadi cemburu kepadanya. O, jelas sekali. Kenapa aku tadi tidak menyapanya, he? Kenapa aku, dan kau dan kita semua tidak bertanya apa pun kepadanya?”
“Kita agaknya ragu-ragu. Atau belum teringat tentang dirinya dan kedua orang tua-tua itu.”
“Ah besok kita bertemu lagi dengan mereka. Besok kita akan dijamu oleh Swandaru dengan seekor kambing yang gemuk dan muda. Kita dapat bertanya tentang apa saja dan tentang anak muda yang bernama Agung Sedayu itu. Ha, bukankah namanya Agung Sedayu?”
“Ya, namanya Agung Sedayu. Sekarang kita ingat jelas tentang dirinya. Agung Sedayu. Agung Sedayu.”
Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas teringat oleh mereka, apa yang pernah dilakukan oleh Agung Sedayu. Di tengah malam ia datang seorang diri selagi Sangkal Putung dibayangi oleh kekuatan sepasukan prajurit Jipang yang dipimpin oleh Macan Kepatihan. Hampir tidak masuk akal bahwa seorang anak muda yang bukan prajurit, mempunyai keberanian seperti Agung Sedayu.
“Tentu ia memiliki keberanian yang berlebihan,“ berkata mereka di dalam hati,
“karena ia adalah adik seorang senapati muda yang namanya sejajar dengan Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan itu.”

Namun mereka sama sekali tidak membayangkan bahwa Agung Sedayu saat itu hampir pingsan ketika ia melihat pohon randu alas yang besar di tikungan, yang seolah-olah mencegatnya dengan sorot matanya yang hanya sebuah. Gendruwo yang hanya bermata tunggal. Dan tidak seorang pun yang membayangkan pula, bagaimana Agung Sedayu berusaha melarikan diri dari kejaran Alap-alap Jalatunda. Sehingga dengan ketakutan ia membenamkan diri ke dalam parit di pinggir jalan. Tetapi semuanya itu seolah-olah tidak membekas lagi di dalam diri Agung Sedayu itu. Seperti yang dilihat oleh orang-orang Sangkal Putung, Agung Sedayu adalah pahlawan bagi mereka, bagi Sangkal Putung. Pahlawan yang rendah bati. Demikianlah maka keempat orang itu sudah menjadi semakin dekat dengan halaman rumah Ki Demang di Sangkal Putung. Dengan demikian hati anak-anak muda itu pun menjadi semakin berdebar-debar. Apalagi ketika mereka melihat sebuah pelita di gardu yang ada di pinggir regol halaman kademangan. Dada Swandaru pun serasa terguncang karenanya. Sudah lama sekali ia tidak melihat suasana itu. Suasana yang rasa-rasanya seperti di dalam mimpi, setelah untuk beberapa lamanya Swandaru berada di pinggir Alas Mentaok bergulat dengan hantu-hantuan yang dikendalikan oleh Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak. Seperti di gardu di ujung lorong, maka para peronda di regol halamannya itu pun menjadi ribut. Mereka mengerumuni Swandaru sambil menepuk-nepuk tubuhnya yang gemuk itu.
“Seluruh kademangan sudah menunggu kedatanganmu,“ berkata salah seorang dari mereka.
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya.
”Terima kasih. Agaknya karena itulah aku selalu keduten di belakang telinga.”
Agaknya keributan di halaman itu telah membangunkan Ki Demang di Sangkal Putung, sehingga ia pun kemudian bangkit dan pergi ke pintu pringgitan.
“Kenapa anak-anak itu menjadi ribut?” ia bertanya kepada diri sendiri.
Ki Demang pun kemudian membuka pintu pringgitan, dan menjenguk ke halaman. Dilihatnya beberapa orang yang berkerumun sambil berbicara di antara mereka. Sejenak Ki Demang termangu-mangu. Namun kemudian ia pun melangkah mendekati para peronda yang sedang ribut itu. Tiba-tiba saja langkah Ki Demang tertegun. Lamat-lamat ia mendengar suara yang dikenalnya baik-baik. Suara anaknya. Sehingga tanpa sesadarnya ia bertanya dari tangga pendapa,
”He, siapa itu?”
Semua orang berpaling ke arahnya. Juga Swandaru, Agung Sedayu, Kiai Gringsing, dan Ki Sumangkar.
“Ayah,“ tiba-tiba Swandaru berteriak. Sejenak kemudian ia pun segera berlari mendapatkan ayahnya yang berdiri di tangga pendapa.
“Ayah, aku datang,” desis swandaru kemudian sambil memeluk perut ayahnya karena ayahnya masih berada di atas tangga.
“Kau sudah pulang?” suara ayahnya tiba-tiba menjadi dalam. Ditepuknya kepala anaknya beberapa kali. Lalu,
”Dengan siapa kau datang?”
Swandaru melepaskan ayahnya sambil berpaling. Dilihatnya Kiai Gringsing, Sumangkar, dan Agung Sedayu melangkah mendekatinya.
“O, selamat datang Kiai,“ sapa Ki Demang sambil turun dari tangga.
”Marilah, silahkan.”
Kiai Gringsing dan Sumangkar menganggukkan kepalanya. Hampir berbareng mereka menjawab,
“Terima kasih Ki Demang.”
“Dan agaknya kau juga Sedayu.”
“Ya, Ki Demang.”
“Kakang Sedayu pasti selalu bersama kami,“ potong Swandaru.
“Ia tidak akan berani ditinggalkan di mana pun juga.”
“Ah,“ desis Ki Demang, lalu “marilah. Silahkan, masuk ke pringgitan.”

Mereka pun kemudian naik ke pendapa dan masuk ke pringgitan. Dengan tergesa-gesa seorang anak muda telah membentangkan tikar yang putih untuk tempat duduk mereka. Tetapi Swandaru tidak ikut duduk bersama mereka. Ia langsung masuk ke ruang dalam sambil memanggil,
“Ibu, ibu. Aku sudah datang.”
Sekar Mirah yang mendengar suara kakaknya segera meloncat dari pembaringannya. Sambil berlari-lari ia mendorong daun pintu biliknya dan langsung pergi, ke ruang dalam. Tetapi Swandaru telah masuk ke bilik ibunya. Ketika Sekar Mirah menyusulnya, dilihatnya ibunya yang duduk di pembaringan memeluk kepala kakaknya yang berlutut di hadapannya.
“Sudah lama sekali aku menunggu. Aku menjadi cemas kalau terjadi sesuatu atasmu, sehingga aku minta pertolongan Ki Sumangkar untuk mencarimu. Yang pertama bersama dengan Sekar Mirah. Kemudian Ki Sumangkar pergi sendiri. Apakah kau tidak bertemu dengan orang itu?” berkata ibunya dengan suara serak
“Aku datang bersama Ki Sumangkar, Kakang Agung. Sedayu, dan Kiai Gringsing.”
“O,” Sekar Mirah-lah yang menyahut,
“kau datang bersama Kakang Agung Sedayu?”
Swandaru berpaling. Ditatapnya mata Sekar Mirah yang seakan-akan memancar cerah sekali. Karena itu maka timbullah keinginan Swandaru untuk mengganggunya, katanya,
“Kenapa kau bertanya tentang Agung Sedayu? Kau belum bertanya tentang aku. Tentang keselamatanku dan keselamatan gurumu.”
Wajah Sekar Mirah menjadi merah.
“Aku memang datang bersama Agung Sedayu. Tetapi anak itu terus pergi ke Jati Anom. Ia sudah terlampau rindu kepada kakaknya Untara dan sanak kadangnya.”
“Bohong. Ia pasti singgah ke mari.”
“Buat apa singgah ke mari? Di sini tidak ada siapa pun yang termasuk keluarganya.”
Sekar Mirah tidak memperdulikannya lagi. Tiba-tiba saja ia berlari ke luar.
“Mirah, Mirah. Tunggu dulu,” panggil Swandaru.
”Mirah,“ panggil ibunya “jangan tergesa-gesa menemuinya.”
Tetapi Sekar Mirah tidak mendengarnya. Ia berlari melintasi ruang dalam langsung ke pringgitan. Ia tahu bahwa tamu-tamu itu pasti berada di pringgitan. Tetapi ketika ia sampai ke pintu pringgitan, hampir saja ia melanggar ayahnya yang melangkah masuk.
“O,“ desis Sekar Mirah.
“Kau mau ke mana Mirah?” bertanya ayahnya.
Sekar Mirah tidak menyahut. Tetapi kepalanya ditundukkannya. Ayahnya tidak bertanya lagi. Dibimbingnya saja Sekar Mirah kembali ke bilik ibunya. Katanya
“Nah, itu kakakmu sudah datang. Bukankah selama ini kau selalu bertanya, kenapa Swandaru masih belum datang. Sekarang ia sudah datang.”
“Kakang Swandaru selalu mengganggu aku. Ia masih nakal seperti dahulu,” Sekar Mirah bersungut-sungut.

Ayahnya memandang Swandaru yang masih berlutut. Tetapi anak muda itu pun kemudian ditarik oleh ibunya dan didudukkannya di bibir pembaringan.
“Aku hanya mengatakan kalau Kakang Agung Sedayu datang bersama aku, Ayah. Lalu Sekar Mirah berlari-lari ke pringgitan meskipun aku sudah mencegahnya.”
“Hanya itu?”
“Ya, hanya itu.”
“Bohong. Kau katakan bahwa kakang Agung Sedayu langsung pergi ke Jati Anom.”
“Seandainya demikian, apa salahnya?” bertanya ayahnya.
“Ah, Ayah,” Sekar Mirah mencubit ayahnya sehingga ayahnya menyeringai.
“Sudah, sudah Mirah. Ia tidak pergi ke Jati Anom. Ia ada di sini.“
”Aku tidak memerlukan anak itu. Aku hanya ingin membuktikan bahwa Kakang Swandaru berbohong.”
“Sudahlah,“ desis ibunya sambil bangkit berdiri.
“Mirah. Marilah kita pergi ke dapur.”
Sekar Mirah tidak menyahut. Dan ibunya bertanya pula kepada Swandaru,
“Sejak kapan kalian berangkat dari tempat tinggal kalian yang terakhir?”
“Sejak matahari terbit, Ibu,“ jawab Swandaru. “Sehari penuh aku tidak makan apa pun, ditambah ujung malam ini. Aku memang lapar sekali.”
“Ah,“ potong Sekar Mirah, “itukah caramu berprihatin? Seharusnya kau tidak mengeluh meskipun tiga hari tiga malam kau tidak makan.”
“Aku juga tidak makan, bukan saja tiga hari tiga malam, tetapi lebih dari sepekan.”
“Tidak makan apa?” bertanya Sekar Mirah.
“Tidak makan, kerikil.”

Ayah dan ibunya tersenyum mendengar jawaban itu. Sekar Mirah justru memberengut. Tetapi ia segera pergi ke luar. Ketika ia tidak dapat menahan senyumnya, ia pun pergi menghindar. Ia tidak mau memperlihatkan senyum itu kepada Swandaru. Demikianlah, maka ibu Swandaru dan Sekar Mirah pun segera pergi ke dapur. Seorang pelayan pun dibangunkannya pula untuk membantu mereka menyiapkan minum dan makan, karena mereka hampir tidak makan nasi di sepanjang perjalanan. Tetapi sebenarnya hal itu tidak mengganggu sama sekali. Apa lagi Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar yang sudah melatih diri menghadapi keadaan yang bagaimanapun juga sulitnya. Sedangkan Agung Sedayu dan Swandaru pun sudah berlatih pula mengurangi makan dan minum serta keperluan-keperluan jasmaniah yang lain, untuk membiasakan diri apabila mereka menghadapi keadaan yang sulit sekali di luar perhitungan mereka. Selagi Nyai Demang berada di dapur, maka berita tentang kedatangan Swandaru bersama Agung Sedayu itu sudah menjalar. Para peronda yang berkeliling di malam hari mengatakannya kepada setiap orang yang ditemuinya. Orang-orang yang ada di gardu-gardu kecil di sudut-sudut padesan, orang yang pergi ke sawah untuk menengok apakah air sudah mengalir, dan orang-orang yang kebetulan keluar rumah di malam hari. Ketika dua orang peronda yang berkeliling lewat di depan rumah seorang kawannya yang baru saja melahirkan anaknya, dan di pendapa rumah itu beberapa orang anak muda sedang duduk berkelakar dan di pringgitan orang-orang tua sedang mengelilingi sebuah lampu minyak dan kitab yang berisi kidung, maka kedua peronda itu singgah juga sejenak. Kepada anak-anak muda di pringgitan mereka berceritera, bahwa Swandaru telah pulang bersama Agung Sedayu.
“He,“ seseorang menyahut, “kalau begitu kita pergi ke sana sekarang.”
“Jangan sekarang. Ia masih lelah. Besok kita diundang untuk makan dan mendengarkan ceriteranya. Ia akan memotong seekor kambing.”
Anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak mereka saling berpandangan. Namun sejenak kemudian berita itu telah menjalar dari mulut ke mulut, karena anak-anak muda itu pun segera berbisik di antara mereka sambung-menyambung. Ketika kedua orang peronda itu meninggalkan halaman, maka semua orang yang ada di rumah itu sudah mendengar bahwa Swandaru telah datang. Mereka diundang besok sore untuk berkunjung ke rumahnya. Malam ini Swandaru masih sangat lelah. Mungkin juga besok pagi.
“Ia akan memotong seekor kambing,” berkata salah seorang dari antara mereka.
“Seekor kambing?” bertanya yang lain.
“Ya, seekor kambing yang gemuk dan muda.”
“Ah, itu tidak akan berarti sama sekali. Besok aku kira semua orang mendengar kedatangannya. Kalau ia minta kita semua datang pada sore hari, maka aku kira seekor kambing tidak akan mencukupi sama sekali. Paling sedikit ia harus memotong tiga ekor kambing.”
“Tiga?”
“Ya.”
Kawannya merenung sejenak. Lalu
“Tunggu. Kalau tiga ekor, aku kira terlampau banyak buat Swandaru. Kalau seekor, memang terlampau kurang.”
“Ah, macam kau. Kenapa kau ribut tentang kambing itu? Besok kita datang menyambutnya. Tidak peduli apakah ia akan memotong seekor kambing, tiga ekor kambing atau seekor gajah sekali pun,” potong kawan yang lain.
“Oh,“ kawan-kawannya pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya.
Demikianlah seisi rumah itu kini berbicara tentang Swandaru, putera Ki Demang yang sudah agak lama merantau bersama Agung Sedayu dan Ki Tanu Metir, dukun tua itu.
“Apakah yang sudah mereka lakukan selama merantau?” pertanyaan itu selalu melonjak di dada kawan-kawannya. Mereka menghubungkan kepergian Swandaru itu dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya yang pernah terjadi di Sangkal Putung.
“Tentu sebuah ceritera yang mendebarkan jantung,“ desis seorang anak muda yang berambut jarang.
“Apa yang mendebarkan?” bertanya anak muda yang duduk di sisinya.
“Pengalaman Swandaru selama ia pergi merantau. Apa yang pernah dijumpainya di perjalanan pasti sangat menarik perhatian.”
Kawannya mengangguk-angguk, tetapi ia tidak menyahut lagi.

Orang-orang tua yang duduk di pringgitan agak terganggu juga sedikit mendengar berita itu. Namun mereka pun segera melanjutkan acara mereka. Seseorang yang sedang membaca sebuah kidung pun segera melanjutkannya dengan suaranya yang panjang mengalun memenuhi ruangan. Swandaru di rumahnya sedang sibuk membersihkan diri di pakiwan. Sehari-harian ia berjalan, sehingga debu yang kotor telah melekat di tubuhnya yang basah karena keringat. Pakaiannya yang kusut dan kakinya yang terasa penat. Air sumur di malam hari terasa sangat segar menyiram tubuhnya yang lelah. Seakan-akan air di Sangkal Putung jauh lebih segar dari air di mana pun juga daerah yang pernah dikunjungi. Setelah Swandaru selesai, maka berturut-turut Agung Sedayu, Kiai Gringsing, dan Sumangkar pun mandi pula membersihkan dirinya. Mereka masing-masing mendapat pakaian yang baru dari Ki Demang Sangkal Putung karena pakaian mereka yang telah kotor dan kusut. Namun Kiai Gringsing agaknya segan juga melepaskan kain gringsingnya, sehingga katanya,
“Biarlah kain itu besok aku cuci. Aku masih memerlukannya.”
“Besok aku akan membeli kain gringsing yang baru,” berkata Ki Demang.
“Kiai akan mendapat ganti yang lebih, baik dari kain itu.”
Tetapi Kiai Gringsing tersenyum.
”Terima kasih. Untuk sementara kain ini masih dapat aku pergunakan. Aku hanya harus mencucinya besok.”
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak memaksanya, karena ia menganggap bahwa Kiai Gringsing memerlukan ciri bagi dirinya selain senjatanya yang aneh itu.
Meskipun hari sudah menjadi semakin malam, namun di kademangan itu masih juga terdengar suara riuh. Ketika nasi sudah masak, mereka pun segera makan bersama-sama. Bukan saja Ki Demang dengan keluarganya, tetapi juga bersama dengan para peronda di gardu yang kemudian dipanggil naik ke pringgitan. Ternyata anak-anak muda itu tidak sabar lagi menunggu besok. Mereka sudah mulai mengajukan beberapa pertanyaan kepada Swandaru, apakah yang dilihat dan dialami selama perjalanannya itu.
“Besok saja aku akan berceritera,“ berkata Swandaru.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar