“Sekarang aku sedang lapar dan karena itu aku lebih senang menyuapi mulutku daripada berbicara.”
Kawan-kawannya
tertawa. Tetapi mereka tidak bertanya lagi. Mereka pun ikut pula menyuapi mulut
mereka, meskipun sebenarnya mereka tidak lapar, karena mereka sudah makan di
permulaan malam itu.
Selagi mereka
sedang sibuk menyuapi mulut masing-masing, Sekar Mirah berdiri di balik pintu
pringgitan yang sedikit terbuka. Dipandanginya Agung Sedayu yang sedang makan
pula di antara anak-anak muda itu. Ada semacam kerinduan yang melonjak di
dadanya. Ia ingin segera berbicara banyak dengan anak muda itu. Tetapi ia belum
sempat. Ia baru dapat menyapanya sepatah dua patah kata sebelum Agung Sedayu
mandi. Namun kemudian ia sibuk sendiri membantu ibunya menyediakan makan dan
minum. Tiba-tiba saja Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat sesuatu
yang agak lain di wajah Agung Sedayu. Ketika ia mendahului pulang ke Sangkal
Putung bersama Sumangkar, ia sudah merasakan perbedaan itu. Dan kini tampaknya
menjadi semakin jelas. Agung Sedayu yang masih saja tersenyum-senyum melihat
tingkah laku kakaknya itu, kini pada sorot matanya memancar kedewasaan yang semakin
matang. Sikapnya menjadi semakin mantap dan tidak lagi dibayangi oleh
kegelisahan.
“Mudah-mudahan
ia tidak lagi selalu ragu-ragu dan dibebani oleh pertimbangan-pertimbangan yang
membingungkan,“ berkata Sekar Mirah di dalam hatinya.
Sekar Mirah
itu terkejut ketika terasa pundaknya digamit oleh seseorang. Ketika ia
berpaling, dilihatnya ibunya berdiri di belakangnya.
“Apa yang kau
intip, Mirah?”
“Ah, ibu. Aku
tidak mengintip siapa pun. Aku ingin menghitung berapa orang yang duduk di
pringgitan.”
“Bukankah
hidangan sudah dihidangkan? Buat apalagi kau menghitungnya?”
“O,” Sekar
Mirah tergagap, namun,
“Kakang
Swandaru makannya banyak sekali. Aku takut kalau ada yang kurang.”
Ibunya tidak
menyahut lagi. Dibimbingnya Sekar Mirah ke ruang dalam sambil berkata,
“Kalau kau
lelah, tidurlah. Semuanya sudah selesai. Biarlah nanti sisa makanan itu
dibenahi oleh para pelayan.”
Tetapi Sekar
Mirah menggelengkan kepalanya. “Aku belum kantuk ibu. Aku masih ingin
duduk-duduk di sini mendengarkan percakapan itu. Tetapi, apakah ibu tidak ingin
menemui mereka pula?”
“Tentu, Mirah.
Tetapi tidak sekarang. Nanti, apabila mereka sudah selesai makan.”
“Dan aku juga
akan mengawani ibu.”
Ibunya
tersenyum, “Jadi kau tidak lelah?”
Sekar Mirah
menggelengkan kepalanya.
Ketika mereka
sudah selesai makan, dan Sekar Mirah serta pembantunya sudah selesai
menyingkirkan sisa-isa jamuan itu, bersama ibunya Sekar Mirah mendapat
kesempatan untuk duduk bersama di pringgitan. Namun terasa ada ketegangan di
dalam dirinya. Setiap kali ia memandang wajah Agung Sedayu hatinya menjadi
berdebar. Dan setiap kali ia berkata kepada diri sendiri,
“Mudah-mudahan
Kakang Sedayu tidak lagi selalu dibayangi oleh keragu-raguan untuk berbuat
sesuatu.”
Ketika malam
menjadi semakin malam, maka Ki Demang pun kemudian berkata,
“Nah, tentu
kalian sudah sangat lelah. Kami persilahkan Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar
untuk beristirahat di gandok Kulon bersama Agung Sedayu.” Lalu katanya kepada
Swandaru,
“Terserah kau
memilih tempat. Di mana kau akan tidur?”
“Aku tidur
bersama di gandok ayah.”
Ki Demang
mengangguk-anggukkan kepalanya. Seseorang telah membenahi gandok Kulon dan
mempersiapkan ruang-ruang tidur buat keempat orang yang baru datang itu.
Sejenak
kemudian, maka Kiai Gringsing dan kedua muridnya serta Sumangkar pun
meninggalkan pringgitan dan pergi ke gandok Kulon. Sedang para peronda pun
kembali ke gardu di regol halaman. Yang masih tinggal di pringgitan kemudian
adalah Ki Demang Sangkal Putung dan isterinya serta Sekar Mirah. Mereka masih
berbincang sebentar sebelum mereka pun kemudian masuk kembali ke dalam bilik
masing-masing. Ternyata kawan-kawan Swandaru tidak sabar menunggu sampai senja.
Di pagi harinya, selagi Swandaru baru bangun dari tidurnya yang agak kesiangan,
beberapa orang telah duduk di gardu. Mereka ingin segera mendengar ceritera
putera Ki Demang yang gemuk itu, apa saja yang dialaminya selama perjalanannya
yang agak terlampau lama bagi anak-anak muda Sangkal Putung.
”Ha, itulah.
Ia sudah bangun,“ desis seorang anak muda berambut kemerah-merahan.
Swandaru
menggosok matanya yang masih terasa berat. Ketika beberapa orang mendatanginya
ia berkata,
“Aku baru saja
bangun. Nanti malam aku akan memotong kambing.”
“Aku tidak
perlu kambing. Aku ingin dengar kau berceritera.”
“Kambing dan
ceritera. Aku sekarang masih lelah sekali. Aku baru dapat tidur menjelang dini
hari. Aku masih akan tidur lagi.”
Kawannya
mengerutkan keningnya. Lalu,
“Kita tunggu
saja ia di pembaringannya. Jangan beri kesempatan untuk tidur lagi.”
“Jangan
terlampau kejam. Dilarang menyiksa orang.”
Swandaru
tersenyum. Jawabnya,
“Mari ikut
saja tidur bersama aku.”
“Ah, kau
sangka aku tidak punya kerja selain tidur.”
“Kalau begitu
bekerjalah dahulu. Kalian akan pergi ke sawah? Pergilah. Nanti setelah kalian
selesai, kalian datang kemari. Aku pun pasti sudah selesai pula.”
“Apa yang
sudah kau selesaikan?”
“Tidur.”
Kawan-kawannya
saling berpandangan sejenak. Namun salah seorang dari mereka berkata,
“Baiklah.
Marilah kita pergi ke sawah saja. Biarlah ia memuaskan diri dengan tidur sehari
penuh. Tetapi nanti malam kau pasti akan terjaga semalam suntuk.”
Swandaru tidak
menjawab. Ia hanya tertawa saja sambil memandangi kawan-kawannya yang pergi
meninggalkan halaman itu. Dalam pada itu, selagi Swandaru masih berdiri tegak,
Agung Sedayu mendekatinya sambil berdesis,
“Aku akan
pergi sebentar ke Jati Anom. Aku ingin segera bertemu Kakang Untara.”
Swandaru
mengerutkan keningnya. Ditatapnya wajah Agung Sedayu sejenak. Swandaru ingin
meyakinkan, apakah Agung Sedayu bersungguh-sungguh, ataukah ia hanya sekedar
ingin mengatakan bahwa ia ingin juga pergi ke Jati Anom segera. Tetapi agaknya
Agung Sedayu bersungguh-sungguh. Tampak sesuatu membayang di sorot matanya.
“Kau
benar-benar akan pergi?” bertanya Swandaru.
“Ya.”
“Kapan?”
“Sekarang.”
“Sekarang? Sekarang
ini?”
“Ya.”
Swandaru
memandang wajah Agung Sedayu sejenak. Kini ialah yang menatap dengan sorot mata
yang aneh. Dengan ragu-ragu ia bertanya,
“Kenapa kau
begitu tergesa-gesa pergi ke Jati Anom?”
Agung Sedayu
tidak segera menyahut. Ada sesuatu yang terasa mengganggu perasaannya.
Seakan-akan ada suatu dorongan di dalam dadanya untuk segera menemui Untara. Ia
sendiri tidak mengerti, dorongan apakah yang telah membuatnya gelisah. Karena
Agung Sedayu tidak segera menjawab, maka Swandaru pun berkata,
”Kakang Agung
Sedayu, sebaiknya kau beristirahat barang sehari dua hari di sini. Kelak aku
akan mengantarkanmu pergi ke Jati Anom. Aku pun ingin bertemu dengan Kakang
Untara dan Paman Widura.”
“Ya, kelak
kita akan pergi bersama-sama. Mungkin juga guru dan paman Sumangkar. Tetapi aku
ingin segera menemuinya. Mungkin karena aku adalah adiknya. Kakang Untara
adalah satu-satunya saudaraku yang ada. Bahkan pangganti ayah ibuku.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tiba-tiba saja ia bertanya,
“Apakah kau
sudah minta diri kepada guru?”
Agung Sedayu
menggeleng.
“Belum. Nanti
aku akan minta ijin kepada guru, paman Sumangkar, dan Ki Demang.”
“Tinggallah
semalam ini di sini. Nanti kata akan menerima banyak sekali kawan-kawan kita
dari Sangkal Putung. Aku sudah berjanji untuk memotong kambing. Tentu tidak
hanya seekor. Mungkin dua ekor. Ayah tentu tidak akan berkeberatan.”
“Aku akan
berusaha telah berada di halaman ini kembali sebelum senja. Karena itu, aku
ingin berangkat secepat-cepatnya. Aku akan mempergunakan seekor kuda.”
Swandaru
termenung sejenak. Namun kemudian ia berkata,
“Sebaiknya kau
minta diri kepada guru.”
“Tentu. Aku
akan minta diri apabila guru telah selesai membersihkan dirinya.”
Swandaru tidak
menjawab. Dilihatnya Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar sedang duduk di amben
bambu di ruang depan gandok Kulon.
“Agaknya guru
sudah selesai,” gumam Agung Sedayu.
Swandaru tidak
menyahut. Diikutinya saja Agung Sedayu yang kemudian melangkah pergi menemui
gurunya. Kedatangan Agung Sedayu dengan wajah yang tampaknya bersungguh-sungguh
diiringi oleh Swandaru yang masih belum mandi, ternyata telah menarik perhatian
gurunya. Sehingga sebelum salah seorang dari kedua anak-anak muda itu berkata
sesuatu, Kiai Gringsing sudah bertanya,
“Apakah ada
sesuatu yang penting kalian bicarakan?”
Agung Sedayu
menjadi ragu-ragu sejenak. Namun ia pun kemudian duduk di amben itu pula
bersama Swandaru.
“Guru,“
berkata Agung Sedayu kemudian,
“aku ingin
minta ijin untuk menemui Kakang Untara. Sudah lama sekali aku tidak bertemu
sejak aku meninggalkan Sangkal Putung.”
Gurunya
mengerutkan keningnya. Dipandanginya Agung sedayu sejenak, lalu,
“Kenapa begitu
tergesa-gesa, Sedayu. Sebenarnya aku juga ingin bertemu dengan kakakmu. Mungkin
kita dapat saling berceritera tentang keadaan kita masing-masing. Untara, kau,
aku, Swandaru, dan barangkali juga Adi Sumangkar.”
“Ya, Guru. Di
kesempatan lain aku akan ikut serta di dalam pertemuan yang demikian. Tetapi
rasa-rasanya ada sesuatu yang mendorong aku untuk pergi menemuinya.”
Kiai Gringsing
menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa Agung Sedayu dan Untara adalah dua
orang saudara tanpa orang ketiga. Orang tua mereka telah meninggal, sehingga
keduanya adalah anak-anak yatim piatu. Untara bagi Agung Sedayu adalah ayah
sekaligus ibunya. Di dalam banyak hal, Untara-lah yang membuat Agung Sedayu
menjadi seorang anak muda. Meskipun pada mulanya seorang anak muda penakut
karena ibunya terlampau memanjakannya.
Tetapi untuk
melepaskannya Kiai Gringsing agak ragu-ragu juga. Ia tahu bahwa ada persoalan
antara Sutawijaya dengan Sultan Pajang. Agaknya Untara tahu, bahwa Agung Sedayu
berada di daerah Mataram. Mungkin berita itu telah didengarnya dari mulut ke
mulut, setelah Sekar Mirah menyusulnya bersama Sumangkar. Jika demikian, maka
pasti sudah ada prasangka betapa pun lemahnya pada Untara terhadap adiknya,
sehingga apabila di dalam pembicaraan selanjutnya ada di antara keduanya yang
agak terdorong kata, maka dapat terjadi kedua kakak-beradik itu berselisih.
Agung Sedayu
melihat keragu-raguan yang membayang di wajah gurunya, dan Agung Sedayu pun
menyadari apakah sebabnya. Namun justru karena itu, ia menjadi semakin ingin
bertemu dengan kakaknya. Rasa-rasanya seandainya ada sesuatu di hati kakaknya,
biarlah ia segera mendengar, dan dengan demikian ia akan segera dapat
memberikan beberapa penjelasan apabila diperlukan.
“Agung
Sedayu,“ berkata Kiai Gringsing kemudian,
“kalau, kau
masih dapat menahan perasaanmu, tundalah barang satu dua hari. Hatimu pasti
sudah mapan. Kau sudah tidak lelah lagi seperti saat ini, sehingga nalar pun
akan terpengaruh juga. Hatimu menjadi gelap dan akalmu menjadi pendek.”
Agung Sedayu
menundukkan kepalanya. Tetapi dorongan di hatinya untuk bertemu dengan kakaknya
tidak dapat ditahankannya lagi.
“Bagaimana,
Sedayu?” bertanya gurunya.
”Guru,“ jawab
Agung Sedayu,
“aku merasa
bahwa aku segera ingin bertemu dengan Kakang Untara. Sejauh dapat aku lakukan,
aku akan menghindarkan diri dari setiap pembicaraan mengenai perkembangan
keadaan. Aku didorong oleh kerinduanku kepada keluarga dan sanak-kadang yang
ada di Jati Anom.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak yakin, bahwa hanya karena
kerinduan itu saja Agung Sedayu yang telah merantau beberapa lama itu tidak
dapat menundanya sehari saja lagi. Tentu ada sesuatu yang bergolak di dadanya,
yang seakan-akan mendesaknya untuk segera mendapatkan penyelesaian. Namun
akhirnya Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia melihat bahwa
muridnya itu kini sudah menjadi semakin dewasa. Mungkin Untara pun akan
menganggapnya sebagai anak muda yang telah dewasa pula. Ia tidak akan
memperlakukan adiknya itu seperti di saat-saat Sedayu masih di Jati Anom, yang
dengan ketakutan mengikuti kakaknya pergi ke Sangkal Putung.
“Baiklah,
Agung Sedayu,“ berkata gurunya kemudian,
“kalau kau memang
ingin menemui kakakmu di Jati Anom, aku tidak berkeberatan. Tetapi aku berpesan
kepadamu, bersikaplah dewasa.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun sebelum ia menjawab, Swandaru telah
mendahuluinya,
“Aku ikut
bersamanya, Guru. Bukankah Kakang Agung Sedayu akan kembali kerumah ini sebelum
senja?”
Tetapi gurunya
menggelengkan kepalanya,
“Kau tidak
usah ikut Swandaru. Dan aku yakin bahwa ayah dan ibumu akan berkeberatan. Kau
baru saja datang dari perjalanan yang agak lama. Sehingga mereka masih ingin
banyak berbicara tentang pengalamanmu, perjalananmu, dan kau halus
mempertanggung jawabkan perutmu yang susut itu.”
Swandaru
mengerutkan keningnya. Namun memang seperti yang dikatakan oleh gurunya, ayah
dan ibunya pasti akan berkeberatan apabila ia pergi bersama Agung Sedayu. Karena
itu, maka Swandaru hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya wajah
Agung Sedayu sejenak. Memang terbayang di wajah itu perasaan yang tertahan.
Yang agaknya terlampau memberati dadanya, sehingga Agung Sedayu ingin mendapat
saluran untuk melepaskannya. Demikianlah, maka Agung Sedayu pun segera minta
diri kepada Ki Demang, berdua dan Sekar Mirah. Tentu saja hal itu sangat
mengejutkan mereka, terutama Sekar Mirah.
“Kenapa begitu
tergesa-gesa?”
“Senja nanti
aku akan kembali ke rumah ini. Aku ingin ikut menyambut kawan-kawan yang akan
berdatangan ke mari.”
“Tetapi,“
Sekar Mirah memotong. Namun ia tidak melanjutkan kata-katanya yang serasa
tersangkut di kerongkongan.
Agung Sedayu
berpaling memandanginya. Tetapi Sekar Mirah segera menundukkan kepalanya.
“Adalah
menjadi kewajibanku untuk segera menemuinya,“ berkata Agung Sedayu.
“Aku adalah
saudaranya yang muda. Mungkin selama ini Kakang Untara menjadi cemas juga
memikirkan nasibku di perjalanan yang tidak terbatas waktu itu.”
“Tidak,“ tiba-tiba
Sekar Mirah memotong.
“Kakang Untara
tidak pernah datang kemari untuk bertanya tentang kau. Apalagi tentang Kakang
Swandaru.”
“Ah,“ desis
ayahnya,
“Untara bukan
anak-anak yang mempunyai banyak waktu setelah pulang dari menghalau burung di
sawah. Anakmas Untara adalah seorang senapati yang bertanggung jawab atas
pasukan segelar sepapan yang berada di Jati Anom sekarang. Tentu ia tidak
mempunyai waktu untuk sering datang kemari.”
“Tetapi
hubungannya dengan kakang Agung Sedayu adalah hubungan pribadi. Kalau ia tidak
mempunyai waktu, ia dapat menyuruh satu dua orang bawahannya.”
“Kau sendiri
mengatakannya, bahwa hubungan itu adalah hubungan pribadi Kenapa ia harus
menyangkut bawahannya untuk keperluan yang sangat pribadi itu?”
“Maksudku, ia
pasti mempunyai pelayan atau kawan atau orang yang dapat diupahnya untuk hal
itu.”
Ki Demang
menarik nafas dalam-dalam. Sebelum ia menjawab, Agung Sedayu sudah
mendahuluinya,
“Itu adalah
kuwajibanku. Akulah yang muda. Karena itu supaya aku tidak bertindak deksura,
akulah yang akan datang kepadanya.”
“Baiklah,”
berkata Ki Demang kemudian,
“apabila
gurumu tidak berkeberatan, aku pun tidak berkeberatan. Tetapi senja nanti kau
benar-benar diharap sudah ada di halaman ini.”
“Ya. Aku akan
kembali sebelum senja. Aku tidak memerlukan waktu yang lama di Jati Anom. Besok
di kesempatan lain aku akan kembali ke Jati Anom dan tinggal beberapa hari di
sana.”
Ki Demang
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi wajah Sekar Mirah tampak suram. Dan
bahkan ia masih juga bersungut-sungut,
“Kenapa harus
hari ini?”
Agung Sedayu
tidak menyahut. Sebenarnya ingin juga ia tinggal di Sangkal Putung hari itu.
Tetapi desakan di dadanya itu tidak dapat ditundanya lagi. Karena itu, maka
setelah mempersiapkan seekor kuda, Agung Sedayu pun segera berangkat
meninggalkan Sangkal Putung. Di regol halaman Sekar Mirah mendekatinya sambil
berkata,
“Kau harus
cepat kembali. Kau lebih mementingkan Kakang Untara daripada aku di sini.”
“Bukan begitu,
Mirah, tetapi ikatan yang ada di antara aku dan Kakang Untara memang berlainan
dari ikatan yang ada pada diri kita. Tetapi aku akan segera kembali. Aku tidak
akan melampaui senja.”
Sekar Mirah
memandang wajah Agung Sedayu dengan tajamnya, seakan-akan ia kurang percaya
kepada kata-katanya. Sehingga karena itu Agung Sedayu meneruskan,
“Kalau aku
tergesa-gesa menemui Kakang Untara, itu hanyalah karena aku adiknya.”
“Tetapi
bagaimanakah kalau Kakang Untara kemudian menahanmu di sana, agar kau tidak
segera kembali ke Sangkal Putung dengan alasan apa pun juga?”
“Tidak, Mirah.
Kakang Untara tidak memerlukan aku di dalam tugasnya, ia sudah mempunyai
pasukan yang kuat. Segelar sepapan. Buat apa aku seorang diri di dalam
pasukannya?”
“Kakang Untara
ingin kau menjadi seorang prajurit Pajang yang baik.”
Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian ia berkata,
“Tidak. Aku
tidak akan disuruhnya tinggal di sana. Ia tidak memerlukan aku.”
Sekar Mirah
tidak menyahut lagi. Meskipun hatinya menjadi berdebar-debar. Setelah sekali
lagi mohon diri, maka Agung Sedayu itu pun segera memacu kudanya pergi ke Jati
Anom untuk menemui kakaknya. Rasa-rasanya memang ada sesuatu yang mendorongnya,
agar ia segera bertemu dan apa pun yang akan dikatakan oleh kakaknya, biarlah
ia segera mendengar.
“Tetapi
mungkin hanya sekedar prasangka,“ desisnya di dalam hati,
“justru karena
pesan Raden Sutawijaya itu.”
Tetapi Agung
Sedayu ingin segera membuktikan, sehingga karena itu, ia memacu kudanya semakin
cepat. Di dalam perjalanan itu, sempat juga ia mengenang bagaimana ia pertama
kali pergi ke Sangkal Putung di malam yang gelap dalam hujan dan angin.
Bagaimana ia menjadi ketakutan dari hampir-hampir tidak sanggup melanjutkan
perjalanan.
“Aku hampir
mati ketakutan,“ desisnya. Tanpa disadari sebuah senyum telah tersungging di
bibirnya. Bahkan dibayangkannya, apakah yang akan terjadi atasnya, seandainya
ia masih belum berhasil memecahkan kungkungan yang membelenggu hatinya saat
itu, dan tiba-tiba saja ia terlempar ke Alas Mentaok seperti yang baru saja
dialaminya.
“Aku tidak
akan lebih baik dari orang-orang yang ketakutan di barak itu,“ katanya kepada
diri sendiri.
Ketika Agung
Sedayu sampai di Dukuh Pakuwon tiba-tiba saja ia ingin melihat rumah yang
pernah didiami oleh Kiai Gringsing. Bahkan seakan-akan memang di padukuhan
itulah tempat tinggal Kiai Gringsing yang sebenarnya, karena di rumah itu pula
ia mulai mengenalnya. Karena itu ketika ia sampai pada sebuah tikungan yang
membelah padukuhan itu, tiba-tiba saja ia telah berbelok, menyelusuri jalan
kecil yang langsung menuju ke rumah Ki Tanu Metir. Agung Sedayu tertegun ketika
ia sampai di depan regol kecil sebuah halaman yang tidak begitu luas. Halaman
yang kotor dan liar. Halaman itu adalah halaman rumah Ki Tanu Metir yang juga
bernama Kiai Gringsing. Seperti ditarik oleh sebuah pesona yang tidak
dimengertinya sendiri, Agung Sedayu memasuki halaman rumah itu. Bahkan ia pun
kemudian meloncat turun dari kudanya. Tetapi Agung Sedayu berdiri saja di
halaman sambil memandang berkeliling, memandang rerumputan liar, sarang
laba-laba yang bergayutan di sudut-sudut rumah dan kandang yang kosong. Agung
Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata ia tidak melangkah lebih dekat lagi.
Sebenarnya ia ingin juga masuk ke rumah itu, tetapi niatnya diurungkannya. Ia
ingin segera menemui kakaknya. Tetapi langkahnya tertegun sejenak, ketika
dilihatnya seseorang yang berjalan di lorong sempit. Orang yang memandanginya
dengan penuh keheranan, tetapi juga dibayangi oleh perasaan takut dan cemas.
“Ki Sanak,“
tiba-tiba Agung Sedayu menyapanya,
“apakah kau
tinggal di padukuhan ini juga?”
“Ya, ya,
Tuan,” orang itu tergagap,
“aku memang
tinggal di padukuhan ini.”
“Apakah kau
kenal dengan penghuni rumah ini?”
“O,“ orang itu
mengangguk-anggukkan kepalanya,
“orang yang
tinggal di rumah ini adalah seorang dukun tua.”
“Di manakah ia
sekarang?”
“Tidak seorang
pun yang mengetahui nasibnya, Tuan. Selagi daerah ini menjadi daerah yang
gawat, menjadi ajang benturan antara pasukan Pajang dan sisa-sisa prajurit
Jipang, orang tua itu telah hilang.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ia adalah
seorang dukun yang baik, Tuan. Dukun yang suka sekali menolong sesamanya. Bukan
saja orang-orang di sekitar tempat tinggalnya saja yang datang kepadanya waktu
itu. Tetapi dari padukuhan-padukuhan lain pun banyak yang datang berobat
kepadanya. Dan ia berhasil menyembuhkannya.”
“Seorang dukun?”
Agung Sedayu mengulang.
”Dukun yang
dapat menyembuhkan orang sakit?”
“Ya, Tuan,
menyembuhkan orang sakit. Tetapi ia mempunyai cara tersendiri. Ia mempergunakan
dedaunan dan akar-akaran sebagai obat. Tidak dengan cara-cara yang ajaib yang
tidak dapat kami mengerti.”
Agung Sedayu
mengerutkan keningnya. Kenangannya tentang masa lampaunya justru menjadi
semakin jelas. Tentang rumah ini dan tentang Untara yang terluka ketika ia
berkelahi melawan beberapa orang sekaligus. Di antaranya adalah Pande Besi
Sendang Gabus dan Alap-alap Jalatunda.
“Terima kasih,
terima kasih,“ tiba-tiba Agung Sedayu bergumam.
“Apakah Tuan
mempunyai sesuatu maksud?” bertanya orang itu.
“Tidak,“ jawab
Agung Sedayu,
“aku tidak
bermaksud apa-apa.”
Orang itu
memandang Agung Sedayu dengan heran. Tetapi Agung Sedayu tidak menghiraukannya
lagi. Dituntunnya kudanya keluar dari halaman yang kotor itu, kemudian langsung
meloncat ke punggungnya. Namun ia masih berpaling sekali. Dilihatnya orang yang
masih berada di halaman itu keheran-heranan. Tetapi Agung Sedayu hanya
melambaikan tangannya saja sambil tersenyum.
Sejenak
kemudian kudanya pun sudah berpacu pula. Semakin lama semakin jauh dari Dukuh
Pakuwon. Derap kuda Agung Sedayu menjadi semakin dekat dengan Jati Anom.
Setelah melampaui Sendang Gabus, maka dada Agung Sedayu pun menjadi
berdebar-debar. Di hadapannya adalah padukuhan Jati Anom. Sejenak kemudian ia
akan sampai dan bertemu dengan kakaknya, Untara. Tiba-tiba terasa debar
jantungnya menjadi semakin cepat. Ada sesuatu yang menggelisahkannya. Justru
karena Sutawijaya berpesan kepadanya, agar orang-orang Pajang termasuk Untara,
tidak mencurigainya. Agung Sedayu menggeretakkan giginya. Dhentakkannya kakinya
pada perut kudanya, sehingga kudanya pun berlari menuju ke padukuhan tempat
kelahirannya.
Terasa sesuatu
melonjak di dadanya, ketika ia melihat sebuah gardu di mulut lorong. Gardu yang
dahulu belum pernah ada. Dan di depan gardu itu dilihat dua oraug prajurit
berdiri sambil menyandang senjata.
“Hem,“ desis
Agung Sedayu,
“prajurit-prajurit
Pajang benar-benar dalam keadaan siaga.”
Tetapi Agung
Sedayu pun mencoba mengambil kesimpulan,
“Namun agaknya
para senapati Pajang masih juga ragu-ragu. Ternyata mereka masih saja berada di
Jati Anom. Kalau mereka menganggap perkembangan Tanah Mataram itu benar-benar
membahayakan, mereka pasti akan bergeser maju. Mungkin mereka akan kembali ke
Sangkal Putung. Tetapi mungkin juga di Prambanan atau lebih maju lagi di seberang
Kali Opak, pada tempat yang memotong garis lurus dari Mataram ke Pajang.”
Dalam pada itu
kuda Agung Sedayu telah berada beberapa langkah dari gardu di mulut lorong. Ia
melihat salah seorang dari kedua prajurit itu maju beberapa langkah dan berdiri
di tengah jalan. Sambil mengangkat tangan kanannya ia berkata,
“Berhenti, Ki
Sanak.”
Agung Sedayu
menarik kekang kudanya. Ia masih ingat prajurit Pajang di Sangkal Putung pernah
bertanya kepadanya ketika ia datang untuk pertama kalinya ke kademangan itu ‘Apakah
Ki Sanak tidak turun?’
Karena itu
maka kali ini Agung Sedayu segera turun dari kudanya untuk memenuhi tata
kesopanan bagi seorang penunggang kuda yang melalui sebuah penjagaan yang
dianggap penting.
“Siapakah
kau?” bertanya prajurit itu.
Agung Sedayu menatap
wajah prajurit itu sejenak. Tetapi ia memang belum pernah mengenalnya, demikian
juga agaknya prajurit itu masih belum mengenalnya. Karena itu maka jawabnya,
“Aku anak Jati
Anom.”
“He,“ prajurit
itu mengerutkan keningnya,
”kau anak Jati
Anom? Siapa namamu?”
“Agung
Sedayu.”
Prajurit itu
merenung sejenak. Katanya,
“Aku mengenal
hampir semua anak-anak muda di Jati Anom. Tetapi aku belum pernah melihat kau.”
“Sudah lama
aku pergi. Aku berada di Sangkal Pulung.”
“O,“ prajurit
itu mengangguk-anggukkan kepalanya,
“kau anak
siapa?”
Agung Sedayu
termenung sejenak, dalam keragu-raguan. Ia tidak ingin menyebut dirinya
langsung sebagai adik Untara apabila tidak diperlukan sekali, agar tidak
menumbuhkan kesan yang tidak dikehendaki pada prajurit itu. Karena itu, maka ia
pun menjawab pertanyaan prajurit itu,
”Ayah dan
ibuku sudah lama meninggal dunia.”
“Ya, tetapi
siapa mereka?”
Agung Sedayu
menarik nafas. Jawabnya,
“Namanya Ki
Sadewa.”
Prajurit itu
mengerutkan keningnya. Ia memang belum pernah mendengar nama itu, sehingga
tanpa disadarinya ia berpaling memandangi wajah kawannya yang berdiri di depan
gardu.
“Siapa?”
bertanya kawannya sambil melangkah mendekat.
“Agung
Sedayu.”
Prajurit itu
termangu-mangu sejenak. Tetapi sebelum ia menjawab, Agung Sedayu sudah bertanya
lebih dahulu,
“Apakah Jati
Anom sekarang menjadi daerah tertutup?”
Kedua prajurit
itu terdiam sejenak, namun kemudian ia menjawab,
“Tidak. Jati
Anom belum menjadi daerah tertutup.”
“Kalau begitu
aku dapat lewat meskipun kalian tidak mengenal aku dan orang tuaku yang sudah
meninggal.”
Kedua prajurit
itu saling berpandangan. Namun mereka pun kemudian menganggukkan kepala mereka,
“Ya. Kau dapat
lewat.”
Agung Sedayu
menganggukkan kepalanya sambil berkata,
“Terima kasih.
Aku akan menengok kampung halaman yang sudah lama aku tinggalkan.”
Kedua prajurit
itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Salah seorang dari keduanya menyahut,
“Silahkan.
Tetapi kau harus menjaga diri. Meskipun Jati Anom belum merupakan daerah
tertutup, namun daerah ini merupakan daerah pengawas. Setiap orang akan diawasi
dan harus bertanggung jawab atas tingkah lakunya di sini.”
Agung Sedayu
mengangguk.
”Ya. Aku
mengerti. Aku akan bertanggung jawab atas segala perbuatan dan tingkah lakuku
selama aku berada di Jati Anom.”
Kedua prajurit
itu saling berpandangan sejenak. Kemudian mereka melangkah minggir. Salah
seorang dari mereka berkata,
“Silahkan.”
Agung Sedayu
pun kemudian meloncat ke punggung kudanya. Setelah la mengangguk hormat, maka
kudanya pun mulai melangkah memasuki lorong daerah kelahirannya. Dada Agung
Sedayu pun mulai berdebar-debar ketika ia melihat keadaan di padukuhan Jati
Anom. Suasananya mirip dengan suasana padukuhan-padukuhan di Sangkal Putung
pada saat mereka menghadapi pasukan Tohpati yang berusaha merebut daerah
perbekalan itu. Hampir di setiap lorong ia bertemu dengan prajurit Pajang yang
berjalan sambil memandanginya dengan heran. Di setiap simpang empat dan apalagi
di halaman Banjar. Agaknya Banjar padukuhan itu pun telah dipergunakan sebagai
tempat tinggal para prajurit. Bukan saja banjar padukuhan, tetapi juga satu dua
rumah-rumah yang paling besar. Dan mungkin juga kademangan seperti Kademangan
Sangkal Putung. Agung Sedayu herjalan terus. Ia tertegun ketika ia melihat
seorang anak muda yang berdiri termangu-mangu di simpang tiga. Anak muda itu
adalah anak muda yang pernah dikenalnya. Justru adalah kawannya bermain dan
mereka bersama-sama sibuk menghadapi padepokan Tambak Wedi sebelum padepokan
itu dihancurkan.
“Kau Sedayu?”
sapa anak muda itu.
Agung Sedayu
pun segera meloncat dari punggung kudanya.
“Ya,“ jawab
Agung Sedayu sambil mengguncang pundak anak muda itu,
“kau sekarang
tampak gagah sekali Juga.”
Anak muda yang
bernama Juga itu tertawa.
“Kau juga
menjadi seorang prajurit?” bertanya Agung Sedayu.
“Ya. Aku
mendapat kesempatan itu. Dan aku senang melakukannya. Apalagi untuk sementara
aku akan tetap tinggal di padukuhan sendiri, selama Untara masih berada di sini
juga.
Agung Sedayu
tersenyum. Dipandanginya kawannya yang bernama Juga itu dari ujung kakinya
sampai ke ujung kepalanya.
“Apa yang aneh
padaku?” bertanya anak muda itu.
Agung Sedayu
kini tertawa. Jawabnya,
“Tidak ada
yang aneh. Tetapi kau pantas menjadi seorang prajurit.”
Juga pun
tertawa,
“Ada-ada saja
kau, Sedayu. Aku kira kau pun akan menjadi seorang prajurit pula seperti
Untara. Kau tentu akan mendapat kesempatan pula. Apalagi kau adiknya.”
“He, kau aneh.
Apakah adik seorang senapati akan selalu mendapat kesempatan untuk menjadi
seorang prajurit? Bukankah untuk menjadi seorang prajurit diperlukan
syarat-syarat tertentu dan harus melakukan pendadaran?”
“Ya.”
“Meskipun aku
adik Kakang Untara, tetapi kalau aku tidak memenuhi syarat, maka aku tidak akan
dapat diterima menjadi seorang prajurit.”
“Ah kau,“
desah Juga,
“kau sangka
kami, anak-anak Jati Anom tidak tahu tentang kau? Tidak tahu apa yang kau
lakukan di Sangkal Putung dan di padepokan Tambak Wedi?”
“Ah, aku tidak
berbuat apa-apa.”
Juga menepuk
bahu Agung Sedayu, katanya,
“Memang tidak
seorang pun yang menyangka bahwa kau akan menjadi anak muda yang mengagumkan
seperti ini. Di masa kanak-kanak kau lain sekali.”
Agung sedayu
tersenyum. Memang masa kanak-anaknya dapat menimbulkan kesan yang lucu di dalam
dirinya. Di masa hatinya selalu diliputi oleh perasaan takut dan cemas. Gelisah
dan ketidak-tentuan. Tetapi yang telah terukir di jiwanya itu sama sekali tidak
akan dapat terhapus sama sekali. Meskipun ia telah berhasil memecahkan ikatan
ketakutan yang selalu menyelubungi dirinya, namun bekasnya masih tampak sampai
saat ini. Keragu-raguan dan pertimbangan yang terlalu berkepanjangan masih saja
mempengaruhinya dalam menentukan sikap dan keputusan.
Agung Sedayu
itu terperanjat ketika Juga bertanya,
“Apakah kau
sekarang akan menemui kakakmu?”
Agung Sedayu
mengangguk,
“Ya. Tetapi
aku juga akan melihat rumah yang telah lama aku tinggalkan.”
“Untara
tinggal di rumahnya bersama beberapa orang pemimpin pasukan ini.”
“O,“ Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam,
“jadi aku
tidak usah mencarinya ke mana-mana.”
“Ya. Pulang
sajalah. Kau akan menemukan orang yang kau cari.”
“Terima kasih.
Apakah kau akan pergi ke sana juga?”
Juga
menggeleng. Jawabnya,
“Aku tinggal
di banjar.”
Agung Sedayu
pun kemudian berkata,
“Kalau begitu,
aku akan pulang ke rumah dahulu menemui Kakang Untara. Kemudian aku akan
melihat-lihat padukuhan ini.”
“Bukankah kau
akan kembali ke padukuhan ini?”
Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam. Sambil tersenyum ia pun kemudian menjawab,
“Ya. Aku akan
kembali ke Jati Anom. Tetapi tidak segera. Aku masih mempunyai beberapa
persoalan yang harus aku selesaikan.”
“Apa?”
“Ah, hanya
persoalan pribadi.”
“He? Persoalan
pribadi?” Juga mengerutkan keningnya, kemudian,
“Ha, aku tahu.
Tentu persoalan anak muda. Kalau begitu, kami, anak-anak Jati Anom setelah
merayakan hari bahagia Untara, akan segera merayakan hari besarmu.”
“He,“ justru
Agung Sedayu terkejut.
“Ada apa
dengan kakang Untara?”
“Kenapa kau
bertanya? Bukankah kau adiknya?”
Agung Sedayu
menjadi bimbang sesaat. Namun kemudian ia berkata,
“Sudah lama
aku tidak bertemu Kakang Untara.”
“Temuilah. Ia
pasti akan mengatakannya kepadamu,” sahut Juga sambil tersenyum.
Agung Sedayu
memandang Juga sejenak, Ia melihat kelucuan membayang di wajah anak muda itu,
sehingga Agung Sedayu pun kemudian tersenyum pula.
“Nah,
silahkan. Aku kira Untara ada di rumah saat ini.”
“Kau selalu
mengada-ada saja,“ gumam Agung Sedayu sambil tertawa.
“Tetapi
ceriteramu tentang Kakang Untara sangat menarik. Berbeda dengan dugaanmu
tentang aku.”
Juga tertawa
pula. Katanya,
“Kau masih
belum mengaku. Tetapi aku berani bertaruh hitamnya kuku. Kau pasti akan
membicarakan masalahmu sendiri dengan Untara. Masalah anak muda.”
Agung Sedayu
akan menjawab, tetapi Juga mendahului,
“Jangan
membantah. Aku hanya sekedar menyatakan selamat. Aku ikut gembira bahwa
akhirnya seorang demi seorang anak-anak muda Jati Anom akan menginjak dunia
yang baru. Kau kira ceritera tentang gadis Sangkal Putung itu tidak aku
dengar?”
Agung Sedayu
menggigit bibirnya. Tetapi ia kemudian tidak mendapat kesempatan menjawab,
karena Juga kemudian berkata,
“Ah, silahkan.
Aku tidak akan mendahului persoalan kalian.”
Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak sempat menjawab karena Juga segera
melangkah pergi sambil melambaikan tangannya. Sejenak Agung Sedayu masih
berdiri termangu-mangu. Namun kemudian ia meloncat ke punggung kudanya dan
meneruskan perjalanannya, menuju ke rumahnya yang kini telah diperguuakan
sebagai tempat pimpinan pasukan Pajang yang bertugas di daerah Selatan. Agung
Sedayu tidak menghiraukan lagi apabila beberapa orang prajurit yang tidak
dikenalnya memandangnya dengan heran. Meskipun tidak terlampau cepat, namun
kudanya berlari juga di sepanjang jalan padukuhan menuju ke rumahnya.
Tetapi agaknya
ada juga prajurit Pajang yang bersifat aneh. Prajurit-prajurit muda yang belum
sempat menunjukkan kelebihannya di medan perang yang sesungguhnya.
Kadang-kadang mereka tiba-tiba saja ingin berbuat sesuatu untuk membuktikan
bahwa ia adalah seorang laki-laki yang mempunyai kelebihan dari orang lain. Seorang
prajurit muda yang mempunyai sifat yang demikian, ternyata tidak senang melihat
Agung Sedayu berkuda di jalan padukuhan tanpa berpaling memandangnya.
Karena itu, maka
tiba-tiba saja ia berteriak,
“He, anak
muda. Berhentilah sebentar.”
Agung Sedayu
berpaling. Ketika ia sadar, bahwa prajurit itu berbicara kepadanya, maka ia pun
segera menarik kekang kudanya.
“Ke mari!“
bentak prajurit itu.
Agung Sedayu
menjadi termangu-mangu sejenak. Dipandanginya prajurit muda yang berdiri
bertolak pinggang di antara dua orang kawannya yang masih muda-muda juga.
“Kemari,
cepat!”
Agung Sedayu
mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih tetap tidak beranjak dari tempatnya.
“Kemari!
Apakah kau tidak mendengar?”
Agung Sedayu
menarik nafas untuk menahan gejolak perasaannya. Tiba-tiba saja terbayang di
rongga matanya, wajah Sidanti yang sudah tidak ada lagi. Sifat-sifat sombong
dan angkuh kini dilihatnya juga pada wajah prajurit muda. Sebenarnya Agung
Sedayu tidak senang diperlakukan demikian, karena ia tahu, bahwa prajurit itu
memang tidak berhak berbuat demikian. Tetapi untuk menghindari keributan, maka
ia pun segera meloncat turun dan selangkah demi selangkah mendekati prajurit
muda itu. Prajurit-prajurit itu belum pernah dilihatnya, sehingga Agung Sedayu
berkesimpulan, bahwa sebagian besar dari prajurit-prajurit yang ada di Jati
Anom bukannya prajurit yang pernah tinggal di Sangkal Putung. Agaknya prajurit
Untara sekarang adalah prajurit-prajurit muda yang masih mengidap darah yang
mudah mendidih.
“Siapa kau,
he? Kau sangka bahwa kau seorang tumenggung. Seharusnya kau berjalan sambil
menuntun kudamu. Kau malahan memacu kudamu di jalan padukuhan yang sempit ini.
Apalagi kau berpapasan dengan prajurit-prajurit Pajang. Apakah para penjaga
gardu di regol padukuhan ini tidak menegurmu?”
“Maaf,“ jawab
Agung Sedayu
“aku tidak
tahu, dan para prajurit di gardu tidak memberitahukan kepadaku, bahwa aku harus
menuntun kudaku di sepanjang jalan padukuhan.”
“Siapa kau dan
di mana rumahmu?”
“Namaku Agung
Sedayu. Rumahku Jati Anom ini. Aku akan kembali menengok halaman dan rumah yang
sudah lama aku tinggalkan.”
“Bohong! Aku
belum pernah melihat wajahmu.”
“Aku sudah
berpapasan dengan Juga. Ia juga seorang prajurit. Aku kenal anak muda itu,
karena kami berasal dari padukuhan ini.”
“Jangan
mengelabui kami. Seandainya kau kenal juga anak-anak muda di padukuhan ini,
namun kau sudah bertindak deksura. Kau sama sekali tidak menghormati prajurit.”
“Aku minta
maaf.”
“Persetan. Aku
muak melihat wajahmu. Kau pantas mendapat sedikit peringatan.”
“Aku minta
maaf. Aku tidak tahu.”
“Maaf, maaf
macammu. Kau sangka kesalahanmu dapat hapus dengan minta maaf.”
“Jadi?“ Agung
Sedayu tidak mengerti maksud prajurit itu.
Namun agaknya
prajurit itu memang sekedar ingin berselisih sehingga tiba-tiba saja ia telah
menyambar ikat kepala Agung Sedayu. Tetapi Agung Sedayu tidak membiarkannya
sehingga dengan cepat pula ia berhasil mengelak.
“He, kau
berani melawan aku?”
“Bukan
maksudku,“ sahut Agung Sedayu.
“Tetapi kau
mengelak.”
“Jangan kau
rusakkan ikat kepalaku.”
Prajurit itu
memandang Agung Sedayu dengan marahnya. Selangkah ia maju mendekati Agung
Sedayu yang melangkah surut. Ternyata dua orang kawannya bersikap agak lain.
Sambil menggamit kawannya yang marah, salah seorang dari mereka berkata,
“Sudahlah.
Jangan hiraukan anak dungu itu.”
“Biar aku
memberinya sedikit peringatan. Kalau dibiarkan saja demikian, maka ia akan
menjadi semakin deksura. Ia akan tidak menghargai lagi kepada kita. Disangkanya
siapa kita ini?”
Kedua kawannya
itu saling berpandangan sejenak. Kemudian mereka pun mengangkat bahu. Kawannya
itu tidak mau lagi diperingatkannya.
“He, Agung
Sedayu. Jangan mengelak. Kau harus membiarkan, aku mengambil ikat kepalamu dan
membanting di tanah, kemudian akan aku injak dengan dua belah kakiku.”
Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam. Ia benar-benar menghadapi masalah yang meskipun
sederhana, tetapi membingungkan. Ia dapat saja berbuat sesuatu untuk
mempertahankan ikat kepalanya. Bukan sekedar ikat kepalanya itu, tetapi harga
dirinya. Namun dengan demikian ia akan berselisih dengan seorang prajurit.
Kalau kakaknya mendengar, mungkin akan dapat menimbulkan salah pengertian,
justru karena ia datang dari daerah baru yang sedang diawasi, Mataram.
“Cepat,
tundukkan kepalamu!“ perintah prajurit itu.
Tetapi Agung
Sedayu masih berdiri termangu-mangu.
“Cepat, atau
aku harus bertindak?”
“Ki Sanak,“ berkata
Agung Sedayu kemudian,
“sebenarnya
aku tidak ingin berselisih. Aku sudah mencoba menghindar sejauh mungkin. Tetapi
kau selalu memaksa aku untuk mempertahankan harga diriku.”
“Kau mau apa?”
bentak prajurit muda itu.
“Tentu saja
aku berkeberatan kalau kau menghina aku. Kalau kau memerlukan ikat kepala yang
lain, barangkali aku dapat mengusahakan. Tetapi bukan ikat kepala yang sedang
aku pakai sekarang ini.”
“Aku memang
akan menghinakan kau, karena kau terlampau sombong.”
“Aku
berkeberatan.”
“Jadi kau akan
melawan?”
“Tidak. Tetapi
aku akan mempertahankan ikat kepalaku.”
“Gila,“
prajurit itu menjadi semakin marah. Selangkah ia maju. Namun tiba-tiba
langkahnya terhenti ketika ia mendengar seseorang berkata,
“He, apa yang
terjadi?”
Semuanya yang
ada di tempat itu berpaling. Ternyata Juga datang dengan tergesa-gesa mendekati
mereka yang sedang bertengkar.
“Kenapa kalian
bertengkar?”
“Anak ini
terlampau sombong,“ berkata prajurit muda itu,
“ia tidak mau
menuntun kudanya di sepanjang jalan padukuhan ini.”
“Ah kau,“
desis Juga, “sudahlah. Pergilah Sedayu.”
“Tunggu,“
potong prajurit itu,
“begitu saja
ia akan pergi? Aku sudah mengatakan, ia terlampau sombong. Ia tidak
menghiraukan sama sekali kepada prajurit-prajurit Pajang yang ada di Jati Anom.
Apakah dikiranya kami ini orang-orang liar di sini?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar