Jilid 061 Halaman 3


“Sekarang aku sedang lapar dan karena itu aku lebih senang menyuapi mulutku daripada berbicara.”
Kawan-kawannya tertawa. Tetapi mereka tidak bertanya lagi. Mereka pun ikut pula menyuapi mulut mereka, meskipun sebenarnya mereka tidak lapar, karena mereka sudah makan di permulaan malam itu.

Selagi mereka sedang sibuk menyuapi mulut masing-masing, Sekar Mirah berdiri di balik pintu pringgitan yang sedikit terbuka. Dipandanginya Agung Sedayu yang sedang makan pula di antara anak-anak muda itu. Ada semacam kerinduan yang melonjak di dadanya. Ia ingin segera berbicara banyak dengan anak muda itu. Tetapi ia belum sempat. Ia baru dapat menyapanya sepatah dua patah kata sebelum Agung Sedayu mandi. Namun kemudian ia sibuk sendiri membantu ibunya menyediakan makan dan minum. Tiba-tiba saja Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat sesuatu yang agak lain di wajah Agung Sedayu. Ketika ia mendahului pulang ke Sangkal Putung bersama Sumangkar, ia sudah merasakan perbedaan itu. Dan kini tampaknya menjadi semakin jelas. Agung Sedayu yang masih saja tersenyum-senyum melihat tingkah laku kakaknya itu, kini pada sorot matanya memancar kedewasaan yang semakin matang. Sikapnya menjadi semakin mantap dan tidak lagi dibayangi oleh kegelisahan.
“Mudah-mudahan ia tidak lagi selalu ragu-ragu dan dibebani oleh pertimbangan-pertimbangan yang membingungkan,“ berkata Sekar Mirah di dalam hatinya.
Sekar Mirah itu terkejut ketika terasa pundaknya digamit oleh seseorang. Ketika ia berpaling, dilihatnya ibunya berdiri di belakangnya.
“Apa yang kau intip, Mirah?”
“Ah, ibu. Aku tidak mengintip siapa pun. Aku ingin menghitung berapa orang yang duduk di pringgitan.”
“Bukankah hidangan sudah dihidangkan? Buat apalagi kau menghitungnya?”
“O,” Sekar Mirah tergagap, namun,
“Kakang Swandaru makannya banyak sekali. Aku takut kalau ada yang kurang.”
Ibunya tidak menyahut lagi. Dibimbingnya Sekar Mirah ke ruang dalam sambil berkata,
“Kalau kau lelah, tidurlah. Semuanya sudah selesai. Biarlah nanti sisa makanan itu dibenahi oleh para pelayan.”
Tetapi Sekar Mirah menggelengkan kepalanya. “Aku belum kantuk ibu. Aku masih ingin duduk-duduk di sini mendengarkan percakapan itu. Tetapi, apakah ibu tidak ingin menemui mereka pula?”
“Tentu, Mirah. Tetapi tidak sekarang. Nanti, apabila mereka sudah selesai makan.”
“Dan aku juga akan mengawani ibu.”
Ibunya tersenyum, “Jadi kau tidak lelah?”
Sekar Mirah menggelengkan kepalanya.

Ketika mereka sudah selesai makan, dan Sekar Mirah serta pembantunya sudah selesai menyingkirkan sisa-isa jamuan itu, bersama ibunya Sekar Mirah mendapat kesempatan untuk duduk bersama di pringgitan. Namun terasa ada ketegangan di dalam dirinya. Setiap kali ia memandang wajah Agung Sedayu hatinya menjadi berdebar. Dan setiap kali ia berkata kepada diri sendiri,
“Mudah-mudahan Kakang Sedayu tidak lagi selalu dibayangi oleh keragu-raguan untuk berbuat sesuatu.”
Ketika malam menjadi semakin malam, maka Ki Demang pun kemudian berkata,
“Nah, tentu kalian sudah sangat lelah. Kami persilahkan Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar untuk beristirahat di gandok Kulon bersama Agung Sedayu.” Lalu katanya kepada Swandaru,
“Terserah kau memilih tempat. Di mana kau akan tidur?”
“Aku tidur bersama di gandok ayah.”
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Seseorang telah membenahi gandok Kulon dan mempersiapkan ruang-ruang tidur buat keempat orang yang baru datang itu.
Sejenak kemudian, maka Kiai Gringsing dan kedua muridnya serta Sumangkar pun meninggalkan pringgitan dan pergi ke gandok Kulon. Sedang para peronda pun kembali ke gardu di regol halaman. Yang masih tinggal di pringgitan kemudian adalah Ki Demang Sangkal Putung dan isterinya serta Sekar Mirah. Mereka masih berbincang sebentar sebelum mereka pun kemudian masuk kembali ke dalam bilik masing-masing. Ternyata kawan-kawan Swandaru tidak sabar menunggu sampai senja. Di pagi harinya, selagi Swandaru baru bangun dari tidurnya yang agak kesiangan, beberapa orang telah duduk di gardu. Mereka ingin segera mendengar ceritera putera Ki Demang yang gemuk itu, apa saja yang dialaminya selama perjalanannya yang agak terlampau lama bagi anak-anak muda Sangkal Putung.
”Ha, itulah. Ia sudah bangun,“ desis seorang anak muda berambut kemerah-merahan.
Swandaru menggosok matanya yang masih terasa berat. Ketika beberapa orang mendatanginya ia berkata,
“Aku baru saja bangun. Nanti malam aku akan memotong kambing.”
“Aku tidak perlu kambing. Aku ingin dengar kau berceritera.”
“Kambing dan ceritera. Aku sekarang masih lelah sekali. Aku baru dapat tidur menjelang dini hari. Aku masih akan tidur lagi.”
Kawannya mengerutkan keningnya. Lalu,
“Kita tunggu saja ia di pembaringannya. Jangan beri kesempatan untuk tidur lagi.”
“Jangan terlampau kejam. Dilarang menyiksa orang.”
Swandaru tersenyum. Jawabnya,
“Mari ikut saja tidur bersama aku.”
“Ah, kau sangka aku tidak punya kerja selain tidur.”
“Kalau begitu bekerjalah dahulu. Kalian akan pergi ke sawah? Pergilah. Nanti setelah kalian selesai, kalian datang kemari. Aku pun pasti sudah selesai pula.”
“Apa yang sudah kau selesaikan?”
“Tidur.”

Kawan-kawannya saling berpandangan sejenak. Namun salah seorang dari mereka berkata,
“Baiklah. Marilah kita pergi ke sawah saja. Biarlah ia memuaskan diri dengan tidur sehari penuh. Tetapi nanti malam kau pasti akan terjaga semalam suntuk.”
Swandaru tidak menjawab. Ia hanya tertawa saja sambil memandangi kawan-kawannya yang pergi meninggalkan halaman itu. Dalam pada itu, selagi Swandaru masih berdiri tegak, Agung Sedayu mendekatinya sambil berdesis,
“Aku akan pergi sebentar ke Jati Anom. Aku ingin segera bertemu Kakang Untara.”
Swandaru mengerutkan keningnya. Ditatapnya wajah Agung Sedayu sejenak. Swandaru ingin meyakinkan, apakah Agung Sedayu bersungguh-sungguh, ataukah ia hanya sekedar ingin mengatakan bahwa ia ingin juga pergi ke Jati Anom segera. Tetapi agaknya Agung Sedayu bersungguh-sungguh. Tampak sesuatu membayang di sorot matanya.
“Kau benar-benar akan pergi?” bertanya Swandaru.
“Ya.”
“Kapan?”
“Sekarang.”
“Sekarang? Sekarang ini?”
“Ya.”
Swandaru memandang wajah Agung Sedayu sejenak. Kini ialah yang menatap dengan sorot mata yang aneh. Dengan ragu-ragu ia bertanya,
“Kenapa kau begitu tergesa-gesa pergi ke Jati Anom?”
Agung Sedayu tidak segera menyahut. Ada sesuatu yang terasa mengganggu perasaannya. Seakan-akan ada suatu dorongan di dalam dadanya untuk segera menemui Untara. Ia sendiri tidak mengerti, dorongan apakah yang telah membuatnya gelisah. Karena Agung Sedayu tidak segera menjawab, maka Swandaru pun berkata,
”Kakang Agung Sedayu, sebaiknya kau beristirahat barang sehari dua hari di sini. Kelak aku akan mengantarkanmu pergi ke Jati Anom. Aku pun ingin bertemu dengan Kakang Untara dan Paman Widura.”
“Ya, kelak kita akan pergi bersama-sama. Mungkin juga guru dan paman Sumangkar. Tetapi aku ingin segera menemuinya. Mungkin karena aku adalah adiknya. Kakang Untara adalah satu-satunya saudaraku yang ada. Bahkan pangganti ayah ibuku.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tiba-tiba saja ia bertanya,
“Apakah kau sudah minta diri kepada guru?”
Agung Sedayu menggeleng.
“Belum. Nanti aku akan minta ijin kepada guru, paman Sumangkar, dan Ki Demang.”
“Tinggallah semalam ini di sini. Nanti kata akan menerima banyak sekali kawan-kawan kita dari Sangkal Putung. Aku sudah berjanji untuk memotong kambing. Tentu tidak hanya seekor. Mungkin dua ekor. Ayah tentu tidak akan berkeberatan.”
“Aku akan berusaha telah berada di halaman ini kembali sebelum senja. Karena itu, aku ingin berangkat secepat-cepatnya. Aku akan mempergunakan seekor kuda.”
Swandaru termenung sejenak. Namun kemudian ia berkata,
“Sebaiknya kau minta diri kepada guru.”
“Tentu. Aku akan minta diri apabila guru telah selesai membersihkan dirinya.”

Swandaru tidak menjawab. Dilihatnya Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar sedang duduk di amben bambu di ruang depan gandok Kulon.
“Agaknya guru sudah selesai,” gumam Agung Sedayu.
Swandaru tidak menyahut. Diikutinya saja Agung Sedayu yang kemudian melangkah pergi menemui gurunya. Kedatangan Agung Sedayu dengan wajah yang tampaknya bersungguh-sungguh diiringi oleh Swandaru yang masih belum mandi, ternyata telah menarik perhatian gurunya. Sehingga sebelum salah seorang dari kedua anak-anak muda itu berkata sesuatu, Kiai Gringsing sudah bertanya,
“Apakah ada sesuatu yang penting kalian bicarakan?”
Agung Sedayu menjadi ragu-ragu sejenak. Namun ia pun kemudian duduk di amben itu pula bersama Swandaru.
“Guru,“ berkata Agung Sedayu kemudian,
“aku ingin minta ijin untuk menemui Kakang Untara. Sudah lama sekali aku tidak bertemu sejak aku meninggalkan Sangkal Putung.”
Gurunya mengerutkan keningnya. Dipandanginya Agung sedayu sejenak, lalu,
“Kenapa begitu tergesa-gesa, Sedayu. Sebenarnya aku juga ingin bertemu dengan kakakmu. Mungkin kita dapat saling berceritera tentang keadaan kita masing-masing. Untara, kau, aku, Swandaru, dan barangkali juga Adi Sumangkar.”
“Ya, Guru. Di kesempatan lain aku akan ikut serta di dalam pertemuan yang demikian. Tetapi rasa-rasanya ada sesuatu yang mendorong aku untuk pergi menemuinya.”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa Agung Sedayu dan Untara adalah dua orang saudara tanpa orang ketiga. Orang tua mereka telah meninggal, sehingga keduanya adalah anak-anak yatim piatu. Untara bagi Agung Sedayu adalah ayah sekaligus ibunya. Di dalam banyak hal, Untara-lah yang membuat Agung Sedayu menjadi seorang anak muda. Meskipun pada mulanya seorang anak muda penakut karena ibunya terlampau memanjakannya.
Tetapi untuk melepaskannya Kiai Gringsing agak ragu-ragu juga. Ia tahu bahwa ada persoalan antara Sutawijaya dengan Sultan Pajang. Agaknya Untara tahu, bahwa Agung Sedayu berada di daerah Mataram. Mungkin berita itu telah didengarnya dari mulut ke mulut, setelah Sekar Mirah menyusulnya bersama Sumangkar. Jika demikian, maka pasti sudah ada prasangka betapa pun lemahnya pada Untara terhadap adiknya, sehingga apabila di dalam pembicaraan selanjutnya ada di antara keduanya yang agak terdorong kata, maka dapat terjadi kedua kakak-beradik itu berselisih.

Agung Sedayu melihat keragu-raguan yang membayang di wajah gurunya, dan Agung Sedayu pun menyadari apakah sebabnya. Namun justru karena itu, ia menjadi semakin ingin bertemu dengan kakaknya. Rasa-rasanya seandainya ada sesuatu di hati kakaknya, biarlah ia segera mendengar, dan dengan demikian ia akan segera dapat memberikan beberapa penjelasan apabila diperlukan.
“Agung Sedayu,“ berkata Kiai Gringsing kemudian,
“kalau, kau masih dapat menahan perasaanmu, tundalah barang satu dua hari. Hatimu pasti sudah mapan. Kau sudah tidak lelah lagi seperti saat ini, sehingga nalar pun akan terpengaruh juga. Hatimu menjadi gelap dan akalmu menjadi pendek.”
Agung Sedayu menundukkan kepalanya. Tetapi dorongan di hatinya untuk bertemu dengan kakaknya tidak dapat ditahankannya lagi.
“Bagaimana, Sedayu?” bertanya gurunya.
”Guru,“ jawab Agung Sedayu,
“aku merasa bahwa aku segera ingin bertemu dengan Kakang Untara. Sejauh dapat aku lakukan, aku akan menghindarkan diri dari setiap pembicaraan mengenai perkembangan keadaan. Aku didorong oleh kerinduanku kepada keluarga dan sanak-kadang yang ada di Jati Anom.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak yakin, bahwa hanya karena kerinduan itu saja Agung Sedayu yang telah merantau beberapa lama itu tidak dapat menundanya sehari saja lagi. Tentu ada sesuatu yang bergolak di dadanya, yang seakan-akan mendesaknya untuk segera mendapatkan penyelesaian. Namun akhirnya Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia melihat bahwa muridnya itu kini sudah menjadi semakin dewasa. Mungkin Untara pun akan menganggapnya sebagai anak muda yang telah dewasa pula. Ia tidak akan memperlakukan adiknya itu seperti di saat-saat Sedayu masih di Jati Anom, yang dengan ketakutan mengikuti kakaknya pergi ke Sangkal Putung.
“Baiklah, Agung Sedayu,“ berkata gurunya kemudian,
“kalau kau memang ingin menemui kakakmu di Jati Anom, aku tidak berkeberatan. Tetapi aku berpesan kepadamu, bersikaplah dewasa.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun sebelum ia menjawab, Swandaru telah mendahuluinya,
“Aku ikut bersamanya, Guru. Bukankah Kakang Agung Sedayu akan kembali kerumah ini sebelum senja?”
Tetapi gurunya menggelengkan kepalanya,
“Kau tidak usah ikut Swandaru. Dan aku yakin bahwa ayah dan ibumu akan berkeberatan. Kau baru saja datang dari perjalanan yang agak lama. Sehingga mereka masih ingin banyak berbicara tentang pengalamanmu, perjalananmu, dan kau halus mempertanggung jawabkan perutmu yang susut itu.”

Swandaru mengerutkan keningnya. Namun memang seperti yang dikatakan oleh gurunya, ayah dan ibunya pasti akan berkeberatan apabila ia pergi bersama Agung Sedayu. Karena itu, maka Swandaru hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya wajah Agung Sedayu sejenak. Memang terbayang di wajah itu perasaan yang tertahan. Yang agaknya terlampau memberati dadanya, sehingga Agung Sedayu ingin mendapat saluran untuk melepaskannya. Demikianlah, maka Agung Sedayu pun segera minta diri kepada Ki Demang, berdua dan Sekar Mirah. Tentu saja hal itu sangat mengejutkan mereka, terutama Sekar Mirah.
“Kenapa begitu tergesa-gesa?”
“Senja nanti aku akan kembali ke rumah ini. Aku ingin ikut menyambut kawan-kawan yang akan berdatangan ke mari.”
“Tetapi,“ Sekar Mirah memotong. Namun ia tidak melanjutkan kata-katanya yang serasa tersangkut di kerongkongan.
Agung Sedayu berpaling memandanginya. Tetapi Sekar Mirah segera menundukkan kepalanya.
“Adalah menjadi kewajibanku untuk segera menemuinya,“ berkata Agung Sedayu.
“Aku adalah saudaranya yang muda. Mungkin selama ini Kakang Untara menjadi cemas juga memikirkan nasibku di perjalanan yang tidak terbatas waktu itu.”
“Tidak,“ tiba-tiba Sekar Mirah memotong.
“Kakang Untara tidak pernah datang kemari untuk bertanya tentang kau. Apalagi tentang Kakang Swandaru.”
“Ah,“ desis ayahnya,
“Untara bukan anak-anak yang mempunyai banyak waktu setelah pulang dari menghalau burung di sawah. Anakmas Untara adalah seorang senapati yang bertanggung jawab atas pasukan segelar sepapan yang berada di Jati Anom sekarang. Tentu ia tidak mempunyai waktu untuk sering datang kemari.”
“Tetapi hubungannya dengan kakang Agung Sedayu adalah hubungan pribadi. Kalau ia tidak mempunyai waktu, ia dapat menyuruh satu dua orang bawahannya.”
“Kau sendiri mengatakannya, bahwa hubungan itu adalah hubungan pribadi Kenapa ia harus menyangkut bawahannya untuk keperluan yang sangat pribadi itu?”
“Maksudku, ia pasti mempunyai pelayan atau kawan atau orang yang dapat diupahnya untuk hal itu.”
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Sebelum ia menjawab, Agung Sedayu sudah mendahuluinya,
“Itu adalah kuwajibanku. Akulah yang muda. Karena itu supaya aku tidak bertindak deksura, akulah yang akan datang kepadanya.”
“Baiklah,” berkata Ki Demang kemudian,
“apabila gurumu tidak berkeberatan, aku pun tidak berkeberatan. Tetapi senja nanti kau benar-benar diharap sudah ada di halaman ini.”
“Ya. Aku akan kembali sebelum senja. Aku tidak memerlukan waktu yang lama di Jati Anom. Besok di kesempatan lain aku akan kembali ke Jati Anom dan tinggal beberapa hari di sana.”

Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi wajah Sekar Mirah tampak suram. Dan bahkan ia masih juga bersungut-sungut,
“Kenapa harus hari ini?”
Agung Sedayu tidak menyahut. Sebenarnya ingin juga ia tinggal di Sangkal Putung hari itu. Tetapi desakan di dadanya itu tidak dapat ditundanya lagi. Karena itu, maka setelah mempersiapkan seekor kuda, Agung Sedayu pun segera berangkat meninggalkan Sangkal Putung. Di regol halaman Sekar Mirah mendekatinya sambil berkata,
“Kau harus cepat kembali. Kau lebih mementingkan Kakang Untara daripada aku di sini.”
“Bukan begitu, Mirah, tetapi ikatan yang ada di antara aku dan Kakang Untara memang berlainan dari ikatan yang ada pada diri kita. Tetapi aku akan segera kembali. Aku tidak akan melampaui senja.”
Sekar Mirah memandang wajah Agung Sedayu dengan tajamnya, seakan-akan ia kurang percaya kepada kata-katanya. Sehingga karena itu Agung Sedayu meneruskan,
“Kalau aku tergesa-gesa menemui Kakang Untara, itu hanyalah karena aku adiknya.”
“Tetapi bagaimanakah kalau Kakang Untara kemudian menahanmu di sana, agar kau tidak segera kembali ke Sangkal Putung dengan alasan apa pun juga?”
“Tidak, Mirah. Kakang Untara tidak memerlukan aku di dalam tugasnya, ia sudah mempunyai pasukan yang kuat. Segelar sepapan. Buat apa aku seorang diri di dalam pasukannya?”
“Kakang Untara ingin kau menjadi seorang prajurit Pajang yang baik.”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian ia berkata,
“Tidak. Aku tidak akan disuruhnya tinggal di sana. Ia tidak memerlukan aku.”
Sekar Mirah tidak menyahut lagi. Meskipun hatinya menjadi berdebar-debar. Setelah sekali lagi mohon diri, maka Agung Sedayu itu pun segera memacu kudanya pergi ke Jati Anom untuk menemui kakaknya. Rasa-rasanya memang ada sesuatu yang mendorongnya, agar ia segera bertemu dan apa pun yang akan dikatakan oleh kakaknya, biarlah ia segera mendengar.
“Tetapi mungkin hanya sekedar prasangka,“ desisnya di dalam hati,
“justru karena pesan Raden Sutawijaya itu.”
Tetapi Agung Sedayu ingin segera membuktikan, sehingga karena itu, ia memacu kudanya semakin cepat. Di dalam perjalanan itu, sempat juga ia mengenang bagaimana ia pertama kali pergi ke Sangkal Putung di malam yang gelap dalam hujan dan angin. Bagaimana ia menjadi ketakutan dari hampir-hampir tidak sanggup melanjutkan perjalanan.
“Aku hampir mati ketakutan,“ desisnya. Tanpa disadari sebuah senyum telah tersungging di bibirnya. Bahkan dibayangkannya, apakah yang akan terjadi atasnya, seandainya ia masih belum berhasil memecahkan kungkungan yang membelenggu hatinya saat itu, dan tiba-tiba saja ia terlempar ke Alas Mentaok seperti yang baru saja dialaminya.
“Aku tidak akan lebih baik dari orang-orang yang ketakutan di barak itu,“ katanya kepada diri sendiri.

Ketika Agung Sedayu sampai di Dukuh Pakuwon tiba-tiba saja ia ingin melihat rumah yang pernah didiami oleh Kiai Gringsing. Bahkan seakan-akan memang di padukuhan itulah tempat tinggal Kiai Gringsing yang sebenarnya, karena di rumah itu pula ia mulai mengenalnya. Karena itu ketika ia sampai pada sebuah tikungan yang membelah padukuhan itu, tiba-tiba saja ia telah berbelok, menyelusuri jalan kecil yang langsung menuju ke rumah Ki Tanu Metir. Agung Sedayu tertegun ketika ia sampai di depan regol kecil sebuah halaman yang tidak begitu luas. Halaman yang kotor dan liar. Halaman itu adalah halaman rumah Ki Tanu Metir yang juga bernama Kiai Gringsing. Seperti ditarik oleh sebuah pesona yang tidak dimengertinya sendiri, Agung Sedayu memasuki halaman rumah itu. Bahkan ia pun kemudian meloncat turun dari kudanya. Tetapi Agung Sedayu berdiri saja di halaman sambil memandang berkeliling, memandang rerumputan liar, sarang laba-laba yang bergayutan di sudut-sudut rumah dan kandang yang kosong. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata ia tidak melangkah lebih dekat lagi. Sebenarnya ia ingin juga masuk ke rumah itu, tetapi niatnya diurungkannya. Ia ingin segera menemui kakaknya. Tetapi langkahnya tertegun sejenak, ketika dilihatnya seseorang yang berjalan di lorong sempit. Orang yang memandanginya dengan penuh keheranan, tetapi juga dibayangi oleh perasaan takut dan cemas.
“Ki Sanak,“ tiba-tiba Agung Sedayu menyapanya,
“apakah kau tinggal di padukuhan ini juga?”
“Ya, ya, Tuan,” orang itu tergagap,
“aku memang tinggal di padukuhan ini.”
“Apakah kau kenal dengan penghuni rumah ini?”
“O,“ orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya,
“orang yang tinggal di rumah ini adalah seorang dukun tua.”
“Di manakah ia sekarang?”
“Tidak seorang pun yang mengetahui nasibnya, Tuan. Selagi daerah ini menjadi daerah yang gawat, menjadi ajang benturan antara pasukan Pajang dan sisa-sisa prajurit Jipang, orang tua itu telah hilang.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ia adalah seorang dukun yang baik, Tuan. Dukun yang suka sekali menolong sesamanya. Bukan saja orang-orang di sekitar tempat tinggalnya saja yang datang kepadanya waktu itu. Tetapi dari padukuhan-padukuhan lain pun banyak yang datang berobat kepadanya. Dan ia berhasil menyembuhkannya.”
“Seorang dukun?” Agung Sedayu mengulang.
”Dukun yang dapat menyembuhkan orang sakit?”
“Ya, Tuan, menyembuhkan orang sakit. Tetapi ia mempunyai cara tersendiri. Ia mempergunakan dedaunan dan akar-akaran sebagai obat. Tidak dengan cara-cara yang ajaib yang tidak dapat kami mengerti.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Kenangannya tentang masa lampaunya justru menjadi semakin jelas. Tentang rumah ini dan tentang Untara yang terluka ketika ia berkelahi melawan beberapa orang sekaligus. Di antaranya adalah Pande Besi Sendang Gabus dan Alap-alap Jalatunda.
“Terima kasih, terima kasih,“ tiba-tiba Agung Sedayu bergumam.
“Apakah Tuan mempunyai sesuatu maksud?” bertanya orang itu.
“Tidak,“ jawab Agung Sedayu,
“aku tidak bermaksud apa-apa.”
Orang itu memandang Agung Sedayu dengan heran. Tetapi Agung Sedayu tidak menghiraukannya lagi. Dituntunnya kudanya keluar dari halaman yang kotor itu, kemudian langsung meloncat ke punggungnya. Namun ia masih berpaling sekali. Dilihatnya orang yang masih berada di halaman itu keheran-heranan. Tetapi Agung Sedayu hanya melambaikan tangannya saja sambil tersenyum.
Sejenak kemudian kudanya pun sudah berpacu pula. Semakin lama semakin jauh dari Dukuh Pakuwon. Derap kuda Agung Sedayu menjadi semakin dekat dengan Jati Anom. Setelah melampaui Sendang Gabus, maka dada Agung Sedayu pun menjadi berdebar-debar. Di hadapannya adalah padukuhan Jati Anom. Sejenak kemudian ia akan sampai dan bertemu dengan kakaknya, Untara. Tiba-tiba terasa debar jantungnya menjadi semakin cepat. Ada sesuatu yang menggelisahkannya. Justru karena Sutawijaya berpesan kepadanya, agar orang-orang Pajang termasuk Untara, tidak mencurigainya. Agung Sedayu menggeretakkan giginya. Dhentakkannya kakinya pada perut kudanya, sehingga kudanya pun berlari menuju ke padukuhan tempat kelahirannya.

Terasa sesuatu melonjak di dadanya, ketika ia melihat sebuah gardu di mulut lorong. Gardu yang dahulu belum pernah ada. Dan di depan gardu itu dilihat dua oraug prajurit berdiri sambil menyandang senjata.
“Hem,“ desis Agung Sedayu,
“prajurit-prajurit Pajang benar-benar dalam keadaan siaga.”
Tetapi Agung Sedayu pun mencoba mengambil kesimpulan,
“Namun agaknya para senapati Pajang masih juga ragu-ragu. Ternyata mereka masih saja berada di Jati Anom. Kalau mereka menganggap perkembangan Tanah Mataram itu benar-benar membahayakan, mereka pasti akan bergeser maju. Mungkin mereka akan kembali ke Sangkal Putung. Tetapi mungkin juga di Prambanan atau lebih maju lagi di seberang Kali Opak, pada tempat yang memotong garis lurus dari Mataram ke Pajang.”
Dalam pada itu kuda Agung Sedayu telah berada beberapa langkah dari gardu di mulut lorong. Ia melihat salah seorang dari kedua prajurit itu maju beberapa langkah dan berdiri di tengah jalan. Sambil mengangkat tangan kanannya ia berkata,
“Berhenti, Ki Sanak.”
Agung Sedayu menarik kekang kudanya. Ia masih ingat prajurit Pajang di Sangkal Putung pernah bertanya kepadanya ketika ia datang untuk pertama kalinya ke kademangan itu ‘Apakah Ki Sanak tidak turun?’
Karena itu maka kali ini Agung Sedayu segera turun dari kudanya untuk memenuhi tata kesopanan bagi seorang penunggang kuda yang melalui sebuah penjagaan yang dianggap penting.
“Siapakah kau?” bertanya prajurit itu.
Agung Sedayu menatap wajah prajurit itu sejenak. Tetapi ia memang belum pernah mengenalnya, demikian juga agaknya prajurit itu masih belum mengenalnya. Karena itu maka jawabnya,
“Aku anak Jati Anom.”
“He,“ prajurit itu mengerutkan keningnya,
”kau anak Jati Anom? Siapa namamu?”
“Agung Sedayu.”
Prajurit itu merenung sejenak. Katanya,
“Aku mengenal hampir semua anak-anak muda di Jati Anom. Tetapi aku belum pernah melihat kau.”
“Sudah lama aku pergi. Aku berada di Sangkal Pulung.”
“O,“ prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya,
“kau anak siapa?”

Agung Sedayu termenung sejenak, dalam keragu-raguan. Ia tidak ingin menyebut dirinya langsung sebagai adik Untara apabila tidak diperlukan sekali, agar tidak menumbuhkan kesan yang tidak dikehendaki pada prajurit itu. Karena itu, maka ia pun menjawab pertanyaan prajurit itu,
”Ayah dan ibuku sudah lama meninggal dunia.”
“Ya, tetapi siapa mereka?”
Agung Sedayu menarik nafas. Jawabnya,
“Namanya Ki Sadewa.”
Prajurit itu mengerutkan keningnya. Ia memang belum pernah mendengar nama itu, sehingga tanpa disadarinya ia berpaling memandangi wajah kawannya yang berdiri di depan gardu.
“Siapa?” bertanya kawannya sambil melangkah mendekat.
“Agung Sedayu.”
Prajurit itu termangu-mangu sejenak. Tetapi sebelum ia menjawab, Agung Sedayu sudah bertanya lebih dahulu,
“Apakah Jati Anom sekarang menjadi daerah tertutup?”
Kedua prajurit itu terdiam sejenak, namun kemudian ia menjawab,
“Tidak. Jati Anom belum menjadi daerah tertutup.”
“Kalau begitu aku dapat lewat meskipun kalian tidak mengenal aku dan orang tuaku yang sudah meninggal.”
Kedua prajurit itu saling berpandangan. Namun mereka pun kemudian menganggukkan kepala mereka,
“Ya. Kau dapat lewat.”
Agung Sedayu menganggukkan kepalanya sambil berkata,
“Terima kasih. Aku akan menengok kampung halaman yang sudah lama aku tinggalkan.”
Kedua prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Salah seorang dari keduanya menyahut,
“Silahkan. Tetapi kau harus menjaga diri. Meskipun Jati Anom belum merupakan daerah tertutup, namun daerah ini merupakan daerah pengawas. Setiap orang akan diawasi dan harus bertanggung jawab atas tingkah lakunya di sini.”
Agung Sedayu mengangguk.
”Ya. Aku mengerti. Aku akan bertanggung jawab atas segala perbuatan dan tingkah lakuku selama aku berada di Jati Anom.”
Kedua prajurit itu saling berpandangan sejenak. Kemudian mereka melangkah minggir. Salah seorang dari mereka berkata,
“Silahkan.”

Agung Sedayu pun kemudian meloncat ke punggung kudanya. Setelah la mengangguk hormat, maka kudanya pun mulai melangkah memasuki lorong daerah kelahirannya. Dada Agung Sedayu pun mulai berdebar-debar ketika ia melihat keadaan di padukuhan Jati Anom. Suasananya mirip dengan suasana padukuhan-padukuhan di Sangkal Putung pada saat mereka menghadapi pasukan Tohpati yang berusaha merebut daerah perbekalan itu. Hampir di setiap lorong ia bertemu dengan prajurit Pajang yang berjalan sambil memandanginya dengan heran. Di setiap simpang empat dan apalagi di halaman Banjar. Agaknya Banjar padukuhan itu pun telah dipergunakan sebagai tempat tinggal para prajurit. Bukan saja banjar padukuhan, tetapi juga satu dua rumah-rumah yang paling besar. Dan mungkin juga kademangan seperti Kademangan Sangkal Putung. Agung Sedayu herjalan terus. Ia tertegun ketika ia melihat seorang anak muda yang berdiri termangu-mangu di simpang tiga. Anak muda itu adalah anak muda yang pernah dikenalnya. Justru adalah kawannya bermain dan mereka bersama-sama sibuk menghadapi padepokan Tambak Wedi sebelum padepokan itu dihancurkan.
“Kau Sedayu?” sapa anak muda itu.
Agung Sedayu pun segera meloncat dari punggung kudanya.
“Ya,“ jawab Agung Sedayu sambil mengguncang pundak anak muda itu,
“kau sekarang tampak gagah sekali Juga.”
Anak muda yang bernama Juga itu tertawa.
“Kau juga menjadi seorang prajurit?” bertanya Agung Sedayu.
“Ya. Aku mendapat kesempatan itu. Dan aku senang melakukannya. Apalagi untuk sementara aku akan tetap tinggal di padukuhan sendiri, selama Untara masih berada di sini juga.
Agung Sedayu tersenyum. Dipandanginya kawannya yang bernama Juga itu dari ujung kakinya sampai ke ujung kepalanya.
“Apa yang aneh padaku?” bertanya anak muda itu.
Agung Sedayu kini tertawa. Jawabnya,
“Tidak ada yang aneh. Tetapi kau pantas menjadi seorang prajurit.”
Juga pun tertawa,
“Ada-ada saja kau, Sedayu. Aku kira kau pun akan menjadi seorang prajurit pula seperti Untara. Kau tentu akan mendapat kesempatan pula. Apalagi kau adiknya.”
“He, kau aneh. Apakah adik seorang senapati akan selalu mendapat kesempatan untuk menjadi seorang prajurit? Bukankah untuk menjadi seorang prajurit diperlukan syarat-syarat tertentu dan harus melakukan pendadaran?”
“Ya.”
“Meskipun aku adik Kakang Untara, tetapi kalau aku tidak memenuhi syarat, maka aku tidak akan dapat diterima menjadi seorang prajurit.”
“Ah kau,“ desah Juga,
“kau sangka kami, anak-anak Jati Anom tidak tahu tentang kau? Tidak tahu apa yang kau lakukan di Sangkal Putung dan di padepokan Tambak Wedi?”
“Ah, aku tidak berbuat apa-apa.”
Juga menepuk bahu Agung Sedayu, katanya,
“Memang tidak seorang pun yang menyangka bahwa kau akan menjadi anak muda yang mengagumkan seperti ini. Di masa kanak-kanak kau lain sekali.”

Agung sedayu tersenyum. Memang masa kanak-anaknya dapat menimbulkan kesan yang lucu di dalam dirinya. Di masa hatinya selalu diliputi oleh perasaan takut dan cemas. Gelisah dan ketidak-tentuan. Tetapi yang telah terukir di jiwanya itu sama sekali tidak akan dapat terhapus sama sekali. Meskipun ia telah berhasil memecahkan ikatan ketakutan yang selalu menyelubungi dirinya, namun bekasnya masih tampak sampai saat ini. Keragu-raguan dan pertimbangan yang terlalu berkepanjangan masih saja mempengaruhinya dalam menentukan sikap dan keputusan.
Agung Sedayu itu terperanjat ketika Juga bertanya,
“Apakah kau sekarang akan menemui kakakmu?”
Agung Sedayu mengangguk,
“Ya. Tetapi aku juga akan melihat rumah yang telah lama aku tinggalkan.”
“Untara tinggal di rumahnya bersama beberapa orang pemimpin pasukan ini.”
“O,“ Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam,
“jadi aku tidak usah mencarinya ke mana-mana.”
“Ya. Pulang sajalah. Kau akan menemukan orang yang kau cari.”
“Terima kasih. Apakah kau akan pergi ke sana juga?”
Juga menggeleng. Jawabnya,
“Aku tinggal di banjar.”
Agung Sedayu pun kemudian berkata,
“Kalau begitu, aku akan pulang ke rumah dahulu menemui Kakang Untara. Kemudian aku akan melihat-lihat padukuhan ini.”
“Bukankah kau akan kembali ke padukuhan ini?”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sambil tersenyum ia pun kemudian menjawab,
“Ya. Aku akan kembali ke Jati Anom. Tetapi tidak segera. Aku masih mempunyai beberapa persoalan yang harus aku selesaikan.”
“Apa?”
“Ah, hanya persoalan pribadi.”
“He? Persoalan pribadi?” Juga mengerutkan keningnya, kemudian,
“Ha, aku tahu. Tentu persoalan anak muda. Kalau begitu, kami, anak-anak Jati Anom setelah merayakan hari bahagia Untara, akan segera merayakan hari besarmu.”
“He,“ justru Agung Sedayu terkejut.
“Ada apa dengan kakang Untara?”
“Kenapa kau bertanya? Bukankah kau adiknya?”
Agung Sedayu menjadi bimbang sesaat. Namun kemudian ia berkata,
“Sudah lama aku tidak bertemu Kakang Untara.”
“Temuilah. Ia pasti akan mengatakannya kepadamu,” sahut Juga sambil tersenyum.

Agung Sedayu memandang Juga sejenak, Ia melihat kelucuan membayang di wajah anak muda itu, sehingga Agung Sedayu pun kemudian tersenyum pula.
“Nah, silahkan. Aku kira Untara ada di rumah saat ini.”
“Kau selalu mengada-ada saja,“ gumam Agung Sedayu sambil tertawa.
“Tetapi ceriteramu tentang Kakang Untara sangat menarik. Berbeda dengan dugaanmu tentang aku.”
Juga tertawa pula. Katanya,
“Kau masih belum mengaku. Tetapi aku berani bertaruh hitamnya kuku. Kau pasti akan membicarakan masalahmu sendiri dengan Untara. Masalah anak muda.”
Agung Sedayu akan menjawab, tetapi Juga mendahului,
“Jangan membantah. Aku hanya sekedar menyatakan selamat. Aku ikut gembira bahwa akhirnya seorang demi seorang anak-anak muda Jati Anom akan menginjak dunia yang baru. Kau kira ceritera tentang gadis Sangkal Putung itu tidak aku dengar?”
Agung Sedayu menggigit bibirnya. Tetapi ia kemudian tidak mendapat kesempatan menjawab, karena Juga kemudian berkata,
“Ah, silahkan. Aku tidak akan mendahului persoalan kalian.”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak sempat menjawab karena Juga segera melangkah pergi sambil melambaikan tangannya. Sejenak Agung Sedayu masih berdiri termangu-mangu. Namun kemudian ia meloncat ke punggung kudanya dan meneruskan perjalanannya, menuju ke rumahnya yang kini telah diperguuakan sebagai tempat pimpinan pasukan Pajang yang bertugas di daerah Selatan. Agung Sedayu tidak menghiraukan lagi apabila beberapa orang prajurit yang tidak dikenalnya memandangnya dengan heran. Meskipun tidak terlampau cepat, namun kudanya berlari juga di sepanjang jalan padukuhan menuju ke rumahnya.
Tetapi agaknya ada juga prajurit Pajang yang bersifat aneh. Prajurit-prajurit muda yang belum sempat menunjukkan kelebihannya di medan perang yang sesungguhnya. Kadang-kadang mereka tiba-tiba saja ingin berbuat sesuatu untuk membuktikan bahwa ia adalah seorang laki-laki yang mempunyai kelebihan dari orang lain. Seorang prajurit muda yang mempunyai sifat yang demikian, ternyata tidak senang melihat Agung Sedayu berkuda di jalan padukuhan tanpa berpaling memandangnya.
Karena itu, maka tiba-tiba saja ia berteriak,
“He, anak muda. Berhentilah sebentar.”
Agung Sedayu berpaling. Ketika ia sadar, bahwa prajurit itu berbicara kepadanya, maka ia pun segera menarik kekang kudanya.
“Ke mari!“ bentak prajurit itu.

Agung Sedayu menjadi termangu-mangu sejenak. Dipandanginya prajurit muda yang berdiri bertolak pinggang di antara dua orang kawannya yang masih muda-muda juga.
“Kemari, cepat!”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih tetap tidak beranjak dari tempatnya.
“Kemari! Apakah kau tidak mendengar?”
Agung Sedayu menarik nafas untuk menahan gejolak perasaannya. Tiba-tiba saja terbayang di rongga matanya, wajah Sidanti yang sudah tidak ada lagi. Sifat-sifat sombong dan angkuh kini dilihatnya juga pada wajah prajurit muda. Sebenarnya Agung Sedayu tidak senang diperlakukan demikian, karena ia tahu, bahwa prajurit itu memang tidak berhak berbuat demikian. Tetapi untuk menghindari keributan, maka ia pun segera meloncat turun dan selangkah demi selangkah mendekati prajurit muda itu. Prajurit-prajurit itu belum pernah dilihatnya, sehingga Agung Sedayu berkesimpulan, bahwa sebagian besar dari prajurit-prajurit yang ada di Jati Anom bukannya prajurit yang pernah tinggal di Sangkal Putung. Agaknya prajurit Untara sekarang adalah prajurit-prajurit muda yang masih mengidap darah yang mudah mendidih.
“Siapa kau, he? Kau sangka bahwa kau seorang tumenggung. Seharusnya kau berjalan sambil menuntun kudamu. Kau malahan memacu kudamu di jalan padukuhan yang sempit ini. Apalagi kau berpapasan dengan prajurit-prajurit Pajang. Apakah para penjaga gardu di regol padukuhan ini tidak menegurmu?”
“Maaf,“ jawab Agung Sedayu
“aku tidak tahu, dan para prajurit di gardu tidak memberitahukan kepadaku, bahwa aku harus menuntun kudaku di sepanjang jalan padukuhan.”
“Siapa kau dan di mana rumahmu?”
“Namaku Agung Sedayu. Rumahku Jati Anom ini. Aku akan kembali menengok halaman dan rumah yang sudah lama aku tinggalkan.”
“Bohong! Aku belum pernah melihat wajahmu.”
“Aku sudah berpapasan dengan Juga. Ia juga seorang prajurit. Aku kenal anak muda itu, karena kami berasal dari padukuhan ini.”
“Jangan mengelabui kami. Seandainya kau kenal juga anak-anak muda di padukuhan ini, namun kau sudah bertindak deksura. Kau sama sekali tidak menghormati prajurit.”
“Aku minta maaf.”
“Persetan. Aku muak melihat wajahmu. Kau pantas mendapat sedikit peringatan.”
“Aku minta maaf. Aku tidak tahu.”
“Maaf, maaf macammu. Kau sangka kesalahanmu dapat hapus dengan minta maaf.”
“Jadi?“ Agung Sedayu tidak mengerti maksud prajurit itu.

Namun agaknya prajurit itu memang sekedar ingin berselisih sehingga tiba-tiba saja ia telah menyambar ikat kepala Agung Sedayu. Tetapi Agung Sedayu tidak membiarkannya sehingga dengan cepat pula ia berhasil mengelak.
“He, kau berani melawan aku?”
“Bukan maksudku,“ sahut Agung Sedayu.
“Tetapi kau mengelak.”
“Jangan kau rusakkan ikat kepalaku.”
Prajurit itu memandang Agung Sedayu dengan marahnya. Selangkah ia maju mendekati Agung Sedayu yang melangkah surut. Ternyata dua orang kawannya bersikap agak lain. Sambil menggamit kawannya yang marah, salah seorang dari mereka berkata,
“Sudahlah. Jangan hiraukan anak dungu itu.”
“Biar aku memberinya sedikit peringatan. Kalau dibiarkan saja demikian, maka ia akan menjadi semakin deksura. Ia akan tidak menghargai lagi kepada kita. Disangkanya siapa kita ini?”
Kedua kawannya itu saling berpandangan sejenak. Kemudian mereka pun mengangkat bahu. Kawannya itu tidak mau lagi diperingatkannya.
“He, Agung Sedayu. Jangan mengelak. Kau harus membiarkan, aku mengambil ikat kepalamu dan membanting di tanah, kemudian akan aku injak dengan dua belah kakiku.”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia benar-benar menghadapi masalah yang meskipun sederhana, tetapi membingungkan. Ia dapat saja berbuat sesuatu untuk mempertahankan ikat kepalanya. Bukan sekedar ikat kepalanya itu, tetapi harga dirinya. Namun dengan demikian ia akan berselisih dengan seorang prajurit. Kalau kakaknya mendengar, mungkin akan dapat menimbulkan salah pengertian, justru karena ia datang dari daerah baru yang sedang diawasi, Mataram.
“Cepat, tundukkan kepalamu!“ perintah prajurit itu.
Tetapi Agung Sedayu masih berdiri termangu-mangu.
“Cepat, atau aku harus bertindak?”
“Ki Sanak,“ berkata Agung Sedayu kemudian,
“sebenarnya aku tidak ingin berselisih. Aku sudah mencoba menghindar sejauh mungkin. Tetapi kau selalu memaksa aku untuk mempertahankan harga diriku.”
“Kau mau apa?” bentak prajurit muda itu.
“Tentu saja aku berkeberatan kalau kau menghina aku. Kalau kau memerlukan ikat kepala yang lain, barangkali aku dapat mengusahakan. Tetapi bukan ikat kepala yang sedang aku pakai sekarang ini.”
“Aku memang akan menghinakan kau, karena kau terlampau sombong.”
“Aku berkeberatan.”
“Jadi kau akan melawan?”
“Tidak. Tetapi aku akan mempertahankan ikat kepalaku.”
“Gila,“ prajurit itu menjadi semakin marah. Selangkah ia maju. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti ketika ia mendengar seseorang berkata,
“He, apa yang terjadi?”

Semuanya yang ada di tempat itu berpaling. Ternyata Juga datang dengan tergesa-gesa mendekati mereka yang sedang bertengkar.
“Kenapa kalian bertengkar?”
“Anak ini terlampau sombong,“ berkata prajurit muda itu,
“ia tidak mau menuntun kudanya di sepanjang jalan padukuhan ini.”
“Ah kau,“ desis Juga, “sudahlah. Pergilah Sedayu.”
“Tunggu,“ potong prajurit itu,
“begitu saja ia akan pergi? Aku sudah mengatakan, ia terlampau sombong. Ia tidak menghiraukan sama sekali kepada prajurit-prajurit Pajang yang ada di Jati Anom. Apakah dikiranya kami ini orang-orang liar di sini?”


Halaman 1 2 3


<<< Jilid 060                                                                                                       Jilid 062 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar