Jilid 060 Halaman 3


Kiai Telapak Jalak mengerutkan keningnya. Ketika tampak olehnya cambuk itu, maka ia bergumam kepada diri sendiri,
“Inilah agaknya orang bercambuk itu. Sudah tentu ia adalah orang pilihan. Kalau orang-orang bercambuk yang masih muda itu mampu menggetarkan orang-orang Kiai Damar, maka yang tua ini pun pasti dapat berbuat jauh lebih banyak lagi.” Dan sadar pulalah Kiai Telapak Jalak, bahwa selama ini pastilah lawannya sedang mencernakan obatnya di dalam tubuhnya. Dengan demikian, maka Kiai Telapak Jalak pun tidak akan lengah lagi. Ia harus bertempur mati-matian. Untuk melawan cambuk itu, ia tidak dapat mempergunakan senjata berjarak pendek sependek kerisnya. Mungkin untuk melawan orang lain yang bersenjata apa pun juga, ia tidak memerlukan senjata yang lain, tetapi melawan orang bercambuk ini, Kiai Telapak Jalak memerlukan senjata yang lain untuk merangkapi keris pusakanya. Ketika cambuk Kiai Gringsing mulai meledak, maka Kiai Telapak Jalak pun melepas rantai yang membelit lambungnya. Dengan rantai di tangan kanan dan kerisnya di tangan kiri, ia pun telah siap melawan Kiai Gringsing yang bersenjata cambuk itu. Pertempuran itu pun kemudian menjadi semakin dahsyat. Kedua jenis senjata serupa itu berdesingan di antara dentang senjata yang beradu di medan. Sambar-menyambar dan desak-mendesak. Setiap kali kedua jenis senjata itu saling membelit, namun kemudian dengan kekuatan raksasa yang tarik-menarik, belitan itu pun segera terlepas dan perkelahian pun berlangsung pula lebih dahsyat lagi. Demikian pula pertempuran yang berlangsung di seluruh arena. Sutawijaya yang bagaikan elang berterbangan itu membuat lawan-lawannya menjadi ngeri dan bertanya-tanya di dalam hati,
“Apakah Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak tidak segera dapat menyelesaikan lawan-lawannya dan membiarkan burung elang ini berterbangan menyambar-nyambar?”
Tetapi Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak ternyata tidak muncul juga di arena yang panjang itu. Hanya orang-orang yang bertempur di sekitarnya sajalah yang melihat kedua orang kebanggaan mereka itu bertempur dengan sengitnya. Namun mereka pun segera melihat juga, bahwa keduanya sama sekali tidak akan segera dapat mengatasi lawan-lawannya. Apalagi Kiai Damar, yang selalu terdesak mundur betapa pun ia berusaha menahan arus serangan Sumangkar. Tetapi Kiai Telapak Jalak pun segera merasa, bahwa orang yang menyebut dirinya Truna Podang itu pun memiliki ilmu yang tinggi. Di dalam pertempuran itu, Kiai Telapak Jalak merasakan bahwa Truna Podang benar-benar telah menguasai ilmunya dalam ungkapan yang matang. Cambuk yang berputar-putar seperti baling-baling. Lecutan yang tiba-tiba dan ayunan mendatar yang menyambar lambung membuat Kiai Telapak Jalak harus berpikir beberapa kali tentang lawannya.

Truna Podang pasti bukan seorang yang sekedar pernah mendapat tempaan oleh seorang guru padesan yang tinggal di padukuhan kecil dan sedikit mempelajari olah kanuragan yang kasar, dan membentuknya sendiri setelah menyadap beberapa tata gerak alam yang dikenalnya sehari-hari. Tetapi orang yang menamakan diri Truna Podang itu pasti seorang yang mempelajari ilmunya berdasarkan atas pengamatan dan pengolahan yang matang, sehingga seakan-akan Kiai Telapak Jalak merasa telah berhadapan dengan Ki Gede Pemanahan sendiri. Dengan demikian maka perlahan-lahan telah tumbuh kecemasan di hati Kiai Telapak Jalak. Apakah ia benar-benar telah terjebak bersama Kiai Damar ke dalam jaring-jaring yang memang sudah dipersiapkan.
“Persetan,” Kiai Telapak Jalak menggeram.
Namun bagaimana pun juga ia tetap tidak dapat mendesak lawannya. Rantainya yang berdesing-desing dan kerisnya yang buram namun memancarkan pantulan cahaya maut, sama sekali tidak berhasil mendesak Kiai Gringsing. Betapa pun Kiai Telapak Jalak mengerahkan segenap kemampuannya. Bahkan setapak demi setapak ia harus melangkah surut. Apalagi setelah beberapa lama orang-orang yang ditugaskannya untuk menghancurkan barak tidak segera menunjukkan hasilnya. Dengan demikian usahanya untuk menghancurkan ketahanan dan ketabahan hati orang-orang dari barak itu beserta para pengawal tidak dapat berlangsung. Ledakan-ledakan cambuk di kejauhan telah membuat hati Kiai Telapak Jalak menjadi semakin cemas. Tetapi Kiai Telapak Jalak adalah orang yang matang di dalam sikap dan tandang. Itulah sebabnya, ia masih tetap bertempur sekuat tenaganya. Kelebihan Truna Podang dari padanya, bukanlah kelebihan yang menentukan. Kalau Truna Podang berbuat sedikit kesalahan, maka ia masih mempunyai harapan untuk membunuhnya. Dengan racun di kerisnya, atau langsung menusuk pusat jantungnya. Sehingga karena itulah maka ia pun masih juga bertempur sekuat tenaga.

Di medan yang lain, di belakang barak, Agung Sedayu, Swandaru, serta kawan-kawannya benar-benar telah berhasil menguasai medan. Lawan-lawan mereka sama sekali sudah tidak berdaya. Beberapa orang terbaring di tanah dengan luka-luka di tubuhnya, sedang beberapa orang yang lain, tidak lagi dapat menghindarkan diri dari kematian, karena kelengahan mereka atau karena kemarahan orang dari barak itu atau para pengawal. Tetapi kematian memang tidak dapat dihindarkan dari peperangan, karena kematian adalah bunga dari peperangan. Apalagi karena di antara orang-orang penghuni barak itu pun ada juga yang menjadi korban. Kematian kawan-kawan mereka itulah yang telah membakar hati setiap orang, sehingga apabila Agung Sedayu tidak berusaha mencegahnya kematian masih akan bertambah-tambah.
“Mereka tidak dapat menahan perasaan,” desis Swandaru.
“Itulah yang harus kita jaga. Kalau keseimbangan perasaan itu tidak dapat dijaga, akibatnya akan meniadi semakin parah.”
“Bukan salah mereka. Mereka melihat kawan-kawan mereka terluka, apalagi ada pula yang terbunuh.”
“Memang, bukan salah mereka. Pergolakan perasaan yang terjadi di medan adalah wajar. Tetapi alangkah baiknya kalau kita dapat mengendalikan diri. Tanpa menambah kematian, tugas-tugas kita dapat kita selesaikan.”
“Memang bagus sekali. Tetapi di seluruh Pajang dan Mataram, agaknya hanya ada seorang saja yang mampu berbuat seperti kau, Kakang.”
“Guru mengajarku.”
“O,” Swandaru mengangguk-angguk, “dua. Yang seorang adalah guru sendiri.”
“Raden Sutawijaya juga tidak membunuh lawan-lawannya yang sudah menyerah. Apalagi yang sudah tidak berdaya.”
“Tiga. Tiga dengan Raden Sutawijaya.”
“Sudah tentu Raden Sutawijaya tidak berbuat demikian tanpa tuntunan.”
“Ki Gede Pemanahan. Bukankah kau akan mengatakan bahwa Ki Gede Pemanahan juga pasti berbuat demikian. Baiklah. Ternyata ada empat orang. Begitu? Apakah kau masih akan menambah lagi.”
“Ya.”
“Siapa?”
“Swandaru Geni. Bukankah begitu?”
“Macam kau,” desis Swandaru, namun kemudian ia menjawab,
“Ya, Swandaru memang seorang pengampun.”

Agung Sedayu memandang wajah Swandaru sejenak. Namun kemudian ia pun tersenyum.
“Baiklah. Marilah kita berbuat sesuatu. Lawan-lawan kita sudah tidak berdaya. Yang lain melarikan diri.”
“Apakah kau yakin bahwa mereka memang melarikan diri?”
“Aku yakin.”
Swandaru mengangguk-angguk, lalu katanya,
“Biarlah mereka yang terluka dirawat sebaik-baiknya. Kita melihat medan di depan barak. Apakah mereka masih memerlukan tenaga?”
Agung Sedayu merenung sejenak. Pertempuran di belakang barak itu sudah dapat dikatakan selesai. Tidak ada lagi perlawanan yang berarti. Satu dua orang mencoba untuk melepaskan diri. Tetapi mereka tidak dapat lagi menghindar karena luka-luka mereka. Karena itu, maka Agung Sedayu pun berkata kepada seorang pengawal,
“Terserah kepada Ki Sanak. Biarlah yang luka-luka mendapat perawatan. Kami berdua akan pergi ke medan di depan barak.”
“Baiklah. Aku akan menyelenggarakan penyelesaian sebaik-baiknya,” jawab pengawal itu.
Agung Sedayu dan Swandaru pun kemudian pergi ke bagian depan barak yang masih dihangatkan oleh perkelahian yang sengit. Obor-obor yang dinyalakan oleh orang-orang Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak memberi banyak petunjuk kepada Agung Sedayu dan Swandaru.
“Mereka memerlukan obor-obor itu,” bisik Swandaru.
“Kiai Damar yakin akan memenangkan perkelahian ini, sehingga untuk mempercepat penyelesaian, mereka perlu dapat membedakan dengan segera, yang mana kawan dan yang mana lawan-lawan yang harus dihancurkannya.”
“Tetapi agaknya mereka tidak akan segera berhasil.”
Agung Sedayu tidak menyahut. Dengan hati-hati mereka mendekati medan. Namun dengan demikian segera dapat mereka lihat apa yang sebenarnya telah terjadi.

Pertempuran yang sengit itu hampir dapat dikatakan seimbang. Namun Sutawijaya yang menjelajahi medan memang membuat lawan mereka menjadi bingung. Tombaknya yang berputar-putar bagaikan baling-baling membuat orang-orang Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak berloncatan menjauh, semen-tara di beberapa tempat pengawal-pengawal Sutawijaya dapat mem-pergunakan setiap kesempatan itu sebaik-baiknya. Bahkan orang-orang yang tinggal di barak itu, yang semula mulai menjadi kecut, perlahan-lahan telah tergugah lagi keberanian mereka. Meskipun mereka tidak setangkas lawan, tetapi petunjuk-petunjuk yang mereka dapat untuk bertempur berpasangan, ternyata sangat berguna bagi mereka, meskipun petunjuk-petunjuk itu terlampau singkat.
“Apakah kita akan ikut?” bertanya Swandaru.
“Kita belum melihat, di mana Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak,” sahut Agung Sedayu.
“Itu urusan guru dan Ki Sumangkar.”
“Ya. Tetapi kita harus yakin, bahwa keduanya sudah menemukan lawan masing-masing.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka tidak segera melibatkan diri dalam perkelahian itu. Sejenak merasa masih sempat menyelusuri medan dan melihat sengitnya pertempuran. Keduanya mengangguk-anggukkan kepalanya ketika mereka melihat, Bagaimana Kiai Damar berjuang mati-matian untuk mengelakkan serangan Sumangkar yang melandanya bagaikan angin taufan.
“Dukun sakti yang bergelimang racun itu tidak akan dapat bertahan terlampau lama,” desis Agung Sedayu.
“Ya. Ki Sumangkar akan segera menyelesaikan.”
“Sekarang Kita lihat, guru pasti sedang bertempur melawan Kiai Telapak Jalak.”
Dan keduanya pun bergeser selangkah demi selangkah. Akhirnya mereka pun menemukan arena perkelahian yang dahsyat antara Kiai Gringsing melawan Kiai Telapak Jalak. Ternyata keduanya adalah orang-orang yang pilih tanding. Meskipun Kiai Gringsing berhasil mendesaknya, namun belum merupakan suatu keyakinan bahwa ia akan berhasil mengalahkan lawannya.
“Kita tidak akan dapat mencampurinya,” desis Agung Sedayu.
“Lalu?” bertanya Swandaru.
“Kita terjun ke medan.”

Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas ia melihat bayangan seseorang yang melintas di medan dengan tombak yang berputar-putar.
“Itulah Raden Sutawijaya,” berkata Agung Sedayu.
“Kita mengikutinya.”
“Tidak perlu. Kita membuat arena sendiri.”
Swandaru menganggukkan kepalanya. Keduanya pun kemudian mendekati medan yang masih riuh.
“Kami akan ikut serta di medan ini,” berkata Agung Sedayu kepada Raden Sutawijaya.
Sutawijaya mundur selangkah. Jawabnya,
“Apakah tugasmu sudah selesai?”
“Ya. Kami sudah selesai.”
“Baiklah. Kita tidak boleh gagal kali ini. Kita harus menyelesaikannya dengan tuntas. Kesempatan seperti kali ini belum tentu akan terulang kembali.”
“Kami akan berbuat sebaik-baiknya.”
“Kita membagi medan. Kalian di sini. Aku di ujung yang lain.
“Ya. Kami akan bertempur di sini.”
Sutawijaya pun kemudian meloncat kembali menerjunkan diri ke medan. Tombaknya berputar semakin cepat. Perlahan ia bergeser ke ujung pertempuran yang lain, sedang Agung Sedayu dan Swandaru kini menghadapi tugas yang baru di medan yang riuh itu.
Sejenak keduanya saling berpandangan. Kemudian terdengar Swandaru berdesis,
“Kita akan mulai?”
“Ya. Marilah.”
Swandaru mengangguk-angguk. Dan mereka berdua pun kemudian mulai mengayun-ayunkan cambuk mereka.

Sejenak kemudian Agung Sedayu dan Swandaru pun telah berada di tengah-tengah dentang senjata. Sejenak mereka mengamati medan, dan sejenak kemudian Swandaru-lah yang pertama-tama meledakkan cambuknya memekakkan telinga. Suara cambuk itu ternyata telah mendebarkan setiap jantung. Beberapa orang yang bertempur tidak jauh dari Kiai Telapak Jalak telah dibisingkan oleh ledakan-ledakan cambuk Kiai Gringsing yang berhasil melawan Kiai Telapak Jalak. Kini di bagian lain dari medan itu telah digetarkan oleh suara cambuk yang lain pula. Kehadiran Swandaru dan Agung Sedayu ternyata benar-benar telah merubah keseimbangan medan. Meskipun tampaknya mereka hanya berdua di antara pertempuran yang ramai, namun yang dua orang itu mempunyai arti yang luas. Agung Sedayu dan Swandaru yang telah melakukan latihan-latihan khusus untuk waktu yang lama, mempunyai pengaruh yang besar bagi lawan-lawannya. Mereka berdua tidak sekedar mengikat dua orang lawan, tetapi masing-masing telah bertempur melawan beberapa orang sekaligus. Seperti Sutawijaya, Agung Sedayu dan Swandaru bergerak meskipun tidak begitu luas di sepanjang separo lingkaran medan. Sedang Sutawijaya bergerak di bagian yang lain. Satu demi satu lawan-lawan kedua anak-anak muda itu dilumpuhkan. Ujung cambuk mereka yang meledak-ledak, mampu menyobek kulit dan meninggalkan goresan-goresan yang merah biru di tubuh lawan. Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak tidak dapat mengingkari lagi kenyataan yang terjadi di medan. Apalagi Kiai Telapak Jalak yang menganggap selama ini Kiai Damar tidak mampu melakukan tugasnya karena gangguan-gangguan kecil. Tetapi ternyata bahwa orang-orang yang ada di dalam barak itu bukan sekedar gangguan-gangguan kecil seperti yang disangkanya. Kini ia harus mengalami sendiri, betapa beratnya bertempur melawan mereka. Selain orang-orang yang aneh, yang tidak sewajarnya berada di antara orang-orang yang sedang membuka hutan, ternyata penghuni barak itu pun sudah tidak dapat lagi ditakut-takuti dengan gemerincingnya kaki-kaki kuda semberani, dengan tengkorak yang bercahaya karena dilekati kunang-kunang setelah dioles dengan getah yang lekat.
Orang-orang yang tinggal di barak itu ternyata justru telah berani mengangkat senjata untuk melawan mereka di medan pertempuran bersama-sama para pengawal yang jumlahnya tidak begitu banyak.
“Kalau saja keadaan di barak ini wajar,” berkata Kiai Telapak Jalak di dalam hatinya,
“mereka pasti sudah hancur. Mereka pasti sudah binasa sampai ke akar-akarnya. Perempuan dan anak-anak, dan bahkan Sutawijaya pun akan binasa pula di sini.”
Tetapi kenyataan yang dihadapi benar-benar di luar perhitungan mereka. Dua orang di antara mereka berhasil menghadapi Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak. Bukan saja menahan keduanya, tetapi bahkan mendesaknya. Demikianlah maka lambat laun akhir dari pertempuran itu menjadi semakin jelas. Betapa pun juga orang-orang Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak bertempur dengan cara mereka, namun mereka tidak berhasil mendesak lawannya. Mereka tidak lagi dapat menakut-nakuti lawannya. Karena dengan cara itu justru telah membuat Swandaru tertawa terbahak-bahak. Ketika ada seorang yang menyerangnya sambil berteriak, maka dengan tangkasnya Swandaru bergeser sambil meledakkan cambuknya untuk membuat lawannya itu terdiam. Bahkan menitikkan darah. Kiai Damar pun semakin lama menjadi semakin parah. Betapa pun ia berusaha, namun ia tidak akan dapat mengalahkan Sumangkar yang selalu mendesaknya. Yang paling menyakitkan hati Kiai Damar ialah usaha Sumangkar untuk mengalahkannya dengan memaksanya memeras tenaga sehingga ia akan menjadi lelah dan tidak mampu melawan lagi. Meskipun kadang-kadang Sumangkar mendapat kesempatan untuk mendesaknya dan bahkan membinasakannya, namun Sumangkar agaknya masih juga merasa segan.

Sebenarnyalah Sumangkar mengetahui kepentingan Sutawijaya dengan lawannya. Kalau salah seorang dari pemimpin mereka itu dapat ditangkap hidup-hidup, maka Sutawijaya akan mendapat kesempatan untuk menyadap keterangan dari padanya. Dan Kiai Damar adalah salah seorang dari pemimpin-pemimpin itu. Menurut perhitungan Sumangkar, lebih mudah menangkap Kiai Damar dari pada Kiai Telapak Jalak, karena menurut penilaian Sumangkar, Kiai Telapak Jalak agaknya memiliki kemampuan yang lebih besar dari Kiai Damar. Sumangkar berusaha untuk membuat Kiai Damar tidak berdaya dan kehilangan kemampuan perlawanannya. Dengan menekan Kiai Damar terus-menurus, tanpa memberinya kesempatan bernafas, Sumangkar mengharap orang itu kehabisan tenaga. Tetapi agaknya Kiai Damar menyadarinya, sehingga karena itu, maka ia pun telah berusaha untuk melepaskan dirinya. Ia tidak bernafsu lagi membunuh lawannya dengan senjata-senjata beracun, karena ia yakin bahwa di antara orang-orang aneh yang tinggal di barak itu pasti ada yang memiliki kemampuan yang besar untuk melawan racun, sehingga racun tidak akan lagi mempunyai banyak arti. Sebagai seorang yang mengerti tentang racun, Kiai Damar pun mengerti, bahwa seseorang dapat membekali dirinya dengan obat-obat untuk menawarkan diri, setidak-tidaknya untuk mengurangi kekuatan racun yang menyerang urat darahnya. Dalam menghadapi Sumangkar, Kiai Damar ingin mempergunakan cara yang lain. Seperti cara yang sering dipergunakan, maka ia tidak segan mengorbankan anak buahnya untuk kepentingannya. Ketika ia mengalami kesulitan yang memuncak, maka terdengarlah suara isyarat dari mulutnya. Mula-mula Sumangkar tertegun sejenak mendengar isyarat itu. Namun ia segera menyadari, bahwa Kiai Damar telah berusaha untuk merubah keseimbangan perkelahian itu. Ternyata setelah isyarat itu bergema di medan pertempuran yang bergeser semakin jauh dari barak itu, empat orang pengawal pilihan Kiai Damar telah berloncatan mendekatinya. Seperti yang dipesankan oleh Kiai Damar, apabila diperlukan, mereka harus datang dan membantunya menghadapi musuh-musuhnya. Meskipun dengan demikian, orang-orangnya yang lain mengalami banyak kesulitan, namun Kiai Damar tidak mempedulikan. Kepada mereka Kiai Damar selalu memberikan alasan yang tampaknya masuk akal. Dalam keadaan yang demikian, maka alasan yang paling baik yang dipergunakan oleh Kiai Damar adalah, bahwa lawannya yang paling berat itu harus segera dibinasakan. Dengan demikian maka ia akan segera dapat membantu kesulitan-kesulitan yang lain di dalam pasukannya. Demikianlah maka sesaat kemudian Sumangkar harus menghadapi lima orang sekaligus. Kiai Damar dan empat orang kepercayaannya. Meskipun Ki Sumangkar mempunyai kelebihan dari Kiai Damar, tetapi untuk melawan lima orang sekaligus, terasa juga betapa beratnya. Kiai Damar yang merupakan pusat dari perlawanan, menghadapi Ki Sumangkar dari depan. Sedang empat orang yang lain menyerangnya dari segenap arah. Dengan memeras kemampuannya, Sumangkar masih tetap dapat mempertahankan dirinya. Betapa dahsyatnya serangan-serangan lawannya, namun Sumangkar masih selalu mendapat kesempatan untuk menghindar. Bahkan sekali-sekali ia masih juga mampu menyerang. Namun lambat laun, karena Sumangkar telah mengerahkan segenap kemampuannya, tenaganya terasa menjadi semakin susut.

Dengan demikian, Sumangkar terpaksa menempuh usaha yang lain. Ia tidak dapat memaksa dirinya untuk berkelahi tanpa melukai lawannya Bahkan seandainya lawannya terbunuh juga, maka itu di luar kemampuannya, meskipun ia masih tetap berusaha menangkapnya hidup-hidup. Tetapi sudah tentu bahwa Sumangkar sendiri tidak ingin dirinya sendirilah yang justru menjadi korban. Karena itu, kemudian Sumangkar bukan saja memeras segenap kemampuannya, tetapi juga tidak lagi sangat berhati-hati agar tidak menimbulkan kematian pada lawannya, terutama Kiai Damar.
“Kalau aku masih tetap bertempur dengan cara ini, maka pada akhirnya, akulah yang akan menjadi mayat di medan ini,” katanya di dalam hati.
Dengan demikian, maka tandang Sumangkar pun segera berubah. Senjatanya semakin cepat berputar. Kini pengerahan tenaganya tidak saja ditujukan kepada keempat kawan Kiai Damar, dan sebagian yang lain untuk menghindarkan diri dari ujung senjata lawannya, namun kini justru ia memusatkan serangannya kepada Kiai Damar. Kiai Damar dan kawan-kawannya pun kemudian mengerahkan segenap kemampuan mereka pula. Kalau mereka segera berhasil membinasakan Sumangkar, maka mereka akan segera dapat membantu kawan-kawannya di dalam pertempuran yang berlangsung itu. Karena itulah maka pertempuran itu menjadi semakin ribut dan sengit. Senjata masing-masing berputaran dan menyambar-nyambar. Semakin lama mereka semakin dalam terbenam dalam perkelahian yang seru. Betapa pun juga Kiai Damar berusaha, tetapi bersama kawan-kawannya ia tidak dapat segera mengalahkan Sumangkar. Apalagi ketika Sumangkar tidak lagi mengekang diri, sehingga justru senjatanyalah yang telah menguasai arena perkelahian itu. Namun Sumangkar terlonjak dan terkejut bukan buatan, ketika terasa ujung senjata telah menyengat lengannya. Tanpa sesadarnya tangan kirinya telah merabanya, dan terasa titik darah yang hangat memerah di telapak tangannya itu. Dengan geramnya Sumangkar menggeretakkan giginya Ternyata ialah yang telah terluka lebih dahulu. Ujung tombak salah seorang lawannya telah menyentuh lengannya dan melukainya.
“Persetan,” ia pun kemudian menggeram.
Luka itulah yang telah membakar jantungnya. Ditatapnya lawannya berganti-ganti. Sorot matanya yang memancarkan kemarahan, menjadi merah di dalam cahaya obor yang bergetar ditiup angin malam.
“Aku akan membunuh kalian,” desisnya.
Lawan-lawannya bergetar mendengar suara Sumangkar yang berat itu. Namun darah yang menitik dan luka Sumangkar, membuat lawan-lawannya itu agak berbesar hati. Ternyata Sumangkar dapat juga dilukai dan menitikkan darah. Dengan demikian, maka mereka harus berusaha terus-menerus untuk menambah luka di tubuh orang itu. Tetapi Sumangkar menyadari keadaannya. Karena itu, ia pun kemudian bertempur seperti angin pusaran. Berputaran menggulung lawannya dalam suatu putaran yang membingungkan. Senjatanya terjulur semakin dalam dan berputar di atas kepalanya. Tetapi ujung-ujung trisulanya menyambar menebarkan udara maut. Sejenak kemudian di dalam lingkaran perkelahian itu terdengar keluhan tertahan. Ternyata bahwa ujung senjata Sumangkar telah berhasil menyambar punggung seorang lawannya yang sedang berusaha menjauhinya. Tetapi terlambat. Punggung itu bagaikan sobek melintang, mengucurkan darah. Namun bersamaan dengan itu, lawannya yang lain telah berhasil menyentuh tubuh Sumangkar pula. Kali ini mengenai pahanya dan membuat luka pula, meskipun hanya segores kecil. Kemarahan Sumangkar pun menjadi semakin memuncak. Dan tiba-tiba saja serangannya menjadi semakin cepat seperti badai. Kini sasaran utamanya justru Kiai Damar sendiri, karena orang itulah orang yang paling kuat dan paling banyak menghisap tenaganya namun memberikan kesempatan kepada kawan-kawannya untuk melukainya sedikit demi sedikit.
“Persetan,” Sumangkar menggeram, “aku akan membunuhmu. Bukan salahku.”
Dan tekanan yang dahsyat pun kemudian melanda Kiai Damar. Dengan susah payah ia mengerahkan tenaganya untuk menghindarkan diri dari amukan badai yang melanda dirinya. Bahkan kawan-kawannya pun telah membantunya melawan amukan Sumangkar. Namun usaha mereka itu rasa-rasanya sia-sia. Sumangkar benar-benar telah sampai ke puncak kemampuannya, sehingga akhir dari pertempuran itu pun sudah menjadi semakin jelas membayang. Seolah-olah setiap orang sudah dapat meramalkannya, apa yang akan terjadi. Agaknya luka-luka di tubuh Sumangkar telah membuatnya marah tiada taranya, sehingga dengan demikian ia sudah kehilangan segala macam pertimbangan untuk menangkap lawannya hidup-hidup.

Ketika perasaan yang pedih menyengat tubuhnya karena luka-lukanya, maka dengan segenap kemampuan yang ada ia menghentakkan senjatanya. Memutarnya dan tiba-tiba ia merubah arah putarannya. Dengan dahsyatnya ujung senjata yang berantai itu mematuk ke dada Kiai Damar. Serangan itu benar-benar mengejutkan. Tetapi Kiai Damar masih sempat mengelakkan dirinya. Dengan sigapnya ia meloncat surut. Sambil berputar kiai Damar memiringkan tubuhnya, sehingga senjata lawan itu lewat di sisi tubuhnya. Tetapi Sumangkar tidak melepaskannya. Sekali diputarnya senjatanya di atas kepalanya untuk mencegah serangan-serangan yang datang dari kawan-kawan Kiai Damar, kemudian sebuah serangan sendal pancing sekali lagi mengejar Kiai Damar. Kiai Damar yang sedang mencoba memperbaiki keadaannya sekali lagi terkejut. Sekali lagi ia melangkah surut. Namun kali ini Sumangkar tidak mau melepaskannya lagi. Titik darah dari luka di tubuhnya telah membuatnya sampai ke puncak kemarahan. Tiba-tiba saja Sumangkar itu merendah pada lututnya sambil melemparkan senjatanya. Kemudian memutarnya rendah setinggi lambung. Kali ini Kiai Damar tidak sempat mengelak lagi. Dengan segenap kemampuannya ia mencoba memukul senjata Sumangkar itu dengan senjatanya. Namun Sumangkar benar-benar menguasai jenis senjatanya yang baru itu, sehingga dengan menghentakkan rantai di tangannya, Kiai Damar tidak berhasil menyentuh senjata lawannya. Bahkan begitu senjatanya terayun, ujung senjata Sumangkar mematuk dengan cepatnya. Tidak ada kesempatan buat menghindar dan menangkis. Senjata Sumangkar itu meluncur bagaikan kilat di langit. Begitu cepat dan deras, sehingga meskipun Kiai Damar masih mencoba memiringkan tubuhnya, namun senjata itu berhasil mengenai dadanya. Terdengar, pekik yang terputus. Kiai Damar terdorong beberapa langkah surut. Namun ketika Sumangkar menarik senjatanya, Kiai Damar tersentak selangkah maju, kemudian jatuh tertelungkup. Kiai Damar tidak sempat bangkit kembali. Ia hanya dapat bergerak setapak maju dan memutar tubuhnya menelentang. Namun kemudian tangannya terkulai di sisi tubuhnya. Orang yang selama ini membuat seisi barak itu ketakutan, dan membuat Alas Mentaok di ujung ini menjadi penuh rahasia dan teka-teki, kini sudah tidak ada lagi. Kemarahan Sumangkar yang terluka dan menghadapi beberapa orang lawan sekaligus telah mengakhiri hidupnya dengan luka yang menganga di dadanya. Kematian Kiai Damar telah menggemparkan anak buahnya. Orang-orang yang bertempur bersamanya melawan Sumangkar tiba-tiba berloncatan menjauh. Bagi mereka, Kiai Damar adalah seorang yang pilih tanding. Namun orang itu kini tergolek tidak bernyawa. Sejenak Sumangkar berdiri mematung memandangi mayat Kiai Damar. Barulah ia menemukan kesadarannya kembali tentang pentingnya orang yang bernama Kiai Damar itu apabila ia dapat menangkapnya hidup-hidup. Tetapi kesadarannya itu telah terlambat, karena Kiai Damar telah terbunuh oleh kemarahannya.
“Seandainya orang itu masih hidup,” desis Sumangkar di dalam hatinya. Kini seolah-olah ia melihat di dalam dada Kiai Damar yang terbelah itu tersimpan berbagai macam keterangan tentang rahasia yang selama ini menyelubungi Alas Mentaok. Namun bersama dengan kematiannya, maka rahasia itu masih belum dapat terungkap seluruhnya.
“Mudah-mudahan Kiai Gringsing mampu menahan perasaannya. Mudah-mudahan ia tidak diamuk oleh kemarahan, sehingga ia berhasil menangkap lawannya hidup-hidup,” berkata Ki Sumangkar di dalam hatinya.

Namun tiba-tiba terbersit suatu ingatan, seandainya Kiai Telapak Jalak masih bertempur melawan Kiai Gringsing, maka ia akan dapat membantunya, menangkap orang itu hidup-hidup.
Oleh pikiran itu, Ki Sumangkar pun segera meninggalkan tempatnya. Ternyata lawan-lawannya tidak seorang pun yang berani menghalanginya. Dibiarkannya Sumangkar pergi ke mana pun yang dikehendaki. Sambil berjalan Sumangkar menilai luka-luka di tubuhnya. Ternyata luka itu sama sekali tidak berbahaya. Namun demikian, ia pun terpaksa berhenti sejenak, menaburkan serbuk obat yang dapat memampatkan darah. Ketika baru saja ia melangkah, maka ia pun tertegun pula. Dilihatnya seseorang bertempur dengan dahsyatnya. Menyambar-nyambar dengan tombak di tangan.
“Hem,” Sumangkar menarik nafas, “Raden Sutawijaya.”
Maka ditinggalkannya Sutawijaya yang sedang bertempur itu. Ia bergeser semakin jauh mencari Kiai Telapak Jalak yang pasti sudah bertempur melawan Kiai Gringsing. Namun sekali lagi ia tertegun. Suara cambuk meledak-ledak memekakkan telinga. Sekilas Sumangkar melihat Agung Sedayu dan Swandaru mendesak lawannya tanpa tertahankan lagi.
“Sebenarnya pertempuran ini sudah akan berakhir,” gumamnya.
“Di semua bagian dari medan, mereka terdesak terus. Kunci dari persoalan ini terletak pada Kiai Telapak Jalak. Mudah-mudahan aku tidak terlambat.”
Sumangkar pun kemudian mempercepat langkahnya. Kalau mungkin Kiai Telapak Jalak harus tertangkap hidup-hidup untuk mendapatkan beberapa keterangan tentang perbuatan mereka selama ini. Untuk mendapatkan keterangan siapakah yang ada di antara mereka dan yang penting, siapakah penggerak yang sebenarnya. Kiai Telapak Jalak sendiri atau masih ada orang lain lagi di sampingnya. Sejenak kemudian Ki Sumangkar itu pun telah menjadi semakin dekat dengan arena perkelahian antara Kiai Gringsing dan Telapak Jalak. Sumangkar sudah mendengar lecutan cambuk yang meledak-ledak, melampaui getar ledakan cambuk Agung Sedayu dan Swandaru.
“Agaknya perkelahian itu sangat sengit,” berkata Ki Sumangkar di dalam hati.
Ternyata seperti yang diduganya. Ketika ia menjadi semakin dekat, maka dilihatnya perkelahian yang semakin dahsyat. Baik Kiai Telapak Jalak, mau pun Kiai Gringsing telah berada di dalam puncak kemampuannya. Dan agaknya Kiai Telapak Jalak pun termasuk seorang yang pilih tanding.

Meskipun dengan pasti Kiai Griugsing dapat mendesak lawannya, namun masih diperlukan waktu yang lama untuk dapat menguasai Kiai Telapak Jalak sepenuhnya. Apalagi Sumangkar pun melihat, bahwa di tangan Kiai Telapak Jalak tergenggam senjata yang beracun, sedang di tangan yang lain seutas rantai yang diputarnya seperti baling-baling.
“Hem,” desis Sumangkar, “racun itu memang berbahaya.”
Karena itu maka Sumangkar pun menjadi berhati-hati. Ia sadar, bahwa racun itu dapat mengantar seseorang ke lubang kubur. Tetapi ia pernah mendapat sejenis obat yang diberikan oleh Kiai Griugsing untuk mengurangi ketajaman racun yang mengenainya. Untuk mengurangi kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi atas dirinya, maka Sumangkar pun kemudian mengambil obat itu dan ditelannya pula. Dengan demikian, maka kemungkinan yang berbahaya atas dirinya, dapat dikurangi sekecil-kecilnya. Sejenak tubuh Ki Sumangkar pun terasa menjadi panas. Bahkan ia merasa dadanya bergetar. Obat itu agaknya telah mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. Sehingga dengan demikian untuk beberapa saat, ia akan menjadi orang yang agak kebal terhadap racun, selama daya kekuatan obat itu masih bekerja di tubuhnya. Setelah tubuhnya tidak lagi merasa gemetar, maka Ki Sumangkar pun melangkah semakin cepat dari arena perkelahian yang sangat dahsyat itu. Kehadirannya telah mengejutkan Kiai Telapak Jalak. Ia masih belum mengerti, sampai berapa jauh kemampuan Ki Sumangkar. Tetapi menilik sikap dan tatapan matanya, orang ini pasti bukan penghuni kebanyakan dari barak itu. Orang ini pasti salah seorang dari penghuni-penghuni aneh dari barak yang akan dihancurkannya.
“Betapa tangkasnya orang yang agaknya bernama Kiai Telapak Jalak,” terdengar suara Sumangkar.
“Ya. Seorang yang pilih tanding,” sahut Kiai Gringsing.
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya perkelahian yang semakin dahsyat karena keduanya benar-benar telah mengerahkan puncak kemampuan mereka.
“Bagaimana dengan kau?” bertanya Kiai Gringsing.
“Aku sudah selesai. Tetapi sayang sekali, aku tidak berhasil menangkapnya hidup-hidup.”
“Jadi?”
Sumangkar tidak segera menjawab. Ia melihat serangan Telapak Jalak yang tiba-tiba saja hampir mengenai tangan Kiai Gringsing. Untunglah ia dengan cepat dan tepat pada waktunya menarik tangannya, sehingga keris Kiai Telapak Jalak tidak menyentuhnya sama sekali.
“Aku terpaksa membunuhnya. Kiai Damar bertempur bersama-sama dengan empat orang pengawalnya, sehingga aku terluka,” berkata Sumangkar sambil melihat perkelahian itu.
“Luka itulah yang membuat aku kehilangan kesempatan untuk menangkapnya hidup-hidup. Apalagi di antara lima orang lawan.”
“Jadi Kiai Damar terbunuh?” Kiai Gringsing menegaskan.
“Ya.”
“Bohong!” tiba-tiba Kiai Telapak Jalak memotong.
“Kalian berbohong. Kalian sengaja membuat ceritera itu untuk mempengaruhi gairah perlawananku. Kalian telah mempergunakan cara yang paling licik di dalam pertempuran ini.”
“Apakah gunanya aku berbohong,” desis Sumangkar,
“bukan saja Kiai Damar, tetapi orang-orangmu yang lain pun telah menjadi pecah berserakan. Mereka tidak akan mampu melawan Raden Sutawijaya dan kedua anak-anak muda yang bersenjata cambuk itu pula. Apalagi sepeninggal Kiai Damar.”
“Bohong, aku tidak percaya.”
“Baiklah. Terserah kepadamu, apakah kau akan mempercayainya atau tidak. Tetapi kedatanganku kemari adalah karena aku sudah tidak mempunyai tugas lagi di ujung lain dari pertempuran ini. Aku mengharap bahwa di sini aku akan dapat bekerja bersama lawanmu itu untuk menangkapmu hidup-hidup.”
“Gila. Kau menghina aku.”
“Aku berniat demikian. Terserah, apakah Ki Truna Podang setuju.”

Kiai Gringsing menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi ia percaya bahwa Kiai Damar memang sudah terbunuh. Karena itu, maka ia pun mulai mempertimbangkan kemungkinan untuk menangkap Kiai Telapak Jalak hidup-hidup. Sejenak Kiai Gringsing tidak menyahut. Tetapi serangan Kiai Telapak Jalak justru menjadi semakin dahsyat. Seakan-akan Kiai Telapak Jalak ingin menunjukkan bahwa ia tidak akan dapat dengan mudah dikalahkan. Namun kehadiran Sumangkar itu benar-benar telah merupakan sebuah persoalan baginya. Kalau benar orang itu berusaha bersama Truna Podang untuk menangkapnya hidup-hidup, apakah ia akan dapat melepaskan diri, apalagi mengalahkan keduanya? Kiai Telapak Jalak tidak dapat mengingkari, bahwa untuk melawan Truna Podang seorang diri, ia sudah mengalami kesulitan, apalagi melawan dua orang yang agaknya mempunyai ilmu yang setingkat, atau setidak-tidaknya tidak banyak berselisih. Tetapi Kiai Telapak Jalak tidak segera silau terhadap angan-angannya itu. Ia masih ingin membuktikan, apakah benar-benar ia tidak dapat melawan keduanya atau melepaskan diri dari keduanya. Demikianlah maka Kiai Telapak Jalak masih juga bertempur. Tetapi ketika Sumangkar benar-benar telah mulai, meskipun baru beberapa saat, telah terasa padanya, bahwa kekuatan kedua orang itu merupakan kekuatan yang tidak akan dapat terlawan. Karena itu, maka ia pun kemudian berkata,
“O, inikah cara kalian bertempur? Kalau kalian tidak mampu bertempur sendiri, maka kalian mulai bertempur berpasangan?”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya, namun kemudian ia menjawab,
“Agaknya memang demikian cara kita bertempur di peperangan. Memang agak lain dengan apabila kita sudah berjanji untuk melakukan perang tanding. Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak tidak menghiraukan berapa orang yang bertempur dalam perang brubuh itu. Mungkin berpasangan, mungkin justru sekelompok lawan sekelompak yang jumlahnya tidak perlu diatur sama.”
“Tetapi mereka adalah orang-orang yang tidak berarti. Mereka bukan pimpinan pasukan apalagi senapati.”
“Tidak ada bedanya di peperangan. Aku juga bukan pemimpin pasukan, dan juga bukan senapati.”
“Pengecut. Tetapi kau pasti orang penting di sini.”
“Kiai Damar berkelahi bersama empat orang kawannya,” sahut Sumangkar,
“sehingga aku harus bertempur melawan lima orang sekaligus termasuk Kiai Damar.”
“Omong kosong!”
“Terserah kepadamu. Tetapi aku tidak melihat keberatan apa pun untuk berperang dalam pasangan,” berkata Sumangkar pula.
“Tetapi aku dapat menantang kalian untuk berperang tanding seorang lawan seorang.”
“Terlambat. Kalau kau ajukan tantangan itu sejak kau datang, maka salah seorang dari kami pasti akan melayaninya. Tetapi kali ini tidak. Kami akan tetap bertempur berpasangan. Sebenarnya aku yakin bahwa aku akan dapat menyelesaikan pertempuran ini kalau aku hanya sekedar ingin membunuhmu. Tetapi sekarang aku ingin menangkapmu. Menangkapmu hidup-hidup, sehingga untuk itu justru akan jauh lebih sukar.”
“Persetan!” Kiai Telapak Jalak menggeram. Ia merasa benar-benar terhina. Tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan. Agaknya ia telah terjebak memasuki sarang harimau lapar bersama Kiai Damar. Ia tidak mengira sama sekali, bahwa di dalam barak ini ada orang-orang yang memiliki kemampuan begitu tinggi.
“Aku terlampau meremehkan laporan Kiai Damar,” berkata Kiai Telapak Jalak di dalam hatinya.
“Aku sangka Kiai Damar sekedar menyembunyikan kelemahan. Tetapi ternyata kini aku benar-benar terperangkap.”

Meskipun demikian, Kiai Telapak Jalak masih berusaha terus. Ia kini tidak lagi berjuang untuk mengalahkan lawannya, tetapi sekedar untuk melepaskan dirinya. Kalau ia tertangkap hidup-hidup, maka ia pasti akan diperas untuk memberikan keterangan-tentang semua perbuatannya bersama Kiai Damar. Ia harus mempertanggung jawabkannya dan menyebut beberapa nama yang berhubungan dengan itu.
“Tidak, itu tidak mungkin,” berkata Kiai Telapak Jalak,
“salah seorang dari kami harus tetap hidup. Kalau aku mati biarlah aku mati, tetapi adikku itu harus tetap hidup untuk menyambung nama keluarga kami. Sokurlah bahwa pada suatu saat ia berhasil dengan usahanya, dan membalaskan dendam sakit hatiku. Tetapi mulutku tidak boleh menyebut namanya dalam keadaan apa pun juga. Ia harus tetap berada di istana Pajang dan berbuat sesuai dengan keadaan yang akan berkembang kemudian.”
Karena itulah maka tidak ada tanda-tanda sama sekali bahwa Kiai Telapak Jalak akan menyerah. Bagaimana pun juga, ia masih tetap bertempur dengan gigihnya. Bahkan orang itu sama sekali sudah tidak mengenal takut lagi.
Memang tidak mudah menangkap orang seperti Kiai Telapak Jalak, karena ia telah berbuat atas dasar suatu keyakinan. Salah atau benar, maka orang seperti Kiai Telapak Jalak sangat sulit untuk ditundukkan. Mungkin jasmaniahnya dapat dihancurkan, tetapi ia pasti akan mati bersama keyakinannya.
“Apa boleh buat,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya,
“aku terpaksa melukainya. Mungkin membuatnya pingsan. Kalau tidak, mustahil aku berhasil menangkapnya. Apalagi keris beracun itu masih tetap di tangannya meskipun sudah menelan penawarnya.”
Karena itu, maka Kiai Gringsing pun mempertajam serangannya. Ia tidak menghindarkan kemungkinan melukai lawannya, sehingga dengan demikian, maka ledakan cambuknya menjadi kian dahsyat pula. Sumangkar agaknya mengerti pula keputusan sikap yang diambil oleh Kiai Gringsing, sehingga ia pun perlu mengimbanginya. Trisula keduanya pun berputaran semakin cepat menyambar-nyambar, kemudian mematuk dengan dahsyatnya.
“Setan alas!” Kiai Telapak Jalak mengumpat. Serangan-serangan itu benar-benar telah membingungkannya. Ia tidak dapat menghindarkan diri dari serangan-serangan yang datangnya seperti banjir yang melandanya dari segenap arah, meskipun ia sudah berloncatan bagaikan berdiri di atas seonggok bara.

Maka, ketika serangan kedua orang-orang tua yang memiliki ilmu yang melampaui manusia kebanyakan itu datang semakin cepat, maka sampailah saatnya Kiai Telapak Jalak tidak dapat meningkatkan lagi kemampuannya. Kemampuan manusia yang terbatas pula. Ternyata bahwa batas itu pada suatu saat tidak lagi dapat dilampauinya betapa pun ia berusaha. Demikianlah, maka ketika Kiai Telapak Jalak menghindari patukan ujung-ujung trisula Sumangkar, ia tidak mampu lagi berbuat apa pun juga ketika ujung cambuk Kiai Gringsing mengenainya. Yang terdengar di antara ledakan cambuk itu adalah desis yang tertahan. Bahkan kemudian Kiai Telapak Jalak mengumpat sambil berusaha meloncat sejauh-jauh dapat dilakukan. Namun, demikian ia menjejakkan kakinya di atas tanah, serangan Sumangkar telah mengejarnya.
“Setan alas!” Kiai Telapak Jalak mengumpat-umpat. Sebuah goresan yang merah biru telah melingkar di lengannya, di bawah bajunya yang tersayat.
“Menyerahlah, Kiai Telapak Jalak,” berkata Kiai Gringsing kemudian,
“tidak ada jalan lagi bagimu untuk meninggalkan arena ini.”
Kiai Telapak Jalak tidak menyahut. Tetapi ia justru menjadi semakin garang. Sekali-sekali ia masih mencoba menyerang juga, kemudian berusaha menembus dua lingkaran senjata, Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar.
Tetapi Kiai Telapak Jalak tidak berhasil. Kedua lawannya mempergunakan pula senjata sejenis dengan senjatanya sendiri. Senjata lentur.
“Menyerahlah,” sekali lagi terdengar suara Kiai Gringsing.
“Persetan!” geram Kiai Telapak Jalak.
“Jadi kau benar-benar tidak mau menyerah?”
“Aku menyerah setelah, aku terbujur menjadi mayat.”
“Kau memang jantan, Kiai Telapak Jalak,” berkata Kiai Gringsing,
“tetapi aku akan berusaha agar tidak terjadi demikian.”
Wajah Kiai Telapak Jalak menjadi semakin merah di bawah cahaya obor yang sudah mulai redup.
“Lihat, pasukanmu telah jauh didorong oleh para pengawal, orang-orang dari barak ini yang selama beberapa waktu menjadi bulan-bulanan orang-orangmu dan orang-orang Kiai Damar. Mereka hidup dalam ketakutan dan himpitan perasaan. Tetapi sekarang perasaan yang tidak tertahankan lagi itu telah meledak. Apalagi di antara mereka terdapat Raden Sutawijaya sendiri dan dua orang anak-anakku yang bersenjata cambuk.”
“Persetan, persetan! Aku bukan tikus yang takut melihat kucing. Batas ketakutan adalah mati. Dan aku tidak takut mati.”
“Tidak,” sahut Kiai Gringsing,
“masih ada yang lebih kau takuti daripada mati.”
“Tidak ada.”
“Ada. Kau tidak berani menyerah.”
“Gila. Aku belum gila seperti yang kau sangka. Aku masih tetap menyadari keadaanku. Dan aku akan memilih mati sebagai laki-laki daripada aku harus menyerah kepada kalian berdua.”

Kiai Gringsing tidak menjawab lagi. Memang tidak ada harapan untuk menunggu Kiai Telapak Jalak menyerah. Karena itu Kiai Telapak Jalak harus dipaksa untuk menyerah sebelum ia menjadi mayat. Satu-satunya jalan adalah membuatnya pingsan. Sudah tentu terpaksa sekali melukainya. Namun Kiai Gringsing berharap untuk dapat mengobatinya apabila luka itu tidak terlampau parah. Dengan demikian, maka tidak ada gunanya lagi menakut-nakuti, mengancam dan membujuknya. Yang dilakukan kemudian adalah tekanan-tekanan yang lebih berat terhadap Kiai Telapak Jalak. Apalagi Sumangkar mengerti sepenuhnya sikap Kiai Gringsing itu, sehingga ia pun menyerangnya semakin dahsyat pula. Kiai Telapak Jalak pun menjadi semakin bingung. Seakan-akan sudah tidak ada tempat lagi baginya untuk berpijak. Kemana pun ia berloncatan, kedua ujung senjata lawannya itu selalu mengejarnya. Tetapi ia tetap pada pendiriannya. Lebih baik dadanya pecah karena senjata daripada ia harus menyerah kepada kedua lawannya itu. Karena itulah maka ia masih tetap bertempur dengan gigihnya. Tetapi tenaganya yang semakin surut itu membuat geraknya semakin lamban. Sedangkan senjata Kiai Gringsing dan Sumangkar justru menjadi semakin cepat. Sebuah ledakan cambuk Kiai Gringsing telah mendorongnya ke samping. Tetapi Kiai Telapak Jalak terkejut bukan buatan, ketika terasa ujung trisula yang tajam telah menusuk pundaknya.


Halaman 1 2 3


<<< Jilid 059                                                                                                       Jilid 061 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar