Kiai Telapak Jalak mengerutkan keningnya. Ketika tampak olehnya cambuk itu, maka ia bergumam kepada diri sendiri,
“Inilah
agaknya orang bercambuk itu. Sudah tentu ia adalah orang pilihan. Kalau
orang-orang bercambuk yang masih muda itu mampu menggetarkan orang-orang Kiai
Damar, maka yang tua ini pun pasti dapat berbuat jauh lebih banyak lagi.” Dan
sadar pulalah Kiai Telapak Jalak, bahwa selama ini pastilah lawannya sedang
mencernakan obatnya di dalam tubuhnya. Dengan demikian, maka Kiai Telapak Jalak
pun tidak akan lengah lagi. Ia harus bertempur mati-matian. Untuk melawan
cambuk itu, ia tidak dapat mempergunakan senjata berjarak pendek sependek
kerisnya. Mungkin untuk melawan orang lain yang bersenjata apa pun juga, ia
tidak memerlukan senjata yang lain, tetapi melawan orang bercambuk ini, Kiai
Telapak Jalak memerlukan senjata yang lain untuk merangkapi keris pusakanya. Ketika
cambuk Kiai Gringsing mulai meledak, maka Kiai Telapak Jalak pun melepas rantai
yang membelit lambungnya. Dengan rantai di tangan kanan dan kerisnya di tangan
kiri, ia pun telah siap melawan Kiai Gringsing yang bersenjata cambuk itu. Pertempuran
itu pun kemudian menjadi semakin dahsyat. Kedua jenis senjata serupa itu
berdesingan di antara dentang senjata yang beradu di medan. Sambar-menyambar
dan desak-mendesak. Setiap kali kedua jenis senjata itu saling membelit, namun
kemudian dengan kekuatan raksasa yang tarik-menarik, belitan itu pun segera
terlepas dan perkelahian pun berlangsung pula lebih dahsyat lagi. Demikian pula
pertempuran yang berlangsung di seluruh arena. Sutawijaya yang bagaikan elang
berterbangan itu membuat lawan-lawannya menjadi ngeri dan bertanya-tanya di
dalam hati,
“Apakah Kiai
Damar dan Kiai Telapak Jalak tidak segera dapat menyelesaikan lawan-lawannya
dan membiarkan burung elang ini berterbangan menyambar-nyambar?”
Tetapi Kiai
Damar dan Kiai Telapak Jalak ternyata tidak muncul juga di arena yang panjang
itu. Hanya orang-orang yang bertempur di sekitarnya sajalah yang melihat kedua
orang kebanggaan mereka itu bertempur dengan sengitnya. Namun mereka pun segera
melihat juga, bahwa keduanya sama sekali tidak akan segera dapat mengatasi
lawan-lawannya. Apalagi Kiai Damar, yang selalu terdesak mundur betapa pun ia
berusaha menahan arus serangan Sumangkar. Tetapi Kiai Telapak Jalak pun segera
merasa, bahwa orang yang menyebut dirinya Truna Podang itu pun memiliki ilmu
yang tinggi. Di dalam pertempuran itu, Kiai Telapak Jalak merasakan bahwa Truna
Podang benar-benar telah menguasai ilmunya dalam ungkapan yang matang. Cambuk
yang berputar-putar seperti baling-baling. Lecutan yang tiba-tiba dan ayunan
mendatar yang menyambar lambung membuat Kiai Telapak Jalak harus berpikir
beberapa kali tentang lawannya.
Truna Podang
pasti bukan seorang yang sekedar pernah mendapat tempaan oleh seorang guru
padesan yang tinggal di padukuhan kecil dan sedikit mempelajari olah kanuragan
yang kasar, dan membentuknya sendiri setelah menyadap beberapa tata gerak alam
yang dikenalnya sehari-hari. Tetapi orang yang menamakan diri Truna Podang itu
pasti seorang yang mempelajari ilmunya berdasarkan atas pengamatan dan
pengolahan yang matang, sehingga seakan-akan Kiai Telapak Jalak merasa telah
berhadapan dengan Ki Gede Pemanahan sendiri. Dengan demikian maka
perlahan-lahan telah tumbuh kecemasan di hati Kiai Telapak Jalak. Apakah ia
benar-benar telah terjebak bersama Kiai Damar ke dalam jaring-jaring yang
memang sudah dipersiapkan.
“Persetan,”
Kiai Telapak Jalak menggeram.
Namun
bagaimana pun juga ia tetap tidak dapat mendesak lawannya. Rantainya yang
berdesing-desing dan kerisnya yang buram namun memancarkan pantulan cahaya
maut, sama sekali tidak berhasil mendesak Kiai Gringsing. Betapa pun Kiai
Telapak Jalak mengerahkan segenap kemampuannya. Bahkan setapak demi setapak ia
harus melangkah surut. Apalagi setelah beberapa lama orang-orang yang
ditugaskannya untuk menghancurkan barak tidak segera menunjukkan hasilnya.
Dengan demikian usahanya untuk menghancurkan ketahanan dan ketabahan hati
orang-orang dari barak itu beserta para pengawal tidak dapat berlangsung.
Ledakan-ledakan cambuk di kejauhan telah membuat hati Kiai Telapak Jalak
menjadi semakin cemas. Tetapi Kiai Telapak Jalak adalah orang yang matang di
dalam sikap dan tandang. Itulah sebabnya, ia masih tetap bertempur sekuat
tenaganya. Kelebihan Truna Podang dari padanya, bukanlah kelebihan yang
menentukan. Kalau Truna Podang berbuat sedikit kesalahan, maka ia masih
mempunyai harapan untuk membunuhnya. Dengan racun di kerisnya, atau langsung
menusuk pusat jantungnya. Sehingga karena itulah maka ia pun masih juga
bertempur sekuat tenaga.
Di medan yang
lain, di belakang barak, Agung Sedayu, Swandaru, serta kawan-kawannya
benar-benar telah berhasil menguasai medan. Lawan-lawan mereka sama sekali
sudah tidak berdaya. Beberapa orang terbaring di tanah dengan luka-luka di
tubuhnya, sedang beberapa orang yang lain, tidak lagi dapat menghindarkan diri
dari kematian, karena kelengahan mereka atau karena kemarahan orang dari barak
itu atau para pengawal. Tetapi kematian memang tidak dapat dihindarkan dari
peperangan, karena kematian adalah bunga dari peperangan. Apalagi karena di
antara orang-orang penghuni barak itu pun ada juga yang menjadi korban.
Kematian kawan-kawan mereka itulah yang telah membakar hati setiap orang,
sehingga apabila Agung Sedayu tidak berusaha mencegahnya kematian masih akan
bertambah-tambah.
“Mereka tidak
dapat menahan perasaan,” desis Swandaru.
“Itulah yang
harus kita jaga. Kalau keseimbangan perasaan itu tidak dapat dijaga, akibatnya
akan meniadi semakin parah.”
“Bukan salah
mereka. Mereka melihat kawan-kawan mereka terluka, apalagi ada pula yang
terbunuh.”
“Memang, bukan
salah mereka. Pergolakan perasaan yang terjadi di medan adalah wajar. Tetapi
alangkah baiknya kalau kita dapat mengendalikan diri. Tanpa menambah kematian,
tugas-tugas kita dapat kita selesaikan.”
“Memang bagus
sekali. Tetapi di seluruh Pajang dan Mataram, agaknya hanya ada seorang saja
yang mampu berbuat seperti kau, Kakang.”
“Guru
mengajarku.”
“O,” Swandaru
mengangguk-angguk, “dua. Yang seorang adalah guru sendiri.”
“Raden
Sutawijaya juga tidak membunuh lawan-lawannya yang sudah menyerah. Apalagi yang
sudah tidak berdaya.”
“Tiga. Tiga
dengan Raden Sutawijaya.”
“Sudah tentu
Raden Sutawijaya tidak berbuat demikian tanpa tuntunan.”
“Ki Gede
Pemanahan. Bukankah kau akan mengatakan bahwa Ki Gede Pemanahan juga pasti
berbuat demikian. Baiklah. Ternyata ada empat orang. Begitu? Apakah kau masih
akan menambah lagi.”
“Ya.”
“Siapa?”
“Swandaru
Geni. Bukankah begitu?”
“Macam kau,”
desis Swandaru, namun kemudian ia menjawab,
“Ya, Swandaru
memang seorang pengampun.”
Agung Sedayu
memandang wajah Swandaru sejenak. Namun kemudian ia pun tersenyum.
“Baiklah.
Marilah kita berbuat sesuatu. Lawan-lawan kita sudah tidak berdaya. Yang lain
melarikan diri.”
“Apakah kau
yakin bahwa mereka memang melarikan diri?”
“Aku yakin.”
Swandaru mengangguk-angguk,
lalu katanya,
“Biarlah
mereka yang terluka dirawat sebaik-baiknya. Kita melihat medan di depan barak.
Apakah mereka masih memerlukan tenaga?”
Agung Sedayu
merenung sejenak. Pertempuran di belakang barak itu sudah dapat dikatakan
selesai. Tidak ada lagi perlawanan yang berarti. Satu dua orang mencoba untuk
melepaskan diri. Tetapi mereka tidak dapat lagi menghindar karena luka-luka
mereka. Karena itu, maka Agung Sedayu pun berkata kepada seorang pengawal,
“Terserah
kepada Ki Sanak. Biarlah yang luka-luka mendapat perawatan. Kami berdua akan
pergi ke medan di depan barak.”
“Baiklah. Aku
akan menyelenggarakan penyelesaian sebaik-baiknya,” jawab pengawal itu.
Agung Sedayu
dan Swandaru pun kemudian pergi ke bagian depan barak yang masih dihangatkan
oleh perkelahian yang sengit. Obor-obor yang dinyalakan oleh orang-orang Kiai
Damar dan Kiai Telapak Jalak memberi banyak petunjuk kepada Agung Sedayu dan
Swandaru.
“Mereka
memerlukan obor-obor itu,” bisik Swandaru.
“Kiai Damar
yakin akan memenangkan perkelahian ini, sehingga untuk mempercepat
penyelesaian, mereka perlu dapat membedakan dengan segera, yang mana kawan dan
yang mana lawan-lawan yang harus dihancurkannya.”
“Tetapi
agaknya mereka tidak akan segera berhasil.”
Agung Sedayu
tidak menyahut. Dengan hati-hati mereka mendekati medan. Namun dengan demikian
segera dapat mereka lihat apa yang sebenarnya telah terjadi.
Pertempuran
yang sengit itu hampir dapat dikatakan seimbang. Namun Sutawijaya yang
menjelajahi medan memang membuat lawan mereka menjadi bingung. Tombaknya yang
berputar-putar bagaikan baling-baling membuat orang-orang Kiai Damar dan Kiai
Telapak Jalak berloncatan menjauh, semen-tara di beberapa tempat
pengawal-pengawal Sutawijaya dapat mem-pergunakan setiap kesempatan itu
sebaik-baiknya. Bahkan orang-orang yang tinggal di barak itu, yang semula mulai
menjadi kecut, perlahan-lahan telah tergugah lagi keberanian mereka. Meskipun
mereka tidak setangkas lawan, tetapi petunjuk-petunjuk yang mereka dapat untuk
bertempur berpasangan, ternyata sangat berguna bagi mereka, meskipun
petunjuk-petunjuk itu terlampau singkat.
“Apakah kita
akan ikut?” bertanya Swandaru.
“Kita belum
melihat, di mana Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak,” sahut Agung Sedayu.
“Itu urusan
guru dan Ki Sumangkar.”
“Ya. Tetapi
kita harus yakin, bahwa keduanya sudah menemukan lawan masing-masing.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Mereka tidak segera melibatkan diri dalam perkelahian itu. Sejenak
merasa masih sempat menyelusuri medan dan melihat sengitnya pertempuran. Keduanya
mengangguk-anggukkan kepalanya ketika mereka melihat, Bagaimana Kiai Damar berjuang
mati-matian untuk mengelakkan serangan Sumangkar yang melandanya bagaikan angin
taufan.
“Dukun sakti
yang bergelimang racun itu tidak akan dapat bertahan terlampau lama,” desis
Agung Sedayu.
“Ya. Ki
Sumangkar akan segera menyelesaikan.”
“Sekarang Kita
lihat, guru pasti sedang bertempur melawan Kiai Telapak Jalak.”
Dan keduanya
pun bergeser selangkah demi selangkah. Akhirnya mereka pun menemukan arena
perkelahian yang dahsyat antara Kiai Gringsing melawan Kiai Telapak Jalak.
Ternyata keduanya adalah orang-orang yang pilih tanding. Meskipun Kiai
Gringsing berhasil mendesaknya, namun belum merupakan suatu keyakinan bahwa ia
akan berhasil mengalahkan lawannya.
“Kita tidak
akan dapat mencampurinya,” desis Agung Sedayu.
“Lalu?”
bertanya Swandaru.
“Kita terjun
ke medan.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas ia melihat bayangan seseorang yang
melintas di medan dengan tombak yang berputar-putar.
“Itulah Raden
Sutawijaya,” berkata Agung Sedayu.
“Kita
mengikutinya.”
“Tidak perlu.
Kita membuat arena sendiri.”
Swandaru
menganggukkan kepalanya. Keduanya pun kemudian mendekati medan yang masih riuh.
“Kami akan
ikut serta di medan ini,” berkata Agung Sedayu kepada Raden Sutawijaya.
Sutawijaya
mundur selangkah. Jawabnya,
“Apakah
tugasmu sudah selesai?”
“Ya. Kami
sudah selesai.”
“Baiklah. Kita
tidak boleh gagal kali ini. Kita harus menyelesaikannya dengan tuntas.
Kesempatan seperti kali ini belum tentu akan terulang kembali.”
“Kami akan
berbuat sebaik-baiknya.”
“Kita membagi
medan. Kalian di sini. Aku di ujung yang lain.
“Ya. Kami akan
bertempur di sini.”
Sutawijaya pun
kemudian meloncat kembali menerjunkan diri ke medan. Tombaknya berputar semakin
cepat. Perlahan ia bergeser ke ujung pertempuran yang lain, sedang Agung Sedayu
dan Swandaru kini menghadapi tugas yang baru di medan yang riuh itu.
Sejenak
keduanya saling berpandangan. Kemudian terdengar Swandaru berdesis,
“Kita akan
mulai?”
“Ya. Marilah.”
Swandaru
mengangguk-angguk. Dan mereka berdua pun kemudian mulai mengayun-ayunkan cambuk
mereka.
Sejenak kemudian
Agung Sedayu dan Swandaru pun telah berada di tengah-tengah dentang senjata.
Sejenak mereka mengamati medan, dan sejenak kemudian Swandaru-lah yang
pertama-tama meledakkan cambuknya memekakkan telinga. Suara cambuk itu ternyata
telah mendebarkan setiap jantung. Beberapa orang yang bertempur tidak jauh dari
Kiai Telapak Jalak telah dibisingkan oleh ledakan-ledakan cambuk Kiai Gringsing
yang berhasil melawan Kiai Telapak Jalak. Kini di bagian lain dari medan itu
telah digetarkan oleh suara cambuk yang lain pula. Kehadiran Swandaru dan Agung
Sedayu ternyata benar-benar telah merubah keseimbangan medan. Meskipun
tampaknya mereka hanya berdua di antara pertempuran yang ramai, namun yang dua
orang itu mempunyai arti yang luas. Agung Sedayu dan Swandaru yang telah
melakukan latihan-latihan khusus untuk waktu yang lama, mempunyai pengaruh yang
besar bagi lawan-lawannya. Mereka berdua tidak sekedar mengikat dua orang
lawan, tetapi masing-masing telah bertempur melawan beberapa orang sekaligus.
Seperti Sutawijaya, Agung Sedayu dan Swandaru bergerak meskipun tidak begitu
luas di sepanjang separo lingkaran medan. Sedang Sutawijaya bergerak di bagian
yang lain. Satu demi satu lawan-lawan kedua anak-anak muda itu dilumpuhkan.
Ujung cambuk mereka yang meledak-ledak, mampu menyobek kulit dan meninggalkan
goresan-goresan yang merah biru di tubuh lawan. Kiai Damar dan Kiai Telapak
Jalak tidak dapat mengingkari lagi kenyataan yang terjadi di medan. Apalagi
Kiai Telapak Jalak yang menganggap selama ini Kiai Damar tidak mampu melakukan
tugasnya karena gangguan-gangguan kecil. Tetapi ternyata bahwa orang-orang yang
ada di dalam barak itu bukan sekedar gangguan-gangguan kecil seperti yang
disangkanya. Kini ia harus mengalami sendiri, betapa beratnya bertempur melawan
mereka. Selain orang-orang yang aneh, yang tidak sewajarnya berada di antara
orang-orang yang sedang membuka hutan, ternyata penghuni barak itu pun sudah
tidak dapat lagi ditakut-takuti dengan gemerincingnya kaki-kaki kuda semberani,
dengan tengkorak yang bercahaya karena dilekati kunang-kunang setelah dioles
dengan getah yang lekat.
Orang-orang
yang tinggal di barak itu ternyata justru telah berani mengangkat senjata untuk
melawan mereka di medan pertempuran bersama-sama para pengawal yang jumlahnya
tidak begitu banyak.
“Kalau saja
keadaan di barak ini wajar,” berkata Kiai Telapak Jalak di dalam hatinya,
“mereka pasti
sudah hancur. Mereka pasti sudah binasa sampai ke akar-akarnya. Perempuan dan
anak-anak, dan bahkan Sutawijaya pun akan binasa pula di sini.”
Tetapi
kenyataan yang dihadapi benar-benar di luar perhitungan mereka. Dua orang di
antara mereka berhasil menghadapi Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak. Bukan saja
menahan keduanya, tetapi bahkan mendesaknya. Demikianlah maka lambat laun akhir
dari pertempuran itu menjadi semakin jelas. Betapa pun juga orang-orang Kiai
Damar dan Kiai Telapak Jalak bertempur dengan cara mereka, namun mereka tidak
berhasil mendesak lawannya. Mereka tidak lagi dapat menakut-nakuti lawannya.
Karena dengan cara itu justru telah membuat Swandaru tertawa terbahak-bahak.
Ketika ada seorang yang menyerangnya sambil berteriak, maka dengan tangkasnya
Swandaru bergeser sambil meledakkan cambuknya untuk membuat lawannya itu
terdiam. Bahkan menitikkan darah. Kiai Damar pun semakin lama menjadi semakin
parah. Betapa pun ia berusaha, namun ia tidak akan dapat mengalahkan Sumangkar
yang selalu mendesaknya. Yang paling menyakitkan hati Kiai Damar ialah usaha
Sumangkar untuk mengalahkannya dengan memaksanya memeras tenaga sehingga ia
akan menjadi lelah dan tidak mampu melawan lagi. Meskipun kadang-kadang
Sumangkar mendapat kesempatan untuk mendesaknya dan bahkan membinasakannya,
namun Sumangkar agaknya masih juga merasa segan.
Sebenarnyalah
Sumangkar mengetahui kepentingan Sutawijaya dengan lawannya. Kalau salah
seorang dari pemimpin mereka itu dapat ditangkap hidup-hidup, maka Sutawijaya
akan mendapat kesempatan untuk menyadap keterangan dari padanya. Dan Kiai Damar
adalah salah seorang dari pemimpin-pemimpin itu. Menurut perhitungan Sumangkar,
lebih mudah menangkap Kiai Damar dari pada Kiai Telapak Jalak, karena menurut
penilaian Sumangkar, Kiai Telapak Jalak agaknya memiliki kemampuan yang lebih
besar dari Kiai Damar. Sumangkar berusaha untuk membuat Kiai Damar tidak
berdaya dan kehilangan kemampuan perlawanannya. Dengan menekan Kiai Damar
terus-menurus, tanpa memberinya kesempatan bernafas, Sumangkar mengharap orang
itu kehabisan tenaga. Tetapi agaknya Kiai Damar menyadarinya, sehingga karena
itu, maka ia pun telah berusaha untuk melepaskan dirinya. Ia tidak bernafsu
lagi membunuh lawannya dengan senjata-senjata beracun, karena ia yakin bahwa di
antara orang-orang aneh yang tinggal di barak itu pasti ada yang memiliki
kemampuan yang besar untuk melawan racun, sehingga racun tidak akan lagi
mempunyai banyak arti. Sebagai seorang yang mengerti tentang racun, Kiai Damar
pun mengerti, bahwa seseorang dapat membekali dirinya dengan obat-obat untuk
menawarkan diri, setidak-tidaknya untuk mengurangi kekuatan racun yang
menyerang urat darahnya. Dalam menghadapi Sumangkar, Kiai Damar ingin
mempergunakan cara yang lain. Seperti cara yang sering dipergunakan, maka ia
tidak segan mengorbankan anak buahnya untuk kepentingannya. Ketika ia mengalami
kesulitan yang memuncak, maka terdengarlah suara isyarat dari mulutnya.
Mula-mula Sumangkar tertegun sejenak mendengar isyarat itu. Namun ia segera
menyadari, bahwa Kiai Damar telah berusaha untuk merubah keseimbangan
perkelahian itu. Ternyata setelah isyarat itu bergema di medan pertempuran yang
bergeser semakin jauh dari barak itu, empat orang pengawal pilihan Kiai Damar
telah berloncatan mendekatinya. Seperti yang dipesankan oleh Kiai Damar,
apabila diperlukan, mereka harus datang dan membantunya menghadapi
musuh-musuhnya. Meskipun dengan demikian, orang-orangnya yang lain mengalami
banyak kesulitan, namun Kiai Damar tidak mempedulikan. Kepada mereka Kiai Damar
selalu memberikan alasan yang tampaknya masuk akal. Dalam keadaan yang
demikian, maka alasan yang paling baik yang dipergunakan oleh Kiai Damar
adalah, bahwa lawannya yang paling berat itu harus segera dibinasakan. Dengan
demikian maka ia akan segera dapat membantu kesulitan-kesulitan yang lain di
dalam pasukannya. Demikianlah maka sesaat kemudian Sumangkar harus menghadapi
lima orang sekaligus. Kiai Damar dan empat orang kepercayaannya. Meskipun Ki
Sumangkar mempunyai kelebihan dari Kiai Damar, tetapi untuk melawan lima orang
sekaligus, terasa juga betapa beratnya. Kiai Damar yang merupakan pusat dari
perlawanan, menghadapi Ki Sumangkar dari depan. Sedang empat orang yang lain
menyerangnya dari segenap arah. Dengan memeras kemampuannya, Sumangkar masih
tetap dapat mempertahankan dirinya. Betapa dahsyatnya serangan-serangan
lawannya, namun Sumangkar masih selalu mendapat kesempatan untuk menghindar.
Bahkan sekali-sekali ia masih juga mampu menyerang. Namun lambat laun, karena
Sumangkar telah mengerahkan segenap kemampuannya, tenaganya terasa menjadi
semakin susut.
Dengan
demikian, Sumangkar terpaksa menempuh usaha yang lain. Ia tidak dapat memaksa
dirinya untuk berkelahi tanpa melukai lawannya Bahkan seandainya lawannya
terbunuh juga, maka itu di luar kemampuannya, meskipun ia masih tetap berusaha
menangkapnya hidup-hidup. Tetapi sudah tentu bahwa Sumangkar sendiri tidak
ingin dirinya sendirilah yang justru menjadi korban. Karena itu, kemudian
Sumangkar bukan saja memeras segenap kemampuannya, tetapi juga tidak lagi
sangat berhati-hati agar tidak menimbulkan kematian pada lawannya, terutama
Kiai Damar.
“Kalau aku
masih tetap bertempur dengan cara ini, maka pada akhirnya, akulah yang akan
menjadi mayat di medan ini,” katanya di dalam hati.
Dengan
demikian, maka tandang Sumangkar pun segera berubah. Senjatanya semakin cepat
berputar. Kini pengerahan tenaganya tidak saja ditujukan kepada keempat kawan
Kiai Damar, dan sebagian yang lain untuk menghindarkan diri dari ujung senjata
lawannya, namun kini justru ia memusatkan serangannya kepada Kiai Damar. Kiai
Damar dan kawan-kawannya pun kemudian mengerahkan segenap kemampuan mereka
pula. Kalau mereka segera berhasil membinasakan Sumangkar, maka mereka akan
segera dapat membantu kawan-kawannya di dalam pertempuran yang berlangsung itu.
Karena itulah maka pertempuran itu menjadi semakin ribut dan sengit. Senjata
masing-masing berputaran dan menyambar-nyambar. Semakin lama mereka semakin
dalam terbenam dalam perkelahian yang seru. Betapa pun juga Kiai Damar
berusaha, tetapi bersama kawan-kawannya ia tidak dapat segera mengalahkan
Sumangkar. Apalagi ketika Sumangkar tidak lagi mengekang diri, sehingga justru
senjatanyalah yang telah menguasai arena perkelahian itu. Namun Sumangkar
terlonjak dan terkejut bukan buatan, ketika terasa ujung senjata telah
menyengat lengannya. Tanpa sesadarnya tangan kirinya telah merabanya, dan
terasa titik darah yang hangat memerah di telapak tangannya itu. Dengan
geramnya Sumangkar menggeretakkan giginya Ternyata ialah yang telah terluka
lebih dahulu. Ujung tombak salah seorang lawannya telah menyentuh lengannya dan
melukainya.
“Persetan,” ia
pun kemudian menggeram.
Luka itulah
yang telah membakar jantungnya. Ditatapnya lawannya berganti-ganti. Sorot
matanya yang memancarkan kemarahan, menjadi merah di dalam cahaya obor yang
bergetar ditiup angin malam.
“Aku akan
membunuh kalian,” desisnya.
Lawan-lawannya
bergetar mendengar suara Sumangkar yang berat itu. Namun darah yang menitik dan
luka Sumangkar, membuat lawan-lawannya itu agak berbesar hati. Ternyata
Sumangkar dapat juga dilukai dan menitikkan darah. Dengan demikian, maka mereka
harus berusaha terus-menerus untuk menambah luka di tubuh orang itu. Tetapi
Sumangkar menyadari keadaannya. Karena itu, ia pun kemudian bertempur seperti
angin pusaran. Berputaran menggulung lawannya dalam suatu putaran yang
membingungkan. Senjatanya terjulur semakin dalam dan berputar di atas
kepalanya. Tetapi ujung-ujung trisulanya menyambar menebarkan udara maut. Sejenak
kemudian di dalam lingkaran perkelahian itu terdengar keluhan tertahan.
Ternyata bahwa ujung senjata Sumangkar telah berhasil menyambar punggung
seorang lawannya yang sedang berusaha menjauhinya. Tetapi terlambat. Punggung
itu bagaikan sobek melintang, mengucurkan darah. Namun bersamaan dengan itu,
lawannya yang lain telah berhasil menyentuh tubuh Sumangkar pula. Kali ini
mengenai pahanya dan membuat luka pula, meskipun hanya segores kecil. Kemarahan
Sumangkar pun menjadi semakin memuncak. Dan tiba-tiba saja serangannya menjadi
semakin cepat seperti badai. Kini sasaran utamanya justru Kiai Damar sendiri,
karena orang itulah orang yang paling kuat dan paling banyak menghisap
tenaganya namun memberikan kesempatan kepada kawan-kawannya untuk melukainya
sedikit demi sedikit.
“Persetan,”
Sumangkar menggeram, “aku akan membunuhmu. Bukan salahku.”
Dan tekanan
yang dahsyat pun kemudian melanda Kiai Damar. Dengan susah payah ia mengerahkan
tenaganya untuk menghindarkan diri dari amukan badai yang melanda dirinya.
Bahkan kawan-kawannya pun telah membantunya melawan amukan Sumangkar. Namun
usaha mereka itu rasa-rasanya sia-sia. Sumangkar benar-benar telah sampai ke
puncak kemampuannya, sehingga akhir dari pertempuran itu pun sudah menjadi
semakin jelas membayang. Seolah-olah setiap orang sudah dapat meramalkannya,
apa yang akan terjadi. Agaknya luka-luka di tubuh Sumangkar telah membuatnya
marah tiada taranya, sehingga dengan demikian ia sudah kehilangan segala macam
pertimbangan untuk menangkap lawannya hidup-hidup.
Ketika
perasaan yang pedih menyengat tubuhnya karena luka-lukanya, maka dengan segenap
kemampuan yang ada ia menghentakkan senjatanya. Memutarnya dan tiba-tiba ia
merubah arah putarannya. Dengan dahsyatnya ujung senjata yang berantai itu
mematuk ke dada Kiai Damar. Serangan itu benar-benar mengejutkan. Tetapi Kiai
Damar masih sempat mengelakkan dirinya. Dengan sigapnya ia meloncat surut.
Sambil berputar kiai Damar memiringkan tubuhnya, sehingga senjata lawan itu lewat
di sisi tubuhnya. Tetapi Sumangkar tidak melepaskannya. Sekali diputarnya
senjatanya di atas kepalanya untuk mencegah serangan-serangan yang datang dari
kawan-kawan Kiai Damar, kemudian sebuah serangan sendal pancing sekali lagi
mengejar Kiai Damar. Kiai Damar yang sedang mencoba memperbaiki keadaannya
sekali lagi terkejut. Sekali lagi ia melangkah surut. Namun kali ini Sumangkar
tidak mau melepaskannya lagi. Titik darah dari luka di tubuhnya telah
membuatnya sampai ke puncak kemarahan. Tiba-tiba saja Sumangkar itu merendah
pada lututnya sambil melemparkan senjatanya. Kemudian memutarnya rendah
setinggi lambung. Kali ini Kiai Damar tidak sempat mengelak lagi. Dengan
segenap kemampuannya ia mencoba memukul senjata Sumangkar itu dengan
senjatanya. Namun Sumangkar benar-benar menguasai jenis senjatanya yang baru
itu, sehingga dengan menghentakkan rantai di tangannya, Kiai Damar tidak
berhasil menyentuh senjata lawannya. Bahkan begitu senjatanya terayun, ujung
senjata Sumangkar mematuk dengan cepatnya. Tidak ada kesempatan buat menghindar
dan menangkis. Senjata Sumangkar itu meluncur bagaikan kilat di langit. Begitu
cepat dan deras, sehingga meskipun Kiai Damar masih mencoba memiringkan
tubuhnya, namun senjata itu berhasil mengenai dadanya. Terdengar, pekik yang
terputus. Kiai Damar terdorong beberapa langkah surut. Namun ketika Sumangkar
menarik senjatanya, Kiai Damar tersentak selangkah maju, kemudian jatuh
tertelungkup. Kiai Damar tidak sempat bangkit kembali. Ia hanya dapat bergerak
setapak maju dan memutar tubuhnya menelentang. Namun kemudian tangannya
terkulai di sisi tubuhnya. Orang yang selama ini membuat seisi barak itu
ketakutan, dan membuat Alas Mentaok di ujung ini menjadi penuh rahasia dan
teka-teki, kini sudah tidak ada lagi. Kemarahan Sumangkar yang terluka dan
menghadapi beberapa orang lawan sekaligus telah mengakhiri hidupnya dengan luka
yang menganga di dadanya. Kematian Kiai Damar telah menggemparkan anak buahnya.
Orang-orang yang bertempur bersamanya melawan Sumangkar tiba-tiba berloncatan
menjauh. Bagi mereka, Kiai Damar adalah seorang yang pilih tanding. Namun orang
itu kini tergolek tidak bernyawa. Sejenak Sumangkar berdiri mematung memandangi
mayat Kiai Damar. Barulah ia menemukan kesadarannya kembali tentang pentingnya
orang yang bernama Kiai Damar itu apabila ia dapat menangkapnya hidup-hidup.
Tetapi kesadarannya itu telah terlambat, karena Kiai Damar telah terbunuh oleh
kemarahannya.
“Seandainya
orang itu masih hidup,” desis Sumangkar di dalam hatinya. Kini seolah-olah ia
melihat di dalam dada Kiai Damar yang terbelah itu tersimpan berbagai macam
keterangan tentang rahasia yang selama ini menyelubungi Alas Mentaok. Namun
bersama dengan kematiannya, maka rahasia itu masih belum dapat terungkap
seluruhnya.
“Mudah-mudahan
Kiai Gringsing mampu menahan perasaannya. Mudah-mudahan ia tidak diamuk oleh
kemarahan, sehingga ia berhasil menangkap lawannya hidup-hidup,” berkata Ki
Sumangkar di dalam hatinya.
Namun
tiba-tiba terbersit suatu ingatan, seandainya Kiai Telapak Jalak masih
bertempur melawan Kiai Gringsing, maka ia akan dapat membantunya, menangkap
orang itu hidup-hidup.
Oleh pikiran
itu, Ki Sumangkar pun segera meninggalkan tempatnya. Ternyata lawan-lawannya
tidak seorang pun yang berani menghalanginya. Dibiarkannya Sumangkar pergi ke
mana pun yang dikehendaki. Sambil berjalan Sumangkar menilai luka-luka di
tubuhnya. Ternyata luka itu sama sekali tidak berbahaya. Namun demikian, ia pun
terpaksa berhenti sejenak, menaburkan serbuk obat yang dapat memampatkan darah.
Ketika baru saja ia melangkah, maka ia pun tertegun pula. Dilihatnya seseorang
bertempur dengan dahsyatnya. Menyambar-nyambar dengan tombak di tangan.
“Hem,”
Sumangkar menarik nafas, “Raden Sutawijaya.”
Maka
ditinggalkannya Sutawijaya yang sedang bertempur itu. Ia bergeser semakin jauh
mencari Kiai Telapak Jalak yang pasti sudah bertempur melawan Kiai Gringsing. Namun
sekali lagi ia tertegun. Suara cambuk meledak-ledak memekakkan telinga. Sekilas
Sumangkar melihat Agung Sedayu dan Swandaru mendesak lawannya tanpa tertahankan
lagi.
“Sebenarnya
pertempuran ini sudah akan berakhir,” gumamnya.
“Di semua
bagian dari medan, mereka terdesak terus. Kunci dari persoalan ini terletak
pada Kiai Telapak Jalak. Mudah-mudahan aku tidak terlambat.”
Sumangkar pun
kemudian mempercepat langkahnya. Kalau mungkin Kiai Telapak Jalak harus
tertangkap hidup-hidup untuk mendapatkan beberapa keterangan tentang perbuatan
mereka selama ini. Untuk mendapatkan keterangan siapakah yang ada di antara
mereka dan yang penting, siapakah penggerak yang sebenarnya. Kiai Telapak Jalak
sendiri atau masih ada orang lain lagi di sampingnya. Sejenak kemudian Ki
Sumangkar itu pun telah menjadi semakin dekat dengan arena perkelahian antara
Kiai Gringsing dan Telapak Jalak. Sumangkar sudah mendengar lecutan cambuk yang
meledak-ledak, melampaui getar ledakan cambuk Agung Sedayu dan Swandaru.
“Agaknya
perkelahian itu sangat sengit,” berkata Ki Sumangkar di dalam hati.
Ternyata
seperti yang diduganya. Ketika ia menjadi semakin dekat, maka dilihatnya
perkelahian yang semakin dahsyat. Baik Kiai Telapak Jalak, mau pun Kiai
Gringsing telah berada di dalam puncak kemampuannya. Dan agaknya Kiai Telapak
Jalak pun termasuk seorang yang pilih tanding.
Meskipun
dengan pasti Kiai Griugsing dapat mendesak lawannya, namun masih diperlukan
waktu yang lama untuk dapat menguasai Kiai Telapak Jalak sepenuhnya. Apalagi
Sumangkar pun melihat, bahwa di tangan Kiai Telapak Jalak tergenggam senjata
yang beracun, sedang di tangan yang lain seutas rantai yang diputarnya seperti
baling-baling.
“Hem,” desis Sumangkar,
“racun itu memang berbahaya.”
Karena itu
maka Sumangkar pun menjadi berhati-hati. Ia sadar, bahwa racun itu dapat
mengantar seseorang ke lubang kubur. Tetapi ia pernah mendapat sejenis obat
yang diberikan oleh Kiai Griugsing untuk mengurangi ketajaman racun yang
mengenainya. Untuk mengurangi kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi
atas dirinya, maka Sumangkar pun kemudian mengambil obat itu dan ditelannya
pula. Dengan demikian, maka kemungkinan yang berbahaya atas dirinya, dapat
dikurangi sekecil-kecilnya. Sejenak tubuh Ki Sumangkar pun terasa menjadi
panas. Bahkan ia merasa dadanya bergetar. Obat itu agaknya telah mulai menjalar
ke seluruh tubuhnya. Sehingga dengan demikian untuk beberapa saat, ia akan
menjadi orang yang agak kebal terhadap racun, selama daya kekuatan obat itu
masih bekerja di tubuhnya. Setelah tubuhnya tidak lagi merasa gemetar, maka Ki
Sumangkar pun melangkah semakin cepat dari arena perkelahian yang sangat
dahsyat itu. Kehadirannya telah mengejutkan Kiai Telapak Jalak. Ia masih belum
mengerti, sampai berapa jauh kemampuan Ki Sumangkar. Tetapi menilik sikap dan
tatapan matanya, orang ini pasti bukan penghuni kebanyakan dari barak itu.
Orang ini pasti salah seorang dari penghuni-penghuni aneh dari barak yang akan
dihancurkannya.
“Betapa
tangkasnya orang yang agaknya bernama Kiai Telapak Jalak,” terdengar suara
Sumangkar.
“Ya. Seorang
yang pilih tanding,” sahut Kiai Gringsing.
Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya perkelahian yang semakin dahsyat
karena keduanya benar-benar telah mengerahkan puncak kemampuan mereka.
“Bagaimana
dengan kau?” bertanya Kiai Gringsing.
“Aku sudah
selesai. Tetapi sayang sekali, aku tidak berhasil menangkapnya hidup-hidup.”
“Jadi?”
Sumangkar
tidak segera menjawab. Ia melihat serangan Telapak Jalak yang tiba-tiba saja
hampir mengenai tangan Kiai Gringsing. Untunglah ia dengan cepat dan tepat pada
waktunya menarik tangannya, sehingga keris Kiai Telapak Jalak tidak
menyentuhnya sama sekali.
“Aku terpaksa
membunuhnya. Kiai Damar bertempur bersama-sama dengan empat orang pengawalnya,
sehingga aku terluka,” berkata Sumangkar sambil melihat perkelahian itu.
“Luka itulah
yang membuat aku kehilangan kesempatan untuk menangkapnya hidup-hidup. Apalagi
di antara lima orang lawan.”
“Jadi Kiai Damar
terbunuh?” Kiai Gringsing menegaskan.
“Ya.”
“Bohong!”
tiba-tiba Kiai Telapak Jalak memotong.
“Kalian
berbohong. Kalian sengaja membuat ceritera itu untuk mempengaruhi gairah
perlawananku. Kalian telah mempergunakan cara yang paling licik di dalam pertempuran
ini.”
“Apakah
gunanya aku berbohong,” desis Sumangkar,
“bukan saja
Kiai Damar, tetapi orang-orangmu yang lain pun telah menjadi pecah berserakan.
Mereka tidak akan mampu melawan Raden Sutawijaya dan kedua anak-anak muda yang
bersenjata cambuk itu pula. Apalagi sepeninggal Kiai Damar.”
“Bohong, aku
tidak percaya.”
“Baiklah.
Terserah kepadamu, apakah kau akan mempercayainya atau tidak. Tetapi
kedatanganku kemari adalah karena aku sudah tidak mempunyai tugas lagi di ujung
lain dari pertempuran ini. Aku mengharap bahwa di sini aku akan dapat bekerja
bersama lawanmu itu untuk menangkapmu hidup-hidup.”
“Gila. Kau
menghina aku.”
“Aku berniat
demikian. Terserah, apakah Ki Truna Podang setuju.”
Kiai Gringsing
menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi ia percaya bahwa Kiai Damar memang sudah
terbunuh. Karena itu, maka ia pun mulai mempertimbangkan kemungkinan untuk
menangkap Kiai Telapak Jalak hidup-hidup. Sejenak Kiai Gringsing tidak
menyahut. Tetapi serangan Kiai Telapak Jalak justru menjadi semakin dahsyat.
Seakan-akan Kiai Telapak Jalak ingin menunjukkan bahwa ia tidak akan dapat
dengan mudah dikalahkan. Namun kehadiran Sumangkar itu benar-benar telah
merupakan sebuah persoalan baginya. Kalau benar orang itu berusaha bersama
Truna Podang untuk menangkapnya hidup-hidup, apakah ia akan dapat melepaskan
diri, apalagi mengalahkan keduanya? Kiai Telapak Jalak tidak dapat mengingkari,
bahwa untuk melawan Truna Podang seorang diri, ia sudah mengalami kesulitan,
apalagi melawan dua orang yang agaknya mempunyai ilmu yang setingkat, atau
setidak-tidaknya tidak banyak berselisih. Tetapi Kiai Telapak Jalak tidak
segera silau terhadap angan-angannya itu. Ia masih ingin membuktikan, apakah
benar-benar ia tidak dapat melawan keduanya atau melepaskan diri dari keduanya.
Demikianlah maka Kiai Telapak Jalak masih juga bertempur. Tetapi ketika
Sumangkar benar-benar telah mulai, meskipun baru beberapa saat, telah terasa
padanya, bahwa kekuatan kedua orang itu merupakan kekuatan yang tidak akan
dapat terlawan. Karena itu, maka ia pun kemudian berkata,
“O, inikah
cara kalian bertempur? Kalau kalian tidak mampu bertempur sendiri, maka kalian
mulai bertempur berpasangan?”
Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya, namun kemudian ia menjawab,
“Agaknya
memang demikian cara kita bertempur di peperangan. Memang agak lain dengan
apabila kita sudah berjanji untuk melakukan perang tanding. Kiai Damar dan Kiai
Telapak Jalak tidak menghiraukan berapa orang yang bertempur dalam perang
brubuh itu. Mungkin berpasangan, mungkin justru sekelompok lawan sekelompak
yang jumlahnya tidak perlu diatur sama.”
“Tetapi mereka
adalah orang-orang yang tidak berarti. Mereka bukan pimpinan pasukan apalagi
senapati.”
“Tidak ada
bedanya di peperangan. Aku juga bukan pemimpin pasukan, dan juga bukan
senapati.”
“Pengecut.
Tetapi kau pasti orang penting di sini.”
“Kiai Damar
berkelahi bersama empat orang kawannya,” sahut Sumangkar,
“sehingga aku
harus bertempur melawan lima orang sekaligus termasuk Kiai Damar.”
“Omong
kosong!”
“Terserah
kepadamu. Tetapi aku tidak melihat keberatan apa pun untuk berperang dalam
pasangan,” berkata Sumangkar pula.
“Tetapi aku
dapat menantang kalian untuk berperang tanding seorang lawan seorang.”
“Terlambat.
Kalau kau ajukan tantangan itu sejak kau datang, maka salah seorang dari kami
pasti akan melayaninya. Tetapi kali ini tidak. Kami akan tetap bertempur
berpasangan. Sebenarnya aku yakin bahwa aku akan dapat menyelesaikan
pertempuran ini kalau aku hanya sekedar ingin membunuhmu. Tetapi sekarang aku
ingin menangkapmu. Menangkapmu hidup-hidup, sehingga untuk itu justru akan jauh
lebih sukar.”
“Persetan!”
Kiai Telapak Jalak menggeram. Ia merasa benar-benar terhina. Tetapi ia tidak
dapat mengingkari kenyataan. Agaknya ia telah terjebak memasuki sarang harimau
lapar bersama Kiai Damar. Ia tidak mengira sama sekali, bahwa di dalam barak
ini ada orang-orang yang memiliki kemampuan begitu tinggi.
“Aku terlampau
meremehkan laporan Kiai Damar,” berkata Kiai Telapak Jalak di dalam hatinya.
“Aku sangka
Kiai Damar sekedar menyembunyikan kelemahan. Tetapi ternyata kini aku
benar-benar terperangkap.”
Meskipun
demikian, Kiai Telapak Jalak masih berusaha terus. Ia kini tidak lagi berjuang
untuk mengalahkan lawannya, tetapi sekedar untuk melepaskan dirinya. Kalau ia
tertangkap hidup-hidup, maka ia pasti akan diperas untuk memberikan
keterangan-tentang semua perbuatannya bersama Kiai Damar. Ia harus
mempertanggung jawabkannya dan menyebut beberapa nama yang berhubungan dengan
itu.
“Tidak, itu
tidak mungkin,” berkata Kiai Telapak Jalak,
“salah seorang
dari kami harus tetap hidup. Kalau aku mati biarlah aku mati, tetapi adikku itu
harus tetap hidup untuk menyambung nama keluarga kami. Sokurlah bahwa pada
suatu saat ia berhasil dengan usahanya, dan membalaskan dendam sakit hatiku.
Tetapi mulutku tidak boleh menyebut namanya dalam keadaan apa pun juga. Ia
harus tetap berada di istana Pajang dan berbuat sesuai dengan keadaan yang akan
berkembang kemudian.”
Karena itulah
maka tidak ada tanda-tanda sama sekali bahwa Kiai Telapak Jalak akan menyerah.
Bagaimana pun juga, ia masih tetap bertempur dengan gigihnya. Bahkan orang itu
sama sekali sudah tidak mengenal takut lagi.
Memang tidak
mudah menangkap orang seperti Kiai Telapak Jalak, karena ia telah berbuat atas
dasar suatu keyakinan. Salah atau benar, maka orang seperti Kiai Telapak Jalak
sangat sulit untuk ditundukkan. Mungkin jasmaniahnya dapat dihancurkan, tetapi
ia pasti akan mati bersama keyakinannya.
“Apa boleh
buat,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya,
“aku terpaksa
melukainya. Mungkin membuatnya pingsan. Kalau tidak, mustahil aku berhasil
menangkapnya. Apalagi keris beracun itu masih tetap di tangannya meskipun sudah
menelan penawarnya.”
Karena itu,
maka Kiai Gringsing pun mempertajam serangannya. Ia tidak menghindarkan
kemungkinan melukai lawannya, sehingga dengan demikian, maka ledakan cambuknya
menjadi kian dahsyat pula. Sumangkar agaknya mengerti pula keputusan sikap yang
diambil oleh Kiai Gringsing, sehingga ia pun perlu mengimbanginya. Trisula
keduanya pun berputaran semakin cepat menyambar-nyambar, kemudian mematuk dengan
dahsyatnya.
“Setan alas!”
Kiai Telapak Jalak mengumpat. Serangan-serangan itu benar-benar telah
membingungkannya. Ia tidak dapat menghindarkan diri dari serangan-serangan yang
datangnya seperti banjir yang melandanya dari segenap arah, meskipun ia sudah
berloncatan bagaikan berdiri di atas seonggok bara.
Maka, ketika
serangan kedua orang-orang tua yang memiliki ilmu yang melampaui manusia
kebanyakan itu datang semakin cepat, maka sampailah saatnya Kiai Telapak Jalak
tidak dapat meningkatkan lagi kemampuannya. Kemampuan manusia yang terbatas
pula. Ternyata bahwa batas itu pada suatu saat tidak lagi dapat dilampauinya
betapa pun ia berusaha. Demikianlah, maka ketika Kiai Telapak Jalak menghindari
patukan ujung-ujung trisula Sumangkar, ia tidak mampu lagi berbuat apa pun juga
ketika ujung cambuk Kiai Gringsing mengenainya. Yang terdengar di antara
ledakan cambuk itu adalah desis yang tertahan. Bahkan kemudian Kiai Telapak
Jalak mengumpat sambil berusaha meloncat sejauh-jauh dapat dilakukan. Namun,
demikian ia menjejakkan kakinya di atas tanah, serangan Sumangkar telah
mengejarnya.
“Setan alas!”
Kiai Telapak Jalak mengumpat-umpat. Sebuah goresan yang merah biru telah
melingkar di lengannya, di bawah bajunya yang tersayat.
“Menyerahlah,
Kiai Telapak Jalak,” berkata Kiai Gringsing kemudian,
“tidak ada
jalan lagi bagimu untuk meninggalkan arena ini.”
Kiai Telapak
Jalak tidak menyahut. Tetapi ia justru menjadi semakin garang. Sekali-sekali ia
masih mencoba menyerang juga, kemudian berusaha menembus dua lingkaran senjata,
Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar.
Tetapi Kiai
Telapak Jalak tidak berhasil. Kedua lawannya mempergunakan pula senjata sejenis
dengan senjatanya sendiri. Senjata lentur.
“Menyerahlah,”
sekali lagi terdengar suara Kiai Gringsing.
“Persetan!”
geram Kiai Telapak Jalak.
“Jadi kau
benar-benar tidak mau menyerah?”
“Aku menyerah
setelah, aku terbujur menjadi mayat.”
“Kau memang
jantan, Kiai Telapak Jalak,” berkata Kiai Gringsing,
“tetapi aku
akan berusaha agar tidak terjadi demikian.”
Wajah Kiai
Telapak Jalak menjadi semakin merah di bawah cahaya obor yang sudah mulai
redup.
“Lihat,
pasukanmu telah jauh didorong oleh para pengawal, orang-orang dari barak ini
yang selama beberapa waktu menjadi bulan-bulanan orang-orangmu dan orang-orang
Kiai Damar. Mereka hidup dalam ketakutan dan himpitan perasaan. Tetapi sekarang
perasaan yang tidak tertahankan lagi itu telah meledak. Apalagi di antara
mereka terdapat Raden Sutawijaya sendiri dan dua orang anak-anakku yang
bersenjata cambuk.”
“Persetan,
persetan! Aku bukan tikus yang takut melihat kucing. Batas ketakutan adalah
mati. Dan aku tidak takut mati.”
“Tidak,” sahut
Kiai Gringsing,
“masih ada
yang lebih kau takuti daripada mati.”
“Tidak ada.”
“Ada. Kau
tidak berani menyerah.”
“Gila. Aku
belum gila seperti yang kau sangka. Aku masih tetap menyadari keadaanku. Dan
aku akan memilih mati sebagai laki-laki daripada aku harus menyerah kepada
kalian berdua.”
Kiai Gringsing
tidak menjawab lagi. Memang tidak ada harapan untuk menunggu Kiai Telapak Jalak
menyerah. Karena itu Kiai Telapak Jalak harus dipaksa untuk menyerah sebelum ia
menjadi mayat. Satu-satunya jalan adalah membuatnya pingsan. Sudah tentu
terpaksa sekali melukainya. Namun Kiai Gringsing berharap untuk dapat
mengobatinya apabila luka itu tidak terlampau parah. Dengan demikian, maka
tidak ada gunanya lagi menakut-nakuti, mengancam dan membujuknya. Yang
dilakukan kemudian adalah tekanan-tekanan yang lebih berat terhadap Kiai
Telapak Jalak. Apalagi Sumangkar mengerti sepenuhnya sikap Kiai Gringsing itu,
sehingga ia pun menyerangnya semakin dahsyat pula. Kiai Telapak Jalak pun
menjadi semakin bingung. Seakan-akan sudah tidak ada tempat lagi baginya untuk
berpijak. Kemana pun ia berloncatan, kedua ujung senjata lawannya itu selalu
mengejarnya. Tetapi ia tetap pada pendiriannya. Lebih baik dadanya pecah karena
senjata daripada ia harus menyerah kepada kedua lawannya itu. Karena itulah
maka ia masih tetap bertempur dengan gigihnya. Tetapi tenaganya yang semakin
surut itu membuat geraknya semakin lamban. Sedangkan senjata Kiai Gringsing dan
Sumangkar justru menjadi semakin cepat. Sebuah ledakan cambuk Kiai Gringsing
telah mendorongnya ke samping. Tetapi Kiai Telapak Jalak terkejut bukan buatan,
ketika terasa ujung trisula yang tajam telah menusuk pundaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar