Ternyata bahwa obor-obor itu sangat berguna bagi mereka. Di dalam keremangan cahayanya yang kemerah-merahan, mereka segera mengenal, yang manakah lawan-lawan mereka, bahkan mereka dapat mengenal pula, yang manakah pengawal yang memang cakap mempergunakan senjata, dan yang manakah orang-orang yang dapat dengan mudah mereka sergap dan mereka jadikan korban. Tetapi sejenak kemudian dada mereka menjadi berdebar-debar, ketika justru cahaya obor itu telah memberikan banyak petunjuk pula bagi Sutawijaya. Itulah sebabnya, maka di medan pertempuran yang menjadi terang itu, tiba-tiba telah timbul kebingungan. Seorang anak muda dengan tombak di tangan, telah meloncat dengan lincahnya menyelusupi medan sambil memutar tombaknya itu.
“Anak setan!”
salah seorang lawannya menggeram. Hampir saja hidungnya tersentuh ujung tombak
itu. Namun ia tidak sempat berbuat banyak ketika tiba-tiba saja pundaknyalah yang
telah tergores oleh ujung tombak yang terbang bagaikan sikatan menyambar
bilalang.
Demikianlah
kehadiran Sutawijaya di medan peperangan, itu memberikan banyak pengaruh bagi
orang-orangnya. Para pengawal yang harus berjuang mati-matian, bukan saja mempertahankan
dirinya sendiri, tetapi kadang-kadang harus juga melindungi anak buahnya itu,
menjadi sedikit lapang. Lawan-lawannya menjadi agak bingung dan memecah
perhatian di antara mereka.
Tetapi Kiai
Damar dan Kiai Telapak Jalak pun tidak tinggal diam di tempatnya. Mereka pun
melihat bayangan yang bagaikan berterbangan kian kemari, menyambar-nyambar
dengan dahsyatnya.
“Itulah
Sutawijaya,” desis Kiai Telapak Jalak.
Kiai Damar mengerutkan
keningnya. Katanya,
“Bagaimana
maksudmu dengan anak itu?”
“Kita binasakan.”
“Baik, lalu?”
“Kau
menghadangnya di ujung sebelah, aku di ujung yang lain. Jangan ragu-ragu, kita
akan membunuhnya.”
Kiai Damar
mengangguk-angguk, tetapi ia tidak segera beranjak dari tempatnya. Sikapnya
menunjukkan keragu-raguan yang mengganggu hatinya.
“Kenapa kau
masih diam saja?”
“Tetapi,
bukankah Raden Sutawijaya itu putera Ki Gede Pemanahan dan putera angkat Sultan
Pajang.”
“Semua orang
sudah tahu. Jangan ragu-ragu. Tidak ada hukuman yang dapat diperhitungkan jika
kita membunuh lawan di peperangan. Sultan Pajang pun tidak akan marah.” Kiai
Telapak Jalak berhenti sejenak, lalu,
“Jika
Pemanahan marah karena ia kehilangan anaknya, itu adalah salahnya sendiri.”
Kiai Damar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia berkata,
“Berhati-hatilah
terhadap orang bercambuk atau orang yang berada di pihaknya, bersenjata jenis
lentur pula, bahkan rantai.”
Kiai Telapak
Jalak menggeram,
“Seperti
anak-anak yang pergi mencari kayu di hutan. Pesan ayah bundanya
berkepanjangan.”
“Aku hanya
memperingatkanmu. Aku sudah mengalaminya.”
“Terima kasih.
Sekarang, kau pergi ke ujung sebelah. Aku di ujung yang lain. Sutawijaya berada
di antara kedua ujung itu sambil membuat lawan-lawannya menjadi bingung.”
“Kita akan
menghentikannya.”
Kiai Damar dan
Kiai Telapak Jalak pun segera berpisah. Mereka pergi ke kedua ujung yang
berlawanan. Namun mereka tidak sekedar pergi ke ujung. Di sepanjang langkahnya,
mereka pun mencoba untuk menggetarkan dada pasukan lawannya. Namun Kiai
Gringsing dan Ki Sumangkar tidak lengah. Mereka pun segera melihat keadaan
medan yang seakan-akan terguncang. Sejenak mereka melihat pengaruh Sutawijaya,
namun sejenak kemudian seperti didorong oleh gelombang pasang, pasukan yang
mempertahankan barak itu terdesak.
“Nah, itulah
dia,” desis Kiai Gringsing ketika ia melihat Kiai Damar,
“agaknya orang
itu mencarimu.”
Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya,
“Tetapi ia
hanya seorang diri. Seharusnya ia berada bersama orang yang disebut bernama
Kiai Telapak Jalak.”
“Kita belum
mengenal orang yang bernama Kiai Telapak Jalak dengan baik. Mungkin ia berada
di sekitarnya.”
“Mungkin di
tempat lain,” sahut Kiai Gringsing.
“Jagalah Kiai
Damar. Jangan beri ia kesempatan. Aku akan mencari orang yang bernama Kiai
Telapak Jalak. Mungkin ia berada di ujung yang lain. Atau bahkan mungkin ia
sedang berusaha mengalahkan Raden Sutawijaya.”
“Baiklah. Aku
akan menemui Kiai Damar. Meskipun barangkali tidak berkenan di hatinya, apa
boleh buat,” berkata Sumangkar.
“Ya. Kali ini
kita tidak boleh gagal lagi. Persoalan tanah ini harus segera menjadi jernih.
Apalagi persoalannya kemudian beralih menjadi persoalan dengan Pajang, itu
bukan soal kita lagi. Tetapi kita sudah membantu membebaskan mereka yang sedang
berusaha membuka hutan ini dari gangguan hantu-hantu kerdil ini.”
“Ya. Dan aku
akan segera dapat membantu Agung Sedayu dan Swandaru ke Sangkal Putung. Kalau
aku juga tidak segera kembali, hati Ki Demang berdua, bahkan Sekar Mirah akan
menjadi semakin cemas.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Lihat, Kiai
Damar tidak pandang lawan. Orang-orang yang tidak mampu berbuat banyak itu
telah diserangnya. Cepat, lindungilah mereka.”
Sumangkar
mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian meloncat menyongsong Kiai Damar
yang seolah-olah sedang mengamuk. Meskipun Kiai Damar sadar, bahwa di antara
mereka yang tinggal di dalam barak itu ada orang-orang yang harus mendapat
perhatiannya, namun kehadiran Sumangkar yang tiba-tiba itu mengejutkannya juga.
Bahkan dengan tanpa sesadarnya ia berkata,
“Kau lagi?”
“Ya. Aku
lagi,” jawab Sumangkar.
“Selama kau
masih datang kembali, aku pun akan datang lagi menjemputmu.”
“Persetan.
Sekarang aku tidak akan membiarkan kau hidup. Sekarang kau akan mati.”
Sumangkar
tidak merasa perlu untuk menjawab. Ia langsung mengambil alih Kiai Damar dari
lawan-lawannya yang kebingungan. Sehingga dengan demikian, maka mereka pun
segera terlibat dalam perkelahian yang seru. Di tempat lain, Sutawijaya masih
sibuk menghalau lawan-lawannya yang masih selalu mendesak terus. Para pengawal
menjadi agak kecut juga melihat orang-orang yang bertempur bersama mereka
menjadi bingung. Ternyata penghuni barak yang tidak pernah mengalami peperangan
dan hanya mendapat petunjuk sekedarnya itu, masih belum mampu menyesuaikan diri
dengan peperangan yang sengit. Perang yang seakan-akan tidak teratur lagi.
Perang brubuh. Apalagi apabila sekali-sekali mereka mendengar seorang di antara
mereka berteriak kesakitan, karena tubuh mereka tersentuh senjata, sehingga
kadang-kadang para pengawal tidak lagi sempat bertempur dengan mantap. Kehadiran
Sutawijaya di medan ternyata telah memberikan nafas baru kepada mereka,
Sutawijaya yang bagaikan burung sikatan itu, terbang dari satu lingkaran
peperangan ke lingkaran yang lain, sehingga hati para pengawal menjadi agak
lapang. Mereka mendapat kesempatan untuk mengerahkan kemampuan mereka terhadap
lawan-lawannya sendiri, karena lawan-lawannya yang lain menjadi kisruh oleh
kehadiran Sutawijaya. Tetapi tiba-tiba langkah Sutawijaya terhenti. Seseorang
telah berada di hadapannya sambil bertolak pinggang. Dengan sorot mata yang
tajam, orang itu berkata,
“Raden,
hentikan cara itu. Korban akan terlampau banyak karena pokalmu.”
Sutawijaya
tertegun sejenak. Diamatinya orang yang berdiri bertolak pinggang di hadapannya
itu. Dan sebelum ia bertanya, maka orang itu telah mendahuluinya,
“Akulah yang
disebut Kiai Telapak Jalak.”
Sutawijaya
mengerutkan keningnya. Dipandanginya sejenak orang yang menyebut dirinya Kiai
Telapak Jalak itu. Agaknya orang itu terlampau yakin akan dirinya.
“Sayang, bahwa
kita bertemu dalam keadaan seperti ini,” berkata Kiai Telapak Jalak.
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Ya, sayang
sekali. Tetapi apakah sebenarnya yang kalian kehendaki, sehingga kalian
terpaksa melakukan tindakan-tindakan yang kasar ini?”
“Pertanyaanmu
terlampau sederhana. Sebagai seorang yang bercita-cita membuka sebuah hutan
sebesar hutan Mentaok, kau seharusnya sudah dapat menjawab pertayaanmu
sendiri.”
“O, begitu?
Sayang, aku tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Mungkin otakku memang tumpul
atau barangkali aku tidak cukup mempelajari persoalan ini. Tetapi aku akan
bertanya sekali lagi kepadamu, apa pun yang kau katakan tentang diriku.”
“Ini adalah
suatu ciri bagi Raden Sutawijaya,” berkata Kiai Telapak Jalak. Lalu,
“Kau adalah gambaran
dari anak-anak muda yang keras kepala.”
“Ya. Itu
benar. Lalu?”
“Dan aku masih
harus menjawab pertanyaanmu?”
“Ya, aku masih
mengharap jawaban itu.”
“Baiklah.”
Kiai Telapak Jalak berhenti sejenak, lalu,
“Kami tidak
menghendaki kalian membuka Alas Mentaok.”
“Kenapa?”
“Ada
bermacam-macam alasan. Di antaranya, aku tidak senang melihat kau dan ayahmu
Pemanahan berkuasa di sini.”
“Itukah
alasanmu yang paling penting.”
“Sekali lagi
kau menunjukkan kebodohanmu sebagai seorang putera Pemanahan dan apalagi putera
angkat Sultan Pajang.”
“O, mungkin
nanti kau akan menjumpainya kebodohan berikutnya. Tetapi apa jawabmu?”
“Aku kira aku
lebih baik tidak menjawab. Sekarang, jangan menyesal bahwa kau akan mati di
tanganku. Sudah lama aku berniat untuk melakukannya, tetapi agaknya baru
sekarang aku mendapat kesempatan.”
“Kiai Telapak
Jalak,” berkata Sutawijaya,
“sebenarnya
usahaku untuk membuka Hutan Mentaok sudah pasti tidak akan merugikan siapa pun
juga. Tanah ini akan menjadi tanah garapan yang subur. Yang akan bermanfaat
bagi daerah di sekitarnya. Jalur perdagangan akan menjadi semakin banyak dan
ramai. Demikian juga bagi Pajang. Jadi apakah salahnya aku melakukannya?”
“Tidak
selamanya menguntungkan,” jawab Kiai Telapak Jalak.
“Tetapi
biarlah aku tidak perlu menggurui kau, karena itu bersedialah untuk menutup
segala rencanamu dengan mengakhiri hidupmu. Sebenarnya aku tidak akan sampai
hati melihat Putera Sultan Pajang yang terkenal sakti tanpa tanding itu mati di
pinggir Alas Mentaok, seperti matinya para pendatang yang sekedar ingin
memiliki secuwil tanah garapan.”
“Jangan
mengigau. Tetapi kalau kau tidak mau mengatakan alasanmu, baiklah. Aku tidak
akan memaksa. Tetapi orang yang menyebut dirinya Kiai Telapak Jalak, Kiai
Damar, dan orang-orang yang berdiri di belakangnya pasti mempunyai alasan yang
kuat untuk berbuat sesuatu. Bukan sekedar digerakkan oleh perasaan iri yang
berlebih-lebihan. Tidak sekedar digerakkan oleh perasaan tidak senang melihat
tanah ini terbuka dan berkembang di samping daerah-daerah yang telah terbuka
lebih dahulu di sekitarnya.”
“Cukup!”
potong Kiai Telapak Jalak.
“Itu dugaan
yang sangat kerdil dari seorang Putera Sultan Pajang.”
“Salahmu
sendiri, karena kau tidak mengatakan alasan yang sebenarnya.”
“Persetan.
Jangan membuang waktu. Semua orang sudah berkeringat dan bahkan menitikkan
darah. Sekarang kau harus mati.”
Sutawijaya
melihat mata Kiai Telapak Jalak yang berkilat-kilat kena cahaya obor yang
kemerah-merahan. Karena itu, ia pun segera bersiap. Namun ia sadar sepenuhnya
bahwa Kiai Telapak Jalak adalah seorang yang pilih tanding. Karena itu,
sepercik pertanyaan telah menyentuh hatinya,
“Apakah Kiai
Gringsing dan Ki Sumangkar tidak menemukannya?”
Tetapi sebagai
seorang prajurit Sutawijaya tidak akan lari dari gelanggang. Karena itu, apa
pun yang akan terjadi, ia sudah siap menghadapinya.
“Kau masih ada
kesempatan sejenak untuk menyebut nama ayahmu. Sejenak lagi kau akan mati
terkapar di tanah,” berkata Kiai Telapak Jalak.
“Aku tidak
memerlukan waktu lebih dari tiga tarikan nafas untuk membunuhmu. Kalau ayahmu
datang kemari, barulah aku mendapat lawan. Tetapi kematianmu pasti akan
membangunkannya.”
“Jangan omong
kosong. Kalau kau mampu melakukan, lakukanlah. Tetapi selama ini kau tidak
berani menampakkan dirimu. Apalagi menghadapi Ayahanda Ki Gede Pemanahan.”
Kiai Telapak
Jalak tidak menjawab lagi. Perlahan-lahan ia maju mendekati Sutawijaya dengan
mata yang menyala-nyala. Ia merasa bahwa tugas ini adalah sebagian dari
satu-satunya cara yang dapat ditempuh untuk membatasi kegagalan Kiai Damar di daerah
ini. Sutawijaya pun telah siap pula menghadapi setiap kemungkinan. Tombaknya
segera merunduk. Dengan kokohnya ia berdiri di atas kedua kakinya yang sedikit
merendah pada lututnya. Sementara itu, di sekitarnya, pertempuran masih
berlangsung dengan dahsyatnya. Para pengawalnya telah berjuang mati-matian
untuk tetap dapat bertahan.
Sejenak Kiai
Telapak Jalak memandang arena yang remang-remang. Kemudian ditatapnya wajah
Sutawijaya yang menegang. Namun kemudian ia pun telah siap untuk menerkam
lawannya.
“Raden,”
berkata Kiai Telapak Jalak,
“kalau aku
tidak berhasil membunuh Raden Sutawijaya dalam tiga tarikan nafas, maka aku
akan berlutut dan menyembah di bawah kakimu. Aku akan menyerahkan leherku untuk
dipancung atau digantung sama sekali.”
Sutawijaya tidak
menyahut. Betapa pun tabah hatinya, namun terasa dadanya tergetar juga
mendengar ancaman itu. Kiai Telapak Jalak pasti tidak sekedar
menakut-nakutinya. Tetapi ia pasti merasa mampu untuk melakukannya.
“Tetapi aku
bukan cacing,” geram Sutawijaya di dalam hatinya, sehingga dalam pada itu ia
pun yakin bahwa ia akan dapat menghindar dari ancaman itu. Ia pasti akan dapat
bertahan lebih dari tiga tarikan nafas.
“Nah, Raden,”
berkata Kiai Telapak Jalak,
“aku akan
segera mulai. Hitungan akan dimulai sejak aku melontarkan seranganku yang
pertama, yang aku yakin, bahwa, kau tidak akan dapat menghindarkan diri,
sehingga aku tidak akan memerlukan waktu lebih panjang lagi.”
Sutawijaya
tidak menjawab. Tetapi tombaknya kini telah bergetar di tangannya, siap
menerima serangan Kiai Telapak Jalak.
“Ha, kau sudah
gemetar,” desis Kiai Telapak Jalak.
Sutawijaya
masih tetap berdiam diri.
“Seandainya
tidak ada sinar obor yang kemerah-merahan, maka wajahnya akan tampak lebih
putih dari kapas.”
Tiba-tiba
Sutawijaya menggeram,
“Cepat.
Lakukan kalau kau mampu. Atau kau hanya sekedar berbicara saja? Atau kau ingin
mempengaruhi perasaanku dengan ancaman dan pengaruh ketidak-sabaranku?
“Ah, kau
pandai juga menebak. Sebagian benar. Tetapi jangan menyangka, bahwa aku tidak
akan dapat melakukan apa yang sudah aku katakan.”
Sutawijaya
tidak menjawab. Tetapi ia tidak lengah. Dan ia berusaha untuk tetap menjaga
perasaannya, agar tidak menjadi kehilangan keseimbangan. Tetapi agaknya sudah
sampai saatnya Kiai Telapak Jalak melakukan rencananya. Karena itu, maka
suasana menjadi kian menegang. Namun dalam pada itu, sepasang mata selalu
mengikuti pembicaraan itu dengan saksama. Perlahan-lahan orang yang memiliki
sepasang mata yang tajam itu bergeser semakin mendekat, sehingga akhirnya ia
berdiri di balik gerumbul beberapa langkah saja di belakang Sutawijaya. Orang
itu adalah Kiai Gringsing. Dalam penilaian Kiai Gringsing, Kiai Telapak Jalak
memang seorang yang memiliki kelebihan dari orang-orang kebanyakan. Bahkan Kiai
Gringsing menganggap bahwa Kiai Telapak Jalak memang tidak sekedar membual.
Mungkin ia benar-benar dapat melakukan seperti apa yang dikatakannya. Dengan
demikian maka Kiai Gringsing tidak akan dapat membiarkan hal itu terjadi. Kalau
serangan pertama berarti maut bagi Sutawijaya, maka ia tidak akan dapat
kesempatan lagi untuk menyelamatkannya. Karena itu, Kiai Gringsing harus
bertindak sesuatu sebelum serangan yang pertama itu. Maka ketika ia melihat
Kiai Telapak Jalak benar-benar telah mempersiapkan serangannya dengan masak,
tiba-tiba saja terdengar Kiai Gringsing berkata,
“He, Kiai,
apakah kau akan melawan Raden Sutawijaya?”
Kiai Telapak
Jalak terperanjat. Sejenak ia mencari, namun segera diketemukannya Kiai
Gringsing yang melangkah dari balik gerumbul mendekati Sutawijaya.
“Minggir kau,”
bentak Kiai Telapak Jalak,
“aku tidak
sedang bermain-main.”
“Aku tahu.
Tetapi aku minta waktu sedikit. Aku akan berbicara dengan Raden Sutawijaya.”
“Apa yang akan
kau katakan?”
Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya. Tanpa melepaskan kewaspadaan ia berkata,
“Raden,
pasukan yang mempertahankan barak ini agak terdesak. Setiap orang menunggu
pertolongan Raden. Karena itu, aku ingin mempersilahkan Raden menolong mereka,
agar mereka agak mendapat kesempatan untuk bernafas.”
“Siapa kau?”
bentak Kiai Telapak Jalak. Tetapi Kiai Gringsing tidak menghiraukannya.
Katanya,
“Silahkan.
Keadaan menjadi semakin genting. Beberapa orang telah terluka. Raden tidak
dapat menunggu lebih lama lagi. Aku sudah tidak mampu lagi menolong keadaan.
Yang dapat menahan arus serangan lawan tidak ada orang lain kecuali Raden
sendiri.”
“Gila kau,”
bentak Kiai Telapak Jalak, sedang Sutawijaya agak termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian ia sadar, apa yang dimaksudkan oleh Kiai Gringsing dengan bahasa yang
sering dipergunakan oleh orang tua itu. Agaknya Kiai Gringsing mengharap ia
meninggalkan lawannya yang berbahaya dan siap untuk mengambil alih persoalan.
“Cepatlah,
Raden. Keadaan sudah sangat mendesak,” sejenak Kiai Gringsing terdiam. Sambil
memandang Kiai Telapak Jalak, Kiai Gringsing berkata,
“Biarlah aku
mengurusi yang seorang ini. Tetapi yang banyak orang itu aku serahkan kepada
Raden.”
Sutawijaya
menarik nafas. Dengan gaya Kiai Gringsing ia menjawab,
“Baiklah,
Kiai. Sayang, aku harus meninggalkan lawanku yang seorang ini.”
“Persetan,
jangan lari.”
“Aku mempunyai
tugas yang lebih penting. Biarlah pemomongku ini sajalah yang melayanimu.”
“Tunggu,”
ternyata Kiai Telapak Jalak tidak ingin melepaskan Sutawijaya yang seakan-akan
telah berada di dalam telapak tangannya.
Tetapi
Sutawijaya tidak menghiraukannya. Dengan tergesa-gesa ia meninggalkan Kiai
Telapak Jalak. Seakan-akan ia tidak mengacuhkannya lagi, meskipun sebenarnya ia
masih sempat melihat kesiap-siagaan Kiai Gringsing, karena ia menduga pula,
bahwa Kiai Telapak Jalak tidak akan begitu saja menerima keadaan itu. Ternyata
dugaan itu pun segera terjadi. Selagi Sutawijaya melangkah pergi, Kiai Telapak
Jalak sekali lagi menghentikannya,
“Berhenti. Aku
akan menyerangmu. Melawan atau tidak melawan.”
Meskipun dada
Sutawijaya berdesir, tetapi ia percaya bahwa Kiai Gringsing tidak akan tinggal
diam, sehingga ia telah menyerahkan nasibnya bulat-bulat kepada Kiai Gringsing
itu. Kemarahan yang menghentak dada Kiai Telapak Jalak tidak dapat ditahan
lagi. Meskipun Sutawijaya membelakanginya, namun Kiai Telapak Jalak segera
menyerangnya sambil berteriak nyaring,
“Salahmu
sendiri kalau punggungmulah yang terbakar karena sentuhan tanganku.”
Kiai Telapak
Jalak sama sekali tidak menunggu jawaban, sedangkan Sutawijaya pun sama sekali
tidak berpaling, meskipun terasa juga punggungnya meremang. Sekejap kemudian.
Kiai Telapak Jalak telah meloncat memukul punggung Sutawijaya dengan sisi
telapak tangannya. Kiai Telapak Jalak yang merasa terhina oleh sikap Sutawijaya
itu telah berniat untuk membunuhnya dengan pukulannya yang pertama itu. Tetapi
Kiai Telapak Jalak terkejut bukan buatan, ia tidak menyangka sama sekali bahwa
serangannya itu akan membentur kekuatan yang tidak pernah diperhitungkannya
sama sekali, sehingga karena itu, justru Kiai Telapak Jalak lah yang terlempar
beberapa langkah dan terbanting jatuh di tanah. Sutawijaya yang mendengar
benturan itu berpaling sejenak. Ia masih melihat Kiai Telapak Jalak meloncat
berdiri dengan sigapnya. Namun demikian, karena ia tidak bersedia sama sekali
menghadapi hal itu, maka terasa juga dadanya menjadi sesak.
“Berhati-hatilah
sedikit, Kiai Telapak Jalak,” Sutawijaya masih sempat berkata.
“Jangan
tergelincir lagi untuk kedua kalinya.”
“Persetan,”
geram Kiai Telapak Jalak,
“jangan licik.
Hadapi aku.”
Sutawijaya
tidak menjawab. Ia langsung meninggalkan tempat itu. Ia sadar, bahwa
pertempuran yang berkobar semakin seru itu sama sekali tidak menguntungkan
pihaknya. Karena itu, setelah mempercayakan perlawanan atas Kiai Telapak Jalak
kepada Kiai Gringsing, maka Sutawijaya mulai dengan penjelajahannya kembali. Ia
bertempur dari ujung sampai ke ujung yang lain.
Dalam pada
itu, Kiai Telapak Jalak hampir tidak dapat menahan kemarahan yang meledak di
dadanya. Namun demikian, ia sadar bahwa kini ia bertemu dengan lawan yang
sebenarnya, meskipun bukan Ki Gede Pemanahan. Dan ia pun kini harus mengakui,
bahwa selama ini bukanlah Kiai Damar yang salah menilai kemampuan lawannya.
Tetapi bahwa di dalam barak itu ada orang-orang yang memiliki kelebihan dari
sesamanya, kini telah dilihatnya sendiri sebagai suatu kenyataan. Tetapi Kiai
Telapak Jalak pun sadar bahwa ia masih belum mempergunakan seluruh
kemampuannya. Ia masih belum mengukur kekuatan lawannya dengan sewajarnya.
Kekuatan yang dilepaskan itu, menurut penilaiannya, sudah cukup kuat untuk
mematahkan tulang belakang Sutawijaya betapa pun anak muda itu telah menempa
dirinya. Karena itu, dengan wajah yang merah padam ia berdiri tegak menghadap
Kiai Gringsing sambil berkata,
“Siapakah
sebenarnya kau?”
Kiai Gringsing
maju pula selangkah. Dengan nada yang rendah ia berkata,
“Namaku Truna
Podang.”
“Persetan.
Iblis seperti kau pasti mempunyai seribu nama. Kau sangka aku percaya?”
“Tidak. Aku
memang sudah menduga bahwa kau tidak akan percaya bahwa namaku Truna Podang,
seperti aku juga tidak percaya bahwa namamu Telapak Jalak. Tetapi adalah
kebetulan sekali bahwa kita sama-sama meminjam nama jenis burung yang hampir
sama. Podang dan Jalak. Keduanya sejenis burung oceh-ocehan. Burung yang setiap
matahari terbit, mulai berkicau tanpa ujung dan pangkal. Begitu?”
Kiai Telapak
Jalak menggeretakkan giginya
“Tetapi jenis
podang memiliki bulu yang warnanya lebih cantik dari seekor burung jalak.”
“Cukup, Cukup.
Agaknya di dalam barak ini terdapat juga orang gila seperti kau.”
“Mungkin.
Tetapi aku sebenarnya adalah pemomong Raden Sutawijaya.”
“Tentu kau
yang menyebut dirimu Dandang Wesi.”
“Kenapa aku?”
“Kau dan
Dandang Wesi sama-sama mengaku menjadi pemomong Sutawijaya. Tidak mungkin hal
itu suatu kebetulan.”
“O, kau
keliru. Aku mengenal Kiai Dandang Wesi. Ia adalah pemomong Sutawijaya di masa
kecilnya. Tetapi ia sudah meninggal. Akulah yang kemudian menggantinya.”
“Jangan kau
bohongi aku seperti kau membohongi anak-anak.”
“Terserahlah
kepadamu. Mungkin aku memang memperlakukan kau seperti kanak-kanak.”
“Diam, diam
kau,” Kiai Telapak Jalak membentak-bentak. Tetapi suaranya seakan-akan
tenggelam dalam hiruk-pikuk peperangan yang semakin ribut. Di sana-sini
terdengar teriakan kemarahan, namun juga jerit kesakitan dan keluhan yang
tertahan-tahan.
“Kiai Telapak
Jalak,” berkata Kiai Gringsing kemudian,
“sebenarnya
aku ingin berbicara sebagai orang tua kepada orang tua. Apakah kau bersedia?”
Kiai Telapak
Jalak menjadi termangu-mangu sejenak. Ia merasakan, suatu perbawa yang telah mempengaruhi
perasaannya. Sehingga di luar kesabarannya sendiri ia menganggukkan kepalanya,
“Berbicaralah.”
Kiai Gringsing
menarik nafas dalam-dalam. Dengan sudut matanya ia memandang hiruk-pikuk
peperangan. Ia mengharap bahwa kehadiran Raden Sutawijaya mempunyai banyak
pengaruh di medan, sehingga semakin lama ia berbicara dengan Kiai Telapak
Jalak, maka kesempatan Raden Sutawijaya menjadi semakin besar. Kemudian
pertempurannya dengan orang ini tidak akan terlampau banyak berpengaruh.
Sedangkan Kiai Damar, sudah pasti tidak akan dapat mengatasi Sumangkar seperti
yang pernah terjadi.
“Kiai Telapak Jalak,”
berkata Kiai Gringsing,
“sedikit atau
banyak, kami telah mengetahui niatmu menggagalkan usaha Raden Sutawijaya
membuka Alas Mentaok. Kalian tidak senang melihat daerah baru yang akan segera
berkembang ini. Kenapa? Apakah kau hanya sekedar iri atau kau memang mempunyai
suatu rencana lain tentang daerah ini? Kenapa kau tidak berterus terang
membicarakannya dengan Ki Gede Pemanahan? Kalau rencanamu itu baik, maka Ki
Gede Pemanahan pasti tidak akan menolaknya. Kenapa kau mengambil jalan yang
panjang seandainya tujuanmu tidak terlampau jauh.”
Kiai Telapak
Jalak memandang Kiai Gringsing dengan sorot mata yang seakan-akan menyala.
Dengan suara yang parau ia menjawab,
“Truna Podang.
Siapakah kau sebenarnya dan apakah keuntunganmu mencampuri urusanku? Apakah
Pemanahan merasa dirinya tidak mampu lagi mengatasi persoalan ini, sehingga ia
memerlukan orang-orang seperti kau?”
Kiai Gringsing
menggelengkan kepalanya,
“Tentu tidak.
Aku kira Pemanahan tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi di sini
sekarang. Kalau ia tahu, bahwa di sini ada Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak
bersama-sama, maka ia tidak akan membiarkan anak laki-lakinya yang hanya
satu-satunya itu datang kemari. Ia pasti akan pergi sendiri dan tidak hanya
membawa beberapa orang pengawal. Tetapi segelar sepapan. Dan kalian akan
ditumpasnya tanpa ampun.”
“Persetan!”
“Bukankah kau
sengaja menghancurkan usahanya dengan cara yang lain dari cara seorang
laki-laki jantan? Kau telah membuat hantu-hantuan untuk menakut-nakuti
orang-orang yang sedang membuka hutan. Kau berharap bahwa mereka meninggalkan
tempat ini dan mengurungkan niatnya, setelah kau ambil keuntungannya. Setelah
beberapa dari mereka berhasil menebang kayu-kayu raksasa di pinggiran Alas
Mentaok. Kelak, apabila kau berhasil mengusir dengan caramu, maka akan datang
orang-orang lain yang mengaku telah membuka hutan ini tanpa menitikkan keringat
sama sekali.”
“Cukup!”
teriak Kiai Telapak Jalak.
“Kau orang-orang
kerdil yang tidak dapat menjangkau cara berpikir seseorang yang bercita-cita.
Kau tentu tidak mengerti apa yang kami inginkan. Dan kau hanya akan sampai pada
suatu kesimpulan iri hati dan ketamakan melulu.”
“Apakah kau
dapat mengatakan yang lain?”
Kiai Telapak
Jalak menelan ludahnya. Ada semacam tuntutan untuk mengatakan alasan yang lebih
bernilai dari yang dikatakan oleh Kiai Gringsing. Karena itu maka Kiai Telapak
Jalak yang tidak dapat menahan gelora di dadanya itu berkata,
“Orang-orang
kerdil macam kalian memang tidak dapat berpikir panjang. Mungkin kau memiliki
kemampuan olah kanuragan. Tetapi kau benar seorang yang tidak lebih baik dari
seekor kerbau yang kuat, tetapi terlampau dungu untuk bersikap.” Kiai Telapak
Jalak berhenti sejenak. Tiba-tiba saja ia merasa sesuatu telah terjadi di dalam
pertempuran yang sengit itu. Namun ia mempercayakannya kepada Kiai Damar bahwa
pada suatu saat Kiai Damar akan bertemu dengan Raden Sutawijaya dan
membunuhnya. Ia tidak menyangka bahwa orang-orang yang berilmu melampaui
orang-orang kebanyakan di dalam peperangan ini berjumlah tidak hanya seorang
saja. Seorang yang sedang dihadapinya. Sedang yang lain, meskipun mempunyai
kelebihan-kelebihan tertentu, tetapi tidak akan dapat melampaui Kiai Damar dan
pasukannya. Orang-orang bercambuk yang pernah didengarnya, tentu tidak akan
dapat melawan lima atau enam orang-orang pilihannya sekaligus seperti
Sutawijaya sendiri. Tetapi Kiai Telapak Jalak tidak menyangka, bahwa Sutawijaya
tidak berkelahi di satu tempat, tetapi ia bagaikan terbang dari ujung sampai ke
ujung, sedang anak-anak muda yang bercambuk itu berada di belakang barak.
“Sebentar
lagi,” berkata Kiai Telapak Jalak di dalam hatinya,
“orang-orang
yang sedang berkelahi ini akan berteriak ketakutan diterkam oleh kengerian yang
amat sangat. Mereka akan melihat orang-orangku yang akan melemparkan mayat
anak, isteri, dan orang tua mereka yang tinggal di dalam barak itu.
Orang-orangku yang memasuki barak lewat belakang itu, akan membuat barak
seisinya menjadi neraka yang paling jahanam.”
Tanpa
disadarinya Kiai Telapak Jalak memandang ke arah barak yang diliputi oleh
kegelapan. Tetapi ia berkata pula di dalam hati,
“Sebentar lagi
barak itu akan menyala, dan semuanya akan segera selesai. Semua orang akan
menyesal. Sutawijaya pun akan menyesal melihat mayat yang bergelimpangan. Mayat
perempuan dan anak-anak. kemudian disusul mayat laki-laki yang berkelahi ini
dan para pengawal. Yang terakhir Sutawijaya akan menyesali kematiannya
sendiri.”
Karena Kiai
Telapak Jalak tidak segera meneruskan kata-katanya, maka Kiai Gringsing pun
menyahut,
“He, kenapa
kau merenung sebelum kau selesai. Kau baru mengatakan aku sedungu kerbau.
Tetapi kau belum mengatakan, kenapa aku kau anggap orang yang dungu?”
“Kau hanya
berpikir pendek. Iri, tamak, bengis, dan sebagainya. Tetapi apakah kau
mengerti, bahwa yang dilakukan oleh Pemanahan ini tidak berkenan di hati Sultan
Pajang?”
Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya. Memang ia sudah menduga, bahwa orang-orang itu akan
mencoba menarik keuntungan dari hubungan yang seakan-akan mulai retak setelah
Pemanahan meninggalkan Pajang karena janji Sultan Pajang itu tidak segera
dipenuhi. Tetapi sampai berapa jauh mereka mempergunakan dalih itu masih ingin
diketahui oleh Kiai Gringsing.
Karena itu maka
Kiai Gringsing pun bertanya,
“Apakah kau
yakin pada apa yang kau katakan? Bukankah Raden Sutawijaya putera angkat Sultan
Pajang?”
“Ya. Itulah
kekerdilan jiwa Pemanahan. Kalau ia tidak usah menuntut tanah ini, maka
persoalannya akan tetap jernih. Sebagai putera Sultan Pajang, maka Sutawijaya
akan mendapat tidak hanya sekedar Alas Mentaok, tetapi jauh lebih banyak dari
itu. Jauh lebih luas dari Tanah yang kalian sebut Mataram Baru ini.
“Apakah kau
lupa, bahwa di Pajang ada Pangeran Benawa?”
“Pangeran
Benawa akan mewarisi tahta Pajang. Sutawijaya setidak-tidaknya akan menjadi
seorang Adipati. Adipati yang besar dan tidak perlu berdiri di balik pintu yang
tertutup seperti sekarang ini.”
“Ah, kau
memang aneh. Kau agaknya banyak mengetahui tentang hubungan itu. Hubungan antara
Pemanahan dan Sultan Pajang. Tetapi semuanya itu kau nilai berdasarkan atas
pertimbanganmu sendiri. Apakah hubunganmu dengan persoalan itu? Persoalan itu
adalah persoalan Sultan Pajang dengan Pemanahan. Bukan persoalanmu dan bukan
persoalanku. Kalau Sultan Pajang berkeputusan mengusirnya, biarlah ia
mengusirnya. Kalau kemudian ternyata Sultan Pajang, entah karena segan atau
karena Sutawijaya itu anak angkatnya, dan mengesahkan pembukaan hutan ini dan
ingat Telapak Jalak, bahwa hal itu sudah dilakukan, itu pun urusannya mereka
pula.”
“Itu tidak
adil. Sultan Pajang tidak melalaikan apa yang lurus bagi pemerintahannya. Ia
membenarkan sikap memberontak dari Pemanahan. Menurut pendapatku, Pemanahan
justru harus dihukum. Tidak justru mendapat pengesahan atas pemberontakan yang
dilakukan.”
“Kiai Telapak
Jalak. Kenapa kau mempergunakan istilah-istilah yang mendebarkan jantung.
Apakah dapat dibenarkan bahwa kau menganggap Pemanahan telah memberontak. Dan
bahkan Sultan Pajang sendiri telah membersihkan pemberontak itu? Kau terlampau
mengada-ada.”
“Truna Podang.
Apakah yang kau ketahui tentang persoalan ini? Kau mungkin pernah berguru pada
seorang guru sakti. Tetapi gurumu tinggal di ujung pegunungan kapur yang
tandus, sehingga tidak sepantasnya kau berbicara tentang Sultan Pajang.”
“O, begitu?”
sahut Kiai Gringsing.
“Karena itu
sebaiknya kita tidak mempersoalkannya. Aku kira kau pun sebaiknya tidak
membuang-buang waktu untuk itu. Serahkanlah semuanya kepada kebijaksanaan
Sultan Pajang. Seandainya Sultan Pajang membenarkan pemberontakan itu
sekalipun, apakah hakmu untuk ikut mencampurinya, apalagi dengan caramu?”
Wajah Kiai
Telapak Jalak menjadi semakin merah di bawah cahaya obor yang tersangkut di
semak-semak.
“Persetan!”
katanya.
“Aku adalah
salah satu dari sekelompok orang-orang yang menghendaki tegaknya keadilan di
Pajang dan seluruh daerahnya, termasuk Alas Mentaok. Cara-cara yang ditempuh
oleh Pemanahan adalah cara-cara yang kotor dan tidak dapat dibiarkan.”
“Kalau
kemudian Sultan Pajang membenarkannya, bukankah itu berarti bahwa kau juga
telah memberontak kepada rajamu.”
“Demi
kebenaran.”
“Itu juga yang
pernah diucapkan oleh Pemanahan ketika ia memutuskan untuk membuka hutan ini.
Demi kebenaran dan keadilan. Pati sudah diserahkan. Mentaok pun harus segera diserahkan.
Nah, kau melihat persamaannya?”
Darah Kiai
Telapak Jalak serasa telah mendidih. Ternyata orang yang menyebut dirinya Truna
Podang itu bukan orang yang sama sekali tidak mengerti persoalan Tanah Mentaok
ini. Sehingga dengan demikian, maka semakin besarlah tanda tanya di dalam hati
Kiai Telapak Jalak, siapakah sebenarnya orang yang sedang dihadapinya ini.
Namun agaknya orang itu sama sekali tidak berniat untuk mengatakan tentang
dirinya.
“Apa
peduliku,” geram Kiai Telapak Jalak di dalam hatinya,
“kalau aku
membinasakannya maka tidak akan ada persoalan apa pun lagi.”
Karena itu,
maka dengan suara bergetar ia berkata,
“Kita tidak
usah mempersoalkannya. Bukankah kita sudah bertemu di medan?”
“Tetapi belum
terlambat, Kiai Telapak Jalak. Kalau kau bersedia menarik orang-orangmu, maka
aku kira, persoalan ini pun akan segera selesai. Aku menjamin bahwa Raden
Sutawijaya tidak akan menuntut kau dan orang-orangmu apabila kau dan
orang-orangmu benar-benar dengan ikhlas menghentikan semua kegiatan yang tidak
berarti ini. Kau harus meninggalkan Alas Mentaok dan menghentikan segala macam
kegiatanmu, membuat hantu-hantuan dan menakut-nakuti orang-orang yang sedang
bekerja.”
Tetapi Kiai
Telapak Jalak menggeram,
“Gila. Kau
sangka dirimu begitu pentingnya sehingga kau dapat mengambil sikap seakan-akan
kaulah yang menentukan segala sesuatunya?”
“Bukan aku,
tetapi kau.”
“Tidak. Aku
sudah berkeputusan untuk membinasakan semua orang yang ada di sini, agar berita
tentang badarnya beberapa jenis hantu yang dibuat oleh Kiai Damar tidak
tersebar di mana-mana. Dan bahkan akan tersebar berita, bahwa di sini telah
berjangkit wabah yang maha dahsyat, karena orang-orang di sini tidak lagi
menghormati penghuni Alas Mentaok yang sebenarnya. Kau mengerti?”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini sudah pasti baginya, bahwa ia tidak akan
dapat menyelesaikan masalah ini seperti yang dicobanya itu. Tetapi ia
benar-benar harus mempergunakan kekerasan yang pasti tidak hanya akan berhenti
sampai di sini. Karena di dalam perkem-bangan persoalan yang didengarnya dari
berbagai pihak pasti ada hubungan yang rapat antara orang-orang itu dengan
beberapa orang yang ada di dalam istana Pajang.
“Apa boleh
buat,” berkata Kiai Gringsing,
“kau terlampau
sadar akan kelebihanmu. Dan kau terlampau sadar bahwa di belakangmu berdiri
dukungan yang kuat, entah dari orang-orang di istana atau orang-orang yang erat
hubungannya dengan orang-orang istana.”
“Bohong!”
“Kau selalu
menyebut hubungan antara tanah ini dengan Sultan Pajang, karena persoalan
itulah yang selalu kau dengar dari orang-orang yang berdiri di belakangmu.”
“Berangan-anganlah
dan mengigaulah sekehendak hatimu. Sebentar lagi mulutmu akan terkatup untuk
selama-lamanya.”
Kiai Gringsing
tidak menjawab lagi. Ia kini mempersiapkan dirinya untuk menghadapi perkelahian
yang sebenarnya. Kiai Telapak Jalak adalah orang yang memiliki ilmu yang lebih
tinggi dari Kiai Damar dan memiliki keya-kinan yang teguh akan dirinya sendiri.
Sejenak kemudian, maka Kiai Telapak Jalak yang kecewa karena lepasnya Sutawijaya
itu pun telah menumpahkan kemarahannya kepada Kiai Gringsing. Dengan gigi
gemeretak, ia pun mendekat selangkah demi selangkah. Kemudian, dengan garangnya
ia menyerang sambil berkata,
“Aku percaya
bahwa aku tidak akan dapat membunuhmu pada serangan pertama seperti kalau yang
berdiri di sini Raden Sutawijaya. Tetapi cepat atau lambat, kau pun akan mati
pula di sini. Kemudian seisi barak ini akan menjadi mayat-mayat berserakan di
sepanjang jalan-jalan kecil di hutan ini. Merekalah yang kelak akan benar-benar
menjadi hantu yang berkeliaran siang dan malam di Alas Mentaok ini.”
Kiai Gringsing
tidak menjawab. Tetapi ia sudah benar-benar siap menghadapi serangan itu.
Dengan sigapnya ia menghindarkan dirinya dan bahkan dengan serta-merta ia telah
menyerangnya pula. Namun Kiai Telapak Jalak pun cukup tangkas untuk menghindar
sehingga serangan Kiai Gringsing pun tidak mengenai sasarannya. Demikianlah
maka keduanya segera terlibat di dalam perkelahian yang sengit. Dengan cepatnya
mereka saling menyerang silih berganti. Tangan-tangan mereka terayun-ayun
seperti sayap-sayap burung yang sambar-menyambar. Dalam pada itu, selagi mereka
bertempur dengan sengitnya, Kiai Telapak Jalak masih menunggu hasil serangan
orang-orangnya dari arah belakang barak. Mereka harus berbuat sesuatu untuk
mempengaruhi jalannya pertempuran. Mereka harus membuat perempuan dan anak-anak
berteriak ketakutan, membunuh mereka dan melemparkan mayat mereka di
tengah-tengah pertempuran ini. Dengan demikian maka perlawanan orang-orang dari
barak ini dan para pengawal pasti akan segera dapat dipatahkan. Tetapi hal itu
tidak juga segera terjadi. Tidak ada jerit di kejauhan, dan tidak ada sesosok
mayat pun yang terlempar ke tengah-tengah medan. Bahkan yang terdengar di
kejauhan adalah ledakan cambuk yang sahut-menyahut. Ternyata suara cambuk itu
telah menggelisahkannya. Ia pernah mendengar dari Kiai Damar, orang-orang
bercambuk yang pernah dihadapinya.
“Agaknya ada
sesuatu yang tidak berjalan seperti yang aku rencanakan,” berkata Kiai Telapak
Jalak di dalam hati.
Dengan
demikian, maka ia berniat untuk segera meninggalkan mayat lawannya, apabila ia
segera dapat membunuhnya. Kemudian membunuh setiap orang yang ada di dalam
pertempuran itu. Karena itu, maka Kiai Telapak Jalak pun segera berusaha
menyelesaikan peperangan itu. Dikerahkannya segala kemampuan untuk mengalahkan
Kiai Gringsing.
Namun ternyata
ia menghadapi lawan yang jauh lebih berat dari yang diduganya semula. Ternyata
bahwa orang yang menyebut dirinya Truna Podang itu tidak sekedar dapat menyamai
Kiai Damar. Tetapi orang tua ini ternyata memiliki banyak kelebihan yang
menggetarkan jantungnya. Karena itu, maka Kiai Telapak Jalak pun tidak ingin
memperpanjang pertempuran. Dengan serta-merta dari balik bajunya, ia mencabut
sebilah cundrik. Cundrik yang berwarna kehitam-hitaman. Dada Kiai Gringsing
berdesir melihat senjata itu. Senjata yang memang telah diduga ada pada orang
yang bernama Kiai Telapak Jalak, dan pasti juga pada Kiai Damar. Racun. Senjata
itu pasti menyimpan racun yang sangat tajam. Didasari dengan kecepatan tangan
Kiai Telapak Jalak, maka cundrik itu pasti akan sangat berbahaya. Bahkan
seandainya Kiai Telapak Jalak itu menjadi liar, dan berlari-lari di sepanjang
medan sambil mengayun-ayunkan cundriknya maka sebelum fajar, semua orang pasti
akan sudah mati.
“Kalian memang
suka bermain-main dengan racun,” desis Kiai Gringsing kemudian.
“He, kau
mengenal juga bahwa senjataku beracun.”
Kiai Gringsing
tidak dapat lengah barang sekejap pun. Kalau senjata itu tidak berada di tangan
Kiai Telapak Jalak, maka pasti tidak akan terlampau berbahaya. Tetapi kini
senjata itu ada di tangan Kiai Telapak Jalak, sehingga bahayanya akan menjadi
berlipat ganda. Karena itu, sebelum bahaya yang sebenarnya menerkamnya, maka
Kiai Gringsing pun meloncat surut untuk mendapatkan kesempatan, mengambil
sebutir obat dari bumbung di kantong ikat pinggangnya. Sebelum serangan
berikutnya datang, obat itu sudah ditelannya. Kiai Telapak Jalak justru
tertegun sejenak. Ia melihat Kiai Gringsing mengambil sesuatu dari ikat pinggangnya.
Yang mula-mula terlintas di kepalanya adalah jenis senjata yang belum
dikenalnya. Karena itu Kiai Telapak Jalak segera mempersiapkan dirinya
menghadapi jenis senjata itu. Namun ternyata Kiai Gringsing sekedar mengambil
sebutir reramuan obat dari kantong ikat pinggangnya itu.
“Apa yang kau
telan?” bertanya Kiai Telapak Jalak.
Kiai Gringsing
menarik nafas dalam-dalam. Ia telah mencoba membentengi dirinya dengan
berjenis-jenis obat. Menurut perhitungannya, racun yang berada pada senjata
Kiai Telapak Jalak pasti termasuk racun yang terbaik. Namun demikian, terkilas
juga di angan-angan Kiai Gringsing, Ki Sumangkar dan kedua muridnya. Mereka pun
sudah membawa bekal obat untuk mengurangi kerja racun yang paling tajam sekali
pun. Tetapi menurut perhitungannya, yang ada di tangan Kiai Telapak Jalak
itulah yang pasti paling berbahaya.
“He, apa yang
kau telan? Apakah kau mau membunuh diri?” Kiai Telapak Jalak mendesak.
“Kalau kau
ingin membunuh diri, kau tidak usah menelan racun itu, karena aku akan
menolongmu.”
Kiai Gringsing
tidak segera menjawab. Terasa tubuhnya menjadi panas. Adalah kebetulan sekali
bahwa Kiai Telapak Jalak tidak segera menyerangnya.
Tetapi
ternyata Kiai Telapak Jalak tidak menunggu lebih lama lagi. Ia pun kemudian
menyadari, bahwa Kiai Gringsing pasti sudah menelan obat yang dapat mengurangi
ketajaman racun senjatanya. Namun demikian Kiai Telapak Jalak masih berkata,
“Kau akan
menyesal. Kau sangka ada obat yang dapat menawarkan jenis racunku? Seandainya
reramuanmu mandi, namun pasti ada akibat yang tinggal pada tubuhmu. Mungkin
kelumpuhan sebagian atau bahkan kelumpuhan mutlak.”
Kiai Gringsing
sengaja tidak menjawab kata-kata Kiai Telapak Jalak itu, karena Kiai Telapak
Jalak pasti akan segera mengetahui bahwa suaranya bergetar. Namun Kiai Gringsing
tidak dapat menunda perkelahian lebih lama lagi karena Kiai Telapak Jalak pun
segera menyerangnya pula. Untuk mengatasi kesulitan di saat-saat obat yang
ditelannya sedang bekerja di dalam dirinya. Kiai Gringsing sama sekali tidak
melakukan perlawanan. Ia hanya sekedar menghindar dan meloncat surut. Tubuhnya
rasa-rasanya masih belum cukup kuat untuk bertempur langsung melawan
serangan-serangan Kiai Telapak Jalak. Sejenak Kiai Telapak Jalak menjadi heran.
Tetapi kewaspadaannya justru menahannya untuk melakukan tekanan yang lebih
besar lagi. Bahkan ia menduga, bahwa Kiai Gringsing yang menyebut dirinya Truna
Podang itu sedang mempersiapkan suatu cara yang tidak disangka-sangkanya untuk
menjebaknya. Di saat-saat mereka mulai bertempur, Truna Podang mampu melawannya
dengan gigihnya, namun tiba-tiba kini ia bertempur dengan cara yang lain.
“Apakah orang
ini termasuk orang yang licik?” bertanya Kiai Telapak Jalak di dalam hatinya.
“Setelah ia
melihat senjataku ini, ia kehilangan keberanian untuk melawan?”
Tetapi
keragu-raguan Kiai Telapak Jalak yang menahannya untuk tidak segera menyerang
itu memberi peluang kepada Kiai Gringsing untuk mempersiapkan dirinya. Perlahan-lahan
terasa obat yang ditelannya telah menjalari seluruh tubuhnya. Setelah seluruh kulitnya
basah karena keringat, maka terasalah udara malam yang sejuk mulai menyelusuri
kulitnya. Sejalan dengan perasaan itu, Kiai Gringsing merasa bahwa ia sudah
siap menghadapi setiap kemungkinan. Bahkan seandainya di dalam perkelahian itu
ia akan tergores oleh ujung keris Kiai Telapak Jalak. Demikianlah, maka Kiai
Gringsing kini tidak lagi berloncatan surut. Kini ia berdiri tegak menghadapi
lawannya yang menggenggam sebuah keris yang berwarna kehitam-hitaman. Namun
Kiai Gringsing tidak ingin melawan keris itu dengan tangannya, sehingga dengan
demikian, Kiai Gringsing pun segera mengurai senjatanya, sehelai cambuk yang
berjuntai panjang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar