Jilid 060 Halaman 2


Ternyata bahwa obor-obor itu sangat berguna bagi mereka. Di dalam keremangan cahayanya yang kemerah-merahan, mereka segera mengenal, yang manakah lawan-lawan mereka, bahkan mereka dapat mengenal pula, yang manakah pengawal yang memang cakap mempergunakan senjata, dan yang manakah orang-orang yang dapat dengan mudah mereka sergap dan mereka jadikan korban. Tetapi sejenak kemudian dada mereka menjadi berdebar-debar, ketika justru cahaya obor itu telah memberikan banyak petunjuk pula bagi Sutawijaya. Itulah sebabnya, maka di medan pertempuran yang menjadi terang itu, tiba-tiba telah timbul kebingungan. Seorang anak muda dengan tombak di tangan, telah meloncat dengan lincahnya menyelusupi medan sambil memutar tombaknya itu.
“Anak setan!” salah seorang lawannya menggeram. Hampir saja hidungnya tersentuh ujung tombak itu. Namun ia tidak sempat berbuat banyak ketika tiba-tiba saja pundaknyalah yang telah tergores oleh ujung tombak yang terbang bagaikan sikatan menyambar bilalang.
Demikianlah kehadiran Sutawijaya di medan peperangan, itu memberikan banyak pengaruh bagi orang-orangnya. Para pengawal yang harus berjuang mati-matian, bukan saja mempertahankan dirinya sendiri, tetapi kadang-kadang harus juga melindungi anak buahnya itu, menjadi sedikit lapang. Lawan-lawannya menjadi agak bingung dan memecah perhatian di antara mereka.

Tetapi Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak pun tidak tinggal diam di tempatnya. Mereka pun melihat bayangan yang bagaikan berterbangan kian kemari, menyambar-nyambar dengan dahsyatnya.
“Itulah Sutawijaya,” desis Kiai Telapak Jalak.
Kiai Damar mengerutkan keningnya. Katanya,
“Bagaimana maksudmu dengan anak itu?”
“Kita binasakan.”
“Baik, lalu?”
“Kau menghadangnya di ujung sebelah, aku di ujung yang lain. Jangan ragu-ragu, kita akan membunuhnya.”
Kiai Damar mengangguk-angguk, tetapi ia tidak segera beranjak dari tempatnya. Sikapnya menunjukkan keragu-raguan yang mengganggu hatinya.
“Kenapa kau masih diam saja?”
“Tetapi, bukankah Raden Sutawijaya itu putera Ki Gede Pemanahan dan putera angkat Sultan Pajang.”
“Semua orang sudah tahu. Jangan ragu-ragu. Tidak ada hukuman yang dapat diperhitungkan jika kita membunuh lawan di peperangan. Sultan Pajang pun tidak akan marah.” Kiai Telapak Jalak berhenti sejenak, lalu,
“Jika Pemanahan marah karena ia kehilangan anaknya, itu adalah salahnya sendiri.”
Kiai Damar mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia berkata,
“Berhati-hatilah terhadap orang bercambuk atau orang yang berada di pihaknya, bersenjata jenis lentur pula, bahkan rantai.”
Kiai Telapak Jalak menggeram,
“Seperti anak-anak yang pergi mencari kayu di hutan. Pesan ayah bundanya berkepanjangan.”
“Aku hanya memperingatkanmu. Aku sudah mengalaminya.”
“Terima kasih. Sekarang, kau pergi ke ujung sebelah. Aku di ujung yang lain. Sutawijaya berada di antara kedua ujung itu sambil membuat lawan-lawannya menjadi bingung.”
“Kita akan menghentikannya.”

Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak pun segera berpisah. Mereka pergi ke kedua ujung yang berlawanan. Namun mereka tidak sekedar pergi ke ujung. Di sepanjang langkahnya, mereka pun mencoba untuk menggetarkan dada pasukan lawannya. Namun Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar tidak lengah. Mereka pun segera melihat keadaan medan yang seakan-akan terguncang. Sejenak mereka melihat pengaruh Sutawijaya, namun sejenak kemudian seperti didorong oleh gelombang pasang, pasukan yang mempertahankan barak itu terdesak.
“Nah, itulah dia,” desis Kiai Gringsing ketika ia melihat Kiai Damar,
“agaknya orang itu mencarimu.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya,
“Tetapi ia hanya seorang diri. Seharusnya ia berada bersama orang yang disebut bernama Kiai Telapak Jalak.”
“Kita belum mengenal orang yang bernama Kiai Telapak Jalak dengan baik. Mungkin ia berada di sekitarnya.”
“Mungkin di tempat lain,” sahut Kiai Gringsing.
“Jagalah Kiai Damar. Jangan beri ia kesempatan. Aku akan mencari orang yang bernama Kiai Telapak Jalak. Mungkin ia berada di ujung yang lain. Atau bahkan mungkin ia sedang berusaha mengalahkan Raden Sutawijaya.”
“Baiklah. Aku akan menemui Kiai Damar. Meskipun barangkali tidak berkenan di hatinya, apa boleh buat,” berkata Sumangkar.
“Ya. Kali ini kita tidak boleh gagal lagi. Persoalan tanah ini harus segera menjadi jernih. Apalagi persoalannya kemudian beralih menjadi persoalan dengan Pajang, itu bukan soal kita lagi. Tetapi kita sudah membantu membebaskan mereka yang sedang berusaha membuka hutan ini dari gangguan hantu-hantu kerdil ini.”
“Ya. Dan aku akan segera dapat membantu Agung Sedayu dan Swandaru ke Sangkal Putung. Kalau aku juga tidak segera kembali, hati Ki Demang berdua, bahkan Sekar Mirah akan menjadi semakin cemas.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Lihat, Kiai Damar tidak pandang lawan. Orang-orang yang tidak mampu berbuat banyak itu telah diserangnya. Cepat, lindungilah mereka.”

Sumangkar mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian meloncat menyongsong Kiai Damar yang seolah-olah sedang mengamuk. Meskipun Kiai Damar sadar, bahwa di antara mereka yang tinggal di dalam barak itu ada orang-orang yang harus mendapat perhatiannya, namun kehadiran Sumangkar yang tiba-tiba itu mengejutkannya juga. Bahkan dengan tanpa sesadarnya ia berkata,
“Kau lagi?”
“Ya. Aku lagi,” jawab Sumangkar.
“Selama kau masih datang kembali, aku pun akan datang lagi menjemputmu.”
“Persetan. Sekarang aku tidak akan membiarkan kau hidup. Sekarang kau akan mati.”
Sumangkar tidak merasa perlu untuk menjawab. Ia langsung mengambil alih Kiai Damar dari lawan-lawannya yang kebingungan. Sehingga dengan demikian, maka mereka pun segera terlibat dalam perkelahian yang seru. Di tempat lain, Sutawijaya masih sibuk menghalau lawan-lawannya yang masih selalu mendesak terus. Para pengawal menjadi agak kecut juga melihat orang-orang yang bertempur bersama mereka menjadi bingung. Ternyata penghuni barak yang tidak pernah mengalami peperangan dan hanya mendapat petunjuk sekedarnya itu, masih belum mampu menyesuaikan diri dengan peperangan yang sengit. Perang yang seakan-akan tidak teratur lagi. Perang brubuh. Apalagi apabila sekali-sekali mereka mendengar seorang di antara mereka berteriak kesakitan, karena tubuh mereka tersentuh senjata, sehingga kadang-kadang para pengawal tidak lagi sempat bertempur dengan mantap. Kehadiran Sutawijaya di medan ternyata telah memberikan nafas baru kepada mereka, Sutawijaya yang bagaikan burung sikatan itu, terbang dari satu lingkaran peperangan ke lingkaran yang lain, sehingga hati para pengawal menjadi agak lapang. Mereka mendapat kesempatan untuk mengerahkan kemampuan mereka terhadap lawan-lawannya sendiri, karena lawan-lawannya yang lain menjadi kisruh oleh kehadiran Sutawijaya. Tetapi tiba-tiba langkah Sutawijaya terhenti. Seseorang telah berada di hadapannya sambil bertolak pinggang. Dengan sorot mata yang tajam, orang itu berkata,
“Raden, hentikan cara itu. Korban akan terlampau banyak karena pokalmu.”
Sutawijaya tertegun sejenak. Diamatinya orang yang berdiri bertolak pinggang di hadapannya itu. Dan sebelum ia bertanya, maka orang itu telah mendahuluinya,
“Akulah yang disebut Kiai Telapak Jalak.”

Sutawijaya mengerutkan keningnya. Dipandanginya sejenak orang yang menyebut dirinya Kiai Telapak Jalak itu. Agaknya orang itu terlampau yakin akan dirinya.
“Sayang, bahwa kita bertemu dalam keadaan seperti ini,” berkata Kiai Telapak Jalak.
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Ya, sayang sekali. Tetapi apakah sebenarnya yang kalian kehendaki, sehingga kalian terpaksa melakukan tindakan-tindakan yang kasar ini?”
“Pertanyaanmu terlampau sederhana. Sebagai seorang yang bercita-cita membuka sebuah hutan sebesar hutan Mentaok, kau seharusnya sudah dapat menjawab pertayaanmu sendiri.”
“O, begitu? Sayang, aku tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Mungkin otakku memang tumpul atau barangkali aku tidak cukup mempelajari persoalan ini. Tetapi aku akan bertanya sekali lagi kepadamu, apa pun yang kau katakan tentang diriku.”
“Ini adalah suatu ciri bagi Raden Sutawijaya,” berkata Kiai Telapak Jalak. Lalu,
“Kau adalah gambaran dari anak-anak muda yang keras kepala.”
“Ya. Itu benar. Lalu?”
“Dan aku masih harus menjawab pertanyaanmu?”
“Ya, aku masih mengharap jawaban itu.”
“Baiklah.” Kiai Telapak Jalak berhenti sejenak, lalu,
“Kami tidak menghendaki kalian membuka Alas Mentaok.”
“Kenapa?”
“Ada bermacam-macam alasan. Di antaranya, aku tidak senang melihat kau dan ayahmu Pemanahan berkuasa di sini.”
“Itukah alasanmu yang paling penting.”
“Sekali lagi kau menunjukkan kebodohanmu sebagai seorang putera Pemanahan dan apalagi putera angkat Sultan Pajang.”
“O, mungkin nanti kau akan menjumpainya kebodohan berikutnya. Tetapi apa jawabmu?”
“Aku kira aku lebih baik tidak menjawab. Sekarang, jangan menyesal bahwa kau akan mati di tanganku. Sudah lama aku berniat untuk melakukannya, tetapi agaknya baru sekarang aku mendapat kesempatan.”
“Kiai Telapak Jalak,” berkata Sutawijaya,
“sebenarnya usahaku untuk membuka Hutan Mentaok sudah pasti tidak akan merugikan siapa pun juga. Tanah ini akan menjadi tanah garapan yang subur. Yang akan bermanfaat bagi daerah di sekitarnya. Jalur perdagangan akan menjadi semakin banyak dan ramai. Demikian juga bagi Pajang. Jadi apakah salahnya aku melakukannya?”
“Tidak selamanya menguntungkan,” jawab Kiai Telapak Jalak.
“Tetapi biarlah aku tidak perlu menggurui kau, karena itu bersedialah untuk menutup segala rencanamu dengan mengakhiri hidupmu. Sebenarnya aku tidak akan sampai hati melihat Putera Sultan Pajang yang terkenal sakti tanpa tanding itu mati di pinggir Alas Mentaok, seperti matinya para pendatang yang sekedar ingin memiliki secuwil tanah garapan.”
“Jangan mengigau. Tetapi kalau kau tidak mau mengatakan alasanmu, baiklah. Aku tidak akan memaksa. Tetapi orang yang menyebut dirinya Kiai Telapak Jalak, Kiai Damar, dan orang-orang yang berdiri di belakangnya pasti mempunyai alasan yang kuat untuk berbuat sesuatu. Bukan sekedar digerakkan oleh perasaan iri yang berlebih-lebihan. Tidak sekedar digerakkan oleh perasaan tidak senang melihat tanah ini terbuka dan berkembang di samping daerah-daerah yang telah terbuka lebih dahulu di sekitarnya.”
“Cukup!” potong Kiai Telapak Jalak.
“Itu dugaan yang sangat kerdil dari seorang Putera Sultan Pajang.”
“Salahmu sendiri, karena kau tidak mengatakan alasan yang sebenarnya.”
“Persetan. Jangan membuang waktu. Semua orang sudah berkeringat dan bahkan menitikkan darah. Sekarang kau harus mati.”

Sutawijaya melihat mata Kiai Telapak Jalak yang berkilat-kilat kena cahaya obor yang kemerah-merahan. Karena itu, ia pun segera bersiap. Namun ia sadar sepenuhnya bahwa Kiai Telapak Jalak adalah seorang yang pilih tanding. Karena itu, sepercik pertanyaan telah menyentuh hatinya,
“Apakah Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar tidak menemukannya?”
Tetapi sebagai seorang prajurit Sutawijaya tidak akan lari dari gelanggang. Karena itu, apa pun yang akan terjadi, ia sudah siap menghadapinya.
“Kau masih ada kesempatan sejenak untuk menyebut nama ayahmu. Sejenak lagi kau akan mati terkapar di tanah,” berkata Kiai Telapak Jalak.
“Aku tidak memerlukan waktu lebih dari tiga tarikan nafas untuk membunuhmu. Kalau ayahmu datang kemari, barulah aku mendapat lawan. Tetapi kematianmu pasti akan membangunkannya.”
“Jangan omong kosong. Kalau kau mampu melakukan, lakukanlah. Tetapi selama ini kau tidak berani menampakkan dirimu. Apalagi menghadapi Ayahanda Ki Gede Pemanahan.”
Kiai Telapak Jalak tidak menjawab lagi. Perlahan-lahan ia maju mendekati Sutawijaya dengan mata yang menyala-nyala. Ia merasa bahwa tugas ini adalah sebagian dari satu-satunya cara yang dapat ditempuh untuk membatasi kegagalan Kiai Damar di daerah ini. Sutawijaya pun telah siap pula menghadapi setiap kemungkinan. Tombaknya segera merunduk. Dengan kokohnya ia berdiri di atas kedua kakinya yang sedikit merendah pada lututnya. Sementara itu, di sekitarnya, pertempuran masih berlangsung dengan dahsyatnya. Para pengawalnya telah berjuang mati-matian untuk tetap dapat bertahan.
Sejenak Kiai Telapak Jalak memandang arena yang remang-remang. Kemudian ditatapnya wajah Sutawijaya yang menegang. Namun kemudian ia pun telah siap untuk menerkam lawannya.
“Raden,” berkata Kiai Telapak Jalak,
“kalau aku tidak berhasil membunuh Raden Sutawijaya dalam tiga tarikan nafas, maka aku akan berlutut dan menyembah di bawah kakimu. Aku akan menyerahkan leherku untuk dipancung atau digantung sama sekali.”
Sutawijaya tidak menyahut. Betapa pun tabah hatinya, namun terasa dadanya tergetar juga mendengar ancaman itu. Kiai Telapak Jalak pasti tidak sekedar menakut-nakutinya. Tetapi ia pasti merasa mampu untuk melakukannya.
“Tetapi aku bukan cacing,” geram Sutawijaya di dalam hatinya, sehingga dalam pada itu ia pun yakin bahwa ia akan dapat menghindar dari ancaman itu. Ia pasti akan dapat bertahan lebih dari tiga tarikan nafas.
“Nah, Raden,” berkata Kiai Telapak Jalak,
“aku akan segera mulai. Hitungan akan dimulai sejak aku melontarkan seranganku yang pertama, yang aku yakin, bahwa, kau tidak akan dapat menghindarkan diri, sehingga aku tidak akan memerlukan waktu lebih panjang lagi.”
Sutawijaya tidak menjawab. Tetapi tombaknya kini telah bergetar di tangannya, siap menerima serangan Kiai Telapak Jalak.
“Ha, kau sudah gemetar,” desis Kiai Telapak Jalak.
Sutawijaya masih tetap berdiam diri.
“Seandainya tidak ada sinar obor yang kemerah-merahan, maka wajahnya akan tampak lebih putih dari kapas.”
Tiba-tiba Sutawijaya menggeram,
“Cepat. Lakukan kalau kau mampu. Atau kau hanya sekedar berbicara saja? Atau kau ingin mempengaruhi perasaanku dengan ancaman dan pengaruh ketidak-sabaranku?
“Ah, kau pandai juga menebak. Sebagian benar. Tetapi jangan menyangka, bahwa aku tidak akan dapat melakukan apa yang sudah aku katakan.”

Sutawijaya tidak menjawab. Tetapi ia tidak lengah. Dan ia berusaha untuk tetap menjaga perasaannya, agar tidak menjadi kehilangan keseimbangan. Tetapi agaknya sudah sampai saatnya Kiai Telapak Jalak melakukan rencananya. Karena itu, maka suasana menjadi kian menegang. Namun dalam pada itu, sepasang mata selalu mengikuti pembicaraan itu dengan saksama. Perlahan-lahan orang yang memiliki sepasang mata yang tajam itu bergeser semakin mendekat, sehingga akhirnya ia berdiri di balik gerumbul beberapa langkah saja di belakang Sutawijaya. Orang itu adalah Kiai Gringsing. Dalam penilaian Kiai Gringsing, Kiai Telapak Jalak memang seorang yang memiliki kelebihan dari orang-orang kebanyakan. Bahkan Kiai Gringsing menganggap bahwa Kiai Telapak Jalak memang tidak sekedar membual. Mungkin ia benar-benar dapat melakukan seperti apa yang dikatakannya. Dengan demikian maka Kiai Gringsing tidak akan dapat membiarkan hal itu terjadi. Kalau serangan pertama berarti maut bagi Sutawijaya, maka ia tidak akan dapat kesempatan lagi untuk menyelamatkannya. Karena itu, Kiai Gringsing harus bertindak sesuatu sebelum serangan yang pertama itu. Maka ketika ia melihat Kiai Telapak Jalak benar-benar telah mempersiapkan serangannya dengan masak, tiba-tiba saja terdengar Kiai Gringsing berkata,
“He, Kiai, apakah kau akan melawan Raden Sutawijaya?”
Kiai Telapak Jalak terperanjat. Sejenak ia mencari, namun segera diketemukannya Kiai Gringsing yang melangkah dari balik gerumbul mendekati Sutawijaya.
“Minggir kau,” bentak Kiai Telapak Jalak,
“aku tidak sedang bermain-main.”
“Aku tahu. Tetapi aku minta waktu sedikit. Aku akan berbicara dengan Raden Sutawijaya.”
“Apa yang akan kau katakan?”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Tanpa melepaskan kewaspadaan ia berkata,
“Raden, pasukan yang mempertahankan barak ini agak terdesak. Setiap orang menunggu pertolongan Raden. Karena itu, aku ingin mempersilahkan Raden menolong mereka, agar mereka agak mendapat kesempatan untuk bernafas.”
“Siapa kau?” bentak Kiai Telapak Jalak. Tetapi Kiai Gringsing tidak menghiraukannya. Katanya,
“Silahkan. Keadaan menjadi semakin genting. Beberapa orang telah terluka. Raden tidak dapat menunggu lebih lama lagi. Aku sudah tidak mampu lagi menolong keadaan. Yang dapat menahan arus serangan lawan tidak ada orang lain kecuali Raden sendiri.”
“Gila kau,” bentak Kiai Telapak Jalak, sedang Sutawijaya agak termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia sadar, apa yang dimaksudkan oleh Kiai Gringsing dengan bahasa yang sering dipergunakan oleh orang tua itu. Agaknya Kiai Gringsing mengharap ia meninggalkan lawannya yang berbahaya dan siap untuk mengambil alih persoalan.
“Cepatlah, Raden. Keadaan sudah sangat mendesak,” sejenak Kiai Gringsing terdiam. Sambil memandang Kiai Telapak Jalak, Kiai Gringsing berkata,
“Biarlah aku mengurusi yang seorang ini. Tetapi yang banyak orang itu aku serahkan kepada Raden.”
Sutawijaya menarik nafas. Dengan gaya Kiai Gringsing ia menjawab,
“Baiklah, Kiai. Sayang, aku harus meninggalkan lawanku yang seorang ini.”
“Persetan, jangan lari.”
“Aku mempunyai tugas yang lebih penting. Biarlah pemomongku ini sajalah yang melayanimu.”
“Tunggu,” ternyata Kiai Telapak Jalak tidak ingin melepaskan Sutawijaya yang seakan-akan telah berada di dalam telapak tangannya.

Tetapi Sutawijaya tidak menghiraukannya. Dengan tergesa-gesa ia meninggalkan Kiai Telapak Jalak. Seakan-akan ia tidak mengacuhkannya lagi, meskipun sebenarnya ia masih sempat melihat kesiap-siagaan Kiai Gringsing, karena ia menduga pula, bahwa Kiai Telapak Jalak tidak akan begitu saja menerima keadaan itu. Ternyata dugaan itu pun segera terjadi. Selagi Sutawijaya melangkah pergi, Kiai Telapak Jalak sekali lagi menghentikannya,
“Berhenti. Aku akan menyerangmu. Melawan atau tidak melawan.”
Meskipun dada Sutawijaya berdesir, tetapi ia percaya bahwa Kiai Gringsing tidak akan tinggal diam, sehingga ia telah menyerahkan nasibnya bulat-bulat kepada Kiai Gringsing itu. Kemarahan yang menghentak dada Kiai Telapak Jalak tidak dapat ditahan lagi. Meskipun Sutawijaya membelakanginya, namun Kiai Telapak Jalak segera menyerangnya sambil berteriak nyaring,
“Salahmu sendiri kalau punggungmulah yang terbakar karena sentuhan tanganku.”
Kiai Telapak Jalak sama sekali tidak menunggu jawaban, sedangkan Sutawijaya pun sama sekali tidak berpaling, meskipun terasa juga punggungnya meremang. Sekejap kemudian. Kiai Telapak Jalak telah meloncat memukul punggung Sutawijaya dengan sisi telapak tangannya. Kiai Telapak Jalak yang merasa terhina oleh sikap Sutawijaya itu telah berniat untuk membunuhnya dengan pukulannya yang pertama itu. Tetapi Kiai Telapak Jalak terkejut bukan buatan, ia tidak menyangka sama sekali bahwa serangannya itu akan membentur kekuatan yang tidak pernah diperhitungkannya sama sekali, sehingga karena itu, justru Kiai Telapak Jalak lah yang terlempar beberapa langkah dan terbanting jatuh di tanah. Sutawijaya yang mendengar benturan itu berpaling sejenak. Ia masih melihat Kiai Telapak Jalak meloncat berdiri dengan sigapnya. Namun demikian, karena ia tidak bersedia sama sekali menghadapi hal itu, maka terasa juga dadanya menjadi sesak.
“Berhati-hatilah sedikit, Kiai Telapak Jalak,” Sutawijaya masih sempat berkata.
“Jangan tergelincir lagi untuk kedua kalinya.”
“Persetan,” geram Kiai Telapak Jalak,
“jangan licik. Hadapi aku.”
Sutawijaya tidak menjawab. Ia langsung meninggalkan tempat itu. Ia sadar, bahwa pertempuran yang berkobar semakin seru itu sama sekali tidak menguntungkan pihaknya. Karena itu, setelah mempercayakan perlawanan atas Kiai Telapak Jalak kepada Kiai Gringsing, maka Sutawijaya mulai dengan penjelajahannya kembali. Ia bertempur dari ujung sampai ke ujung yang lain.

Dalam pada itu, Kiai Telapak Jalak hampir tidak dapat menahan kemarahan yang meledak di dadanya. Namun demikian, ia sadar bahwa kini ia bertemu dengan lawan yang sebenarnya, meskipun bukan Ki Gede Pemanahan. Dan ia pun kini harus mengakui, bahwa selama ini bukanlah Kiai Damar yang salah menilai kemampuan lawannya. Tetapi bahwa di dalam barak itu ada orang-orang yang memiliki kelebihan dari sesamanya, kini telah dilihatnya sendiri sebagai suatu kenyataan. Tetapi Kiai Telapak Jalak pun sadar bahwa ia masih belum mempergunakan seluruh kemampuannya. Ia masih belum mengukur kekuatan lawannya dengan sewajarnya. Kekuatan yang dilepaskan itu, menurut penilaiannya, sudah cukup kuat untuk mematahkan tulang belakang Sutawijaya betapa pun anak muda itu telah menempa dirinya. Karena itu, dengan wajah yang merah padam ia berdiri tegak menghadap Kiai Gringsing sambil berkata,
“Siapakah sebenarnya kau?”
Kiai Gringsing maju pula selangkah. Dengan nada yang rendah ia berkata,
“Namaku Truna Podang.”
“Persetan. Iblis seperti kau pasti mempunyai seribu nama. Kau sangka aku percaya?”
“Tidak. Aku memang sudah menduga bahwa kau tidak akan percaya bahwa namaku Truna Podang, seperti aku juga tidak percaya bahwa namamu Telapak Jalak. Tetapi adalah kebetulan sekali bahwa kita sama-sama meminjam nama jenis burung yang hampir sama. Podang dan Jalak. Keduanya sejenis burung oceh-ocehan. Burung yang setiap matahari terbit, mulai berkicau tanpa ujung dan pangkal. Begitu?”
Kiai Telapak Jalak menggeretakkan giginya
“Tetapi jenis podang memiliki bulu yang warnanya lebih cantik dari seekor burung jalak.”
“Cukup, Cukup. Agaknya di dalam barak ini terdapat juga orang gila seperti kau.”
“Mungkin. Tetapi aku sebenarnya adalah pemomong Raden Sutawijaya.”
“Tentu kau yang menyebut dirimu Dandang Wesi.”
“Kenapa aku?”
“Kau dan Dandang Wesi sama-sama mengaku menjadi pemomong Sutawijaya. Tidak mungkin hal itu suatu kebetulan.”
“O, kau keliru. Aku mengenal Kiai Dandang Wesi. Ia adalah pemomong Sutawijaya di masa kecilnya. Tetapi ia sudah meninggal. Akulah yang kemudian menggantinya.”
“Jangan kau bohongi aku seperti kau membohongi anak-anak.”
“Terserahlah kepadamu. Mungkin aku memang memperlakukan kau seperti kanak-kanak.”
“Diam, diam kau,” Kiai Telapak Jalak membentak-bentak. Tetapi suaranya seakan-akan tenggelam dalam hiruk-pikuk peperangan yang semakin ribut. Di sana-sini terdengar teriakan kemarahan, namun juga jerit kesakitan dan keluhan yang tertahan-tahan.
“Kiai Telapak Jalak,” berkata Kiai Gringsing kemudian,
“sebenarnya aku ingin berbicara sebagai orang tua kepada orang tua. Apakah kau bersedia?”

Kiai Telapak Jalak menjadi termangu-mangu sejenak. Ia merasakan, suatu perbawa yang telah mempengaruhi perasaannya. Sehingga di luar kesabarannya sendiri ia menganggukkan kepalanya,
“Berbicaralah.”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Dengan sudut matanya ia memandang hiruk-pikuk peperangan. Ia mengharap bahwa kehadiran Raden Sutawijaya mempunyai banyak pengaruh di medan, sehingga semakin lama ia berbicara dengan Kiai Telapak Jalak, maka kesempatan Raden Sutawijaya menjadi semakin besar. Kemudian pertempurannya dengan orang ini tidak akan terlampau banyak berpengaruh. Sedangkan Kiai Damar, sudah pasti tidak akan dapat mengatasi Sumangkar seperti yang pernah terjadi.
“Kiai Telapak Jalak,” berkata Kiai Gringsing,
“sedikit atau banyak, kami telah mengetahui niatmu menggagalkan usaha Raden Sutawijaya membuka Alas Mentaok. Kalian tidak senang melihat daerah baru yang akan segera berkembang ini. Kenapa? Apakah kau hanya sekedar iri atau kau memang mempunyai suatu rencana lain tentang daerah ini? Kenapa kau tidak berterus terang membicarakannya dengan Ki Gede Pemanahan? Kalau rencanamu itu baik, maka Ki Gede Pemanahan pasti tidak akan menolaknya. Kenapa kau mengambil jalan yang panjang seandainya tujuanmu tidak terlampau jauh.”
Kiai Telapak Jalak memandang Kiai Gringsing dengan sorot mata yang seakan-akan menyala. Dengan suara yang parau ia menjawab,
“Truna Podang. Siapakah kau sebenarnya dan apakah keuntunganmu mencampuri urusanku? Apakah Pemanahan merasa dirinya tidak mampu lagi mengatasi persoalan ini, sehingga ia memerlukan orang-orang seperti kau?”
Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya,
“Tentu tidak. Aku kira Pemanahan tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi di sini sekarang. Kalau ia tahu, bahwa di sini ada Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak bersama-sama, maka ia tidak akan membiarkan anak laki-lakinya yang hanya satu-satunya itu datang kemari. Ia pasti akan pergi sendiri dan tidak hanya membawa beberapa orang pengawal. Tetapi segelar sepapan. Dan kalian akan ditumpasnya tanpa ampun.”
“Persetan!”
“Bukankah kau sengaja menghancurkan usahanya dengan cara yang lain dari cara seorang laki-laki jantan? Kau telah membuat hantu-hantuan untuk menakut-nakuti orang-orang yang sedang membuka hutan. Kau berharap bahwa mereka meninggalkan tempat ini dan mengurungkan niatnya, setelah kau ambil keuntungannya. Setelah beberapa dari mereka berhasil menebang kayu-kayu raksasa di pinggiran Alas Mentaok. Kelak, apabila kau berhasil mengusir dengan caramu, maka akan datang orang-orang lain yang mengaku telah membuka hutan ini tanpa menitikkan keringat sama sekali.”
“Cukup!” teriak Kiai Telapak Jalak.
“Kau orang-orang kerdil yang tidak dapat menjangkau cara berpikir seseorang yang bercita-cita. Kau tentu tidak mengerti apa yang kami inginkan. Dan kau hanya akan sampai pada suatu kesimpulan iri hati dan ketamakan melulu.”
“Apakah kau dapat mengatakan yang lain?”

Kiai Telapak Jalak menelan ludahnya. Ada semacam tuntutan untuk mengatakan alasan yang lebih bernilai dari yang dikatakan oleh Kiai Gringsing. Karena itu maka Kiai Telapak Jalak yang tidak dapat menahan gelora di dadanya itu berkata,
“Orang-orang kerdil macam kalian memang tidak dapat berpikir panjang. Mungkin kau memiliki kemampuan olah kanuragan. Tetapi kau benar seorang yang tidak lebih baik dari seekor kerbau yang kuat, tetapi terlampau dungu untuk bersikap.” Kiai Telapak Jalak berhenti sejenak. Tiba-tiba saja ia merasa sesuatu telah terjadi di dalam pertempuran yang sengit itu. Namun ia mempercayakannya kepada Kiai Damar bahwa pada suatu saat Kiai Damar akan bertemu dengan Raden Sutawijaya dan membunuhnya. Ia tidak menyangka bahwa orang-orang yang berilmu melampaui orang-orang kebanyakan di dalam peperangan ini berjumlah tidak hanya seorang saja. Seorang yang sedang dihadapinya. Sedang yang lain, meskipun mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu, tetapi tidak akan dapat melampaui Kiai Damar dan pasukannya. Orang-orang bercambuk yang pernah didengarnya, tentu tidak akan dapat melawan lima atau enam orang-orang pilihannya sekaligus seperti Sutawijaya sendiri. Tetapi Kiai Telapak Jalak tidak menyangka, bahwa Sutawijaya tidak berkelahi di satu tempat, tetapi ia bagaikan terbang dari ujung sampai ke ujung, sedang anak-anak muda yang bercambuk itu berada di belakang barak.
“Sebentar lagi,” berkata Kiai Telapak Jalak di dalam hatinya,
“orang-orang yang sedang berkelahi ini akan berteriak ketakutan diterkam oleh kengerian yang amat sangat. Mereka akan melihat orang-orangku yang akan melemparkan mayat anak, isteri, dan orang tua mereka yang tinggal di dalam barak itu. Orang-orangku yang memasuki barak lewat belakang itu, akan membuat barak seisinya menjadi neraka yang paling jahanam.”
Tanpa disadarinya Kiai Telapak Jalak memandang ke arah barak yang diliputi oleh kegelapan. Tetapi ia berkata pula di dalam hati,
“Sebentar lagi barak itu akan menyala, dan semuanya akan segera selesai. Semua orang akan menyesal. Sutawijaya pun akan menyesal melihat mayat yang bergelimpangan. Mayat perempuan dan anak-anak. kemudian disusul mayat laki-laki yang berkelahi ini dan para pengawal. Yang terakhir Sutawijaya akan menyesali kematiannya sendiri.”
Karena Kiai Telapak Jalak tidak segera meneruskan kata-katanya, maka Kiai Gringsing pun menyahut,
“He, kenapa kau merenung sebelum kau selesai. Kau baru mengatakan aku sedungu kerbau. Tetapi kau belum mengatakan, kenapa aku kau anggap orang yang dungu?”
“Kau hanya berpikir pendek. Iri, tamak, bengis, dan sebagainya. Tetapi apakah kau mengerti, bahwa yang dilakukan oleh Pemanahan ini tidak berkenan di hati Sultan Pajang?”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Memang ia sudah menduga, bahwa orang-orang itu akan mencoba menarik keuntungan dari hubungan yang seakan-akan mulai retak setelah Pemanahan meninggalkan Pajang karena janji Sultan Pajang itu tidak segera dipenuhi. Tetapi sampai berapa jauh mereka mempergunakan dalih itu masih ingin diketahui oleh Kiai Gringsing.
Karena itu maka Kiai Gringsing pun bertanya,
“Apakah kau yakin pada apa yang kau katakan? Bukankah Raden Sutawijaya putera angkat Sultan Pajang?”
“Ya. Itulah kekerdilan jiwa Pemanahan. Kalau ia tidak usah menuntut tanah ini, maka persoalannya akan tetap jernih. Sebagai putera Sultan Pajang, maka Sutawijaya akan mendapat tidak hanya sekedar Alas Mentaok, tetapi jauh lebih banyak dari itu. Jauh lebih luas dari Tanah yang kalian sebut Mataram Baru ini.
“Apakah kau lupa, bahwa di Pajang ada Pangeran Benawa?”
“Pangeran Benawa akan mewarisi tahta Pajang. Sutawijaya setidak-tidaknya akan menjadi seorang Adipati. Adipati yang besar dan tidak perlu berdiri di balik pintu yang tertutup seperti sekarang ini.”
“Ah, kau memang aneh. Kau agaknya banyak mengetahui tentang hubungan itu. Hubungan antara Pemanahan dan Sultan Pajang. Tetapi semuanya itu kau nilai berdasarkan atas pertimbanganmu sendiri. Apakah hubunganmu dengan persoalan itu? Persoalan itu adalah persoalan Sultan Pajang dengan Pemanahan. Bukan persoalanmu dan bukan persoalanku. Kalau Sultan Pajang berkeputusan mengusirnya, biarlah ia mengusirnya. Kalau kemudian ternyata Sultan Pajang, entah karena segan atau karena Sutawijaya itu anak angkatnya, dan mengesahkan pembukaan hutan ini dan ingat Telapak Jalak, bahwa hal itu sudah dilakukan, itu pun urusannya mereka pula.”
“Itu tidak adil. Sultan Pajang tidak melalaikan apa yang lurus bagi pemerintahannya. Ia membenarkan sikap memberontak dari Pemanahan. Menurut pendapatku, Pemanahan justru harus dihukum. Tidak justru mendapat pengesahan atas pemberontakan yang dilakukan.”
“Kiai Telapak Jalak. Kenapa kau mempergunakan istilah-istilah yang mendebarkan jantung. Apakah dapat dibenarkan bahwa kau menganggap Pemanahan telah memberontak. Dan bahkan Sultan Pajang sendiri telah membersihkan pemberontak itu? Kau terlampau mengada-ada.”
“Truna Podang. Apakah yang kau ketahui tentang persoalan ini? Kau mungkin pernah berguru pada seorang guru sakti. Tetapi gurumu tinggal di ujung pegunungan kapur yang tandus, sehingga tidak sepantasnya kau berbicara tentang Sultan Pajang.”
“O, begitu?” sahut Kiai Gringsing.
“Karena itu sebaiknya kita tidak mempersoalkannya. Aku kira kau pun sebaiknya tidak membuang-buang waktu untuk itu. Serahkanlah semuanya kepada kebijaksanaan Sultan Pajang. Seandainya Sultan Pajang membenarkan pemberontakan itu sekalipun, apakah hakmu untuk ikut mencampurinya, apalagi dengan caramu?”

Wajah Kiai Telapak Jalak menjadi semakin merah di bawah cahaya obor yang tersangkut di semak-semak.
“Persetan!” katanya.
“Aku adalah salah satu dari sekelompok orang-orang yang menghendaki tegaknya keadilan di Pajang dan seluruh daerahnya, termasuk Alas Mentaok. Cara-cara yang ditempuh oleh Pemanahan adalah cara-cara yang kotor dan tidak dapat dibiarkan.”
“Kalau kemudian Sultan Pajang membenarkannya, bukankah itu berarti bahwa kau juga telah memberontak kepada rajamu.”
“Demi kebenaran.”
“Itu juga yang pernah diucapkan oleh Pemanahan ketika ia memutuskan untuk membuka hutan ini. Demi kebenaran dan keadilan. Pati sudah diserahkan. Mentaok pun harus segera diserahkan. Nah, kau melihat persamaannya?”
Darah Kiai Telapak Jalak serasa telah mendidih. Ternyata orang yang menyebut dirinya Truna Podang itu bukan orang yang sama sekali tidak mengerti persoalan Tanah Mentaok ini. Sehingga dengan demikian, maka semakin besarlah tanda tanya di dalam hati Kiai Telapak Jalak, siapakah sebenarnya orang yang sedang dihadapinya ini. Namun agaknya orang itu sama sekali tidak berniat untuk mengatakan tentang dirinya.
“Apa peduliku,” geram Kiai Telapak Jalak di dalam hatinya,
“kalau aku membinasakannya maka tidak akan ada persoalan apa pun lagi.”
Karena itu, maka dengan suara bergetar ia berkata,
“Kita tidak usah mempersoalkannya. Bukankah kita sudah bertemu di medan?”
“Tetapi belum terlambat, Kiai Telapak Jalak. Kalau kau bersedia menarik orang-orangmu, maka aku kira, persoalan ini pun akan segera selesai. Aku menjamin bahwa Raden Sutawijaya tidak akan menuntut kau dan orang-orangmu apabila kau dan orang-orangmu benar-benar dengan ikhlas menghentikan semua kegiatan yang tidak berarti ini. Kau harus meninggalkan Alas Mentaok dan menghentikan segala macam kegiatanmu, membuat hantu-hantuan dan menakut-nakuti orang-orang yang sedang bekerja.”
Tetapi Kiai Telapak Jalak menggeram,
“Gila. Kau sangka dirimu begitu pentingnya sehingga kau dapat mengambil sikap seakan-akan kaulah yang menentukan segala sesuatunya?”
“Bukan aku, tetapi kau.”
“Tidak. Aku sudah berkeputusan untuk membinasakan semua orang yang ada di sini, agar berita tentang badarnya beberapa jenis hantu yang dibuat oleh Kiai Damar tidak tersebar di mana-mana. Dan bahkan akan tersebar berita, bahwa di sini telah berjangkit wabah yang maha dahsyat, karena orang-orang di sini tidak lagi menghormati penghuni Alas Mentaok yang sebenarnya. Kau mengerti?”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini sudah pasti baginya, bahwa ia tidak akan dapat menyelesaikan masalah ini seperti yang dicobanya itu. Tetapi ia benar-benar harus mempergunakan kekerasan yang pasti tidak hanya akan berhenti sampai di sini. Karena di dalam perkem-bangan persoalan yang didengarnya dari berbagai pihak pasti ada hubungan yang rapat antara orang-orang itu dengan beberapa orang yang ada di dalam istana Pajang.
“Apa boleh buat,” berkata Kiai Gringsing,
“kau terlampau sadar akan kelebihanmu. Dan kau terlampau sadar bahwa di belakangmu berdiri dukungan yang kuat, entah dari orang-orang di istana atau orang-orang yang erat hubungannya dengan orang-orang istana.”
“Bohong!”
“Kau selalu menyebut hubungan antara tanah ini dengan Sultan Pajang, karena persoalan itulah yang selalu kau dengar dari orang-orang yang berdiri di belakangmu.”
“Berangan-anganlah dan mengigaulah sekehendak hatimu. Sebentar lagi mulutmu akan terkatup untuk selama-lamanya.”

Kiai Gringsing tidak menjawab lagi. Ia kini mempersiapkan dirinya untuk menghadapi perkelahian yang sebenarnya. Kiai Telapak Jalak adalah orang yang memiliki ilmu yang lebih tinggi dari Kiai Damar dan memiliki keya-kinan yang teguh akan dirinya sendiri. Sejenak kemudian, maka Kiai Telapak Jalak yang kecewa karena lepasnya Sutawijaya itu pun telah menumpahkan kemarahannya kepada Kiai Gringsing. Dengan gigi gemeretak, ia pun mendekat selangkah demi selangkah. Kemudian, dengan garangnya ia menyerang sambil berkata,
“Aku percaya bahwa aku tidak akan dapat membunuhmu pada serangan pertama seperti kalau yang berdiri di sini Raden Sutawijaya. Tetapi cepat atau lambat, kau pun akan mati pula di sini. Kemudian seisi barak ini akan menjadi mayat-mayat berserakan di sepanjang jalan-jalan kecil di hutan ini. Merekalah yang kelak akan benar-benar menjadi hantu yang berkeliaran siang dan malam di Alas Mentaok ini.”
Kiai Gringsing tidak menjawab. Tetapi ia sudah benar-benar siap menghadapi serangan itu. Dengan sigapnya ia menghindarkan dirinya dan bahkan dengan serta-merta ia telah menyerangnya pula. Namun Kiai Telapak Jalak pun cukup tangkas untuk menghindar sehingga serangan Kiai Gringsing pun tidak mengenai sasarannya. Demikianlah maka keduanya segera terlibat di dalam perkelahian yang sengit. Dengan cepatnya mereka saling menyerang silih berganti. Tangan-tangan mereka terayun-ayun seperti sayap-sayap burung yang sambar-menyambar. Dalam pada itu, selagi mereka bertempur dengan sengitnya, Kiai Telapak Jalak masih menunggu hasil serangan orang-orangnya dari arah belakang barak. Mereka harus berbuat sesuatu untuk mempengaruhi jalannya pertempuran. Mereka harus membuat perempuan dan anak-anak berteriak ketakutan, membunuh mereka dan melemparkan mayat mereka di tengah-tengah pertempuran ini. Dengan demikian maka perlawanan orang-orang dari barak ini dan para pengawal pasti akan segera dapat dipatahkan. Tetapi hal itu tidak juga segera terjadi. Tidak ada jerit di kejauhan, dan tidak ada sesosok mayat pun yang terlempar ke tengah-tengah medan. Bahkan yang terdengar di kejauhan adalah ledakan cambuk yang sahut-menyahut. Ternyata suara cambuk itu telah menggelisahkannya. Ia pernah mendengar dari Kiai Damar, orang-orang bercambuk yang pernah dihadapinya.
“Agaknya ada sesuatu yang tidak berjalan seperti yang aku rencanakan,” berkata Kiai Telapak Jalak di dalam hati.
Dengan demikian, maka ia berniat untuk segera meninggalkan mayat lawannya, apabila ia segera dapat membunuhnya. Kemudian membunuh setiap orang yang ada di dalam pertempuran itu. Karena itu, maka Kiai Telapak Jalak pun segera berusaha menyelesaikan peperangan itu. Dikerahkannya segala kemampuan untuk mengalahkan Kiai Gringsing.

Namun ternyata ia menghadapi lawan yang jauh lebih berat dari yang diduganya semula. Ternyata bahwa orang yang menyebut dirinya Truna Podang itu tidak sekedar dapat menyamai Kiai Damar. Tetapi orang tua ini ternyata memiliki banyak kelebihan yang menggetarkan jantungnya. Karena itu, maka Kiai Telapak Jalak pun tidak ingin memperpanjang pertempuran. Dengan serta-merta dari balik bajunya, ia mencabut sebilah cundrik. Cundrik yang berwarna kehitam-hitaman. Dada Kiai Gringsing berdesir melihat senjata itu. Senjata yang memang telah diduga ada pada orang yang bernama Kiai Telapak Jalak, dan pasti juga pada Kiai Damar. Racun. Senjata itu pasti menyimpan racun yang sangat tajam. Didasari dengan kecepatan tangan Kiai Telapak Jalak, maka cundrik itu pasti akan sangat berbahaya. Bahkan seandainya Kiai Telapak Jalak itu menjadi liar, dan berlari-lari di sepanjang medan sambil mengayun-ayunkan cundriknya maka sebelum fajar, semua orang pasti akan sudah mati.
“Kalian memang suka bermain-main dengan racun,” desis Kiai Gringsing kemudian.
“He, kau mengenal juga bahwa senjataku beracun.”
Kiai Gringsing tidak dapat lengah barang sekejap pun. Kalau senjata itu tidak berada di tangan Kiai Telapak Jalak, maka pasti tidak akan terlampau berbahaya. Tetapi kini senjata itu ada di tangan Kiai Telapak Jalak, sehingga bahayanya akan menjadi berlipat ganda. Karena itu, sebelum bahaya yang sebenarnya menerkamnya, maka Kiai Gringsing pun meloncat surut untuk mendapatkan kesempatan, mengambil sebutir obat dari bumbung di kantong ikat pinggangnya. Sebelum serangan berikutnya datang, obat itu sudah ditelannya. Kiai Telapak Jalak justru tertegun sejenak. Ia melihat Kiai Gringsing mengambil sesuatu dari ikat pinggangnya. Yang mula-mula terlintas di kepalanya adalah jenis senjata yang belum dikenalnya. Karena itu Kiai Telapak Jalak segera mempersiapkan dirinya menghadapi jenis senjata itu. Namun ternyata Kiai Gringsing sekedar mengambil sebutir reramuan obat dari kantong ikat pinggangnya itu.
“Apa yang kau telan?” bertanya Kiai Telapak Jalak.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia telah mencoba membentengi dirinya dengan berjenis-jenis obat. Menurut perhitungannya, racun yang berada pada senjata Kiai Telapak Jalak pasti termasuk racun yang terbaik. Namun demikian, terkilas juga di angan-angan Kiai Gringsing, Ki Sumangkar dan kedua muridnya. Mereka pun sudah membawa bekal obat untuk mengurangi kerja racun yang paling tajam sekali pun. Tetapi menurut perhitungannya, yang ada di tangan Kiai Telapak Jalak itulah yang pasti paling berbahaya.
“He, apa yang kau telan? Apakah kau mau membunuh diri?” Kiai Telapak Jalak mendesak.
“Kalau kau ingin membunuh diri, kau tidak usah menelan racun itu, karena aku akan menolongmu.”
Kiai Gringsing tidak segera menjawab. Terasa tubuhnya menjadi panas. Adalah kebetulan sekali bahwa Kiai Telapak Jalak tidak segera menyerangnya.

Tetapi ternyata Kiai Telapak Jalak tidak menunggu lebih lama lagi. Ia pun kemudian menyadari, bahwa Kiai Gringsing pasti sudah menelan obat yang dapat mengurangi ketajaman racun senjatanya. Namun demikian Kiai Telapak Jalak masih berkata,
“Kau akan menyesal. Kau sangka ada obat yang dapat menawarkan jenis racunku? Seandainya reramuanmu mandi, namun pasti ada akibat yang tinggal pada tubuhmu. Mungkin kelumpuhan sebagian atau bahkan kelumpuhan mutlak.”
Kiai Gringsing sengaja tidak menjawab kata-kata Kiai Telapak Jalak itu, karena Kiai Telapak Jalak pasti akan segera mengetahui bahwa suaranya bergetar. Namun Kiai Gringsing tidak dapat menunda perkelahian lebih lama lagi karena Kiai Telapak Jalak pun segera menyerangnya pula. Untuk mengatasi kesulitan di saat-saat obat yang ditelannya sedang bekerja di dalam dirinya. Kiai Gringsing sama sekali tidak melakukan perlawanan. Ia hanya sekedar menghindar dan meloncat surut. Tubuhnya rasa-rasanya masih belum cukup kuat untuk bertempur langsung melawan serangan-serangan Kiai Telapak Jalak. Sejenak Kiai Telapak Jalak menjadi heran. Tetapi kewaspadaannya justru menahannya untuk melakukan tekanan yang lebih besar lagi. Bahkan ia menduga, bahwa Kiai Gringsing yang menyebut dirinya Truna Podang itu sedang mempersiapkan suatu cara yang tidak disangka-sangkanya untuk menjebaknya. Di saat-saat mereka mulai bertempur, Truna Podang mampu melawannya dengan gigihnya, namun tiba-tiba kini ia bertempur dengan cara yang lain.
“Apakah orang ini termasuk orang yang licik?” bertanya Kiai Telapak Jalak di dalam hatinya.
“Setelah ia melihat senjataku ini, ia kehilangan keberanian untuk melawan?”
Tetapi keragu-raguan Kiai Telapak Jalak yang menahannya untuk tidak segera menyerang itu memberi peluang kepada Kiai Gringsing untuk mempersiapkan dirinya. Perlahan-lahan terasa obat yang ditelannya telah menjalari seluruh tubuhnya. Setelah seluruh kulitnya basah karena keringat, maka terasalah udara malam yang sejuk mulai menyelusuri kulitnya. Sejalan dengan perasaan itu, Kiai Gringsing merasa bahwa ia sudah siap menghadapi setiap kemungkinan. Bahkan seandainya di dalam perkelahian itu ia akan tergores oleh ujung keris Kiai Telapak Jalak. Demikianlah, maka Kiai Gringsing kini tidak lagi berloncatan surut. Kini ia berdiri tegak menghadapi lawannya yang menggenggam sebuah keris yang berwarna kehitam-hitaman. Namun Kiai Gringsing tidak ingin melawan keris itu dengan tangannya, sehingga dengan demikian, Kiai Gringsing pun segera mengurai senjatanya, sehelai cambuk yang berjuntai panjang.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar