Jilid 030 Halaman 2


“Kita harus bermalam di jalan semalam lagi, Kiai.”
Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Mungkin ngger. Tetapi kalau kita ingin berjalan tanpa diketahui orang, justru di malam hari.”
Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Ya Kiai, di malam hari kita dapat berjalan dengan aman, tanpa diketahui oleh siapa pun juga. Sebelum fajar kita akan sudah sampai di rumah kakang Argapati.”
Tetapi tiba-tiba Sidanti itu memotong,
“Tetapi aku tidak ingin masuk ke halaman rumah ayahku dengan keadaan serupa ini. Aku harus pantas menjadi seorang anak yang tidak memalukan orang tua. Mungkin para peronda melihat kita, dan mereka akan berbicara kepada orang-orang lain. Tidak sampai sehari semalam seluruh tanah perdikan akan berkata,
“Sidanti datang ke rumahnya kembali sebagai seorang pengemis yang paling malang.” Tidak, aku tidak mau.”
“Lalu apa yang akan kau lakukan? Merampas pakaian di tanah sendiri?”
“Aku dapat menyamar. Menutup mukaku dengan ikat kepala supaya aku tidak dikenal orang.”
“Mungkin karena kau sudah lama tidak berada di tanah ini. Tetapi bagaimana dengan aku?”
“Paman tidak perlu ikut. Biarlah aku lakukan sendiri.”
“Kau memang keras kepala Sidanti.” desis gurunya. Sidanti tidak menyahut. Tetapi gurunya menangkap sorot matanya. Ia tidak akan mengurungkan niatnya yang seolah-olah telah bulat, mencari pakaian yang baik untuk mereka bertiga.
“Bukan main anak ini,” desah Argajaya di dalam hatinya. Mereka telah berada di tlatah tanah sendiri. Bagaimana mungkin mereka dapat melakukannya. Apabila kemudian diketahui, bahwa yang melakukan itu adalah Sidanti, putera Argapati Kepala Tanah Perdikan Menoreh, lalu dimana Argapati harus menyembunyikan wajahnya.
Tetapi Sidanti benar-benar tidak mau mundur. Ketika matahari menjadi semakin dalam terbenam di balik cakrawala, mereka telah sampai di ujung hutan itu. Sejenak lagi mereka akan keluar dan sampai ke padesan tlatah Menoreh. Padesan yang subur, yang di antara penghuninya ada beberapa orang yang cukup memberi kesempatan kepada Sidanti melakukan niatnya.
“Anak ini tidak dapat dicegah lagi,” desis Argajaya,
“mudah-mudahan anak ini tidak melakukannya di rumah Kiai Sentol. Orang itu mengenal baik-baik siapakah aku. Aku sering singgah di rumahnya jika aku pergi berburu. Bahkan kakang Argapati pun tinggal di rumah itu pula untuk beristirahat setiap kali ia pergi berburu.”
“Kita berjalan terus guru,” desis Sidanti. Ia sudah tidak lagi banyak membuat pertimbangan-pertimbangan. Apalagi gurunya tidak sampai hati untuk menyakiti perasaan murid satu-satunya itu, sehingga dibiarkannya saja muridnya itu untuk menentukan sikapnya.
“Semakin malam semakin baik. Aku akan mendapatkan pakaian itu. Siapa yang mencoba menentang, harus aku selesaikan.”
“Pakaian itu akan dikenal orang Sidanti. Bahwa pakaian itu milik seseorang. Apalagi kalau orang itu mencarinya dan orang lain mengatakan bahwa pakaian itu dipakai oleh Sidanti, pamannya, dan gurunya,” desis Ki Tambak Wedi.
“Kita berjalan di malam hari. Sebelum pagi kita harus sudah sampai di rumah. Dan kita akan segera mengganti pakaian yang kita rampas itu, untuk dibakar.”
Ki Tambak Wedi hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala mendengar jawaban muridnya. Sidanti memang keras kepala. Ia benar-benar tidak mau masuk ke halaman rumahnya dengan pakaian yang tidak pantas. Harga dirinya telah memaksanya untuk berkeras kepala, meskipun cara yang akan ditempuhnya dapat justru berakibat sebaliknya. Tetapi gurunya tidak akan dapat mencegahnya. Karena itu, maka sekali lagi Tambak Wedi membiarkannya saja berbuat sesuka hatinya, seperti yang dikehendakinya. Sikap Ki Tambak Wedi yang demikian, yang berulang kali telah dilakukan, untuk menanggapi persoalan-persoalan yang kecil maupun yang besar yang dilakukan oleh Sidanti, ternyata menjadi pendorong bagi anak itu untuk menjadi semakin keras kepala.

Sejenak kemudian mereka terdiam. Hanya langkah-langkah mereka sajalah yang terdengar gemerisik di atas tanah berbatu-batu. Sekali-sekali angin malam yang dingin berhembus mengusap tubuh-tubuh mereka yang berkeringat.
“Daerah ini masih belum banyak berubah sejak saat terakhir aku menjenguk keluargaku beberapa tahun yang lalu,” desis Sidanti kemudian untuk menghilangkan ketegangan yang mencekam jantungnya.
“Ya,” sahut pamannya, “belum banyak perubahan. Jalan ini masih juga berdebu. Padesan yang kita lalui adalah padesan seperti lima tahun yang lalu.”
Sidanti mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia bergumam,
“He, bukankah di ujung padesan ini ada sebuah rumah joglo yang besar dan baik?”
Dada Argajaya berdesir. Rumah joglo di ujung padesan ini adalah rumah Ki Sentol.
“Bukankah begitu paman? Rumah itu cukup besar dan cukup bersih, sehingga isinya pun aku kira cukup banyak. He, bukankah kita pernah singgah di rumah itu pada saat-saat kita berburu dahulu?”
“Selalu Sidanti. Ayahmu selalu singgah di rumah itu apabila pergi berburu. Bahkan sekali-sekali bermalam pula di situ. Aku selalu singgah pula di rumah itu.”
Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba pula ia berdesis, “Aku akan mencari pakaian di rumah itu.”
“Sidanti,” dengan serta merta pamannya memotong, “jangan.”
“Kenapa?”
“Rumah itu selalu didatangi oleh keluarga ayahmu. Rumah itu seolah-olah telah menjadi pesanggrahan bagi keluarga kita apabila kita pergi berburu di hutan perburuan itu. Kau jangan menyakiti hatinya. Ia akan dapat menyampaikannya kepada kakang Argapati. Dan kau pasti tahu, bahwa kakang Argapati tidak senang kepada perbuatan-perbuatan yang demikian.”
“Tetapi orang itu tidak akan tahu siapa aku.”
“Jangan. Meskipun orang itu tidak tahu siapa kau karena kau dapat menutup wajahmu dengan ikat kepalamu misalnya atau dengan apapun, tetapi seandainya perbuatanmu itu tidak dapat diketahui orang meskipun lambat laun, maka kau pasti akan menyesal.”
“Bagaimana akan dapat diketahui paman? Sudahlah, jangan menjadi cemas. Aku tidak akan merampok apa pun kecuali tiga pengadeg pakaian. Sesudah itu, kita akan berjalan di malam hari. Kita masuk ke halaman rumah untuk menemui ayah sebagai orang-orang yang pantas menyebut dirinya keluarganya. Keluarga Kepala Tanah Perdikan Menoreh.”
“Terserah kepadamu Sidanti. Tetapi jangan di rumah itu.”
“Aku tidak ingin kehilangan kesempatan kali ini, paman. Kalau aku melepaskannya, mungkin untuk waktu yang lama aku tidak akan menemukan rumah sebaik itu. Semakin dekat dengan rumahku, maka aku akan menjadi kian sulit. Orang-orang di situ akan menjadi semakin besar kemungkinannya untuk mengenal aku.”
Argajaya menarik nafas dalam? Anak ini memang keras kepala.
“Sidanti, kalau kau hanya ingin tiga pengadeg pakaian saja maka aku kira kau tidak perlu masuk ke rumah joglo di ujung padesan itu. Rumah-rumah di desa ini cukup baik dan kemungkinan kau menemukan pakaian itu cukup besar.”
“Tetapi pakaian-pakaian kumal seperti yang kita pakai ini. Tidak. Aku harus mendapat pakaian yang pantas dipakai oleh seorang putera Kepala Tanah Perdikan, pamannya, dan gurunya.”
“Terserahlah kepadamu. Aku tidak akan ikut serta.”
“Akan aku lakukan sendiri. Paman dan guru sebaiknya menunggu saja di tempat yang terlindung. Aku yakin orang itu tidak akan mengenal aku.”
Argajaya menggeleng-gelengkan kepalanya. Anak ini memang anak bengal. Sejak kanak-kanak.

Rupanya Sidanti benar-benar akan melakukan maksudnya. Ketika mereka telah sampai di dekat rumah ujung jalan, yang terpancang di tengah-tengah halaman yang luas, ia berhenti. Kemudian dilepaskannya ikat kepalanya untuk menutupi wajahnya. Perlahan-lahan ia berdesis,
“Tunggulah aku di luar desa ini paman. Aku akan membawa pakaian untuk paman dan guru. Aku akan masuk ke rumah ini untuk mencarinya.”
“Sidanti,” nada suara gurunya terlampau datar dan dalam. Sesuatu agaknya telah terlampau memberati hatinya.
“Aku kira kau tidak hanya sekedar ingin masuk ke rumahmu sebagai seorang putera Argapati yang besar itu. Tetapi hatimu juga telah dikoyak oleh dendam yang tidak dapat kau tahankan lagi. Tetapi Sidanti. Aku pesan kepadamu, jangan berbuat terlampau kasar. Tanah ini, adalah tanah ayahmu. Tanahmu sendiri. Dan kau telah sampai hati untuk menodainya. Kau telah terlampau mementingkan dirimu sendiri. Sidanti, jangan sampai kau terdorong oleh dendam di dalam dadamu sehingga kau kehilangan pengamatan diri dan berbuat sesuatu yang semakin menambah parah luka di dalam hati kita, supaya aku tidak kehilangan kesabaran dan bertindak sendiri atasmu yang keras kepala itu.”
Dada Sidanti berdentang mendengar ancaman gurunya itu. Sejenak wajahnya memerah seperti soga. Tetapi wajah itu kemudian menjadi pucat dan berkeringat. Ia sadar, bahwa gurunya telah hampir kehabisan kesabaran. Karena itu maka ia tidak berani membantahnya. Ia kenal benar sifat gurunya. Apabila ia kehilangan pengamatan diri, maka ia pasti benar-benar akan bertindak.
Karena Sidanti tidak segera menjawab, Ki Tambak Wedi menggeram,
“Kau mengerti Sidanti?”
“Ya guru,” sahut anak muda itu.
Ki Tambak Wedi kemudian tidak berbicara lagi. Langkahnya menjadi semakin cepat, diikuti oleh Argajaya. Mereka seolah-olah tidak menghiraukan lagi, apa yang akan dilakukan oleh Sidanti. Sidanti masih berdebar-debar mengingat kata-kata gurunya. Tetapi ia merasa, bahwa gurunya masih memberinya kesempatan. Karena itu, maka ia tidak mengikuti gurunya keluar dari desa. Ia tetap pada niatnya untuk mendapatkan pakaian, supaya ia pantas masuk ke dalam rumah ayahnya, Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang besar dan kaya. Sidanti kemudian berdiri termangu-mangu di muka regol halaman yang luas itu. Sejenak ia masih melihat bayangan gurunya dan pamannya berjalan menjauh. Tetapi bayangan itu kemudian seolah-olah lenyap ditelan gelap.
“Mereka akan menunggu aku di luar desa ini,” gumam Sidanti.
Ketika kedua bayangan itu telah hilang, maka terasa dada Sidanti menjadi lapang. Seolah-olah ia sudah tidak terikat lagi kepada kedua orang itu. Kini ia merasa bebas untuk berbuat sesuai dengan kehendaknya. Sejenak ia berdiri tegak memandangi pintu regol halaman yang tertutup. Terasa dadanya diganggu oleh debar jantungnya yang menjadi semakin cepat. Tetapi sejenak kemudian ia sudah berhasil menguasai perasaannya. Perlahan-lahan ia melangkah maju. Kini tubuhnya menjadi kemerah-merahan oleh sinar oncor yang terpasang di regol halaman. Namun terasa halaman itu terlampau sepi. Ia tidak melihat seorang pun yang berjalan di halaman. Sepi. Dengan tangannya Sidanti menyentuh pintu regol. Ternyata pintu regol itu tidak dipalang dari dalam. Dengan hati-hati pintu itu didorongnya. Dan dengan hati-hati pula ia melangkah masuk.

Halaman rumah itu benar-benar sepi. Yang terdengar hanyalah gemerisik angin yang membelai dedaunan. Sidanti merasa aneh. Ia adalah seorang yang hampir tidak pernah diganggu oleh perasaan takut. Tetapi kali ini merasakan sesuatu yang lain di dalam dirinya. Ia merasa seolah-olah diintai oleh sepasang mata yang selalu mengikutinya di dalam gelapnya malam.
“Aku diganggu oleh perasaanku,” katanya di dalam hati,
“ini adalah akibat dari pesan guru dan keragu-raguan paman. Rumah ini adalah rumah Ki Sentol. Rumah seseorang yang telah mengenal keluargaku dengan baik. Tetapi kalau aku lampaui rumah ini, maka belum tentu aku akan menjumpai rumah seperti ini. Rumah yang menyimpan pakaian yang pantas untuk kami bertiga.”
Sidanti masih berdiri tegak di tempatnya. Kini ia menjadi ragu-ragu. Justru karena itu, maka perasaannya menjadi semakin mengganggunya. Seolah-olah di balik kegelapan itu benar-benar memancar sepasang mata yang tajam sedang mengawasinya.
“Gila,” geram Sidanti,
“aku tidak takut. Biar seisi desa ini keluar dari rumahnya, mengeroyok aku bersama-sama, aku tidak akan takut.” Terdengar anak muda itu menggeretakkan giginya. Tetapi ia mendengar suara di dalam dirinya.
“Ya, kau akan mampu membunuh semua laki-laki seisi desa ini. Tetapi kalau masih ada yang hidup seorang saja di antara mereka. Dan mengenal bahwa kau adalah Sidanti, putera Kepala Tanah Perdikan ini, maka apakah kira-kira kata orang tentang dirimu, tentang Sidanti putera Ki Gede Menoreh yang perkasa, yang disegani oleh rakyatnya?”
Sidanti menggelengkan kepalanya. Ia mencoba mengusir perasaan yang membelit jantungnya. Ia ingin membebaskan dirinya dari kegelisahan dan kebimbangan.
“Aku harus dapat melakukannya. Aku bukan laki-laki cengeng. Aku hanya memerlukan pakaian itu. Tidak yang lain-lain.”
Sekali lagi Sidanti menggeretakkan giginya. Tiba-tiba ia melangkah. Tetapi tidak mendekati pendapa yang remang-remang oleh cahaya pelita yang redup. Dengan tergesa-gesa ia meloncat ke tempat yang gelap terlindung oleh dedaunan.
“Setan,” ia menggeram,
“kenapa aku bersembunyi. Aku harus naik ke pendapa. Mengetuk pintu dan berkata terus terang. Aku membutuhkan tiga pengadeg pakaian yang baik. Itu saja. Sidanti mencoba mengatur detak jantungnya. Disapunya halaman itu dengan sorot matanya. Ia tidak melihat sesuatu. Ya, matanya tidak melihat sesuatu. Tetapi perasaannya selalu memperingatkan kepadanya, bahwa sepasang mata sedang mengintainya.
“Siapa? Siapa?” giginya sekali lagi bergemeretak.
Darahnya tersirap ketika tiba-tiba ia dikejutkan oleh ringkik kuda dikejauhan. Di dalam kandang, di belakang rumah.
“Gila,” ia menggeram pula,
“suara kuda itu mengejutkan aku. Kalau sekali lagi ia meringkik, aku patahkan lehernya.” Tiba-tiba debar di dadanya semakin keras memukul dinding jantungnya.
“Apakah Ki Sentol atau seseorang anggota keluarganya sedang berada di kandang kuda itu?”
“Tidak. Aku harus datang sebagai laki-laki. Aku harus mengetuk pintu dan berkata berterus terang.”

Sidanti kemudian membulatkan tekadnya. Ia tidak akan gentar menghadapi apapun. Dengan langkah yang berat ia berjalan ke pendapa. Tetapi meskipun demikian, ia seolah-olah merasa bahwa seseorang sedang memandangnya. Firasat itu biasanya tidak terlampau jauh menyimpang. Dan sebenarnyalah bahwa sepasang mata yang tajam sedang memandanginya dari ujung gandok rumah itu, dari tempat yang gelap. Sepasang mata itu melihat bayangan yang mencurigakan masuk, ke dalam halaman. Meskipun tidak begitu jelas, tetapi mata itu melihat bahwa bayangan yang masuk regol itu menutup wajahnya dengan ikat kepalanya. Cahaya lampu yang redup di regol itu dan sinar yang lemah yang meloncat dari pendapa, sedikit dapat membantunya. Adalah kebetulan sekali bahwa karena udara yang sesak ia berada di luar gandok rumah itu untuk mengisap sejuknya nafas malam di antara dedaunan yang bergoyang disentuh angin yang silir. Ketika ia melihat sesosok tubuh muncul dari balik pintu regol halaman, maka segera ia meloncat dengan lincahnya ke tempat yang terlindung. Apalagi ketika ia melihat orang yang masuk ke halaman itu terlampau mencurigakan. Dengan tajamnya ia mengikuti segala gerak Sidanti. Ia melihat Sidanti berdiri termangu-mangu. Ia melihat Sidanti meloncat ke tempat yang gelap. Kemudian ia melihat Sidanti berjalan lambat ke pendapa.
“Siapakah yang ingin berbuat gila itu?” pertanyaan itu tumbuh di dalam hatinya.
Sejenak ia masih berdiri mematung. Tetapi ia sama sekali tidak melepaskan Sidanti dengan pandangan matanya yang bulat tajam. Tanpa disengajanya tangannya meraba lambungnya. Kiri dan kanan. Sepasang pedang yang tipis tergantung di kedua belah sisi. Sepasang pedang yang hampir tidak pernah terlepas daripadanya, meskipun ia sedang tidur sekali pun jika tidak di rumahnya sendiri. Dan malam ini ia tidak berada di rumahnya sendiri, ia adalah tamu Ki Sentol, pemilik rumah itu. Ia mendapat tempat di gandok bersama tiga orang temannya. Tetapi ia sendiri, berada di biliknya. Ketiga kawannya berada di bilik yang lain, sehingga saat itu ia sendiri pulalah yang perada di luar gandok.
Kini ia melihat Sidanti itu berdiri di depan tangga pendapa. Ia melihat di lambung Sidanti itu  pun tergantung sebilah pedang. Tetapi ia tidak dapat melihat wajah yang tersembunyi di balik ikat kepalanya.
“Apakah aku harus menunggu orang itu naik ke pendapa dan masuk ke dalam pringgitan, atau berbuat apa saja?” katanya di dalam hati.
Sejenak ia menjadi ragu-ragu. Tetapi akhirnya ia berdesis lambat,
“Aku harus mencegah sebelum ia naik. Lebih baik aku selesaikan saja orang itu sendiri. Mudah-mudahan aku tidak memerlukan kawan untuk menangkapnya dan menyerahkannya Kepada Ki Sentol nanti untuk diselesaikan.”
Tetapi ternyata orang yang bermata bulat tajam itu masih ragu-ragu. Apakah orang ini orang Ki Sentol sendiri?
“Mustahil,” gumamnya,
“sikapnya dan tutup di wajahnya itu meyakinkan, bahwa orang itu bermaksud jahat.”
Akhirnya orang itu membulatkan hatinya. Ia harus menahan orang yang memakai tutup di wajahnya itu. Karena itu, maka segera ia membenahi pakaiannya. Disingsingkannya lengan bajunya, kain panjangnya dan dikuatkannya ikat pinggangnya.
“Aku harus mendapat gambaran tentang kemampuan orang itu,” katanya di dalam hati.
Maka diambilnya sebutir batu kerikil sebesar biji rambutan. Dengan kerikil itu ia ingin mengetahui, siapakah yang akan dilawannya. Ketika ia sudah mendapatkan kerikil itu, maka segera ia meloncat dari kegelapan. Dengan teguhnya ia berdiri di alas kedua kakinya yang merenggang. Ia mengharap bahwa orang yang bertutup di wajahnya itu mendengar langkahnya. Ternyata harapannya tidak sia-sia. Sidanti yang mendengar langkah halus itu segera meloncat, memutar tubuhnya dan menghadap ke arah suara itu. Darahnya tersirap ketika ia melihat sesosok bayangan berada di kegelapan. Sebelum ia sempat berbuat sesuatu, matanya yang tajam telah menangkap sebutir benda yang terbang dengan kecepatan yang luar biasa menyambar dadanya. Tetapi Sidanti adalah murid satu-satunya dari perguruan Tambak Wedi. Sehingga kali ini  pun ia sama sekali tidak mengecewakan. Betapa  pun cepat terbang sebutir batu kerikil itu, namun ternyata Sidanti mampu bergerak lebih cepat. Ia menarik sebelah kakinya, dan dengan gerak yang tidak terlampau banyak, ia memiringkan tubuhnya. Kerikil itu terbang senyari dari dadanya.
“Betapa tangkasnya,” berkata orang yang melemparnya di dalam hatinya. Namun dengan demikian ia menyadari, dengan siapa ia berhadapan. Orang yang menutup wajahnya dengan ikat kepala itu ternyata seorang yang tangkas, setangkas kijang.

Tetapi orang itu tidak gentar. Ketangkasan Sidanti merupakan peringatan baginya, bahwa ia harus berhati-hati. Sidanti, yang berhasil membebaskan dirinya dari sambaran batu kerikil, sejenak menjadi bingung. Bukan karena ia menjadi cemas atau takut. Tetapi ia merasa bahwa seseorang melihatnya dan langsung menyerangnya. Orang itu tidak memberinya banyak kesempatan. Dengan hadirnya orang itu, maka rencananya menjadi bubrah. Gambaran di dalam otaknya adalah dengan sekali bentak Ki Sentol akan menjadi ketakutan dan tidak banyak persoalan lagi yang dikemukakan, langsung akan diberikannya tiga pengadeg pakaian. Tetapi ternyata orang itu, yang berdiri di dalam keremangan malam telah menyerangnya? Sidanti menjadi ragu-ragu. Ia mencemaskan dirinya bukan karena takut menghadapi sepasang pedang. Tetapi, bagaimanakah kalau dirinya kemudian dikenal. Dadanya menjadi semakin berdebar-debar ketika ia melihat bayangan yang membawa sepasang pedang di kedua lambungnya itu berjalan perlahan-lahan mendekatinya. Sidanti, seorang yang memiliki pengalaman yang cukup, segera dapat mengetahui, bahwa orang yang berjalan itu memiliki kepercayaan yang kuat kepada dirinya sendiri. Langkahnya yang tetap dan pandangannya yang lurus ke depan. Tetapi jarak mereka masih belum terlampau dekat. Karena itu, Sidanti masih belum dapat melihat bayangan itu dengan jelas.
Tetapi Sidanti tidak dapat berpikir terlampau lama. Ia semakin di desak oleh kecemasan di dalam dirinya. Ia sama sekali tidak takut menghadapi orang itu betapa tinggi ilmunya, yang paling dicemaskannya adalah apabila kemudian dirinya dapat dikenali sebagai Sidanti, putera Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, maka ia harus segera mengambil keputusan. Ia harus segera berbuat sesuatu.
Ternyata sikap bayangan dalam kegelapan yang masih melangkah satu-satu mendekatinya itu benar-benar telah membakar dadanya. Kegelisahan yang bercampur-baur dengan darah mudanya, melihat seseorang yang terlampau yakin kepada kekuatan sendiri, ternyata segera menyala memanasi jantungnya. Meskipun demikian ia masih ingat pesan gurunya yang tajam dengan ancaman. Karena itu, maka ia masih berusaha mengekang dirinya. Namun kegelisahan yang paling tajam menghunjam di dadanya adalah kegelisahan tentang dirinya. Bahwa ia adalah Putera Kepala Tanah Perdikan Menoreh.
“Hem,” desisnya kemudian,
“aku harus menutup mulutnya. Orang itu harus diam dan tidak usah turut campur dalam persoalan ini. Orang-orang di rumah ini harus tidak tahu siapa aku. Kalau orang ini mendapat kesempatan terlampau banyak ia akan dapat mengganggu rencanaku.”
Sidanti yang kebingungan itu kemudian mengambil keputusan yang dirasanya paling aman. Meskipun ia masih mengingat pesan gurunya namun ia perlu membuat orang ini diam, meskipun tidak membunuhnya.
“Aku harus membuatnya pingsan untuk waktu yang cukup lama.”
Dengan keputusan itu, maka Sidanti tidak lagi menunggunya di halaman rumah itu. Selagi orang itu belum masuk ke dalam cahaya lampu yang lemah di halaman, Sidanti segera meloncat menyongsongnya.
“Mumpung masih berada di kegelapan. Aku mengharap, ia tidak dapat mengenali sama sekali siapa aku.”
Ternyata orang itu terkejut melihat sikap orang yang bertutup wajahnya itu. Ia tidak menyangka bahwa orang akan menyerangnya. Karena itu, maka langkahnya terhenti. Tetapi serangan Sidanti datang terlampau cepat, sehingga kesempatan bayangan yang berpedang sepasang itu sangat kecil. Serangan yang tidak terduga-duga dan gerak yang terlampau cepat, membuatnya agak bingung. Karena itu, maka satu-satunya yang dapat dilakukannya adalah menghindari jauh-jauh supaya ia mendapat waktu untuk mengatur perlawanannya. Dengan demikian maka orang itu menjadi semakin masuk kembali ke dalam kegelapan. Loncatannya yang lincah dan cepat, telah melemparkannya ke dalam bayangan yang kelam.

Tetapi Sidanti ternyata tidak ingin memberinya kesempatan. Tanpa berkata sepatah kata  pun serangannya datang beruntun. Ia ingin menjatuhkan orang itu, membuatnya pingsan dan meninggalkannya di dalam gelap. Ia ingin mendapat kesempatan untuk masuk ke dalam rumah Ki Sentol dan segera meninggalkannya. Serangan Sidanti yang datang membadai itu telah mendorong lawannya semakin dalam. Orang itu berloncatan kian kemari untuk menghindari serangan-serangan Sidanti. Tetapi ternyata geraknya cukup cepat dan cekatan sehingga beberapa saat kemudian, ia telah menemukan keseimbangan perlawanannya.
“Setan,” geram Sidanti. Ia sama sekali tidak menduga bahwa ia akan bertemu dengan seseorang yang dapat menghindari serangan-angannya yang datang beruntun. Ternyata orang ini memiliki ilmu yang cukup untuk melawannya.
Dengan demikian Sidanti menjadi semakin gelisah. Kalau ia tidak segera dapat menguasai lawannya, maka akibatnya akan sangat menyulitkannya. Apabila datang orang-orang lain, menyaksikan perkelahian itu, apalagi kemudian mengenalnya, maka ia akan kehilangan namanya. Bahkan mungkin ayahnya  pun akan terlampau marah kepadanya. Juga gurunya sendiri, Ki Tambak Wedi.
“Aku harus segera berhasil,” desisnya.
Tetapi perkelahian itu menjadi semakin seru. Orang itu benar-benar dapat mengimbangi ketangkasan dan kecepatan bergerak Sidanti. Dalam kegelapan malam, dan dalam kegelapan pikiran, Sidanti tidak sempat memperhatikan wajah orang itu. Ia merasakan sesuatu yang agak aneh pada lawannya. Tenaganya tidak terlampau kuat, tetapi kecepatannya melampaui kecepatan sambaran burung sikatan. Dalam perkelahian yang segera menjadi semakin sengit, Sidanti belum dapat mengenali ilmu yang dipakai oleh lawannya. Tetapi segera ia mendapat kesimpulan, bahwa orang ini sama sekali bukan murid Ki Tanu Metir. Bukan Agung Sedayu, apalagi Swandaru, yang mempunyai ciri tubuh yang khusus dan akan langsung dapat dikenalinya. Sekali-kali Sidanti ingin juga melihat wajah lawannya. Tetapi dalam gerakan-akan yang cepat, apalagi di dalam kelamnya malam dan terlindung oleh dedaunan, maka wajah itu tidak segera jelas baginya. Semakin lama perkelahian itu berlangsung, dada Sidanti menjadi semakin dicengkam oleh kegelisahannya. Bahkan kadang-kadang tumbuh samar-samar sifat-sifatnya yang keras. Sekali-kali berdenyut di nadinya keinginan untuk membunuh saja lawannya itu. Dengan demikian ia akan segera dapat menyelesaikan pekerjaannya. Tetapi setiap kali ia selalu teringat kepada pesan gurunya. Pesan yang disertai dengan ancaman yang tajam. Karena itu, maka di samping bertahan terhadap serangan-angan lawannya yang cepat, Sidanti harus juga bertahan terhadap perasaan sendiri. Ia harus berusaha untuk tetap sadar, bahwa gurunya tidak ingin persoalan ini melibatkan dirinya ke dalam keadaan yang semakin parah. Itulah sebabnya, maka ia harus berhati-hati. Berbuat tanpa kehilangan keseimbangan.
Namun ternyata lawannya bukan lawan yang dapat dianggapnya ringan. Sidanti sama sekali tidak menyangka, bahwa di daerah ini dijumpainya seseorang yang memiliki kecakapan tata bela diri setinggi itu. Kegelisahan yang membakar dada Sidanti semakin lama menjadi semakin panas. Kadang-kadang terasa di dalam hatinya, penyesalan atas keterlanjuran. Kini ia terlibat dalam keadaan yang sulit. Kalau ia kehilangan pengamatan diri, maka mungkin ia akan melakukan perbuatan yang membuat gurunya sangat marah kepadanya.

Sementara itu perkelahian mereka menjadi semakin seru. Ternyata orang yang berpedang rangkap itu benar-benar lincah. Langkahnya ringan dan cekatan. Serangan-serangannya berbahaya, langsung menuju ke bagian tubuh Sidanti yang berbahaya.
“Bukan main,” Sidanti berdesah di dalam dadanya,
“seandainya guru tidak berpesan wanti-wanti.”
Namun seandainya demikian, maka Sidanti pasti tidak akan dapat juga menyelesaikan perkelahian itu dengan segera. Meskipun seandainya Sidanti mengerahkan segenap tenaganya, tanpa mencemaskan nasib lawannya sekalipun, maka Sidanti pasti akan memerlukan waktu yang lama. Sekali-sekali timbul juga niatnya untuk bertanya, siapakah orang yang telah mengganggu rencananya itu. Tetapi ia takut, bahwa suaranya akan dapat dikenal, sehingga lawannya itu dapat mengetahuinya, bahwa ia adalah putera Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi tanpa bertanya kepada lawannya itu, ia selalu diganggu saja oleh pertanyaan di dalam dadanya.
“Siapakah orang ini, siapakah orang ini?”
“Tetapi,” gumam Sidanti kemudian di dalam hati,
“seandainya aku bertanya, orang itu pun pasti tidak akan menyebut dirinya.”
Dengan demikian, Sidanti sudah tidak ingin lagi bertanya atau mengucapkan sepatah kata pun. Ia takut kalau justru dengan demikian orang itu dapat mengenalnya. Yang dilakukan kemudian adalah mendesak lawannya sekuat kemampuannya. Ia harus dapat menguasainya, menjatuhkannya dan membuatnya pingsan. Tetapi lawannya ternyata tidak menyerahkan dirinya begitu saja. Semakin sengit datangnya serangan-angan Sidanti, maka perlawanan orang itu pun menjadi semakin gigih. Ternyata, bukan Sidanti sajalah yang diganggu oleh pertanyaan tentang lawannya. Orang yang berpedang rangkap itu  pun ternyata bertanya-tanya juga di dalam hatinya, siapakah orang yang wajahnya ditutup dengan ikat kepala itu? Orang itu  pun sama sekali tidak menyangka, bahwa rumah ini akan didatangi oleh seseorang yang memiliki ilmu berkelahi yang demikian tinggi. Bahkan setelah mereka berkelahi beberapa lama, orang itu mengakui di dalam hatinya, bahwa apabila perkelahian itu berlangsung lama, ia merasa, bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan lawannya yang wajahnya tertutup oleh ikat kepalanya.
“Tetapi aku belum tahu, apakah ia juga seorang ahli bermain pedang,” desisnya di dalam hati.
Namun sampai sekian lama, mereka berdua masih belum menarik pedang mereka dari wrangkanya. Sidanti merasa bahwa pedang di tangannya akan sangat berbahaya. Kalau ia kehilangan pengamatan diri atau akan terulang lagikah nasib Plasa Ireng dan Alap-alap Jalatunda. Tetapi apabila demikian, kali ini gurunya pasti tidak akan memaafkannya lagi. Tetapi akhirnya Sidanti tidak dapat mengelak lagi. Ia terkejut ketika ia melihat lawannya tiba-tiba saja telah menggenggam sepasang pedangnya di kedua tangannya. Geraknya terlampau cepat, hampir tidak dapat dilihat oleh mata. Dada Sidanti berdesir. Ia sadar bahwa lawannya adalah seorang yang cakap mempergunakan senjatanya. Ketika sejenak mereka terhenti, Sidanti mencoba untuk mengamati wajah lawannya. Tetapi sekali lagi ia terperanjat. Sebelum ia sempat memandang wajah itu, matanya telah melekat di ujung pedang lawannya. Ujung pedang yang bergerak seperti tatit di udara menyambar pundaknya. Dengan dada yang berdebar-debar Sidanti meloncat menghindari sambaran senjata itu. Tetapi ternyata serangan itu tidak terhenti sampai sekian. Ujung pedang lawannya itu  pun segera mengejarnya. Hampir berbareng kedua mata pedang itu mematuk kedua pundaknya. Berkali-kali Sidanti harus berloncatan menghindar sebelum akhirnya ia memutuskan, bahwa ia pun harus mempergunakan pedangnya. Demikianlah sesaat kemudian keduanya telah menggenggam senjata di tangan masing-masing. Sidanti dengan pedang tunggal, sedang lawannya mempergunakan sepasang pedangnya yang tipis. Maka perkelahian itu  pun menjadi semakin lama semakin seru. Keduanya mampu bergerak secepat kilat yang menyambar-nyambar. Keduanya lincah dan cekatan. Dalam pada itu, perhatian Sidanti terhadap lawannya semakin lama menjadi semakin besar. Ia melihat beberapa kelainan pada lawannya itu. Lawannya hampir tidak pernah membentur serangan. Sidanti menyadari bahwa kekuatan lawannya tidak sebesar kekuatannya. Tetapi lebih dari pada itu. Betapa  pun mereka terlibat dalam perkelahian yang sengit, namun gerak lawannya yang cepat cekatan itu mengandung suatu unsur yang tidak dimengertinya. Membingungkan, tetapi ia melihat seolah-olah lawannya itu berubah menjadi seorang penari yang mampu menggerakkan berpasang-pasang pedang bersama-sama.

Sidanti adalah seorang anak muda yang berpengalaman, ia pernah berkelahi melawan orang-orang dengan bermacam-macam watak dan kebiasaan. Ia pernah berkelahi melawan Plasa Ireng yang tangguh tanggon seperti seekor badak. Ia pernah berkelahi melawan Alap-alap yang kasar tetapi trengginas, dengan senjatanya yang menyambar-nyambar seperti angin pusaran melilit tubuhnya. Ia pernah berkelahi melawan Agung Sedayu yang lincah cekatan. Geraknya cepat dan membingungkan. Dan ia pernah pula berkelahi dengan orang lain, bahkan dengan Tohpati dan Untara. Tetapi ia belum pernah melawan seseorang seperti yang dilawannya kini. Orang-orang yang pernah berkelahi dengannya, menang atau kalah, dengan sifat pembawaan dan ilmunya masing-masing, namun di antara mereka ada beberapa persamaan. Mereka adalah orang-orang kuat dan tangguh. Mereka mempergunakan kecepatan dan kekuatan. Mereka dengan tegas melawan serangan-serangan yang dilancarkannya, bahkan kadang-kadang sengaja membenturkan senjata-senjata mereka. Namun orang ini mempunyai sifat dan watak yang jauh berbeda. Geraknya hampir tidak menunjukkan sifat-sifat kekerasan meskipun cepatnya seperti tatit menyambar di langit. Gerak tangannya tampaknya lembut selembut tangan penari. Kakinya yang lincah melontar-lontarkan tubuhnya seringan kapas, dalam gerak yang luwes. Tiba-tiba Sidanti menggeram di dalam dadanya,
“Ia seorang perempuan dalam pakaian laki-laki.”
Tetapi Sidanti tidak bertanya sepatah kata pun. Namun tanggapannya terhadap lawannya telah membuatnya bertambah gelisah. Semakin ia yakin bahwa lawannya adalah seorang perempuan, maka dadanya menjadi semakin berdebar.
“Aku tidak segera dapat mengalahkan perempuan ini,” ia menggeram di dalam dadanya.
“Ada juga perempuan yang garang seperti orang ini. Tetapi meskipun ia dapat memutar gunung, namun ia tidak akan dapat melepaskan diri dari tangan Sidanti. Aku harus menguasainya, membuatnya kehilangan kesadaran, kemudian melakukan rencanaku sebaik-baiknya.”
Dengan demikian Sidanti menjadi semakin bernafsu. Geraknya menjadi semakin cepat. Ia masih tetap sadar, bahwa ia tidak akan membuat dirinya menjadi semakin parah dengan membunuh orang di halaman rumah Ki Sentol, di halaman Tanah Perdikannya sendiri, atas orang yang belum dikenalnya.
Tetapi ternyata ilmu pedang perempuan itu sangat baik. Kedua senjata itu seakan-akan digerakkan oleh satu kekuatan dalam keserasian yang sempurna. Hampir-hampir Sidanti tidak mendapat kesempatan sama sekali untuk melawannya. Tetapi Sidanti memiliki beberapa kelebihan. Sidanti merasa bahwa kekuatannya lebih besar dari kekuatan lawannya, sehingga justru setiap kali ia tidak berusaha menghindar atau memukul senjata lawannya ke samping untuk menghapuskan kekuatan ayunannya, tetapi Sidanti sengaja melawan dalam benturan yang mantap. Setiap kali ia merasakan bahwa tenaga lawannya tidak dapat mengimbangi tenaganya. Setiap kali senjata lawannya terdorong beberapa jengkal. Tetapi ternyata lawannya menyadari pula keadaannya, sehingga karena itu, setiap kali terjadi benturan, maka lawannya tidak bertahan pada kekuatannya. Tetapi ia selalu berusaha memunahkan tenaga lawannya dengan perlawanan tenaganya yang liat, kemudian melepaskannya ke samping. Dengan cara itulah, maka beberapa kali Sidanti gagal untuk melontarkan senjata lawannya. Betapa  pun besar tenaganya, tetapi ia tidak dapat melepaskan sepasang senjata lawannya itu dari sepasang tangannya.
“Perempuan ini benar keras kepala,” desah Sidanti di dalam hatinya.
Namun setiap kali ia masih harus berjuang melawan perasaan sendiri. Setiap kali hatinya menyala memanaskan darahnya, setiap kali ia teringat kepada pesan gurunya.
“Tetapi siapakah sebenarnya perempuan ini?” desah Sidanti di dalam hatinya.
“Adalah sangat mengherankan bahwa seorang perempuan di daerah ini mampu melawan aku sampai sekian lama. Meskipun aku yakin bahwa ilmunya masih berada selapis di bawah ilmuku, tetapi tidaklah mudah untuk mengalahkannya tanpa melukainya. Kalau aku tidak mengingat pesan guru, maka aku kira aku akan dapat lebih cepat melakukannya, meskipun dengan susah payah. Tetapi apakah ia hanya seorang diri?”

Sidanti semakin lama menjadi semakin cemas tentang dirinya. Bukan tentang hidup dan matinya, tetapi justru ia cemas apabila dirinya kemudian akan dapat dikenal sebagai Sidanti, Putera Argapati.
“Ah,” sekali lagi ia berdesah,
“kalau ia masih tetap berkeras kepala, apa boleh buat. Aku kira guru sudah tidak melihat lagi apa yang aku kerjakan. Aku tidak dapat selamanya hanya berusaha mempertahankan diri dan menyerang tempat-tempat yang sama sekali tidak berbahaya. Suatu saat aku harus mengarahkan ujung pedangku ke arah jantungnya.”
Perkelahian itu kemudian berlangsung semakin sengit. Ternyata Sidanti harus mengagumi kelincahan perempuan itu. Lincah dan cekatan seperti anak rusa yang bermain-main di rerumputan. Sidanti yang telah bekerja memeras segala macam kemampuannya  pun masih belum dapat menguasai lawan itu sepenuhnya. Apalagi apabila tiba-tiba datang satu dua orang seperti perempuan itu. Namun bagaimana  pun juga Sidanti tidak akan meninggalkan arena. Sementara itu Ki Tambak Wedi dan Argajaya berdiri termangu-mangu di ujung desa menunggu Sidanti. Tetapi untuk sekian lamanya anak itu tidak muncul-muncul dari mulut lorong padesan.
“Apa saja yang dilakukan oleh anak gila itu,” desis Ki Tambak Wedi.
“Ia keras kepala sejak kanak-anak,” sahut Argajaya.
“Anak itu sudah terlampau lama. Apakah yang telah terjadi?”
Argajaya tidak segera menjawab. Tetapi ia  pun diganggu pula oleh kegelisahan. Seperti Ki Tambak Wedi, ia pun menganggap bahwa Sidanti sudah cukup lama mereka tinggalkan. Kalau ia segera mengetuk pintu, masuk, dan dengan lancar menerima tiga pengadeg pakaian, maka waktu yang dipergunakannya telah cukup lama.
Tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu  pun bergumam,
“Aku tidak dapat melepaskan anak itu tanpa pengawasan. Aku akan melihatnya apa saja yang sudah dikerjakan. Mudah-mudahan ia tidak berbuat sesuatu yang dapat mencemarkan namanya dan nama ayahnya, Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh.”
“Aku juga mencemaskannya. Anak itu memang anak bengal sejak kanak-anak.”
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Kemudian ia berkata,
“Aku akan kembali ke rumah Ki Sentol.”
“Aku ikut bersama Kiai.”
“Terserahlah kepadamu, Ngger.”
“Aku juga ingin melihat apa yang terjadi.”
“Marilah.”
Keduanya segera melangkah kembali. Tetapi mereka tidak ingin dilihat orang. Mereka segera menyusup ke dalam gelapnya bayangan dedaunan yang rimbun di dalam kelamnya malam. Perlahan-lahan mereka merayap semakin dekat dengan halaman rumah di ujung lorong padesan itu. Dari kejauhan mereka tidak melihat sesuatu yang mencurigakan. Mereka tidak melihat kesibukan apa pun. Mereka tidak melihat orang-orang di dalam rumah itu terbangun, membuat kegaduhan sehingga Sidanti harus bertindak kasar.
“Halaman itu tampaknya sepi saja, Kiai,” gumam Argajaya.
Ki Tambak Wedi tidak segera menjawab. Ternyata telinganya jauh lebih tajam dari telinga Argajaya. Meskipun ia masih belum melihat sesuatu tetapi ia mendengar gemerincingnya senjata beradu.
“Kita harus mendekat, Ngger,” desis Ki Tambak Wedi,
“ada sesuatu yang tidak wajar.”
“Apakah Kiai melihat sesuatu?”
Keduanya  pun kemudian melangkah semakin dekat. Kini halaman rumah itu tampak semakin jelas Tetapi halaman itu masih juga tampak sepi. Tidak ada keributan dan tidak ada kegaduhan. Namun tiba-tiba Argajaya mengangkat wajahnya. Katanya,
“Aku mendengar sesuatu, Kiai.”
“Apakah baru sekarang Angger mendengarnya?”
“Tidak. Tetapi aku kurang memperhatikannya. Aku sangka bunyi itu bukan seperti yang aku dengar sekarang.”
“Apakah yang Angger dengar sekarang?”
“Perkelahian. Senjata beradu. Tetapi tidak terlampau sering. Aku menduga bahwa salah seorang dari mereka merasa bahwa kekuatan mereka tidak seimbang. Tetapi orang yang merasa lebih lemah itu pasti memiliki kelebihan lain.”
“Pendengaran Angger cukup baik. Aku sependapat. Dan salah seorang dari kedua orang yang berkelahi itu pasti Sidanti.”
Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku  pun berpendapat demikian,” desisnya.
“Hem,” Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam,
“Sidanti memang terlampau sulit untuk dikendalikan. Kalau ia membuat sedikit saja kesalahan di sini, maka akibatnya akan menjadi terlampau berat baginya. Ayahnya pasti akan menjadi sangat marah.”
“Mudah-mudahan ia belum dikenal sebagai Sidanti.”
“Marilah kita mendekat, Ngger. Aturlah langkah dan nalarmu supaya tidak mengganggu perkelahian itu. Aku ingin melihat siapakah yang sedang berkelahi melawan Angger Sidanti itu.”

Argajaya mengerti maksud Ki Tambak Wedi. Ia harus berhati-hati supaya tidak mengejutkan orang-orang yang sedang berkelahi. Sebab dengan demikian, maka akibatnya akan sangat mengganggu dan mungkin sama sekali tidak mereka kehendaki. Apalagi Argajaya adalah orang yang banyak dikenal di padesan itu, apalagi oleh Ki Sentol sendiri.
“Aku tidak menyangka bahwa di daerah ini ada seseorang yang mampu bertahan terhadap Sidanti sedemikian lama,” bisik Ki Tambak Wedi.
“Namun justru karena itu, kita harus segera mendekat, supaya seandainya Sidanti kehilangan pengamatan diri, kita sempat mencegahnya.”
“Aku, seorang dari Tanah Perdikan ini pun heran, bahwa di padesan ini ada seseorang yang mampu berkelahi melawan Sidanti.”
Keduanya terdiam. Mereka menjadi semakin dekat, dengan halaman rumah Ki Sentol. Dentang senjata beradu itu  pun menjadi semakin keras. Semakin sering. Tetapi telinga-telinga yang cukup terlatih akan segera mengerti, bahwa salah seorang dari kedua orang yang bertempur itu pasti selalu menghindari benturan-benturan kekuatan. Dengan demikian maka benturan-benturan itu tidak beradu terlampau keras dan terlampau sering. Bunyi benturan itu  pun menjadi tidak terlampau keras. Telinga Ki Tambak Wedi yang tajam setajam pandangan matanya, segera menuntunnya kemana ia harus pergi. Mereka tidak memasuki halaman itu lewat regol yang telah terbuka. Tetapi mereka mencari tempat yang gelap di bawah rimbunnya dedaunan, untuk meloncati pagar batu yang tidak terlampau tinggi, masuk ke dalam halaman. Ketika mereka sudah berada di halaman, maka langkah mereka  pun menjadi semakin berhati-hati. Mereka merayap setapak demi setapak maju, sehingga akhirnya mereka dapat melihat di dalam kegelapan dua bayangan yang sedang berkelahi. Sekilas, mereka berdua segera mengetahui, bahwa yang seorang dari mereka adalah Sidanti. Keadaannya ternyata lebih baik dari keadaan lawannya. Namun adalah mengherankan, bahwa lawannya mampu bertahan sekian lamanya. Sejenak kedua orang itu terpaku di tempatnya. Dengan tajamnya mereka memandangi perkelahian yang tengah berlangsung di dalam gelapnya malam. Kilatan cahaya langit di kejauhan yang sudah tidak berdaya, tampak menari-nari pada mata-mata pedang yang sedang bergerak-gerak dengan cepatnya. Namun mereka yang sedang berkelahi itu sendiri, hampir tidak dapat dilihat bentuknya.
Ternyata perkelahian itu semakin menarik perhatian Ki Tambak Wedi dan Argajaya. Perlahan-lahan tetapi pasti mereka dapat mengenali orang yang sedang berkelahi melawan Sidanti. Meskipun mereka masih bertempur, di tempat yang kelam, namun kedua orang yang mengintai mereka, dapat mengenal mereka masing-masing dari tata geraknya. Apalagi Ki Tambak Wedi yang mempunyai beberapa kelebihan dari orang lain. Kecuali ia segera dapat mengenal Sidanti yang mempergunakan ilmu dari Tambak Wedi dengan baiknya, maka ia  pun segera mengenal ilmu lawan Sidanti itu.
“Angger,” perlahan Ki Tambak Wedi berdesis.
“perkelahian yang menarik. Meskipun mereka telah hampir sampai pada penggunaan puncak ilmu yang mereka miliki, namun perkelahian itu sama sekali tidak terjadi dengan banyak keributan. Orang-orang yang tidur di dalam rumah itu  pun tidak terbangun karenanya.”
“Ya, Kiai,” jawab Argajaya.
“Tetapi ada yang lebih menarik daripada itu,” berkata Ki Tambak Wedi selanjutnya.
Argajaya berpaling. Di dalam gelap malam ia mencoba menangkap maksud kata-kata yang tersirat di wajah orang tua itu. Tetapi ia tidak berhasil.
“Apakah yang lebih menarik itu, Kiai.”
“Lawan Sidanti.”
“Ya. Aku  pun tertarik pula kepadanya. Bukankah ia seorang gadis?”
Ki Tambak Wedi mengangguk,
“Ya, ia memang seorang gadis. Tetapi itu  pun kurang menarik bagiku. Yang paling menarik adalah bagaimana caranya melawan Sidanti.”
Argajaya mengerutkan keningnya.
“Bagaimana menurut pertimbangan Kiai?”
“Seharusnya kau tidak bertanya demikian, Ngger. Kau pasti sudah mengenalinya. Tata gerak itu adalah tata gerak yang sudah seharusnya kau kenal. Cabang perguruan itu pun pasti akan menunjukkan, setidak-tidaknya membatasi persoalannya.”
Argajaya menahan nafasnya. Ia memang sudah menduga siapakah gadis yang sedang berkelahi itu. Ia mengenalnya menilik tata geraknya. Tetapi bukan itu saja. Ia mengenal gadis itu dengan baik. Tetapi ia tidak menyangka bahwa gadis itu mempunyai kecakapan yang hampir sejajar dengan Sidanti.
“Bukankah ilmu itu ilmu cabang perguruan Menoreh? Aku kira kau mengenal, bahwa ilmu itu adalah ilmu Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh. Bukankah Angger sendiri sebagian terpercik oleh ilmu dari cabang perguruan itu meskipun Angger tidak bersaudara seperguruan dengan kakak Angger, Argapati?”
“Kami seperguruan Kiai, tetapi jarak yang membatasi kami cukup jauh.”
Ki Tambak Wedi menggeleng,
“Tidak. Kalian bukan seperguruan. Angger memang pernah mendapat ilmu itu, tetapi yang terbesar tersimpan pada diri Angger bukan perguruan yang sama dengan perguruan Argapati.”
Argajaya menganggukkan kepalanya.
“Tetapi gadis itu adalah seorang gadis yang menyimpan ilmu dari cabang perguruan Menoreh. Kau lihat bukan?”
“Ya, Kiai. Aku mengenalnya seperti aku mengenal Sidanti. Tatapi dalam pakaian laki-laki aku semula agak kabur karenanya. Tetapi kini aku sudah yakin, bahwa aku tidak akan salah lagi.”
Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Luar biasa. Ilmu yang dimilikinya belum matang benar. Seharusnya ia bukan lawan yang terlampau berat bagi Sidanti. Mungkin Sidanti sudah mengenal bahwa lawannya seorang gadis.”
“Sidanti harus mengenalnya. Tetapi pakaian laki-lakinya apalagi mereka berkelahi di dalam gelap itulah yang menyebabkan Sidanti tidak segera mengetahui dengan siapa ia sedang berkelahi. Tetapi ternyata Kakang Argapati telah membuat suatu teka-teki. Aku tidak pernah melihat anak itu berlatih sama sekali. Tetapi tiba-tiba aku melihatnya ia sudah berada dalam tataran yang demikian tinggi. Aku melihatnya sehari-hari sebagai seorang gadis pendiam dan pemalu. Tetapi dalam pakaian laki-laki ternyata ia cukup garang.”
“Kau mengenal gadis itu, Ngger, bukan hanya sekedar mengenal tata geraknya?”
“Tentu,” kata-kata Argajaya terputus karena mereka mendengar suara yang lain dari suara perkelahian itu. Karena itu maka segera mereka terdiam. Mereka menjadi semakin berhati-hati dan mencoba untuk menangkap apa saja yang terjadi. Tiba-tiba dada mereka bergetar. Mereka melihat tiga orang berloncatan dari belakang gandok. Mereka segera berlari ke depan dan berhenti sejenak sambil menebarkan pandangan mata mereka.
“Di sana, aku sudah mendengar gemerincing senjata,” salah seorang dari mereka berkata lantang.

Ketiganya segera menghadap ke arah suara yang mereka dengar. Suara gemerincing senjata. Gemerincingnya pedang Sidanti yang beradu dengan sepasang senjata lawannya. Ternyata Sidanti juga mendengar suara itu. Terasa betapa dadanya bergelora. Sesaat ia menjadi bingung. Apakah yang akan dilakukannya? Melawan mereka dan membunuh mereka satu per satu? Kalau ia tidak ragu-ragu, dan tidak tertahan oleh pesan gurunya, lawannya itu pun telah binasa. Ia ingin mengalahkannya dan sekedar membuatnya pingsan tanpa menggores kulitnya dengan ujung pedangnya. Tetapi justru dengan demikian keadaannya menjadi semakin sulit. Kehadiran ketiga orang itu telah mencemaskan hati Ki Tambak Wedi pula. Kalau Sidanti menjadi bingung, maka ia pasti akan berbuat di luar perhitungan. Mungkin ia menjadi mata gelap. Ia akan berusaha untuk membinasakan lawan-lawannya tanpa pertimbangan lain, asal mereka tidak dapat mengenalnya. Tidak dapat mengetahui bahwa yang menutupi wajahnya dengan ikat kepala itu adalah Sidanti, putera Argapati. Ternyata Argajaya  pun berpikir demikian pula. Tetapi ia menjadi lebih cemas lagi, karena ia yakin bahwa ia mengerti benar, siapakah gadis lawan Sidanti itu.
“Kiai,” Argajaya itu kemudian berdesis, “perkelahian itu harus dicegah.”
“Ya,” sahut Ki Tambak Wedi,
“aku akan membuat mereka kehilangan lawannya. Aku akan mengambil dan menyingkirkan Sidanti.”
“Mereka akan mengejar.”
“Aku terpaksa menghilangkan kesadaran mereka untuk sementara. Hanya sekedar memberi kesempatan Sidanti melarikan diri.”
“Tetapi gadis itu?”
“Oh, siapakah gadis itu. Angger belum mengatakannya.”
“Pandan Wangi.”
“Pandan Wangi,” ulang Ki Tambak Wedi sambil mengerutkan keningnya,
“Pandan Wangi kau bilang?”
“Ya.”
Dada Ki Tambak Wedi berdesir. Sejenak ia termangu-mangu. Nama itu telah mengejutkannya. Meskipun ia tidak begitu mengenal anak itu seperti ia mengenal Sidanti, tetapi Pandan Wangi adalah gadis yang dikenalnya dengan baik di masa kanak-anaknya. Tetapi karena sudah bertahun-tahun ia tidak bertemu, apalagi kini ia mengenakan pakaian laki-laki, maka ia menjadi lupa kepadanya.
“Bukankah Kiai pernah mengenalnya dahulu.”
“Ya, ya. Aku pernah mengenalnya. Tetapi sudah bertahun-tahun yang lalu. Aku sudah lama sekali tidak mengunjungi Argapati itulah sebabnya aku melihat ilmu Argapati ada padanya.”
“Lalu, apakah yang akan kita lakukan sekarang.”
Ki Tambak Wedi terdiam sejenak. Ia melihat ketiga orang yang berlari-lari itu sudah berada di samping tempat perkelahian antara Sidanti dan gadis yang bernama Pandan Wangi itu.
“Aku menjadi agak bingung. Tetapi sebaiknya perkelahian yang lebih seru harus dicegah.” Ki Tambak Wedi berhenti sejenak, lalu,
“Tetapi apakah Sidanti mengenal gadis itu?”
“Melihat perkelahian itu, aku kira Sidanti belum mengenalnya. Apalagi kini,” Argajaya menjadi tegang,
“lihat Kiai, Sidanti hampir menjadi mata gelap.”

Ketika Ki Tambak Wedi memandang perkelahian itu, ternyata ia melihat tekanan Sidanti menjadi semakin dahsyat. Ia tampaknya telah kehilangan segala pengamatan diri karena ia kehilangan akal. Ia tidak menemukan cara yang sebaik-baiknya untuk menghindar dan karena kecemasannya bahwa dirinya akan dikenal. Dengan demikian, maka ia tidak dapat mengekang dirinya lagi. Ia harus melawan dan berusaha menutup mulut orang-orang itu bagaimana  pun caranya. Memang ada juga terbersit pikiran di kepalanya untuk melarikan diri. Tetapi setiap kali kakinya akan melontarkan dirinya menghindari perkelahian itu, perasaan harga dirinya telah mengekangnya, sehingga setiap kali ia menjadi ragu-ragu. Akhirnya ia tidak mendapat kesempatan lagi, ketika ketiga orang yang baru datang itu mengepungnya.
“Jangan diberi kesempatan untuk melarikan diri,” berkata salah seorang dari mereka,
“kita harus tahu, siapakah orang ini.”
Sidanti hanya dapat menggeretakkan giginya. Ia selalu saja dibayangi oleh kecemasan tentang dirinya sendiri. Ia tidak berani mengucapkan kata-kata supaya suaranya tidak dikenal. Ketika ketiga orang itu sudah menarik senjata masing-masing, maka Sidanti tidak akan dapat berbuat lain. Melawan, kalau terpaksa, ya kalau terpaksa apa boleh buat. Pedangnya akan membuat penyelesaian. Tetapi ketika ketiga orang itu sudah mulai menggerakkan pedangnya, tiba-tiba mereka mendengar suara tertawa di belakang gerumbul yang rimbun. Tanpa berjanji mereka berloncatan menjauhi lawan-lawannya untuk mendapat kesempatan berpaling. Meskipun pedang-pedang mereka siap untuk bergetar, tetapi mereka memerlukan juga menunggu, siapakah yang akan ke luar dari dalam rimbunnya gerumbul itu? Yang kemudian muncul di dalam kegelapan itu adalah dua bayangan sosok tubuh yang hitam. Mereka tidak segera dapat mengenal. Namun sejenak kemudian salah seorang dari kedua orang itu berkata sambil tertawa,
“Cukup Sidanti. Permainan yang menyenangkan.”
Sidanti terkejut bukan buatan. Ia mengenal suara itu, suara pamannya, Argajaya. Tetapi pamannya telah menyebut namanya, sedang ia sendiri mati-matian menyembunyikan dirinya dari pengenalan orang-orang itu. Tetapi bukan saja Sidanti yang terkejut bukan kepalang, ternyata lawannya yang bernama Pandan Wangi itu pun terperanjat bukan main, sehingga seolah-olah darahnya berhenti mengalir.
“Paman, Pamankah ini?” bertanya suara wanita itu.
“Ya, aku pamanmu, Pandan Wangi.”
“Pandan Wangi,” hampir-hampir Sidanti berteriak, tetapi suaranya tertahan di dadanya. Tetapi dengan demikian ia menjadi seolah-olah membeku di tempatnya. Nama itu benar-benar telah mengejutkannya. Tetapi ketika ia mendapat kesempatan untuk memandangi wajah lawannya, maka ia merasakan sesuatu bergetar di dalam dirinya. Wajah itu masih belum jelas baginya. Tetapi karena gadis lawannya itu berdiri diam, maka kesempatan untuk mengenalinya menjadi semakin luas.
Kedua bayangan yang ternyata Argajaya dan Ki Tambak Wedi itu sudah menjadi semakin dekat. Dan terdengar lagi Argajaya berkata,
“Aku telah melihat dengan senang hati kalian bermain-main. Jangan marah Pandan Wangi. Sidanti sengaja ingin melihat, apakah kau sudah cukup baik menguasai ilmu pedang rangkap dari Perguruan Menoreh itu.”

Kedua orang yang baru saja bertempur itu terpukau diam-diam mereka tidak segera mengerti, apakah yang sebenarnya mereka hadapi. Mereka hanya berdiri saja memandangi langkah Argajaya dan Ki Tambak Wedi mendekati mereka.
“Pandan Wangi,” berkata Argajaya kemudian,
“Sidanti telah terlampau lama, bahkan bertahun-tahun tidak bertemu dengan kau karena kakakmu itu sedang menuntut ilmu di padepokan Tambak Wedi. Ketika kakakmu menjejakkan kakinya di Tanah Perdikan ini, untuk pertama kali setelah bertahun-tahun tidak melihatnya, maka yang pertama-tama ditemuinya adalah kau dalam pakaianmu yang aneh itu. Sehingga timbullah niatnya untuk mengganggumu.”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling memandangi wajah orang yang baru saja berkelahi melawannya, ia masih melihat wajah itu bertutup ikat kepala.
“Bukalah penyamaranmu, Sidanti,” berkata Argajaya,


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar