“Kita harus bermalam di jalan semalam lagi, Kiai.”
Ki Tambak Wedi
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Mungkin
ngger. Tetapi kalau kita ingin berjalan tanpa diketahui orang, justru di malam
hari.”
Argajaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Ya Kiai, di
malam hari kita dapat berjalan dengan aman, tanpa diketahui oleh siapa pun
juga. Sebelum fajar kita akan sudah sampai di rumah kakang Argapati.”
Tetapi tiba-tiba
Sidanti itu memotong,
“Tetapi aku
tidak ingin masuk ke halaman rumah ayahku dengan keadaan serupa ini. Aku harus
pantas menjadi seorang anak yang tidak memalukan orang tua. Mungkin para
peronda melihat kita, dan mereka akan berbicara kepada orang-orang lain. Tidak
sampai sehari semalam seluruh tanah perdikan akan berkata,
“Sidanti
datang ke rumahnya kembali sebagai seorang pengemis yang paling malang.” Tidak,
aku tidak mau.”
“Lalu apa yang
akan kau lakukan? Merampas pakaian di tanah sendiri?”
“Aku dapat
menyamar. Menutup mukaku dengan ikat kepala supaya aku tidak dikenal orang.”
“Mungkin
karena kau sudah lama tidak berada di tanah ini. Tetapi bagaimana dengan aku?”
“Paman tidak
perlu ikut. Biarlah aku lakukan sendiri.”
“Kau memang
keras kepala Sidanti.” desis gurunya. Sidanti tidak menyahut. Tetapi gurunya
menangkap sorot matanya. Ia tidak akan mengurungkan niatnya yang seolah-olah
telah bulat, mencari pakaian yang baik untuk mereka bertiga.
“Bukan main
anak ini,” desah Argajaya di dalam hatinya. Mereka telah berada di tlatah tanah
sendiri. Bagaimana mungkin mereka dapat melakukannya. Apabila kemudian
diketahui, bahwa yang melakukan itu adalah Sidanti, putera Argapati Kepala
Tanah Perdikan Menoreh, lalu dimana Argapati harus menyembunyikan wajahnya.
Tetapi Sidanti
benar-benar tidak mau mundur. Ketika matahari menjadi semakin dalam terbenam di
balik cakrawala, mereka telah sampai di ujung hutan itu. Sejenak lagi mereka
akan keluar dan sampai ke padesan tlatah Menoreh. Padesan yang subur, yang di
antara penghuninya ada beberapa orang yang cukup memberi kesempatan kepada
Sidanti melakukan niatnya.
“Anak ini
tidak dapat dicegah lagi,” desis Argajaya,
“mudah-mudahan
anak ini tidak melakukannya di rumah Kiai Sentol. Orang itu mengenal baik-baik
siapakah aku. Aku sering singgah di rumahnya jika aku pergi berburu. Bahkan
kakang Argapati pun tinggal di rumah itu pula untuk beristirahat setiap kali ia
pergi berburu.”
“Kita berjalan
terus guru,” desis Sidanti. Ia sudah tidak lagi banyak membuat
pertimbangan-pertimbangan. Apalagi gurunya tidak sampai hati untuk menyakiti
perasaan murid satu-satunya itu, sehingga dibiarkannya saja muridnya itu untuk
menentukan sikapnya.
“Semakin malam
semakin baik. Aku akan mendapatkan pakaian itu. Siapa yang mencoba menentang,
harus aku selesaikan.”
“Pakaian itu
akan dikenal orang Sidanti. Bahwa pakaian itu milik seseorang. Apalagi kalau
orang itu mencarinya dan orang lain mengatakan bahwa pakaian itu dipakai oleh
Sidanti, pamannya, dan gurunya,” desis Ki Tambak Wedi.
“Kita berjalan
di malam hari. Sebelum pagi kita harus sudah sampai di rumah. Dan kita akan
segera mengganti pakaian yang kita rampas itu, untuk dibakar.”
Ki Tambak Wedi
hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala mendengar jawaban muridnya. Sidanti
memang keras kepala. Ia benar-benar tidak mau masuk ke halaman rumahnya dengan
pakaian yang tidak pantas. Harga dirinya telah memaksanya untuk berkeras
kepala, meskipun cara yang akan ditempuhnya dapat justru berakibat sebaliknya.
Tetapi gurunya tidak akan dapat mencegahnya. Karena itu, maka sekali lagi
Tambak Wedi membiarkannya saja berbuat sesuka hatinya, seperti yang
dikehendakinya. Sikap Ki Tambak Wedi yang demikian, yang berulang kali telah
dilakukan, untuk menanggapi persoalan-persoalan yang kecil maupun yang besar
yang dilakukan oleh Sidanti, ternyata menjadi pendorong bagi anak itu untuk
menjadi semakin keras kepala.
Sejenak
kemudian mereka terdiam. Hanya langkah-langkah mereka sajalah yang terdengar
gemerisik di atas tanah berbatu-batu. Sekali-sekali angin malam yang dingin
berhembus mengusap tubuh-tubuh mereka yang berkeringat.
“Daerah ini
masih belum banyak berubah sejak saat terakhir aku menjenguk keluargaku
beberapa tahun yang lalu,” desis Sidanti kemudian untuk menghilangkan
ketegangan yang mencekam jantungnya.
“Ya,” sahut
pamannya, “belum banyak perubahan. Jalan ini masih juga berdebu. Padesan yang
kita lalui adalah padesan seperti lima tahun yang lalu.”
Sidanti
mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia bergumam,
“He, bukankah
di ujung padesan ini ada sebuah rumah joglo yang besar dan baik?”
Dada Argajaya
berdesir. Rumah joglo di ujung padesan ini adalah rumah Ki Sentol.
“Bukankah
begitu paman? Rumah itu cukup besar dan cukup bersih, sehingga isinya pun aku
kira cukup banyak. He, bukankah kita pernah singgah di rumah itu pada saat-saat
kita berburu dahulu?”
“Selalu
Sidanti. Ayahmu selalu singgah di rumah itu apabila pergi berburu. Bahkan
sekali-sekali bermalam pula di situ. Aku selalu singgah pula di rumah itu.”
Sidanti
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba pula ia berdesis, “Aku akan mencari
pakaian di rumah itu.”
“Sidanti,”
dengan serta merta pamannya memotong, “jangan.”
“Kenapa?”
“Rumah itu
selalu didatangi oleh keluarga ayahmu. Rumah itu seolah-olah telah menjadi
pesanggrahan bagi keluarga kita apabila kita pergi berburu di hutan perburuan
itu. Kau jangan menyakiti hatinya. Ia akan dapat menyampaikannya kepada kakang
Argapati. Dan kau pasti tahu, bahwa kakang Argapati tidak senang kepada
perbuatan-perbuatan yang demikian.”
“Tetapi orang
itu tidak akan tahu siapa aku.”
“Jangan.
Meskipun orang itu tidak tahu siapa kau karena kau dapat menutup wajahmu dengan
ikat kepalamu misalnya atau dengan apapun, tetapi seandainya perbuatanmu itu
tidak dapat diketahui orang meskipun lambat laun, maka kau pasti akan menyesal.”
“Bagaimana
akan dapat diketahui paman? Sudahlah, jangan menjadi cemas. Aku tidak akan
merampok apa pun kecuali tiga pengadeg pakaian. Sesudah itu, kita akan berjalan
di malam hari. Kita masuk ke halaman rumah untuk menemui ayah sebagai
orang-orang yang pantas menyebut dirinya keluarganya. Keluarga Kepala Tanah
Perdikan Menoreh.”
“Terserah
kepadamu Sidanti. Tetapi jangan di rumah itu.”
“Aku tidak
ingin kehilangan kesempatan kali ini, paman. Kalau aku melepaskannya, mungkin
untuk waktu yang lama aku tidak akan menemukan rumah sebaik itu. Semakin dekat
dengan rumahku, maka aku akan menjadi kian sulit. Orang-orang di situ akan
menjadi semakin besar kemungkinannya untuk mengenal aku.”
Argajaya
menarik nafas dalam? Anak ini memang keras kepala.
“Sidanti, kalau
kau hanya ingin tiga pengadeg pakaian saja maka aku kira kau tidak perlu masuk
ke rumah joglo di ujung padesan itu. Rumah-rumah di desa ini cukup baik dan
kemungkinan kau menemukan pakaian itu cukup besar.”
“Tetapi
pakaian-pakaian kumal seperti yang kita pakai ini. Tidak. Aku harus mendapat
pakaian yang pantas dipakai oleh seorang putera Kepala Tanah Perdikan,
pamannya, dan gurunya.”
“Terserahlah
kepadamu. Aku tidak akan ikut serta.”
“Akan aku
lakukan sendiri. Paman dan guru sebaiknya menunggu saja di tempat yang
terlindung. Aku yakin orang itu tidak akan mengenal aku.”
Argajaya
menggeleng-gelengkan kepalanya. Anak ini memang anak bengal. Sejak kanak-kanak.
Rupanya
Sidanti benar-benar akan melakukan maksudnya. Ketika mereka telah sampai di
dekat rumah ujung jalan, yang terpancang di tengah-tengah halaman yang luas, ia
berhenti. Kemudian dilepaskannya ikat kepalanya untuk menutupi wajahnya.
Perlahan-lahan ia berdesis,
“Tunggulah aku
di luar desa ini paman. Aku akan membawa pakaian untuk paman dan guru. Aku akan
masuk ke rumah ini untuk mencarinya.”
“Sidanti,”
nada suara gurunya terlampau datar dan dalam. Sesuatu agaknya telah terlampau
memberati hatinya.
“Aku kira kau
tidak hanya sekedar ingin masuk ke rumahmu sebagai seorang putera Argapati yang
besar itu. Tetapi hatimu juga telah dikoyak oleh dendam yang tidak dapat kau
tahankan lagi. Tetapi Sidanti. Aku pesan kepadamu, jangan berbuat terlampau
kasar. Tanah ini, adalah tanah ayahmu. Tanahmu sendiri. Dan kau telah sampai
hati untuk menodainya. Kau telah terlampau mementingkan dirimu sendiri.
Sidanti, jangan sampai kau terdorong oleh dendam di dalam dadamu sehingga kau
kehilangan pengamatan diri dan berbuat sesuatu yang semakin menambah parah luka
di dalam hati kita, supaya aku tidak kehilangan kesabaran dan bertindak sendiri
atasmu yang keras kepala itu.”
Dada Sidanti
berdentang mendengar ancaman gurunya itu. Sejenak wajahnya memerah seperti
soga. Tetapi wajah itu kemudian menjadi pucat dan berkeringat. Ia sadar, bahwa
gurunya telah hampir kehabisan kesabaran. Karena itu maka ia tidak berani
membantahnya. Ia kenal benar sifat gurunya. Apabila ia kehilangan pengamatan
diri, maka ia pasti benar-benar akan bertindak.
Karena Sidanti
tidak segera menjawab, Ki Tambak Wedi menggeram,
“Kau mengerti
Sidanti?”
“Ya guru,”
sahut anak muda itu.
Ki Tambak Wedi
kemudian tidak berbicara lagi. Langkahnya menjadi semakin cepat, diikuti oleh
Argajaya. Mereka seolah-olah tidak menghiraukan lagi, apa yang akan dilakukan
oleh Sidanti. Sidanti masih berdebar-debar mengingat kata-kata gurunya. Tetapi
ia merasa, bahwa gurunya masih memberinya kesempatan. Karena itu, maka ia tidak
mengikuti gurunya keluar dari desa. Ia tetap pada niatnya untuk mendapatkan
pakaian, supaya ia pantas masuk ke dalam rumah ayahnya, Kepala Tanah Perdikan Menoreh
yang besar dan kaya. Sidanti kemudian berdiri termangu-mangu di muka regol
halaman yang luas itu. Sejenak ia masih melihat bayangan gurunya dan pamannya
berjalan menjauh. Tetapi bayangan itu kemudian seolah-olah lenyap ditelan
gelap.
“Mereka akan
menunggu aku di luar desa ini,” gumam Sidanti.
Ketika kedua
bayangan itu telah hilang, maka terasa dada Sidanti menjadi lapang. Seolah-olah
ia sudah tidak terikat lagi kepada kedua orang itu. Kini ia merasa bebas untuk
berbuat sesuai dengan kehendaknya. Sejenak ia berdiri tegak memandangi pintu
regol halaman yang tertutup. Terasa dadanya diganggu oleh debar jantungnya yang
menjadi semakin cepat. Tetapi sejenak kemudian ia sudah berhasil menguasai
perasaannya. Perlahan-lahan ia melangkah maju. Kini tubuhnya menjadi
kemerah-merahan oleh sinar oncor yang terpasang di regol halaman. Namun terasa
halaman itu terlampau sepi. Ia tidak melihat seorang pun yang berjalan di
halaman. Sepi. Dengan tangannya Sidanti menyentuh pintu regol. Ternyata pintu
regol itu tidak dipalang dari dalam. Dengan hati-hati pintu itu didorongnya.
Dan dengan hati-hati pula ia melangkah masuk.
Halaman rumah
itu benar-benar sepi. Yang terdengar hanyalah gemerisik angin yang membelai
dedaunan. Sidanti merasa aneh. Ia adalah seorang yang hampir tidak pernah
diganggu oleh perasaan takut. Tetapi kali ini merasakan sesuatu yang lain di
dalam dirinya. Ia merasa seolah-olah diintai oleh sepasang mata yang selalu
mengikutinya di dalam gelapnya malam.
“Aku diganggu
oleh perasaanku,” katanya di dalam hati,
“ini adalah
akibat dari pesan guru dan keragu-raguan paman. Rumah ini adalah rumah Ki
Sentol. Rumah seseorang yang telah mengenal keluargaku dengan baik. Tetapi
kalau aku lampaui rumah ini, maka belum tentu aku akan menjumpai rumah seperti
ini. Rumah yang menyimpan pakaian yang pantas untuk kami bertiga.”
Sidanti masih
berdiri tegak di tempatnya. Kini ia menjadi ragu-ragu. Justru karena itu, maka
perasaannya menjadi semakin mengganggunya. Seolah-olah di balik kegelapan itu
benar-benar memancar sepasang mata yang tajam sedang mengawasinya.
“Gila,” geram
Sidanti,
“aku tidak
takut. Biar seisi desa ini keluar dari rumahnya, mengeroyok aku bersama-sama,
aku tidak akan takut.” Terdengar anak muda itu menggeretakkan giginya. Tetapi
ia mendengar suara di dalam dirinya.
“Ya, kau akan
mampu membunuh semua laki-laki seisi desa ini. Tetapi kalau masih ada yang
hidup seorang saja di antara mereka. Dan mengenal bahwa kau adalah Sidanti,
putera Kepala Tanah Perdikan ini, maka apakah kira-kira kata orang tentang
dirimu, tentang Sidanti putera Ki Gede Menoreh yang perkasa, yang disegani oleh
rakyatnya?”
Sidanti
menggelengkan kepalanya. Ia mencoba mengusir perasaan yang membelit jantungnya.
Ia ingin membebaskan dirinya dari kegelisahan dan kebimbangan.
“Aku harus
dapat melakukannya. Aku bukan laki-laki cengeng. Aku hanya memerlukan pakaian
itu. Tidak yang lain-lain.”
Sekali lagi
Sidanti menggeretakkan giginya. Tiba-tiba ia melangkah. Tetapi tidak mendekati
pendapa yang remang-remang oleh cahaya pelita yang redup. Dengan tergesa-gesa
ia meloncat ke tempat yang gelap terlindung oleh dedaunan.
“Setan,” ia
menggeram,
“kenapa aku
bersembunyi. Aku harus naik ke pendapa. Mengetuk pintu dan berkata terus
terang. Aku membutuhkan tiga pengadeg pakaian yang baik. Itu saja. Sidanti mencoba
mengatur detak jantungnya. Disapunya halaman itu dengan sorot matanya. Ia tidak
melihat sesuatu. Ya, matanya tidak melihat sesuatu. Tetapi perasaannya selalu
memperingatkan kepadanya, bahwa sepasang mata sedang mengintainya.
“Siapa?
Siapa?” giginya sekali lagi bergemeretak.
Darahnya
tersirap ketika tiba-tiba ia dikejutkan oleh ringkik kuda dikejauhan. Di dalam
kandang, di belakang rumah.
“Gila,” ia
menggeram pula,
“suara kuda
itu mengejutkan aku. Kalau sekali lagi ia meringkik, aku patahkan lehernya.” Tiba-tiba
debar di dadanya semakin keras memukul dinding jantungnya.
“Apakah Ki
Sentol atau seseorang anggota keluarganya sedang berada di kandang kuda itu?”
“Tidak. Aku
harus datang sebagai laki-laki. Aku harus mengetuk pintu dan berkata berterus
terang.”
Sidanti
kemudian membulatkan tekadnya. Ia tidak akan gentar menghadapi apapun. Dengan
langkah yang berat ia berjalan ke pendapa. Tetapi meskipun demikian, ia
seolah-olah merasa bahwa seseorang sedang memandangnya. Firasat itu biasanya
tidak terlampau jauh menyimpang. Dan sebenarnyalah bahwa sepasang mata yang
tajam sedang memandanginya dari ujung gandok rumah itu, dari tempat yang gelap.
Sepasang mata itu melihat bayangan yang mencurigakan masuk, ke dalam halaman.
Meskipun tidak begitu jelas, tetapi mata itu melihat bahwa bayangan yang masuk
regol itu menutup wajahnya dengan ikat kepalanya. Cahaya lampu yang redup di
regol itu dan sinar yang lemah yang meloncat dari pendapa, sedikit dapat
membantunya. Adalah kebetulan sekali bahwa karena udara yang sesak ia berada di
luar gandok rumah itu untuk mengisap sejuknya nafas malam di antara dedaunan
yang bergoyang disentuh angin yang silir. Ketika ia melihat sesosok tubuh
muncul dari balik pintu regol halaman, maka segera ia meloncat dengan lincahnya
ke tempat yang terlindung. Apalagi ketika ia melihat orang yang masuk ke
halaman itu terlampau mencurigakan. Dengan tajamnya ia mengikuti segala gerak
Sidanti. Ia melihat Sidanti berdiri termangu-mangu. Ia melihat Sidanti meloncat
ke tempat yang gelap. Kemudian ia melihat Sidanti berjalan lambat ke pendapa.
“Siapakah yang
ingin berbuat gila itu?” pertanyaan itu tumbuh di dalam hatinya.
Sejenak ia
masih berdiri mematung. Tetapi ia sama sekali tidak melepaskan Sidanti dengan
pandangan matanya yang bulat tajam. Tanpa disengajanya tangannya meraba
lambungnya. Kiri dan kanan. Sepasang pedang yang tipis tergantung di kedua
belah sisi. Sepasang pedang yang hampir tidak pernah terlepas daripadanya,
meskipun ia sedang tidur sekali pun jika tidak di rumahnya sendiri. Dan malam
ini ia tidak berada di rumahnya sendiri, ia adalah tamu Ki Sentol, pemilik
rumah itu. Ia mendapat tempat di gandok bersama tiga orang temannya. Tetapi ia
sendiri, berada di biliknya. Ketiga kawannya berada di bilik yang lain,
sehingga saat itu ia sendiri pulalah yang perada di luar gandok.
Kini ia
melihat Sidanti itu berdiri di depan tangga pendapa. Ia melihat di lambung
Sidanti itu pun tergantung sebilah
pedang. Tetapi ia tidak dapat melihat wajah yang tersembunyi di balik ikat
kepalanya.
“Apakah aku
harus menunggu orang itu naik ke pendapa dan masuk ke dalam pringgitan, atau
berbuat apa saja?” katanya di dalam hati.
Sejenak ia
menjadi ragu-ragu. Tetapi akhirnya ia berdesis lambat,
“Aku harus
mencegah sebelum ia naik. Lebih baik aku selesaikan saja orang itu sendiri.
Mudah-mudahan aku tidak memerlukan kawan untuk menangkapnya dan menyerahkannya
Kepada Ki Sentol nanti untuk diselesaikan.”
Tetapi
ternyata orang yang bermata bulat tajam itu masih ragu-ragu. Apakah orang ini
orang Ki Sentol sendiri?
“Mustahil,” gumamnya,
“sikapnya dan
tutup di wajahnya itu meyakinkan, bahwa orang itu bermaksud jahat.”
Akhirnya orang
itu membulatkan hatinya. Ia harus menahan orang yang memakai tutup di wajahnya
itu. Karena itu, maka segera ia membenahi pakaiannya. Disingsingkannya lengan
bajunya, kain panjangnya dan dikuatkannya ikat pinggangnya.
“Aku harus
mendapat gambaran tentang kemampuan orang itu,” katanya di dalam hati.
Maka
diambilnya sebutir batu kerikil sebesar biji rambutan. Dengan kerikil itu ia
ingin mengetahui, siapakah yang akan dilawannya. Ketika ia sudah mendapatkan
kerikil itu, maka segera ia meloncat dari kegelapan. Dengan teguhnya ia berdiri
di alas kedua kakinya yang merenggang. Ia mengharap bahwa orang yang bertutup
di wajahnya itu mendengar langkahnya. Ternyata harapannya tidak sia-sia.
Sidanti yang mendengar langkah halus itu segera meloncat, memutar tubuhnya dan
menghadap ke arah suara itu. Darahnya tersirap ketika ia melihat sesosok
bayangan berada di kegelapan. Sebelum ia sempat berbuat sesuatu, matanya yang tajam
telah menangkap sebutir benda yang terbang dengan kecepatan yang luar biasa
menyambar dadanya. Tetapi Sidanti adalah murid satu-satunya dari perguruan
Tambak Wedi. Sehingga kali ini pun ia
sama sekali tidak mengecewakan. Betapa
pun cepat terbang sebutir batu kerikil itu, namun ternyata Sidanti mampu
bergerak lebih cepat. Ia menarik sebelah kakinya, dan dengan gerak yang tidak
terlampau banyak, ia memiringkan tubuhnya. Kerikil itu terbang senyari dari
dadanya.
“Betapa
tangkasnya,” berkata orang yang melemparnya di dalam hatinya. Namun dengan
demikian ia menyadari, dengan siapa ia berhadapan. Orang yang menutup wajahnya
dengan ikat kepala itu ternyata seorang yang tangkas, setangkas kijang.
Tetapi orang
itu tidak gentar. Ketangkasan Sidanti merupakan peringatan baginya, bahwa ia
harus berhati-hati. Sidanti, yang berhasil membebaskan dirinya dari sambaran
batu kerikil, sejenak menjadi bingung. Bukan karena ia menjadi cemas atau
takut. Tetapi ia merasa bahwa seseorang melihatnya dan langsung menyerangnya.
Orang itu tidak memberinya banyak kesempatan. Dengan hadirnya orang itu, maka
rencananya menjadi bubrah. Gambaran di dalam otaknya adalah dengan sekali
bentak Ki Sentol akan menjadi ketakutan dan tidak banyak persoalan lagi yang
dikemukakan, langsung akan diberikannya tiga pengadeg pakaian. Tetapi ternyata
orang itu, yang berdiri di dalam keremangan malam telah menyerangnya? Sidanti
menjadi ragu-ragu. Ia mencemaskan dirinya bukan karena takut menghadapi
sepasang pedang. Tetapi, bagaimanakah kalau dirinya kemudian dikenal. Dadanya
menjadi semakin berdebar-debar ketika ia melihat bayangan yang membawa sepasang
pedang di kedua lambungnya itu berjalan perlahan-lahan mendekatinya. Sidanti,
seorang yang memiliki pengalaman yang cukup, segera dapat mengetahui, bahwa
orang yang berjalan itu memiliki kepercayaan yang kuat kepada dirinya sendiri.
Langkahnya yang tetap dan pandangannya yang lurus ke depan. Tetapi jarak mereka
masih belum terlampau dekat. Karena itu, Sidanti masih belum dapat melihat
bayangan itu dengan jelas.
Tetapi Sidanti
tidak dapat berpikir terlampau lama. Ia semakin di desak oleh kecemasan di
dalam dirinya. Ia sama sekali tidak takut menghadapi orang itu betapa tinggi
ilmunya, yang paling dicemaskannya adalah apabila kemudian dirinya dapat
dikenali sebagai Sidanti, putera Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu,
maka ia harus segera mengambil keputusan. Ia harus segera berbuat sesuatu.
Ternyata sikap
bayangan dalam kegelapan yang masih melangkah satu-satu mendekatinya itu
benar-benar telah membakar dadanya. Kegelisahan yang bercampur-baur dengan
darah mudanya, melihat seseorang yang terlampau yakin kepada kekuatan sendiri,
ternyata segera menyala memanasi jantungnya. Meskipun demikian ia masih ingat
pesan gurunya yang tajam dengan ancaman. Karena itu, maka ia masih berusaha
mengekang dirinya. Namun kegelisahan yang paling tajam menghunjam di dadanya
adalah kegelisahan tentang dirinya. Bahwa ia adalah Putera Kepala Tanah
Perdikan Menoreh.
“Hem,”
desisnya kemudian,
“aku harus
menutup mulutnya. Orang itu harus diam dan tidak usah turut campur dalam
persoalan ini. Orang-orang di rumah ini harus tidak tahu siapa aku. Kalau orang
ini mendapat kesempatan terlampau banyak ia akan dapat mengganggu rencanaku.”
Sidanti yang
kebingungan itu kemudian mengambil keputusan yang dirasanya paling aman.
Meskipun ia masih mengingat pesan gurunya namun ia perlu membuat orang ini
diam, meskipun tidak membunuhnya.
“Aku harus
membuatnya pingsan untuk waktu yang cukup lama.”
Dengan
keputusan itu, maka Sidanti tidak lagi menunggunya di halaman rumah itu. Selagi
orang itu belum masuk ke dalam cahaya lampu yang lemah di halaman, Sidanti
segera meloncat menyongsongnya.
“Mumpung masih
berada di kegelapan. Aku mengharap, ia tidak dapat mengenali sama sekali siapa
aku.”
Ternyata orang
itu terkejut melihat sikap orang yang bertutup wajahnya itu. Ia tidak menyangka
bahwa orang akan menyerangnya. Karena itu, maka langkahnya terhenti. Tetapi
serangan Sidanti datang terlampau cepat, sehingga kesempatan bayangan yang
berpedang sepasang itu sangat kecil. Serangan yang tidak terduga-duga dan gerak
yang terlampau cepat, membuatnya agak bingung. Karena itu, maka satu-satunya
yang dapat dilakukannya adalah menghindari jauh-jauh supaya ia mendapat waktu
untuk mengatur perlawanannya. Dengan demikian maka orang itu menjadi semakin
masuk kembali ke dalam kegelapan. Loncatannya yang lincah dan cepat, telah
melemparkannya ke dalam bayangan yang kelam.
Tetapi Sidanti
ternyata tidak ingin memberinya kesempatan. Tanpa berkata sepatah kata pun serangannya datang beruntun. Ia ingin
menjatuhkan orang itu, membuatnya pingsan dan meninggalkannya di dalam gelap.
Ia ingin mendapat kesempatan untuk masuk ke dalam rumah Ki Sentol dan segera
meninggalkannya. Serangan Sidanti yang datang membadai itu telah mendorong
lawannya semakin dalam. Orang itu berloncatan kian kemari untuk menghindari
serangan-serangan Sidanti. Tetapi ternyata geraknya cukup cepat dan cekatan
sehingga beberapa saat kemudian, ia telah menemukan keseimbangan perlawanannya.
“Setan,” geram
Sidanti. Ia sama sekali tidak menduga bahwa ia akan bertemu dengan seseorang
yang dapat menghindari serangan-angannya yang datang beruntun. Ternyata orang
ini memiliki ilmu yang cukup untuk melawannya.
Dengan
demikian Sidanti menjadi semakin gelisah. Kalau ia tidak segera dapat menguasai
lawannya, maka akibatnya akan sangat menyulitkannya. Apabila datang orang-orang
lain, menyaksikan perkelahian itu, apalagi kemudian mengenalnya, maka ia akan
kehilangan namanya. Bahkan mungkin ayahnya
pun akan terlampau marah kepadanya. Juga gurunya sendiri, Ki Tambak
Wedi.
“Aku harus
segera berhasil,” desisnya.
Tetapi
perkelahian itu menjadi semakin seru. Orang itu benar-benar dapat mengimbangi
ketangkasan dan kecepatan bergerak Sidanti. Dalam kegelapan malam, dan dalam
kegelapan pikiran, Sidanti tidak sempat memperhatikan wajah orang itu. Ia
merasakan sesuatu yang agak aneh pada lawannya. Tenaganya tidak terlampau kuat,
tetapi kecepatannya melampaui kecepatan sambaran burung sikatan. Dalam
perkelahian yang segera menjadi semakin sengit, Sidanti belum dapat mengenali
ilmu yang dipakai oleh lawannya. Tetapi segera ia mendapat kesimpulan, bahwa
orang ini sama sekali bukan murid Ki Tanu Metir. Bukan Agung Sedayu, apalagi
Swandaru, yang mempunyai ciri tubuh yang khusus dan akan langsung dapat
dikenalinya. Sekali-kali Sidanti ingin juga melihat wajah lawannya. Tetapi
dalam gerakan-akan yang cepat, apalagi di dalam kelamnya malam dan terlindung
oleh dedaunan, maka wajah itu tidak segera jelas baginya. Semakin lama
perkelahian itu berlangsung, dada Sidanti menjadi semakin dicengkam oleh
kegelisahannya. Bahkan kadang-kadang tumbuh samar-samar sifat-sifatnya yang
keras. Sekali-kali berdenyut di nadinya keinginan untuk membunuh saja lawannya
itu. Dengan demikian ia akan segera dapat menyelesaikan pekerjaannya. Tetapi
setiap kali ia selalu teringat kepada pesan gurunya. Pesan yang disertai dengan
ancaman yang tajam. Karena itu, maka di samping bertahan terhadap
serangan-angan lawannya yang cepat, Sidanti harus juga bertahan terhadap
perasaan sendiri. Ia harus berusaha untuk tetap sadar, bahwa gurunya tidak
ingin persoalan ini melibatkan dirinya ke dalam keadaan yang semakin parah.
Itulah sebabnya, maka ia harus berhati-hati. Berbuat tanpa kehilangan
keseimbangan.
Namun ternyata
lawannya bukan lawan yang dapat dianggapnya ringan. Sidanti sama sekali tidak
menyangka, bahwa di daerah ini dijumpainya seseorang yang memiliki kecakapan
tata bela diri setinggi itu. Kegelisahan yang membakar dada Sidanti semakin
lama menjadi semakin panas. Kadang-kadang terasa di dalam hatinya, penyesalan
atas keterlanjuran. Kini ia terlibat dalam keadaan yang sulit. Kalau ia
kehilangan pengamatan diri, maka mungkin ia akan melakukan perbuatan yang
membuat gurunya sangat marah kepadanya.
Sementara itu
perkelahian mereka menjadi semakin seru. Ternyata orang yang berpedang rangkap
itu benar-benar lincah. Langkahnya ringan dan cekatan. Serangan-serangannya
berbahaya, langsung menuju ke bagian tubuh Sidanti yang berbahaya.
“Bukan main,”
Sidanti berdesah di dalam dadanya,
“seandainya
guru tidak berpesan wanti-wanti.”
Namun
seandainya demikian, maka Sidanti pasti tidak akan dapat juga menyelesaikan
perkelahian itu dengan segera. Meskipun seandainya Sidanti mengerahkan segenap
tenaganya, tanpa mencemaskan nasib lawannya sekalipun, maka Sidanti pasti akan
memerlukan waktu yang lama. Sekali-sekali timbul juga niatnya untuk bertanya,
siapakah orang yang telah mengganggu rencananya itu. Tetapi ia takut, bahwa
suaranya akan dapat dikenal, sehingga lawannya itu dapat mengetahuinya, bahwa
ia adalah putera Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi tanpa bertanya kepada
lawannya itu, ia selalu diganggu saja oleh pertanyaan di dalam dadanya.
“Siapakah
orang ini, siapakah orang ini?”
“Tetapi,”
gumam Sidanti kemudian di dalam hati,
“seandainya
aku bertanya, orang itu pun pasti tidak akan menyebut dirinya.”
Dengan
demikian, Sidanti sudah tidak ingin lagi bertanya atau mengucapkan sepatah kata
pun. Ia takut kalau justru dengan demikian orang itu dapat mengenalnya. Yang
dilakukan kemudian adalah mendesak lawannya sekuat kemampuannya. Ia harus dapat
menguasainya, menjatuhkannya dan membuatnya pingsan. Tetapi lawannya ternyata
tidak menyerahkan dirinya begitu saja. Semakin sengit datangnya serangan-angan
Sidanti, maka perlawanan orang itu pun menjadi semakin gigih. Ternyata, bukan
Sidanti sajalah yang diganggu oleh pertanyaan tentang lawannya. Orang yang
berpedang rangkap itu pun ternyata
bertanya-tanya juga di dalam hatinya, siapakah orang yang wajahnya ditutup
dengan ikat kepala itu? Orang itu pun
sama sekali tidak menyangka, bahwa rumah ini akan didatangi oleh seseorang yang
memiliki ilmu berkelahi yang demikian tinggi. Bahkan setelah mereka berkelahi
beberapa lama, orang itu mengakui di dalam hatinya, bahwa apabila perkelahian
itu berlangsung lama, ia merasa, bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan lawannya
yang wajahnya tertutup oleh ikat kepalanya.
“Tetapi aku
belum tahu, apakah ia juga seorang ahli bermain pedang,” desisnya di dalam
hati.
Namun sampai
sekian lama, mereka berdua masih belum menarik pedang mereka dari wrangkanya. Sidanti
merasa bahwa pedang di tangannya akan sangat berbahaya. Kalau ia kehilangan
pengamatan diri atau akan terulang lagikah nasib Plasa Ireng dan Alap-alap
Jalatunda. Tetapi apabila demikian, kali ini gurunya pasti tidak akan
memaafkannya lagi. Tetapi akhirnya Sidanti tidak dapat mengelak lagi. Ia
terkejut ketika ia melihat lawannya tiba-tiba saja telah menggenggam sepasang
pedangnya di kedua tangannya. Geraknya terlampau cepat, hampir tidak dapat
dilihat oleh mata. Dada Sidanti berdesir. Ia sadar bahwa lawannya adalah
seorang yang cakap mempergunakan senjatanya. Ketika sejenak mereka terhenti,
Sidanti mencoba untuk mengamati wajah lawannya. Tetapi sekali lagi ia
terperanjat. Sebelum ia sempat memandang wajah itu, matanya telah melekat di
ujung pedang lawannya. Ujung pedang yang bergerak seperti tatit di udara
menyambar pundaknya. Dengan dada yang berdebar-debar Sidanti meloncat
menghindari sambaran senjata itu. Tetapi ternyata serangan itu tidak terhenti
sampai sekian. Ujung pedang lawannya itu
pun segera mengejarnya. Hampir berbareng kedua mata pedang itu mematuk
kedua pundaknya. Berkali-kali Sidanti harus berloncatan menghindar sebelum
akhirnya ia memutuskan, bahwa ia pun harus mempergunakan pedangnya. Demikianlah
sesaat kemudian keduanya telah menggenggam senjata di tangan masing-masing.
Sidanti dengan pedang tunggal, sedang lawannya mempergunakan sepasang pedangnya
yang tipis. Maka perkelahian itu pun
menjadi semakin lama semakin seru. Keduanya mampu bergerak secepat kilat yang
menyambar-nyambar. Keduanya lincah dan cekatan. Dalam pada itu, perhatian
Sidanti terhadap lawannya semakin lama menjadi semakin besar. Ia melihat
beberapa kelainan pada lawannya itu. Lawannya hampir tidak pernah membentur
serangan. Sidanti menyadari bahwa kekuatan lawannya tidak sebesar kekuatannya. Tetapi
lebih dari pada itu. Betapa pun mereka
terlibat dalam perkelahian yang sengit, namun gerak lawannya yang cepat cekatan
itu mengandung suatu unsur yang tidak dimengertinya. Membingungkan, tetapi ia
melihat seolah-olah lawannya itu berubah menjadi seorang penari yang mampu
menggerakkan berpasang-pasang pedang bersama-sama.
Sidanti adalah
seorang anak muda yang berpengalaman, ia pernah berkelahi melawan orang-orang
dengan bermacam-macam watak dan kebiasaan. Ia pernah berkelahi melawan Plasa
Ireng yang tangguh tanggon seperti seekor badak. Ia pernah berkelahi melawan
Alap-alap yang kasar tetapi trengginas, dengan senjatanya yang
menyambar-nyambar seperti angin pusaran melilit tubuhnya. Ia pernah berkelahi
melawan Agung Sedayu yang lincah cekatan. Geraknya cepat dan membingungkan. Dan
ia pernah pula berkelahi dengan orang lain, bahkan dengan Tohpati dan Untara. Tetapi
ia belum pernah melawan seseorang seperti yang dilawannya kini. Orang-orang
yang pernah berkelahi dengannya, menang atau kalah, dengan sifat pembawaan dan
ilmunya masing-masing, namun di antara mereka ada beberapa persamaan. Mereka
adalah orang-orang kuat dan tangguh. Mereka mempergunakan kecepatan dan
kekuatan. Mereka dengan tegas melawan serangan-serangan yang dilancarkannya,
bahkan kadang-kadang sengaja membenturkan senjata-senjata mereka. Namun orang
ini mempunyai sifat dan watak yang jauh berbeda. Geraknya hampir tidak
menunjukkan sifat-sifat kekerasan meskipun cepatnya seperti tatit menyambar di
langit. Gerak tangannya tampaknya lembut selembut tangan penari. Kakinya yang
lincah melontar-lontarkan tubuhnya seringan kapas, dalam gerak yang luwes.
Tiba-tiba Sidanti menggeram di dalam dadanya,
“Ia seorang
perempuan dalam pakaian laki-laki.”
Tetapi Sidanti
tidak bertanya sepatah kata pun. Namun tanggapannya terhadap lawannya telah
membuatnya bertambah gelisah. Semakin ia yakin bahwa lawannya adalah seorang
perempuan, maka dadanya menjadi semakin berdebar.
“Aku tidak
segera dapat mengalahkan perempuan ini,” ia menggeram di dalam dadanya.
“Ada juga
perempuan yang garang seperti orang ini. Tetapi meskipun ia dapat memutar
gunung, namun ia tidak akan dapat melepaskan diri dari tangan Sidanti. Aku
harus menguasainya, membuatnya kehilangan kesadaran, kemudian melakukan
rencanaku sebaik-baiknya.”
Dengan
demikian Sidanti menjadi semakin bernafsu. Geraknya menjadi semakin cepat. Ia
masih tetap sadar, bahwa ia tidak akan membuat dirinya menjadi semakin parah
dengan membunuh orang di halaman rumah Ki Sentol, di halaman Tanah Perdikannya
sendiri, atas orang yang belum dikenalnya.
Tetapi
ternyata ilmu pedang perempuan itu sangat baik. Kedua senjata itu seakan-akan
digerakkan oleh satu kekuatan dalam keserasian yang sempurna. Hampir-hampir
Sidanti tidak mendapat kesempatan sama sekali untuk melawannya. Tetapi Sidanti
memiliki beberapa kelebihan. Sidanti merasa bahwa kekuatannya lebih besar dari
kekuatan lawannya, sehingga justru setiap kali ia tidak berusaha menghindar
atau memukul senjata lawannya ke samping untuk menghapuskan kekuatan ayunannya,
tetapi Sidanti sengaja melawan dalam benturan yang mantap. Setiap kali ia
merasakan bahwa tenaga lawannya tidak dapat mengimbangi tenaganya. Setiap kali
senjata lawannya terdorong beberapa jengkal. Tetapi ternyata lawannya menyadari
pula keadaannya, sehingga karena itu, setiap kali terjadi benturan, maka
lawannya tidak bertahan pada kekuatannya. Tetapi ia selalu berusaha memunahkan
tenaga lawannya dengan perlawanan tenaganya yang liat, kemudian melepaskannya
ke samping. Dengan cara itulah, maka beberapa kali Sidanti gagal untuk
melontarkan senjata lawannya. Betapa pun
besar tenaganya, tetapi ia tidak dapat melepaskan sepasang senjata lawannya itu
dari sepasang tangannya.
“Perempuan ini
benar keras kepala,” desah Sidanti di dalam hatinya.
Namun setiap
kali ia masih harus berjuang melawan perasaan sendiri. Setiap kali hatinya
menyala memanaskan darahnya, setiap kali ia teringat kepada pesan gurunya.
“Tetapi
siapakah sebenarnya perempuan ini?” desah Sidanti di dalam hatinya.
“Adalah sangat
mengherankan bahwa seorang perempuan di daerah ini mampu melawan aku sampai
sekian lama. Meskipun aku yakin bahwa ilmunya masih berada selapis di bawah
ilmuku, tetapi tidaklah mudah untuk mengalahkannya tanpa melukainya. Kalau aku
tidak mengingat pesan guru, maka aku kira aku akan dapat lebih cepat
melakukannya, meskipun dengan susah payah. Tetapi apakah ia hanya seorang
diri?”
Sidanti
semakin lama menjadi semakin cemas tentang dirinya. Bukan tentang hidup dan
matinya, tetapi justru ia cemas apabila dirinya kemudian akan dapat dikenal
sebagai Sidanti, Putera Argapati.
“Ah,” sekali
lagi ia berdesah,
“kalau ia
masih tetap berkeras kepala, apa boleh buat. Aku kira guru sudah tidak melihat
lagi apa yang aku kerjakan. Aku tidak dapat selamanya hanya berusaha
mempertahankan diri dan menyerang tempat-tempat yang sama sekali tidak
berbahaya. Suatu saat aku harus mengarahkan ujung pedangku ke arah jantungnya.”
Perkelahian
itu kemudian berlangsung semakin sengit. Ternyata Sidanti harus mengagumi
kelincahan perempuan itu. Lincah dan cekatan seperti anak rusa yang
bermain-main di rerumputan. Sidanti yang telah bekerja memeras segala macam
kemampuannya pun masih belum dapat
menguasai lawan itu sepenuhnya. Apalagi apabila tiba-tiba datang satu dua orang
seperti perempuan itu. Namun bagaimana
pun juga Sidanti tidak akan meninggalkan arena. Sementara itu Ki Tambak
Wedi dan Argajaya berdiri termangu-mangu di ujung desa menunggu Sidanti. Tetapi
untuk sekian lamanya anak itu tidak muncul-muncul dari mulut lorong padesan.
“Apa saja yang
dilakukan oleh anak gila itu,” desis Ki Tambak Wedi.
“Ia keras
kepala sejak kanak-anak,” sahut Argajaya.
“Anak itu
sudah terlampau lama. Apakah yang telah terjadi?”
Argajaya tidak
segera menjawab. Tetapi ia pun diganggu
pula oleh kegelisahan. Seperti Ki Tambak Wedi, ia pun menganggap bahwa Sidanti
sudah cukup lama mereka tinggalkan. Kalau ia segera mengetuk pintu, masuk, dan
dengan lancar menerima tiga pengadeg pakaian, maka waktu yang dipergunakannya
telah cukup lama.
Tiba-tiba Ki
Tambak Wedi itu pun bergumam,
“Aku tidak
dapat melepaskan anak itu tanpa pengawasan. Aku akan melihatnya apa saja yang
sudah dikerjakan. Mudah-mudahan ia tidak berbuat sesuatu yang dapat mencemarkan
namanya dan nama ayahnya, Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh.”
“Aku juga
mencemaskannya. Anak itu memang anak bengal sejak kanak-anak.”
Ki Tambak Wedi
mengerutkan keningnya. Kemudian ia berkata,
“Aku akan
kembali ke rumah Ki Sentol.”
“Aku ikut
bersama Kiai.”
“Terserahlah
kepadamu, Ngger.”
“Aku juga
ingin melihat apa yang terjadi.”
“Marilah.”
Keduanya segera
melangkah kembali. Tetapi mereka tidak ingin dilihat orang. Mereka segera
menyusup ke dalam gelapnya bayangan dedaunan yang rimbun di dalam kelamnya
malam. Perlahan-lahan mereka merayap semakin dekat dengan halaman rumah di
ujung lorong padesan itu. Dari kejauhan mereka tidak melihat sesuatu yang
mencurigakan. Mereka tidak melihat kesibukan apa pun. Mereka tidak melihat
orang-orang di dalam rumah itu terbangun, membuat kegaduhan sehingga Sidanti
harus bertindak kasar.
“Halaman itu
tampaknya sepi saja, Kiai,” gumam Argajaya.
Ki Tambak Wedi
tidak segera menjawab. Ternyata telinganya jauh lebih tajam dari telinga
Argajaya. Meskipun ia masih belum melihat sesuatu tetapi ia mendengar
gemerincingnya senjata beradu.
“Kita harus
mendekat, Ngger,” desis Ki Tambak Wedi,
“ada sesuatu
yang tidak wajar.”
“Apakah Kiai
melihat sesuatu?”
Keduanya pun kemudian melangkah semakin dekat. Kini
halaman rumah itu tampak semakin jelas Tetapi halaman itu masih juga tampak
sepi. Tidak ada keributan dan tidak ada kegaduhan. Namun tiba-tiba Argajaya
mengangkat wajahnya. Katanya,
“Aku mendengar
sesuatu, Kiai.”
“Apakah baru
sekarang Angger mendengarnya?”
“Tidak. Tetapi
aku kurang memperhatikannya. Aku sangka bunyi itu bukan seperti yang aku dengar
sekarang.”
“Apakah yang
Angger dengar sekarang?”
“Perkelahian.
Senjata beradu. Tetapi tidak terlampau sering. Aku menduga bahwa salah seorang
dari mereka merasa bahwa kekuatan mereka tidak seimbang. Tetapi orang yang
merasa lebih lemah itu pasti memiliki kelebihan lain.”
“Pendengaran
Angger cukup baik. Aku sependapat. Dan salah seorang dari kedua orang yang
berkelahi itu pasti Sidanti.”
Argajaya mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Aku pun berpendapat demikian,” desisnya.
“Hem,” Ki
Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam,
“Sidanti
memang terlampau sulit untuk dikendalikan. Kalau ia membuat sedikit saja
kesalahan di sini, maka akibatnya akan menjadi terlampau berat baginya. Ayahnya
pasti akan menjadi sangat marah.”
“Mudah-mudahan
ia belum dikenal sebagai Sidanti.”
“Marilah kita
mendekat, Ngger. Aturlah langkah dan nalarmu supaya tidak mengganggu
perkelahian itu. Aku ingin melihat siapakah yang sedang berkelahi melawan
Angger Sidanti itu.”
Argajaya
mengerti maksud Ki Tambak Wedi. Ia harus berhati-hati supaya tidak mengejutkan
orang-orang yang sedang berkelahi. Sebab dengan demikian, maka akibatnya akan
sangat mengganggu dan mungkin sama sekali tidak mereka kehendaki. Apalagi
Argajaya adalah orang yang banyak dikenal di padesan itu, apalagi oleh Ki
Sentol sendiri.
“Aku tidak
menyangka bahwa di daerah ini ada seseorang yang mampu bertahan terhadap
Sidanti sedemikian lama,” bisik Ki Tambak Wedi.
“Namun justru
karena itu, kita harus segera mendekat, supaya seandainya Sidanti kehilangan
pengamatan diri, kita sempat mencegahnya.”
“Aku, seorang
dari Tanah Perdikan ini pun heran, bahwa di padesan ini ada seseorang yang
mampu berkelahi melawan Sidanti.”
Keduanya
terdiam. Mereka menjadi semakin dekat, dengan halaman rumah Ki Sentol. Dentang
senjata beradu itu pun menjadi semakin
keras. Semakin sering. Tetapi telinga-telinga yang cukup terlatih akan segera
mengerti, bahwa salah seorang dari kedua orang yang bertempur itu pasti selalu
menghindari benturan-benturan kekuatan. Dengan demikian maka benturan-benturan
itu tidak beradu terlampau keras dan terlampau sering. Bunyi benturan itu pun menjadi tidak terlampau keras. Telinga Ki
Tambak Wedi yang tajam setajam pandangan matanya, segera menuntunnya kemana ia
harus pergi. Mereka tidak memasuki halaman itu lewat regol yang telah terbuka.
Tetapi mereka mencari tempat yang gelap di bawah rimbunnya dedaunan, untuk
meloncati pagar batu yang tidak terlampau tinggi, masuk ke dalam halaman.
Ketika mereka sudah berada di halaman, maka langkah mereka pun menjadi semakin berhati-hati. Mereka
merayap setapak demi setapak maju, sehingga akhirnya mereka dapat melihat di
dalam kegelapan dua bayangan yang sedang berkelahi. Sekilas, mereka berdua
segera mengetahui, bahwa yang seorang dari mereka adalah Sidanti. Keadaannya
ternyata lebih baik dari keadaan lawannya. Namun adalah mengherankan, bahwa
lawannya mampu bertahan sekian lamanya. Sejenak kedua orang itu terpaku di
tempatnya. Dengan tajamnya mereka memandangi perkelahian yang tengah
berlangsung di dalam gelapnya malam. Kilatan cahaya langit di kejauhan yang
sudah tidak berdaya, tampak menari-nari pada mata-mata pedang yang sedang
bergerak-gerak dengan cepatnya. Namun mereka yang sedang berkelahi itu sendiri,
hampir tidak dapat dilihat bentuknya.
Ternyata
perkelahian itu semakin menarik perhatian Ki Tambak Wedi dan Argajaya. Perlahan-lahan
tetapi pasti mereka dapat mengenali orang yang sedang berkelahi melawan
Sidanti. Meskipun mereka masih bertempur, di tempat yang kelam, namun kedua
orang yang mengintai mereka, dapat mengenal mereka masing-masing dari tata
geraknya. Apalagi Ki Tambak Wedi yang mempunyai beberapa kelebihan dari orang
lain. Kecuali ia segera dapat mengenal Sidanti yang mempergunakan ilmu dari
Tambak Wedi dengan baiknya, maka ia pun
segera mengenal ilmu lawan Sidanti itu.
“Angger,” perlahan
Ki Tambak Wedi berdesis.
“perkelahian
yang menarik. Meskipun mereka telah hampir sampai pada penggunaan puncak ilmu
yang mereka miliki, namun perkelahian itu sama sekali tidak terjadi dengan
banyak keributan. Orang-orang yang tidur di dalam rumah itu pun tidak terbangun karenanya.”
“Ya, Kiai,”
jawab Argajaya.
“Tetapi ada
yang lebih menarik daripada itu,” berkata Ki Tambak Wedi selanjutnya.
Argajaya
berpaling. Di dalam gelap malam ia mencoba menangkap maksud kata-kata yang
tersirat di wajah orang tua itu. Tetapi ia tidak berhasil.
“Apakah yang
lebih menarik itu, Kiai.”
“Lawan
Sidanti.”
“Ya. Aku pun tertarik pula kepadanya. Bukankah ia
seorang gadis?”
Ki Tambak Wedi
mengangguk,
“Ya, ia memang
seorang gadis. Tetapi itu pun kurang
menarik bagiku. Yang paling menarik adalah bagaimana caranya melawan Sidanti.”
Argajaya
mengerutkan keningnya.
“Bagaimana
menurut pertimbangan Kiai?”
“Seharusnya
kau tidak bertanya demikian, Ngger. Kau pasti sudah mengenalinya. Tata gerak
itu adalah tata gerak yang sudah seharusnya kau kenal. Cabang perguruan itu pun
pasti akan menunjukkan, setidak-tidaknya membatasi persoalannya.”
Argajaya
menahan nafasnya. Ia memang sudah menduga siapakah gadis yang sedang berkelahi
itu. Ia mengenalnya menilik tata geraknya. Tetapi bukan itu saja. Ia mengenal
gadis itu dengan baik. Tetapi ia tidak menyangka bahwa gadis itu mempunyai
kecakapan yang hampir sejajar dengan Sidanti.
“Bukankah ilmu
itu ilmu cabang perguruan Menoreh? Aku kira kau mengenal, bahwa ilmu itu adalah
ilmu Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh. Bukankah Angger sendiri sebagian
terpercik oleh ilmu dari cabang perguruan itu meskipun Angger tidak bersaudara
seperguruan dengan kakak Angger, Argapati?”
“Kami
seperguruan Kiai, tetapi jarak yang membatasi kami cukup jauh.”
Ki Tambak Wedi
menggeleng,
“Tidak. Kalian
bukan seperguruan. Angger memang pernah mendapat ilmu itu, tetapi yang terbesar
tersimpan pada diri Angger bukan perguruan yang sama dengan perguruan
Argapati.”
Argajaya
menganggukkan kepalanya.
“Tetapi gadis
itu adalah seorang gadis yang menyimpan ilmu dari cabang perguruan Menoreh. Kau
lihat bukan?”
“Ya, Kiai. Aku
mengenalnya seperti aku mengenal Sidanti. Tatapi dalam pakaian laki-laki aku
semula agak kabur karenanya. Tetapi kini aku sudah yakin, bahwa aku tidak akan
salah lagi.”
Ki Tambak Wedi
mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Luar biasa.
Ilmu yang dimilikinya belum matang benar. Seharusnya ia bukan lawan yang
terlampau berat bagi Sidanti. Mungkin Sidanti sudah mengenal bahwa lawannya
seorang gadis.”
“Sidanti harus
mengenalnya. Tetapi pakaian laki-lakinya apalagi mereka berkelahi di dalam
gelap itulah yang menyebabkan Sidanti tidak segera mengetahui dengan siapa ia
sedang berkelahi. Tetapi ternyata Kakang Argapati telah membuat suatu
teka-teki. Aku tidak pernah melihat anak itu berlatih sama sekali. Tetapi
tiba-tiba aku melihatnya ia sudah berada dalam tataran yang demikian tinggi.
Aku melihatnya sehari-hari sebagai seorang gadis pendiam dan pemalu. Tetapi
dalam pakaian laki-laki ternyata ia cukup garang.”
“Kau mengenal
gadis itu, Ngger, bukan hanya sekedar mengenal tata geraknya?”
“Tentu,”
kata-kata Argajaya terputus karena mereka mendengar suara yang lain dari suara
perkelahian itu. Karena itu maka segera mereka terdiam. Mereka menjadi semakin
berhati-hati dan mencoba untuk menangkap apa saja yang terjadi. Tiba-tiba dada
mereka bergetar. Mereka melihat tiga orang berloncatan dari belakang gandok.
Mereka segera berlari ke depan dan berhenti sejenak sambil menebarkan pandangan
mata mereka.
“Di sana, aku
sudah mendengar gemerincing senjata,” salah seorang dari mereka berkata
lantang.
Ketiganya
segera menghadap ke arah suara yang mereka dengar. Suara gemerincing senjata.
Gemerincingnya pedang Sidanti yang beradu dengan sepasang senjata lawannya. Ternyata
Sidanti juga mendengar suara itu. Terasa betapa dadanya bergelora. Sesaat ia
menjadi bingung. Apakah yang akan dilakukannya? Melawan mereka dan membunuh
mereka satu per satu? Kalau ia tidak ragu-ragu, dan tidak tertahan oleh pesan
gurunya, lawannya itu pun telah binasa. Ia ingin mengalahkannya dan sekedar membuatnya
pingsan tanpa menggores kulitnya dengan ujung pedangnya. Tetapi justru dengan
demikian keadaannya menjadi semakin sulit. Kehadiran ketiga orang itu telah
mencemaskan hati Ki Tambak Wedi pula. Kalau Sidanti menjadi bingung, maka ia
pasti akan berbuat di luar perhitungan. Mungkin ia menjadi mata gelap. Ia akan
berusaha untuk membinasakan lawan-lawannya tanpa pertimbangan lain, asal mereka
tidak dapat mengenalnya. Tidak dapat mengetahui bahwa yang menutupi wajahnya
dengan ikat kepala itu adalah Sidanti, putera Argapati. Ternyata Argajaya pun berpikir demikian pula. Tetapi ia menjadi
lebih cemas lagi, karena ia yakin bahwa ia mengerti benar, siapakah gadis lawan
Sidanti itu.
“Kiai,”
Argajaya itu kemudian berdesis, “perkelahian itu harus dicegah.”
“Ya,” sahut Ki
Tambak Wedi,
“aku akan
membuat mereka kehilangan lawannya. Aku akan mengambil dan menyingkirkan
Sidanti.”
“Mereka akan
mengejar.”
“Aku terpaksa
menghilangkan kesadaran mereka untuk sementara. Hanya sekedar memberi
kesempatan Sidanti melarikan diri.”
“Tetapi gadis
itu?”
“Oh, siapakah
gadis itu. Angger belum mengatakannya.”
“Pandan
Wangi.”
“Pandan
Wangi,” ulang Ki Tambak Wedi sambil mengerutkan keningnya,
“Pandan Wangi
kau bilang?”
“Ya.”
Dada Ki Tambak
Wedi berdesir. Sejenak ia termangu-mangu. Nama itu telah mengejutkannya.
Meskipun ia tidak begitu mengenal anak itu seperti ia mengenal Sidanti, tetapi
Pandan Wangi adalah gadis yang dikenalnya dengan baik di masa kanak-anaknya.
Tetapi karena sudah bertahun-tahun ia tidak bertemu, apalagi kini ia mengenakan
pakaian laki-laki, maka ia menjadi lupa kepadanya.
“Bukankah Kiai
pernah mengenalnya dahulu.”
“Ya, ya. Aku
pernah mengenalnya. Tetapi sudah bertahun-tahun yang lalu. Aku sudah lama
sekali tidak mengunjungi Argapati itulah sebabnya aku melihat ilmu Argapati ada
padanya.”
“Lalu, apakah
yang akan kita lakukan sekarang.”
Ki Tambak Wedi
terdiam sejenak. Ia melihat ketiga orang yang berlari-lari itu sudah berada di
samping tempat perkelahian antara Sidanti dan gadis yang bernama Pandan Wangi
itu.
“Aku menjadi
agak bingung. Tetapi sebaiknya perkelahian yang lebih seru harus dicegah.” Ki
Tambak Wedi berhenti sejenak, lalu,
“Tetapi apakah
Sidanti mengenal gadis itu?”
“Melihat
perkelahian itu, aku kira Sidanti belum mengenalnya. Apalagi kini,” Argajaya
menjadi tegang,
“lihat Kiai,
Sidanti hampir menjadi mata gelap.”
Ketika Ki
Tambak Wedi memandang perkelahian itu, ternyata ia melihat tekanan Sidanti
menjadi semakin dahsyat. Ia tampaknya telah kehilangan segala pengamatan diri
karena ia kehilangan akal. Ia tidak menemukan cara yang sebaik-baiknya untuk
menghindar dan karena kecemasannya bahwa dirinya akan dikenal. Dengan demikian,
maka ia tidak dapat mengekang dirinya lagi. Ia harus melawan dan berusaha
menutup mulut orang-orang itu bagaimana
pun caranya. Memang ada juga terbersit pikiran di kepalanya untuk
melarikan diri. Tetapi setiap kali kakinya akan melontarkan dirinya menghindari
perkelahian itu, perasaan harga dirinya telah mengekangnya, sehingga setiap
kali ia menjadi ragu-ragu. Akhirnya ia tidak mendapat kesempatan lagi, ketika
ketiga orang yang baru datang itu mengepungnya.
“Jangan diberi
kesempatan untuk melarikan diri,” berkata salah seorang dari mereka,
“kita harus
tahu, siapakah orang ini.”
Sidanti hanya
dapat menggeretakkan giginya. Ia selalu saja dibayangi oleh kecemasan tentang
dirinya sendiri. Ia tidak berani mengucapkan kata-kata supaya suaranya tidak
dikenal. Ketika ketiga orang itu sudah menarik senjata masing-masing, maka
Sidanti tidak akan dapat berbuat lain. Melawan, kalau terpaksa, ya kalau terpaksa
apa boleh buat. Pedangnya akan membuat penyelesaian. Tetapi ketika ketiga orang
itu sudah mulai menggerakkan pedangnya, tiba-tiba mereka mendengar suara
tertawa di belakang gerumbul yang rimbun. Tanpa berjanji mereka berloncatan
menjauhi lawan-lawannya untuk mendapat kesempatan berpaling. Meskipun
pedang-pedang mereka siap untuk bergetar, tetapi mereka memerlukan juga
menunggu, siapakah yang akan ke luar dari dalam rimbunnya gerumbul itu? Yang
kemudian muncul di dalam kegelapan itu adalah dua bayangan sosok tubuh yang
hitam. Mereka tidak segera dapat mengenal. Namun sejenak kemudian salah seorang
dari kedua orang itu berkata sambil tertawa,
“Cukup
Sidanti. Permainan yang menyenangkan.”
Sidanti
terkejut bukan buatan. Ia mengenal suara itu, suara pamannya, Argajaya. Tetapi
pamannya telah menyebut namanya, sedang ia sendiri mati-matian menyembunyikan
dirinya dari pengenalan orang-orang itu. Tetapi bukan saja Sidanti yang
terkejut bukan kepalang, ternyata lawannya yang bernama Pandan Wangi itu pun
terperanjat bukan main, sehingga seolah-olah darahnya berhenti mengalir.
“Paman,
Pamankah ini?” bertanya suara wanita itu.
“Ya, aku
pamanmu, Pandan Wangi.”
“Pandan
Wangi,” hampir-hampir Sidanti berteriak, tetapi suaranya tertahan di dadanya.
Tetapi dengan demikian ia menjadi seolah-olah membeku di tempatnya. Nama itu
benar-benar telah mengejutkannya. Tetapi ketika ia mendapat kesempatan untuk
memandangi wajah lawannya, maka ia merasakan sesuatu bergetar di dalam dirinya.
Wajah itu masih belum jelas baginya. Tetapi karena gadis lawannya itu berdiri
diam, maka kesempatan untuk mengenalinya menjadi semakin luas.
Kedua bayangan
yang ternyata Argajaya dan Ki Tambak Wedi itu sudah menjadi semakin dekat. Dan
terdengar lagi Argajaya berkata,
“Aku telah
melihat dengan senang hati kalian bermain-main. Jangan marah Pandan Wangi.
Sidanti sengaja ingin melihat, apakah kau sudah cukup baik menguasai ilmu
pedang rangkap dari Perguruan Menoreh itu.”
Kedua orang
yang baru saja bertempur itu terpukau diam-diam mereka tidak segera mengerti,
apakah yang sebenarnya mereka hadapi. Mereka hanya berdiri saja memandangi
langkah Argajaya dan Ki Tambak Wedi mendekati mereka.
“Pandan Wangi,”
berkata Argajaya kemudian,
“Sidanti telah
terlampau lama, bahkan bertahun-tahun tidak bertemu dengan kau karena kakakmu
itu sedang menuntut ilmu di padepokan Tambak Wedi. Ketika kakakmu menjejakkan
kakinya di Tanah Perdikan ini, untuk pertama kali setelah bertahun-tahun tidak
melihatnya, maka yang pertama-tama ditemuinya adalah kau dalam pakaianmu yang aneh
itu. Sehingga timbullah niatnya untuk mengganggumu.”
Pandan Wangi
mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling memandangi wajah orang yang baru
saja berkelahi melawannya, ia masih melihat wajah itu bertutup ikat kepala.
“Bukalah
penyamaranmu, Sidanti,” berkata Argajaya,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar