Jilid 030 Halaman 3


“bukankah kau tidak perlu lagi memakainya? Kau sudah cukup mengganggu adikmu dengan cara itu. Sekarang bukalah. Kau sudah terlampau lama membuat adikmu berdebar-debar.”
Sidanti masih belum tahu benar, apakah yang sebenarnya dimaksud oleh paman dan gurunya. Tetapi ia tidak dapat membantah lagi. Dengan ragu-ragu dibukanya tutup wajahnya.
“Nah, bukankah ia seorang anak muda yang bernama Sidanti, putera Kakang Argapati?” desis Argajaya sambil tertawa.
“Apakah kau sudah tidak dapat mengenal wajah kakakmu lagi, Pandan Wangi? Aneh. Sidanti tidak banyak mengalami perubahan. Sedang kau, yang sedang tumbuh dalam masa-masa yang paling cepat, tidak dapat mengelabui kakakmu, walau pun kau memakai pakaian yang aneh itu pula.”
“Tetapi,” tergagap Pandan Wangi berkata, “tetapi dari mana paman tahu kalau aku berada di sini?”
“Bukankah kau sering berada di tempat ini?”
Pandan Wangi menjadi ragu-ragu. Tetapi Argajaya  pun menjadi berdebar-debar. Pertanyaan yang aneh-aneh dapat membuatnya bingung untuk mencari jawab.
“Tetapi,” Pandan Wangi masih ingin bertanya lagi, tetapi Argajaya mendahului,
“Lihatlah baik-baik. Itu adalah kakakmu Sidanti.”
Pandan Wangi berpaling sekali lagi memandangi wajah Sidanti yang kini sudah tidak tertutup lagi. Meskipun sudah lama mereka tidak bertemu, tetapi garis wajah itu sama-sama dapat dikenalinya.
“Marilah kita pergi ke halaman. Cahaya lampu itu akan segera memperkenalkan kalian.”
Argajaya segera membimbing Pandan Wangi berjalan mendahului yang lain pergi ke halaman. Kepada kedua orang pengawal Pandan Wangi yang juga sudah dikenalnya, Argajaya berkata,
“Marilah ikut aku.”
Mereka tidak membantah lagi. Mereka segera berjalan ke halaman depan rumah Ki Sentol yang cukup luas.
Yang tinggal di dalam kegelapan adalah Sidanti dan Ki Tambak Wedi. Ketika jarak mereka menjadi semakin jauh dengan Argajaya dan orang-orang Menoreh yang lain, maka Ki Tambak Wedi berbisik,
“Tidak ada cara lain. Lebih baik kau berpura-pura mencoba adikmu untuk melihat ilmunya, atau sengaja mengganggunya.”
Sidanti menarik nafas dalam-dalam. Kini ia menjadi jelas maksud paman dan gurunya. Namun meskipun demikian ia berkata, “Tetapi pertanyaan-pertanyaan Pandan Wangi akan membingungkan aku, Guru, seperti yang ditanyakannya kepada Paman Argajaya, kenapa kita mengetahui bahwa Pandan Wangi ada di sini.”
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Kemudian ia bertanya,
“Di mana kau temui anak itu?”
“Ia menghampiri aku di halaman ini ketika aku akan naik ke pendapa. Tetapi karena aku takut dikenal di dalam cahaya lampu minyak di pendapa, akulah yang menyerangnya di dalam gelap.”
“Di mana ia berada, atau dari mana ia datang.”
“Dari arah gandok.”
“Tiga orang pengawalnya datang dari belakang gandok itu pula. Kalau begitu mereka pasti di tempatkan di gandok itu sebagai tamu. Nah, katakan bahwa kau telah mengintainya dari luar gandok.”
“Tetapi kenapa aku masuk ke halaman ini dan sampai ke gandok itu.”
“Bukankah tempat ini seakan-akan menjadi pesanggrahan keluargamu. Katakan, kau memang sedang melihat-lihat apakah ada salah seorang anggota keluargamu yang sedang berada di sini.”

Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun hatinya masih berdebar-debar. Ternyata gadis itu adalah adiknya. Adiknya sendiri. Tetapi sudah sekian lama ia tidak bertemu, sejak yang terakhir ia mengunjungi kampung halamannya. Apalagi dalam pakaian laki-laki di dalam kegelapan pula.
“Aneh,” desisnya tiba-tiba, “ia mampu berkelahi.”
“Kau tidak mengenal ilmu itu?”
“Tidak.”
“Ilmu ayahmu. Ilmu Argapati. Memang ayahmu tidak mau membimbingmu, dan menyerahkannya kepadaku.”
“Kenapa, Guru?” bertanya Sidanti.
Pertanyaan itu telah memukul jantung Ki Tambak Wedi. Ia menyesal bahwa ia telah terlanjur mengatakan sesuatu yang tersimpan di dalam hatinya.
“Seharusnya aku tidak mengatakannya,” desisnya di dalam hati.
“Kenapa, Guru, kenapa ayah tidak mau mengajari aku, tetapi ayah justru mengajari Pandan Wangi, seorang gadis?”
Dada Ki Tambak Wedi menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia harus menjawab. Katanya,
“Itu adalah cara ayahmu untuk memperkaya ilmu Perguruan Menoreh. Ayahmu merasa bahwa aku mempunyai kemampuan yang seimbang. Maka dititipkannya kau kepadaku, dan diturunkannya ilmunya kepada Pandan Wangi. Bukankah dengan demikian kau dan Pandan Wangi akan mampu bersama-sama menyusun ilmu yang lengkap dan mengagumkan kelak?”
Sidanti mengerutkan keningnya. Memang hal yang demikian itu mungkin saja terjadi, tetapi masih juga kurang dapat dipahami. Kenapa ayahnya menempuh cara itu untuk memperkaya ilmu Perguruan Menoreh? Kenapa ayahnya, Argapati tidak saja bersama-sama dengan Ki Tambak Wedi menyusun suatu ilmu yang mencakup berbagai macam unsur dari kedua cabang perguruan yang memiliki nama yang cukup besar itu? Apabila demikian, dan mereka dapat menemukan unsur-unsur yang dapat dipadukan dalam suatu bentuk yang baru, maka ilmu itu akan menggemparkan seluruh Demak. Tetapi kenapa yang ditempuh oleh ayahnya adalah jalan yang terlampau jauh? Menyerahkannya kepada Ki Tambak Wedi dan menurunkan ilmunya kepada Pandan Wangi, adik perempuannya, kemudian baru dicari kemungkinan untuk memadukan kedua ilmu itu? Pertanyaan-pertanyaan itu meronta-ronta di dalam dadanya. Tetapi ketika ia ingin menyatakannya, didengarnya Ki Tambak Wedi berkata,
“Marilah kita pergi ke halaman itu. Lihat, mereka telah menunggu kita.”
Sidanti berpaling. Di dalam keremangan cahaya lampu di halaman ia melihat pamannya, Pandan Wangi dan pengawal-pengawalnya berdiri tegak. Mereka agaknya memang sedang menunggunya. Sidanti mengikuti saja di belakangnya ketika gurunya melangkah ke halaman. Namun ia berdesis,
“Aku pasti akan dibingungkan oleh pertanyaan-pertanyaan Pandan Wangi. Bahkan mungkin apabila orang-orang lain di dalam rumah ini terbangun.”
“Kau harus cepat berpikir. Carilah jawaban yang paling mungkin. Kadang-kadang kau harus berusaha memotong pertanyaan mereka. Dan kita seharusnya tidak terlampau lama tinggal di rumah ini. Malam ini juga kita akan meneruskan perjalanan.”
“Tetapi bagaimana dengan pakaian kita, Kiai. Pakaian kita terlampau lusuh dan kotor.”
“Jangan hiraukan. Kau dapat membuat ceritera-ceritera lucu tentang hutan Mentaok. Demikian pula tentang luka di pundakmu yang sudah hampir sembuh sama sekali itu.”

Dada Sidanti menjadi semakin berdebar-debar ketika ia menjadi semakin dekat dengan orang-orang Menoreh yang telah agak lama ditinggalkannya. Namun kemudian cahaya lampu telah menolongnya untuk mengenali wajah gadis yang telah mampu melawannya itu. Meskipun anak itu telah tumbuh dengan suburnya, serta berpakaian laki-laki namun Sidanti telah mulai dapat mengenalnya. Anak itu memang Pandan Wangi. Tetapi ternyata Pandan Wangi lah yang lebih dahulu menegurnya. Hampir berteriak ia memanggil,
“Kakang Sidanti, bukankah kau benar-benar Kakang Sidanti?”
Sidanti menganggukkan kepalanya. Tetapi suaranya tersendat di kerongkongan, sehingga jawabnya terlampau pendek,
“Ya.”
Pandan Wangi tertegun sejenak. Tetapi semakin, dekat semakin jelas baginya, bahwa orang yang semula menutup wajahnya dengan ikat kepalanya itu adalah Sidanti. Sidanti yang telah menyarungkan pedangnya itu mendekatinya dengan penuh kebimbangan. Pandan Wangi yang kemudian yakin bahwa orang itu adalah kakaknya berkata pula,
“Kau mengganggu aku, Kakang. Aku hampir berteriak-teriak memanggil Paman Kerti untuk menangkapmu.”
Sidanti mendekati adiknya dengan dada yang berdebar-debar, tetapi ia memaksa bibirnya untuk tersenyum,
“Aku senang melihat kau marah,” katanya. Namun sikapnya masih juga canggung.
“Tetapi kau telah menyakiti tanganku.”
“Kenapa dengan tanganmu?”
“Tidak apa-apa, tetapi untuk mempertahankan pedangku, tanganku terasa terlampau nyeri. Kau bersungguh-sungguh berusaha melepaskan genggaman pedangku.”
Terdengar Argajaya tertawa. Katanya,
“Kakakmu hampir tidak percaya bahwa kau benar-benar mampu berkelahi. Aku yang hampir setiap hari melihat kau bermain-main dakon dan jirak, tidak tahu sama sekali, bahwa kau mampu bermain-main dengan pedang. Ayahmu benar-benar aneh, Wangi. Aku menjadi pening memikirkannya. Kapan saja kau menyisihkan waktumu untuk berlatih?”
Pandan Wangi menundukkan kepalanya. Ia adalah seorang gadis yang baru mekar. Pujian pamannya telah membuat wajahnya menjadi kemerah-merahan.
“Tetapi sarungkanlah sepasang pedangmu itu,” berkata Argajaya kemudian.
“Oh,” Pandan Wangi baru sadar, bahwa ia masih menggenggam sepasang pedangnya.
“Orang yang wajahnya bertutup ikat kepala itu kini sudah tidak akan berani lagi menyerangmu, karena di sini ada Kerti dan kedua kawannya.”
Wajah Pandan Wangi menjadi semakin kemerah-merahan. Tanpa sesadarnya ia berpaling kepada pengawalnya, seorang yang sudah setengah tua, yang bernama Kerti.
“Aku tidak menyangka,” Kerti itu berkata,
“bahwa aku akan berjumpa dengan Angger Sidanti di sini, dan aku juga tidak bermimpi menyaksikan Angger Pandan Wangi mampu bertempur setangkas itu. Aku, pemomongnya dihadapkan pada suatu kenyataan yang mengejutkan.”
“Ah, kau juga mengganggu aku, Paman.”
“Benar Angger Sidanti. Adikmu, Angger Pandan Wangi memang luar biasa. Aku memang pernah melihat Angger Pandan Wangi berlatih, tetapi tidak berlatih bermain pedang. Angger Pandan Wangi selalu berlatih memanah. Dan malam ini aku mengantarkannya untuk berburu nanti lewat tengah malam. Tetapi tanpa aku duga, bahwa aku akan bertemu dengan Angger Sidanti dan sekaligus melihat kedua bersaudara ini memamerkan ilmunya masing-masing.”
“Aku tidak ingin memamerkan kecakapan itu, Paman,” potong Pandan Wangi.
“Ya, ya. Maksudku, aku melihat Angger berdua adalah anak-anak muda yang luar biasa. Lebih-lebih Angger Sidanti. Bukan main. Meskipun agaknya Angger tidak bersungguh-sungguh, tetapi aku menjadi ngeri karenanya.”

Sidanti tersenyum, meskipun senyumnya masih juga hambar, ia memang sudah mengenal Kerti sebagai seorang yang meskipun sudah setengah umur, tetapi masih juga senang bergurau dan jenaka. Dan orang itu masih berkata lagi,
“Ketika aku melihat Angger bertempur melawan Angger Pandan Wangi, aku menjadi ragu-ragu untuk berbuat sesuatu. Aku dan kedua kawanku ini sebenarnya harus mengawal Angger Pandan Wangi, tetapi ternyata kamilah yang dikawal olehnya, karena kami tidak berani ikut campur melawan Angger Sidanti.”
“Ah,” hampir bersamaan Sidanti dan Pandan Wangi berdesah.
“Sekarang,” Kerti itu berkata,
“kita akan membangunkan Ki Sentol. Aku ingin memperkenalkannya dengan Angger Sidanti.”
“Aku sudah mengenalnya.”
“O, tetapi Angger Sidanti yang dahulu. Bukan Angger Sidanti yang sekarang.”
“Terima kasih, Paman Kerti, tetapi aku segera ingin menghadap ayah.”
“He,” Kerti itu mengerutkan keningnya,
“jadi Angger mampir di halaman ini hanya sekedar ingin mengganggu Angger Pandan Wangi?”
Sidanti menjadi ragu-ragu sejenak. Ketika ia berpaling kepada gurunya kemudian kepada pamannya, ia tidak segera mendapat kesan apa  pun dari kedua orang itu, sementara Kerti telah menyambung kata-katanya,
“Kau memang senang bergurau sejak kanak-anak, Ngger. Marilah singgah ke rumah ini. Ki Sentol akan sangat bergembira melihat Angger.”
Sidanti masih belum dapat menyahut.
“Ki Sentol akan menjadi kagum mendengar ceritera tentang Angger Sidanti, dan Angger Pandan Wangi.”
Sidanti masih juga diam. Tetapi Argajaya-lah yang menyahut.
“Terima kasih Kerti. Kami sekarang tidak sedang bertamasya mengantarkan Sidanti berburu. Tetapi kami membawa seorang tamu yang akan bertemu dengan Kakang Argapati.”
“Siapa?”
“Ki Tambak Wedi, guru Sidanti.”
“Oh, yang mana?”
“Kenapa, kau bertanya?” sahut Argajaya,
“Kami hanya bertiga. Kau mengenal aku dan Sidanti.”
“Oh,” tiba-tiba Kerti menganggukkan kepalanya dalam-dalam kepada Ki Tambak Wedi. Sekilas dilihatnya wajah orang tua dari lereng Gunung Merapi itu. Terasa sebuah desir yang lembut menggores dadanya. Mata yang tajam setajam mata burung hantu di dalam kegelapan, hidung yang mancung, kumis yang hitam dan garis-garis wajah yang tegas tergores di sisi matanya yang seolah-olah menyala.
Namun segera ia berkata,
“Kalau demikian, aku memang harus membangunkan Ki Sentol. Seharusnya aku sudah tahu, bahwa yang datang sekarang adalah Angger Sidanti bersama gurunya. Aku yang sudah terlampau lama berada di Menoreh, seharusnya sudah mengetahui bahwa guru Angger Sidanti berada di sini.” Kerti berhenti sejenak, lalu kepada Ki Tambak Wedi ia berkata,
“Maafkan aku, Kiai. Aku adalah seorang yang tidak tahu diri. Tetapi agaknya aku memang belum pernah melihat Kiai di Menoreh, meskipun agaknya Kiai sering berkunjung kepada Ki Gede Menoreh.”
Tiba-tiba wajah Ki Tambak Wedi menjadi tegang. Tetapi hanya sesaat. Sesaat kemudian ia telah berhasil menguasai dirinya. Bahkan ia telah dapat memaksa bibirnya untuk tersenyum,
“Ya. Aku memang jarang sekali datang ke Menoreh. Argapati lah yang sering berkunjung kepadaku, atau Angger Argajaya.”

Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak melihat dada Ki Tambak Wedi yang bergetar justru karena pertanyaannya. Ki Tambak Wedi seolah-olah dihadapkan kepada suatu pertanyaan yang menggores dinding jantungnya, menumbuhkan luka yang tidak akan dapat sembuh seumurnya.
“Ya, kenapa aku seolah-olah tidak berani lagi datang ke Menoreh? Bukan hanya sekarang, tetapi bertahun-tahun yang lalu. Sejak Sidanti masih seorang kanak-anak.”
Tetapi kini Ki Tambak Wedi ingin menyembunyikan deburan perasaannya itu. Sekali lagi ia memaksa bibirnya tersenyum dan berkata,
“Nah, karena itulah maka aku segera ingin bertemu dengan Ki Gede Menoreh. Sebaiknya kalian tidak usah bersusah payah membangunkan pemilik rumah ini.”
“Itu aneh. Aneh sekali, Kiai,” sahut Kerti,
“marilah, Ki Sentol sudah seperti keluarga sendiri. Apalagi hari sudah jauh malam.”
“Kami sengaja berjalan malam hari,” desis Argajaya.
“Kenapa?”
“Kami baru saja menempuh perjalanan yang jauh. Sidanti perlu memperluas pengalaman dengan sebuah perjalanan hampir mengelilingi seluruh daerah Demak lama. Dalam pakaian yang kusut ini, perjalanan kami menjadi lancar. Kini, akhir dari perjalanan itu adalah menghadap Kakang Argapati.”
“Apakah Paman ikut dalam perjalanan itu?” bertanya Pandan Wangi tiba-tiba.
“Tentu. Aku  pun ingin memperluas pengalaman.”
“Begitu cepat.”
“Kenapa?” Argajaya mengerutkan keningnya.
“Berapa lamakah Paman meninggalkan Menoreh?”
Argajaya terdiam sejenak. Pertanyaan itu memaksanya untuk berpikir. Tetapi segera ia menjawab,
“Bukankah aku sudah cukup lama pergi? Aku mempergunakan waktuku sebaik-baiknya. Begitu aku sampai di Tambak Wedi, Sidanti sudah siap untuk memulai dengan perjalanannya.”
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba saja ia bertanya,
“Di manakah kedua orang yang pergi bersama Paman dari Menoreh itu?”
Dada Argajaya berdesir mendengar pertanyaan itu. Dan sekali lagi ia harus berbohong.
“Orang-orang itu masih berada di Tambak Wedi. Mereka tidak ikut dalam perjalanan kami.”

Ternyata Pandan Wangi hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Ia sama sekali tidak berprasangka apa-apa. Ia sama sekali tidak membayangkan bahwa di padepokan Tambak Wedi telah terjadi pertempuran yang sengit. Pandan Wangi sama sekali tidak membayangkan bahwa kedua orang itu telah menjadi korban kelicikan Ki Tambak Wedi, yang mengorbankan orang-orang lain untuk keselamatannya. Kedua orang itu ternyata terbunuh dalam peperangan yang kisruh di Tambak Wedi melawan prajurit-prajurit Pajang. Argajaya, yang memang tidak ingin mendengar berbagai pertanyaan yang mungkin tidak dapat dijawabnya, segera berkata,
“Nah, aku kira keperluan kami sudah cukup. Kami akan meneruskan perjalanan. Bukankah begitu, Kiai?”
“Ya, ya Ngger. Kita akan meneruskan perjalanan.”
“Tetapi itu aneh sekali. Kalian telah berada di halaman rumah ini. Tetapi kenapa kalian tidak singgah, meskipun hanya sepenginang.”
“Terima kasih, Kerti,” jawab Argajaya,
“sampaikan salamku kepada Ki Sentol. Lain kali aku akan datang dalam keadaan yang lebih baik. Ki Sentol pasti akan heran melihat pakaianku yang jelek dan kotor ini.”
Sebelum Kerti menjawab, tanpa disangka Pandan Wangi bertanya,
“Apakah Paman dan Kakang Sidanti sama sekali tidak membawa ganti pakaian?”
Argajaya mengerutkan keningnya. Pertanyaan yang tidak berarti itu justru membingungkannya. Namun dalam kebingungannya ia mendengar Ki Tambak Wedi menjawab sambil tertawa itu,
“Tidak lazim, Ngger. Tidak lazim kita membawa pakaian dalam perantauan. Kalau kita sedang pergi bertamasya atau berburu seperti Angger ini, maka kita wajib membawa ganti pakaian. Tetapi perjalanan kami mempunyai bentuk yang lain.”
Sekali lagi Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia tidak mempunyai prasangka apa  pun terhadap jawaban itu.
“Sekarang, kami minta diri,” berkata Argajaya. Tetapi belum lagi mereka beranjak dari tempatnya, tiba-tiba pintu rumah Ki Sentol terbuka. Ternyata mereka yang berada di rumah itu telah terbangun karena percakapan di halaman. Apalagi suara Kerti yang agak lebih keras dari suara orang-orang lain.
Ketika sepercik sinar meloncat ke luar dari sela-sela pintu yang terbuka, terdengar Argajaya berdesah. Untuk seterusnya apakah ia dapat meninggalkan halaman rumah itu tanpa singgah lebih dahulu meskipun hanya sebentar? Tetapi yang sebentar itu mungkin akan dapat membuat kepalanya pening. Jawaban-jawaban yang salah akan dapat membuat orang-orang itu semakin banyak bertanya.
“Siapa di halaman?” terdengar suara orang tua itu dalam nada yang tinggi.
Sebelum orang lain menjawab, yang pertama-tama terdengar adalah suara Kerti melengking,
“He, Ki Sentol. Di sini hadir seorang tamu yang akan menyenangkan hatimu.”
“Siapa?”
Terdengar Argajaya mengeluh pendek. Dan ia mendengar Kerti menjawab,
“Kemarilah, dan kau akan melihatnya.”

Mereka kemudian melihat seorang laki-laki tua berjalan perlahan-lahan mendekat melintasi pendapa. Perlahan-lahan pula ia turun sambil memandang dengan tajamnya. Dilihatnya beberapa orang berdiri di halaman rumahnya, di muka pendapa. Ia segera dapat mengenal salah seorang yang berteriak memanggilnya, Kerti. Tetapi yang lain masih, belum jelas baginya. Semakin dekat dengan orang-orang yang berdiri di halaman itu, maka Ki Sentol menjadi semakin jelas melihat mereka. Yang kemudian dikenalinya adalah Pandan Wangi yang berpakaian laki-laki. Anak itu memang selalu mengenakan pakaian itu apabila ia pergi berburu. Yang dua orang lagi adalah pengawal Pandan Wangi di samping Kerti. Tetapi siapakah yang lain?
“Ki Sentol,” berkata Kerti kemudian,
“Ki Argajaya datang berkunjung.”
“He” orang tua itu terkejut, “benarkah?”
“Kemarilah.”
Kini langkah Ki Sentol menjadi tergesa-gesa. Ketika ia menjadi semakin dekat, maka segera dikenalnya wajah itu, Argajaya. Namun Ki Sentol merasa heran dengan penglihatannya sendiri. Ia melihat perbedaan pada adik Kepala Tanah Perdikan itu. Tetapi ia tidak tahu, apakah yang lain itu. Agaknya Kerti melihat sorot mata keheranan dari Ki Sentol. Segera ia tanggap, dan berkata,
“Kau heran melihat pakaian Ki Argajaya?”
Ki Sentol sejenak tidak bergerak dan tidak mengucapkan kata-kata. Dipandanginya saja Argajaya tajam-tajam. Lalu sejenak kemudian baru ia berkata,
“Ya. Di situlah perbedaannya. Aku melihat sesuatu yang aneh padamu, Ngger. Ternyata pakaianmu. Pakaianmu sama sekali bukan pakaian seorang adik dari Ki Gede Menoreh. Kusut, kumal dan bahkan ada beberapa bagian yang telah sobek.”
Argajaya memaksa dirinya untuk tertawa. Katanya,
“Itu tidak penting. Yang penting bagiku adalah segera menghadap Kakang Argapati.”
“He? Kau bergurau. Marilah, maaf, aku lupa mempersilahkan. Tetapi siapakah yang lain?”
“Apakah Ki Sentol telah benar-benar lupa dengan anak muda ini?”
“Siapa?”
“Sidanti.”
“He,” orang tua itu terperanjat. Selangkah ia maju. Dicengkamnya kedua pundak anak muda itu, lalu diguncang-guncangnya.
“Bukan main. Kau Angger Sidanti yang dahulu sering berkunjung ke tempat ini juga?”
“Ya, Kiai,” sahut Sidanti,
“meskipun ada beberapa macam perubahan kecil, tetapi aku masih mengenal rumah ini.”
“Bagus, bagus. Marilah singgah dahulu. Aku menjamu kalian.” Tetapi orang tua itu terperanjat ketika ia melihat tamu-tamunya menggeleng,
“Terima kasih. Kami harus meneruskan perjalanan.”
Sejenak Ki Sentol berdiri saja dengan mulut ternganga. Ia tidak mengerti, kenapa Argajaya tidak bersedia singgah ke rumahnya, sehingga kemudian terloncat pertanyaannya,
“Lalu apakah maksud Angger datang kemari di malam-malam begini kalau Angger tidak bersedia singgah ke rumah?”
“Kami hanya kebetulan saja lewat, Kiai.”
“Tetapi Angger sudah masuk ke halaman rumah ini.”
“Maaf, Kiai. Sidanti-lah yang mula-mula masuk ke halaman. Ia hanya ingin sekedar melihat apakah ada keluarganya yang sedang bermalam di sini dalam perburuannya. Ternyata ia melihat adiknya dan tiba-tiba saja timbul keinginan padanya untuk mengganggu Pandan Wangi.”
Ki Sentol menjadi semakin bingung. Dan ia mendengar Argajaya itu berkata seterusnya,
“Kami sebenarnya sedang dalam sebuah perjalanan. Kami merantau mengelilingi daerah yang luas untuk menambah pengalaman. Karena itu, kami tidak dapat singgah di sini. Kecuali pakaian kami yang tidak pantas karena perantauan itu, kami juga membawa seorang tamu yang ingin segera bertemu dengan Kakang Argapati.”
“Siapa?”
“Ki Tambak Wedi, guru Sidanti.”
“Oh,” Ki Sentol mengerutkan keningnya,
“kalau begitu kalian harus singgah. Harus!” Lalu orang tua itu membungkuk hormat kepada Ki Tambak Wedi,
“Maafkan Kiai, aku tidak tahu sebelumnya. Marilah, singgahlah sebentar saja ke rumah ini.”
“Terima kasih,” jawab Ki Tambak Wedi,
“pakaian kami tidak pantas sama sekali untuk singgah ke rumah Ki Sentol. Lain kali kami akan datang lagi. Kalau kami singgah malam ini, maka besok pagi kami tidak akan berani meneruskan perjalanan di daerah kelahiran Sidanti ini. Berbeda dengan tempat-tempat lain, tempat di mana orang-orang tidak mengenal kami, maka pakaian kami memperlancar perjalanan kami.”
“Oh,” Ki Sentol mengangguk-anggukkan kepalanya,
“kalau itu yang Kiai pikirkan, mungkin juga Angger Argajaya dan Angger Sidanti jangan cemas. Besok kalian akan meninggalkan rumah ini dengan pakaian yang pantas. Bukankah kalian keluarga terdekat dari Ki Gede Menoreh.”

Sejenak Ki Tambak Wedi terdiam. Tawaran itu sudah pasti akan sangat menggembirakan Sidanti. Tetapi ia mendengar Argajaya menjawab,
“Terima kasih, Kiai. Itu sama sekali tidak perlu. Kami akan berjalan di malam hari.”
“Tidak. Tidak. Tidak boleh jadi. Kalian harus singgah dan besok kalian akan pergi dengan pakaian yang pantas.”
Argajaya menarik nafas dalam. Ketika dipandangnya wajah Sidanti, maka dilihatnya anak muda itu menganggukkan kepalanya.
“Hem,” desis Argajaya di dalam hatinya,
“anak ini telah kehilangan harga dirinya. Bukankah tidak pantas sama sekali kalau aku dan Sidanti terang-terangan menerima pemberian dari Ki Sentol.”
Namun dalam pada itu, Sidanti berkata di dalam hatinya,
“Ah, kenapa Paman telah tidak menghiraukan lagi harga dirinya, sehingga Paman tidak memerlukan pakaian yang lebih baik untuk memasuki halaman rumah ayah?”
Tetapi mereka tidak sempat lagi menolak ketika kemudian Ki Sentol langsung memegangi tangan Sidanti dan ditariknya anak muda itu sambil berkata,
“Aku harus memaksa kalian. Kalau perlu dengan kekerasan. Kalian harus singgah di rumahku malam ini. Besok kalian boleh pergi. Jangan takut berjalan di siang hari karena aku akan menyediakan pakaian yang paling baik untuk kalian.” Lalu kepada Ki Tambak Wedi ia berkata,
“Marilah Kiai, marilah singgah di rumah yang jelek ini.” Dan kepada yang lain Ki Sentol berkata,
“Marilah, marilah Angger Argajaya dan kau Pandan Wangi, marilah menemui kakakmu yang aneh ini.
Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia berjalan pula naik ke pendapa dan kemudian hilang di dalam rumah Ki Sentol bersama yang lain. Betapapun juga, pertemuan itu merupakan saat yang penuh ketegangan bagi Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya. Setiap kali mereka harus menciptakan jawaban-jawaban atas pertanyaan yang kadang-kadang membuat mereka pening. Mereka harus sangat berhati-hati. Apalagi terhadap Pandan Wangi. Pertanyaan-pertanyaannya yang sederhana sering membuat Ki Tambak Wedi, Argajaya, dan Sidanti menjadi bingung. Untunglah bahwa Ki Tambak Wedi dan Argajaya ternyata memiliki kecakapan untuk menyusun ceritera khayal yang cukup baik dan menarik. Ketegangan itu akhirnya diakhiri dengan permintaan Argajaya untuk pergi ke perigi.
“Aku akan mandi dahulu, Kiai. Supaya tubuhku yang kotor ini, tidak mengotori lantai rumah ini.”
“Ah,” Ki Sentol berdesah,
“baiklah, Ngger.” Lalu orang itu tiba-tiba berteriak memanggil isterinya. Katanya,
“Sediakan tiga pengadeg pakaian yang paling baik untuk tamu-tamuku.”
Sekali lagi dada Argajaya berdesir. Katanya,
“Terima kasih, Kiai. Kalau aku tidak dapat menolak, maka lain kali aku akan menukarnya dengan pakaian yang serupa.”
“Jangan pikirkan itu, Ngger. Jangan kau pikirkan.”

Dan ternyata bahwa malam itu mereka telah mendapat pakaian yang baik dan pantas kecuali makan dan minum. Sidanti menjadi agak berlega hati. Besok ia akan dapat masuk ke halaman rumahnya dengan wajah tengadah. Malam itu Pandan Wangi tidak jadi pergi berburu setelah lewat tengah malam. Bahkan ia  pun kemudian pergi tidur, supaya besok ia dapat bangun pagi-pagi dan ikut mengantar kakaknya pulang ke rumahnya. Malam itu, meskipun mendapat tempat yang baik, Ki Tambak Wedi tidak dapat memejamkan matanya. Kenangannya terbang ke masa silamnya yang jauh. Masa silam yang tidak dapat terhapus dari kenangannya. Apalagi apabila teraba olehnya bekas luka di bahu dan sebuah goresan di dadanya. Maka seakan-akan terbayang kembali perkelahian antara hidup dan mati, yang pernah terjadi antara dirinya dan Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh. Ki Tambak Wedi terloncat berdiri. Dihentakkannya kakinya untuk mengusir kenangan yang seolah-olah mengungkat kembali kepahitan hidup yang pernah dialaminya dan yang membekas di hatinya untuk sepanjang umurnya. Tetapi orang tua itu  pun kemudian dengan lesu menjatuhkan dirinya duduk di atas pembaringanmya. Ditundukkannya kepalanya dalam-dalam. Kemudian ia berdesis,
“Kenapa aku tidak berhasil melupakannya?”
Semakin keras ia berusaha bahkan tampak semakin jelas di dalam angan-angannya, apa yang pernah terjadi.
“Hem,” Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dibaringkannya tubuhnya. Tetapi tidak lama kemudian ia mendengar ayam jantan berkokok bersahutan untuk yang ketiga kalinya.
“Hampir pagi,” desisnya. Orang tua itu seakan-akan tidak sabar lagi menunggu matahari melonjak dari cakrawala. Terasa betapa malam bertambah panjang.
Namun akhirnya sinar pagi yang cerah memancar di langit. Burung-burung liar berkicau bersahutan, seolah-olah berlomba memujikan kidung yang manis, bahwa mereka masih sempat menikmati hari baru dalam kurnia kasih yang mulus. Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah ia ingin menghirup udara pagi sebanyak-banyaknya setelah semalam-malaman nafasnya disesakkan oleh kenangan yang pahit. Dengan wajah tengadah kini ia berdiri di belakang rumah Ki Sentol dalam panasnya matahari pagi. Dipandanginya berkas-berkas sinar yang menyusup di sela-sela dedaunan, keputih-putihan seperti awan yang berwarna cerah.

Pagi itu Ki Tambak Wedi, Argajaya dan Sidanti sudah tidak dapat ditahan lagi. Ketika Ki Tambak Wedi, Argajaya, dan Sidanti selesai berkemas, maka segera mereka minta diri untuk meneruskan perjalanan. Bagaimanapun juga Ki Sentol mencoba menahan mereka, namun mereka terpaksa meninggalkan rumah itu. Sidanti segera ingin sampai ke rumahnya, melihat semuanya yang telah cukup lama ditinggalkannya. Bahkan Pandan Wangi  pun memutuskan untuk ikut pulang bersama dengan kakaknya. Ia tidak meneruskan rencananya, berburu di hutan peliharaan. Ketika matahari memanjat langit semakin tinggi, serombongan orang-orang yang baru saja meninggalkan rumah Ki Sentol itu telah ke luar dari padukuhan. Mereka kini berjalan di jalan persawahan yang sempit, berurutan. Sekali-sekali mereka berpaling memandangi sekumpulan kuntul yang berterbangan, dalam warnanya yang putih, seperti kapas yang bergumpal-gumpal terbang dihanyutkan angin yang kencang. Tidak banyak yang mereka percakapkan dalam perjalanan itu. Sidanti dan Argajaya masih selalu menghindari pertanyaan-pertanyaan Pandan Wangi yang kadang-kadang sukar untuk menemukan jawabnya, sehingga Pandan Wangi itu menjadi heran. Kakaknya, Sidanti beberapa tahun lampau bukanlah seorang pendiam. Bahkan pamannya itu pun seakan-akan bukan pamannya beberapa waktu yang lalu, yang pergi membawa dua orang pengawal ke sebelah Timur Gunung Merapi. Pamannya sekarang tiba-tiba saja berubah menjadi seorang pendiam dan kadang-kadang menjadi gugup. Tetapi Pandan Wangi tidak berprasangka apa-apa. Ia hanya menganggap bahwa perjalanan yang lama telah membuat mereka menjadi terlampau lelah. Karena itu ia berusaha untuk menyesuaikan dirinya. Ia  pun tidak terlampau banyak bertanya, meskipun di dalam dadanya tertahan keinginan tahu yang besar, apa sajakah yang telah mereka lihat dan mereka dengar, apalagi yang mereka dapatkan di sepanjang perjalanan mereka.
Tetapi yang paling diam di antara mereka adalah Ki Tambak Wedi. Ia berjalan di paling depan dengan kepala tunduk. Hanya kadang-kadang saja ia mengangkat wajahnya dan memandang berkeliling, memandang daun padi yang hijau, air yang mengalir di parit yang menggenangi sawah sejauh mata memandang. Burung kuntul yang putih berterbangan berkelompok, berputar-putar untuk kemudian pecah seolah-olah rontok jatuh ke dalam air. Satu-satu hinggap pada kaki-kakinya yang panjang untuk mencari makanan mereka di dalam air.

Semakin dekat dengan rumah Sidanti, wajah Ki Tambak Wedi tampak menjadi semakin tegang. Perjalanan itu  pun menjadi semakin senyap. Hanya langkah kaki-kaki mereka sajalah yang terdengar gemerisik pada daun-daun rumput liar yang kering. Dalam ketegangan itu mereka sama sekali tidak menyadari, telah berapa lama mereka berjalan. Mereka tidak menyadari bahwa matahari telah condong ke barat. Panas yang menyengat tubuh mereka, sama sekali tidak terasa. Bahkan keringat yang membasahi tubuh mereka  pun hampir-hampir tidak pernah mereka usap. Debu yang kotor yang berterbangan oleh kaki-kaki mereka, telah hinggap di tubuh dan pakaian mereka. Mereka menjadi semakin berdebar-debar ketika di kejauhan, di seberang bulak yang panjang di kaki Pegunungan Menoreh tampak rumah Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu. Di muka rumah itu terbentang sebuah halaman yang luas. Kemudian, di luar sepasang regol halaman, masih didapatinya sebuah lapangan yang cukup luas. Alun-alun Menoreh. Meskipun tidak seluas alun-alun Pajang, bahkan belum mencapai separuhnya, tetapi rumah Sidanti itu tampak benar-benar sebuah rumah seorang Kepala Tanah Perdikan yang besar. Tanpa disengaja, Ki Tambak Wedi berpaling. Ketika Sidanti melihat wajah orang tua itu, hatinya ikut berdebar-debar pula. Wajah itu memancarkan kesan yang mendebarkan hatinya. Tetapi sekali lagi ia menekankan anggapannya, bahwa Ki Tambak Wedi menjadi jemu karena dirinya, karena kegagalan yang pernah dialami.
“Seharusnya kecemasan guru tidak boleh berlebih-lebihan,” berkata Sidanti di dalam hatinya. Tetapi ia tidak dapat mengatakannya kepada gurunya, Ki Tambak Wedi.
Dengan demikian maka mereka masih saja terbenam dalam kediaman. Masing-masing sibuk dengan angan-angan sendiri. Namun semakin dekat mereka dengan rumah Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh, maka hati mereka  pun menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi karena langkah-langkah mereka, maka rumah itu  pun menjadi semakin dekat, sejalan dengan matahari yang menggantung di langit semakin mendekati punggung-punggung bukit di sebelah Barat.
Tiba-tiba dalam kediaman itu Kerti bergumam,
“Kita sudah hampir sampai.”
Argajaya berpaling. Dilihatnya wajah Kerti yang cerah, seolah-olah tidak pernah ada persoalan apa  pun di dalam benaknya.
“He,” berkata Kerti lebih lanjut kepada seorang kawannya,
“Pergilah mendahului. Beritahukan kepada Ki Gede, bahwa akan datang tamu dari Padepokan Tambak Wedi.”
“Ah,” desis Ki Tambak Wedi tanpa berpaling,
“tidak perlu. Nanti Argapati akan melihatnya sendiri.”
“Biarlah, Kiai. Biarlah orang-orang di rumah itu tidak terkejut. Dan biarlah mereka siap untuk menyambut kedatangan Kiai di daerah bukit Menoreh ini.”
Ki Tambak Wedi tidak menyahut. Ketika ia melihat seseorang berlari-lari kecil mendahului perjalannya, ia seolah-olah menjadi acuh tidak acuh saja.

Pandan Wangi sendiri kemudian berjalan saja di dalam kediamannya. Ia tidak mengerti apa yang harus dilakukannya. Ia menjadi bingung dan canggung menghadapi kakak dan pamannya yang seakan-akan selalu mengelakkan pembicaraan.
“Apakah sikapku menjemukan mereka?” ia selalu bertanya-tanya di dalam hati. Dengan demikian maka Pandan Wangi yang ragu-ragu menghadapi kakak dan pamannya itu  pun menjadi selalu terdiam pula.
Namun kini mereka telah berada beberapa puluh langkah saja dari alun-alun Menoreh. Sejenak lagi mereka akan memasuki lapangan rumput itu dan beberapa puluh langkah pula mereka akan sampai ke regol halaman rumah Sidanti yang besar dan berhalaman luas. Ki Tambak Wedi menjadi semakin berdebar-debar ketika tiba-tiba ia melihat beberapa orang ke luar dari regol halaman rumah yang berdiri tegak di hadapannya, di seberang alun-alun. Dan debar di dadanya semakin keras ketika di antara orang-orang itu berdiri seorang laki-laki yang hampir sebaya dengan umurnya. Bertubuh tinggi tegap berdada bidang. Wajahnya yang keras memancarkan kekerasan hatinya pula. Sedang sorot matanya yang tajam melukiskan ketajaman pikirannya.
Orang yang bertubuh tinggi tegap itu berdiri sambil mengerutkan keningnya. Rambutnya yang sudah berseling putih beberapa helai, tampak selembar-selembar dibelai angin. Ikat kepalanya yang dikenakan dengan tergesa-gesa tidak menutup keseluruhan rambutnya yang panjang, yang disanggulkannya dengan tergesa-gesa pula. Adalah menjadi kebiasaannya untuk membiarkan rambutnya terurai apabila ia sedang beristirahat di rumahnya. Dibiarkannya dadanya yang bidang itu bertelanjang. Bulu-bulu dadanya yang lebat tumbuh dengan suburnya. Sehelai kain panjang disangkutkannya di pundaknya. Dan dikenakannya sebuah celana hitam sepanjang betisnya. Sebuah sisir yang lengkung tersangkut pada rambutnya yang tebal dan lebat. Ketika ia mendengar bahwa ada tamu yang akan datang, maka segera ia berkemas. Dikenakannya dengan tergesa-gesa bajunya dan disanggulkannya rambutnya. Ikat kepalanya yang selalu disangkutkan di lehernya, segera dikenakannya pula. Dan dengan sigapnya ia melangkah ke luar rumahnya dan terus ke halaman. Sekali-kali tangannya diangkatnya untuk memilin kumisnya yang lebat. Orang itu adalah Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh. Argapati memandangi serombongan orang-orang yang berjalan di alun-alun dengan tajamnya. Segera ia dapat mengenalinya satu-satu. Namun wajahnya segera berubah ketika ia melihat orang tua yang berjalan di samping Sidanti, Ki Tambak Wedi.

Tetapi perubahan wajahnya itu sama sekali tidak membekas ketika kemudian orang yang bertubuh tinggi tegap itu tersenyum. Dengan tenangnya ia melangkah maju, menyongsong tamunya. Meskipun tamunya masih belum dekat benar, terdengar Argapati menyapanya dengan suara yang berat,
“Ha, agaknya burung prenjak yang manis telah menuntunmu kemari, Paguhan, eh, maksudku Ki Tambak Wedi.”
Tampak kening Ki Tambak Wedi berkerut. Namun kemudian ia tersenyum pula sambil menjawab,
“Aku ternyata salah jalan, Argapati. Aku sama sekali tidak ingin datang mengunjungimu.”
Keduanya tertawa. Ketika jarak mereka menjadi semakin dekat, segera keduanya mengulurkan kedua tangan mereka masing-masing, menggenggam lengan dan mengguncang-guncangnya.
“Kau memang awet muda, Argapati,” desis Ki Tambak Wedi.
Argapati tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya,
“Aku selalu jejamu, Tambak Wedi. Tetapi meskipun demikian rambutku sudah diwarnai oleh rambut putih.”
Pertemuan itu nampaknya begitu akrab dan menyenangkan. Sidanti yang masih berdiri di samping gurunya menjadi heran. Kenapa selama di perjalanan gurunya tampak terlampau muram dan cemas. Semakin dekat dengan rumah ayahnya, gurunya menjadi semakin pendiam. Ternyata sambutan ayahnya  pun sama sekali tidak membayangkan peristiwa apa  pun yang dapat mengeruhkan pertemuan itu.
“Apakah mungkin ayah akan marah kepada guru nanti apabila ia mendengar tentang keadaanku?” pertanyaan itu bergelut di dalam dada Sidanti. Namun ia tidak, dapat menemukan jawabnya.
Dalam pada itu, ayahnya segera menegurnya pula dengan ramah, menegur pamannya Argajaya dan adiknya Pandan Wangi. Dan sejenak kemudian maka Argapati telah mempersilahkan tamu-tamunya memasuki halaman rumahnya dan naik ke pendapa yang luas.
Ternyata kesan yang didapat oleh Sidanti dalam pertemuan itu, sama sekali bertentangan dengan kegelisahan dan kediaman gurunya di sepanjang jalan. Namun meskipun demikian gurunya sama sekali masih belum menyinggung tentang sebab-sebab Sidanti terpaksa pulang kembali ke Menoreh. Selama ini gurunya masih mengatakannya bahwa kedatangan ini adalah sekedar kerinduan yang tidak tertahankan untuk melihat kampung halaman, justru ketika Argajaya mengunjungi Tambak Wedi.
Namun tiba-tiba Pandan Wangi memotong,
“Tetapi bukankah Paman mengatakan bahwa Paman, Kakang Sidanti, dan Ki Tambak Wedi baru saja mengadakan perjalanan yang panjang, dan kali ini sekedar singgah saja?”
Argajaya mengerutkan keningnya. Tetapi ia kemudian tertawa,
“Kau salah Pandan Wangi. Kami memang baru saja mengadakan perjalanan. Tiba-tiba kami dihinggapi oleh keinginan yang tak tertahankan untuk melihat kampung halaman. Begitulah.”
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sama sekali memang tidak berprasangka. Ia percaya bahwa mereka sedang dalam perjalanan dan dibakar oleh kerinduan kepada kampung halaman, sehingga mereka memerlukan singgah meskipun hanya sebentar langsung sebelum mereka kembali ke Tambak Wedi. Ternyata dari pakaian yang mereka pergunakan pada saat mereka berada di rumah Ki Sentol.
“Tetapi mereka datang dari arah Hutan Mentaok. Bukankah Tambak Wedi terletak jauh di seberang Hutan Mentaok?” sebuah pertanyaan tiba-tiba saja menyentuh hatinya. Namun pertanyaan itu dijawabnya sendiri,
“Itu tidak penting. Dari mana  pun mereka datang mereka dapat mengambil arah itu.”
Argajaya menjadi berlega hati ketika ia melihat Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia terperanjat ketika ia mendengar Argapati bertanya,
“Apakah kalian sedang dalam perjalanan yang jauh?”

Sejenak Argajaya tidak menyahut. Dipandanginya wajah Ki Tambak Wedi dengan sorot mata yang memancarkan kecemasan hati. Seolah-olah ia ingin mendapat pertimbangan, bagaimana harus menjawab pertanyaan itu. Ki Tambak Wedi melihat kecemasan yang membayang di wajah Argajaya. Karena itu maka ia  pun segera memutar otaknya. Ia harus dapat menjawab pertanyaan itu tanpa menimbulkan kecurigaan. Maka katanya,
“Ya, Argapati. Kami memang sedang dalam perjalanan. Kami sedang melihat-lihat betapa luasnya tanah ini. Kami daki gunung-gunung yang tinggi dan kami turuni jurang-jurang yang dalam. Sidanti memerlukan pengalaman itu.”
Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Bagus,” katanya kemudian. “Bagus. Pengalaman adalah guru yang baik. Kau memang memerlukannya Sidanti. Kau memerlukan pengalaman yang banyak sekali sebelum kau menjadi seorang prajurit yang baik. Tetapi dengan demikian apakah kau tidak meninggalkan tugasmu sebagai seorang prajurit Pajang.”
Sidanti menjadi berdebar-debar. Ternyata pertanyaan ayahnya menjadi berkepanjangan. Dan kali ini ia menjadi benar-benar kebingungan untuk mencari jawab. Sekali lagi Ki Tambak Wedi harus menjawab pertanyaan itu.
“Akulah yang minta ijin untuknya, Argapati. Aku melihat Sidanti masih terlampau hijau. Meskipun ia mempunyai beberapa kelebihan dari kawan-kawannya prajurit, tetapi ternyata bahwa pengalamannya tidak banyak bedanya dengan prajurit-prajurit yang lain, yang harus menunggu perintah untuk berbuat sesuatu. Karena itu Sidanti memerlukan keseimbangan. Kelebihannya dalam tata bela diri harus diimbangi dengan kecepatan berpikir dan bertindak. Dengan demikian maka barulah ia dapat disebut seorang prajurit yang baik. Tidak hanya sekedar mampu menjalankan tugas yang diperintahkan kepadanya oleh atasannya, tetapi ia mampu menentukan sikap menghadapi keadaan yang tiba-tiba.”
“Bagus, bagus,” Argapati mengangguk-angguk lebih cepat lagi.
“Kau memang seorang anak yang baik, yang mempunyai hari depan yang baik pula. Di bawah asuhan seorang yang tepat, kau akan menjadi seorang yang tidak ada duanya di seluruh Pajang. Tetapi bagaimana dengan keadaan Sangkal Putung? Apakah daerah itu telah memungkinkan untuk ditinggalkannya?”
“Sangkal Putung telah menjadi baik kembali. Sepeninggal Tohpati, maka tidak ada lagi kekuatan yang dapat mengganggu.”
“Oh, jadi benar Angger Tohpati telah dapat dipatahkan.”
“Ia terbunuh di dalam peperangan.”
“Siapakah yang membunuhnya?”
Ki Tambak Wedi menjadi ragu-ragu sejenak. Namun ia kemudian berkata, “Angger Untara.”
“Ah,” Argapati berdesah,
“aku kira kau akan menyebut nama Sidanti, Paguhan.”
“Sidanti telah mengalaminya juga bertempur melawan Tohpati. Tidak hanya sekali, tetapi beberapa kali.”
“Apakah ia masih belum dapat mengalahkannya?”
“Aku tidak dapat mengatakan demikian Argapati, tetapi mereka belum pernah mendapat kesempatan perang tanding yang tidak terganggu oleh hiruk pikuk pertempuran. Juga Angger Widura tidak dapat mengalahkan Tohpati dalam perang yang demikian. Kesempatan untuk itu memang terlampau sempit. Baru ketika Senapati muda yang bernama Untara itu berhadapan langsung dengan Tohpati, kesempatan itu didapatkannya.”
Argapati sekali lagi mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya,
“Aku tidak menyesal bahwa kau masih belum mengalahkan Tohpati, Sidanti. Apalagi kemudian yang berhasil membunuh Angger Tohpati adalah Angger Untara sendiri. Seandainya Tohpati terbunuh oleh orang lain, maka kau harus malu, bahwa bukan kau yang telah melakukannya.”
Sidanti sendiri hanya dapat menundukkan kepalanya. Debar dadanya menjadi semakin mengguncang jantungnya. Ia merasa seolah-olah sedang bergantung pada sebuah ranting yang kering.

Tetapi seperti Pandan Wangi, Argapati pun sama sekali tidak berprasangka sama sekali, bahwa baik Ki Tambak Wedi, Argajaya, dan Sidanti telah terdorong semakin jauh ke dalam ceritera-ceritera yang mereka khayalkan bersama. Untuk menutupi kebohongan yang pernah mereka katakan sebelumnya, maka untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan Argapati dan Pandan Wangi, mereka harus membuat kebohongan-kebohongan baru, semakin lama semakin banyak dan semakin banyak. Hanya karena kecepatan mereka berpikir, maka seolah-olah ceritera mereka itu benar-benar hidup. Meskipun mereka tidak berjanji lebih dahulu, dan tidak menyiapkan kerangka ceritera yang harus mereka katakan, namun mereka berusaha untuk saling menyesuaikan diri. Meskipun demikian, mereka terpaksa menjadi semakin gelisah. Pertanyaan-pertanyaan Argapati menjadi semakin sulit untuk mereka jawab. Sidanti sendiri semakin lama menjadi semakin diam. Tidak banyak yang dapat dikatakannya tentang perjalanannya mengelilingi daerah Demak lama. Bahkan ia berdoa, agar ayahnya tidak bertanya tentang daerah-daerah yang belum pernah dilihatnya.
“He, Sidanti,” tegur Argapati,
“kenapa kau diam saja. Apakah Ki Tambak Wedi telah merubahmu menjadi seorang pendiam? Ayo, ceriterakanlah apa yang pernah kau alami. Aku akan menjadi bangga mendengar ceriteramu. Kau pasti pernah bertempur dengan serombongan penjahat, segerombolan perampok atau sekelompok orang-orang yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan diri, kemudian memeras orang-orang yang menjadi reh-rehannya. Kau pasti telah banyak berbuat selain menghadapi orang-orang Jipang yang agaknya sulit untuk mengerti keadaan yang sebenarnya telah dihadapkan di muka hidung mereka.”
Keringat dingin mengalir di segenap lubang-lubang kulit Sidanti. Wajahnya menjadi tegang, dan kerongkongan menjadi pepat. Untunglah bahwa gurunya membantunya. Berkata Ki Tambak Wedi,
“Anak itu terlampau lelah. Pengalaman yang pertama ini agaknya terlampau berat baginya. Argapati, suruhlah anak itu tidur atau beristirahat atau apa pun. Besok pagi ia akan dapat berceritera seperti seekor burung yang segar disinari matahari pagi.”
Argapati tertawa. Dipandanginya wajah Sidanti yang tunduk. Katanya,
“Ya, barangkali kau terlampau payah, Sidanti. Meskipun kau jauh lebih muda dari gurumu, tetapi jalan pernafasanmu dan otot bebayumu masih belum mendapatkan latihan yang mantap, sehingga kau terlampau cepat menjadi lelah.”
Mendengar kata-kata Argapati itu, Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Ia merasa seolah-olah Argapati menyindirnya, bahwa ia kurang berhasil menuntun anak muda itu. Tetapi ia mendengar Argapati itu meneruskan,
“Betapapun baiknya latihan-latihan yang telah kau jalani, tetapi perjalanan yang pertama apalagi dalam jarak yang demikian jauh, memang merupakan latihan yang terlampau berat buat kau. Seharusnya kau mengalami perjalanan-perjalanan yang lebih ringan. Tetapi agaknya memang sudah menjadi adat gurumu.” Argapati berhenti sejenak, lalu kepada Ki Tambak Wedi ia berkata,
“Bukankah begitu Paguhan? Kau tidak pernah telaten mengurusi persoalan-persoalan kecil. Kau ingin cepat langsung pada persoalan yang kau ingini. Tanpa banyak pendahuluan dan pengantar.”
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Namun ia tersenyum,
“Mungkin begitu, Argapati. Aku sendiri sulit untuk menilai diri. Tetapi aku memang tidak telaten berjalan dengan langkah kecil-kecil. Aku ingin meloncat sejauh jangkauanku.”
Argapati tertawa pula,
“Kau masih belum berubah.” Lalu kepada Sidanti ia berkata,
“Beristirahatlah. Besok kau akan dijamu oleh anak-anak muda yang paling terkemuka di Tanah Perdikan ini. Para pemimpin Pengawal Tanah ini. Kau pasti akan mendapat seribu macam pertanyaan. Mungkin ada yang menyenangkan hatimu, tetapi pasti ada pula pertanyaan-pertanyaan yang menjemukan bagimu. Setiap orang tertarik pada persoalan yang berbeda-beda. Ada yang ingin supaya kau berceritera tentang perkelahian-perkelahian yang pernah kau alami, ada yang ingin mendengar apakah kau bertemu dengan gadis-gadis cantik di perjalananmu, atau kau pernah melihat apa saja yang tidak ada di Menoreh, atau kau menjumpai jenis makanan yang paling enak yang pernah dibuat orang. Nah, malam ini persiapkan saja semua jawabannya.”
Sidanti yang tunduk itu menganggukkan kepalanya,
“Ya, Ayah. Aku akan mencoba.”
“Bagus,” kemudian kepada Pandan Wangi ia berkata,
“bawalah kakakmu untuk beristirahat. Sediakan gandok Kulon untuknya dan gurunya.”
“Ya, Ayah,” sahut Pandan Wangi sambil berdiri. Kemudian ia melangkah pergi memanggil pelayannya untuk membersihkan, gandok Kulon.

Ketika kemudian Sidanti meninggalkan pertemuan itu, maka serasa ia terlepas dari sebuah kungkungan yang menyekat nafasnya. Begitu ia menginjakkan kakinya di halaman, begitu ia menarik nafas dalam-dalam. Terasa betapa sejuknya udara tanah kelahiran. Terasa betapa nyamannya silir angin di kampung halaman. Sidanti berhenti sejenak ketika ia sampai ke depan pintu gandok. Dipalingkannya wajahnya. Ditebarkannya pandangan matanya ke sekelilingnya, hingga pada hijaunya pepohonan. Tetapi tiba-tiba dadanya berdesir. Rumah ini, rumah ayahnya, terasa begitu asing baginya. Meskipun sudah lama ia tidak pulang kembali ke rumah ini, tetapi rumah ini adalah rumah ayahnya. Rumahnya sendiri. Persoalan yang mereka bicarakan di pendapa itu telah melemparkannya pada suatu keadaan yang tidak disangka-sangkanya. Bayangan dan angan-angannya tentang rumah ini sama sekali berbeda dengan apa yang dijumpainya. Di sepanjang jalan ia berharap, bahwa begitu ayahnya mendengar tentang keadaannya, maka segera berbunyi tengara untuk menyiapkan pasukan di seluruh Tanah Perdikan yang besar ini. Tetapi ketika ia sudah sampai di Menoreh, sudah berhadapan dengan ayahnya Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh, maka ia telah terlempar ke dalam suatu keadaan yang tidak menyenangkannya sama sekali. Ia sama sekali tidak mengerti kenapa pembicaraan mereka berkisar ke dalam suatu khayalan yang menjemukan.
“Benar-benar gila,” gumamnya di dalam hatinya,
“peristiwa di rumah Ki Sentol telah menyeret aku ke dalam keadaan yang sangat jelek. Apakah guru dan paman akan terus menerus bertahan pada keterangannya. Apakah kami akan terus menerus berbohong tanpa ujung dan pangkal? Semakin jauh kami terlibat dalam kebohongan yang gila itu, keadaan kami pasti akan semakin sulit. Mungkin ayah pun akan tersinggung pula apabila ia kelak terdampar pada suatu kenyataan tentang keadaanku, guru dan paman Argajaya yang sebenarnya.” Sidanti menggeretakkan giginya.
“Kami harus berterus terang. Kami harus berterus terang supaya aku tidak disiksa oleh kebohongan itu.”
Sidanti masih saja berdiri di depan pintu gandok Kulon. Ia masih saja dicengkam oleh kegelisahan yang sangat. Peristiwa yang terjadi di rumah Ki Sentol benar-benar telah membuatnya sangat sulit. Pertanyaan-pertanyaan Pandan Wangi telah mulai mendorong pamannya untuk membuat ceritera khayal. Lalu gurunya dan dirinya sendiri.
“Gila, gila,” ia menggeram.
Tetapi Sidanti itu terkejut ketika ia mendengar suara halus di belakangnya,
“Marilah, Kakang. Bilikmu telah kami siapkan. Kau dan gurumu akan tidur di gandok malam ini. Mungkin juga Paman Argajaya. Tetapi agaknya paman akan segera pulang setelah sekian lama meninggalkan bibi dan adik-adik di rumah dalam kecemasan.”
Sidanti menarik nafas dalam-dalam. Ketika terpandang wajah adiknya, tiba-tiba saja ia teringat kepada Sekar Mirah. Gadis Sangkal Putung yang telah merusak segala rencananya, segala cita-citanya dan segala-galanya.
Tetapi ia melihat perbedaan pada kedua gadis itu. Sekar Mirah adalah gadis yang dibakar oleh gairah hidup yang menyala-nyala di dalam dadanya. Meskipun Sekar Mirah tidak mampu menggenggam pedang seperti adiknya, Pandan Wangi. Tetapi Sekar Mirah mempunyai beberapa kelebihan dari adiknya ini. Adalah kebetulan bahwa Pandan Wangi adalah puteri Argapati. Mungkin tanpa dikehendaki oleh gadis itu sendiri, ayahnya telah mengajarinya dalam ilmu tata beladiri. Menurunkan ilmu dari cabang perguruan Menoreh.
“Tidak. Aku melihat bahwa darah ayah mengalir pada tubuh Pandan Wangi. Ia cukup lincah, cukup cekatan dan cerdas untuk menghadapi keadaan yang tiba-tiba,” katanya di dalam hati.
Pandan Wangi yang masih saja berdiri di dalam gandok menjadi termangu-mangu. Ia menjadi heran kenapa kakaknya memandanginya seperti belum pernah melihatnya, sehingga wajahnya  pun kemudian ditundukkannya.
“Pandan Wangi masih saja seorang gadis pemalu,” berkata Sidanti pula di dalam hatinya.


Halaman 1 2 3


<<< Jilid 029                                                                                                       Jilid 031 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar