Jilid 053 Halaman 2


Swandaru mengangguk-angguk pula.
Agung Sedayu pun kemudian perlahan-lahan berjalan di antara orang-orang yang sudah tidur nyenyak. Didorongnya pintu barak itu dengan hati-hati. Sejenak dilemparkan pandangan matanya ke luar. Ke dalam kegelapan malam. Tanpa sesadarnya ia meraba lambungnya. Ketika terasa tangkai cambuk di bawah bajunya, maka ia pun menarik nafas dalam-dalam. Di dalam hati ia berkata,
“Kalau terpaksa, apa boleh buat.”
Dengan hati-hati pula ia kemudian melangkahkan kakinya ke luar. Tetapi langkahnya tertegun ketika ia mendengar seseorang bertanya,
“He, mau kemana?”
Agung Sedayu berpaling. Dilihatnya orang yang bertubuh kekar itu kini ternyata berbaring di luar pintu.
“Adikku yang sakit memerlukan air. Ia sangat haus.”
“Ah gila kau. Apakah kau tidak tahu bahwa itu sangat berbahaya bagimu dan bagi adikmu yang sedang sakit itu?”
“Tetapi ia haus sekali.”
“Kemana kau akan mencari air?”
“Ke sumur.”
“Oh, kau memang anak yang tidak tahu diri. Apakah kau tidak takut ditelan hantu yang kadang-kadang berkeliaran di malam hari?”
“Kalau hantu itu lewat, kita akan mengetahuinya,” jawab Agung Sedayu.
“Darimana kau tahu?”
“Suara gemerincing itu.”
“Bodoh. Bodoh. Kau adalah anak dungu yang sombong. Tidak semua hantu memakai kelinting dan menumbuhkan suara gemerincing. Kau mendengar ceritera orang yang kurus itu? Di bawah pohon belimbing dilihatnya bayangan yang menakutkan.”
“Ya. Ya.”
“Nah, kembalilah saja ke tempatmu.”
“Tetapi, bagaimana kalau adikku itu mati. Ia kehausan sekali. Nanti ayah akan marah kepadaku.”
“Tunggu saja sampai ayahmu datang. Bukankah ia sudah mencari obat?”
“Maksudku, kalau adikku itu mati sebelum ayah datang.”
“Jadi bagaimana maksudmu?”
“Aku akan mengambil air.”
“O, kau memang anak gila. Terserahlah kepadamu kalau kau berani menanggung akibat bagimu sendiri dan bagi seluruh isi barak ini.”
“Apakah hubungannya dengan isi barak ini?”
“Hantu-hantu yang marah pasti akan mengutuk kita semua seolah-olah kita tidak dapat mencegah kesalahan-kesalahan yang kita lakukan sendiri di sini.”
“Tetapi apakah hantu-hantu itu pemarah? Apakah salah kita kalau kita sekedar mengambil air di malam hari?”

Wajah orang yang bertubuh kekar itu menjadi merah. Matanya memancarkan sorot yang aneh. Ditatapnya Agung Sedayu dengan pandangan yang tajam, seolah-olah ingin menembus isi jantungnya.
“Kau memang anak yang keras kepala. Sejak kau datang bersama ayahmu kami sudah mengira, bahwa kau dan keluargamu itu adalah orang-orang bodoh yang sombong, yang tidak mau mendengarkan nasehat orang lain.”
Agung Sedayu masih berdiri tegak di tempatnya. Namun dengan demikian ia menjadi semakin bernafsu untuk pergi ke luar. Usaha orang itu untuk mencegah dan menakut-nakutinya telah menumbuhkan berbagai pertanyaan di hati Agung Sedayu.
“Tetapi,” berkata Agung Sedayu,
“adikku sudah terlampau haus. Kalau aku bertemu dengan hantu itu, biarlah aku menyembahnya. Mungkin hantu itu pun akan beriba hati dan membiarkan aku lepas dari kemarahannya.”
“Persetan,” bentak orang yang bertubuh kekar itu. Namun ternyata pembicaraan itu telah membangunkan beberapa orang yang tidur di sekitarnya. Di sekitar orang yang bertubuh kekar itu.
“Ada apa?” bertanya salah seorang dari mereka.
“Anak gila itu akan pergi ke sumur,” jawab orang kekar ini.
“Di malam begini?”
“Aku mencoba mencegahnya. Tetapi ia keras kepala.”
“Adikku sakit keras. Ia merasa haus sekali. Meskipun hanya setitik air, ia ingin minum air sumur.”
“Kenapa kita ributkan anak itu?” bertanya seorang yang sudah ubanan.
“Biar saja apa yang akan terjadi atasnya. Kita sudah mencoba memberinya peringatan bahkan sudah mencoba mencegahnya. Tetapi kalau ia memang keras kepala, itu tanggung jawabnya sendiri.”
“Jangan hiraukan anak itu,” berkata yang lain,
“apa pun yang akan dikerjakannya. Adiknya sudah kualat dan sakit begitu parah. Kalau peringatan itu masih belum disadarinya, biarlah akibat apa saja yang akan menimpanya kelak.”
Beberapa orang yang mengangkat kepalanya, segera kembali melingkar sambil berkerudung kain.
“Tidak!” tiba-tiba orang yang kekar itu membentak, sehingga mereka yang sudah ingin kembali tidur itu terbangun pula.
“Kutukan hantu-hantu itu tidak akan hanya sekedar menimpa ketiga ayah beranak ini. Tetapi kita pun akan mengalami akibatnya pula.”
“Kenapa kita?”
“Mereka menganggap kita sebagai suatu kesatuan. Bukan seorang demi seorang. Karena itu kesalahan seseorang akan dapat menimpa kepada kita seluruhnya, apabila mereka menjatuhkan kutukan.”
“Tetapi,” Agung Sedayu memotong,
“apa salahnya kalau aku hanya sekedar ingin mengambil air? Bukankah hal itu wajar sekali dan tidak akan mengganggu apa pun?”
“Bodoh, kau. Bodoh sekali. Bagaimana kalau sumur itu bagi mereka terletak dekat dengan pembaringan? Kau tentu akan mengejutkan mereka. Kalau anak-anak mereka terbangun dan menangis, kau akan dicekiknya.”
Agung Sedayu telah hampir kehilangan segenap kesabarannya, sehingga hampir di luar sadarnya ia menyahut,
“Kalau mereka memang akan berbuat sewenang-wenang, apa boleh buat. Biarlah aku dicekik.”
Jawaban itu benar-benar telah mengejutkan. Bukan saja orang yang tinggi kekar itu, tetapi juga orang-orang lain yang mendengarnya. Seorang yang bertubuh pendek tiba-tiba bangkit dan duduk sambil meraba-raba matanya. Katanya,
“Jangan berkata begitu, anak muda. Itu tidak baik.”
“Aku sangat memerlukan air sekarang,” berkata Agung Sedayu kemudian. Dan tanpa menghiraukan siapa pun lagi, Agung Sedayu pun segera melangkahkan kakinya.
Tetapi ia terpaksa berhenti ketika orang yang tinggi kekar itu pun meloncat dan berdiri dua langkah saja di hadapannya.
“Kau sangat menyakitkan hati kami di sini,” berkata orang yang kekar itu.
“Sebenarnya aku pun tidak akan peduli lagi, apakah kau akan mati karena kesombonganmu. Tetapi kata-katamu yang menusuk perasaan kami itu harus kau tebus.”
Agung Sedayu masih tetap sadar, betapa kejengkelan serasa menghentak-hentak dadanya. Karena itu, maka ia pun mundur selangkah.
“Aku tidak bermaksud demikian,” katanya.
“Diam, diam. Kalau kau berani menjawab sekali lagi, aku tampar mulutmu.”
Agung Sedayu benar-benar tidak menjawab. Sementara itu beberapa orang telah bangkit pula dan mencoba menyabarkan orang yang tinggi kekar itu,
“Sudahlah. Kau terlampau membencinya, sehingga setiap kali kau marah kepadanya. Sekarang jangan, jangan hiraukan lagi anak bengal itu. Biarlah ia menerima akibat langsung dari kebengalannya.”
“Tetapi ia menghina kami.”
“Bukan maksudnya. Anak itu sedang bingung karena adiknya yang sakit itu.”
Orang yang tinggi kekar itu menggeretakkan giginya. Geramnya,
“Kau masih bernasib baik. Pada suatu, saat aku tidak akan bersedia menyabarkan diri. Ingat, kau harus tahu bahwa di seluruh daerah ini, tidak ada seorang pun yang berani melawan kehendakku. Semua orang-orang ini tidak. Para petugas pun tidak.”
Agung Sedayu tidak menyahut. Kata-kata itu selalu diulang-ulanginya.
“Sudahlah, pergilah,” berkata seseorang kepada Agung Sedayu,
“kalau kau masih berdiri saja di situ, mungkin mulutmu benar-benar akan berdarah dan membengkak. Aku pernah menyaksikan hal yang serupa pada seorang anak muda yang sombong seperti kau. Tetapi akhirnya anak itu hampir mati ketakutan.”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi ia sudah berniat untuk keluar dari barak itu, sehingga ketika orang-orang itu melihatnya berjalan juga keluar, mereka menggeleng-gelengkan kepala. Salah seorang bergumam,
“Anak yang keras hati.”

Orang yang tinggi kekar itu menggeram. Kalau saja tidak terhalang oleh beberapa orang, ia sudah meloncat dan menerkam Agung Sedayu. Agung Sedayu yang kemudian turun ke halaman barak itu tidak berpaling lagi. Ia tidak mau kehilangan kesempatan itu, sehingga dengan tergesa-gesa ia pun kemudian menghilang di dalam gelap. Ketika hiruk-pikuk di dalam barak sudah tidak terdengar lagi, barulah Agung Sedayu menyadari keadaan dirinya. Ia kini berdiri di dalam gelapnya malam. Bagaimana pun juga terasa bulu-bulunya meremang. Namun, anak muda itu kemudian menghentakkan tangannya sambil menggeram,
“Manusia adalah makhluk terkasih dari Yang Maha Kuasa. Tidak ada makhluk yang akan dapat mengganggunya, selagi manusia itu sendiri tidak memisahkan diri dari Tuhannya.”
Agung Sedayu pun kemudian seolah-olah mendapatkan kekuatan dan keberanian yang baru. Perlahan-lahan ia berjalan di dalam gelapnya malam. Ditatapnya jalur jalan yang membujur seakan-akan menghunjam ke dalam kelam. Dari sana gurunya nanti akan datang, apabila tidak ada kesulitan di jalan.
“Tengah malam telah lewat,” desis Agung Sedayu.
“Kalau guru tidak segera datang, aku harus menghadap Ki Gede Pemanahan.”
Tetapi Agung Sedayu belum tahu dengan pasti, jalan yang paling dekat menuju ke pusat tanah yang sudah dibuka ini.
“Tetapi aku sudah mendapat ancar-ancarnya,” ia bergumam pula.
Tanpa sesadarnya Agung Sedayu berjalan semakin lama semakin jauh. Tetapi ketika ia berpaling, ia masih melihat cahaya lampu yang kemerah-merahan menyusup dari celah-celah dinding.
“Swandaru akan ikut serta, apabila aku pergi ke tempat Ki Gede Pemanahan,” desis Agung Sedayu.
Namun selagi Agung Sedayu berjalan selangkah demi selangkah menyongsong gurunya, yang sama sekali masih belum tampak, meskipun tengah malam telah agak jauh lalu, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara yang aneh dari balik gerumbul. Dengan serta-merta Agung Sedayu mempersiapkan dirinya meskipun ia belum bersikap. Dadanya berdesir tajam sekali ketika kemudian ia mendengar suara gemerincing. Pikirannya segera lari kepada pengenalannya atas suara itu, seperti yang pernah didengarnya di sekitar barak beberapa malam yang lalu.
“Hantu itu,” desisnya.
Tetapi segera ia mengenal dirinya sendiri sebagai makhluk terkasih dari Yang Maha Kuasa. Yang lebih kuasa dari hantu-hantu yang mana pun juga. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia berdiri tegak dengan kaki renggang, seolah-olah ia sedang menghadapi lawan yang menantangnya berperang tanding. Sedang tangan kanannya telah melekat pada tangkai cambuknya yang membelit di lambung di bawah bajunya. Namun dada Agung Sedayu menjadi berdebar-debar, bahkan tangannya menjadi gemetar ketika ia melihat sesosok tubuh yang tinggi, tinggi sekali. Hampir dua kali lipat tubuhnya sendiri. Di ujung tubuh yang tinggi kehitam-hitaman itu, menjenguk sebuah tengkorak yang mengerikan. Di seputar matanya yang hitam menjorok ke dalam, tampak cahaya yang berkeredipan. Tanpa sesadarnya, Agung Sedayu melangkah surut. Ia adalah seorang anak muda yang di masa kecilnya dikungkung oleh perasaan takut. Takut kepada apa pun juga. Di jalan menuju ke Sangkal Putung, ia hampir menjadi pingsan ketika teringat olehnya Hantu Bermata Satu yang menurut pendengarannya menunggui pohon randu alas di tikungan. Setelah ia berhasil memecahkan tali yang mengikat perasaannya itu, kini tiba-tiba ia telah bertemu dengan hantu. Hantu yang ditakuti oleh sekian banyak orang.
Hampir saja Agung Sedayu dicengkam kembali oleh perasaan takutnya. Namun sekali lagi ia menghentakkan perasaannya. Diam-diam ia berdoa di dalam hatinya. Suatu keyakinan yang kuat kini telah tumbuh di hatinya, keyakinan yang belum dipunyainya pada saat ia berhadapan dengan hantu Bermata Satu pada pohon randu alas itu. Karena itu, Agung Sedayu kini tidak lari dan juga tidak pingsan. Ia percaya kalau ia akan mendapat kekuatan untuk melawan hantu itu. Lahiriah, yang dapat diberikan oleh wadagnya dan kekuatan yang tersembunyi di dalam dirinya pasti akan terungkat karena Yang Maha Kuasa pasti membenarkan perlawanannya. Tiba-tiba Agung Sedayu itu menggeram. Ketika hantu yang tinggi itu melangkah maju, terayun-ayun seperti sebatang pohon jambe. Agung Sedayu melangkah maju. Justru karena itu, maka langkah hantu itu pun terhenti. Ia agaknya menjadi heran melihat Agung Sedayu yang seolah-olah tidak menjadi takut sama sekali.
Bahkan Agung Sedayu yang telah mapan itu kemudian bertanya meskipun suaranya gemetar,
“Kaulah yang disebut hantu?”
Hantu itu tidak segera menjawab. Agaknya ia masih berdiri terheran-heran.
“He, apakah hantu-hantu dapat berbicara?” desak Agung Sedayu.
Agung Sedayu terkejut ketika ia mendengar jawaban melengking,
“He, anak muda. Kau mempunyai keberanian yang luar biasa.”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ternyata hantu-hantu berbicara dengan perutnya, karena tidak ada lagi mulut dan bibirnya.
“Anak muda,” suaranya melengking-lengking,
“aku masih akan memaafkan engkau, kalau engkau merubah kelakuanmu dan minta maaf kepadaku.”
“Apa salahku?” bertanya Agung Sedayu.
“Kau terlampau sombong meskipun kau pemberani. Tetapi kau amat dungu.”
Agung Sedayu menjadi heran. Hantu-hantu itu menganggapnya terlampau sombong dan dungu seperti orang yang kekar dan orang yang kekurus-kurusan itu.
“Apakah kau menganggap aku terlampau sombong apabila aku mencemaskan nasib ayahku yang sedang mencari obat untuk adikku yang sakit?”
“Ayahmu juga terlampau sombong. Aku sudah memperingatkan kalian dengan cara yang paling baik. Adikmu yang sakit itu.”

Agung Sedayu terdiam sejenak. Sekilas dikenangnya adiknya yang sedang terbaring di barak. Tetapi sakit Swandaru itu sebenarnya sudah jauh berkurang. Bahkan sudah hampir tidak berpengaruh lagi. Sebentar lagi kekuatannya pun pasti akan segera pulih kembali.
“He. Apakah kau mendengar?” bertanya hantu itu. Suaranya menjadi semakin tinggi.
“Ya. Aku mendengar,” jawab Agung Sedayu,
“tetapi kenapa kalian berbuat demikian? Apakah kami telah merugikan kalian?”
“Kau memang benar-benar dungu. Hutan ini adalah hutan kami. Kalian sama sekali tidak sopan. Kalian telah merusak kerajaan kami.”
“Hutan ini terlampau lebat dan luas. Kenapa kita harus saling berebutan?”
“Kalianlah yang datang kemudian.”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dicobanya untuk melihat hantu itu sebaik-baiknya. Namun malam terlampau gelap, apalagi bayangan dedaunan dan gerumbul-gerumbul yang membuat malam semakin kelam.
“Berjanjilah,” desis hantu itu, “berjanjilah bahwa kau akan mengurungkan niatmu.”
“Aku adalah sebagian kecil saja dari mereka yang membuka hutan. Kalau kalian, hantu-hantu memang berkeberatan, sebaiknya kalian menemui Ki Gede Pemanahan dan Mas Ngabehi Loring Pasar. Kepada keduanya itulah kalian harus berbicara.”
“Tentu, raja kami akan berbicara kepada mereka.”
Agung Sedayu masih akan menjawab lagi, tetapi ia terperanjat ketika tiba-tiba saja ia mendengar suara tertawa. Bukan saja Agung Sedayu, hantu itu pun ternyata dapat terkejut juga. Sejenak keduanya, Agung Sedayu dan hantu yang tinggi itu berdiri mematung. Mereka serentak berpaling ketika mereka mendengar suara gemerasak, kemudian terdengar sesuatu terjatuh di tanah.
Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar. Apakah kawan hantu-hantu itu berdatangan dan akan bersama-sama mengeroyoknya? Dengan demikian maka tangannya pun segera meraba tangkai cambuknya. Kalau ia terpaksa mempergunakannya, ia mengharap bahwa senjatanya itu akan dapat membantunya. Tetapi sekali lagi Agung Sedayu dan bahkan hantu yang tinggi itu terperanjat. Tiba-tiba saja mereka mendengar suara tertawa itu kembali. Ketika mereka berpaling, tanpa mereka ketahui darimana datangnya, mereka melihat seonggok benda yang kehitam-hitaman di dalam kelamnya malam dan bayang-bayang dedaunan.
“Ih, ih,” suaranya terdengar aneh sekali,
“aku sudah bertemu dengan rajamu, Raja Kerajaan Mataram Kajiman. Aku baru saja menghadap Prabu Talangsari. Kau dengar he, jerangkong yang bodoh?”
Hantu yang tinggi itu berdiri terheran-heran. Sejenak ia tidak dapat berbuat apa-apa. Bahkan setapak ia melangkah surut.
“Kau jangan mengucapkan nama raja Mataram yang bergelar Perabu Talangsari dengan sekendak hatimu,” benda yang kehitam-hitaman yang teronggok di tanah itu berkata seterusnya,
“aku adalah Kiai Dandang Wesi, pemomong Sutawijaya yang telah mrayang dan menjadi hulubalang kerajaan hantu di Gunung Merapi. Aku telah menemui Sri Perabu Talangsari. Bertanyalah kepada senapati-senapatimu he, jerangkong yang bodoh. Kau adalah hantu yang rendah derajadmu meskipun bentukmu menakutkan bagi anak-anak.”
Hantu yang tinggi itu untuk sejenak berdiam diri. Namun kemudian selangkah demi selangkah ia mundur.
“Pergilah,” bentak benda hitam yang teronggok di tanah.
Hantu yang tinggi itu berhenti sejenak. Namun tiba-tiba ia mengaduh. Sebuah benda telah mengenainya. Tepat pada perutnya yang mengeluarkan suara.
“Kalau kau tidak pergi,” berkata benda yang teronggok itu,
“kau akan mendapat bentuk yang lain dari bentukmu yang sekarang. Dan kau akan menjadi hantu yang paling rendah derajadmu. Endeg pangamun-amun yang setiap siang dijemur di panas matahari yang terik, atau sebangsa klitik yang akan dipakai sebagai alas tempat duduk Perabu Talangsari.”
Hantu yang tinggi itu semakin lama semakin menjauhi benda itu. Ketika sebagian tubuhnya telah tertutup oleh gerumbul, maka tiba-tiba saja kepalanya terayun dan hilang di dalam gelapnya malam. Yang terdengar kemudian adalah gemerisik daun-daun yang tersibak.
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Jantungnya seakan-akan berdentang semakin keras. Tiba-tiba saja ia dihadapkan pada dua jenis hantu yang bermusuhan. Namun ketika ia berpaling, darahnya tersirap. Hantu yang seakan-akan tidak mempunyai bentuk itu telah lenyap pula tanpa bekas. Sejenak Agung Sedayu berdiri termangu-mangu. Digosok-gosoknya matanya, seakan-akan ia tidak percaya pada penglihatannya. Bahkan ia pun kemudian berdesis,
“Bukankah aku tidak bermimpi?”
Beberapa saat Agung Sedayu berdiri di tempatnya. Teka-teki yang di hadapinya ternyata terlampau sulit untuk dipecahkannya.
“Aku akan mengatakannya kepada guru. Mungkin guru pernah melihat jenis-jenis hantu serupa itu,” Agung Sedayu berkata kepada diri sendiri.
Namun, dengan demikian ia pun segera teringat kepada gurunya. Tengah malam telah jauh lampau. Tetapi Kiai Gringsing masih juga belum kembali. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun pertemuannya dengan hantu-hantu itu justru membuatnya menjadi semakin tatag. Karena itu maka ia pun melanjutkan langkahnya menyusuri jalan sempit yang akan dilalui oleh gurunya. Dalam keremangan malam, sekali lagi langkahnya terhenti. Ia melihat bayangan kehitam-hitaman di jalan yang dilaluinya itu pula. Semakin lama menjadi semakin dekat. Sekali lagi Agung Sedayu bersiaga. Kini ia merasa benar-benar telah berada di sebuah dunia yang asing. Dunia hantu-hantu. Seakan-akan ia berada di tengah-tengah masyarakat hantu yang mengerikan. Tetapi Agung Sedayu tidak lari. Ia berdiri tegak dengan ketabahan hati, menunggu bayangan yang kehitam-hitaman itu menjadi semakin dekat pula. Namun Agung Sedayu itu kemudian menarik nafas panjang. Panjang sekali. Semakin dekat bayangan itu, semakin jelas baginya, bahwa bayangan itu adalah sesosok tubuh seseorang yang berjalan perlahan ke arahnya. Dan Agung Sedayu pun segera mengenal pula bahwa orang itu adalah gurunya, Kiai Gringsing.
“Guru,” desis Agung Sedayu.
“Kenapa kau berada di sini?” bertanya Kiai Gringsing.

Agung Sedayu tidak segera menjawab. Ditatapnya Kiai Gringsing tajam-tajam seperti hendak meyakinkan dirinya, bahwa ia benar-benar berhadapan dengan gurunya.
“Apakah yang aku hadapi ini bukan sesosok hantu yang menyamar sebagai Guru?” pertanyaan itu tiba-tiba saja melonjak di hatinya.
Namun wajahnya kemudian menjadi kemerah-merahan ketika ia mendengar gurunya seakan-akan dapat menebak isi hatinya,
“Agung Sedayu, kenapa kau memandangku begitu? Apakah kau ragu-ragu bahwa aku benar-benar gurumu? Cobalah, raba tubuhku. Menurut pendengaranku, tubuh hantu terlampau dingin.”
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ketika ia mendengar gurunya tertawa, ia pun tertawa pula.
“Aku menjadi sangat cemas,” berkata Agung Sedayu kemudian, “tengah malam telah jauh lewat.”
“Ya. Aku harus menunggu Kiai Damar, dukun itu. Ternyata ia sedang pergi dari rumahnya.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tiba-tiba ia bertanya,
“Apakah guru lama menunggu?”
“Ya, cukup lama.”
“Apakah Guru pasti bahwa Kiai Damar yang guru katakan itu akan kembali malam ini juga?”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum, “Tentu tidak.”
“Bagaimana kalau ia tidak kembali?”
“Tentu aku tidak akan menunggu sampai besok,” jawab gurunya.
“Sebenarnya aku pun sudah mulai gelisah, ketika bintang Gubug Penceng tepat di atas ujung Selatan Bumi.”
“Aku sudah berniat untuk menghadap Ki Gede Pemanahan. Tetapi untunglah, aku belum berangkat.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu katanya, “Bagaimana dengan adikmu?”
“Ia menjadi semakin baik. Kalau aku akan menghadap Ki Gede Pemanahan, ia akan serta.”
“Aku kira ia memang sudah berangsur sembuh, meskipun kekuatannya belum pulih kembali.”
“Sayang,” berkata Agung Sedayu tiba-tiba, “Guru tidak datang lebih cepat.”
“Kenapa?”
“Aku terpaksa bertengkar dengan orang yang tinggi kekar itu.”
“Kau apakan orang itu?”
“Aku tidak berbuat apa-apa,” sahut Agung Sedayu yang kemudian menceriterakan pertengkarannya dengan orang yang kekar itu.
“Bagus. Memang sebaiknya kau tidak berbuat apa-apa.” Namun Kiai Gringsing kemudian berpikir,
“Tetapi bagaimana dengan Swandaru yang kau tinggalkan itu?”
“Maksud, Guru?”
“Apakah anak itu tidak menjadi sasaran kemarahan mereka?”
“Tetapi Swandaru sudah sembuh.”
“Itulah yang aku cemaskan. Ia tidak akan dapat menahan hati sejauh yang dapat kau lakukan.”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Lalu,
“Tetapi orang-orang lain bersikap baik. Mereka akan melerainya.”
Ketika Kiai Gringsing kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Agung Sedayu berkata,
“Selain itu, aku masih mempunyai ceritera yang barangkali menarik juga buat Guru.”
“Apa?”
“Hantu-hantu yang saling bertengkar.”
“He?”
Dan sekali lagi Agung Sedayu berceritera. Kali ini tentang hantu Alas Mentaok dan hantu Gunung Merapi.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian,
“Kita sebaiknya berbicara sambil berjalan.”

Keduanya pun kemudian berjalan kembali ke barak mereka. Di sepanjang jalan Agung Sedayu tidak habis-habisnya berceritera tentang hantu yang tinggi, hitam dan berkepala tengkorak, yang oleh hantu Gunung Merapi yang hampir tidak berbentuk itu disebutnya jerangkong. Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Kalau begitu persoalannya akan menjadi semakin panjang. Agaknya ada pertentangan antara Alas Mentaok yang disebut sebagai suatu kerajaan, melawan Gunung Merapi yang juga menyebut dirinya suatu kerajaan.”
“Ya.”
“Kalau begitu, kita menjadi berbesar hati. Bukankah hantu-hantu dari Gunung Merapi berpihak kepada kita? Maksudku kepada mereka yang membuka hutan ini?”
“Ya. Begitulah agaknya.”
“Itulah yang harus kita katakan kepada setiap orang agar mereka menjadi agak berani.”
Ketika mereka sampai di barak, mereka melihat di serambi, orang-orang yang tidur dengan nyenyaknya. Sekelompok-sekelompok. Dengan demikian, maka Kiai Gringsing dan Agung Sedayu pun berjalan sambil berjingkat, agar tidak mengejutkan mereka. Tetapi mereka terpaksa membangunkan beberapa orang karena pintu yang tidak terbuka cukup lebar. Ketika tangan Kiai Gringsing mendorong pintu itu, maka meloncatlah derit yang panjang.
“He, kau baru pulang?” bertanya seseorang.
Kiai Gringsing berpaling. Dilihatnya seorang tua mengangkat kepalanya.
“Ya, aku baru pulang,” desis Kiai Gringsing perlahan-lahan.
Ternyata orang-orang lain yang terbangun tidak bertanya apa pun lagi, sehingga Kiai Gringsing pun kemudian langsung menemui Swandaru yang masih terbaring di tempatnya. Di dalam cahaya lampu minyak yang remang-remang Kiai Gringsing dan Agung Sedayu melihat Swandaru berbaring diam di tempatnya, seolah-olah sedang tidur dengan nyenyaknya. Namun beberapa langkah lagi mereka mendekat, wajah Kiai Gringsing menjadi tegang. Dengan tergesa-gesa ia meloncat dan langsung berjongkok di samping muridnya yang sedang sakit itu.
“Swandaru, Swandaru,” desas Kiai Gringsing perlahan-lahan. Tetapi Swandaru tidak menyahut.
“Guru, kenapa anak itu?” Agung Sedayu pun menjadi tegang pula.
Dengan tangan gemetar Kiai Gringsing meraba kening, dahi dan kemudian perut Swandaru.
“Wajahnya menjadi pucat sekali Guru, dan bibirnya menjadi kebiru-biruan.”
Setitik keringat mengembun di dahi Kiai Gringsing, meskipun ia tidak menjadi gugup.
Tanpa disengaja Kiai Gringsing melihat sebuah mangkuk yang terletak di samping Swandaru. Dengan serta-merta mangkuk itu pun diambilnya. Di amat-amatinya isi mangkuk yang sudah hampir habis sama sekali itu. Namun beberapa titik air di dalamnya telah cukup bagi Kiai Gringsing untuk mengetahui, cairan apakah yang ada di dalamnya.
“Lindungi aku dari orang-orang itu, apabila ada di antara mereka yang terbangun dan sengaja melihat apa yang aku kerjakan,” bisik Kiai Gringsing.
Agung Sedayu pun segera beringsut mendekati gurunya.
Dari kantong ikat pinggangnya Kiai Gringsing mengambil sebuah bumbung kecil. Dari dalam bumbung kecil itu Kiai Gringsing menaburkan seberkas serbuk yang berwarna kehitam-hitaman.
Dengan wajah yang tegang Agung Sedayu melihat ke dalam mangkuk itu. Beberapa tetes cairan itu pun kemudian mengepulkan asap meskipun hampir tidak terlihat. Kemudian warna yang kehitam-hitaman dari serbuk itu pun segera berubah menjadi hitam pekat. Titik-titik warna merah terdapat di beberapa bagian dari dinding mangkuk yang masih basah itu.
“Racun lagi,” desis Kiai Gringsing,
“meskipun lemah, tetapi cukup berbahaya bagi Swandaru yang kekuatannya belum pulih kembali. Carilah air. Jangan dengan mangkuk atau bumbung. Carilah dengan daun pisang.”
Agung Sedayu pun dengan tergesa-gesa bangkit dan melangkah keluar. Ia tidak menghiraukan lagi ketika orang yang tinggi kekar itu bertanya pula kepadanya,
“He, akan kemana lagi kau anak gila?”
Agung Sedayu tidak menyahut. Sejenak kemudian ia pun telah hilang di balik tabir gelapnya malam.
Dengan daun pisang ia membawa setakir kecil air sumur. Seperti pada saat ia keluar, ia pun sama sekali tidak menghiraukan sapa orang yang tinggi besar itu, selain mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ketika ia menyerahkan air di dalam takir daun pisang itu. Ia mendengar pintu bergerit. Ketika ia berpaling, dilihatnya orang yang tinggi kekar itu berdiri berpegangan pada uger-uger pintu.
“Temui orang itu. Usahakan agar ia tidak mendekat,” desis Kiai Gringsing yang memasukkan serbuk yang lain ke dalam takir daun pisang yang berisi air itu.
Agung Sedayu pun berdiri. Perlahan-lahan ia mendekati orang yang tinggi besar itu sambil berkata,
“Aku tergesa-gesa. Adikku haus sekali.”
“Kenapa kau terlampau lama?” bertanya orang itu, “aku kira kau mati diterkam hantu.”
“Hampir saja.”
“Kenapa hampir? Kau memang anak gila. Adikmu benar-benar hampir mati kehausan. Untunglah seseorang telah memberinya minum, sehingga ia dapat tidur dengan nyenyaknya.”
“Terima kasih. Siapakah yang telah memberinya minum?”
“Aku tidak tahu. Seseorang di antara sekian banyak orang.”
“Orang yang kekurusan itu.”
Orang itu menggeleng,
“Bukan, orang itu tidur di luar. Lihat, ia ada di serambi.”
“Lalu siapa? Kami akan mengucapkan terima kasih. Adikku sudah menjadi segar.”
Orang itu menggeleng sekali lagi, “Aku tidak tahu.”
Sementara itu, Kiai Gringsing telah menuangkan air yang sudah diberinya obat itu ke mulut Swandaru. Perlahan-lahan, setitik demi setitik air itu masuk ke dalam kerongkongannya.
“Untunglah tidak terlambat,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya,
“agaknya di barak ini ada seorang yang mengerti benar tentang racun. Racun yang lemah ini agaknya tepat sekali dipergunakannya untuk membunuh Swandaru yang sedang sakit tanpa kecurigaan dan tanpa menumbuhkan tanda-tanda yang jelas di tubuhnya.”
Namun tanpa sesadarnya Kiai Gringsing menggeram, “Keterlaluan.”

Sebuah perasaan yang aneh telah melonjak di dalam dada Kiai Gringsing. Betapa perasaannya lapang seluas lautan, tetapi usaha yang dilakukan sudah usaha pembunuhan atas muridnya, sehingga darahnya menjadi panas karenanya. Namun orang tua itu masih berusaha menahan diri. Ia tidak boleh hanyut dalam arus perasaannya, kalau ia tidak mau gagal sama sekali. Kiai Gringsing mengerutkan keningnya ketika ia melihat Swandaru menggeliat. Kemudian perlahan-lahan membuka matanya dan tiba-tiba saja ia berusaha bangkit.
“Jangan bangkit.”
Swandaru tidak dapat menjawab. Tetapi sesuatu telah dimuntahkannya dari mulutnya. Cairan yang berwarna hitam kemerah-merahan.
“Tenanglah,” desis gurunya.
Swandaru memandang gurunya dengan mata yang buram. Tetapi Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menjadi semakin tenang, ia yakin bahwa Swandaru akan dapat disembuhkannya.
“Kau sudah minum minuman yang keliru, Swandaru,” berkata gurunya.
“Dari mana kau dapatkan cairan itu?”
“Orang yang kekurus-kurusan itu,” desis Swandaru.
“Kenapa kau minum juga?”
“Katanya Kakang Agung Sedayu sedang mencari air untukku karena aku terlampau haus. Maka diberinya aku air itu sebelum Kakang Agung Sedayu datang. Katanya ia kasihan kepadaku.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Racun. Yang kau minum itu adalah racun yang lemah, tetapi cukup berbahaya bagimu yang masih belum pulih benar. Untunglah aku cepat datang.”
Wajah Swandaru menjadi tegang. Tetapi ia masih mendengar gurunya berkata,
“Jangan mengambil sikap sesuatu. Kita harus berhati-hati menghadapi seluruh jaringan itu.”
“Jaringan apa Guru?” bertanya Swandaru.
“Kau akan mendengar pada saatnya.”
Swandaru tidak bertanya lagi. Dicobanya untuk mengatur pernafasannya yang masih sesak. Kemudian memejamkan matanya agar ia mendapatkan ketenangan yang setinggi-tingginya. Kini gurunya sudah menungguinya, sehingga ia tidak perlu lagi mencemaskan apa pun juga.
“Bagaimana dengan adikmu itu?” bertanya orang yang tinggi kekar kepada Agung Sedayu.
“Ia sedang tidur.”
“Jangan ganggu anak itu. Ia benar-benar sedang sakit. Aku menyesal telah menahanmu ketika kau akan mencari air. Aku kira kau hanya berpura-pura saja.”
“Ya.”
“Mudah-mudahan setelah ia terbangun besok, ia sudah sembuh benar.”
“Mudah-mudahan,” desis Agung Sedayu.
Orang yang tinggi kekar itu pun kemudian meninggalkan Agung Sedayu dan kembali ke tempatnya di luar barak. Orang yang tinggi itu lebih senang tidur di serambi.
“Udara di dalam terlampau panas,” katanya.
Agung Sedayu tidak menyahut. Ketika orang itu telah berada di luar pintu, Agung Sedayu segera mendapatkan gurunya. Dari Kiai Gringsing ia mendengar, bahwa perbuatan orang-orang itu sudah keterlaluan. Mereka sudah berusaha melakukan pembunuhan sengaja atau tidak sengaja atas Swandaru.
“Ada dua kemungkinan,” berkata Kiai Gringsing,
“pembunuhan itu dilakukan atau pelumpuhan atas Swandaru seandainya tidak berakibat mati, dimaksud agar kami menghentikan kerja kami, atau karena orang-orang itu benar-benar ketakutan agar kami tidak menyebabkan mereka dan semua orang di barak ini menderita.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Besok,” berkata Kiai Gringsing,
“ceriterakan kepada setiap orang apa yang kau lihat. Katakan dengan selengkap-lengkapnya, bahwa ada hantu yang menyebut dirinya Kiai Dandang Wesi dari Gunung Merapi. Dari Kerajaan Kajiman di Gunung Merapi.”
“Apakah dengan demikian, orang-orang di barak ini tidak akan menjadi semakin ketakutan?”
“Kita akan dapat membumbuinya. Hantu-hantu dari Gunung Merapi berada di pihak Raden Sutawijaya. Bukankah hantu itu berkata bahwa ia pernah menjadi pemomong Raden Sutawijaya sebelum mrayang dan mendapatkan bentuknya yang sekarang?”
“Ya.”
“Nah, Kiai Dandang Wesi dan pasukannya pasti akan berpihak kepada Raden Sutawijaya. Kau dapat menambahkannya pula, bahwa hantu-hantu di segala sudut bumi pasti akan membenarkan sikap Raden Sutawijaya, karena tanah dan laut yang kasat mata wadag oleh manusia ini memang diperuntukkan bagi manusia.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.

Demikiankah, maka sisa malam yang tinggal menyangkut di ujung pohon nyiur itu pun dipergunakan sebaik-baiknya oleh Kiai Gringsing dan Agung Sedayu. Mereka segera berbaring berdesak-desakan sebelah-menyebelah Swandaru, yang kini menjadi lemah kembali.
“Kau akan segera pulih,” bisik gurunya.
“Lalu, bagaimana dengan obat yang Guru bawa ke dukun sakti itu?”
“Masih ada padaku. Itu, aku taruh di bawah kakimu. Tetapi sebaiknya aku mempergunakan obatku sendiri. Di sini banyak orang yang tidak dapat dipercaya lagi.”
Swandaru tidak bertanya lagi. Agung Sedayu yang berbaring sambil memejamkan matanya, mencoba untuk tidur. Tetapi ia tidak berhasil. Namun demikian ia sudah mencoba beristirahat meskipun hanya sejenak. Ketika cahaya yang kemerah-merahan membayang di langit, maka burung-burung liar pun mulai berkicau dengan riuhnya. Mereka sama sekali tidak menghiraukannya, bahwa di alas Mentaok telah terjadi benturan antara dua kekuatan lelembut yang dahsyat. Dari alas Mentaok sendiri dan dari Gunung Merapi. Dalam pada itu, begitu Agung Sedayu keluar dari barak, ia pun segera berceritera tentang kedua jenis hantu yang dijumpainya. Yang satu tinggi berkerudung hitam dan berkepala tengkorak, sedang yang satu hampir tidak berbentuk sama sekali.
“Apakah mereka bertengkar?” bertanya salah seorang.
“Ya, ternyata hantu yang tinggi itu menjadi ketakutan dan melarikan diri.”
“Bohong,” orang yang tinggi kekar itu membantah,
“bukan karena ketakutan. Tetapi hantu itu pasti belum mendapat perintah, apa yang sebaiknya dilakukan menghadapi hantu-hantu dari daerah asing seperti yang kau katakan itu.”
“Kenapa hantu dari gunung Merapi itu tidak ditangkapnya saja dan dibawa menghadap Raja Kajiman di Alas Mentaok ini?”
“Belum ada perintah. Mungkin tingkat kerajaan telah mengadakan suatu pembicaraan yang belum diketahui oleh tingkat bawahan seperti jerangkong yang tinggi itu.”
“Mungkin, tetapi menilik wibawa dari keduanya, hantu dari Gunung Merapi yang bernama Kiai Dandang Wesi dan dahulu bekas pemomong Raden Sutawijaya itulah yang agaknya lebih tinggi.”
Wajah orang yang tinggi kekar itu menjadi tegang. Ditatapnya wajah Agung Sedayu dengan tajamnya. Namun Agung Sedayu sama sekali tidak mempedulikannya. Ia berpura-pura tidak mengerti perasaan apakah yang tersembul di hati orang itu. Karena itu, maka ia pun berceritera terus.
“Cukup. Cukup!” potong orang yang tinggi itu,
“Jangan membual di sini. Kau menambah perasaan kami menjadi kisruh. Kami akan menjadi semakin ketakutan, seolah-olah kami berada di daerah yang paling gawat. Di ajang peperangan yang dahsyat antara dua kerajaan hantu.”
Agung Sedayu terdiam sejenak. Ternyata orang itu cukup cerdik, sehingga ia justru mempergunakan keadaan itu untuk menambah kecemasan dan ketakutan.
“Nah, kalian dengar,” berkata orang yang tinggi itu kepada orang yang mengerumuninya,
“daerah ini memang merupakan daerah yang paling gawat. Aku sudah tidak kuat lagi. Aku akan meyakinkan untuk beberapa hari saja sebelum aku mengambil keputusan. Kalau keadaan menjadi kian memburuk, aku lebih baik kembali ke asalku. Makan atau tidak makan. Meskipun di sini kami akan mendapat tanah yang subur dan loh jinawi tetapi kalau perasaan kami selalu dikejar oleh ketakutan dan kecemasan, maka kami tidak akan dapat merasa tenteram. Karena itu, kami, aku dan keluargaku, akan segera menentukan sikap.”
Beberapa orang yang mendengar itu pun menjadi pucat. Kalau orang yang tinggi kekar itu saja tidak berani tinggal di sini, apalagi orang-orang yang lain.
Namun tiba-tiba Agung Sedayu menjawab,
“Tidak. Itu suatu sikap yang tergesa-gesa. Dengar, hantu dari Gunung Merapi itu adalah pemomong Raden Sutawijaya. Sudah tentu ia akan berpihak kepada Raden Sutawijaya dan Ki Gede Pemanahan. Nah, bukankah kehadiran kita di sini ini adalah karena keinginan kita untuk bersama-sama dengan Ki Gede Pemanahan dan Raden Sutawijaya membuka hutan ini dan bersama-sama menjadikan suatu daerah yang ramai dan makmur? Bahkan menurut pendengaranku, hantu-hantu dari daerah-daerah lain pun pasti akan berpihak kepada hantu-hantu dari Gunung Merapi. Kalian harus mendengar, Kiai Dandang Wesi mempunyai pasukan segelar sepapan. Kiai Dandang Wesi menganggap bahwa semua yang kasat mata wadag manusia, adalah hak manusia. Termasuk Alas Mentaok.”
“Bohong. Bohong!” teriak orang yang bertubuh kekar itu. Lalu,
“Jika demikian maka adikmu tidak akan sakit dan barangkali hari ini adikmu sudah mampus atau lumpuh atau apa pun karena kesalahanmu yang kau lakukan semalam.”
“Ia tertidur nyenyak.”
“Coba lihatlah dengan saksama. Ia pasti kena kutuk karena kesalahanmu. Untunglah bahwa kutuk itu mengenai adikmu sendiri. Bukan orang lain.”
“Sama sekali tidak. Adikku tidak apa-apa.”
“Lihat, lihatlah sekarang. Kenapa ia belum juga bangun?”
Agung Sedayu menjadi ragu-ragu sejenak. Namun semua orang berpaling ketika mereka mendengar suara dari depan pintu,
“Aku sudah bangun. Tubuhku merasa betapa segarnya.”

Orang yang tinggi kekar itu terkejut bukan buatan ketika ia melihat Swandaru berdiri di depan pintu bersama Kiai Gringsing. Meskipun masih pucat namun Swandaru sudah dapat tersenyum dan berkata,
“Sejak aku minum air pemberian Paman, aku merasa bahwa aku menjadi sehat kembali.”
Orang yang tinggi kekar itu menjadi tegang. Sementara Agung Sedayu memandanginya dengan penuh kewaspadaan. Kalau saja orang itu tiba-tiba menjadi kehilangan akal, maka ia akan dapat menjadi berbahaya.
“He, apakah kau tidak dikutuk oleh hantu-hantu,” teriak orang kekurus-kurusan.
Swandaru yang menyebut dirinya anak Kiai Gringsing itu menyahut,
“Mungkin. Tetapi aku semalam telah bermimpi aneh.”
“Apa mimpimu, he?” geram orang yang kekar itu.
“Aku seakan-akan berada di daerah yang sangat asing. Daerah yang belum pernah aku lihat. Seakan-akan aku berada di dalam taman istana yang sangat indah. Aku begitu gembira sehingga aku tidak pernah berpikir, siapakah pemilik istana itu. Ketika aku melihat seekor kelinci yang berwarna keemasan, tiba-tiba aku ingin menangkapnya. Tetapi ketika aku mengejarnya, tiba-tiba aku menjadi lumpuh.”
“Jelas, itu sudah jelas,” teriak orang yang kekar. Lalu,
“Jangan berpura-pura lagi. Istana itu adalah istana Mataram. Kau menjadi lumpuh karena kau dikutuk oleh pemilik istana ini.”
“Ya. Akhirnya aku melihat. Seorang yang bertubuh tinggi, besar kehitam-hitaman dengan janggut yang panjang. Tangannya menggenggam sebuah keris.”
“Kau pasti akan dibunuhnya.”
“Ya. Aku memang akan dibunuhnya. Orang itu tidak berbaju dan mengenakan pakaian pada abad-abad yang lampau, seperti aku melihat pakaian gambar-gambar yang terpahat pada dinding-dinding candi. Dan orang itu menyebut dirinya bernama Prabu Talangsari.”
Semua orang tiba-tiba telah terpaku mendengarkannya.
“Tiba-tiba aku terbangun.”
“Itu suatu pertanda. Perabu Talangsari itu pasti Raja Mataram Kajiman,” orang yang kekurusan menyahut.
“Camkanlah mimpi itu.”
“Ya. Ketika aku terbangun aku menjadi sangat haus. Itulah sebabnya kakakku keluar sejenak untuk mengambil air. Tetapi ternyata kakakku pergi terlampau lama, sehingga aku mendapat air dari Paman yang tinggi kekar itu.”
“Persetan,” geram orang itu.
“Lalu, aku tertidur lagi. Aneh sekali. Aku bermimpi pula. Mimpiku adalah kelanjutan dari mimpiku yang pertama.”
“Bagaimanakah mimpi itu?”
“Apakah kalian masih bersedia mendengarkannya? Lihat, matahari semakin tinggi. Nanti kalian terlambat pergi ke tanah garapan masing-masing.”
Hampir berbareng orang-orang yang berkerumun itu menengadahkan wajah mereka. Mereka melihat matahari yang memang sudah menanjak naik semakin tinggi, di balik dedaunan. Tetapi tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata,
“Sebentar saja. Cepat, katakan kelanjutan mimpimu.”
“Ya, kami masih mempunyai waktu sebentar.”
“Katakan cepat,” bentak orang yang tinggi kekar,
“mungkin itu suatu isyarat bagimu, agar kau tidak menjadi semakin sombong.”
“Baiklah,” berkata Swandaru.
“Ketika aku mulai dengan mimpiku yang kedua…….,” kata-katanya terputus karena orang kekurus-kurusan membentak,
“Langsung sebut saja mimpimu.”
Swandaru mengerutkan keningnya,
“Baiklah. Aku akan segera saja mengatakan isi mimpiku itu, supaya tidak berkepanjangan.”
“Sebut saja, sebut langsung. Kau terlampau banyak memberikan pengantar,” berkata orang yang kekar. Tetapi yang lain memotong,
“Biarkan ia berbicara. Kau memutus kata-katanya.”
“Sst, diam. Kenapa ribut?” desis yang lain.
“Baiklah. Baiklah. Mimpiku itu tidak panjang lagi,” berkata Swandaru selanjutnya.
“Ketika orang yang mengenakan pakaian dari abad-abad yang lampau dan menyebut dirinya Prabu Talangsari itu akan membunuhku, datanglah seorang yang lain. Seorang yang mengenakan pakaian keemasan, berkilat-kilat dengan menaiki seekor kuda bersayap seperti burung rajawali raksasa.”
“Kuda semberani,” desis orang-orang yang mendengarkan mimpi itu.
“Ya. Lalu, apa kerja orang itu?”
“Mereka pun kemudian berunding. Keduanya ternyata adalah raja dari kerajaan yang besar. Prabu Talangsari dan yang lain, raja dari Gunung Merapi.”
“Apa yang mereka rundingkan?”
“Aku tidak tahu. Tetapi ketika raja yang berpakaian berkilauan seperti matahari itu pergi, aku dilepaskannya. Dan bahkan Prabu Talangsari berkata,
“Ambillah kelinci itu. Aku tidak memerlukan lagi.” Dan aneh. Aku pun sembuhlah dari kelumpuhan itu. Maka mulailah kemudian aku berburu kelinci.”
“Apakah kau dapatkan kelinci yang berwarna keemasan itu?
“Ya. Akhirnya aku dapatkan juga. Tidak ada siapa pun lagi yang menggangguku.”

Beberapa orang saling berpandangan sejenak. Agung Sedayu pun mula-mula ikut merenungkan mimpi adiknya yang aneh itu. Namun kemudian ia tersenyum di dalam hati, karena ia yakin bahwa mimpi itu adalah sebuah dongeng yang telah dibuat oleh gurunya. Karena itu tiba-tiba saja ia bertanya,
“Apakah raja dari Gunung Merapi yang naik kuda itu sendiri?”
Swandaru mengerutkan keningnya. Lalu jawabnya,
“Sendiri. Ya, ia sendiri.”
“Tentu mimpi itu daradasih. Benar-benar terjadi seperti apa yang terbayang di dalam mimpi. Aku telah bertemu dengan hantu mrayangan yang menyebut dirinya bernama Kiai Dandang Wesi.”
Tetapi orang-orang yang berada di sekitar tempat itu pun terkejut ketika orang yang kekurus-kurusan itu berkata,
“Bohong! Semuanya bohong!”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Katanya,
“Aku tidak bohong. Dan aku kira adikku juga tidak bohong. He, dari mana ia mendapat nama Prabu Talangsari? Apakah ia sekedar mengarangkan sebuah nama? Baik. Memang mungkin ia mengarang. Tetapi apabila ada suara-suara dari orang lain yang juga menyebut-nyebut nama itu, apakah mungkin mereka juga mengarangkan nama yang kebetulan sama?”
“Kami di sini belum pernah mendengar nama itu.”
Adalah tiba-tiba saja ketika yang berbicara kemudian adalah Kiai Gringsing,
“Jadi, nama itu sama sekali tidak dikenal di sini?”
“Tidak,” jawab yang kekurus-kurusan.
“Tetapi tadi ada di antara kalian yang memastikan bahwa orang yang bertubuh tinggi besar dan mengenakan pakaian dari abad-abad yang lalu itu adalah raja Mataram Kajiman.”
Tidak seorang pun yang menjawab. Sehingga Kiai Gringsing bertanya pula kepada orang yang kekurus-kurusan,
“Jadi kau yakin bahwa nama itu sekedar sebuah nama di dalam mimpi dan tidak berarti sama sekali?”
Setiap orang pun kemudian berpaling memandang wajah orang yang kekurus-kurusan itu. Namun sejenak orang itu tidak menjawab dan bahkan wajahnya menjadi ragu-ragu.
“Mudah-mudahan memang tidak ada nama Prabu Talangsari.”
“Kau pasti hanya sekedar mendengar ceritera dari kakakmu yang sudah menceriterakan pertemuannya dengan hantu-hantu,” teriak orang yang kekar.
“Nah, bukankah begitu dugaanmu,” potong Agung Sedayu,
“tetapi ketika aku pergi, adikku belum menceriterakan hal itu kepadaku. Dan sejak aku pulang, adikku sama sekali belum bangun dari tidurnya yang nyenyak.”
“Jangan ributkan soal mimpi,” tiba-tiba Kiai Gringsing memotong.
“Sekarang hari sudah terlampau siang. Lihat, orang-orang lain sudah mulai pergi mengambil rangsumnya.”
Semua orang berpaling ke arah gardu pengawas di kejauhan. Mereka melihat orang-orang yang tidak ikut berkerumun telah siap untuk pergi. Karena itu, maka mereka pun dengan tergesa-gesa berlari-larian menyiapkan alat-alat masing-masing. Tetapi orang yang tinggi kekar dan orang yang kekurus-kurusan masih berdiri di tempatnya sambil memandang Kiai Gringsing beserta kedua anak-anaknya dengan tatapan mata yang tajam.
“Sekarang kau menambah keonaran lagi dengan bualan-bualanmu,” desis orang yang tinggi kekar.
“Bukan begitu, bukan maksudku. Tetapi, apakah kalian benar-benar tidak percaya bahwa Prabu Talangsari itu ada?”
“Tidak,” sahut yang tinggi kekar itu.
Tetapi orang yang kekurus-kurusan itu mulai nampak ragu-ragu. Apalagi setelah Kiai Gringsing berkata,
“Aku mempercayainya seperti kata Kiai Damar, dukun sakti itu, bahwa hantu-hantu memang mempunyai kelebihan dari manusia. Tentu termasuk Kiai Dandang Wesi dari Gunung Merapi dan apalagi Perabu Talangsari sendiri.”
Orang yang kekurus-kurusan itu tampak menjadi semakin ragu-ragu. Sejenak ia memandang orang yang bertubuh kekar, dan sejenak kemudian dilemparkannya tatapan matanya jauh ke dalam lebatnya hutan yang sedang digarap oleh para pendatang itu.
“Semula kalau aku boleh berterus-terang, aku memang ragu-ragu terhadap hantu-hantu di Alas Mentaok ini. Tetapi setelah aku mengalami sendiri, dan anakku menjadi sakit dan sembuh secara ajaib sebelum obat dari dukun sakti itu dimakannya, aku kini telah mempercayainya.”
“Persetan dengan hantu-hantu,” tiba-tiba orang yang kekar itu menggeram.
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Katanya,
“He, bagaimana dengan hantu-hantu itu? Bukankah kau yang mengajari aku untuk memahami keadaan hutan ini beserta segala isinya termasuk hantu-hantu itu?”
“Ya. Ya. Maksudku, persetan dengan kalian yang bodoh dan sombong. Sekarang kalian merasa sebagai orang-orang yang paling mengenal hantu-hantu,” orang yang kekar itu memotong,
“tetapi sebenarnya kalian adalah orang-orang yang paling dungu. Sebenarnya kalian tidak usah berbicara panjang lebar tentang hantu dari mana pun juga. Itu adalah suatu gagasan atau lamunan yang ngayawara. Kalau kau dan anak-anakmu menghentikan usaha untuk membuka hutan itu, menjorok masuk ke dalam seperti yang kau lakukan, maka kau akan selamat.”


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar