Jilid 053 Halaman 3


“Dengarlah,” berkata Kiai Gringsing,
“rencana hantu-hantu Alas Mentaok itu sudah diketahui oleh Kiai Dandang Wesi. Kau percaya? Sekarang mereka berusaha mendorong aku dan kedua anak-anakku untuk meninggalkan pekerjaan dan tanah garapan itu, tetapi seterusnya, mereka akan berusaha mengusir setiap orang di sini. Menakut-nakuti, membuat mereka sakit dan pingsan tanpa sebab, kecemasan dan kekisruhan, agar perlahan-lahan kita di sini sedikit demi sedikit mengurungkan niat kita untuk membuka hutan ini.”
“Gila, itu pikiran gila.”
“Apakah kau tidak percaya.”
“Omong kosong.”
“Mungkin. Kiai Dandang Wesi memang hanya omong kosong. Mudah-mudahan ia sekedar omong kosong. Tetapi akankah ia berkata begitu, he?” bertanya Kiai Gringsing kepada Agung Sedayu.
Agung Sedayu tergagap. Tetapi ia pun segera dapat menanggapinya,
“Ya, Kiai Dandang Wesi memang berkata begitu. Tetapi Kiai Dandang Wesi sudah berbicara dengan Prabu Talangsari. Aku tidak tahu, apakah hasil pembicaraan itu.”
“Tetapi seandainya Kiai Dandang Wesi itu benar-benar hantu waskita yang datang dari Gunung Merapi, ia pasti mengenal hantu-hantu Alas Mentaok yang sebenarnya,” tiba-tiba orang yang kekurus-kurusan menyahut.
“Ia kenal akan hal itu. Tentu ia kenal.”
“Bohong.”
“Dari mana kau tahu. Adakah kau menganggap Kiai Dandang Wesi itu berbohong, atau ceritera tentang Dandang Wesi itulah yang kau anggap berbohong, atau Kiai Dandang Wesi sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat sesuatu?”
Orang yang kekurus-kurusan itu pun menjadi ragu-ragu pula. Sejenak ia berdiam diri. Namun yang menyahut kemudian adalah orang yang kekar,
“Kita harus meyakinkan dahulu ceritera itu.”
“Memang, kita harus meyakinkannya. Tetapi bahwa Kiai Dandang Wesi mempunyai kemampuan untuk mengenal dunianya, maksudku dunia hantu, aku kira tidak dapat disangsikan lagi. Menurut anakku, ketika jerangkong yang telah bertemu dengan Kiai Dandang Wesi itu pergi, maka hantu yang tidak berbentuk, pemomong Raden Sutawijaya yang mrayang itu berkata, ’Aku menangkap getaran yang aneh pada jerangkong itu. Aku menangkap getar jalur-jalur darah dalam tubuhnya serta terasa arus nafas. Itu tidak mungkin ada di dalam diri hantu-hantu yang mana pun juga, meskipun dari tingkat yang paling rendah sekali pun sampai Prabu Talangsari sendiri. Meskipun ada hantu yang memilih bentuk seperti manusia sekali pun, namun pasti tidak akan ada getar jalur-jalur darah dan arus nafas di dalam tubuhnya yang bukan wadag manusia’.”

Orang yang kekurus-kurusan itu menjadi tegang sejenak. Namun sambil menghentakkan kakinya ia berkata,
“Persetan. Persetan dengan semuanya itu.”
Sebelum seorang pun sempat menjawab, maka dengan tergesa-gesa ia pergi meninggalkan Kiai Gringsing sambil bergumam,
“Aku akan pergi ke pekerjaanku. Semua orang sudah berangkat.”
“Kami bertiga tidak akan berangkat hari ini,” berkata Kiai Gringsing.
“Kenapa?” yang bertanya adalah orang yang tinggi besar itu.
“Anakku belum sehat benar.”
“Jadi, setelah anakmu sembuh. Kau akan tetap meneruskan usaha itu?”
“Ya,” jawab Kiai Gringsing.
“Kau sampai hati mengorbankan anakmu.”
“Kenapa?”
“Anakmu akan sakit dan kalau peringatan itu kau abaikan, anakmu, salah seorang dari keduanya akan mati atau bahkan kedua-duanya.”
Orang yang kekar itu terperanjat ketika justru anak yang sakit itu yang menjawab,
“Ternyata aku telah sembuh setelah aku bermimpi. Aku jadi yakin, bahwa di dunia mereka pun kini sedang terjadi masalah. Kesimpulanku, aku tidak perlu cemas.”
“Gila. Kalian memang orang-orang gila.”
“Tidak. Justru kami adalah orang-orang yang menyadari keadaan yang sebenarnya. Tanpa orang lain, biarlah aku katakan kepadamu, mungkin kau memiliki kelebihan dari orang-orang yang ada di dalam barak ini, bahwa di sini ada tiga golongan yang perlu diperhatikan.”
“Apa?”
“Hantu-hantu Alas Mentaok yang sebenarnya, hantu-hantu dari Gunung Merapi, dan makhluk lain yang diragukan oleh Kiai Dandang Wesi, yang berbentuk seperti hantu jerangkong, tetapi memiliki jalur-jalur darah dan arus nafas.”
Orang yang kekar itu menjadi tegang. Sejenak ditatapnya wajah-wajah dari ketiga ayah beranak itu. Kemudian sambil menggeram ia melangkah pergi,
“Kalian telah mengigau.”
“Tunggu,” panggil Swandaru.
Ketika orang itu berhenti dan berpaling, Swandaru berkata sambil tersenyum,
“Terima kasih atas air yang Paman berikan itu. Tubuhku menjadi segar dan rasa-rasanya sakitku menjadi sembuh sama sekali.”
“Persetan,” orang itu pun kemudian melangkah semakin cepat.
Sepeninggal orang-orang itu, Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata,
“Mudah-mudahan kita akan segera dapat memecahkan teka-teki yang rumit ini.”
“Apakah yang Guru maksud dengan teka-teki itu?”
“Keadaan di sekitar tempat ini. Di samping negeri yang kian hari kian menjadi ramai, maka orang-orang yang memperluas tanah garapan masih saja diganggu oleh persoalan-persoalan yang cukup menegangkan ini.”
“Hantu-hantu maksud Guru?”
“Ya.”
Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil memandang orang yang tinggi kekar itu sampai hilang di gardu pengawas Agung Sedayu berkata,
“Kedua orang itu memang aneh.”
“Sekarang beristirahatlah. Kita akan terlibat dalam permainan yang mengasyikkan ini.”
Agung Sedayu dan Swandaru pun kemudian masuk kembali ke dalam barak. Beberapa orang yang karena beberapa hal berhalangan pergi ke tempat pekerjaan masing-masing, masih juga berada di barak itu.”
Seorang laki-laki yang kakinya terluka karena kapaknya sendiri, duduk sambil mengusap lukanya. Sekali-sekali ia menyeringai menahan sakit. Sudah sepekan ia duduk saja merenungi lukanya tanpa dapat membantu kawan-kawannya bekerja di pinggir hutan.
“Apakah anakmu sudah benar-benar sembuh?” orang itu dengan hampir berteriak bertanya kepada Kiai Gringsing.
Kiai Gringsing berpaling kepadanya, kepada orang yang terluka itu yang duduk di sudut barak.
“Ya, begitulah.”
“Kau memang beruntung sekali. Dari manakah kau mendapatkan obatnya?”
“Kebetulan saja. Tetapi aku juga mendapat obat dari Kiai Damar. Dukun sakti yang memiliki kemampuan berhubungan dengan hantu.”
“Apakah kau tidak berkeberatan memberi obat aku sedikit, agar lukaku ini segera sembuh?”
“Obat itu bukan obat luka.”
“Aku tahu, tetapi mungkin kakiku ini juga kena kutuk dari hantu-hantu. Mungkin ketika aku bekerja di tanah yang sedang dibuka itu, aku telah mengganggu mereka, sehingga aku telah dihukumnya. Dengan obat dari Kiai Damar itu, mungkin aku akan dimaafkan.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Ternyata jalan pikiran orang-orang di tempat ini sudah tidak wajar lagi. Mereka terlampau dipengaruhi oleh adanya hantu-hantu yang berkuasa di Alas Mentaok. Semua persoalan telah dikaitkannya dengan hantu-hantu, kemungkinan bahwa mereka telah mengganggu keluarga hantu-hantu dan bermacam-macam soal yang berpusar pada hantu-hantu itu.
“Ki Sanak,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “apakah Ki Sanak mau aku obati? Bukan obat dari Kiai Damar?”
“O, segala macam obat sudah aku coba, tetapi sampai sepekan lukanya justru membengkak.”
“Obat yang Ki Sanak pergunakan agaknya belum cocok. Kalau Ki Sanak setuju, aku akan mencoba mengobatinya.”
“Berilah aku obat Kiai Damar itu.”
“Sayang, aku sudah dipesan, bahwa obat itu tidak boleh dipergunakan oleh orang lain. Obat itu adalah obat yang khusus, yang bagi orang lain justru dapat berakibat sebaliknya.”
Orang itu mengerutkan keningnya. Katanya,
“Jadi maksudmu, aku tidak dapat mengobati lukaku dengan obat itu?”
“Bukan aku tidak memperbolehkan, tetapi Kiai Damar-lah yang berpesan demikian.”
Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Karena itu kalau Ki Sanak bersedia, aku mempunyai sejenis obat untuk luka-luka.”
“Apa? Bubukan babakan mlandingan atau sawang angga-angga?”
Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya.
“Apa? Semua obat sudah aku coba.”
“Endapan kicikan.”
“Minyak kelapa dengan empon-empon.”
“Ya. Segala macam empon-empon, potong tipis-tipis, kemudian aku jemur sampai kering. Barulah aku panasi dengan minyak. Kemudian aku jemur lagi hingga kering. Barulah aku tumbuk halus-halus.”
Orang itu mengangguk-angguk.
“Baiklah. Aku belum mencobanya.”
“Tunggulah, aku ambil obat itu.”
Kiai Gringsing pun kemudian mengambil sejenis serbuk seperti yang dikatakannya. Kemudian ditaburkannya obat itu pada luka yang sedang mulai membengkak.
“Uh, panas sekali. Apakah ini kicikan seperti yang kau katakan.”
“Ya.”
“Kenapa panas dan pedih?”
“Tentu. Tetapi nanti akan menjadi baik.”
Orang itu menyeringai menahan sakit sambil memegang pangkal pahanya.
“Sakit sekali,” desisnya.
Kiai Gringsing tidak menghiraukannya. Kemudian dibiarkannya luka itu tetap terbuka. Katanya,
“Biarlah luka itu terbuka sejenak.”
Sejak itu sakit lukanya menjadi berangsur berkurang. Sehingga akhirnya terasa seakan-akan luka itu sudah sembuh.
“Terima kasih,” katanya.
“Dengar,” berkata Kiai Gringsing,
“sama sekali bukan karena hantu-hantu. Hantu-hantu sebenarnya sama sekali tidak menghiraukan kita. Hutan itu hutan kita. Kalau ada persoalan, tentu persoalan yang lain.”
Orang itu memandang Kiai Gringsing dengan tatapan mata yang aneh, meskipun ia tidak bertanya sesuatu. Bahkan Kiai Gringsing-lah kemudian yang berbicara pula,
“Hantu-hantu itu ternyata mempunyai persoalannya sendiri. Hantu-hantu yang bernama Kiai Dandang Wesi dari Gunung Merapi telah melibatkan diri di dalam setiap persoalan di Alas Mentaok ini.”
Orang itu mengerutkan keningnya. Kemudian ia berdesis,
“Aku menjadi bingung.”
Kiai Gringsing tersenyum. Tiba-tiba ia bertanya,
“Bagaimana dengan lukamu?”
“Sudah tidak pedih lagi. Bahkan seakan-akan telah menjadi sembuh sama sekali.”
“Biarlah lukamu terbuka. Nanti sore, aku akan memberimu obat setelah luka itu kau bersihkan. Setiap kali pasti akan terasa pedih untuk beberapa saat. Namun kemudian akan menjadi dingin seperti sekarang.”
Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Beristirahatlah.”
Kiai Gringsing pun kemudian kembali ke tempatnya. Swandaru yang masih belum sehat benar, telah berbaring untuk memulihkan kekuatannya. Sedang Agung Sedayu pun kemudian pergi ke gardu pengawas untuk melaporkan bahwa mereka tidak pergi ke pekerjaan mereka hari ini.
“Kenapa?” bertanya salah seorang pengawas.
“Adikku masih belum sembuh benar.”
Pengawas itu mengerutkan keningnya. Tetapi yang bertanya kemudian adalah Wanakerti,
“Apakah kalian memutuskan untuk menghentikan usaha kalian?”
“Tidak,” jawab Agung Sedayu.
“Kami akan bekerja terus. Kalau kesehatan adikku telah pulih kembali, maka kami akan meneruskan kerja kami.”
Wanakerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Baiklah. Sekarang, bawalah rangsum kalian bertiga.”
Agung Sedayu pun kemudian kembali ke barak sambil membawa rangsum untuk mereka bertiga.

Dalam pada itu, selagi di tempat-tempat yang sedang digarap dan dibuka selalu diributkan, oleh masalah hantu-hantu, Ki Gede Pemanahan dan Raden Sutawijaya tidak henti-hentinya berusaha agar Tanah Mataram menjadi kian ramai. Di tempat-tempat yang sudah mulai padat, dibuatnya pusat-pusat kegiatan yang menyangkut kehidupan orang banyak. Didirikannya pasar dan banjar-banjar. Hubungan yang semakin banyak dengan daerah-daerah di sekitarnya. Namun demikian keprihatinan mereka atas gangguan dari persoalan-persoalan yang masih merupakan rahasia bagi Mataram masih belum teratasi. Bagaimanapun juga Raden Sutawijaya berusaha, tetapi sama sekali belum pernah ditemuinya apa yang disebut oleh beberapa orang dan bahkan beberapa petugasnya, sebagai hantu-hantu yang menakutkan. Apalagi di hari-hari terakhir telah berkembang ceritera tentang hantu yang hampir tidak berbentuk. Ketika beberapa orang peronda menjumpai seonggok benda yang kehitam-hitaman pada saat mereka kembali dari rumah Kiai Damar.
“Para pekerja yang membuka hutan, di daerah Utara berceritera pula tentang hantu serupa itu,” berkata seorang pengawal.
“Apa katanya?”
“Kini telah berkembang ceritera tentang hantu yang datang dari Gunung Merapi. Salah satu dari mereka menyebut dirinya bernama Kiai Dandang Wesi.”
Pengawal yang lain pun mendengarkannya dengan penuh minat. Ceritera tentang hantu memang selamanya menarik bagi mereka, apalagi mereka yang akan bertugas di daerah-daerah yang sedang dibuka. Tetapi, ternyata ceritera tentang hantu itu tidak menghambat perkembangan Tanah Mataram secara keseluruhan. Memang di beberapa tempat, penebangan hutan benar-benar telah terhenti, karena mereka yang membuka hutan menjadi ketakutan. Di beberapa tempat yang lain pun menjadi sangat mundur. Beberapa orang telah memilih tinggal di tempat yang sudah ramai, meskipun hanya sekedar menjual tenaga, karena mereka tidak mempunyai lagi tanah garapan. Sedang beberapa keluarga yang lain telah kembali ke tempat asal mereka.
Meskipun sebagian dari rencana Ki Gede Pemanahan masih tetap dapat dilakukan, terutama usahanya menyusun suatu tempat yang akan dijadikannya pusat pemerintahan dari daerah yang baru dibuka ini, namun terhambatnya perluasan tanah garapan yang akan menjadi lumbung bahan mentah itu membuatnya berprihatin.
“Kita harus dapat memecahkan rahasia ini,” berkata Raden Sutawijaya,
“selama rahasia ini masih merupakan teka-teki, maka Tanah Mataram masih belum dapat disebut tenteram.”
“Memang masih banyak tantangan yang harus kita hadapi,” sahut Ki Gede Pemanahan.
“Hubunganmu dengan Ayahanda Baginda Sultan di Pajang masih juga belum dapat disebut pulih kembali, kini kita di sini sudah menjumpai bermacam-macam persoalan.”
“Ya, Ayah. Tetapi kita akan berjalan terus.”
“Tentu Sutawijaya. Pati sudah pantas disebut sebuah Kadipaten. Tetapi apa yang pantas kita katakan tentang Tanah Mataram, Tanah Perdikan, Kadipaten atau sebuah Kademangan kecil?”
“Kita sedang berusaha, Ayah. Dan Ayahanda Sultan Pajang memang tidak mau memberikan sebutan atau kedudukan yang pasti bagi Mataram, seperti di daerah-daerah pesisir Utara.”
Ki Gede Pemanahan menarik nafas dalam-dalam.
“Karena itu kita harus membentuk diri sendiri. Apa pun yang akan dikatakan oleh Sultan Pajang atas kita.”
Raden Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tanpa sesadarnya ia berkata,
“Apakah Ayah tidak berkeberatan terhadap usaha Untara untuk menyusun suatu kekuatan di Jati Anom?”
“Kenapa aku berkeberatan? Jati Anom adalah tlatah Pajang, Untara adalah seorang Senapati Pajang. Apakah salahnya?”
“Tetapi kekuatan itu seolah-olah telah dihadapkan kepada kita di Mataram.”
“Seandainya demikian, itu adalah suatu sikap berhati-hati.”
“Tetapi, kenapa tidak terhadap Pati?”
Ki Gede Pemanahan mengerutkan keningnya. Diangguk-anggukkannya kepalanya. Sebenarnya ia menyimpan perasaan seperti yang terbersit di hati puteranya. Namun Ki Gede Pemanahan masih menyimpannya. Ia tidak mau tergesa-gesa mengambil suatu kesimpulan dari sikap Pajang.
“Sutawijaya sebenarnya adalah putera angkat yang tidak ubahnya dengan puteranya sendiri,” berkata Ki Gede Pemanahan di dalam hati,
“namun keragu-raguan Sultan Pajang membuat Mataram harus bersikap.”
“Sutawijaya,” berkata Ki Gede Pemanahan kemudian,
“cobalah kau sisihkan perasaan itu sejenak. Pusatkan perhatianmu pada pembangunan daerah ini. Kalau kita terlampau berprasangka, maka hambatan dari perkembangan Tanah Mataram ini akan timbul dari diri kita sendiri.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi angan-angannya masih saja dibayangi oleh berbagai macam pertanyaan tentang kedua anak-anak muda yang ditemuinya di Menoreh. Sehingga ia selalu bertanya kepada diri sendiri, “Bagaimanakah sikap Agung Sedayu dan Swandaru? Apakah mereka berpihak juga kepada Untara dan menjadikan Sangkal Putung suatu pusat kekuatan di Jati Anom dan Sangkal Putung, maka pasukan Pajang akan membayangi Mataram dari dua arah. Jati Anom akan dapat langsung menyusur lereng Gunung Merapi dan turun dari arah Utara, sedang kekuatan yang datang dari Sangkal Putung akan langsung datang dari arah Timur. Sedangkan kita di sini sama sekali tidak tahu, bagaimanakah sikap Menoreh yang ada di sebelah Barat dan Mangir yang ada di sebelah Selatan?” Meskipun demikian, Sutawijaya sama sekali tidak menjadi berkecil hati. Ia memang bertekad untuk membuat Alas Mentaok ini menjadi sebuah negeri yang ramai. Namun dalam pada itu, selagi masalah-masalah yang bersangkut paut dengan pihak-pihak di luar Tanah Mataram masih harus dipecahkan, timbullah masalah-masalah yang harus diatasi di dalam tubuh ini. Kekisruhan yang ditimbulkan oleh berita tentang adanya hantu-hantu yang mengganggu pembukaan hutan hampir di segala arah. Bahkan ada kelompok-kelompok yang telah menghentikan usahanya untuk memperluas Tanah Mataram dengan tanah garapan baru, karena mereka tidak tahan lagi menghadapi gangguan hantu-hantu yang agaknya menjadi semakin marah.

Tetapi di saat-saat terakhir timbullah berita tentang hantu dari Gunung Merapi itu. Seorang pemimpin pengawal Tanah yang baru dibuka itu menemui Raden Sutawijaya dan berkata,
“Hantu dari Gunung Merapi itu menyebut dirinya bernama Dandang Wesi. Ia mengaku sebagai pemomong Raden Sutawijaya di masa kecil yang kemudian bertapa dan mrayang dengan raganya. Tetapi kemudian ia mendapatkan bentuknya yang baru di dalam dunianya yang baru.”
Raden Sutawijaya menjadi bingung. Ia tidak pernah merasa mempunyai seorang pemomong yang bernama Kiai Dandang Wesi, sehingga karena itu sejenak ia tidak memberikan tanggapan apa-apa.
“Apakah Raden sudah melupakannya karena sudah bertahun yang lampau?”
Sutawijaya menggeleng,
“Tidak. Aku masih ingat. Tetapi aku sudah tidak dapat mengingat lagi wajahnya.”
“Sekarang Kiai Dandang Wesi benar-benar sudah tidak berbentuk. Hanya seperti seonggok daging yang berwarna kehitam-hitaman. Namun justru mengerikan sekali. Bahkan menurut ceritera, bentuk yang demikian itu masih juga mampu menyerang dari jarak yang jauh.”
“Aku ingin menemuinya pada suatu kesempatan,” sahut Sutawijaya.
“Kalau salah seorang dari kalian bertemu, katakanlah aku ingin berbicara.”
“Baiklah. Agaknya hantu yang bernama Kiai Dandang Wesi itu mempunyai sifat yang agak berbeda dengan hantu-hantu dari Alas Mentaok ini sendiri. Tetapi mungkin karena hantu-hantu yang selama ini menakut-nakuti itu adalah hantu-hantu dari tataran yang paling rendah, sehingga sifat-sifat mereka pun sangat memuakkan. Tetapi Kiai Dandang Wesi bersikap lain. Ada semacam wibawa yang memancar dari tubuhnya yang tidak berbentuk itu.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berdesis,
“Mudah-mudahan hantu yang tidak berbentuk itu dapat diajak bicara.”
“Sulit. Hanya orang-orang tertentu sajalah yang dapat berbicara. Di antaranya Kiai Damar.”
“Tidak,” tiba-tiba seorang pengawal yang lain memotong.
“Ada orang yang pernah bertemu dan langsung dapat berbicara dengan hantu itu.”
Sutawijaya tiba-tiba tersenyum. Katanya,
“Memang berita tentang hantu kadang-kadang menumbuhkan bermacam-macam tafsiran. Tetapi yang sampai padaku hingga saat ini selalu menumbuhkan pertanyaan di dalam hatiku, apakah mereka yang berceritera itu benar-benar pernah melihatnya. Seseorang mengatakan, bahwa kawannya pernah melihatnya. Tetapi ketika kawannya yang disebutkan itu aku panggil, ia mengatakan bahwa ia mendengar dari kawannya yang lain. Sampai saat ini aku belum pernah menyaksikan sendiri apa pun dan bagaimana pun juga bentuk dan bahkan suaranya.”
Para pengawal saling berpandangan sejenak. Namun mereka yakin bahwa hantu-hantu yang dimaksudkan memang ada. Seseorang memberanikan diri berkata,
“Aku pernah melihatnya.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ya. Kau memang pernah mengatakan, bahwa kau sendiri pernah melihatnya. Bukan sekedar kata orang. Tetapi kau tidak berhasil membawa aku melihat hantu itu.”
Pengawal itu terdiam.
“Kita harus segera dapat memecahkan masalahnya,” tiba-tiba Sutawijaya menggeram.

Dalam pada itu, keadaan Swandaru sudah menjadi berangsur baik. Kekuatannya sudah hampir pulih kembali sehingga ia sudah tidak memerlukan bantuan apa pun lagi dari Agung Sedayu atau gurunya. Dengan demikian, maka Kiai Gringsing beserta kedua muridnya itu pun telah siap kembali untuk melakukan pekerjaan mereka, menebas hutan di bagian yang justru dijauhi oleh orang-orang lain.
“Apakah kau akan meneruskan kerjamu membersihkan daerah yang wingit itu?” bertanya seseorang kepada Kiai Gringsing.
Kiai Gringsing menganggukkan kepalanya. Jawabnya,
“Ya. Daerah itulah yang telah diserahkan kepadaku dan anak-anakku. Karena itu, kami harus bekerja kembali di tempat itu.”
“Selama ini kau mendapat pengalaman yang pahit. Anakmu hampir saja menjadi korban. Apakah kau tidak berpikir untuk mengurungkan saja niat itu?”
“Apakah aku akan mendapat bagian tanah yang lain?”
“Tentu. Kalau kau mengurungkan niatmu, kau dapat menggabungkan diri ke dalam salah satu kelompok yang sudah ada. Tentu saja dengan persetujuan para petugas di hutan ini. Tetapi aku kira mereka dapat mengerti kesulitan yang kau alami.” Orang itu berhenti sejenak, lalu,
“Tidak ada orang yang mau menerima bagian itu, meskipun sudah mulai dikerjakan. Mereka yang sudah menebang pepohonan di bagian itu, telah meninggalkannya meskipun mereka telah membuang banyak tenaga.”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian,
“Aku tidak dapat melangkah surut. Aku sudah tidak dapat kembali lagi ke asalku karena semua hak milikku telah aku jual.”
“Kau tidak perlu kembali ke asalmu. Kau dapat menggabungkan diri dengan kelompok lain. Atau, kau dapat pergi ke tempat yang sudah menjadi ramai. Kau dapat mencari pekerjaan lain di sana.”
Tetapi Kiai Gringsing menggeleng,
“Aku akan tetap mengerjakan tanah itu. Aku yakin bahwa pada suatu saat, aku dan anak-anakku tidak akan diganggu lagi. Kami akan segera berkenalan. Dan kami akan mengatakan bahwa niat kami adalah baik.”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
“Kau memang keras hati. Tetapi terserahlah, semua itu tergantung kepadamu sendiri. Aku sudah mencoba untuk memberimu peringatan. Orang yang tinggi itu pun akan memperingatkan kau. Ia merasa bertanggung jawab atas kita sekalian di sini.”
“Siapakah sebenarnya orang itu?”
“Seperti juga aku, kau dan orang-orang lain. Orang itu pun seorang pendatang. Tetapi karena ia mempunyai beberapa kelebihan dari kita masing-masing di sini, maka tanpa persetujuan resmi, seakan-akan ia menjadi pemimpin kita di sini.”
“Ya. Aku pun merasakannya. Dan orang itu pun sudah bertindak sebagai seorang pemimpin. Kalau negeri ini menjadi ramai, maka ia akan dapat menjadi bebahu dari pedukuhan-pedukuhan yang akan terbentuk.”
“Ya.”
“Dan yang kekurus-kurusan itu?” bertanya Kiai Gringsing pula.
“Orang itu termasuk orang yang cerdik. Ia mempunyai banyak akal dan pendapat. Karena itu, ia segera mendapat tempat yang baik di samping orang yang tinggi kekar itu.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Ia sudah mengerti bahwa orang yang tinggi kekar itu mempunyai beberapa kelebihan dan orang yang kekurus-kurusan itu adalah orang yang cerdik meskipun licik. Tetapi dari orang-orang yang sudah lama berada di tempat itu, ia sama sekali tidak berhasil mendapat keterangan lebih banyak daripada itu.
“Aku harus mendapatkan sumber yang lain untuk mengetahui latar belakang dari perbuatan-perbuatan mereka yang aneh itu,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.
Sementara itu, Swandaru sudah benar-benar pulih kembali. Kepada para petugas Kiai Gringsing berkata,
“Besok aku akan melanjutkan kerja yang selama ini terhenti, bersama dengan anak-anakku.”
“Apakah anakmu yang sakit itu sudah benar-benar sehat?” bertanya Wanakerti.
“Sudah, Tuan. Ia sudah pulih kembali.”
Wanakerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia bertanya,
“Apakah kau tidak mempunyai pikiran lain?”
“Maksud, Tuan?”
“Misalnya, mencari tanah garapan baru yang tidak berbahaya bagimu dan anak-anakmu.”
Kiai Gringsing menarik nafas. Jawabnya,
“Aku akan berhati-hati, Tuan. Aku dan anak-anakku sudah mulai. Sebaiknya kami melanjutkannya.”
“Bagaimana dengan sakit anakmu?”
“Ia sudah sembuh.”
“Bukan itu. Tetapi apakah kau sudah memikirkan sebab dari penyakit anakmu itu?”
“Seandainya benar anakku telah dikutuk oleh hantu-hantu, maka kini ia pasti sudah mendapat pengampunan, ternyata bahwa ia telah sembuh.”
“Tetapi kalau kau mengulangi kesalahanmu yang lama?”
“Aku tidak yakin, bahwa hal itulah yang dianggap sebagai suatu kesalahan.”
Wanakerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia pun berkata,
“Terserahlah kepadamu.”
Para petugas yang lain pun telah berusaha mencegah Kiai Gringsing agar ia memilih tanah garapan yang baru. Salah seorang dari mereka berkata,
“Apakah kami tidak dipersalahkan orang, kalau terjadi sesuatu atas kalian?”
“Kenapa?” bertanya Kiai Gringsing.
“Tanah itu adalah tanah yang wingit. Seolah-olah kami memang telah menjerumuskan kalian ke tempat itu.”
Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya,
“Tidak. Itu adalah tanggung jawab kami sendiri.”
“Tetapi bagi mereka yang tidak mengetahui persoalan ini pasti akan menyangka bahwa kami adalah orang-orang yang tidak berperikemanusiaan. Kami pasti dipersalahkan, seandainya kami tidak dianggap menjerumuskan kalian, kenapa kami tidak mencegahnya?”
“Terima kasih. Tetapi justru karena semuanya itulah Tuan, maka tanah itu sangat menarik bagi kami. Kami akan mengerjakannya dengan sebaik-baiknya, apa pun akibatnya.”

Para petugas itu hanya saling berpandangan sejenak. Tetapi masih ada di antara mereka yang merasa menyesal, bahwa mereka telah menempatkan orang tua itu bersama kedua anaknya di tempat yang paling wingit. Tetapi Kiai Gringsing masih berkata,
“Tuan, seandainya masih ada gangguan-gangguan atas kami yang bekerja di daerah ini, maka kami sekarang sudah mempunyai kawan yang mempunyai kekuasaan yang serupa dengan mereka.”
“Siapa?”
“Mereka yang datang dari Gunung Merapi itu. Salah satu dari mereka bernama Kiai Dandang Wesi.”
Para petugas itu mengerutkan keningnya, kemudian hampir bersamaan mereka mengangguk-anggukkan kepala mereka.
“Kami sudah mendengar pula ceritera tentang Kiai Dandang Wesi. Tetapi kami masih belum dapat meyakinkan seperti kami meyakini adanya hantu-hantu dari Alas Mentaok ini sendiri.”
“Aku sendiri pernah melihat,” sahut Agung Sedayu,
“Kiai Dandang Wesi ada di pihak kami. Menurut Kiai Dandang Wesi, semua yang kasat mata manusia, memang diperuntukkan bagi manusia wadag seperti kita, karena kita memang tidak tahu dan tidak melihat mereka, sehingga karena itu, yang adil, merekalah yang menyesuaikan diri mereka. Bukan kita.”
Para penjaga itu mengangguk-angguk. Wanakerti-lah yang kemudian berkata,
“Kalau kau memang sudah yakin, terserahlah. Kami berdoa, mudah-mudahan kalian tidak mendapat gangguan apa pun juga.”
“Terima kasih.”
Demikianlah, maka Kiai Gringsing dan kedua muridnya pun segera mulai mengerjakan tanah garapan mereka kembali. Setelah sekian lama mereka tinggalkan, maka alang-alang yang sudah dibersihkannya tampak mulai tumbuh kembali di beberapa bagian.
“Kemarilah,” desis Kiai Gringsing kepada kedua muridnya.
Kedua muridnya pun segera mendekat.
“Kalian memang harus berhati-hati. Kita tidak tahu pasti, siapakah sebenarnya yang kita hadapi. Bukan karena kita menolak suatu kepercayaan tentang hantu-hantu yang mungkin ada, tetapi kita pun harus memperhitungkan kenyataan yang selama ini terjadi atas kita.”
“Maksud Guru?”
“Ternyata kita berada di dalam lingkungan orang-orang yang mengerti benar tentang racun. Agaknya di sini racun merupakan senjata yang paling baik untuk segala macam tujuan, Swandaru yang pernah mengalaminya. Ketika seseorang di sini mendekapnya dengan ketakutan, dan seolah-olah orang itu terluka parah, agaknya orang itu sudah menyentuh tubuh Swandaru dengan duri-duri beracun.”
“Ya, bagaimanakah sebenarnya dengan orang itu? Dan kemanakah ia pergi? Apakah benar-benar ia hilang seperti yang kita sangka?”
“Orang itu sama sekali tidak apa-apa. Tidak terluka dan tidak ketakutan. Itu adalah suatu cara agar ia dapat menyentuh salah seorang dari kita.”
“Lalu?”
“Ia pun tidak hilang dibawa hantu yang mana pun juga. Orang itu telah pergi sendiri selagi kita sibuk mencari sumber bunyi yang telah mengejutkan kita itu.”
Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tetapi darah itu?” bertanya Swandaru.
“Aku sudah meyakinkannya, bahwa yang serupa dengan darah itu sama sekali bukan darah.”
Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepala mereka.
“Kemudian, kita singgah ke rumah dukun itu. Ia mengerti tentang racun dengan baik. Obat yang diberikannya dan yang kemudian aku bawa kepada dukun yang lain yang ternyata bernama Kiai Damar, memang obat pemunah racun.” Kiai Gringsing terdiam sejenak, lalu,
“Dan ternyata pula orang-orang yang memahami tentang racun. Air yang diberikan kepada Swandaru ketika kau tinggalkan, ternyata berisi racun yang telah diperhitungkan dengan tepat.”
Kedua murid-muridnya masih mengangguk-anggukkan kepala.
“Jadi, hati-hatilah. Jangan mudah dijebak lagi dengan cara apa pun. Aku yakin bahwa semua itu sama sekali bukan perbuatan hantu-hantu.”
“Tetapi bagaimana dengan suara gemerincing di malam hari itu?”
“Kita masih harus meyakinkan. Tetapi setiap orang dapat berbuat serupa itu.”
“Dan sinar yang berkeredipan?” bertanya Agung Sedayu.
“Memang masih banyak hal-hal yang harus kita ketahui, Agung Sedayu. Seandainya benar ada hantu di Alas Mentaok, namun ada juga orang-orang yang telah memanfaatkannya untuk kepentingan diri mereka sendiri.”
“Apakah tujuan mereka, Guru?”
Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya,
“Aku tidak tahu dengan pasti. Kita masih berhadapan dengan rahasia yang besar seperti rahasia yang tersimpan di dalam Alas Mentaok ini sendiri.”

Demikianlah, maka Kiai Gringsing dan kedua muridnya bekerja dengan hati-hati. Mereka menyadari bahwa di sekitar mereka terdapat beberapa orang yang sedang bermain-main dengan segala macam cara. Dan yang paling berbahaya adalah racun. Karena itulah, maka diam-diam Kiai Gringsing telah membuat obat-obat yang dapat menahan serangan racun untuk sementara. Kedua muridnya itu pun telah diberinya butiran-butiran itu untuk selalu dibawa kemana mereka pergi. Kalau mereka merasa diri mereka tersentuh racun itu tidak berkembang di dalam tubuhnya, mereka harus makan obat itu, sebutir. Di hari yang pertama, Kiai Gringsing dan kedua muridnya hanyalah sekedar melihat-lihat tanah garapan yang telah ditinggalkan untuk beberapa lama. Namun justru mereka menjadi semakin bernafsu untuk melakukan kerja itu, agar mereka dapat membuktikan, bahwa tanah ini memang dapat dibuka untuk dijadikan tanah garapan. Namun kerja yang dimulainya kembali itu telah membuat beberapa orang menjadi tidak senang karenanya. Terutama orang yang tinggi kekar dan yang kekurus-kurusan. Ketika Kiai Gringsing dan kedua anak-anaknya kembali dari tanah garapannya, maka orang yang tinggi itu mendapatkannya sambil bertolak pinggang,
“Kau memang ingin membuat keributan di sini, he?”
“Kenapa?” bertanya Kiai Gringsing.
“Kau mulai lagi kerja itu meskipun semua pihak sudah mencoba mencegahnya. Bahkan para petugas.”
“Aku sudah memberikan alasanku. Dan para petugas itu akhirnya menyerahkan segala tanggung jawab kepadaku.”
“Tetapi itu tidak mungkin. Kau di sini tidak berdiri sendiri. Kau merupakan bagian dari kami semua yang ada di sini.”
“Berilah kami kesempatan. Kami akan mencoba untuk melakukan kerja yang mungkin akan bermanfaat bagi kita. Kalau aku berhasil maka tanah garapan yang terbuka akan menjadi semakin luas. Kelompok-kelompok dapat membagi diri untuk mengerjakan tanah yang lebih luas.”
“Gila. Aku tidak setuju dengan pikiran itu. Sudah aku katakan berapa puluh kali, bahwa akibat yang timbul dari sifatmu yang keras kepala itu akan menimpa kita semua.”
“Aku akan mempertanggung jawabkan sendiri. Biar sajalah seandainya anakku atau aku sendiri menjadi banten. Tetapi aku benar-benar berniat baik,” suara Kiai Gringsing menurun.
“Sebenarnya kalian pun jangan takut. Kiai Dandang Wesi selalu akan berada di pihak kita. Aku sudah bertemu dengan hantu yang bernama Kiai Dandang Wesi itu.”
“Bohong!”
“Percayalah. Ia akan menjaga aku di tempat kerjaku itu. Tanah garapan itu sekarang sama sekali sudah tidak wingit lagi, justru karena ada penghuninya yang baru.”
“Persetan. Tetapi kalau terjadi bencana atas kita sekalian, kaulah yang akan menjadi sasaran kemarahan orang-orang yang berada di dalam barak ini.”
Kiai Gringsing tidak menjawab. Tetapi ancaman itu pasti bukan sekedar main-main. Orang-orang yang tinggi itu pasti akan berusaha menghasut orang-orang di dalam barak ini agar mereka berbuat sesuatu terhadap mereka. Kiai Gringsing hanya dapat memandangi saja ketika orang yang tinggi kekar itu meninggalkannya, sambil bersungut-sungut.
“Apakah pada suatu saat kita akan berbuat sesuatu atasnya?” bertanya Swandaru yang hampir kehilangan kesabaran.
“Biar sajalah. Kita akan melihat, apa saja yang akan dilakukannya.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tampak dari sorot matanya bahwa kebencian yang dalam terhadap orang yang tinggi itu hampir-hampir sudah tidak tertahankan lagi. Ketika pinggiran hutan itu menjadi kelam, maka orang-orang yang tinggal di dalam barak itu pun sudah menempati tempatnya masing-masing. Selain badan yang lelah, mereka juga selalu dibayangi oleh ketakutan dan kecemasan. Seseorang yang masih muda berbaring beberapa jengkal dari Swandaru yang masih duduk bersandar dinding. Sekali-sekali ia mengerutkan keningnya, kalau angan-angannya menyentuh orang yang tinggi kekar itu.
“Apakah kalian sama sekali tidak mengenal takut dan cemas,” tiba-tiba orang yang masih muda itu bertanya.
Swandaru berpaling ke arahnya. Tetapi ia tidak segera menyahut. Ditatapnya wajah gurunya sejenak, seolah-olah ia ingin mendapat pertimbangan daripadanya. Tetapi ternyata Kiai Gringsing tidak sedang memperhatikannya. Orang tua itu duduk pula sambil memejamkan matanya di samping Agung Sedayu yang sedang memijit-mijit kakinya.
“Begitu?” orang itu mendesak.
Swandaru yang agak bingung itu menggelengkan kepalanya,
“Tentu tidak. Kami juga mengenal takut.”
“Tetapi kenapa kalian teruskan pekerjaan itu?”
“Kami mempunyai pelindung, hantu dari Gunung Merapi itu.”
Orang itu terdiam sejenak. Dipandanginya anyaman ilalang yang mengatapi barak bambu itu.
“Kau sendiri?” Swandaru yang bertanya.
Orang itu menggeleng,
“Isteri dan seorang anakku berada di barak yang lain. Tempat menampung perempuan dan anak-anak itu.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku dahulu membayangkan, bahwa aku akan mendapat sebidang tanah garapan yang hijau. Sebuah rumah yang mungil, dengan pekarangan yang ditanami dengan pohon buah-buahan. Dibatasi oleh sebuah pagar batu setinggi dada. Regol yang rendah dan berdaun pintu,” gumam orang itu.
“Pada saatnya akan kau dapatkan.”
“Ya. Tetapi kapan? Kami bekerja di dalam kelompok-kelompok. Hasil yang kami dapatkan sebenarnya terlampau kecil bagi kami sekelompok.”
“Tetapi kelompok itu akan mengerjakan tanah garapan yang lain, sehingga kalian akan mendapatkan bagian yang lain pula.”
“Tetapi kami selalu dibayangi oleh ketakutan.”
“Kelompok-kelompok itu bukan sekedar untuk mengatasi ketakutan. Bukankah kalian tidak akan dapat bekerja sendiri-sendiri menghadapi tantangan hutan yang begitu lebat? Pohon-pohon yang tinggi dan besar. Gerumbul-gerumbul yang penuh dengan tanaman-tanaman menjalar dan berduri?”
Orang itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak berkata sesuatu. Matanya kembali menatap atap yang terbuat dari anyaman ilalang. Swandaru pun kemudian terdiam. Ia melihat kekecewaan membayang di wajah orang yang berbaring itu.
“Kenyataan yang dihadapinya, jauh dari gambaran yang diangan-angankannya sebelumnya,” desis Swandaru di dalam hatinya.
Dan tiba-tiba saja ia ingin mendapat beberapa keterangan lagi, sehingga Swandaru itu bertanya,
“Apakah sejak kau datang ke tempat ini, orang-orang di sini juga sudah dibayangi oleh ketakutan?”
Tetapi yang menjawab adalah orang lain yang berbaring di sampingnya,
“Tidak. Tidak seperti sekarang ini.”

Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya, sedang Kiai Gringsing yang memejamkan matanya pun kemudian terbelalak sambil mengerutkan keningnya. Namun sejenak kemudian mata itu pun telah terpejam pula.
“Bagaimanakah keadaan di daerah ini dahulu?” bertanya Swandaru pula.
“Kami bekerja dengan tenang. Daerah yang sudah dapat dijadikan pedukuhan itu pun menjadi kian ramai. Namun pada suatu saat mulailah wabah itu.”
“Wabah?”
“Wabah ketakutan. Perlahan-lahan tetapi pasti telah mencengkam kami seluruhnya. Mereka yang memasuki daerah yang semakin dalam harus menarik diri dan mengurungkan niatnya, sehingga apa yang kami kerjakan kini sangat terbatas. Sebagian orang-orang yang bekerja di sini telah pergi. Ada yang semakin memenuhi tempat-tempat yang telah ramai itu, tetapi ada juga yang sama sekali mengurungkan niatnya untuk tinggal di daerah Tanah Mataram ini.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia sudah tidak bertanya lagi. Ruangan di dalam barak itu semakin lama menjadi semakin sepi. Sebagian dari mereka yang berbaring di dalamnya sudah tertidur dengan nyenyaknya, sedang sebagian yang lain menyelimuti dirinya dengan kainnya sampai menutup kepalanya. Swandaru dan Agung Sedayu pun kemudian berbaring pula, sedang Kiai Gringsing tidur sambil duduk bersandar dinding tepat di sudut barak. Beberapa orang yang belum tertidur berpaling serentak ketika mereka mendengar seseorang mendehem di muka pintu. Ternyata orang yang bertubuh kekar itulah yang baru melangkahi tlundak pintu. Sejenak ia menebarkan tatapan matanya berkeliling. Kemudian ia pun berbaring pula di depan pintu yang masih separo terbuka. Agung Sedayu, Swandaru, dan gurunya melihat juga orang itu masuk ruangan. Sejenak mereka saling berpandangan. Namun mereka pun kemudian tidak menghiraukannya lagi. Demikianlah maka malam pun menjadi semakin malam. Sebagian besar dari mereka yang berbaring di dalam barak itu telah tertidur. Beberapa orang bahkan telah mendengkur, seolah-olah mereka sama sekali tidak sedang diganggu oleh kecemasan dan ketakutan. Di luar barak, suara cengkerik masih terdengar berderik berkepanjangan sahut menyahut. Angin malam yang dingin berhembus di sela-sela dedaunan yang basah oleh embun. Agung Sedayu dan Swandaru pun telah memejamkan matanya. Antara sadar dan tidak sadar mereka masih mendengar sekali-sekali suara burung tuhu di kejauhan. Tetapi selagi keheningan malam mencengkam barak yang sudah mulai lelap itu, beberapa orang telah dikejutkan oleh suara yang aneh. Seperti suara bayi yang merengek, namun kemudian berubah seperti suara kucing yang melolong-lolong. Semakin lama semakin keras mendekati barak yang dengan tiba-tiba telah dicengkam oleh ketakutan yang dahsyat. Semua orang yang ada di dalam dan apalagi di serambi barak, telah menutup telinga mereka dengan telapak tangan. Menutup seluruh tubuh dengan selimut mereka. Tetapi berbeda dengan mereka itu, Kiai Gringsing justru mencoba mendengarkan suara itu dengan saksama. Agung Sedayu dan Swandaru pun telah terbangun dan sadar sepenuhnya atas apa yang didengarnya. Tetapi ketika mereka akan bangkit, Kiai Gringsing memberikan isyarat agar mereka tetap berbaring di tempatnya. Suara itu semakin lama menjadi semakin jelas terdengar. Namun pada suatu saat, sumber bunyi itu sudah tidak menjadi semakin dekat, tetapi justru berputar-putar mengelilingi barak itu. Belum lagi ketakutan yang mencengkam itu mereda, seisi barak itu telah dikejutkan oleh suara beberapa benda yang jatuh di atas atap barak itu, yang kemudian berguling jatuh di tanah di sekitarnya. Agaknya barak itu telah dilempari dengan batu meskipun tidak terlampau besar. Bahkan batu-batu yang terjatuh di anyaman ilalang yang kurang kuat, telah menembus atap dan jatuh ke dalam barak. Tiga buah batu telah jatuh ke dalam barak menimpa orang yang sedang berbaring ketakutan. Untunglah batu-batu itu tidak terlampau besar, sehingga meskipun terasa juga sakit, namun sama sekali tidak berbahaya.

Kiai Gringsing hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Orang yang bertubuh, kekar itu berbaring di depan pintu. Seandainya tidak, ia akan, dapat berbuat sesuatu. Lemparan-lemparan batu itu merupakan sesuatu yang baru bagi barak itu. Biasanya seisi barak itu hanya ditakutkan oleh bunyi yang asing bagi mereka. Satu dua orang memang pernah melihat bentuk dan ujud yang mengerikan di dalam gelap. Tetapi belum pernah terjadi, barak mereka dilempari dengan batu-batu. Sejenak kemudian maka suara yang mengitari barak itu pun menjadi semakin lama semakin jauh. Di saat-saat terakhir suara itu telah berubah lagi menjadi bunyi-bunyi yang belum pernah didengar. Tinggi melengking-lengking kemudian turun merendah dan akhirnya hilang sama sekali. Beberapa saat lamanya tidak seorang pun yang berani bergerak. Yang berkerudung kain panjang, masih tetap berkerudung kain. Yang menutup telinganya dengan telapak tangannya, masih juga menutup telinganya. Bahkan yang tertimpa batu pun sama sekali tidak berani beringsut dari tempatnya. Meskipun terasa juga sakit, namun menyeringai pun mereka tidak berani. Baru, ketika orang-orang di dalam barak itu yakin, bahwa suara itu sudah lenyap, mereka berani beringsut sedikit untuk menarik nafas dalam-dalam. Yang pertama-tama bangkit perlahan-lahan adalah orang yang tinggi kekar itu. Ditebarkannya pandangan matanya ke sekelilingnya. Ketika ia melihat Kiai Gringsing bersandar dinding ia mengerutkan keningnya,
“Sejak tadi kau bersandar dinding?”
Kiai Gringsing mengangguk, “Ya, sejak tadi.”
Orang yang tinggi kekar itu memandangnya dengan, kerut kening yang tegang. Dengan sorot mata yang aneh ia pun kemudian berdiri dan berjalan selangkah demi selangkah mendekati Kiai Gringsing.
“Kenapa kau tetap duduk saja di tempatmu? Kau sudah menghina hantu-hantu itu. Itulah agaknya mereka menjadi marah dan melempari barak ini dengan batu?”
“Kenapa aku telah menghina mereka?”
“Kau terlampau sombong. Kau bersikap menantang.”
“Tidak. Aku sama sekali tidak bersikap menantang. Kau melihat sendiri, bahwa sejak sore aku tidur sambil bersandar dinding karena tikar kami telah dipenuhi oleh kedua anak-anakku.”
“Kenapa kau pertahankan sikap itu?”
“Bukan maksudku. Ketika aku terbangun karena suara-suara itu, aku menjadi seakan-akan membeku. Aku tidak dapat menggerakkan ujung jariku, apalagi tubuhku. Sebenarnya aku ingin menjatuhkan diri di antara anak-anakku. Tetapi aku tidak dapat bergerak sama sekali.”
Orang yang tinggi kekar itu mengerutkan keningnya. Dilihatnya beberapa orang telah bangkit dan duduk di tempat masing-masing. Orang yang terkena batu pun telah berani mengusap bagian tubuh mereka yang masih terasa sakit. Bahkan salah seorang dari mereka, telah terkena kepalanya.
“O, kita sudah berbuat banyak sekali kesalahan,” terdengar suara di muka pintu. Ketika orang-orang yang ada di dalam barak itu berpaling, dilihatnya orang yang kekurus-kurusan itu berdiri gemetar.
“Di mana kau selama ini?” bertanya salah seorang.
“Aku hampir mati membeku.”
“Di mana kau, he?” orang yang tinggi kekar itu membentak.
“Aku berada di luar. Aku tidak dapat menahan lagi untuk membuang air. Tetapi di halaman yang terlindung itu, aku menjadi seperti orang lumpuh. Aku terduduk tanpa dapat bergerak sama sekali.”
“Lalu?”
“Aku melihat hantu itu lewat.”
“O,” hampir bersamaan beberapa orang berdesis.
“Benar-benar mengerikan. Kali ini yang lewat tidak hanya sesosok hantu, tetapi tiga.”
“Tiga?” serentak terdengar beberapa pertanyaan.
“Ya, tiga.”
“Dalam bentuk apa saja?”
“Yang sesosok tinggi. Yang dua tidak begitu tinggi. Hampir setinggi manusia biasa. Tetapi aku tidak berani menatap wajah mereka yang mengerikan itu. Merah dan bergigi panjang. Selebihnya aku tidak tahu. Tetapi yang pasti salah seorang dari mereka berambut ular dan yang satu lagi berkepala tengkorak.”
“Mengerikan sekali.”
“Aku hampir pingsan karenanya. Hantu itu lewat beberapa langkah di dekatku. Satu di antara mereka berhenti. Tetapi kemudian aku ditinggalkannya.”


Halaman 1 2 3


<<< Jilid 052                                                                                                       Jilid 054 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar