“Dengarlah,” berkata Kiai Gringsing,
“rencana
hantu-hantu Alas Mentaok itu sudah diketahui oleh Kiai Dandang Wesi. Kau
percaya? Sekarang mereka berusaha mendorong aku dan kedua anak-anakku untuk
meninggalkan pekerjaan dan tanah garapan itu, tetapi seterusnya, mereka akan
berusaha mengusir setiap orang di sini. Menakut-nakuti, membuat mereka sakit
dan pingsan tanpa sebab, kecemasan dan kekisruhan, agar perlahan-lahan kita di
sini sedikit demi sedikit mengurungkan niat kita untuk membuka hutan ini.”
“Gila, itu
pikiran gila.”
“Apakah kau
tidak percaya.”
“Omong
kosong.”
“Mungkin. Kiai
Dandang Wesi memang hanya omong kosong. Mudah-mudahan ia sekedar omong kosong.
Tetapi akankah ia berkata begitu, he?” bertanya Kiai Gringsing kepada Agung
Sedayu.
Agung Sedayu
tergagap. Tetapi ia pun segera dapat menanggapinya,
“Ya, Kiai
Dandang Wesi memang berkata begitu. Tetapi Kiai Dandang Wesi sudah berbicara dengan
Prabu Talangsari. Aku tidak tahu, apakah hasil pembicaraan itu.”
“Tetapi
seandainya Kiai Dandang Wesi itu benar-benar hantu waskita yang datang dari
Gunung Merapi, ia pasti mengenal hantu-hantu Alas Mentaok yang sebenarnya,”
tiba-tiba orang yang kekurus-kurusan menyahut.
“Ia kenal akan
hal itu. Tentu ia kenal.”
“Bohong.”
“Dari mana kau
tahu. Adakah kau menganggap Kiai Dandang Wesi itu berbohong, atau ceritera
tentang Dandang Wesi itulah yang kau anggap berbohong, atau Kiai Dandang Wesi
sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat sesuatu?”
Orang yang
kekurus-kurusan itu pun menjadi ragu-ragu pula. Sejenak ia berdiam diri. Namun
yang menyahut kemudian adalah orang yang kekar,
“Kita harus
meyakinkan dahulu ceritera itu.”
“Memang, kita
harus meyakinkannya. Tetapi bahwa Kiai Dandang Wesi mempunyai kemampuan untuk
mengenal dunianya, maksudku dunia hantu, aku kira tidak dapat disangsikan lagi.
Menurut anakku, ketika jerangkong yang telah bertemu dengan Kiai Dandang Wesi
itu pergi, maka hantu yang tidak berbentuk, pemomong Raden Sutawijaya yang
mrayang itu berkata, ’Aku menangkap getaran yang aneh pada jerangkong itu. Aku
menangkap getar jalur-jalur darah dalam tubuhnya serta terasa arus nafas. Itu
tidak mungkin ada di dalam diri hantu-hantu yang mana pun juga, meskipun dari
tingkat yang paling rendah sekali pun sampai Prabu Talangsari sendiri. Meskipun
ada hantu yang memilih bentuk seperti manusia sekali pun, namun pasti tidak
akan ada getar jalur-jalur darah dan arus nafas di dalam tubuhnya yang bukan wadag
manusia’.”
Orang yang
kekurus-kurusan itu menjadi tegang sejenak. Namun sambil menghentakkan kakinya
ia berkata,
“Persetan.
Persetan dengan semuanya itu.”
Sebelum
seorang pun sempat menjawab, maka dengan tergesa-gesa ia pergi meninggalkan Kiai
Gringsing sambil bergumam,
“Aku akan
pergi ke pekerjaanku. Semua orang sudah berangkat.”
“Kami bertiga
tidak akan berangkat hari ini,” berkata Kiai Gringsing.
“Kenapa?” yang
bertanya adalah orang yang tinggi besar itu.
“Anakku belum
sehat benar.”
“Jadi, setelah
anakmu sembuh. Kau akan tetap meneruskan usaha itu?”
“Ya,” jawab
Kiai Gringsing.
“Kau sampai
hati mengorbankan anakmu.”
“Kenapa?”
“Anakmu akan
sakit dan kalau peringatan itu kau abaikan, anakmu, salah seorang dari keduanya
akan mati atau bahkan kedua-duanya.”
Orang yang
kekar itu terperanjat ketika justru anak yang sakit itu yang menjawab,
“Ternyata aku
telah sembuh setelah aku bermimpi. Aku jadi yakin, bahwa di dunia mereka pun
kini sedang terjadi masalah. Kesimpulanku, aku tidak perlu cemas.”
“Gila. Kalian
memang orang-orang gila.”
“Tidak. Justru
kami adalah orang-orang yang menyadari keadaan yang sebenarnya. Tanpa orang
lain, biarlah aku katakan kepadamu, mungkin kau memiliki kelebihan dari
orang-orang yang ada di dalam barak ini, bahwa di sini ada tiga golongan yang
perlu diperhatikan.”
“Apa?”
“Hantu-hantu
Alas Mentaok yang sebenarnya, hantu-hantu dari Gunung Merapi, dan makhluk lain
yang diragukan oleh Kiai Dandang Wesi, yang berbentuk seperti hantu jerangkong,
tetapi memiliki jalur-jalur darah dan arus nafas.”
Orang yang
kekar itu menjadi tegang. Sejenak ditatapnya wajah-wajah dari ketiga ayah
beranak itu. Kemudian sambil menggeram ia melangkah pergi,
“Kalian telah
mengigau.”
“Tunggu,”
panggil Swandaru.
Ketika orang
itu berhenti dan berpaling, Swandaru berkata sambil tersenyum,
“Terima kasih
atas air yang Paman berikan itu. Tubuhku menjadi segar dan rasa-rasanya sakitku
menjadi sembuh sama sekali.”
“Persetan,”
orang itu pun kemudian melangkah semakin cepat.
Sepeninggal
orang-orang itu, Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata,
“Mudah-mudahan
kita akan segera dapat memecahkan teka-teki yang rumit ini.”
“Apakah yang
Guru maksud dengan teka-teki itu?”
“Keadaan di
sekitar tempat ini. Di samping negeri yang kian hari kian menjadi ramai, maka
orang-orang yang memperluas tanah garapan masih saja diganggu oleh
persoalan-persoalan yang cukup menegangkan ini.”
“Hantu-hantu
maksud Guru?”
“Ya.”
Kedua muridnya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil memandang orang yang tinggi kekar itu
sampai hilang di gardu pengawas Agung Sedayu berkata,
“Kedua orang
itu memang aneh.”
“Sekarang
beristirahatlah. Kita akan terlibat dalam permainan yang mengasyikkan ini.”
Agung Sedayu
dan Swandaru pun kemudian masuk kembali ke dalam barak. Beberapa orang yang karena
beberapa hal berhalangan pergi ke tempat pekerjaan masing-masing, masih juga
berada di barak itu.”
Seorang
laki-laki yang kakinya terluka karena kapaknya sendiri, duduk sambil mengusap
lukanya. Sekali-sekali ia menyeringai menahan sakit. Sudah sepekan ia duduk
saja merenungi lukanya tanpa dapat membantu kawan-kawannya bekerja di pinggir
hutan.
“Apakah anakmu
sudah benar-benar sembuh?” orang itu dengan hampir berteriak bertanya kepada
Kiai Gringsing.
Kiai Gringsing
berpaling kepadanya, kepada orang yang terluka itu yang duduk di sudut barak.
“Ya,
begitulah.”
“Kau memang
beruntung sekali. Dari manakah kau mendapatkan obatnya?”
“Kebetulan
saja. Tetapi aku juga mendapat obat dari Kiai Damar. Dukun sakti yang memiliki
kemampuan berhubungan dengan hantu.”
“Apakah kau
tidak berkeberatan memberi obat aku sedikit, agar lukaku ini segera sembuh?”
“Obat itu
bukan obat luka.”
“Aku tahu,
tetapi mungkin kakiku ini juga kena kutuk dari hantu-hantu. Mungkin ketika aku
bekerja di tanah yang sedang dibuka itu, aku telah mengganggu mereka, sehingga
aku telah dihukumnya. Dengan obat dari Kiai Damar itu, mungkin aku akan
dimaafkan.”
Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya. Ternyata jalan pikiran orang-orang di tempat ini sudah
tidak wajar lagi. Mereka terlampau dipengaruhi oleh adanya hantu-hantu yang
berkuasa di Alas Mentaok. Semua persoalan telah dikaitkannya dengan
hantu-hantu, kemungkinan bahwa mereka telah mengganggu keluarga hantu-hantu dan
bermacam-macam soal yang berpusar pada hantu-hantu itu.
“Ki Sanak,”
berkata Kiai Gringsing kemudian, “apakah Ki Sanak mau aku obati? Bukan obat
dari Kiai Damar?”
“O, segala
macam obat sudah aku coba, tetapi sampai sepekan lukanya justru membengkak.”
“Obat yang Ki
Sanak pergunakan agaknya belum cocok. Kalau Ki Sanak setuju, aku akan mencoba
mengobatinya.”
“Berilah aku
obat Kiai Damar itu.”
“Sayang, aku
sudah dipesan, bahwa obat itu tidak boleh dipergunakan oleh orang lain. Obat
itu adalah obat yang khusus, yang bagi orang lain justru dapat berakibat
sebaliknya.”
Orang itu
mengerutkan keningnya. Katanya,
“Jadi
maksudmu, aku tidak dapat mengobati lukaku dengan obat itu?”
“Bukan aku
tidak memperbolehkan, tetapi Kiai Damar-lah yang berpesan demikian.”
Orang itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Karena itu
kalau Ki Sanak bersedia, aku mempunyai sejenis obat untuk luka-luka.”
“Apa? Bubukan
babakan mlandingan atau sawang angga-angga?”
Kiai Gringsing
menggelengkan kepalanya.
“Apa? Semua
obat sudah aku coba.”
“Endapan
kicikan.”
“Minyak kelapa
dengan empon-empon.”
“Ya. Segala
macam empon-empon, potong tipis-tipis, kemudian aku jemur sampai kering.
Barulah aku panasi dengan minyak. Kemudian aku jemur lagi hingga kering.
Barulah aku tumbuk halus-halus.”
Orang itu
mengangguk-angguk.
“Baiklah. Aku
belum mencobanya.”
“Tunggulah,
aku ambil obat itu.”
Kiai Gringsing
pun kemudian mengambil sejenis serbuk seperti yang dikatakannya. Kemudian
ditaburkannya obat itu pada luka yang sedang mulai membengkak.
“Uh, panas
sekali. Apakah ini kicikan seperti yang kau katakan.”
“Ya.”
“Kenapa panas
dan pedih?”
“Tentu. Tetapi
nanti akan menjadi baik.”
Orang itu
menyeringai menahan sakit sambil memegang pangkal pahanya.
“Sakit
sekali,” desisnya.
Kiai Gringsing
tidak menghiraukannya. Kemudian dibiarkannya luka itu tetap terbuka. Katanya,
“Biarlah luka
itu terbuka sejenak.”
Sejak itu
sakit lukanya menjadi berangsur berkurang. Sehingga akhirnya terasa seakan-akan
luka itu sudah sembuh.
“Terima
kasih,” katanya.
“Dengar,”
berkata Kiai Gringsing,
“sama sekali
bukan karena hantu-hantu. Hantu-hantu sebenarnya sama sekali tidak menghiraukan
kita. Hutan itu hutan kita. Kalau ada persoalan, tentu persoalan yang lain.”
Orang itu
memandang Kiai Gringsing dengan tatapan mata yang aneh, meskipun ia tidak
bertanya sesuatu. Bahkan Kiai Gringsing-lah kemudian yang berbicara pula,
“Hantu-hantu
itu ternyata mempunyai persoalannya sendiri. Hantu-hantu yang bernama Kiai
Dandang Wesi dari Gunung Merapi telah melibatkan diri di dalam setiap persoalan
di Alas Mentaok ini.”
Orang itu
mengerutkan keningnya. Kemudian ia berdesis,
“Aku menjadi
bingung.”
Kiai Gringsing
tersenyum. Tiba-tiba ia bertanya,
“Bagaimana
dengan lukamu?”
“Sudah tidak
pedih lagi. Bahkan seakan-akan telah menjadi sembuh sama sekali.”
“Biarlah
lukamu terbuka. Nanti sore, aku akan memberimu obat setelah luka itu kau
bersihkan. Setiap kali pasti akan terasa pedih untuk beberapa saat. Namun
kemudian akan menjadi dingin seperti sekarang.”
Orang itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Beristirahatlah.”
Kiai Gringsing
pun kemudian kembali ke tempatnya. Swandaru yang masih belum sehat benar, telah
berbaring untuk memulihkan kekuatannya. Sedang Agung Sedayu pun kemudian pergi
ke gardu pengawas untuk melaporkan bahwa mereka tidak pergi ke pekerjaan mereka
hari ini.
“Kenapa?”
bertanya salah seorang pengawas.
“Adikku masih
belum sembuh benar.”
Pengawas itu
mengerutkan keningnya. Tetapi yang bertanya kemudian adalah Wanakerti,
“Apakah kalian
memutuskan untuk menghentikan usaha kalian?”
“Tidak,” jawab
Agung Sedayu.
“Kami akan
bekerja terus. Kalau kesehatan adikku telah pulih kembali, maka kami akan
meneruskan kerja kami.”
Wanakerti
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Baiklah.
Sekarang, bawalah rangsum kalian bertiga.”
Agung Sedayu
pun kemudian kembali ke barak sambil membawa rangsum untuk mereka bertiga.
Dalam pada
itu, selagi di tempat-tempat yang sedang digarap dan dibuka selalu diributkan,
oleh masalah hantu-hantu, Ki Gede Pemanahan dan Raden Sutawijaya tidak
henti-hentinya berusaha agar Tanah Mataram menjadi kian ramai. Di tempat-tempat
yang sudah mulai padat, dibuatnya pusat-pusat kegiatan yang menyangkut
kehidupan orang banyak. Didirikannya pasar dan banjar-banjar. Hubungan yang
semakin banyak dengan daerah-daerah di sekitarnya. Namun demikian keprihatinan
mereka atas gangguan dari persoalan-persoalan yang masih merupakan rahasia bagi
Mataram masih belum teratasi. Bagaimanapun juga Raden Sutawijaya berusaha,
tetapi sama sekali belum pernah ditemuinya apa yang disebut oleh beberapa orang
dan bahkan beberapa petugasnya, sebagai hantu-hantu yang menakutkan. Apalagi di
hari-hari terakhir telah berkembang ceritera tentang hantu yang hampir tidak
berbentuk. Ketika beberapa orang peronda menjumpai seonggok benda yang
kehitam-hitaman pada saat mereka kembali dari rumah Kiai Damar.
“Para pekerja
yang membuka hutan, di daerah Utara berceritera pula tentang hantu serupa itu,”
berkata seorang pengawal.
“Apa katanya?”
“Kini telah
berkembang ceritera tentang hantu yang datang dari Gunung Merapi. Salah satu
dari mereka menyebut dirinya bernama Kiai Dandang Wesi.”
Pengawal yang
lain pun mendengarkannya dengan penuh minat. Ceritera tentang hantu memang
selamanya menarik bagi mereka, apalagi mereka yang akan bertugas di
daerah-daerah yang sedang dibuka. Tetapi, ternyata ceritera tentang hantu itu
tidak menghambat perkembangan Tanah Mataram secara keseluruhan. Memang di
beberapa tempat, penebangan hutan benar-benar telah terhenti, karena mereka
yang membuka hutan menjadi ketakutan. Di beberapa tempat yang lain pun menjadi
sangat mundur. Beberapa orang telah memilih tinggal di tempat yang sudah ramai,
meskipun hanya sekedar menjual tenaga, karena mereka tidak mempunyai lagi tanah
garapan. Sedang beberapa keluarga yang lain telah kembali ke tempat asal
mereka.
Meskipun
sebagian dari rencana Ki Gede Pemanahan masih tetap dapat dilakukan, terutama
usahanya menyusun suatu tempat yang akan dijadikannya pusat pemerintahan dari
daerah yang baru dibuka ini, namun terhambatnya perluasan tanah garapan yang
akan menjadi lumbung bahan mentah itu membuatnya berprihatin.
“Kita harus
dapat memecahkan rahasia ini,” berkata Raden Sutawijaya,
“selama
rahasia ini masih merupakan teka-teki, maka Tanah Mataram masih belum dapat
disebut tenteram.”
“Memang masih
banyak tantangan yang harus kita hadapi,” sahut Ki Gede Pemanahan.
“Hubunganmu
dengan Ayahanda Baginda Sultan di Pajang masih juga belum dapat disebut pulih
kembali, kini kita di sini sudah menjumpai bermacam-macam persoalan.”
“Ya, Ayah.
Tetapi kita akan berjalan terus.”
“Tentu
Sutawijaya. Pati sudah pantas disebut sebuah Kadipaten. Tetapi apa yang pantas
kita katakan tentang Tanah Mataram, Tanah Perdikan, Kadipaten atau sebuah
Kademangan kecil?”
“Kita sedang
berusaha, Ayah. Dan Ayahanda Sultan Pajang memang tidak mau memberikan sebutan
atau kedudukan yang pasti bagi Mataram, seperti di daerah-daerah pesisir
Utara.”
Ki Gede Pemanahan
menarik nafas dalam-dalam.
“Karena itu
kita harus membentuk diri sendiri. Apa pun yang akan dikatakan oleh Sultan
Pajang atas kita.”
Raden
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tanpa sesadarnya ia berkata,
“Apakah Ayah
tidak berkeberatan terhadap usaha Untara untuk menyusun suatu kekuatan di Jati
Anom?”
“Kenapa aku
berkeberatan? Jati Anom adalah tlatah Pajang, Untara adalah seorang Senapati
Pajang. Apakah salahnya?”
“Tetapi
kekuatan itu seolah-olah telah dihadapkan kepada kita di Mataram.”
“Seandainya
demikian, itu adalah suatu sikap berhati-hati.”
“Tetapi,
kenapa tidak terhadap Pati?”
Ki Gede
Pemanahan mengerutkan keningnya. Diangguk-anggukkannya kepalanya. Sebenarnya ia
menyimpan perasaan seperti yang terbersit di hati puteranya. Namun Ki Gede
Pemanahan masih menyimpannya. Ia tidak mau tergesa-gesa mengambil suatu
kesimpulan dari sikap Pajang.
“Sutawijaya
sebenarnya adalah putera angkat yang tidak ubahnya dengan puteranya sendiri,”
berkata Ki Gede Pemanahan di dalam hati,
“namun
keragu-raguan Sultan Pajang membuat Mataram harus bersikap.”
“Sutawijaya,”
berkata Ki Gede Pemanahan kemudian,
“cobalah kau
sisihkan perasaan itu sejenak. Pusatkan perhatianmu pada pembangunan daerah
ini. Kalau kita terlampau berprasangka, maka hambatan dari perkembangan Tanah
Mataram ini akan timbul dari diri kita sendiri.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi angan-angannya masih saja dibayangi oleh
berbagai macam pertanyaan tentang kedua anak-anak muda yang ditemuinya di
Menoreh. Sehingga ia selalu bertanya kepada diri sendiri, “Bagaimanakah sikap
Agung Sedayu dan Swandaru? Apakah mereka berpihak juga kepada Untara dan
menjadikan Sangkal Putung suatu pusat kekuatan di Jati Anom dan Sangkal Putung,
maka pasukan Pajang akan membayangi Mataram dari dua arah. Jati Anom akan dapat
langsung menyusur lereng Gunung Merapi dan turun dari arah Utara, sedang
kekuatan yang datang dari Sangkal Putung akan langsung datang dari arah Timur.
Sedangkan kita di sini sama sekali tidak tahu, bagaimanakah sikap Menoreh yang ada
di sebelah Barat dan Mangir yang ada di sebelah Selatan?” Meskipun demikian,
Sutawijaya sama sekali tidak menjadi berkecil hati. Ia memang bertekad untuk
membuat Alas Mentaok ini menjadi sebuah negeri yang ramai. Namun dalam pada
itu, selagi masalah-masalah yang bersangkut paut dengan pihak-pihak di luar
Tanah Mataram masih harus dipecahkan, timbullah masalah-masalah yang harus
diatasi di dalam tubuh ini. Kekisruhan yang ditimbulkan oleh berita tentang
adanya hantu-hantu yang mengganggu pembukaan hutan hampir di segala arah.
Bahkan ada kelompok-kelompok yang telah menghentikan usahanya untuk memperluas
Tanah Mataram dengan tanah garapan baru, karena mereka tidak tahan lagi
menghadapi gangguan hantu-hantu yang agaknya menjadi semakin marah.
Tetapi di saat-saat
terakhir timbullah berita tentang hantu dari Gunung Merapi itu. Seorang
pemimpin pengawal Tanah yang baru dibuka itu menemui Raden Sutawijaya dan
berkata,
“Hantu dari
Gunung Merapi itu menyebut dirinya bernama Dandang Wesi. Ia mengaku sebagai
pemomong Raden Sutawijaya di masa kecil yang kemudian bertapa dan mrayang
dengan raganya. Tetapi kemudian ia mendapatkan bentuknya yang baru di dalam
dunianya yang baru.”
Raden
Sutawijaya menjadi bingung. Ia tidak pernah merasa mempunyai seorang pemomong
yang bernama Kiai Dandang Wesi, sehingga karena itu sejenak ia tidak memberikan
tanggapan apa-apa.
“Apakah Raden
sudah melupakannya karena sudah bertahun yang lampau?”
Sutawijaya
menggeleng,
“Tidak. Aku
masih ingat. Tetapi aku sudah tidak dapat mengingat lagi wajahnya.”
“Sekarang Kiai
Dandang Wesi benar-benar sudah tidak berbentuk. Hanya seperti seonggok daging
yang berwarna kehitam-hitaman. Namun justru mengerikan sekali. Bahkan menurut
ceritera, bentuk yang demikian itu masih juga mampu menyerang dari jarak yang
jauh.”
“Aku ingin
menemuinya pada suatu kesempatan,” sahut Sutawijaya.
“Kalau salah
seorang dari kalian bertemu, katakanlah aku ingin berbicara.”
“Baiklah.
Agaknya hantu yang bernama Kiai Dandang Wesi itu mempunyai sifat yang agak
berbeda dengan hantu-hantu dari Alas Mentaok ini sendiri. Tetapi mungkin karena
hantu-hantu yang selama ini menakut-nakuti itu adalah hantu-hantu dari tataran
yang paling rendah, sehingga sifat-sifat mereka pun sangat memuakkan. Tetapi
Kiai Dandang Wesi bersikap lain. Ada semacam wibawa yang memancar dari tubuhnya
yang tidak berbentuk itu.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berdesis,
“Mudah-mudahan
hantu yang tidak berbentuk itu dapat diajak bicara.”
“Sulit. Hanya
orang-orang tertentu sajalah yang dapat berbicara. Di antaranya Kiai Damar.”
“Tidak,”
tiba-tiba seorang pengawal yang lain memotong.
“Ada orang
yang pernah bertemu dan langsung dapat berbicara dengan hantu itu.”
Sutawijaya
tiba-tiba tersenyum. Katanya,
“Memang berita
tentang hantu kadang-kadang menumbuhkan bermacam-macam tafsiran. Tetapi yang
sampai padaku hingga saat ini selalu menumbuhkan pertanyaan di dalam hatiku,
apakah mereka yang berceritera itu benar-benar pernah melihatnya. Seseorang
mengatakan, bahwa kawannya pernah melihatnya. Tetapi ketika kawannya yang
disebutkan itu aku panggil, ia mengatakan bahwa ia mendengar dari kawannya yang
lain. Sampai saat ini aku belum pernah menyaksikan sendiri apa pun dan
bagaimana pun juga bentuk dan bahkan suaranya.”
Para pengawal
saling berpandangan sejenak. Namun mereka yakin bahwa hantu-hantu yang
dimaksudkan memang ada. Seseorang memberanikan diri berkata,
“Aku pernah
melihatnya.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Ya. Kau
memang pernah mengatakan, bahwa kau sendiri pernah melihatnya. Bukan sekedar
kata orang. Tetapi kau tidak berhasil membawa aku melihat hantu itu.”
Pengawal itu
terdiam.
“Kita harus
segera dapat memecahkan masalahnya,” tiba-tiba Sutawijaya menggeram.
Dalam pada
itu, keadaan Swandaru sudah menjadi berangsur baik. Kekuatannya sudah hampir
pulih kembali sehingga ia sudah tidak memerlukan bantuan apa pun lagi dari
Agung Sedayu atau gurunya. Dengan demikian, maka Kiai Gringsing beserta kedua
muridnya itu pun telah siap kembali untuk melakukan pekerjaan mereka, menebas
hutan di bagian yang justru dijauhi oleh orang-orang lain.
“Apakah kau
akan meneruskan kerjamu membersihkan daerah yang wingit itu?” bertanya
seseorang kepada Kiai Gringsing.
Kiai Gringsing
menganggukkan kepalanya. Jawabnya,
“Ya. Daerah
itulah yang telah diserahkan kepadaku dan anak-anakku. Karena itu, kami harus
bekerja kembali di tempat itu.”
“Selama ini
kau mendapat pengalaman yang pahit. Anakmu hampir saja menjadi korban. Apakah
kau tidak berpikir untuk mengurungkan saja niat itu?”
“Apakah aku
akan mendapat bagian tanah yang lain?”
“Tentu. Kalau
kau mengurungkan niatmu, kau dapat menggabungkan diri ke dalam salah satu
kelompok yang sudah ada. Tentu saja dengan persetujuan para petugas di hutan
ini. Tetapi aku kira mereka dapat mengerti kesulitan yang kau alami.” Orang itu
berhenti sejenak, lalu,
“Tidak ada
orang yang mau menerima bagian itu, meskipun sudah mulai dikerjakan. Mereka
yang sudah menebang pepohonan di bagian itu, telah meninggalkannya meskipun
mereka telah membuang banyak tenaga.”
Kiai Gringsing
menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian,
“Aku tidak
dapat melangkah surut. Aku sudah tidak dapat kembali lagi ke asalku karena
semua hak milikku telah aku jual.”
“Kau tidak
perlu kembali ke asalmu. Kau dapat menggabungkan diri dengan kelompok lain.
Atau, kau dapat pergi ke tempat yang sudah menjadi ramai. Kau dapat mencari
pekerjaan lain di sana.”
Tetapi Kiai
Gringsing menggeleng,
“Aku akan
tetap mengerjakan tanah itu. Aku yakin bahwa pada suatu saat, aku dan
anak-anakku tidak akan diganggu lagi. Kami akan segera berkenalan. Dan kami
akan mengatakan bahwa niat kami adalah baik.”
Orang itu menarik
nafas dalam-dalam. Katanya,
“Kau memang
keras hati. Tetapi terserahlah, semua itu tergantung kepadamu sendiri. Aku
sudah mencoba untuk memberimu peringatan. Orang yang tinggi itu pun akan
memperingatkan kau. Ia merasa bertanggung jawab atas kita sekalian di sini.”
“Siapakah
sebenarnya orang itu?”
“Seperti juga
aku, kau dan orang-orang lain. Orang itu pun seorang pendatang. Tetapi karena
ia mempunyai beberapa kelebihan dari kita masing-masing di sini, maka tanpa
persetujuan resmi, seakan-akan ia menjadi pemimpin kita di sini.”
“Ya. Aku pun
merasakannya. Dan orang itu pun sudah bertindak sebagai seorang pemimpin. Kalau
negeri ini menjadi ramai, maka ia akan dapat menjadi bebahu dari
pedukuhan-pedukuhan yang akan terbentuk.”
“Ya.”
“Dan yang
kekurus-kurusan itu?” bertanya Kiai Gringsing pula.
“Orang itu
termasuk orang yang cerdik. Ia mempunyai banyak akal dan pendapat. Karena itu,
ia segera mendapat tempat yang baik di samping orang yang tinggi kekar itu.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Ia sudah
mengerti bahwa orang yang tinggi kekar itu mempunyai beberapa kelebihan dan
orang yang kekurus-kurusan itu adalah orang yang cerdik meskipun licik. Tetapi
dari orang-orang yang sudah lama berada di tempat itu, ia sama sekali tidak
berhasil mendapat keterangan lebih banyak daripada itu.
“Aku harus
mendapatkan sumber yang lain untuk mengetahui latar belakang dari
perbuatan-perbuatan mereka yang aneh itu,” berkata Kiai Gringsing di dalam
hatinya.
Sementara itu,
Swandaru sudah benar-benar pulih kembali. Kepada para petugas Kiai Gringsing
berkata,
“Besok aku
akan melanjutkan kerja yang selama ini terhenti, bersama dengan anak-anakku.”
“Apakah anakmu
yang sakit itu sudah benar-benar sehat?” bertanya Wanakerti.
“Sudah, Tuan.
Ia sudah pulih kembali.”
Wanakerti
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia bertanya,
“Apakah kau
tidak mempunyai pikiran lain?”
“Maksud,
Tuan?”
“Misalnya,
mencari tanah garapan baru yang tidak berbahaya bagimu dan anak-anakmu.”
Kiai Gringsing
menarik nafas. Jawabnya,
“Aku akan
berhati-hati, Tuan. Aku dan anak-anakku sudah mulai. Sebaiknya kami
melanjutkannya.”
“Bagaimana
dengan sakit anakmu?”
“Ia sudah
sembuh.”
“Bukan itu.
Tetapi apakah kau sudah memikirkan sebab dari penyakit anakmu itu?”
“Seandainya
benar anakku telah dikutuk oleh hantu-hantu, maka kini ia pasti sudah mendapat
pengampunan, ternyata bahwa ia telah sembuh.”
“Tetapi kalau
kau mengulangi kesalahanmu yang lama?”
“Aku tidak
yakin, bahwa hal itulah yang dianggap sebagai suatu kesalahan.”
Wanakerti
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia pun berkata,
“Terserahlah
kepadamu.”
Para petugas
yang lain pun telah berusaha mencegah Kiai Gringsing agar ia memilih tanah
garapan yang baru. Salah seorang dari mereka berkata,
“Apakah kami
tidak dipersalahkan orang, kalau terjadi sesuatu atas kalian?”
“Kenapa?”
bertanya Kiai Gringsing.
“Tanah itu
adalah tanah yang wingit. Seolah-olah kami memang telah menjerumuskan kalian ke
tempat itu.”
Kiai Gringsing
menggelengkan kepalanya,
“Tidak. Itu
adalah tanggung jawab kami sendiri.”
“Tetapi bagi
mereka yang tidak mengetahui persoalan ini pasti akan menyangka bahwa kami
adalah orang-orang yang tidak berperikemanusiaan. Kami pasti dipersalahkan,
seandainya kami tidak dianggap menjerumuskan kalian, kenapa kami tidak
mencegahnya?”
“Terima kasih.
Tetapi justru karena semuanya itulah Tuan, maka tanah itu sangat menarik bagi
kami. Kami akan mengerjakannya dengan sebaik-baiknya, apa pun akibatnya.”
Para petugas
itu hanya saling berpandangan sejenak. Tetapi masih ada di antara mereka yang
merasa menyesal, bahwa mereka telah menempatkan orang tua itu bersama kedua
anaknya di tempat yang paling wingit. Tetapi Kiai Gringsing masih berkata,
“Tuan,
seandainya masih ada gangguan-gangguan atas kami yang bekerja di daerah ini,
maka kami sekarang sudah mempunyai kawan yang mempunyai kekuasaan yang serupa
dengan mereka.”
“Siapa?”
“Mereka yang
datang dari Gunung Merapi itu. Salah satu dari mereka bernama Kiai Dandang
Wesi.”
Para petugas
itu mengerutkan keningnya, kemudian hampir bersamaan mereka
mengangguk-anggukkan kepala mereka.
“Kami sudah
mendengar pula ceritera tentang Kiai Dandang Wesi. Tetapi kami masih belum
dapat meyakinkan seperti kami meyakini adanya hantu-hantu dari Alas Mentaok ini
sendiri.”
“Aku sendiri
pernah melihat,” sahut Agung Sedayu,
“Kiai Dandang
Wesi ada di pihak kami. Menurut Kiai Dandang Wesi, semua yang kasat mata
manusia, memang diperuntukkan bagi manusia wadag seperti kita, karena kita
memang tidak tahu dan tidak melihat mereka, sehingga karena itu, yang adil,
merekalah yang menyesuaikan diri mereka. Bukan kita.”
Para penjaga
itu mengangguk-angguk. Wanakerti-lah yang kemudian berkata,
“Kalau kau
memang sudah yakin, terserahlah. Kami berdoa, mudah-mudahan kalian tidak
mendapat gangguan apa pun juga.”
“Terima
kasih.”
Demikianlah,
maka Kiai Gringsing dan kedua muridnya pun segera mulai mengerjakan tanah
garapan mereka kembali. Setelah sekian lama mereka tinggalkan, maka alang-alang
yang sudah dibersihkannya tampak mulai tumbuh kembali di beberapa bagian.
“Kemarilah,”
desis Kiai Gringsing kepada kedua muridnya.
Kedua muridnya
pun segera mendekat.
“Kalian memang
harus berhati-hati. Kita tidak tahu pasti, siapakah sebenarnya yang kita
hadapi. Bukan karena kita menolak suatu kepercayaan tentang hantu-hantu yang
mungkin ada, tetapi kita pun harus memperhitungkan kenyataan yang selama ini
terjadi atas kita.”
“Maksud Guru?”
“Ternyata kita
berada di dalam lingkungan orang-orang yang mengerti benar tentang racun.
Agaknya di sini racun merupakan senjata yang paling baik untuk segala macam
tujuan, Swandaru yang pernah mengalaminya. Ketika seseorang di sini mendekapnya
dengan ketakutan, dan seolah-olah orang itu terluka parah, agaknya orang itu
sudah menyentuh tubuh Swandaru dengan duri-duri beracun.”
“Ya,
bagaimanakah sebenarnya dengan orang itu? Dan kemanakah ia pergi? Apakah
benar-benar ia hilang seperti yang kita sangka?”
“Orang itu
sama sekali tidak apa-apa. Tidak terluka dan tidak ketakutan. Itu adalah suatu
cara agar ia dapat menyentuh salah seorang dari kita.”
“Lalu?”
“Ia pun tidak
hilang dibawa hantu yang mana pun juga. Orang itu telah pergi sendiri selagi
kita sibuk mencari sumber bunyi yang telah mengejutkan kita itu.”
Kedua muridnya
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tetapi darah
itu?” bertanya Swandaru.
“Aku sudah
meyakinkannya, bahwa yang serupa dengan darah itu sama sekali bukan darah.”
Agung Sedayu
dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepala mereka.
“Kemudian,
kita singgah ke rumah dukun itu. Ia mengerti tentang racun dengan baik. Obat
yang diberikannya dan yang kemudian aku bawa kepada dukun yang lain yang
ternyata bernama Kiai Damar, memang obat pemunah racun.” Kiai Gringsing terdiam
sejenak, lalu,
“Dan ternyata
pula orang-orang yang memahami tentang racun. Air yang diberikan kepada
Swandaru ketika kau tinggalkan, ternyata berisi racun yang telah diperhitungkan
dengan tepat.”
Kedua
murid-muridnya masih mengangguk-anggukkan kepala.
“Jadi,
hati-hatilah. Jangan mudah dijebak lagi dengan cara apa pun. Aku yakin bahwa
semua itu sama sekali bukan perbuatan hantu-hantu.”
“Tetapi
bagaimana dengan suara gemerincing di malam hari itu?”
“Kita masih
harus meyakinkan. Tetapi setiap orang dapat berbuat serupa itu.”
“Dan sinar
yang berkeredipan?” bertanya Agung Sedayu.
“Memang masih
banyak hal-hal yang harus kita ketahui, Agung Sedayu. Seandainya benar ada
hantu di Alas Mentaok, namun ada juga orang-orang yang telah memanfaatkannya
untuk kepentingan diri mereka sendiri.”
“Apakah tujuan
mereka, Guru?”
Kiai Gringsing
menggelengkan kepalanya,
“Aku tidak
tahu dengan pasti. Kita masih berhadapan dengan rahasia yang besar seperti
rahasia yang tersimpan di dalam Alas Mentaok ini sendiri.”
Demikianlah,
maka Kiai Gringsing dan kedua muridnya bekerja dengan hati-hati. Mereka
menyadari bahwa di sekitar mereka terdapat beberapa orang yang sedang
bermain-main dengan segala macam cara. Dan yang paling berbahaya adalah racun. Karena
itulah, maka diam-diam Kiai Gringsing telah membuat obat-obat yang dapat
menahan serangan racun untuk sementara. Kedua muridnya itu pun telah diberinya
butiran-butiran itu untuk selalu dibawa kemana mereka pergi. Kalau mereka
merasa diri mereka tersentuh racun itu tidak berkembang di dalam tubuhnya,
mereka harus makan obat itu, sebutir. Di hari yang pertama, Kiai Gringsing dan
kedua muridnya hanyalah sekedar melihat-lihat tanah garapan yang telah
ditinggalkan untuk beberapa lama. Namun justru mereka menjadi semakin bernafsu
untuk melakukan kerja itu, agar mereka dapat membuktikan, bahwa tanah ini
memang dapat dibuka untuk dijadikan tanah garapan. Namun kerja yang dimulainya
kembali itu telah membuat beberapa orang menjadi tidak senang karenanya.
Terutama orang yang tinggi kekar dan yang kekurus-kurusan. Ketika Kiai
Gringsing dan kedua anak-anaknya kembali dari tanah garapannya, maka orang yang
tinggi itu mendapatkannya sambil bertolak pinggang,
“Kau memang
ingin membuat keributan di sini, he?”
“Kenapa?”
bertanya Kiai Gringsing.
“Kau mulai
lagi kerja itu meskipun semua pihak sudah mencoba mencegahnya. Bahkan para
petugas.”
“Aku sudah
memberikan alasanku. Dan para petugas itu akhirnya menyerahkan segala tanggung
jawab kepadaku.”
“Tetapi itu
tidak mungkin. Kau di sini tidak berdiri sendiri. Kau merupakan bagian dari
kami semua yang ada di sini.”
“Berilah kami
kesempatan. Kami akan mencoba untuk melakukan kerja yang mungkin akan
bermanfaat bagi kita. Kalau aku berhasil maka tanah garapan yang terbuka akan
menjadi semakin luas. Kelompok-kelompok dapat membagi diri untuk mengerjakan tanah
yang lebih luas.”
“Gila. Aku
tidak setuju dengan pikiran itu. Sudah aku katakan berapa puluh kali, bahwa
akibat yang timbul dari sifatmu yang keras kepala itu akan menimpa kita semua.”
“Aku akan
mempertanggung jawabkan sendiri. Biar sajalah seandainya anakku atau aku
sendiri menjadi banten. Tetapi aku benar-benar berniat baik,” suara Kiai
Gringsing menurun.
“Sebenarnya
kalian pun jangan takut. Kiai Dandang Wesi selalu akan berada di pihak kita.
Aku sudah bertemu dengan hantu yang bernama Kiai Dandang Wesi itu.”
“Bohong!”
“Percayalah.
Ia akan menjaga aku di tempat kerjaku itu. Tanah garapan itu sekarang sama
sekali sudah tidak wingit lagi, justru karena ada penghuninya yang baru.”
“Persetan.
Tetapi kalau terjadi bencana atas kita sekalian, kaulah yang akan menjadi
sasaran kemarahan orang-orang yang berada di dalam barak ini.”
Kiai Gringsing
tidak menjawab. Tetapi ancaman itu pasti bukan sekedar main-main. Orang-orang
yang tinggi itu pasti akan berusaha menghasut orang-orang di dalam barak ini
agar mereka berbuat sesuatu terhadap mereka. Kiai Gringsing hanya dapat
memandangi saja ketika orang yang tinggi kekar itu meninggalkannya, sambil
bersungut-sungut.
“Apakah pada
suatu saat kita akan berbuat sesuatu atasnya?” bertanya Swandaru yang hampir
kehilangan kesabaran.
“Biar sajalah.
Kita akan melihat, apa saja yang akan dilakukannya.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tampak dari sorot matanya bahwa kebencian
yang dalam terhadap orang yang tinggi itu hampir-hampir sudah tidak tertahankan
lagi. Ketika pinggiran hutan itu menjadi kelam, maka orang-orang yang tinggal
di dalam barak itu pun sudah menempati tempatnya masing-masing. Selain badan
yang lelah, mereka juga selalu dibayangi oleh ketakutan dan kecemasan. Seseorang
yang masih muda berbaring beberapa jengkal dari Swandaru yang masih duduk
bersandar dinding. Sekali-sekali ia mengerutkan keningnya, kalau angan-angannya
menyentuh orang yang tinggi kekar itu.
“Apakah kalian
sama sekali tidak mengenal takut dan cemas,” tiba-tiba orang yang masih muda itu
bertanya.
Swandaru
berpaling ke arahnya. Tetapi ia tidak segera menyahut. Ditatapnya wajah gurunya
sejenak, seolah-olah ia ingin mendapat pertimbangan daripadanya. Tetapi
ternyata Kiai Gringsing tidak sedang memperhatikannya. Orang tua itu duduk pula
sambil memejamkan matanya di samping Agung Sedayu yang sedang memijit-mijit
kakinya.
“Begitu?”
orang itu mendesak.
Swandaru yang
agak bingung itu menggelengkan kepalanya,
“Tentu tidak.
Kami juga mengenal takut.”
“Tetapi kenapa
kalian teruskan pekerjaan itu?”
“Kami
mempunyai pelindung, hantu dari Gunung Merapi itu.”
Orang itu
terdiam sejenak. Dipandanginya anyaman ilalang yang mengatapi barak bambu itu.
“Kau sendiri?”
Swandaru yang bertanya.
Orang itu
menggeleng,
“Isteri dan
seorang anakku berada di barak yang lain. Tempat menampung perempuan dan
anak-anak itu.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku dahulu
membayangkan, bahwa aku akan mendapat sebidang tanah garapan yang hijau. Sebuah
rumah yang mungil, dengan pekarangan yang ditanami dengan pohon buah-buahan.
Dibatasi oleh sebuah pagar batu setinggi dada. Regol yang rendah dan berdaun
pintu,” gumam orang itu.
“Pada saatnya
akan kau dapatkan.”
“Ya. Tetapi
kapan? Kami bekerja di dalam kelompok-kelompok. Hasil yang kami dapatkan
sebenarnya terlampau kecil bagi kami sekelompok.”
“Tetapi
kelompok itu akan mengerjakan tanah garapan yang lain, sehingga kalian akan
mendapatkan bagian yang lain pula.”
“Tetapi kami
selalu dibayangi oleh ketakutan.”
“Kelompok-kelompok
itu bukan sekedar untuk mengatasi ketakutan. Bukankah kalian tidak akan dapat
bekerja sendiri-sendiri menghadapi tantangan hutan yang begitu lebat?
Pohon-pohon yang tinggi dan besar. Gerumbul-gerumbul yang penuh dengan
tanaman-tanaman menjalar dan berduri?”
Orang itu
mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak berkata sesuatu. Matanya kembali menatap
atap yang terbuat dari anyaman ilalang. Swandaru pun kemudian terdiam. Ia
melihat kekecewaan membayang di wajah orang yang berbaring itu.
“Kenyataan
yang dihadapinya, jauh dari gambaran yang diangan-angankannya sebelumnya,”
desis Swandaru di dalam hatinya.
Dan tiba-tiba
saja ia ingin mendapat beberapa keterangan lagi, sehingga Swandaru itu
bertanya,
“Apakah sejak
kau datang ke tempat ini, orang-orang di sini juga sudah dibayangi oleh
ketakutan?”
Tetapi yang
menjawab adalah orang lain yang berbaring di sampingnya,
“Tidak. Tidak
seperti sekarang ini.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya, sedang Kiai Gringsing yang memejamkan matanya
pun kemudian terbelalak sambil mengerutkan keningnya. Namun sejenak kemudian
mata itu pun telah terpejam pula.
“Bagaimanakah
keadaan di daerah ini dahulu?” bertanya Swandaru pula.
“Kami bekerja
dengan tenang. Daerah yang sudah dapat dijadikan pedukuhan itu pun menjadi kian
ramai. Namun pada suatu saat mulailah wabah itu.”
“Wabah?”
“Wabah
ketakutan. Perlahan-lahan tetapi pasti telah mencengkam kami seluruhnya. Mereka
yang memasuki daerah yang semakin dalam harus menarik diri dan mengurungkan
niatnya, sehingga apa yang kami kerjakan kini sangat terbatas. Sebagian
orang-orang yang bekerja di sini telah pergi. Ada yang semakin memenuhi
tempat-tempat yang telah ramai itu, tetapi ada juga yang sama sekali
mengurungkan niatnya untuk tinggal di daerah Tanah Mataram ini.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia sudah tidak bertanya lagi. Ruangan di
dalam barak itu semakin lama menjadi semakin sepi. Sebagian dari mereka yang
berbaring di dalamnya sudah tertidur dengan nyenyaknya, sedang sebagian yang
lain menyelimuti dirinya dengan kainnya sampai menutup kepalanya. Swandaru dan
Agung Sedayu pun kemudian berbaring pula, sedang Kiai Gringsing tidur sambil
duduk bersandar dinding tepat di sudut barak. Beberapa orang yang belum
tertidur berpaling serentak ketika mereka mendengar seseorang mendehem di muka
pintu. Ternyata orang yang bertubuh kekar itulah yang baru melangkahi tlundak
pintu. Sejenak ia menebarkan tatapan matanya berkeliling. Kemudian ia pun
berbaring pula di depan pintu yang masih separo terbuka. Agung Sedayu,
Swandaru, dan gurunya melihat juga orang itu masuk ruangan. Sejenak mereka
saling berpandangan. Namun mereka pun kemudian tidak menghiraukannya lagi. Demikianlah
maka malam pun menjadi semakin malam. Sebagian besar dari mereka yang berbaring
di dalam barak itu telah tertidur. Beberapa orang bahkan telah mendengkur,
seolah-olah mereka sama sekali tidak sedang diganggu oleh kecemasan dan
ketakutan. Di luar barak, suara cengkerik masih terdengar berderik
berkepanjangan sahut menyahut. Angin malam yang dingin berhembus di sela-sela
dedaunan yang basah oleh embun. Agung Sedayu dan Swandaru pun telah memejamkan
matanya. Antara sadar dan tidak sadar mereka masih mendengar sekali-sekali
suara burung tuhu di kejauhan. Tetapi selagi keheningan malam mencengkam barak
yang sudah mulai lelap itu, beberapa orang telah dikejutkan oleh suara yang
aneh. Seperti suara bayi yang merengek, namun kemudian berubah seperti suara
kucing yang melolong-lolong. Semakin lama semakin keras mendekati barak yang
dengan tiba-tiba telah dicengkam oleh ketakutan yang dahsyat. Semua orang yang
ada di dalam dan apalagi di serambi barak, telah menutup telinga mereka dengan
telapak tangan. Menutup seluruh tubuh dengan selimut mereka. Tetapi berbeda
dengan mereka itu, Kiai Gringsing justru mencoba mendengarkan suara itu dengan
saksama. Agung Sedayu dan Swandaru pun telah terbangun dan sadar sepenuhnya
atas apa yang didengarnya. Tetapi ketika mereka akan bangkit, Kiai Gringsing
memberikan isyarat agar mereka tetap berbaring di tempatnya. Suara itu semakin
lama menjadi semakin jelas terdengar. Namun pada suatu saat, sumber bunyi itu
sudah tidak menjadi semakin dekat, tetapi justru berputar-putar mengelilingi
barak itu. Belum lagi ketakutan yang mencengkam itu mereda, seisi barak itu
telah dikejutkan oleh suara beberapa benda yang jatuh di atas atap barak itu,
yang kemudian berguling jatuh di tanah di sekitarnya. Agaknya barak itu telah
dilempari dengan batu meskipun tidak terlampau besar. Bahkan batu-batu yang
terjatuh di anyaman ilalang yang kurang kuat, telah menembus atap dan jatuh ke
dalam barak. Tiga buah batu telah jatuh ke dalam barak menimpa orang yang
sedang berbaring ketakutan. Untunglah batu-batu itu tidak terlampau besar,
sehingga meskipun terasa juga sakit, namun sama sekali tidak berbahaya.
Kiai Gringsing
hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Orang yang bertubuh, kekar itu berbaring
di depan pintu. Seandainya tidak, ia akan, dapat berbuat sesuatu. Lemparan-lemparan
batu itu merupakan sesuatu yang baru bagi barak itu. Biasanya seisi barak itu
hanya ditakutkan oleh bunyi yang asing bagi mereka. Satu dua orang memang
pernah melihat bentuk dan ujud yang mengerikan di dalam gelap. Tetapi belum
pernah terjadi, barak mereka dilempari dengan batu-batu. Sejenak kemudian maka
suara yang mengitari barak itu pun menjadi semakin lama semakin jauh. Di
saat-saat terakhir suara itu telah berubah lagi menjadi bunyi-bunyi yang belum
pernah didengar. Tinggi melengking-lengking kemudian turun merendah dan
akhirnya hilang sama sekali. Beberapa saat lamanya tidak seorang pun yang
berani bergerak. Yang berkerudung kain panjang, masih tetap berkerudung kain.
Yang menutup telinganya dengan telapak tangannya, masih juga menutup
telinganya. Bahkan yang tertimpa batu pun sama sekali tidak berani beringsut
dari tempatnya. Meskipun terasa juga sakit, namun menyeringai pun mereka tidak
berani. Baru, ketika orang-orang di dalam barak itu yakin, bahwa suara itu
sudah lenyap, mereka berani beringsut sedikit untuk menarik nafas dalam-dalam. Yang
pertama-tama bangkit perlahan-lahan adalah orang yang tinggi kekar itu.
Ditebarkannya pandangan matanya ke sekelilingnya. Ketika ia melihat Kiai
Gringsing bersandar dinding ia mengerutkan keningnya,
“Sejak tadi
kau bersandar dinding?”
Kiai Gringsing
mengangguk, “Ya, sejak tadi.”
Orang yang
tinggi kekar itu memandangnya dengan, kerut kening yang tegang. Dengan sorot
mata yang aneh ia pun kemudian berdiri dan berjalan selangkah demi selangkah
mendekati Kiai Gringsing.
“Kenapa kau
tetap duduk saja di tempatmu? Kau sudah menghina hantu-hantu itu. Itulah
agaknya mereka menjadi marah dan melempari barak ini dengan batu?”
“Kenapa aku
telah menghina mereka?”
“Kau terlampau
sombong. Kau bersikap menantang.”
“Tidak. Aku
sama sekali tidak bersikap menantang. Kau melihat sendiri, bahwa sejak sore aku
tidur sambil bersandar dinding karena tikar kami telah dipenuhi oleh kedua
anak-anakku.”
“Kenapa kau
pertahankan sikap itu?”
“Bukan
maksudku. Ketika aku terbangun karena suara-suara itu, aku menjadi seakan-akan
membeku. Aku tidak dapat menggerakkan ujung jariku, apalagi tubuhku. Sebenarnya
aku ingin menjatuhkan diri di antara anak-anakku. Tetapi aku tidak dapat
bergerak sama sekali.”
Orang yang
tinggi kekar itu mengerutkan keningnya. Dilihatnya beberapa orang telah bangkit
dan duduk di tempat masing-masing. Orang yang terkena batu pun telah berani
mengusap bagian tubuh mereka yang masih terasa sakit. Bahkan salah seorang dari
mereka, telah terkena kepalanya.
“O, kita sudah
berbuat banyak sekali kesalahan,” terdengar suara di muka pintu. Ketika
orang-orang yang ada di dalam barak itu berpaling, dilihatnya orang yang
kekurus-kurusan itu berdiri gemetar.
“Di mana kau
selama ini?” bertanya salah seorang.
“Aku hampir
mati membeku.”
“Di mana kau,
he?” orang yang tinggi kekar itu membentak.
“Aku berada di
luar. Aku tidak dapat menahan lagi untuk membuang air. Tetapi di halaman yang
terlindung itu, aku menjadi seperti orang lumpuh. Aku terduduk tanpa dapat
bergerak sama sekali.”
“Lalu?”
“Aku melihat
hantu itu lewat.”
“O,” hampir
bersamaan beberapa orang berdesis.
“Benar-benar
mengerikan. Kali ini yang lewat tidak hanya sesosok hantu, tetapi tiga.”
“Tiga?”
serentak terdengar beberapa pertanyaan.
“Ya, tiga.”
“Dalam bentuk
apa saja?”
“Yang sesosok
tinggi. Yang dua tidak begitu tinggi. Hampir setinggi manusia biasa. Tetapi aku
tidak berani menatap wajah mereka yang mengerikan itu. Merah dan bergigi
panjang. Selebihnya aku tidak tahu. Tetapi yang pasti salah seorang dari mereka
berambut ular dan yang satu lagi berkepala tengkorak.”
“Mengerikan sekali.”
“Aku hampir
pingsan karenanya. Hantu itu lewat beberapa langkah di dekatku. Satu di antara
mereka berhenti. Tetapi kemudian aku ditinggalkannya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar