Agung Sedayu menundukkan kepalanya.
“Salah paham
yang timbul pada anak-anak muda Sangkal Putung waktu itu, hampir saja membawa
kesulitan yang dalam bagimu.”
Agung Sedayu
tersenyum. Dipandanginya wajah pamannya sejenak, lalu katanya,
“Memang lucu
sekali, Paman.”
“Kau mereka
anggap sebagai seorang pahlawan. Tidak ada seorang pun yang berani melintasi
jalan ke Sangkal Putung seorang diri seperti yang kau lakukan. Aku pun tidak.
Dan barangkali, kau yang sudah berkembang sekarang ini, tidak akan mencoba
melakukannya lagi seandainya kau menghadapi saat yang sama.”
Agung Sedayu
tertawa. Tetapi ia menjawab,
“Tetapi Kakang
Untara akan melakukannya saat itu. Padahal Kakang Untara pasti tahu apa yang
sebenarnya terjadi. Apalagi ia seorang senapati. Jarak itu akan ditempuh tanpa
pengawalan sama sekali.”
Widura menarik
nafas dalam-dalam. Kepalanya terangguk-angguk kecil. Katanya kemudian,
“Untara adalah
seorang anak muda yang luar biasa. Ia memang agak lain dari anak-anak muda pada
umumnya. Selain ilmunya yang cukup, dan ternyata ia mampu mengalahkan Tohpati,
juga ia memiliki keberanian yang luar biasa. Saat itu ia merasa bertanggung
jawab atas keselamatan pasukan Pajang yang ada di Sangkal Putung, sehingga
meskipun ia dapat berbuat lain, tetapi jalan yang paling baik ditempuh adalah
menghubungi aku di Sangkal Putung. Ia tidak sempat memanggil
pengawal-pengawalnya, karena waktunya tinggal semalam. Namun ternyata, bahwa
kaulah yang berhasil menyampaikannya berita itu kepadaku, tepat pada waktunya.
Kalau kau terlambat, maka aku kira jalan peperangan di daerah Selatan itu akan
menjadi berbeda.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tiba-tiba saja terasa bulu-bulunya
meremang. Peperangan di Sangkal Putung memang menumbuhkan kenangan yang khusus
di dalam dirinya. Ngeri, lucu, dan mendebarkan. Terlebih-lebih dari itu, ia
telah tersangkut pula pada seorang gadis Sangkal Putung yang bernama Sekar Mirah.
Tiba-tiba saja dadanya menjadi berdebar-debar. Seperti kakaknya, maka persoalan
itu pasti akan ditangani oleh pamannya. Ia tidak mempunyai ayah dan ibu lagi.
Sudah tentu, semuanya akan terserah kepada Widura dan Untara. Tetapi Agung
Sedayu masih belum dapat mengatakannya. Meskipun demikian, ia dapat juga
bertanya tentang hari-hari perkawinan Untara yang akan diselenggarakan bulan
depan.
Widura
tertawa. Jawabnya,
“Memang sudah
waktunya bagi Untara. Umurnya sudah lebih dari cukup. Jabatannya baik dan agar
ia tidak terlalu kaku, ia memerlukan seorang isteri yang sabar dan mengerti
akan tugasnya sebagai seorang prajurit.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Bakal
isterinya adalah seorang gadis yang baik. Memang agak berbeda dengan Sekar
Mirah yang lincah dan gembira. Isteri Untara adalah seorang gadis pendiam.
Namun mudah-mudahan gadis itu akan dapat memberikan arti bagi hidup Untara yang
kering dan agak kaku. Ia seakan-akan menenggelamkan diri di dalam kebekuan
ketentuan seorang prajurit, sehingga dirinya sebagai seseorang di antara
kehidupan yang luas agak menjadi janggal karenanya.”
Agung Sedayu
masih mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kalau Untara
sudah kawin, maka jalan bagimu akan menjadi terbuka semakin lebar. Tidak ada
lagi keseganan apa pun, apabila pada suatu saat, kau harus menginjakkan kakimu
ke jenjang perkawinan.”
“Tetapi aku
masih seorang petualang, Paman. Aku belum mempunyai pegangan untuk hidup kelak.
Berbeda dengan Kakang Untara.”
“Apakah yang
harus menjadi pegangan? Maksudmu, kau belum memegang suatu jabatan apa pun?”
“Ya, Paman.”
Widura menarik
nafas dalam-dalam. Katanya,
“Kau adalah
calon prajurit yang baik, Sedayu. Kau akan dapat menjadi seorang prajurit, yang
tidak usah mulai dari bawah sekali. Kalau kau mau, kau akan dapat kesempatan.
Bukan karena kau adik Untara, tetapi karena kau memiliki kemampuan. Kau dapat
menempuh pendadaran untuk langsung menjadi seorang lurah prajurit. Meskipun
mula-mula kau akan memimpin suatu kelompok kecil, namun dalam waktu singkat kau
akan menanjak.”
Agung Sedayu
mengerutkan keningnya. Tiba-tiba saja kepalanya menunduk. Katanya,
“Itulah yang
merisaukan hatiku, Paman.”
“Kenapa?”
“Kakang Untara
memang ingin aku menjadi seorang prajurit. Agaknya Paman juga menginginkan aku
menjadi seorang prajurit.”
Widura tidak
segera menyahut.
“Tetapi
sayang, Paman. Untuk saat ini, aku masih belum ingin memasuki bidang
keprajuritan.”
Widura menjadi
heran mendengar jawaban itu, sehingga sambil mengerutkan dahinya ia bertanya,
“Kenapa
Sedayu? Apakah kau sama sekali tidak membayangkan pengabdian lewat tugas
seorang prajurit?”
“Tentu juga
terbayang pengabdian yang dapat aku berikan kepada negeri ini, Paman. Tetapi
tidak dalam saat yang singkat. Dan bukankah aku masih mempunyai kesempatan
untuk mengabdi lewat banyak saluran?”
Widura
mengangguk-angguk. Jawabnya,
“Ya, ya. Kau
dapat memilih bidang pengabdianmu sendiri. Tetapi apakah keberatanmu untuk
menjadi seorang prajurit? Di dalam masa-masa yang buram ini, tenagamu sangat
diperlukan oleh Pajang.”
Agung Sedayu
tidak dapat segera menjawab. Tetapi Hatinya menjadi semakin berdebar-debar.
Ternyata pamannya juga menginginkannya menjadi seorang prajurit. Namun
tiba-tiba tanpa disadarinya sendiri, tiba-tiba saja Agung Sedayu bertanya,
“Kenapa Paman
mengundurkan diri dan keprajuritan?”
Widura
terkejut mendengar pertanyaan itu. Namun kemudian ia tersenyum sambil menjawab,
“Aku sudah
terlalu tua.”
“Aku melihat
seorang perwira yang lebih tua dari Paman.”
“Tetapi sudah
tentu waktu pengabdianku lebih panjang daripadanya. Mungkin ia memasuki lapangan
keprajuritan setelah ia berumur jauh lebih tua dari saat-saat aku memasuki
tugas itu.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang jawaban itu mungkin sekali terjadi. Namun
Agung Sedayu masih bertanya,
“Tetapi Paman,
bukankah saat-saat ini Pajang memerlukan prajurit yang cukup berpengalaman,
seperti kata Paman sendiri, suasananya kini sedang buram. Bukankah begitu,
Paman?”
Widura pun
mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Jawabnya,
“Ya. Mungkin
tenaga paman memang masih dibutuhkan.” Widura tidak melanjutkannya. Namun
terasa sesuatu agaknya tersangkut di hatinya.
Agung Sedayu
mengerutkan keningnya, ia menunggu pamannya mengatakan sesuatu, tetapi Widura
justru hanya menarik nafasnya dalam-dalam. Tetapi ia tidak meneruskan
kata-katanya. Karena itu maka sejenak mereka terdiam. Seakan-akan mereka
kehabisan bahan untuk berbicara. Namun untuk mengatasi kebekuan itu, tiba-tiba
saja Widura berkata,
“Agung Sedayu.
Tunggulah sejenak. Aku harus menangkap seekor ayam yang paling besar, untuk
menjamumu hari ini. Kau akan makan di sini siang ini.”
Tetapi Agung
Sedayu berkata cepat-cepat,
“Paman, Kakang
Untara berpesan kepadaku, agar aku segera kembali. Kakang Untara menunggu aku
makan siang ini bersama para perwira yang tinggal di rumah kami.”
“Benar
begitu?”
“Benar, Paman.
Aku mengucapkan terima kasih atas sambutan Paman. Tetapi maaf, aku tidak akan
membuat Kakang Untara kecewa.”
Widura
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Kamilah yang
kecewa. Kalau begitu nanti malam kau harus makan di sini.”
Agung Sedayu
mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak dapat menyimpannya lebih lama lagi,
sehingga ia pun menjawab,
“Nanti sore
aku harus kembali ke Sangkal Putung.”
“He, kembali
ke Sangkal Putung? Bukankah kau anak Jati Anom?”
“Ya, Paman,
tetapi aku sudah berjanji kepada Ki Demang dan kepada Adi Swandaru, bahwa nanti
sebelum senja aku harus sudah berada di Sangkal Putung.”
“Ah, tentu
mereka minta kau kembali. Seandainya itu tidak bersungguh-sungguh, maka mereka
pasti akan sekedar mengatakannya untuk memenuhi adat pergaulan. Tentu mereka
tidak akan mengatakan kepadamu, agar kau tidak usah kembali saja.”
“Bukan, Paman.
Bukan karena itu. Anak-anak muda Sangkal Putung nanti senja akan berkumpul
menyambut kedatangan kami. Aku dan Swandaru. Mereka menganggap aku sebagai
keluarga mereka, karena aku pernah tinggal di Sangkal Putung untuk beberapa
lama.”
“Ya. Mungkin
begitu. Mungkin kau masih tetap mereka anggap sebagai pahlawan. Tanpa kau,
Sangkal Putung mungkin tidak akan mengalami masa-masa sebaik sekarang.”
“Tetapi
keakraban, kekeluargaanlah yang agaknya mendorong mereka menyambut
kedatanganku.”
Widura
mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Namun ia berdesis,
“Sejak
kanak-kanak, kau berada di Jati Anom dan Banyu Asri. Tetapi tidak seorang pun
yang menyambut kedatanganmu seperti anak-anak muda Sangkal Putung. Aku tidak
tahu, kenapa kau lebih dekat dengan Sangkal Putung dari Jati Anom dan Banyu
Asri. Mungkin karena kau berada di Sangkal Putung dalam keadaan yang gawat,
sehingga anak-anak mudanya merasa senasib dengan kau, atau karena kau seorang
pahlawan. Tetapi demikianlah agaknya.”
Tiba-tiba saja
terkilas di angan-angan Agung Sedayu, sikap anak-anak muda Sangkal Putung yang
sesungguhnya. Sebenarnya mereka pun sama sekali tidak ingin menyambut
kedatangannya. Kedatangan Agung Sedayu. Tetapi yang telah menggerakkan
anak-anak muda Sangkal Putung sebenarnya adalah kedatangan Swandaru. Putera
Demang Sangkal Putung itu pun pasti tidak akan berbuat apa-apa. Seperti juga
anak-anak Jati Anom dan Banyu Asri. Mereka hanya akan menyambutnya sebagai
kawan yang sudah lama tidak bertemu di sepanjang jalan atau di simpang-simpang
tiga apabila berpapasan. Tiba-tiba saja kepala Agung Sedayu justru tertunduk.
Ia merasa, bahwa seolah-olah ia justru terlepas dari akarnya. Ia bukan lagi
anak Jati Anom, tetapi juga bukan anak Sangkal Putung.
“Jadi,”
Berkata Widura kemudian,
“kau akan
kembali ke Sangkal Putung hari ini?”
Begitu saja
terloncat jawabnya, “Ya, Paman.”
“Dan kau sudah
mengatakan kepada Untara?”
Agung Sedayu
menggeleng,
“Belum, Paman.
Aku belum dapat mengatakannya.”
“Kalau begitu,
Untara pasti menyangka, bahwa kau kini telah kembali. Pulang ke rumah sendiri.”
“Mungkin
Kakang Untara berpendapat demikian, Paman. Dan itulah yang membuat aku bingung.
Bagaimana aku kembali ke Sangkal Putung hari ini. Besok atau lusa, aku akan
kembali lagi kemari.”
Tiba-tiba
Widura tersenyum. Katanya,
“Tetapi aku
tidak dapat menahanmu. Juga sebaiknya Untara tidak. Aku kira bukan sambutan
anak-anak muda Sangkal Putung itulah yang penting bagimu.”
Wajah Agung
Sedayu menjadi merah sekilas. Sambil menundukkan kepalanya, ia berdesis,
“Mungkin juga
begitu, Paman.”
“Aku dapat
mengerti, Sedayu. Tetapi barangkali berbeda dengan kakakmu. Ia merasa lebih
berhak berbuat atasmu, karena kebiasaannya sebagai seorang kakak terhadap
adiknya. Mungkin ia akan melarang kau pergi ke Sangkal Putung hari ini.”
“Tetapi aku
sudah berjanji untuk kembali.”
“Tentu tidak
akan ada akibat apa-apa, seandainya kau menundanya sampai besok. Asal kau
benar-benar kembali. Kau tidak akan secepat itu kehilangan.”
“Tetapi ……,”
Agung Sedayu menjadi semakin tunduk.
“Tentu
orang-orang Sangkal Putung mengetahui, bahwa kau kembali ke kampung halaman.
Bertemu dengan sanak saudara. Tentu kau tidak akan dapat secepat itu kembali.”
Agung Sedayu
tiba-tiba menjadi berdebar-debar. Yang terbayang kemudian justru wajah Sekar
Mirah yang memberengut. Wajah Swandaru yang kecewa, dan anak-anak muda Sangkal
Putung yang berkelakar sambil mengunyah daging kambing.
“Mungkin
anak-anak Sangkal Putung itu tidak menghiraukan kehadiranku. Tetapi bagaimana
dengan Sekar Mirah dan Swandaru?” persoalan itulah yang kemudian selalu
mengganggunya, sehingga untuk sesaat ia merenung.
Tetapi Widura
justru tertawa melihat wajah Agung Sedayu yang menegang serta keningnya yang
berkerut. Katanya,
“Jangan risau.
Kalau kau berkata berterus-terang, maka Untara akan mengerti. Aku mengharap
Untara sekarang sudah lain. Ia sekarang mulai mengenal seorang gadis dan mulai
mempelajari watak-wataknya.”
Agung Sedayu
memandang wajah pamannya sejenak, namun kemudian ia pun tersenyum.
“Mudah-mudahan
Kakang Untara mengerti,” desisnya. Lalu, “memang aku melihat perbedaan sikap
Kakang Untara sekarang. Aku menyangka, bahwa Kakang Untara akan menyambutku
dengan sikap yang dingin, dan bahkan marah karena aku terlampau lama pergi,
apalagi aku kembali ke Sangkal Putung lebih dahulu. Tetapi ternyata Kakang
Untara tidak berbuat demikian. Ia menerima aku dengan ramah, meskipun ia tahu,
bahwa aku baru saja bertengkar dengan prajuritnya.”
“He,”
Widura-lah yang terkejut,
“kau sudah
mulai bertengkar?”
Agung Sedayu
menganggukkan kepalanya.
“Ya, Paman.
Aku terpaksa bertengkar.”
“Kenapa?”
Agung Sedayu
pun segera menceriterakan dengan singkat apa yang telah terjadi kepada
pamannya. Bahwa ia tidak dapat mengelak sama sekali pertengkaran yang telah
dipaksakan kepadanya itu. Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Itu memang
membuat setiap perwira Pajang menjadi prihatin. Tetapi ada juga baiknya mereka
bertemu dengan kau.”
“Ya, Paman.
Kakang Untara juga berkata demikian. Tetapi seorang perwira yang lain agaknya
bersikap lain pula.”
“Siapa?
“Ranajaya,”
jawab Agung Sedayu.
“Mungkin ia
tidak senang karena kedatanganku ditandai dengan pertengkaran dengan prajurit
yang kebetulan adalah bawahannya. Tetapi mungkin juga karena aku datang dari
Mataram, seperti yang dikatakan Kakang Untara.”
“Ranajaya,”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya, “ia memang mempunyai sikap yang aneh. Ia
merasa dirinya terlampau penting di dalam pasukan Untara. Dan anak itu sangat
membenci perkembangan Mataram yang dipimpin oleh Raden Sutawijaya.”
“Aku semula
menyangka, bahwa Kakang Untara pun akan bersikap demikian. Tetapi ternyata
tidak. Bahkan Kakang Untara telah mencela sikap Ranajaya itu langsung di
hadapan para perwira yang lain.”
“Sikapnya
memang tercela,” tiba-tiba saja Widura berkata. Tetapi ia pun kemudian menelan
ludahnya, seakan-akan ingin menelan kata-katanya itu kembali.
“Kenapa,
Paman?”
Widura menarik
nafas dalam-dalam. Katanya,
“Aku sudah
bukan prajurit lagi. Aku tidak akan dapat membuat penilaian apa pun atas
mereka.”
“Bukan
penilaian, Paman, tetapi aku hanya sekedar ingin mendapat gambaran tentang
sikap para perwira itu, agar aku dapat mencoba menyesuaikan diri.”
Widura
memandang Agung Sedayu sejenak, dan tiba-tiba saja ia tersenyum,
“Kau dahulu pendiam,
Sedayu. Sekarang kau pandai juga memancing persoalan.”
Agung Sedayu
pun tersenyum pula. Katanya,
“Aku tidak
berhasrat memancing persoalan, Paman. Tetapi aku benar-benar ingin mengetahui,
terutama latar belakang dari sikap Ranajaya.”
Sejenak Widura
merenung. Namun kemudian ia berkata,
“Ada beberapa
orang perwira yang tidak senang sekali melihat Mataram berkembang. Aku tidak
tahu pasti apakah latar belakangnya. Bahkan mereka mulai mengarah pada suatu
anggapan, bahwa Mataram akan membuat dirinya kuat untuk bersaing dengan
Pajang.”
“Ah,” desis
Agung Sedayu, “apakah pikiran itu benar?”
Widura memandang
Agung Sedayu sejenak, lalu,
“Kaulah yang
datang dari Mataram. Kau tentu dapat mengatakan, apakah hal itu benar atau
tidak benar.”
Kini Agung
Sedayu-lah yang menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian ia berkata,
“Aku tidak
terlampau lama di Mataram, Paman. Dan aku tidak mendapat kesempatan banyak.”
“Apa yang kau
lihat di Mataram? Nanti kita sama-sama mengambil kesimpulan.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu diceriterakannya hal-hal yang penting
saja, yang telah terjadi. Bahkan ia pun mengatakan pesan Raden Sutawijaya
kepada Untara dan para perwira Pajang. Widura mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya,
“Pasti ada
salah paham. Tetapi aku menyangka, ada orang yang dengan sengaja meniup-niupkan
kesalah-pahaman itu. Beberapa perwira Pajang sendiri telah termakan oleh
hembusan-hembusan ceritera tentang persiapan Mataram.”
“Apa yang
dapat dipersiapkan saat ini, Paman? Mataram baru sibuk menundukkan alam. Kalau
Mataram membangun kekuatan, maka yang menjadi sasarannya adalah alam itu
sendiri. Hutan yang lebat dan daerah rawa-rawa.”
“Memang masuk
akal. Tetapi kau harus dapat menghubungkan peristiwa yang terjadi di Alas
Mentaok itu sendiri dengan hal-hal yang terjadi di istana Pajang. Usaha melawan
pembukaan Alas Mentaok di medan dan usaha-usaha untuk menentangnya di istana.
Tidak mustahil, bahwa ada hubungan di antara mereka. Yang aku tidak tahu,
apakah sikap itu ditujukan kepada Mataram atau justru Pajang.”
“Maksud
Paman?”
“Mereka yang
menentang langsung, agaknya sudah jelas, bahwa mereka tidak menghendaki Ki Gede
Pemanahan membuka hutan itu. Tetapi mereka yang dengan desas-desus mengadu
domba antara Mataram dan Pajang, masih perlu diketahui latar belakangnya.
Apakah mereka menghendaki usaha membuka Mataram gagal seperti hantu-hantu yang
kau katakan itu, atau justru menghendaki Pajang runtuh.”
Agung Sedayu
mendengarkan keterangan pamannya dengan saksama. Memang ada beberapa
kemungkinan yang dapat terjadi. Baik di Alas Mentaok sendiri, maupun di dalam
Istana Pajang. Namun demikian, Agung Sedayu bertanya,
“Paman, kalau
ada usaha untuk meruntuhkan Pajang oleh orang-orang dari lingkungan istana
sendiri, apakah pamrihnya?”
Widura
mengerutkan keningnya. Sejenak dipandanginya Agung Sedayu, yang dengan penuh
minat mendengarkan keterangannya. Lalu katanya,
“Pajang memang
belum mantap benar sekarang ini. Dengan demikian, maka ada saja adipati-adipati
yang tidak menginginkan Pajang menjadi kuat. Kalau Pajang runtuh, siapakah di
antara para adipati yang kuat, akan dapat menyatakan dirinya sebagai penguasa
atas tanah ini.”
“Tetapi
bukankah dengan demikian, akan berarti pertumpahan darah?”
“Ya Sedayu.
Mungkin kau dan mungkin juga aku, meskipun aku bekas seorang prajurit, tidak
menginginkan pertumpahan darah itu terjadi. Tetapi mungkin ada juga orang yang
merasa berbahagia hidup di tengah-tengah pergolakan dan pertumpahan darah.
Mungkin ada orang yang merasa berbesar hati, bahkan merupakan kebanggaan
apabila mendapat kesempatan berdiri di atas bangkai-bangkai. Semakin tinggi
timbunan bangkai di bawah kakinya, ia akan merasa semakin berbangga.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Pengetahuannya tentang Kerajaan Pajang dan
kekuasaan yang ada padanya sangat kecil. Bahkan yang pernah dilihatnya adalah
hanya sejengkal kecil dari Pajang seluruhnya. Karena itu, dengan susah payah ia
mencoba untuk membayangkan keterangan pamannya. Daerah pasisir dari Barat
menjelujur ke Timur. Daerah-daerah yang diperintah oleh adipati dan tanah-tanah
perdikan yang besar. Apabila ikatan dari sekumpulan pemerintahan itu lepas,
maka negara ini akan menjadi porak poranda.
“Tetapi,”
tiba-tiba Widura berkata,
“jangan kau
pikirkan kata-kataku. Mungkin aku adalah seorang pemimpin buruk yang paling baik
di seluruh Pajang.”
Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya memang seperti seseorang yang baru saja
terbangun dari sebuah mimpi yang buruk yang dibuat oleh pamannya, sehingga
tanpa disadarinya, Agung Sedayu mengusap matanya dengan lengan bajunya. Sesaat
mereka tidak berbicara. Tetapi angan-angan merekalah yang hilir-mudik tidak
menentu, menjelajahi daerah yang tidak dapat mereka kenal dengan baik.
“Ah, sudahlah,”
berkata Widura kemudian,
“lupakan
semuanya. Kita berbicara tentang Untara dan bakal isterinya.”
Agung Sedayu
tersenyum.
“Kau wajib
mengenalnya baik-baik,” berkata Widura. Kemudian diceriterakannya serba sedikit
tentang gadis itu sambil menikmati hidangan yang telah dihidangkan di hadapan
mereka. Samar-samar Agung Sedayu dapat membayangkan, bagaimanakah sifat dari
gadis itu. Sama sekali tidak seperti Sekar Mirah yang manja, keras hati, dan
mempunyai harga diri yang agak berlebih-lebihan. Juga tidak seperti Pandan
Wangi, yang menyerahkan dirinya kepada masa depan bagi tanah perdikannya.
Seorang anak perempuan yang bakti kepada ayahnya, sepeninggal ibunya. Dan
seorang gadis yang berjiwa prajurit.
Bakal isteri
Untara itu adalah seorang gadis pendiam. Tidak dapat bermain pedang dan olah
kanuragan seperti Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Tetapi ia pantas menjadi isteri
seorang perwira, karena sifat-sifatnya. Ia dapat membuat Untara menjadi seorang
senapati besar dengan kelembutan hatinya. Ia dapat membuat Untara melepaskan
semua kepentingan pribadinya untuk mengabdi kepada tugasnya sebagai seorang
senapati.
“Setelah
Untara selesai, kau akan segera menyusul,” desis Widura.
“Ah, masih
terlampau cepat. Bukankah saudara sekandung tidak boleh kawin di dalam tahun
yang sama?”
“Ya. Tetapi
tahun ini hampir habis. Bulan depan adalah bulan terakhir dari tahun ini.
Kemudian tiga bulan kemudian adalah bulan yang baik pula bagi perkawinan.”
“Tidak, Paman.
Tidak tiga bulan lagi. Mungkin tiga tahun atau barangkali lima tahun.”
“Mungkin kau
tidak akan terpengaruh. Tetapi lain bagi Sekar Mirah.”
Agung Sedayu
mengerutkan keningnya. Namun kemudian kepalanya terangguk-angguk. Tetapi
sejenak kemudian, tiba-tiba saja Agung Sedayu berkata,
“Ah, aku akan
minta diri, Paman. Aku akan kembali kepada Kakang Untara. Mudah-mudahan aku
dapat menemukan alasan yang baik untuk kembali ke Sangkal Putung. Mudah-mudahan
Kakang Untara dapat mengerti, dan mudah-mudahan tidak menimbulkan masalah apa
pun juga.”
“Kenapa begitu
tergesa-gesa?”
“Jarak antara
Sangkal Putung dan Jati Anom tidak terlampau jauh. Aku akan dapat hilir-mudik
setiap hari.”
“Kakakmu tentu
akan bertanya, kenapa kau tidak pulang saja ke Jati Anom, hanya apabila perlu,
baru kau pergi ke Sangkal Putung.”
“Ah, Paman,”
sahut Agung Sedayu.
Pamannya hanya
tersenyum. Tetapi sorot matanya memancarkan pengertian sepenuhnya atas keadaan
Agung Sedayu.
Kemudian
setelah minta diri kepada seluruh keluarga pamannya, Agung Sedayu pun kembali
kepada kakaknya. Tetapi ia masih tetap dibebani oleh kegelisahan. Bagaimana ia
akan minta diri nanti, dan apakah alasan yang sebaik-baiknya selain harapan,
bahwa kakaknya akan dapat mengerti akan keadaannya. Dengan demikian, maka di
sepanjang jalan kepala Agung Sedayu selalu tertunduk. Kudanya pun hanya
berjalan perlahan-lahan, tidak lebih cepat dari langkah seorang yang berjalan
kaki. Tiba-tiba saja Agung Sedayu teringat kepada gurunya. Sejenak ia
mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berdesis kepada diri sendiri,
“Apakah aku
dapat mempergunakan guru sebagai alasan untuk kembali ke Sangkal Putung?
Mungkin aku dapat berkata, bahwa guru mengharap aku malam ini menghadap. Ada
sesuatu yang penting untuk dibicarakan.”
Agung Sedayu
menarik nafas. Memang mungkin. Tetapi ia masih belum tahu pasti tanggapan
Untara atas ha1 itu. Tetapi Agung Sedayu menjadi berdebar-debar, ketika ia
melihat beberapa orang prajurit yang berdiri di tepi jalan. Di antara mereka
adalah perwira yang bernama Ranajaya, dan yang membuatnya semakin
berdebar-debar adalah di antara para prajurit itu terdapat prajurit yang
menyerangnya di saat ia datang. Prajurit yang akan menghinakannya dengan
menginjak ikat kepalanya.
“Ah, apa saja
yang akan mereka lakukan?” Agung Sedayu berdesah di dalam dirinya.
“Kenapa ada
juga perwira Pajang yang memiliki sifat-sifat pengecut itu?”
Tetapi Agung
Sedayu tidak berhenti. Kudanya melangkah terus perlahan-lahan, semakin lama
semakin dekat. Beberapa langkah di hadapan perwira itu. Agung Sedayu menjadi
semakin berhati-hati. Ia tidak tahu apa yang akan dilakukannya. Mungkin dengan
tiba-tiba, prajurit itu berbuat sesuatu yang tidak disangka-sangkanya. Tetapi
mungkin juga mereka menghentikannya dan mengajaknya bertengkar. Ternyata
perwira itu benar-benar telah menghentikannya. Dengan suara datar ia berkata,
“Berhentilah
dulu, Agung Sedayu.”
Agung Sedayu
berhenti tepat di hadapannya. Tetapi ia tidak turun dari kudanya.
“Aku akan
bertanya serba sedikit,” berkata perwira itu.
“Kalau aku
dapat menjawab, aku akan menjawab,” sahut Agung Sedayu.
Perwira itu mengerutkan
keningnya. Katanya,
“Jangan
terlampau sombong. Yang menjadi perwira atasanku adalah Untara. Bukan kau. Jadi
kau tidak dapat berbuat seperti Untara kepadaku. Ia berhak mencela aku. Marah
kepadaku dan sesuka hatinya. Tetapi kau tidak.” Perwira itu berhenti sejenak,
lalu,
“Turunlah.”
“Aku memang
bukan Kakang Untara,” jawab Agung Sedayu,
“tetapi aku
juga bukan prajurit bawahanmu, sehingga kau tidak berhak memerintah aku.”
Wajah perwira
itu menjadi merah. Tetapi ia masih menahan perasaannya. Ia sadar, bahwa Agung
Sedayu bukan saja adik Untara, tetapi ia sendiri mampu berbuat seperti Untara.
Ternyata prajuritnya sama sekali tidak mampu berbuat apa-apa, meskipun Agung
Sedayu melawannya sambil memegang kendali kuda dengan satu tangannya.
“Kau memang
terlampau sombong. Tetapi baiklah. Aku dapat berbicara dengan seseorang yang
tetap duduk di atas punggung kuda seperti Sutawijaya. Kau kenal Sutawijaya
bukan? Ia adalah salah satu contoh dari kesombongan yang tiada taranya. Ia
tidak pernah turun dari kudanya dengan siapa pun ia berbicara, meskipun dengan
orang yang lebih tua sekalipun. Tetapi ia adalah putera angkat Sultan Pajang.”
Agung Sedayu
hanya dapat menahan perasaannya yang mulai tergelitik oleh kata-kata perwira
itu. Tetapi ia masih tetap duduk di atas punggung kudanya.
“Agung Sedayu,”
berkata perwira itu kemudian,
“aku minta kau
menjawab dengan jujur. Apakah Sutawijaya benar-benar sudah menyusun sebuah
pasukan yang kuat dan siap untuk berperang?”
Agung Sedayu
mengerutkan keningnya. Dipandanginya perwira itu sejenak, lalu,
“Siapakah yang
mengatakannya?”
“Aku bertanya
kepadamu. Bukankah kau baru saja datang dari Mataram? Kau pasti mendengar apa
yang sudah terjadi di daerah yang baru dibuka itu.”
“Aku hanya
lewat.”
“Meskipun
demikian, kau pasti sudah mendengar apa yang telah terjadi. Kalau yang lewat
itu seorang pedagang ternak atau pedagang emas, mungkin mereka tidak akan
tertarik kepada persoalan keprajuritan. Tetapi yang lewat adalah Agung Sedayu,
adik Untara yang menjadi senapati pasukan Pajang di daerah Selatan, daerah yang
langsung menjadi jalur penghubung antara Pajang dan Mataram, pasti
memperhatikan masalah-masalah serupa itu.
Agung Sedayu
merenung sejenak. Namun tiba-tiba ia merasa mendapat kesempatan untuk
mengatakan apa yang sebenarnya terjadi di Mataram, untuk menghindari salah
paham. Dengan demikian, ia sudah membantu serba sedikit usaha pendekatan antara
ayah dan anak. Antara Sultan Pajang dan Raden Sutawijaya. Karena itu, maka
tiba-tiba saja atas kehendaknya sendiri, Agung Sedayu turun dari kudanya. Perwira
Pajang yang bernama Ranajaya itu justru surut selangkah. Dengan penuh
kecurigaan ia memandang Agung Sedayu dari ujung kakinya sampai ke ujung
rambutnya.
“Apa yang kau
kehendaki?” bertanya Ranajaya.
“Bukankah aku
harus menjawab pertanyaanmu?” sahut Agung Sedayu.
“Dan aku
memang akan menjawab pertanyaan itu.”
“O,” Ranajaya
maju pula selangkah. Namun ia masih tetap berhati-hati.
Agung Sedayu
mengeluh di dalam hatinya. Seakan-akan Ranajaya memandangnya sebagai orang yang
paling sombong dan licik. Namun Agung Sedayu mencoba untuk mengesampingkannya.
Ia ingin membantu usaha pendekatan yang selalu dicoba oleh Sutawijaya.
“Menurut
penglihatanku,” berkata Agung Sedayu,
“Mataram
benar-benar sedang memusatkan perhatiannya pada pembukaan hutan. Sama sekali
tidak ada tanda-tanda persiapan prajurit, dan apalagi perlawanan terhadap pihak
mana pun juga. Aku memang singgah beberapa saat di Mataram. Tetapi yang aku
lihat adalah pengerahan tenaga untuk memperluas tanah garapan. Hanya itu. Dan
mereka terdiri dari petani-petani yang hanya mengenal kapak dan parang untuk
menebang kayu. Bukan pedang dan tombak.
Perwira yang bernama
Ranajaya itu mengerutkan keningnya. Tetapi tampak pada sorot matanya, bahwa ia
tidak percaya dengan keterangan Agung Sedayu itu. Bahkan kemudian ia berkata,
“Agung Sedayu,
ingat, kakakmulah yang akan mendapat tugas untuk berhadapan langsung dengan Mataram.
Kau harus memberikan keterangan yang benar. Mungkin sampai saat ini, kakakmu
masih belum menaruh curiga atasmu. Tetapi apabila kau tidak mau memberikan
keterangan yang sebenarnya, maka kau dapat dianggap telah berkhianat kepada
Pajang. Dan kau tentu sudah kenal kepada Untara. Meskipun kau adiknya, kau akan
dapat digantungnya di regol padukuhan Jati Anom. Di gerbang kampung halamanmu
sendiri.”
Agung Sedayu
semakin tidak senang mendengar kata-katanya. Tetapi ia tidak mau mempertajam
persoalan Pajang dan Mataram. Maka katanya,
“Sudahlah. Aku
tidak dapat memberikan keterangan lebih banyak dari yang aku ketahui. Aku
memang tidak akan mengatakan yang tidak sebenarnya. Justru karena itu, aku
tidak mau mengarang sebuah ceritera untuk menyenangkan hatimu, seolah-olah
bayanganmu tentang Mataram yang dipagari dengan pasukan dan ujung senjata itu,
benar-benar telah terjadi.”
Ranajaya
membelalakkan matanya sambil membentak,
“Ingat, dengan
siapa kau berbicara.”
“Dan ingat,”
sahut Agung Sedayu, “aku bukan bawahanmu.”
Ranajaya menggeretakkan
giginya. Geramnya,
“Kau salah
seorang telik sandi dari Mataram. Kau mendapat, tugas untuk mengetahui kekuatan
Pajang di Jati Anom, justru karena kau adik Untara. Agaknya Untara kini
benar-benar telah lengah, dan membiarkan kau berkeliaran di sini.”
Agung Sedayu
menahan perasaannya yang bergolak dengan susah payah. Ternyata perwira yang
bernama Ranajaya ini justru bukan seorang prajurit yang baik. Ia selalu
dibayangi oleh kecemasan dan ketakutan. Namun mungkin, ia memang mendapat gambaran
yang salah tentang Mataram. Karena itu, Agung Sedayu berkata,
“Aku kira kau
memang mendapat keterangan yang tidak sebenarnya sebelumnya. Coba katakan,
siapakah yang sudah memberikan keterangan kepadamu tentang Mataram seperti yang
kau gambarkan itu?”
“Jangan
mencoba bersembunyi lagi. Sebentar lagi aku akan dapat membuktikan, bahwa kau
memang seorang telik sandi. Dan Untara sendirilah yang akan menangkapmu dan
menggantungmu di padukuhanmu sendiri.”
“Apakah kau
pernah melihat Alas Mentaok?”
Perwira itu
tidak segera menyahut.
“Kalau belum,
apakah kau bersedia sekali-sekali pergi ke Alas Mentaok? Aku bersedia
menunjukkan jalan. Kau dapat mengenakan pakaian keprajuritanmu tanpa diganggu
oleh lalat sekalipun. Aku akan menanggung keselamatanmu. Kau akan melihat,
bahwa di Mataram tidak ada apa-apa sama sekali. Tidak ada persiapan, tidak ada
prajurit, dan tidak ada rasa permusuhan dengan siapa pun juga. Mataram sampai
saat ini berjalan maju dengan wajar. Bahkan dengan banyak rintangan. Apakah
dengan demikian Mataram sempat membuat persoalan dengan kekuasaan yang ada di
sekitarnya, apalagi kekuasaan Pajang.”
Ranajaya
mengerutkan keningnya. Ia mulai menyadari bahwa Agung Sedayu bukan anak-anak
yang takut dengan bentakan-bentakan kasar. Agung Sedayu benar adik Untara, yang
memiliki banyak kesamaan, tetapi juga banyak kelainan. Karena itu, Ranajaya
tidak bertanya lagi. Tetapi ia masih sempat mengancam,
“Agung Sedayu,
kau harus bersikap baik di sini. Jangan menimbulkan kecurigaan dan tingkah laku
yang dapat menyeretmu ke tiang gantungan.”
Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia sama sekali tidak menjawab. Sejenak ia
memandang wajah Ranajaya, yang seakan-akan membayangkan kebencian yang sangat
dalam terhadap Mataram dan pemimpin-pemimpinnya.
“Aku kira
benar juga dugaan-dugaan, bahwa ada satu dua orang yang telah berbuat curang di
dalam istana. Mungkin saat-saat ini mereka baru berhasil menghasut para perwira
dan para prajurit. Mungkin lain kali senapati yang lebih tinggi dan kemudian
panglima prajurit, pepatih Pajang dan semua kadang sentana. Akhirnya Sultan
Hadiwijaya sendiri akan mempercayainya, bahwa Mataram benar-benar akan
memberontak terhadap kekuasaan Pajang,“ berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.
Agung Sedayu
seakan-akan tersadar, ketika ia mendengar Ranajaya berkata,
“Pergilah. Aku
tidak memerlukan kau lagi hari ini.”
Terasa dada
Agung Sedayu berdesir. Sikap perwira itu benar-benar telah memuakkan. Tetapi ia
masih berusaha untuk menahan perasaannya dan menjawab,
“Sekehendakkulah.
Apakah aku akan pergi, apakah aku akan tetap di sini. Aku berada di kampung
halamanku sendiri. Sejak kecil aku bermain-main di sepanjang jalan ini tanpa
ada yang mengganggu gugat. Sekarang aku dapat berjalan menyusur jalan ini, ke
sana ke mari sehari sepuluh kali.”
“Gila. Kau
adalah orang yang lebih sombong lagi dari Sutawijaya.”
“Aku tidak
peduli. Apakah aku melampaui kesombongan Sutawijaya, dan menyamai kesombonganmu
atau tidak, itu adalah persoalanku.”
“Diam!” bentak
perwira itu.
“Jangan berani
mempermainkan seorang perwira Pajang. Kau akan menyesal. Seandainya aku tidak
mengenal kau sebagai adik Untara, kau sudah menjadi permainan anak buahku di
sini.”
“Bukan begitu
kebiasaan seorang prajurit. Seorang prajurit adalah seorang yang bersikap
jantan. Apakah kau mengerti arti dari sikap jantan itu?”
Tubuh perwira
itu menggigil, apalagi ketika Agung Sedayu berkata,
“Aku akan
mengatakan kepada Kakang Untara, apakah yang sebaiknya aku lakukan menghadapi
seorang perwira macam kau ini. Dan aku memang tidak pernah membayangkan, bahwa
ada seorang perwira Pajang yang mempunyai sifat semacam ini.”
Tetapi Agung
Sedayu tidak menunggu jawaban. Ia pun segera meloncat ke punggung kudanya dan
memacu kudanya meninggalkan perwira yang bernama Ranajaya itu. Ranajaya pun
menjadi ragu-ragu. Kemarahan yang memuncak di kepalanya hampir melepaskan
segala macam pertimbangannya. Untunglah, bahwa ia masih tetap sadar, bahwa
Agung Sedayu adalah adik Untara, sehingga masih ada juga keseganannya untuk
berbuat sesuatu.
“Tetapi lepas
dari daerah Jati Anom, aku dapat berbuat apa pun juga di luar pengetahuan
Untara. Kalau aku berbuat jantan seperti yang dikatakan Agung Sedayu, tidak ada
seorang pun yang akan menuntut aku,” berkata perwira itu di dalam hatinya. Lalu
sambil membusungkan dadanya ia berkata,
“Tetapi
seandainya Untara marah juga, aku dapat berhubungan dengan Kakang Tumenggung,
yang mempunyai pengaruh tidak kalah dari Untara di istana.”
Perwira itu
menggeretakkan giginya. Tetapi tanpa berkata apa pun juga, ia pun segera pergi
meninggalkan tempat itu diikuti oleh beberapa orang prajuritnya.
“Anak itu
memang keras kepala,” desis seorang prajurit,
“ia tidak saja
berani menentang seorang prajurit, tetapi juga seorang perwira.”
“Ia merasa
mendapat perlindungan dari kakaknya, seorang senapati,” jawab yang lain.
“Itu akan
membuatnya keras kepala.”
Tetapi mereka
pun kemudian terdiam, apabila sekilas melonjak di dalam hati mereka, kenyataan
yang sebenarnya mereka hadapi tentang Agung sedayu itu. Dalam pada itu, Agung
Sedayu pun menjadi semakin dekat dengan rumahnya. Selain debar jantungnya yang
belum reda, ia sudah mulai dirayapi kegelisahan yang lain, yang tanpa disengaja
telah dilupakannya untuk sejenak. Kegelisahan menjelang sore hari, untuk minta
diri kepada kakaknya. Ternyata kedatangannya memang sudah ditunggu oleh Untara
dan beberapa orang perwira yang lain. Setelah duduk sebentar, maka mereka pun
kemudian mulai menikmati makan siang yang sudah disediakan. Namun selama
tangannya menyuapi mulutnya, Agung Sedayu masih saja digelisahkan oleh
keharusannya minta diri. Sedangkan matahari semakin lama semakin bergeser turun
ke Barat. Demikianlah, setelah selesai makan dan setelah mereka berbicara serba
sedikit, mulailah Agung Sedayu mengatur hatinya, untuk menyampaikan niatnya,
bahwa ia akan kembali ke Sangkal Putung sore itu.
Tetapi hatinya
menjadi berdebar-debar kembali, ketika Untara berkata,
“Bilikmu
semasa anak-anak masih tersedia buatmu, Sedayu. Meskipun selama ini bilik itu
kami pergunakan, tetapi malam ini dan seterusnya akan dapat kau pakai lagi,
seperti pada masa kecilmu. Bedanya, dahulu kau menempati bilik itu bersama ibu,
tetapi sekarang kau harus berani tidur sendiri.”
Para perwira
yang mendengar kelakar Untara itu, tertawa. Agaknya mereka telah mendengar
ceritera tentang Agung Sedayu semasa menjelang remaja. Bahwa ia adalah seorang
penakut yang kadang-kadang menjengkelkan sekali. Bukan saja karena ia tidak
berani menghadapi kawan-kawannya yang nakal, tetapi ia adalah anak yang takut
sekali kepada gelap, hantu, dan semacamnya. Agung Sedayu sendiri tersenyum
mendengarnya, meskipun debar jantungnya menjadi semakin cepat.
“Tetapi aku
tidak dapat diam sampai senja,” tiba-tiba saja timbul pikiran di dalam dirinya,
“sebaiknya aku
berterus terang. Apa pun yang akan dikatakan oleh Kakang Untara terhadapku.
Mudah-mudahan Kakang Untara tidak menghubungkan masalah ini dengan kedatanganku
dari Mataram. Seolah-olah aku tidak mau lagi berada di lingkungan prajurit
Pajang, karena aku mempunyai ikatan tertentu dengan Mataram. Jika demikian maka
Ranajaya akan mendapat kesempatan meniup-niupkan pendapatnya yang salah itu.”
Karena itu,
satu-satunya alasan yang akan dikemukakan oleh Agung Sedayu adalah gurunya.
Gurunya minta ia kembali ke Sangkal Putung sore ini, karena ada persoalan yang
akan dibicarakan mengenai dirinya dalam hubungan guru dan murid.
“Juga
mudah-mudahan tidak ada salah paham pada Kakang Untara. Kalau ia menganggap
Guru pun berpihak pada Mataram, maka aku akan mendapat kesulitan,” katanya pula
didalam hatinya.
Karena itu,
setelah suara tawa para perwira mereda, Agung Sedayu mencoba untuk mulai
berbicara, mumpung Ranajaya tidak ada di dalam ruangan itu.
“Kakang,
sebenarnya aku senang sekali bermalam di rumah ini. Rumahku sendiri. Apalagi di
dalam bilikku semasa kanak-kanak. Tetapi……,” Agung Sedayu menjadi ragu-ragu.
“Tetapi,
kenapa?” Untara bertanya.
“Bukan
maksudku tidak menghargai Kakang Untara dan para perwira. Tetapi sebenarnya,
bahwa sejak aku berangkat, aku sudah mendapat pesan, bahwa senja ini aku harus
kembali ke Sangkal Putung.”
“Kembali ke
Sangkal Putung?” Untara mengerutkan keningnya.
“Ya, Kakang,
tidak ada apa-apa. Tetapi demikianlah pesan Guru. Besok aku akan segera kembali
lagi ke mari, dan aku akan tinggal di rumah ini. Aku senang sekali mendapat
banyak kawan di sini, Kakang Untara dan para perwira Pajang.”
Untara
memandang Agung Sedayu sejenak. Tetapi ia tidak segera mengatakan sesuatu. Agung
Sedayu pun menjadi bimbang. Bahkan kepalanya menjadi tertunduk dalam-dalam.
Sekilas ia mencoba untuk menatap wajah-wajah para perwira yang duduk di sekitarnya.
Tetapi ia tidak tahu, kesan apakah yang membayang di wajah mereka.
Namun dengan
demikian, maka dada Agung Sedayu pun menjadi semakin berdebar-debar. Sejenak ia
menunggu jawaban kakaknya, tetapi rasa-rasanya sudah berhari-hari kakaknya itu
diam saja memandangnya dengan tajam. Ruangan itu menjadi hening, seakan-akan
tidak berpenghuni. Hanya tarikan nafas yang gelisah terdengar susul-menyusul.
Betapa hati Agung Sedayu menggelepar. Tetapi ia masih tetap harus menunggu. Namun
Agung Sedayu yang tertunduk dalam-dalam itu terperanjat, ketika tiba-tiba saja
ia mendengar suara Untara. Justru suara tertawanya. Karena itu dengan
serta-merta ia mengangkat wajahnya, dan dengan penuh pertanyaan ditatapnya
wajah kakaknya yang tampak aneh baginya.
Sejenak
kemudian, setelah suara tertawanya mereda, barulah Untara menjawab,
“Kau
berbohong, Sedayu.”
Berbagai
perasaan bercampur baur di dada Agung Sedayu. Ia tidak mengerti, apakah yang
sebenarnya tersimpan di hati kakaknya. Karena itu, maka tergagap ia menjawab,
“Aku tidak
berbohong, Kakang.”
“Kau tentu
berbohong. Kau katakan, bahwa gurumu memanggilmu sore ini?”
“Ya, ya, ya
Kakang.”
Tetapi Untara
tertawa pula. Agung Sedayu benar-benar menjadi gelisah. Rasa-rasanya ia duduk
di atas tikar yang membara. Ia bergeser sejengkal surut.
“Jangan kau
sangka aku tidak tahu,” berkata Untara,
“bukankah baru
tadi malam kau sampai di Sangkal Putung? Dan karena kau segan kepada sanak
kadang di Jati Anom, kau memaksa diri untuk datang menemui aku, yang selama ini
kau anggap sebagai ganti ayah dan ibu?”
Agung Sedayu
tidak menyahut. Tetapi kepalanya telah tertunduk semakin dalam. Namun di dalam
hatinya ia berkata,
“Bukan hanya
karena keseganan itu. Aku ingin segera mendapat kesan tentang Kakang, bagaimana
sikap Kakang terhadap Mataram.”
“Agung Sedayu,”
berkata Untara kemudian. Karena suara Untara menjadi bersungguh-sungguh, maka
Agung Sedayu pun mengangkat wajahnya.
“Kalau
dahulu,” Untara meneruskan,
“mungkin aku
akan bertanya, kenapa gurumu memanggil kau sore ini. Mungkin aku tidak
mempercayaimu dan memaksamu tinggal di sini, karena aku adalah kakakmu. Tetapi
sekarang aku bersikap lain. Aku sekarang tahu, kalau kau sekedar berbohong,
karena kau malu mengatakan alasan yang sebenarnya. Namun seandainya gurumu
sekalipun yang menyuruh kau kembali sore ini, kau pasti tidak akan menjadi
sangat gelisah, seandainya kau tidak dapat memenuhinya, karena kau berharap,
bahwa gurumu mengerti kesulitanmu. Tetapi sekarang pasti bukan gurumu yang
mengharap kau cepat kembali.”
Agung Sedayu
menjadi bingung.
“Ayo, berkatalah
terus terang. Jangan mencoba berbohong.”
Agung Sedayu
justru menjadi semakin membeku. Dan ia menjadi bingung ketika, Untara sekali
lagi tertawa berbahak-bahak, sehingga tubuhnya berguncang-guncang. Beberapa
orang perwira yang hadir tersenyum geli melihat sikap Untara dan melihat Agung
Sedayu yang kebingungan. Namun mereka sendiri tidak mengerti, apa yang
sebenarnya sedang dipikirkan oleh Untara.
“Agung
Sedayu,” berkata Untara kemudian setelah suara tertawanya mereda,
“kau tahu, dan
barangkali kau mendengar dari Paman Widura lebih banyak lagi tentang aku dan
masa-masa menjelang perkawinanku? Nah, baru setelah aku akan kawin aku tahu,
bahwa kau berbohong. Bukankah begitu? Sama sekali bukan Kiai Gringsing yang
memaksamu pulang, tetapi pasti Sekar Mirah. Ayo, jangan ingkar. Aku tahu
pasti.”
Dada Agung
Sedayu berdesir. Tetapi ia mendengar kakaknya berkata di sela-sela suara
tertawanya,
“Aku akan
menyerah sekarang. Mungkin dahulu aku akan berkeras. Tetapi sekarang aku tahu,
bahwa keharusan yang paling ditaati, adalah keharusan serupa itu. Dan aku sama
sekali tidak berkeberatan, karena kau pun pasti akan memaksa, seandainya aku
minta kau tinggal di sini malam ini. Kau pasti lebih memberatkan pesan Sekar
Mirah dari pesan siapa pun, termasuk gurumu sendiri.”
Agung Sedayu
membeku sejenak. Namun tiba-tiba terasa sesuatu yang aneh di dalam hatinya.
Suatu serangan perasaan yang tidak terduga-duga, seakan-akan ia telah
terbanting dalam suatu keadaan yang sangat asing. Ia tidak menyangka sama
sekali, bahwa kakaknya akan bersikap demikian lunak dan lembut menghadapi
keadaannya. Sehingga karena itu, sejenak ia terbungkam sambil memandangi wajah
Untara yang masih saja dibayangi oleh suara tertawanya.
“Ha, kau akan
mungkir?”
Tetapi Agung
Sedayu kini sadar, bahwa kakaknya sekedar berkelakar. Kakaknya ternyata tidak
berbuat apa-apa seperti yang dibayangkannya. Kakaknya tidak membentaknya dan
tidak memaksanya dengan kekerasan, karena perasaannya tersinggung. Kakaknya
ternyata bersikap lain sekali dengan bayangan-bayangan yang tampak di
angan-angannya. Karena itu, maka Agung Sedayu pun tersenyum pula, meskipun
kepalanya tertunduk dalam-dalam, tetapi ketegangan yang melonjak di hatinya
kini telah lenyap.
“Aku mendapat
pesan Guru,” berkata Agung Sedayu hampir tidak terdengar.
“Bohong. Kau
sekarang pandai berbohong. Katakan saja terus terang, bahwa Sekar Mirah
berpesan dengan bersungguh-sungguh, bahwa kau harus segera kembali ke Sangkal
Putung, karena, kau baru datang semalam.” Untara masih tertawa, lalu,
“Baiklah.
Sampaikan salamku kepada Sekar Mirah, kepada Swandaru dan Ki Demang berdua.
Apalagi kepada gurumu dan Ki Sumangkar yang masih tinggal di sana. Aku minta
maaf, bahwa sampai kini aku masih belum sempat mengunjunginya karena
bermacam-macam kesibukan.”
Dan seorang
perwira menyahut,
“Yang paling
sibuk adalah persoalannya dengan Kakang Widura.”
“Ah,” Untara
berdesah. Tetapi yang ada di ruang itu hampir berbareng tertawa, kecuali
seorang perwira yang masih berdiri di luar pintu, Ranajaya.
Ternyata Agung
Sedayu menemukan Untara yang sudah agak lama ditinggalkannya bertualang itu,
lain sama sekali dengan Untara yang dibayangkannya. Ternyata kakaknya sama
sekali tidak berkeberatan, apabila sore itu ia kembali ke Sangkal Putung.
Bahkan kakaknya dapat menebak alasannya yang sebenarnya, kenapa ia menjadi
gelisah ketika matahari menjadi semakin rendah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar