Jilid 062 Halaman 2


Agung Sedayu menundukkan kepalanya.
“Salah paham yang timbul pada anak-anak muda Sangkal Putung waktu itu, hampir saja membawa kesulitan yang dalam bagimu.”
Agung Sedayu tersenyum. Dipandanginya wajah pamannya sejenak, lalu katanya,
“Memang lucu sekali, Paman.”
“Kau mereka anggap sebagai seorang pahlawan. Tidak ada seorang pun yang berani melintasi jalan ke Sangkal Putung seorang diri seperti yang kau lakukan. Aku pun tidak. Dan barangkali, kau yang sudah berkembang sekarang ini, tidak akan mencoba melakukannya lagi seandainya kau menghadapi saat yang sama.”
Agung Sedayu tertawa. Tetapi ia menjawab,
“Tetapi Kakang Untara akan melakukannya saat itu. Padahal Kakang Untara pasti tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apalagi ia seorang senapati. Jarak itu akan ditempuh tanpa pengawalan sama sekali.”
Widura menarik nafas dalam-dalam. Kepalanya terangguk-angguk kecil. Katanya kemudian,
“Untara adalah seorang anak muda yang luar biasa. Ia memang agak lain dari anak-anak muda pada umumnya. Selain ilmunya yang cukup, dan ternyata ia mampu mengalahkan Tohpati, juga ia memiliki keberanian yang luar biasa. Saat itu ia merasa bertanggung jawab atas keselamatan pasukan Pajang yang ada di Sangkal Putung, sehingga meskipun ia dapat berbuat lain, tetapi jalan yang paling baik ditempuh adalah menghubungi aku di Sangkal Putung. Ia tidak sempat memanggil pengawal-pengawalnya, karena waktunya tinggal semalam. Namun ternyata, bahwa kaulah yang berhasil menyampaikannya berita itu kepadaku, tepat pada waktunya. Kalau kau terlambat, maka aku kira jalan peperangan di daerah Selatan itu akan menjadi berbeda.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tiba-tiba saja terasa bulu-bulunya meremang. Peperangan di Sangkal Putung memang menumbuhkan kenangan yang khusus di dalam dirinya. Ngeri, lucu, dan mendebarkan. Terlebih-lebih dari itu, ia telah tersangkut pula pada seorang gadis Sangkal Putung yang bernama Sekar Mirah. Tiba-tiba saja dadanya menjadi berdebar-debar. Seperti kakaknya, maka persoalan itu pasti akan ditangani oleh pamannya. Ia tidak mempunyai ayah dan ibu lagi. Sudah tentu, semuanya akan terserah kepada Widura dan Untara. Tetapi Agung Sedayu masih belum dapat mengatakannya. Meskipun demikian, ia dapat juga bertanya tentang hari-hari perkawinan Untara yang akan diselenggarakan bulan depan.
Widura tertawa. Jawabnya,
“Memang sudah waktunya bagi Untara. Umurnya sudah lebih dari cukup. Jabatannya baik dan agar ia tidak terlalu kaku, ia memerlukan seorang isteri yang sabar dan mengerti akan tugasnya sebagai seorang prajurit.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Bakal isterinya adalah seorang gadis yang baik. Memang agak berbeda dengan Sekar Mirah yang lincah dan gembira. Isteri Untara adalah seorang gadis pendiam. Namun mudah-mudahan gadis itu akan dapat memberikan arti bagi hidup Untara yang kering dan agak kaku. Ia seakan-akan menenggelamkan diri di dalam kebekuan ketentuan seorang prajurit, sehingga dirinya sebagai seseorang di antara kehidupan yang luas agak menjadi janggal karenanya.”
Agung Sedayu masih mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kalau Untara sudah kawin, maka jalan bagimu akan menjadi terbuka semakin lebar. Tidak ada lagi keseganan apa pun, apabila pada suatu saat, kau harus menginjakkan kakimu ke jenjang perkawinan.”
“Tetapi aku masih seorang petualang, Paman. Aku belum mempunyai pegangan untuk hidup kelak. Berbeda dengan Kakang Untara.”
“Apakah yang harus menjadi pegangan? Maksudmu, kau belum memegang suatu jabatan apa pun?”
“Ya, Paman.”
Widura menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
“Kau adalah calon prajurit yang baik, Sedayu. Kau akan dapat menjadi seorang prajurit, yang tidak usah mulai dari bawah sekali. Kalau kau mau, kau akan dapat kesempatan. Bukan karena kau adik Untara, tetapi karena kau memiliki kemampuan. Kau dapat menempuh pendadaran untuk langsung menjadi seorang lurah prajurit. Meskipun mula-mula kau akan memimpin suatu kelompok kecil, namun dalam waktu singkat kau akan menanjak.”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba saja kepalanya menunduk. Katanya,
“Itulah yang merisaukan hatiku, Paman.”
“Kenapa?”
“Kakang Untara memang ingin aku menjadi seorang prajurit. Agaknya Paman juga menginginkan aku menjadi seorang prajurit.”
Widura tidak segera menyahut.
“Tetapi sayang, Paman. Untuk saat ini, aku masih belum ingin memasuki bidang keprajuritan.”
Widura menjadi heran mendengar jawaban itu, sehingga sambil mengerutkan dahinya ia bertanya,
“Kenapa Sedayu? Apakah kau sama sekali tidak membayangkan pengabdian lewat tugas seorang prajurit?”
“Tentu juga terbayang pengabdian yang dapat aku berikan kepada negeri ini, Paman. Tetapi tidak dalam saat yang singkat. Dan bukankah aku masih mempunyai kesempatan untuk mengabdi lewat banyak saluran?”
Widura mengangguk-angguk. Jawabnya,
“Ya, ya. Kau dapat memilih bidang pengabdianmu sendiri. Tetapi apakah keberatanmu untuk menjadi seorang prajurit? Di dalam masa-masa yang buram ini, tenagamu sangat diperlukan oleh Pajang.”

Agung Sedayu tidak dapat segera menjawab. Tetapi Hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Ternyata pamannya juga menginginkannya menjadi seorang prajurit. Namun tiba-tiba tanpa disadarinya sendiri, tiba-tiba saja Agung Sedayu bertanya,
“Kenapa Paman mengundurkan diri dan keprajuritan?”
Widura terkejut mendengar pertanyaan itu. Namun kemudian ia tersenyum sambil menjawab,
“Aku sudah terlalu tua.”
“Aku melihat seorang perwira yang lebih tua dari Paman.”
“Tetapi sudah tentu waktu pengabdianku lebih panjang daripadanya. Mungkin ia memasuki lapangan keprajuritan setelah ia berumur jauh lebih tua dari saat-saat aku memasuki tugas itu.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang jawaban itu mungkin sekali terjadi. Namun Agung Sedayu masih bertanya,
“Tetapi Paman, bukankah saat-saat ini Pajang memerlukan prajurit yang cukup berpengalaman, seperti kata Paman sendiri, suasananya kini sedang buram. Bukankah begitu, Paman?”
Widura pun mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Jawabnya,
“Ya. Mungkin tenaga paman memang masih dibutuhkan.” Widura tidak melanjutkannya. Namun terasa sesuatu agaknya tersangkut di hatinya.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya, ia menunggu pamannya mengatakan sesuatu, tetapi Widura justru hanya menarik nafasnya dalam-dalam. Tetapi ia tidak meneruskan kata-katanya. Karena itu maka sejenak mereka terdiam. Seakan-akan mereka kehabisan bahan untuk berbicara. Namun untuk mengatasi kebekuan itu, tiba-tiba saja Widura berkata,
“Agung Sedayu. Tunggulah sejenak. Aku harus menangkap seekor ayam yang paling besar, untuk menjamumu hari ini. Kau akan makan di sini siang ini.”
Tetapi Agung Sedayu berkata cepat-cepat,
“Paman, Kakang Untara berpesan kepadaku, agar aku segera kembali. Kakang Untara menunggu aku makan siang ini bersama para perwira yang tinggal di rumah kami.”
“Benar begitu?”
“Benar, Paman. Aku mengucapkan terima kasih atas sambutan Paman. Tetapi maaf, aku tidak akan membuat Kakang Untara kecewa.”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Kamilah yang kecewa. Kalau begitu nanti malam kau harus makan di sini.”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak dapat menyimpannya lebih lama lagi, sehingga ia pun menjawab,
“Nanti sore aku harus kembali ke Sangkal Putung.”
“He, kembali ke Sangkal Putung? Bukankah kau anak Jati Anom?”
“Ya, Paman, tetapi aku sudah berjanji kepada Ki Demang dan kepada Adi Swandaru, bahwa nanti sebelum senja aku harus sudah berada di Sangkal Putung.”
“Ah, tentu mereka minta kau kembali. Seandainya itu tidak bersungguh-sungguh, maka mereka pasti akan sekedar mengatakannya untuk memenuhi adat pergaulan. Tentu mereka tidak akan mengatakan kepadamu, agar kau tidak usah kembali saja.”
“Bukan, Paman. Bukan karena itu. Anak-anak muda Sangkal Putung nanti senja akan berkumpul menyambut kedatangan kami. Aku dan Swandaru. Mereka menganggap aku sebagai keluarga mereka, karena aku pernah tinggal di Sangkal Putung untuk beberapa lama.”
“Ya. Mungkin begitu. Mungkin kau masih tetap mereka anggap sebagai pahlawan. Tanpa kau, Sangkal Putung mungkin tidak akan mengalami masa-masa sebaik sekarang.”
“Tetapi keakraban, kekeluargaanlah yang agaknya mendorong mereka menyambut kedatanganku.”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Namun ia berdesis,
“Sejak kanak-kanak, kau berada di Jati Anom dan Banyu Asri. Tetapi tidak seorang pun yang menyambut kedatanganmu seperti anak-anak muda Sangkal Putung. Aku tidak tahu, kenapa kau lebih dekat dengan Sangkal Putung dari Jati Anom dan Banyu Asri. Mungkin karena kau berada di Sangkal Putung dalam keadaan yang gawat, sehingga anak-anak mudanya merasa senasib dengan kau, atau karena kau seorang pahlawan. Tetapi demikianlah agaknya.”

Tiba-tiba saja terkilas di angan-angan Agung Sedayu, sikap anak-anak muda Sangkal Putung yang sesungguhnya. Sebenarnya mereka pun sama sekali tidak ingin menyambut kedatangannya. Kedatangan Agung Sedayu. Tetapi yang telah menggerakkan anak-anak muda Sangkal Putung sebenarnya adalah kedatangan Swandaru. Putera Demang Sangkal Putung itu pun pasti tidak akan berbuat apa-apa. Seperti juga anak-anak Jati Anom dan Banyu Asri. Mereka hanya akan menyambutnya sebagai kawan yang sudah lama tidak bertemu di sepanjang jalan atau di simpang-simpang tiga apabila berpapasan. Tiba-tiba saja kepala Agung Sedayu justru tertunduk. Ia merasa, bahwa seolah-olah ia justru terlepas dari akarnya. Ia bukan lagi anak Jati Anom, tetapi juga bukan anak Sangkal Putung.
“Jadi,” Berkata Widura kemudian,
“kau akan kembali ke Sangkal Putung hari ini?”
Begitu saja terloncat jawabnya, “Ya, Paman.”
“Dan kau sudah mengatakan kepada Untara?”
Agung Sedayu menggeleng,
“Belum, Paman. Aku belum dapat mengatakannya.”
“Kalau begitu, Untara pasti menyangka, bahwa kau kini telah kembali. Pulang ke rumah sendiri.”
“Mungkin Kakang Untara berpendapat demikian, Paman. Dan itulah yang membuat aku bingung. Bagaimana aku kembali ke Sangkal Putung hari ini. Besok atau lusa, aku akan kembali lagi kemari.”
Tiba-tiba Widura tersenyum. Katanya,
“Tetapi aku tidak dapat menahanmu. Juga sebaiknya Untara tidak. Aku kira bukan sambutan anak-anak muda Sangkal Putung itulah yang penting bagimu.”
Wajah Agung Sedayu menjadi merah sekilas. Sambil menundukkan kepalanya, ia berdesis,
“Mungkin juga begitu, Paman.”
“Aku dapat mengerti, Sedayu. Tetapi barangkali berbeda dengan kakakmu. Ia merasa lebih berhak berbuat atasmu, karena kebiasaannya sebagai seorang kakak terhadap adiknya. Mungkin ia akan melarang kau pergi ke Sangkal Putung hari ini.”
“Tetapi aku sudah berjanji untuk kembali.”
“Tentu tidak akan ada akibat apa-apa, seandainya kau menundanya sampai besok. Asal kau benar-benar kembali. Kau tidak akan secepat itu kehilangan.”
“Tetapi ……,” Agung Sedayu menjadi semakin tunduk.
“Tentu orang-orang Sangkal Putung mengetahui, bahwa kau kembali ke kampung halaman. Bertemu dengan sanak saudara. Tentu kau tidak akan dapat secepat itu kembali.”
Agung Sedayu tiba-tiba menjadi berdebar-debar. Yang terbayang kemudian justru wajah Sekar Mirah yang memberengut. Wajah Swandaru yang kecewa, dan anak-anak muda Sangkal Putung yang berkelakar sambil mengunyah daging kambing.
“Mungkin anak-anak Sangkal Putung itu tidak menghiraukan kehadiranku. Tetapi bagaimana dengan Sekar Mirah dan Swandaru?” persoalan itulah yang kemudian selalu mengganggunya, sehingga untuk sesaat ia merenung.
Tetapi Widura justru tertawa melihat wajah Agung Sedayu yang menegang serta keningnya yang berkerut. Katanya,
“Jangan risau. Kalau kau berkata berterus-terang, maka Untara akan mengerti. Aku mengharap Untara sekarang sudah lain. Ia sekarang mulai mengenal seorang gadis dan mulai mempelajari watak-wataknya.”
Agung Sedayu memandang wajah pamannya sejenak, namun kemudian ia pun tersenyum.
“Mudah-mudahan Kakang Untara mengerti,” desisnya. Lalu, “memang aku melihat perbedaan sikap Kakang Untara sekarang. Aku menyangka, bahwa Kakang Untara akan menyambutku dengan sikap yang dingin, dan bahkan marah karena aku terlampau lama pergi, apalagi aku kembali ke Sangkal Putung lebih dahulu. Tetapi ternyata Kakang Untara tidak berbuat demikian. Ia menerima aku dengan ramah, meskipun ia tahu, bahwa aku baru saja bertengkar dengan prajuritnya.”
“He,” Widura-lah yang terkejut,
“kau sudah mulai bertengkar?”
Agung Sedayu menganggukkan kepalanya.
“Ya, Paman. Aku terpaksa bertengkar.”
“Kenapa?”

Agung Sedayu pun segera menceriterakan dengan singkat apa yang telah terjadi kepada pamannya. Bahwa ia tidak dapat mengelak sama sekali pertengkaran yang telah dipaksakan kepadanya itu. Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Itu memang membuat setiap perwira Pajang menjadi prihatin. Tetapi ada juga baiknya mereka bertemu dengan kau.”
“Ya, Paman. Kakang Untara juga berkata demikian. Tetapi seorang perwira yang lain agaknya bersikap lain pula.”
“Siapa?
“Ranajaya,” jawab Agung Sedayu.
“Mungkin ia tidak senang karena kedatanganku ditandai dengan pertengkaran dengan prajurit yang kebetulan adalah bawahannya. Tetapi mungkin juga karena aku datang dari Mataram, seperti yang dikatakan Kakang Untara.”
“Ranajaya,” Widura mengangguk-anggukkan kepalanya, “ia memang mempunyai sikap yang aneh. Ia merasa dirinya terlampau penting di dalam pasukan Untara. Dan anak itu sangat membenci perkembangan Mataram yang dipimpin oleh Raden Sutawijaya.”
“Aku semula menyangka, bahwa Kakang Untara pun akan bersikap demikian. Tetapi ternyata tidak. Bahkan Kakang Untara telah mencela sikap Ranajaya itu langsung di hadapan para perwira yang lain.”
“Sikapnya memang tercela,” tiba-tiba saja Widura berkata. Tetapi ia pun kemudian menelan ludahnya, seakan-akan ingin menelan kata-katanya itu kembali.
“Kenapa, Paman?”
Widura menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
“Aku sudah bukan prajurit lagi. Aku tidak akan dapat membuat penilaian apa pun atas mereka.”
“Bukan penilaian, Paman, tetapi aku hanya sekedar ingin mendapat gambaran tentang sikap para perwira itu, agar aku dapat mencoba menyesuaikan diri.”
Widura memandang Agung Sedayu sejenak, dan tiba-tiba saja ia tersenyum,
“Kau dahulu pendiam, Sedayu. Sekarang kau pandai juga memancing persoalan.”
Agung Sedayu pun tersenyum pula. Katanya,
“Aku tidak berhasrat memancing persoalan, Paman. Tetapi aku benar-benar ingin mengetahui, terutama latar belakang dari sikap Ranajaya.”
Sejenak Widura merenung. Namun kemudian ia berkata,
“Ada beberapa orang perwira yang tidak senang sekali melihat Mataram berkembang. Aku tidak tahu pasti apakah latar belakangnya. Bahkan mereka mulai mengarah pada suatu anggapan, bahwa Mataram akan membuat dirinya kuat untuk bersaing dengan Pajang.”
“Ah,” desis Agung Sedayu, “apakah pikiran itu benar?”
Widura memandang Agung Sedayu sejenak, lalu,
“Kaulah yang datang dari Mataram. Kau tentu dapat mengatakan, apakah hal itu benar atau tidak benar.”
Kini Agung Sedayu-lah yang menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian ia berkata,
“Aku tidak terlampau lama di Mataram, Paman. Dan aku tidak mendapat kesempatan banyak.”
“Apa yang kau lihat di Mataram? Nanti kita sama-sama mengambil kesimpulan.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu diceriterakannya hal-hal yang penting saja, yang telah terjadi. Bahkan ia pun mengatakan pesan Raden Sutawijaya kepada Untara dan para perwira Pajang. Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Pasti ada salah paham. Tetapi aku menyangka, ada orang yang dengan sengaja meniup-niupkan kesalah-pahaman itu. Beberapa perwira Pajang sendiri telah termakan oleh hembusan-hembusan ceritera tentang persiapan Mataram.”
“Apa yang dapat dipersiapkan saat ini, Paman? Mataram baru sibuk menundukkan alam. Kalau Mataram membangun kekuatan, maka yang menjadi sasarannya adalah alam itu sendiri. Hutan yang lebat dan daerah rawa-rawa.”
“Memang masuk akal. Tetapi kau harus dapat menghubungkan peristiwa yang terjadi di Alas Mentaok itu sendiri dengan hal-hal yang terjadi di istana Pajang. Usaha melawan pembukaan Alas Mentaok di medan dan usaha-usaha untuk menentangnya di istana. Tidak mustahil, bahwa ada hubungan di antara mereka. Yang aku tidak tahu, apakah sikap itu ditujukan kepada Mataram atau justru Pajang.”
“Maksud Paman?”
“Mereka yang menentang langsung, agaknya sudah jelas, bahwa mereka tidak menghendaki Ki Gede Pemanahan membuka hutan itu. Tetapi mereka yang dengan desas-desus mengadu domba antara Mataram dan Pajang, masih perlu diketahui latar belakangnya. Apakah mereka menghendaki usaha membuka Mataram gagal seperti hantu-hantu yang kau katakan itu, atau justru menghendaki Pajang runtuh.”
Agung Sedayu mendengarkan keterangan pamannya dengan saksama. Memang ada beberapa kemungkinan yang dapat terjadi. Baik di Alas Mentaok sendiri, maupun di dalam Istana Pajang. Namun demikian, Agung Sedayu bertanya,
“Paman, kalau ada usaha untuk meruntuhkan Pajang oleh orang-orang dari lingkungan istana sendiri, apakah pamrihnya?”
Widura mengerutkan keningnya. Sejenak dipandanginya Agung Sedayu, yang dengan penuh minat mendengarkan keterangannya. Lalu katanya,
“Pajang memang belum mantap benar sekarang ini. Dengan demikian, maka ada saja adipati-adipati yang tidak menginginkan Pajang menjadi kuat. Kalau Pajang runtuh, siapakah di antara para adipati yang kuat, akan dapat menyatakan dirinya sebagai penguasa atas tanah ini.”
“Tetapi bukankah dengan demikian, akan berarti pertumpahan darah?”
“Ya Sedayu. Mungkin kau dan mungkin juga aku, meskipun aku bekas seorang prajurit, tidak menginginkan pertumpahan darah itu terjadi. Tetapi mungkin ada juga orang yang merasa berbahagia hidup di tengah-tengah pergolakan dan pertumpahan darah. Mungkin ada orang yang merasa berbesar hati, bahkan merupakan kebanggaan apabila mendapat kesempatan berdiri di atas bangkai-bangkai. Semakin tinggi timbunan bangkai di bawah kakinya, ia akan merasa semakin berbangga.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Pengetahuannya tentang Kerajaan Pajang dan kekuasaan yang ada padanya sangat kecil. Bahkan yang pernah dilihatnya adalah hanya sejengkal kecil dari Pajang seluruhnya. Karena itu, dengan susah payah ia mencoba untuk membayangkan keterangan pamannya. Daerah pasisir dari Barat menjelujur ke Timur. Daerah-daerah yang diperintah oleh adipati dan tanah-tanah perdikan yang besar. Apabila ikatan dari sekumpulan pemerintahan itu lepas, maka negara ini akan menjadi porak poranda.
“Tetapi,” tiba-tiba Widura berkata,
“jangan kau pikirkan kata-kataku. Mungkin aku adalah seorang pemimpin buruk yang paling baik di seluruh Pajang.”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya memang seperti seseorang yang baru saja terbangun dari sebuah mimpi yang buruk yang dibuat oleh pamannya, sehingga tanpa disadarinya, Agung Sedayu mengusap matanya dengan lengan bajunya. Sesaat mereka tidak berbicara. Tetapi angan-angan merekalah yang hilir-mudik tidak menentu, menjelajahi daerah yang tidak dapat mereka kenal dengan baik.
“Ah, sudahlah,” berkata Widura kemudian,
“lupakan semuanya. Kita berbicara tentang Untara dan bakal isterinya.”
Agung Sedayu tersenyum.
“Kau wajib mengenalnya baik-baik,” berkata Widura. Kemudian diceriterakannya serba sedikit tentang gadis itu sambil menikmati hidangan yang telah dihidangkan di hadapan mereka. Samar-samar Agung Sedayu dapat membayangkan, bagaimanakah sifat dari gadis itu. Sama sekali tidak seperti Sekar Mirah yang manja, keras hati, dan mempunyai harga diri yang agak berlebih-lebihan. Juga tidak seperti Pandan Wangi, yang menyerahkan dirinya kepada masa depan bagi tanah perdikannya. Seorang anak perempuan yang bakti kepada ayahnya, sepeninggal ibunya. Dan seorang gadis yang berjiwa prajurit.

Bakal isteri Untara itu adalah seorang gadis pendiam. Tidak dapat bermain pedang dan olah kanuragan seperti Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Tetapi ia pantas menjadi isteri seorang perwira, karena sifat-sifatnya. Ia dapat membuat Untara menjadi seorang senapati besar dengan kelembutan hatinya. Ia dapat membuat Untara melepaskan semua kepentingan pribadinya untuk mengabdi kepada tugasnya sebagai seorang senapati.
“Setelah Untara selesai, kau akan segera menyusul,” desis Widura.
“Ah, masih terlampau cepat. Bukankah saudara sekandung tidak boleh kawin di dalam tahun yang sama?”
“Ya. Tetapi tahun ini hampir habis. Bulan depan adalah bulan terakhir dari tahun ini. Kemudian tiga bulan kemudian adalah bulan yang baik pula bagi perkawinan.”
“Tidak, Paman. Tidak tiga bulan lagi. Mungkin tiga tahun atau barangkali lima tahun.”
“Mungkin kau tidak akan terpengaruh. Tetapi lain bagi Sekar Mirah.”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun kemudian kepalanya terangguk-angguk. Tetapi sejenak kemudian, tiba-tiba saja Agung Sedayu berkata,
“Ah, aku akan minta diri, Paman. Aku akan kembali kepada Kakang Untara. Mudah-mudahan aku dapat menemukan alasan yang baik untuk kembali ke Sangkal Putung. Mudah-mudahan Kakang Untara dapat mengerti, dan mudah-mudahan tidak menimbulkan masalah apa pun juga.”
“Kenapa begitu tergesa-gesa?”
“Jarak antara Sangkal Putung dan Jati Anom tidak terlampau jauh. Aku akan dapat hilir-mudik setiap hari.”
“Kakakmu tentu akan bertanya, kenapa kau tidak pulang saja ke Jati Anom, hanya apabila perlu, baru kau pergi ke Sangkal Putung.”
“Ah, Paman,” sahut Agung Sedayu.
Pamannya hanya tersenyum. Tetapi sorot matanya memancarkan pengertian sepenuhnya atas keadaan Agung Sedayu.

Kemudian setelah minta diri kepada seluruh keluarga pamannya, Agung Sedayu pun kembali kepada kakaknya. Tetapi ia masih tetap dibebani oleh kegelisahan. Bagaimana ia akan minta diri nanti, dan apakah alasan yang sebaik-baiknya selain harapan, bahwa kakaknya akan dapat mengerti akan keadaannya. Dengan demikian, maka di sepanjang jalan kepala Agung Sedayu selalu tertunduk. Kudanya pun hanya berjalan perlahan-lahan, tidak lebih cepat dari langkah seorang yang berjalan kaki. Tiba-tiba saja Agung Sedayu teringat kepada gurunya. Sejenak ia mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berdesis kepada diri sendiri,
“Apakah aku dapat mempergunakan guru sebagai alasan untuk kembali ke Sangkal Putung? Mungkin aku dapat berkata, bahwa guru mengharap aku malam ini menghadap. Ada sesuatu yang penting untuk dibicarakan.”
Agung Sedayu menarik nafas. Memang mungkin. Tetapi ia masih belum tahu pasti tanggapan Untara atas ha1 itu. Tetapi Agung Sedayu menjadi berdebar-debar, ketika ia melihat beberapa orang prajurit yang berdiri di tepi jalan. Di antara mereka adalah perwira yang bernama Ranajaya, dan yang membuatnya semakin berdebar-debar adalah di antara para prajurit itu terdapat prajurit yang menyerangnya di saat ia datang. Prajurit yang akan menghinakannya dengan menginjak ikat kepalanya.
“Ah, apa saja yang akan mereka lakukan?” Agung Sedayu berdesah di dalam dirinya.
“Kenapa ada juga perwira Pajang yang memiliki sifat-sifat pengecut itu?”
Tetapi Agung Sedayu tidak berhenti. Kudanya melangkah terus perlahan-lahan, semakin lama semakin dekat. Beberapa langkah di hadapan perwira itu. Agung Sedayu menjadi semakin berhati-hati. Ia tidak tahu apa yang akan dilakukannya. Mungkin dengan tiba-tiba, prajurit itu berbuat sesuatu yang tidak disangka-sangkanya. Tetapi mungkin juga mereka menghentikannya dan mengajaknya bertengkar. Ternyata perwira itu benar-benar telah menghentikannya. Dengan suara datar ia berkata,
“Berhentilah dulu, Agung Sedayu.”
Agung Sedayu berhenti tepat di hadapannya. Tetapi ia tidak turun dari kudanya.
“Aku akan bertanya serba sedikit,” berkata perwira itu.
“Kalau aku dapat menjawab, aku akan menjawab,” sahut Agung Sedayu.
Perwira itu mengerutkan keningnya. Katanya,
“Jangan terlampau sombong. Yang menjadi perwira atasanku adalah Untara. Bukan kau. Jadi kau tidak dapat berbuat seperti Untara kepadaku. Ia berhak mencela aku. Marah kepadaku dan sesuka hatinya. Tetapi kau tidak.” Perwira itu berhenti sejenak, lalu,
“Turunlah.”
“Aku memang bukan Kakang Untara,” jawab Agung Sedayu,
“tetapi aku juga bukan prajurit bawahanmu, sehingga kau tidak berhak memerintah aku.”

Wajah perwira itu menjadi merah. Tetapi ia masih menahan perasaannya. Ia sadar, bahwa Agung Sedayu bukan saja adik Untara, tetapi ia sendiri mampu berbuat seperti Untara. Ternyata prajuritnya sama sekali tidak mampu berbuat apa-apa, meskipun Agung Sedayu melawannya sambil memegang kendali kuda dengan satu tangannya.
“Kau memang terlampau sombong. Tetapi baiklah. Aku dapat berbicara dengan seseorang yang tetap duduk di atas punggung kuda seperti Sutawijaya. Kau kenal Sutawijaya bukan? Ia adalah salah satu contoh dari kesombongan yang tiada taranya. Ia tidak pernah turun dari kudanya dengan siapa pun ia berbicara, meskipun dengan orang yang lebih tua sekalipun. Tetapi ia adalah putera angkat Sultan Pajang.”
Agung Sedayu hanya dapat menahan perasaannya yang mulai tergelitik oleh kata-kata perwira itu. Tetapi ia masih tetap duduk di atas punggung kudanya.
“Agung Sedayu,” berkata perwira itu kemudian,
“aku minta kau menjawab dengan jujur. Apakah Sutawijaya benar-benar sudah menyusun sebuah pasukan yang kuat dan siap untuk berperang?”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dipandanginya perwira itu sejenak, lalu,
“Siapakah yang mengatakannya?”
“Aku bertanya kepadamu. Bukankah kau baru saja datang dari Mataram? Kau pasti mendengar apa yang sudah terjadi di daerah yang baru dibuka itu.”
“Aku hanya lewat.”
“Meskipun demikian, kau pasti sudah mendengar apa yang telah terjadi. Kalau yang lewat itu seorang pedagang ternak atau pedagang emas, mungkin mereka tidak akan tertarik kepada persoalan keprajuritan. Tetapi yang lewat adalah Agung Sedayu, adik Untara yang menjadi senapati pasukan Pajang di daerah Selatan, daerah yang langsung menjadi jalur penghubung antara Pajang dan Mataram, pasti memperhatikan masalah-masalah serupa itu.

Agung Sedayu merenung sejenak. Namun tiba-tiba ia merasa mendapat kesempatan untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi di Mataram, untuk menghindari salah paham. Dengan demikian, ia sudah membantu serba sedikit usaha pendekatan antara ayah dan anak. Antara Sultan Pajang dan Raden Sutawijaya. Karena itu, maka tiba-tiba saja atas kehendaknya sendiri, Agung Sedayu turun dari kudanya. Perwira Pajang yang bernama Ranajaya itu justru surut selangkah. Dengan penuh kecurigaan ia memandang Agung Sedayu dari ujung kakinya sampai ke ujung rambutnya.
“Apa yang kau kehendaki?” bertanya Ranajaya.
“Bukankah aku harus menjawab pertanyaanmu?” sahut Agung Sedayu.
“Dan aku memang akan menjawab pertanyaan itu.”
“O,” Ranajaya maju pula selangkah. Namun ia masih tetap berhati-hati.
Agung Sedayu mengeluh di dalam hatinya. Seakan-akan Ranajaya memandangnya sebagai orang yang paling sombong dan licik. Namun Agung Sedayu mencoba untuk mengesampingkannya. Ia ingin membantu usaha pendekatan yang selalu dicoba oleh Sutawijaya.
“Menurut penglihatanku,” berkata Agung Sedayu,
“Mataram benar-benar sedang memusatkan perhatiannya pada pembukaan hutan. Sama sekali tidak ada tanda-tanda persiapan prajurit, dan apalagi perlawanan terhadap pihak mana pun juga. Aku memang singgah beberapa saat di Mataram. Tetapi yang aku lihat adalah pengerahan tenaga untuk memperluas tanah garapan. Hanya itu. Dan mereka terdiri dari petani-petani yang hanya mengenal kapak dan parang untuk menebang kayu. Bukan pedang dan tombak.
Perwira yang bernama Ranajaya itu mengerutkan keningnya. Tetapi tampak pada sorot matanya, bahwa ia tidak percaya dengan keterangan Agung Sedayu itu. Bahkan kemudian ia berkata,
“Agung Sedayu, ingat, kakakmulah yang akan mendapat tugas untuk berhadapan langsung dengan Mataram. Kau harus memberikan keterangan yang benar. Mungkin sampai saat ini, kakakmu masih belum menaruh curiga atasmu. Tetapi apabila kau tidak mau memberikan keterangan yang sebenarnya, maka kau dapat dianggap telah berkhianat kepada Pajang. Dan kau tentu sudah kenal kepada Untara. Meskipun kau adiknya, kau akan dapat digantungnya di regol padukuhan Jati Anom. Di gerbang kampung halamanmu sendiri.”

Agung Sedayu semakin tidak senang mendengar kata-katanya. Tetapi ia tidak mau mempertajam persoalan Pajang dan Mataram. Maka katanya,
“Sudahlah. Aku tidak dapat memberikan keterangan lebih banyak dari yang aku ketahui. Aku memang tidak akan mengatakan yang tidak sebenarnya. Justru karena itu, aku tidak mau mengarang sebuah ceritera untuk menyenangkan hatimu, seolah-olah bayanganmu tentang Mataram yang dipagari dengan pasukan dan ujung senjata itu, benar-benar telah terjadi.”
Ranajaya membelalakkan matanya sambil membentak,
“Ingat, dengan siapa kau berbicara.”
“Dan ingat,” sahut Agung Sedayu, “aku bukan bawahanmu.”
Ranajaya menggeretakkan giginya. Geramnya,
“Kau salah seorang telik sandi dari Mataram. Kau mendapat, tugas untuk mengetahui kekuatan Pajang di Jati Anom, justru karena kau adik Untara. Agaknya Untara kini benar-benar telah lengah, dan membiarkan kau berkeliaran di sini.”
Agung Sedayu menahan perasaannya yang bergolak dengan susah payah. Ternyata perwira yang bernama Ranajaya ini justru bukan seorang prajurit yang baik. Ia selalu dibayangi oleh kecemasan dan ketakutan. Namun mungkin, ia memang mendapat gambaran yang salah tentang Mataram. Karena itu, Agung Sedayu berkata,
“Aku kira kau memang mendapat keterangan yang tidak sebenarnya sebelumnya. Coba katakan, siapakah yang sudah memberikan keterangan kepadamu tentang Mataram seperti yang kau gambarkan itu?”
“Jangan mencoba bersembunyi lagi. Sebentar lagi aku akan dapat membuktikan, bahwa kau memang seorang telik sandi. Dan Untara sendirilah yang akan menangkapmu dan menggantungmu di padukuhanmu sendiri.”
“Apakah kau pernah melihat Alas Mentaok?”
Perwira itu tidak segera menyahut.
“Kalau belum, apakah kau bersedia sekali-sekali pergi ke Alas Mentaok? Aku bersedia menunjukkan jalan. Kau dapat mengenakan pakaian keprajuritanmu tanpa diganggu oleh lalat sekalipun. Aku akan menanggung keselamatanmu. Kau akan melihat, bahwa di Mataram tidak ada apa-apa sama sekali. Tidak ada persiapan, tidak ada prajurit, dan tidak ada rasa permusuhan dengan siapa pun juga. Mataram sampai saat ini berjalan maju dengan wajar. Bahkan dengan banyak rintangan. Apakah dengan demikian Mataram sempat membuat persoalan dengan kekuasaan yang ada di sekitarnya, apalagi kekuasaan Pajang.”

Ranajaya mengerutkan keningnya. Ia mulai menyadari bahwa Agung Sedayu bukan anak-anak yang takut dengan bentakan-bentakan kasar. Agung Sedayu benar adik Untara, yang memiliki banyak kesamaan, tetapi juga banyak kelainan. Karena itu, Ranajaya tidak bertanya lagi. Tetapi ia masih sempat mengancam,
“Agung Sedayu, kau harus bersikap baik di sini. Jangan menimbulkan kecurigaan dan tingkah laku yang dapat menyeretmu ke tiang gantungan.”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia sama sekali tidak menjawab. Sejenak ia memandang wajah Ranajaya, yang seakan-akan membayangkan kebencian yang sangat dalam terhadap Mataram dan pemimpin-pemimpinnya.
“Aku kira benar juga dugaan-dugaan, bahwa ada satu dua orang yang telah berbuat curang di dalam istana. Mungkin saat-saat ini mereka baru berhasil menghasut para perwira dan para prajurit. Mungkin lain kali senapati yang lebih tinggi dan kemudian panglima prajurit, pepatih Pajang dan semua kadang sentana. Akhirnya Sultan Hadiwijaya sendiri akan mempercayainya, bahwa Mataram benar-benar akan memberontak terhadap kekuasaan Pajang,“ berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.
Agung Sedayu seakan-akan tersadar, ketika ia mendengar Ranajaya berkata,
“Pergilah. Aku tidak memerlukan kau lagi hari ini.”
Terasa dada Agung Sedayu berdesir. Sikap perwira itu benar-benar telah memuakkan. Tetapi ia masih berusaha untuk menahan perasaannya dan menjawab,
“Sekehendakkulah. Apakah aku akan pergi, apakah aku akan tetap di sini. Aku berada di kampung halamanku sendiri. Sejak kecil aku bermain-main di sepanjang jalan ini tanpa ada yang mengganggu gugat. Sekarang aku dapat berjalan menyusur jalan ini, ke sana ke mari sehari sepuluh kali.”
“Gila. Kau adalah orang yang lebih sombong lagi dari Sutawijaya.”
“Aku tidak peduli. Apakah aku melampaui kesombongan Sutawijaya, dan menyamai kesombonganmu atau tidak, itu adalah persoalanku.”
“Diam!” bentak perwira itu.
“Jangan berani mempermainkan seorang perwira Pajang. Kau akan menyesal. Seandainya aku tidak mengenal kau sebagai adik Untara, kau sudah menjadi permainan anak buahku di sini.”
“Bukan begitu kebiasaan seorang prajurit. Seorang prajurit adalah seorang yang bersikap jantan. Apakah kau mengerti arti dari sikap jantan itu?”
Tubuh perwira itu menggigil, apalagi ketika Agung Sedayu berkata,
“Aku akan mengatakan kepada Kakang Untara, apakah yang sebaiknya aku lakukan menghadapi seorang perwira macam kau ini. Dan aku memang tidak pernah membayangkan, bahwa ada seorang perwira Pajang yang mempunyai sifat semacam ini.”

Tetapi Agung Sedayu tidak menunggu jawaban. Ia pun segera meloncat ke punggung kudanya dan memacu kudanya meninggalkan perwira yang bernama Ranajaya itu. Ranajaya pun menjadi ragu-ragu. Kemarahan yang memuncak di kepalanya hampir melepaskan segala macam pertimbangannya. Untunglah, bahwa ia masih tetap sadar, bahwa Agung Sedayu adalah adik Untara, sehingga masih ada juga keseganannya untuk berbuat sesuatu.
“Tetapi lepas dari daerah Jati Anom, aku dapat berbuat apa pun juga di luar pengetahuan Untara. Kalau aku berbuat jantan seperti yang dikatakan Agung Sedayu, tidak ada seorang pun yang akan menuntut aku,” berkata perwira itu di dalam hatinya. Lalu sambil membusungkan dadanya ia berkata,
“Tetapi seandainya Untara marah juga, aku dapat berhubungan dengan Kakang Tumenggung, yang mempunyai pengaruh tidak kalah dari Untara di istana.”
Perwira itu menggeretakkan giginya. Tetapi tanpa berkata apa pun juga, ia pun segera pergi meninggalkan tempat itu diikuti oleh beberapa orang prajuritnya.
“Anak itu memang keras kepala,” desis seorang prajurit,
“ia tidak saja berani menentang seorang prajurit, tetapi juga seorang perwira.”
“Ia merasa mendapat perlindungan dari kakaknya, seorang senapati,” jawab yang lain.
“Itu akan membuatnya keras kepala.”
Tetapi mereka pun kemudian terdiam, apabila sekilas melonjak di dalam hati mereka, kenyataan yang sebenarnya mereka hadapi tentang Agung sedayu itu. Dalam pada itu, Agung Sedayu pun menjadi semakin dekat dengan rumahnya. Selain debar jantungnya yang belum reda, ia sudah mulai dirayapi kegelisahan yang lain, yang tanpa disengaja telah dilupakannya untuk sejenak. Kegelisahan menjelang sore hari, untuk minta diri kepada kakaknya. Ternyata kedatangannya memang sudah ditunggu oleh Untara dan beberapa orang perwira yang lain. Setelah duduk sebentar, maka mereka pun kemudian mulai menikmati makan siang yang sudah disediakan. Namun selama tangannya menyuapi mulutnya, Agung Sedayu masih saja digelisahkan oleh keharusannya minta diri. Sedangkan matahari semakin lama semakin bergeser turun ke Barat. Demikianlah, setelah selesai makan dan setelah mereka berbicara serba sedikit, mulailah Agung Sedayu mengatur hatinya, untuk menyampaikan niatnya, bahwa ia akan kembali ke Sangkal Putung sore itu.
Tetapi hatinya menjadi berdebar-debar kembali, ketika Untara berkata,
“Bilikmu semasa anak-anak masih tersedia buatmu, Sedayu. Meskipun selama ini bilik itu kami pergunakan, tetapi malam ini dan seterusnya akan dapat kau pakai lagi, seperti pada masa kecilmu. Bedanya, dahulu kau menempati bilik itu bersama ibu, tetapi sekarang kau harus berani tidur sendiri.”

Para perwira yang mendengar kelakar Untara itu, tertawa. Agaknya mereka telah mendengar ceritera tentang Agung Sedayu semasa menjelang remaja. Bahwa ia adalah seorang penakut yang kadang-kadang menjengkelkan sekali. Bukan saja karena ia tidak berani menghadapi kawan-kawannya yang nakal, tetapi ia adalah anak yang takut sekali kepada gelap, hantu, dan semacamnya. Agung Sedayu sendiri tersenyum mendengarnya, meskipun debar jantungnya menjadi semakin cepat.
“Tetapi aku tidak dapat diam sampai senja,” tiba-tiba saja timbul pikiran di dalam dirinya,
“sebaiknya aku berterus terang. Apa pun yang akan dikatakan oleh Kakang Untara terhadapku. Mudah-mudahan Kakang Untara tidak menghubungkan masalah ini dengan kedatanganku dari Mataram. Seolah-olah aku tidak mau lagi berada di lingkungan prajurit Pajang, karena aku mempunyai ikatan tertentu dengan Mataram. Jika demikian maka Ranajaya akan mendapat kesempatan meniup-niupkan pendapatnya yang salah itu.”
Karena itu, satu-satunya alasan yang akan dikemukakan oleh Agung Sedayu adalah gurunya. Gurunya minta ia kembali ke Sangkal Putung sore ini, karena ada persoalan yang akan dibicarakan mengenai dirinya dalam hubungan guru dan murid.
“Juga mudah-mudahan tidak ada salah paham pada Kakang Untara. Kalau ia menganggap Guru pun berpihak pada Mataram, maka aku akan mendapat kesulitan,” katanya pula didalam hatinya.
Karena itu, setelah suara tawa para perwira mereda, Agung Sedayu mencoba untuk mulai berbicara, mumpung Ranajaya tidak ada di dalam ruangan itu.
“Kakang, sebenarnya aku senang sekali bermalam di rumah ini. Rumahku sendiri. Apalagi di dalam bilikku semasa kanak-kanak. Tetapi……,” Agung Sedayu menjadi ragu-ragu.
“Tetapi, kenapa?” Untara bertanya.
“Bukan maksudku tidak menghargai Kakang Untara dan para perwira. Tetapi sebenarnya, bahwa sejak aku berangkat, aku sudah mendapat pesan, bahwa senja ini aku harus kembali ke Sangkal Putung.”
“Kembali ke Sangkal Putung?” Untara mengerutkan keningnya.
“Ya, Kakang, tidak ada apa-apa. Tetapi demikianlah pesan Guru. Besok aku akan segera kembali lagi ke mari, dan aku akan tinggal di rumah ini. Aku senang sekali mendapat banyak kawan di sini, Kakang Untara dan para perwira Pajang.”
Untara memandang Agung Sedayu sejenak. Tetapi ia tidak segera mengatakan sesuatu. Agung Sedayu pun menjadi bimbang. Bahkan kepalanya menjadi tertunduk dalam-dalam. Sekilas ia mencoba untuk menatap wajah-wajah para perwira yang duduk di sekitarnya. Tetapi ia tidak tahu, kesan apakah yang membayang di wajah mereka.

Namun dengan demikian, maka dada Agung Sedayu pun menjadi semakin berdebar-debar. Sejenak ia menunggu jawaban kakaknya, tetapi rasa-rasanya sudah berhari-hari kakaknya itu diam saja memandangnya dengan tajam. Ruangan itu menjadi hening, seakan-akan tidak berpenghuni. Hanya tarikan nafas yang gelisah terdengar susul-menyusul. Betapa hati Agung Sedayu menggelepar. Tetapi ia masih tetap harus menunggu. Namun Agung Sedayu yang tertunduk dalam-dalam itu terperanjat, ketika tiba-tiba saja ia mendengar suara Untara. Justru suara tertawanya. Karena itu dengan serta-merta ia mengangkat wajahnya, dan dengan penuh pertanyaan ditatapnya wajah kakaknya yang tampak aneh baginya.
Sejenak kemudian, setelah suara tertawanya mereda, barulah Untara menjawab,
“Kau berbohong, Sedayu.”
Berbagai perasaan bercampur baur di dada Agung Sedayu. Ia tidak mengerti, apakah yang sebenarnya tersimpan di hati kakaknya. Karena itu, maka tergagap ia menjawab,
“Aku tidak berbohong, Kakang.”
“Kau tentu berbohong. Kau katakan, bahwa gurumu memanggilmu sore ini?”
“Ya, ya, ya Kakang.”
Tetapi Untara tertawa pula. Agung Sedayu benar-benar menjadi gelisah. Rasa-rasanya ia duduk di atas tikar yang membara. Ia bergeser sejengkal surut.
“Jangan kau sangka aku tidak tahu,” berkata Untara,
“bukankah baru tadi malam kau sampai di Sangkal Putung? Dan karena kau segan kepada sanak kadang di Jati Anom, kau memaksa diri untuk datang menemui aku, yang selama ini kau anggap sebagai ganti ayah dan ibu?”
Agung Sedayu tidak menyahut. Tetapi kepalanya telah tertunduk semakin dalam. Namun di dalam hatinya ia berkata,
“Bukan hanya karena keseganan itu. Aku ingin segera mendapat kesan tentang Kakang, bagaimana sikap Kakang terhadap Mataram.”
“Agung Sedayu,” berkata Untara kemudian. Karena suara Untara menjadi bersungguh-sungguh, maka Agung Sedayu pun mengangkat wajahnya.
“Kalau dahulu,” Untara meneruskan,
“mungkin aku akan bertanya, kenapa gurumu memanggil kau sore ini. Mungkin aku tidak mempercayaimu dan memaksamu tinggal di sini, karena aku adalah kakakmu. Tetapi sekarang aku bersikap lain. Aku sekarang tahu, kalau kau sekedar berbohong, karena kau malu mengatakan alasan yang sebenarnya. Namun seandainya gurumu sekalipun yang menyuruh kau kembali sore ini, kau pasti tidak akan menjadi sangat gelisah, seandainya kau tidak dapat memenuhinya, karena kau berharap, bahwa gurumu mengerti kesulitanmu. Tetapi sekarang pasti bukan gurumu yang mengharap kau cepat kembali.”
Agung Sedayu menjadi bingung.
“Ayo, berkatalah terus terang. Jangan mencoba berbohong.”
Agung Sedayu justru menjadi semakin membeku. Dan ia menjadi bingung ketika, Untara sekali lagi tertawa berbahak-bahak, sehingga tubuhnya berguncang-guncang. Beberapa orang perwira yang hadir tersenyum geli melihat sikap Untara dan melihat Agung Sedayu yang kebingungan. Namun mereka sendiri tidak mengerti, apa yang sebenarnya sedang dipikirkan oleh Untara.
“Agung Sedayu,” berkata Untara kemudian setelah suara tertawanya mereda,
“kau tahu, dan barangkali kau mendengar dari Paman Widura lebih banyak lagi tentang aku dan masa-masa menjelang perkawinanku? Nah, baru setelah aku akan kawin aku tahu, bahwa kau berbohong. Bukankah begitu? Sama sekali bukan Kiai Gringsing yang memaksamu pulang, tetapi pasti Sekar Mirah. Ayo, jangan ingkar. Aku tahu pasti.”

Dada Agung Sedayu berdesir. Tetapi ia mendengar kakaknya berkata di sela-sela suara tertawanya,
“Aku akan menyerah sekarang. Mungkin dahulu aku akan berkeras. Tetapi sekarang aku tahu, bahwa keharusan yang paling ditaati, adalah keharusan serupa itu. Dan aku sama sekali tidak berkeberatan, karena kau pun pasti akan memaksa, seandainya aku minta kau tinggal di sini malam ini. Kau pasti lebih memberatkan pesan Sekar Mirah dari pesan siapa pun, termasuk gurumu sendiri.”
Agung Sedayu membeku sejenak. Namun tiba-tiba terasa sesuatu yang aneh di dalam hatinya. Suatu serangan perasaan yang tidak terduga-duga, seakan-akan ia telah terbanting dalam suatu keadaan yang sangat asing. Ia tidak menyangka sama sekali, bahwa kakaknya akan bersikap demikian lunak dan lembut menghadapi keadaannya. Sehingga karena itu, sejenak ia terbungkam sambil memandangi wajah Untara yang masih saja dibayangi oleh suara tertawanya.
“Ha, kau akan mungkir?”
Tetapi Agung Sedayu kini sadar, bahwa kakaknya sekedar berkelakar. Kakaknya ternyata tidak berbuat apa-apa seperti yang dibayangkannya. Kakaknya tidak membentaknya dan tidak memaksanya dengan kekerasan, karena perasaannya tersinggung. Kakaknya ternyata bersikap lain sekali dengan bayangan-bayangan yang tampak di angan-angannya. Karena itu, maka Agung Sedayu pun tersenyum pula, meskipun kepalanya tertunduk dalam-dalam, tetapi ketegangan yang melonjak di hatinya kini telah lenyap.
“Aku mendapat pesan Guru,” berkata Agung Sedayu hampir tidak terdengar.
“Bohong. Kau sekarang pandai berbohong. Katakan saja terus terang, bahwa Sekar Mirah berpesan dengan bersungguh-sungguh, bahwa kau harus segera kembali ke Sangkal Putung, karena, kau baru datang semalam.” Untara masih tertawa, lalu,
“Baiklah. Sampaikan salamku kepada Sekar Mirah, kepada Swandaru dan Ki Demang berdua. Apalagi kepada gurumu dan Ki Sumangkar yang masih tinggal di sana. Aku minta maaf, bahwa sampai kini aku masih belum sempat mengunjunginya karena bermacam-macam kesibukan.”
Dan seorang perwira menyahut,
“Yang paling sibuk adalah persoalannya dengan Kakang Widura.”
“Ah,” Untara berdesah. Tetapi yang ada di ruang itu hampir berbareng tertawa, kecuali seorang perwira yang masih berdiri di luar pintu, Ranajaya.

Ternyata Agung Sedayu menemukan Untara yang sudah agak lama ditinggalkannya bertualang itu, lain sama sekali dengan Untara yang dibayangkannya. Ternyata kakaknya sama sekali tidak berkeberatan, apabila sore itu ia kembali ke Sangkal Putung. Bahkan kakaknya dapat menebak alasannya yang sebenarnya, kenapa ia menjadi gelisah ketika matahari menjadi semakin rendah.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar