Ketiganya tertawa. Tetapi mereka cukup mengerti, bahwa mereka harus menahan suara tertawanya supaya tidak menyinggung perasaan anak-anak muda yang masih belum terlampau jauh. Namun dengan demikian, mereka mendapat sekedar gambaran tentang anak-anak muda yang dikatakan oleh Astra. Selain kedua putra-putranya sendiri, Supa dan Bawa, maka anak-anak yang berada di tepi jalan itu adalah contoh yang cukup baik.
“Pantaslah
apabila sering terjadi perkelahian di sini,” desis Sutawijaya.
“Apabila
gerombolan itu bertemu dengan gerombolan yang lain, maka kemungkinan timbulnya
bentrokan pasti mudah sekali.”
“Tetapi,”
potong Swandaru,
“apabila
kekuatan mereka seimbang, maka mereka pasti ragu-ragu untuk mulai.”
Sutawijaya
tersenyum. “Ya,” jawabnya.
Ketika
kemudian mereka berpaling, maka anak-anak muda itu telah jauh berada di
belakang mereka. Namun satu-satu mereka masih juga bertemu dengan anak-anak
muda yang lain, yang agaknya sedang berjalan ke gardu itu berkumpul dengan
teman-temannya. Lepas dari desa itu mereka sampai di sebuah bulak yang pendek.
Di seberang bulak itulah terletak induk Kademangan Prambanan. Ketika mereka
sampai di sebuah simpangan di tengah-tengah bulak itu, kembali mereka melihat
segerombolan anak-anak muda dari arah yang lain. Anak muda yang bertingkah laku
mirip dengan anak-anak yang bergerombol di samping gardu yang telah mereka
lampaui. Tetapi anak-anak muda ini bersikap acuh tak acuh saja terhadap
Sutawijaya dan kedua kawan-kawannya, seperti mereka tidak melihatnya. Beberapa
langkah kemudian terdengar Swandaru berbisik,
“Sikap mereka
terhadap kita agak berbeda.”
“Bukan karena
mereka menghormati kita,” sahut Agung Sedayu,
“tetapi justru
mereka menganggap kita tidak berarti apa-apa bagi mereka.”
Semakin dekat
dengan induk Kademangan Prambanan, jalan-jalan menjadi bertambah ramai.
Anak-anak muda berjalan bersimpang-siur dalam tingkah laku yang aneh-aneh.
Namun ada pula di antara mereka yang bersikap lain. Bersikap wajar, meskipun
mereka juga berada dalam gerombolan tersendiri.
“Adalah tidak
bijaksana, dalam keadaan seperti ini diadakan keramaian di kademangan ini,”
gumam Sutawijaya.
“Ya. Terlalu
berat akibat yang dapat terjadi,” sahut Agung Sedayu.
“Mungkin
karena mereka menerima beberapa tamu,” desis Swandaru.
Mereka pun kemudian terdiam. Di kejauhan mereka
melihat dari celah-celah dedaunan, sinar obor yang terang-benderang seperti
siang.
“Itulah banjar
desa,” berkata Agung Sedayu.
“Ternyata
tidak terlalu dalam masuk ke induk kademangan.”
Kedua
kawan-kawannya tidak menjawab. Tetapi mereka memperhatikan pula sinar obor yang
bertebaran di sebuah halaman yang cukup luas, sebuah lapangan rumput di muka
Banjar Desa Prambanan. Di halaman itu telah banyak berkumpul anak-anak muda dan
orang-orang di sekitar banjar desa itu. Bukan saja anak-anak muda, tetapi
orang-orang yang setengah baya pun
banyak juga yang duduk-duduk di tepi lapangan kecil itu. Bahkan orang
berjualan pun banyak bertebaran di
sana-sini.
Agung Sedayu
dan Swandaru melihat suasana banjar desa itu dengan perasaan yang aneh. Selain
di sana-sini dilihatnya beberapa anak-anak muda dengan tingkah laku yang tidak
wajar, maka keramaian itu sendiri telah membuat suasana yang berlawanan di
dalam dada mereka. Apa yang selama ini mereka lihat adalah Banjar Desa Sangkal
Putung yang selalu ramai pula. Tetapi banjar desa itu diramaikan oleh
prajurit-prajurit yang memandi senjata, beserta anak-anak muda Sangkal Putung
yang selalu bersiaga menghadapi bahaya. Sedang kali ini, ia melihat suasana
sebuah banjar desa yang jauh dengan Banjar Desa Sangkal Putung. Sutawijaya dan
kawan-kawannya kemudian memilih tempat yang agak terlindung oleh bayangan
tetumbuhan. Kemudian duduk sambil melihat-lihat berbagai macam sikap dan
tingkah laku anak-anak muda di sana-sini. Di pendapa mereka melihat sederet
gamelan dan tikar yang dibentangkan di sisi yang lain, bertentangan dengan
letak gamelan. Di situlah nanti para tamu dan orang-orang penting dari
Prambanan akan duduk menikmati pertunjukan. Sutawijaya yang sering melihat
keramaian di tempat-tempat yang lebih besar, sama sekali tidak tertarik pada
pertunjukan yang akan dihidangkan. Apalagi apabila kemudian akan dilakukan pula
tarian tayub yang dapat menjadikan suasana menjadi panas. Tetapi yang menarik
perhatiannya adalah keadaan dan suasana pada saat itu. Hampir tidak sabar ia
menunggu para tamu, para pemimpin kademangan dan mungkin juga para pemimpin
prajurit Pajang yang berada di Prambanan, meskipun hanya satu atau dua orang. Sejenak
kemudian, gamelan telah mulai dibunyikan. Beberapa orang yang berdiri
bertebaran mulai merayap maju mendekati pendapa banjar desa. Sutawijaya dan
kedua kawannya belum berkisar dari tempatnya. Mereka masih duduk-duduk sambil
melepaskan lelah setelah mereka berjalan hampir sehari penuh melampaui hutan,
gerumbul-gerumbul liar dan semak-semak ilalang. Baru ketika beberapa orang
keluar dari pinggiran banjar desa, Sutawijaya mengangkat wajahnya. Katanya
berlahan-lahan,
“Itulah
mereka.”
Tetapi mereka
tidak dapat melihat wajah-wajah orang-orang yang keluar dari pringgitan dan
duduk di atas tikar pandan yang telah terbentang di pendapa. Tetapi menilik
pakaian mereka, segera Sutawijaya dapat mengenal, bahwa di antara mereka ada
dua orang prajurit Pajang.
“Itulah
mereka,” desisnya.
“Dua orang itu
pasti prajurit Pajang.”
“Ya,” sahut
Agung Sedayu dan Swandaru hampir bersamaan. Pakaian itu mirip dengan pakaian
Untara dan Widura apabila mereka mengenakan pakaian resmi mereka. Pakaian
kebesaran mereka sebagai Prajurit Wira Tamtama Pajang.
“Mari kita
mendekat. Aku ingin melihat wajahnya. Mungkin aku mengenalnya,” ajak
Sutawijaya.
Mereka pun kemudian berdiri. Perlahan-lahan mereka
maju di antara para penonton yang lain. Mereka selalu berhati-hati supaya tidak
menyingung perasaan anak-anak muda yang bertingkah laku kurang pada tempatnya
itu. Ketika mereka menjadi semakin dekat berdiri di sisi pendapa, maka segera
dapat melihat siapa yang duduk di atas tikar di pendapa itu. Selain dua orang
prajurit itu, masih ada beberapa orang yang tampaknya mendapat kehormatan di
antara mereka. Mereka adalah tiga orang anak-anak muda, meskipun agak lebih tua
sedikit dari Sutawijaya dan kedua kawan-kawannya. Segera mereka dapat menebak,
bahwa ketiga anak-anak muda itulah yang dimaksud oleh Astra, tamu dari Bukit
Menoreh. Utusan pribadi Kepala Daerah Perdikan Menoreh. Di belakang para tamu
itu duduk beberapa orang pemimpin Kademangan Prambanan, di antaranya beberapa
orang anak-anak muda yang berpakaian rapi dan baik.
Sutawijaya
ingin mendapat beberapa penjelasan tentang orang-orang itu, tetapi tak ada
orang tempat bertanya. Ia tidak dapat bertanya kepada siapa orang yang ada di
sekitarnya, sebab dengan demikian akan menimbulkan kecurigaan dan mungkin
hal-hal yang tidak dikehendakinya. Karena itu, maka Sutawijaya itu pun untuk sejenak berdiam diri sambil mencoba
mengamati wajah-wajah mereka lebih seksama. Kemudian digamitnya kedua kawannya
sambil berbisik,
“Aku telah
mengenal kedua prajurit itu. Mereka adalah Lurah Wira Tamtama. Tetapi mereka
bukan orang yang cukup penting, mungkin karena keadaan Prambanan telah cukup
baik, sehingga orang-orang itulah yang ditinggalkannya di sini.”
Agung Sedayu
dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan pula Agung Sedayu
berkata,
“Keadaan
Prambanan saat ini justru sangat berbahaya. Bukan karena sisa-sisa laskar
Tohpati, tetapi karena keadaan kademangan ini sendiri.”
“Kau benar,
tetapi aku kira, pimpinan pemerintahan di Pajang belum mendengar persoalan ini.
Banyak persoalan yang tidak segera diketahui oleh atasan atau bawahan, sesuai
dengan salurannya. Coba, apa katamu tentang orang-orang Menoreh itu? Apakah
menurut dugaanmu mereka telah mendengar keadaan Sidanti?”
Agung Sedayu
menggelengkan kepalanya, “Aku kira belum,” jawabnya.
“Apabila
sudah, ia tidak akan duduk begitu rapat dan ramah dengan kedua prajurit Pajang
itu.”
“Kau benar,”
sahut Sutawijaya.
“Ternyata para
prajurit Pajang itu pun pasti belum
mendengar pula. Sebab menilik sikap mereka, maka mereka pun sangat rapat dan ramah pula menanggapi
tamu-tamu dari Menoreh itu.”
Mereka
bertiga pun kemudian
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Sesaat kemudian mereka pun berpaling ketika mereka mendengar
seseorang menyapa beberapa orang kawannya yang berdiri di belakang Sutawijaya.
“Mari Kakang,
kawan-kawan ada di sebelah gerbang.”
Kawan-kawannya
yang berdiri di belakang Sutawijaya berpaling. Di samping mereka berdiri
seorang pemuda bertubuh tinggi kekar. Berkumis melintang dan berjambang
panjang. Sutawijaya dan kawan-kawannya melihat perbedaan sikap di antara
mereka. Anak-anak muda yang mengajak anak-anak yang berdiri di belakang mereka
yang bertubuh tinggi kekar itu, agaknya adalah anak-anak muda yang sedang
dijangkiti penyakit aneh-aneh, sedang mereka yang disapanya tampaknya agak
lebih tenang dan dewasa.
Sementara itu
Sutawijaya mendengar anak-anak muda yang berdiri di belakangnya menjawab,
“Kami di sini
saja. Kami akan menonton pertunjukan di pendapa.”
Anak muda yang
menyapanya tertawa,
“Kami pun akan menonton, Kakang.”
“Baik,
silahkan.”
Anak muda yang
pertama tertawa terbahak-bahak sehingga beberapa orang berpaling kepadanya,
tetapi anak muda itu sama sekali tidak memperdulikannya.
“Kalian adalah
anak-anak malaikat,” katanya sambil tertawa.
Anak-anak muda
yang sejak semula berdiri di belakang Sutawijaya tidak menjawab. Kini perhatian
mereka telah mereka arahkan kembali ke pendapa banjar desa.
“Kami akan
mendapat kesempatan bertemu dengan tamu-tamu dari Menoreh, Kakang,” berkata
anak muda berkumis melintang dan berjambang panjang itu.
“Silahkan.
Silahkan,” sahut yang berdiri yang berdiri di belakang Sutawijaya.
Kembali anak
muda itu tertawa. Kemudian katanya,
“Kami telah
berusaha untuk menyenangkan hati tamu-tamu kita. Aku telah menghubungi beberapa
orang gadis yang akan menemani kita nanti menemui tamu-tamu kita. Dan
gadis-gadis itu pun menjadi bergembira
pula.”
Sutawijaya
melihat beberapa orang pemuda itu terkejut. Tetapi sesat kemudian salah seorang
dari mereka menjawab,
“Silahkan,
Adi.”
“Kakang tidak
ikut bergembira bersama kami? Anak-anak muda dari Sembojan kali ini mendapat
kesempatan terbaik dibanding dengan anak-anak muda dari pedesaan yang lain, di
samping anak-anak induk kademangan ini sendiri.”
“Bagus, tetapi
kami tidak ikut dengan kalian.”
Kembali anak
muda itu tertawa terbahak-bahak. Kembali beberapa orang berpaling memandangnya.
Tetapi anak muda itu sama sekali tidak mempedulikannya. Bahkan ketika ia
melangkah pergi pun suara tertawanya
masih terdengar mengumandang. Ketika anak muda itu telah pergi, maka Sutawijaya
mendengar anak-anak yang berdiri di belakannya bergumam,
“Anak itu
sangat menyedihkan tetua padesaan kami.”
“Memalukan dan
pasti akan menimbulkan persoalan dengan anak-anak muda dari padesan yang lain.”
Belum lagi
mereka berhenti berbicara, maka mereka telah melihat dua orang pemuda yang lain
dengan tingkah laku yang memuakkan menyuruk di antara penonton. Salah seorang
dari mereka berkata,
“Di mana?”
“Aku mendengar
suara tertawanya. Di sini.”
“Siapa?”
“Anak
Sembojan.”
“Anak itu
pasti benar. Anak yang tinggi berkumis melintang. Hem. Kalau anak itu belum
dihajar, ia pasti masih saja merasa pahlawan di antara kawan-kawannya.
Anak-anak Sembojan harus menyadari bahwa anak-anak Telaga Kembar mampu
mengatasi mereka.”
Sutawijaya dan
kawan-kawannya menjadi berdebar-debar. Mereka tahu betul, bahwa di belakannya
masih berdiri anak-anak Sembojan yang menolak diajak oleh anak muda yang tinggi
kekar itu. Kalu anak-anak itu menjadi marah mendengar tantangan itu, maka akibatnya
memang tidak baik. Tetapi ternyata anak-anak muda di belakang Sutawijaya itu
seakan-akan tidak mendengar kata-kata yang diucapkan oleh anak-anak muda Telaga
Kembar itu. Ketika anak-anak muda itu pergi, Sutawijaya menarik nafas
dalam-dalam. Tidak mereka sengaja mereka bertiga bersama-sama berdesah.
“Lucu,” bisik
Sutawijaya.
“Apakah
Sembojan dan Telaga Kembar itu keduanya termasuk Kademangan Prambanan? Kalau
demikian, Prambanan memang sedang mengalami bencana. Lalu apakah kerja prajurit-prajurit
Pajang itu di sini?”
Agung Sedayu
dan Swandaru tidak menyahut. Pertanyaan itu berputar pula di dalam kepalanya.
Alangkah jauh bedanya dengan anak-anak muda Sangkal Putung. Dari ujung
Kademangan yang satu sampai ujung kademangan yang lain, semuanya dapat
dikendalikannya dalam satu perjuangan menahan arus laskar Tohpati.
“Tetapi,” berkata
Swandaru di dalam hatinya,
“Apabila
bahaya itu telah berlalu, apakah anak-anak muda Sangkal Putung akan mengalami
nasib seperti Prambanan?”
“Beruntunglah
aku melihat kejadian ini,” gumamnya pula dalam hatinya.
“Aku mendapat
pelajaran yang sangat berharga sehingga aku akan dapat memperhitungkannya
kelak. Mudah-mudahan aku akan dapat mencegahnya keadaan serupa ini.”
Dalam pada tiu
terdengar Agung Sedayu berkata perlahan-lahan,
“Tetapi di
antara mereka masih ada juga yang menyadari keadaan. Anak-anak muda di belakang
kita itu agaknya bersikap lain dengan kawan-kawannya.”
Sutawijaya dan
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Terdengar Sutawijaya berkata,
“Kita menunggu
kesempatan. Aku ingin bertanya beberapa hal kepada mereka.”
“Tetapi
hati-hatilah,” sahut Swandaru.
“Tentu.
Jangan-jangan kita disangkanya anak-anak muda dari kademangan lain yang akan
mengganggu mereka pula.”
Ketiganya
kemudian terdiam. Suara gamelan di pendapa telah mulai memenuhi udara. Di atas
tikar pandan, merekam melihat para tamu bergurau dan bergembira. Sutawijaya dan
kedua kawannya masih tetap berdiri di tempatnya. Sekali-kali mereka berpaling
dan anak-anak muda Sembojan itu pun
masih juga berdiri tenang-tenang.
Sedikit demi
sedikit Sutawijaya dan kawan-kawannya kemudian beringsut surut mendekati
anak-anak Sembojan itu tanpa menimbulkan perhatian sama sekali. Ketika mereka
sudah berdiri di samping anak-anak Sembojan maka kembali mereka berdiam diri.
Tetapi meskipun mereka memandangi orang-orang yang berada di atas pendapa, para
tamu, prajurit-prajurit Pajang, para pemimpin kademangan, dan para penabuh
gamelan, namun perhatian mereka sama sekali tidak tertuju ke sana. Sejenak
kemudian pertunjukan pun dimulai. Sebuah
tarian tunggal, petikan dari cerita Panji dan Kirana pada masa
kerajaan-kerajaan Jenggala. Terdengar para penonton bersorak. Tetapi suara
mereka tenggelam dalam suara hiruk-pikuk anak-anak muda yang berteriak tidak
menentu. Sutawijaya dan kedua kawannya heran mendengar suara hiruk-pikuk itu.
Namun suara itu pun kemudian mereda dan
akhirnya lenyap pula. Yang terdengar kemudian adalah suara gamelan yang
memenuhi halaman.
“Kenapa mereka
berteriak-teriak?” berbisik Sutawijaya tanpa sesadarnya.
“Entahlah,”
sahut Agung Sedayu dan Swandaru hampir bersamaan.
Mereka
kemudian terdiam ketika mereka meyadari bahwa pemuda-pemuda Sembojan yang
berdiri di samping mereka itu memperhatikannya. Bahkan terdengar salah seorang
dari mereka berkata,
“Apakah kalian
heran mendengar hiruk-pikuk itu?”
Ketiga anak
muda itu terdiam sesaat. Mereka menjadi ragu untuk menjawab. Namun karena
mereka tidak segera menjawab terdengar kembali pertanyaan itu,
“Apakah kalian
heran?”
Agung Sedayu
dan Swandaru tidak ingin menjawab pertanyaan itu. Mereka mengharap Sutawijaya
yang mereka anggap tertua di antara mereka untuk menjawabnya. Sutawijaya pun sebenarnya masih dicengkam oleh
keragu-raguan. Tetapi ia tidak dapat berdiam diri saja. Sehingga akhirnya
terpaksa ia menjawab,
“Ya, Kisanak.
Aku menjadi heran mendengar suara-suara itu.”
Anak Sembojan
itu tidak segera menyahut. Bahkan salah seorang dari mereka melangkah mendekat
sambil mengamat-amati wajah Sutawijaya. Ia bertanya,
“Dari manakah
kalian?”
Agaknya anak
muda dari Sembojan itu agak disilaukan oleh sinar obor yang memancar dari
pendapa, sedang Sutawijaya agak terlindung oleh bayangan orang-orang yang
berdiri di mukanya. Kembali Sutawijaya menjadi ragu-ragu. Tetapi kembali ia
terdesak dalam suatu keadaan, bahwa ia harus menjawab pertanyaan itu. Maka
katanya,
“Kami datang
dari Sangkal Putung.”
“Sangkal Putung,”
anak muda itu mengulangi,
“Aku pernah
mendengar nama padesan itu. Apakah Sangkal Putung juga sebuah kademangan?”
“Ya,” jawab
Sutawijaya. “Sangkal Putung adalah sebuah kademangan di seberang hutan di
sebelah Timur Prambanan.”
“Oh. Kalian
datang dari jauh. Di manakah kalian bermalam di sini?”
“Di rumah
Paman Astra,” Sahut Sutawijaya.
“Oh,”
Anak-anak Sembojan itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Maksudmu
Astra yang mempunyai dua orang putra bernama Supa dan Bawa?”
“Ya,” jawab
Sutawijaya pula.
Anak-anak muda
itu menarik nafas dalam-dalam. Salah seorang dari mereka bertanya kembali,
“Kenapa kalian
tidak pergi bersama Supa dan Bawa?”
Pertanyaan itu
memang sulit untuk dijawab. Karena itu kembali Sutawijaya menjadi ragu-ragu.
“Bukankah Supa
dan Bawa hadir juga di halaman ini?”
“Ya,” sahut
Sutawijaya. “Tetapi kami tidak dapat datang bersama mereka.”
Anak-anak muda
Sembojan itu mengerutkan keningnya. Tetapi mereka tidak bertanya lagi. Kini
mereka mencoba mengikuti setiap gerak penari di pendapa banjar desa. Tetapi
kemudian Sutawijaya-lah yang bertanya,
“Kisanak,
apakah pertunjukan semacam ini sering dilakukan di Prambanan?”
Salah seorang
dari anak-anak Sembojan itu menjawab,
“Tidak terlalu
sering. Tetapi sekali-kali diadakan juga. Kali ini kademangan kami mendapat
tamu dari Bukit Menoreh, yang seterusnya akan pergi ke Lereng Gunung Merapi,
menemui putera Kepala Daerah Perdikan Menoreh yang berguru pada seorang guru
yang sakti tiada taranya, yang bernama Sidanti.”
“Apakah
keramaian ini diselenggarakan untuk menghormatinya?”
“Ya,
sebagian.”
“Orang-orang
kami sendiri memang senang sekali mengadakan keramaian.”
Sutawijaya
terdiam sejenak. Keinginannya untuk mengetahui beberapa hal mengenai Kademangan
ini semakin mendesaknya. Tetapi ia masih mencoba untuk menahan diri menunggu
kesempatan yang sebaik-baiknya. Pertunjukan itu
pun berjalan terus. Penari di atas pendapa banjar desa masih menari
dengan baiknya. Menarikan tari tunggal.
Dalam pada itu
terdengar Sutawijaya bertanya kepada anak muda Sembojan yang berdiri di
sampingnya,
“Apakah
keramaian semacam ini tidak menimbulkan kecemasan pada para pemimpin kademangan
ini?”
Anak muda
Sembojan itu berpaling. Kini anak muda itulah yang menjadi ragu-ragu untuk
menjawab. Tetapi ketika beberapa saat ia masih berdiam diri, terdengar seorang
yang agak lebih tua dari padanya berkata,
“Apakah kau
menjadi cemas? Apakah yang kau cemaskan?”
Sutawijaya
heran mendengar pertanyaan itu. Ia yakin bahwa anak-anak muda Sembojan itu tahu
benar yang dimaksudkannya. Tetapi mereka masih bertanya, apakah yang
dicemaskan. Namun akhirnya terasa oleh Sutawijaya, bahwa pertanyaan itu adalah
sekedar pelepasan perasaan yang menekan anak-anak muda Sembojan itu. Maka jawab
Sutawijaya,
“Banyak yang
dapat aku cemaskan Kisanak. Terutama anak-anak muda yang berada di halaman
ini.”
Anak-anak muda
Sembojan itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Agaknya mereka tertarik benar
kepada Sutawijaya dan kedua kawannya sehingga salah seorang dari mereka
bertanya,
“Siapakah nama-nama
kalian?”
“Namaku
Sutajia,” jawab Sutawijaya. “Kedua ini adalah adik sepupuku. Yang ini Agung
Sedayu dan yang gemuk bernama Swandaru.
Anak-anak
Sembojan itu menganguk-anggukkan kepalanya. Mereka tertegun ketika mendengar
Sutawijaya bertanya,
“Dan siapakah
nama-nama kalian?”
Anak muda yang
nampaknya tertua di antara mereka menjawab,
“Namaku
Haspada.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Ia tidak menanyakan nama anak-anak muda
yang lain. Satu di antara mereka telah cukup baginya, meskipun mungkin ia masih
memerlukan nama yang lain.
“Apakah kakang
Haspada berasal dari Sembojan?” bertanya Sutawijaya kemudian.
Anak muda yang
bernama Haspada itu memandangnya sejenak, kemudian dijawabnya,
“Ya, kenapa?”
“Bukankah anak
muda yang mengajak Kakang tadi juga berasal dari Sembojan?”
Haspada mengerutkan
keningnya. Katanya,
“Ya, ya. Anak
muda yang tinggi berkumis?”
“Ya.”
“Ya. Ia anak
Sembojan pula. Namanya Bunar. Kenapa?”
“Kenapa Kakang
tidak ikut bersama kawan-kawan anak-anak Sembojan yang lain?”
Haspada mengerutkan
keningnya pula. Ditatapnya wajah Sutawijaya lebih tajam lagi. Kemudian
dijawabnya,
“Kau mendengar
percakapan kami?”
“Ya, kami
mendengar percakapan kalian. Kami juga mendengar percakapan anak-anak Telaga
Kembar.”
“Pantas kalian
menjadi cemas. Memang kami pun menjadi
cemas seperti kalian. Sebenarnyalah setiap kali ada keramaian maka setiap kali
kami menjadi cemas.”
“Kenapa
keramaian ini diadakan juga?”
“Keramaian
adalah kegemaran anak-anak muda dan orang-orang tua di kademangan ini meskipun
bagi kami sangat mencemaskan. Tetapi mereka menganggap bahwa keramaian semacam
ini akan memberi gairah kerja kepada mereka. Keramaian ini dapat memberikan
kegembiraan dan pertanda bahwa kademagan kami adalah kademangan yang hidup.”
“Hidup dalam
kecemasan adalah tidak menyenangkan,” sahut Sutwijaya.
“Memang
demikian buat sebagian orang. Tetapi sebagian orang yang lain menyenangi cara
hidup yang demikian itu.”
“Aku kira
Kakang tidak senang dengan cara itu?”
Haspada
terkejut. Dengan serta-merta ia bertanya,
“Kenapa?
Kenapa kau tahu aku tidak menyenanginya?”
“Kakang tidak
berada di antara mereka. Di antara anak-anak muda semacam Bunar.”
Haspada
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mulai tertarik pada anak muda Sangkal Putung
itu. Meskipun kedua kawan-kawannya yang lain tidak ikut dalam pembicaraan itu,
namun wajah-wajah mereka menunjukkan, bahwa hati mereka tersentuh oleh
kata-katanya. Tiba-tiba mereka terkejut ketika mendengar suara riuh di antara
para penonton. Kembali terdengar anak-anak muda berteriak-teriak tak menentu.
Ketika mereka mengangkat wajah-wajah mereka, maka penari di pendapa banjar desa
telah tidak lagi menari. Penari itu sedang mengangguk-anggukkan kepalanya
kepada para tamu. Sejenak kemudian penari itu
pun meninggalkan pendapa masuk ke dalam. Suara yang gemuruh terdengar
dari segenap sudut halaman. Suara itu sama sekali bukan bernada kekaguman atau
kebanggaan atas penari yang baru saja menari. Tetapi suara itu asal saja
melontar berebut keras. Bahkan kadang-kadang terdengar ucapan-ucapan yang
kurang menyenangkan dari antara mereka. Demikianlah kemudian berlangsung
pertunjukkan demi pertunjukkan. Dan demikian pula suara sorak gemuruh yang
menyertainya sahut-menyahut, semakin lama semakin memekakkan telinga, dan
bahkan semakin lama semakin menggelitik perasaan. Dan malam pun semakin lama semakin dalam.
“Bukan main,”
gumam Sutawijaya.
“Aku tidak
tahu, apakah yang sebenarnya terjadi di halaman ini.”
“Aku menjadi
ngeri,” sahut Agung Sedayu,
“seperti
berdiri di tengah-tengah sungai yang sebentar lagi akan banjir.”
Swandaru
tersenyum. Katanya,
“Kenapa kau
tidak menepi?”
Kedua
kawannya pun tersenyum pula. Sutawijaya
lah yang menjawab,
“Di arus air
banjir kita akan banyak mendapat ikan. Bukankah begitu?”
Keduanya terdiam
ketika Haspada bertanya,
“Apakah kalian
senang melihat suasana ini?”
“Lucu sekali,”
sahut Sutawijaya,
“aku tidak
pernah menjumpai suasana ini di Sangkal Putung.”
“Aku anak
Sembojan sejak lahir pun merasakan
keganjilan itu. Apalagi kalian. Mudah-mudahan suasana ini tidak meningkat.
Tetapi adalah kesalahan orang-orang tua juga apabila mereka nanti menutup acara
dengan tayuban. Suasana segera akan meningkat menjadi panas. Dalam keadaan yang
demikian itu akan dapat banyak terjadi hal-hal yang lebih ganjil lagi.
Mudah-mudahan orang-orang tua menyadarinya, sehingga mereka tidak
menyelenggarakan tayuban. Tetapi harapan itu sangat tipis. Orang-orang tua kita
sebagian telah mabuk pula.” Suara anak muda itu terputus ketika tiba-tiba suara
gamelan seolah-olah memekik tinggi dan meluncurlah irama yang mulai menjadi
hangat.
Tanpa
disengaja Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru serentak berpaling ke arah
Haspada, yang wajahnya tiba-tiba berkerut-merut.
“Gila,”
geramnya,
“kalau
anak-anak muda di Prambanan ini menjadi liar, sebagian adalah kesalahan
orang-orang tua pula.”
“Apakah yang
akan datang?” bertanya Agung Sedayu. “Irama terlampau panas.”
“Tayub. Tayub.
Kalian akan melihat beberapa orang perempuan penari naik ke atas pendapa itu.
Mereka akan menari semakin lama semakin panas. Satu-persatu para tamu akan berdiri
dan ikut menari. Tetapi apabila mereka telah dicengkam oleh mabuk tuak, maka
mereka tidak akan sabar menunggu giliran mereka. Mereka akan berebut dahulu dan
kadang-kadang mereka tidak lagi memperdulikan orang lain. Dengan demikian
kalian akan melihat pertunjukan yang gila di atas pendapa itu. Sedang kegilaan
yang serupa akan terjadi pula di halaman ini,” berkata Haspada dengan nada yang
aneh, terasa getaran dadanya terlontar pada kata-katanya. Betapa muaknya ia
melihat peristiwa itu.
“Lebih baik
kalian meninggalkan halaman ini,” katanya kepada Sutawijaya dan kedua kawannya.
“Apakah kalian
juga akan pergi?” bertanya Sutawijaya.
“Aku tidak
sampai hati meninggalkan mereka dalam keadaan yang gila ini. Meskipun hatiku
sakit, tetapi aku merasa wajib untuk tetap berada di sini. Mungkin aku dapat
melihat sesuatu yang perlu dicegah. Aku tidak peduli seandainya anak-anak muda
itu saling mencekik di antara mereka. Bahkan di antara mereka para tamu dan
prajurit-prajurit Pajang itu. Tetapi aku ingin mencegah korban yang tidak pada
tempatnya.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia mengajukan pertanyaan yang
ditanyakan kepada Paman Astra tetapi belum mendapat jawaban,
“Apakah
prajurit-prajurit Pajang itu tidak akan berbuat sesuatu seandainya timbul hal-hal
yang tidak diinginkan?”
“Jumlah mereka
terlampau sedikit.”
“Berapa?”
“Tidak lebih
dari sepuluh orang.”
“Jumlah itu
sudah cukup,” tiba-tiba Sutawijaya memotong kata-kata Haspada sehingga anak
Sembojan itu menjadi heran.
“Oh,”
Sutawijaya menyadari dirinya, bahwa kini ia adalah anak Sangkal Putung,
sehingga cepat-cepat ia memperbaiki kata-katanya.
“Maksudku,
apakah sepuluh orang prajurit itu tidak mampu mencegah kerusuhan yang dapat
terjadi?”
“Mereka tidak
sempat melakukannya.”
“Kenapa?”
“Lihatlah,” berkata
Haspada sambil menunjuk ke atas pendapa.
Dada
Sutawijaya berdesir ketika ia melihat kedua orang prajurit yang duduk di
pendapa mewakili kawan-kawannya itu dengan tertawa-tawa sedang menghirup tuak.
Kemudian mengisi mangkuknya kembali dan sekali lagi mangkuk itu dikosongkannya.
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sudah dapat membayangkan, apakah yang
sebenarnya terjadi di Kademangan ini. Ternyata beberapa orang prajurit Pajang
yang ditinggalkan di daerah ini sama sekali tidak mampu melaksanakan tugasnya.
Bahkan mereka telah terseret oleh arus yang melanda anak-anak muda di
Kademangan Prambanan. Tuak, mabuk dan kemudian tayub. Dan mereka tidak perlu
menunggu terlampau lama. Sejenak kemudian maka para tamu, para pemimpin
Kademangan Prambanan, dan para prajurit itu
pun telah menjadi mabuk. Satu demi satu mereka berdiri dan menari-nari
tanpa ujung pangkal. Sekali-sekali orang berikutnya tidak sabar lagi menunggu
dan dengan serta-merta menarik sampur yang masih dipergunakan oleh orang lain.
Sehingga akhirnya, mereka tidak lagi saling menunggu. Berebutan mereka berdiri
dan berebutan mereka menari. Alangkah memuakkan. Ternyata rombongan
penari-penari itu pun telah biasa
melayani keadaan serupa itu. Ketika para tamu tidak lagi dapat menunggu
gilirannya menerima sampur, maka bermunculan beberapa orang penari naik ke
pendapa itu pula. Penari-penari perempuan dengan solahnya masing-masing. Dan
lagu yang megiringinya pun menjadi
semakin panas, semakin panas. Gendang yang memimpin irama gamelan menjadi
semakin keras dan cepat, sehingga pendapa itu kini benar-benar telah menjadi
hiruk-pikuk, tanpa dapat dikendalikan.
“Apakah kalian
tidak meninggalkan halaman ini saja, Kisanak,” bertanya Haspada kepada
Sutawijaya.
“Kenapa?”
“Kalian belum
dikenal di sini. Mungkin hal-hal yang tidak menyenangkan dapat terjadi. Kami,
meskipun tidak berada di dalam lingkungan anak-anak Sembojan, tetapi setiap
anak muda, hampir telah mengenal, sehingga kemungkinan untuk diperlakukan
kurang wajar adalah tipis sekali. Mereka tahu, siapakah Haspada selama
Prambanan dalam bahaya karena orang-orang Jipang beberapa saat berselang. Dan
mereka tidak melupakannya sampai kini.”
“Terima kasih
atas peringatan itu,” sahut Sutawijaya.
“Tetapi kami
ingin melihat apa yang terjadi. Mungkin kami dapat bersembunyi di belakang
kalian.”
“Selama aku
dapat berbuat sesuatu, akan berbuat. Tetapi dalam keadaan yang ribut, mungkin
aku tidak lagi sempat berbuat sesuatu.”
“Terima kasih.
Tetapi maaf, kami ingin melihat keadaan ini sampai selesai. Mungkin kami dapat
bersembunyi di dalam semak-semak di sebelah.”
“Bersembunyilah.”
Sutawijaya,
Agung Sedayu, dan Swandaru kemudian beringsut dari tempatnya. Tetapi mereka
sama sekali tidak bersembunyi. Mereka hanya berlindung di tempat yang cukup
gelap sambil melihat apa yang akan terjadi. Namun mereka menjadi heran ketika
mereka sudah tidak melihat lagi orang-orang yang tadi berjualan memenuhi
halaman. Agaknya mereka sudah terlalu biasa melihat keadaan serupa, sehingga
mereka telah dapat memperhitungkan keadaan dengan baik. Dari tempat mereka,
Sutawijaya dan kawan-kawannya dapat melihat sebagian besar dari halaman dan
pendapa banjar desa. Mereka dapat melihat orang-orang di pendapa menari-nari
seperti mereka sudah tidak sadar lagi akan diri mereka, di antara para penari
tayub. Dan ledek-ledek itu pun menari
lebih hangat lagi meskipun malam menjadi semakin dingin.
“Hem,” gumam
Sutawijaya, “inilah puncak dari keramaian yang hebat ini.”
Agung Sedayu
dan Swandaru belum pernah melihat keramaian yang berakhir seperti ini. Sehingga
sejenak mereka berdiri seolah-olah membeku.
“Apakah kalian
menjadi heran?” bertanya Sutawijaya.
“Bukan main,”
gumam Agung Sedayu. “Apakah orang-orang yang berada di pendapa itu tidak malu?”
“Kepada siapa
mereka harus malu?” bertanya Sutawijaya.
“Kepada para
penonton di halaman itu.”
“Para penonton
yang mana ?”
Ketika Agung
Sedayu dan Swandaru memperhatikan setiap orang di halaman itu, maka dadanya
menjadi semakin berdebar-debar. Hampir tak seorang pun lagi memperhatikan orang-orang yang berada
di pendapa itu. Irama yang panas dari suara gamelan di pendapa telah membawa
para penonton di halaman menjadi panas pula. Mereka pun menari-nari di antara mereka, dan yang
mendirikan bulu roma ketiga anak-anak muda dari Sangkal Putung itu adalah,
bahwa di antara mereka yang berada di halaman terdapat gadis-gadis.
“Gila,” desis
Swandaru. “Kalau gadis-gadis itu adik-adikku, aku cekik lehernya sampai
mampus.”
“Aneh,” sahut
Agung Sedayu.
Kemudian
sejenak mereka terpesona oleh hiruk-pikuk yang aneh itu. Halaman banjar desa
itu benar-benar seperti sebuah danau yang dilanda angin pusaran. Bergejolak
tidak menentu. Anak-anak muda di halaman itu
pun mengalir ke segenap arah, berpapasan satu sama lain sambil
menari-nari. Bergandeng-gandengan tangan dan dorong-mendorong. Tiba-tiba
Sutawijaya dan kedua kawannya terkejut ketika mereka mendengar suara yang kacau
di sudut halaman. Kemudian terdengar teriakan tinggi.
“Apa itu?”
desis Swandaru.
Ketiganya
mengangkat wajah-wajah mereka. Tetapi mereka tidak melihat halaman itu menjadi
rebut karena teriakan itu. Mereka yang sedang gila masih juga gila menari-nari.
Dan agak di kegelapan Sutawijaya masih juga melihat Haspada berdiri saja di
tempatnya bersama empat orang temannya.
Terdengar
Sutawijaya berkata, “Mereka sama sekali tidak memperdulikannya,” bisik
Sutawijaya.
“Agaknya
perkelahian semacam itu sudah terlampau biasa dalam keadaan serupa ini.
Sehingga bukan merupakan hal yang menarik perhatian lagi,” sahut Agung Sedayu.
Sutawijaya dan
Swandaru mengangguk-anggukkan kepala mereka. Sejenak kemudian maka perkelahian
itu pun mereda dengan sendirinya.
Tetapi sejenak
kemudian mereka dikejutkan oleh suara langkah orang berlari-lari. Sejenak
kemudian mereka melihat beberapa anak-anak muda berlari lewat di hadapan
mereka. Namun karena mereka amat tergesa-gesa sehingga mereka tidak
memperhatikan ketiga anak-anak muda yang berlindung di dalam gelap itu. Namun
dari mereka yang berlari-lari itu Sutawijaya dengan kawan-kawannya mendengar
mereka berkata perlahan-lahan,
“Hus, gila.
Beberapa orang prajurit Pajang memihak mereka.”
“Ya. Kalau
saja anak-anak Sembojan itu dibiarkan, maka mereka akan dapat kami tundukkan
malam ini,” sahut yang lain.
Ketika
anak-anak itu merasa bahwa tak seorang
pun mengejar-ngejar mereka, maka mereka berhenti hanya beberapa langkah
daripada ketiga anak-anak muda yang datang dari Sangkal Putung itu. Tetapi yang
segera mereka lihat, bukanlah Sutawijaya dan kawan-kawannya namun yang
pertama-tama menarik perhatian mereka adalah kelima anak-anak muda yang berdiri
tidak jauh dari tempat itu.
“He, apakah
mereka anak-anak Sembojan?” terdengar salah seorang dari mereka berdesis.
“Ya.”
“Kenapa tidak
berada di dalam lingkungan kawan-kawannya?”
“Entahlah.”
“Mereka
terlampau sombong. Marilah kita ambil kelima anka-anak itu.”
“Untuk apa?”
“Kita akan
melepaskan kalau anak-anak Sembojan mengakui kemenangan kita.”
Terdengar
beberapa orang dari mereka tertawa. Kemudian salah seorang berkata lagi.
“Satu orang
pergi kepada mereka. Pancing mereka kemari.”
“Sulit,” sahut
yang lain.
“Kita datang
bersama-sama selagi kawan-kawan mereka berada di sisi yang lain dari pendapa
ini.”
“Di sebelah
itu adalah anak-anak dari induk kademangan.”
“Mereka tidak
akan turut campur, kecuali kalau kita berbuat sesuatu atas anak induk
kademangan.”
“Kalau mereka
melibatkan diri, kita harus lari meninggalkan halaman ini. Di manakah sebagian
kawan-kawan kita yang lain.”
“Di belakang
banjar desa. Apabila perlu kita akan memberi mereka tanda.”
“Marilah,”
terdengar keputusan jatuh. Sutawijaya dan kedua kawan-kawannya menjadi
berdebar-debar. Apakah yang akan mereka lakukan atas Haspada dan keempat
kawan-kawannya.
Dengan cemas
Sutawijaya melihat anak-anak itu perlahan-lahan mendekati Haspada. Beberapa
langkah daripadanya beberapa anak-anak muda itu berhenti. Sutawijaya yang ingin
melihat apa yang terjadi, segera beringsut mendekati, diikuti oleh Agung Sedayu
dan Swandaru. Haspada yang berdiri diam di tempatnya, hampir-hampir tidak
menyangka sama sekali, bahwa anak-anak Tlaga Kembar sedang mendekatinya. Mereka
masih berdiri memperhatikan orang-orang yang berada di pendapa banjar desa,
yang kini telah menjadi seperti sebuah pertunjukkan liar. Bahkan satu dua orang
telah tidak ada lagi di pendapa itu. Merayap-rayap ke tempat-tempat yang lain. Haspada
dan kawan-kawannya itu terkejut ketika tiba-tiba mereka melihat anak-anak Tlaga
Kembar itu mengepungnya. Terdengar salah seorang anak muda Tlaga Kembar itu
berkata,
“Jangan ribut.
Kalian ikut kami ke Tlaga Kembar.”
Kelima
anak-anak muda Sembojan itu terdiam sejenak. Namun kemudian terdengar Haspada
menjawab,
“Apakah
kepentinganmu dengan aku, Dadi?”
Anak muda
Tlaga Kembar yang bernama Dadi tiba-tiba terkejut. Diamatinya wajah Haspada
dengan seksama, lalu katanya,
“Kau.
Haspada?”
“Ya. Aku.
Kenapa? Apakah kau sedang mencari anak-anak Sembojan?”
“Ya. Ya,”
sahut Dadi tergagap.
“Aku juga anak
Sembojan.”
“Tetapi bukan
kau, Haspada.”
“Kenapa?”
“Kenapa kau
berada di tempat ini?” bertanya Dadi, anak Tlaga Kembar itu.
“Pertanyaanmu
aneh. Bukankah kau juga berada di tempat ini?”
Dadi menjadi
bingung. Ketika ia memandang berkeliling, ia
pun melihat kawan-kawannya menjadi bingung pula. Haspada-lah yang
berkata,
“Apa
kepentinganmu dengan anak-anak Sembojan?”
Dadi tidak
menjawab lain daripada mengatakan sebenarnya, “Kami berkelahi.”
“Bagus. Aku
sudah menyangka bahwa kalian akan berkelahi. Apakah kalian dikalahkan? dan
kalian akan mencari korban anak-anak Sembojan yang lain meskipun tidak ikut
berkelahi?”
“Tidak
Haspada, kami tidak akan berbuat apa-apa denganmu.”
“Kebetulan
yang berdiri di sini adalah aku. Seandainya keempat kawan-kawanku ini tanpa
aku?”
Dadi terdiam.
Namun salah seorang yang lain menjawab terputus-putus,
“Anak-anak
Sembojan yang lain tidak jujur, Haspada.”
“Kenapa?”
“Mereka
mencari bantuan pada prajurit-prajurit Pajang.”
“Aku tidak mau
tahu. Uruslah perkara itu sendiri. Berkelahilah kalau kalian ingin berkelahi.
Aku pun tidak akan memihak anak-anak
Sembojan yang gila itu, seperti kalian telah menjadi gila pula. Coba katakan
kepada kami, apa yang akan dilakukan oleh Trapsila atas kalian, apabila ia
melihat anak-anak muda Tlaga Kembar berbuat serusuh itu. Trapsila pasti akan
bersikap seperti aku menghadapi anak-anak Sembojan. Meskipun Trapsila adalah
anak Tlaga Kembar, tetapi ia pasti akan muak melihat kalian berbuat seperti
ini.”
Anak-anak
Tlaga Kembar itu terdiam. Trapsila bagi mereka adalah anak muda yang disegani,
seperti Haspada bagi anak-anak Sembojan. Bukan saja bagi anak-anak sedesanya,
tetapi bagi anak-anak muda Prambanan pada umumya. Namun jumlah anak-anak yang demikian
itu sangat sedikit. Mereka adalah anak-anak muda yang berani, yang dengan gigih
telah berjuang melawan orang-orang yang memihak Arya Penangsang, bersama
beberapa orang prajurit Pajang. Tetapi yang kini seolah-olah mereka sama sekali
tidak mendapat tempat lagi di Kademangan Prambanan. Prajurit-prajurit
kawan-kawan mereka telah sebagian besar ditarik kembali ke Pajang. Yang tinggal
adalah prajurit-prajurit yang ternyata dapat dimabukkan oleh tayub dan tuak. Tiba-tiba
anak-anak Tlaga Kembar itu menjadi gelisah ketika mereka mendengar suara rebut
di halaman itu. Ketika mereka berpaling, mereka melihat beberapa anak-anak muda
berjalan tergesa-gesa ke arah mereka. Anak-anak itu adalah anak-anak Sembojan.
“Mereka
mengejar kita,” desis Dadi.
“Marilah kita
lari,” ajak kawannya yang lain.
“Tinggallah di
sini,” berkata Haspada.
“Kita harus
berkelahi lagi. Mereka datang terlampau banyak, dan di antara mereka ada tiga
empat orang prajurit Pajang.”
“Tinggallah di
sini. Aku tidak senang apabila Trapsila mendapat kesan yang jelek atas
anak-anak Sembojan, apalagi aku berada di tempat ini pula. Trapsila adalah
sahabatku. Sembojan dan Tlaga Kembar adalah sama-sama wilayah Kademangan
Prambanan.”
Anak-anak
Tlaga Kembar itu tidak menyahut. Meskipun demikian mereka berkisar berdiri di
belakang Haspada dan keempat kawan-kawannya.
Yang datang
itu adalah benar-benar anak-anak Sembojan. Paling depan berdiri Bunar, anak
muda yang tinggi kekar, berkumis melintang. Namun tiba-tiba ia berhenti ketika
ia melihat Haspada berdiri di antara anak-anak Tlaga Kembar.
“Kakang, kau
berada di antara mereka?” bertanya Bunar. “Atau mereka berusaha menangkap
Kakang.”
“Kedua-duanya
tidak benar,” sahut Haspada. “Aku menonton keramaian di halaman ini, mereka
menonton pula.”
“Tetapi kami berkepentingan
dengan mereka, Kakang,” berkata Bunar pula.
Haspada
memandang Bunar dengan wajah yang tegang. Jawabnya,
“Tinggalkan
mereka Bunar. Jangan ada persoalan-persoalan yang gila di antara anak-anak
muda. Kalian telah membuat ribut. Lihat ada berapa kelompok pemuda di halaman
ini. Mereka pun akan berbuat gila pula
seperti kalian. Dan halaman ini akan kacau. Mungkin ada satu dua orang yang
terluka. Yang luka itu akan menimbulkan dendam di antara kalian.”
“Tetapi mereka
mendahului, Kakang.”
“Tinggalkan
mereka. Berbuatlah gila sesama kalian, tetapi jangan berkelahi.”
Bunar terdiam.
Ia tidak berani membantah lagi. Tetapi dari antara anka-anak Sembojan itu
tampil seorang yang bertubuh raksasa dan berpakaian seorang prajurit. Ia adalah
prajurit Pajang. Haspada menjadi semakin tegang. Ia menyesal bahwa
prajurit-prajurit itu telah berpihak, meskipun berpihak pada anak-anak muda
sepadukuhan dengan dirinya sendiri.
“Haspada,”
geram prajurit itu, “jangan banyak mulut. Biarlah kami menyelesaikan urusan
kami dengan anak-anak Tlaga Kembar itu.”
“Apakah
anak-anak Tlaga Kembar mempunyai urusan dengan kau, Paman?” bertanya Haspada.
Prajurit itu
terdiam sejenak. Tetapi selangkah ia terhuyung ke samping.
“Gila,” desis
Haspada di dalam hatinya, “Prajurit itu telah menjadi mabuk. Matanya telah
meredup dan bibirnya bergetaran. Sulitlah berbicara dengan orang mabuk.”
Namun kecuali
prajurit yang mabuk itu, tampil seorang lagi yang lebih kecil. Orang itu sama
sekali tidak mabuk karena tuak. Dengan tajamnya ia berkata,
“Haspada,
jangan kau banggakan perjuanganmu yang tidak berarti itu. Kau sama sekali belum
seorang pahlawan. Karena itu, kau sebaiknya menyingkir saja sebelum kami
kehilangan kesabaran. Bukankah kau berasal dari Sembojan pula? Kenapa justeru
kau berpihak kepada anak-anak Tlaga Kembar?”
“Apakah aku
berpihak?” Haspada menjawab.
“Kalianlah
yang berpihak. Apakah bagi Pajang Sembojan dan Tlaga Kembar itu mempunyai
kedudukan yang berbeda? Bagiku tidak, Paman. Tidak. Aku berdiri di mana saja.
Tlaga Kembar, Sembojan, Prambanan. Bahkan kademangan yang lain pun sama pula bagiku. Semuanya wilayah
Pajang.”
Prajurit-prajurit
Pajang itu menjadi semkain marah. Mereka tidak dapat mengingkari kata-kata
Haspada, tetapi mereka juga tidak mau ditundukkan. Haspada hanyalah anak
padukuhan Sembojan. Sedang mereka adalah prajurit-prajurit Pajang. Karena itu,
maka prajurit yang kecil itu membentak,
“Jangan banyak
mulut! Aku tidak peduli siapakah Haspada.”
Wajah
Haspada pun menjadi merah membara. Namun
dadanya menjadi seolah-olah sesak. Ia mencoba mencegah perkelahian yang timbul
di halaman itu, tetapi apakah ia sendiri harus berkelahi?
Dalam
keragu-raguan itu terdengar prajurit itu berkata lagi, “Ayo. Pergilah Haspada!”
Belum lagi
Haspada menjawab, dari antara para penonton itu telah timbul banyak perhatian,
karena di antara mereka terlibat beberapa orang prajurit. Anak-anak muda
berlari-larian mengerumuninya. Anak-anak muda induk Kademangan Prambanan pun telah berada di tempat itu pula. Salah
seorang dari mereka bertanya,
“Apakah yang
kalian persoalkan?”
Tak
seorang pun yang menjawab. Anak Sembojan
tidak dan anak-anak Tlaga Kembar pun
tidak.
“Ya,”
tiba-tiba Haspada seperti tersadar dari mimpinya, “apakah yang sebenarnya
kalian persoalkan?”
Juga tak ada
jawaban. Anak-anak Sembojan dan anak-anak Tlaga Kembar masih saja terbungkam.
Bahkan prajurit-prajurit Pajang yang marah itu terdiam pula.
Tiba-tiba
sekali lagi mereka digoncangkan oleh kedatangan dua orang yang belum mereka
kenal sebaik-baiknya. Namun beberapa orang segera menyibak. Beberapa orang di
antara mereka telah mengetahuinya, bahwa kedua orang itu adalah tamu-tamu dari
Menoreh.
“Apa yang
terjadi?” salah seorang bertanya.
Juga tak
seorang pun menjawab.
“Aku tidak
berkepentingan dengan keributan ini,” katanya pula, “tetapi, manakah janjimu
itu?” bertanya tamu itu kepada Bunar.
Wajah Bunar
menjadi merah. Sejenak ia tidak menjawab seperti juga anak-anak muda yang lain
terbungkam.
“Mana, he?”
“Itulah,”
jawab Bunar kemudian, “kami belum dapat mengambilnya dari tangan anak-anak
Tlaga Kembar.”
“He,” wajah
tamu-tamu itu menjadi tegang. Sekali mereka berpaling ke pendapa. Dilihatnya
seorang kawannya berdiri di tangga sambil mengawasi mereka.
“Maksudmu?”
berkata salah seorang dari mereka itu pula.
“Anak-anak
yang kami janjikan ternyata dibawa oleh anak-anak muda Tlaga Kembar.”
Kini wajah
kedua tamu itu menjadi merah. Terdengar gigi mereka gemeretak dan berkata
tajam.
“Kalian tidak
dapat menghormati tamu-tamu kalian. Apakah kalian sengaja membuat kami kecewa?
Buat apa kalian membawa kami melihat anak-anak itu di rumahnya sore tadi.
Ketika kami sudah menjadi mabuk oleh wajahnya, kalian sengaja
menyembunyikannya.”
“Bukan maksud
kami,” jawab Bunar. “Kami sedang berusaha untuk mengambilnya. Inilah mereka
anak-anak Tlaga Kembar. Beberapa orang prajurit Pajang bersedia membantu kami.”
Mata tamu-tamu
dari Bukit Menoreh itu kini seakan-akan menyala memandangi anak-anak Tlaga
Kembar. Salah seorang dari mereka terdengar menggeram.
“Hem. Ternyata
kalian sengaja membuat onar ya.”
“Bukan hanya
mereka,” Haspada-lah yang menjawab.
“Anak-anak
Sembojan itu pun sengaja membuat onar
pula.”
Tamu dari
Bukit Menoreh itu tertegun sejenak. Mereka menjadi heran melihat Haspada. Anak
ini mempunyai perbawa yang agak berbeda dengan kawan-kawannya.
Tetapi Haspada
itu pun terkejut ketika dari antara
anka-anak muda yang berkerumun terdengar suara,
“Biarkanlah,
Kakang. Biarkanlah anak-anak Tlaga Kembar. Sekali-sekali mereka memang perlu
mendapat sedikit pelajaran.”
Semua kepala
berpaling ke arah suara itu. Dan mereka
pun segera melihat seorang yang bertubuh agak kecil. Namun dari matanya
memancar kebesaran hatinya.
“Adi
Trapsila,” desis Haspada.
“Ya. Aku sudah
melihat sejak semula apa yang terjadi,” katanya.
Terdengar
suara bergeremang di antara anak-anak muda itu. Anak-anak Tlaga Kembar saling
berbisik di antara mereka, dan anak-anak Sembojan menjadi cemas. Apabila
Trapsila dan Haspada bersama-sama berada di pihak Tlaga Kembar, maka anak-anak
induk kademangan pasti akan terpengaruh. Mereka semuanya telah mengenal siap
Haspada dan siapa Trapsila.
“Tetapi, Adi,
apakah kita akan membiarkan perkelahian ini terjadi?” bertanya Haspada
kemudian.
Trapsila
melangkah maju. Beberapa orang menyingkir, seakan-akan memberi jalan kepada
anak muda Tlaga Kembar yang bernama Trapsila itu.
Trapsila
itu pun kemudian berdiri di antara
anak-anak muda yang berkerumun. Antara anak-anak muda Sembojan dan anka-anak
muda Tlaga Kembar. Berhadap-hadapan dengan Haspada. Ketika ia berpaling
dipandanginya prajurit Pajang yang bertubuh raksasa dan kawannya yang lebih
kecil. Di belakang prajurit itu masih dilihatnya prajurit Pajang yang lain. Tiba-tiba
hiruk-pikuk si sekeliling tempat itu menjadi terdiam. Seolah-olah semuanya
ingin mendengarkan Trapsila itu berkata seterusnya. Hanya hiruk-pikuk di atas
pendapa masih juga berlangsung. Mereka sama sekali tidak memperdulikan apa yang
terjadi di halaman, seakan-akan halaman itu sama sekali tidak mempunyai
hubungan apa pun dengan pendapa banjar desa. Persoalan di halaman adalah
persoalan anak-anak muda atau orang-orang kecil di sekitar banjar desa. Para
pemimpin itu sama sekali tidak mau mengotori tangannya dengan soal-soal yang
remeh. Bagi mereka lebih baik meneruskan menikmati tayub yang semakin menggila
daripada soal-soal yang bagi mereka sama sekali tidak berarti itu.
Bahkan mereka
sudah tidak melihat lagi, bahwa tamu-tamu mereka dari Menoreh sudah tidak ada
di antara mereka. Yang tinggal di pendapa itu hanya seorang saja yang sudah
berdiri di tangga. Dan yang seorang itu
pun hampir-hampir tidak sabar lagi menunggu kedua kawan-kawannya yang
sedang mencari anak-anak Sembojan yang sudah terlanjur membuat janji dengan
mereka. Haspada pun berdiam diri.
Kemudian anak muda Sembojan itu mengangguk-anggukkan kepalanya, sambil
bergumam,
“Kau benar,
Adi. Persoalan ini adalah persoalan yang memalukan.”
“Persetan!”
desis tamu dari Menoreh.
“Kalau kalian
tidak akan turut campur menepilah. He, siapa anak-anak yang merasa dirinya
seperti panglima bagi anak-anak Sembojan dan anak-anak Tlaga Kembar ini?”
bertanya kedua tamu itu kemudian kepada prajurit Pajang yang bertubuh agak
kecil.
Dan prajurit
itu menjawab, “Namanya Haspada dan Trapsila.”
“Ya, aku sudah
mendengar. Tetapi apakah kedudukannya?”
“Tidak ada
kedudukan apa pun yang dipangkunya.”
“Kenapa ia
agaknya disegani?”
Prajurit itu
terdiam. Ia tidak ingin mengatakan bahwa keduanya pernah berjuang dengan gigih
melawan sisa-sisa laskar Arya Jipang bersama beberapa anak-anak muda Sembojan,
Tlaga Kembar, anak-anak muda induk Kademangan Prambanan, dan beberapa lagi dari
desa-desa yang lain, namun jumlahnya tidak lebih dari sepuluh orang. Kalau ada
yang lain, maka mereka tidak segigih mereka itu. Ternyata tamu-tamu dari
Menoreh itu merasa tersinggung atas anggapan bahwa persoalan yang mereka hadapi
adalah persoalan yang memalukan, sehingga dengan kasar mereka berkata,
“Sekarang
selesaikan persoalan ini. Kalau kedua anak-anak muda ini ingin mengenal kami,
biarlah mereka sekali lagi mengatakan bahwa persoalan yang kami hadapi adalah
persoalan yang memalukan.”
“Merekalah
yang memalukan,” sahut prajurit yang bertubuh raksasa itu sambil berdiri
terhuyung-huyung.
“Mereka memang
harus dihajar lebih dahulu sebelum anak-anak Tlaga Kembar yang lain.”
Haspada dan
Trapsila memang tidak ingin terjadinya perselisihan, apalagi dalam soal yang
mereka anggap memalukan. Karena itu, maka terdengar Trapsila berkata,
“Selesaikanlah
urusan kalian. Kami tidak akan turut campur.”
Anak-anak
Tlaga Kembar yang medengar kata-kata itu menjadi berdebar-debar. Mereka tidak
akan dapat melawan anak-anak Sembojan yang dibantu oleh beberapa orang prajurit
dan kini bertambah lagi dengan tamu-tamu dari Menoreh itu. Karena itu, maka
mereka pun bersiap untuk menghilang di
antara mereka yang sedang berkerumun. Mereka harus mencoba melarikan diri,
supaya tubuh mereka tidak babak-belur, dan muka mereka tidak menjadi
bengkak-bengkak.
Namun dalam
keadaan yang demikian itu terdengar salah seorang anak kedua dari induk
kademangan berkata,
“Tidak adil.
Jangan ada prajurit yang ikut campur.”
“Setan!” desis
prajurit yang bertubuh raksasa.
“Siapa kau
berani mencoba melawan prajurit Pajang.”
Anak muda itu
tidak segera menjawab. Tetapi ia berpaling mencari seseorang. Dan dari antara
mereka tampak sesorang mendesak maju sambil berkata lantang,
“Aku. Aku yang
berani.”
“Siapa. Siapa,
he?” prajurit yang kecil itu pun menjadi
marah sekali. Tetapi kemudian matanya terbelalak ketika dari antara anak-anak
muda induk kademangan itu muncul seseorang yang masih berteriak lantang,
“Akulah orangnya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar