“Kita belum akan sampai ke Hutan Tambak Baya apabila malam turun,” berkata Sutawijaya.
“Lihat di
hadapan kita masih terbentang padang yang agak luas, kemudian kita akan sampai
ke bulak persawahan. Baru kita akan memasuki desa-desa pertama dari Kademangan
Prambanan. Belum lagi kita sampai ke ujung kademangan yang lain, maka kita
pasti sudah harus mencari tempat untuk bermalam.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Agung Sedayu memandang bukit-bukit yang
membujur di sebelah Selatan, seperti seorang raksasa yang sedang tidur dengan
nyenyaknya.
“Menurut
ceritera,” berkata Sutawijaya,
“di bukit itu
telah terjadi suatu peristiwa yang dahsyat pada jaman pemerintahan Prabu Baka.”
“Ya,” sahut
Agung Sedayu. Teringatlah ia kepada ceritera ibunya yang dahulu selalu
memanjakannya, yang lebih senang melihat Agung Sedayu bertekun dengan rontal
daripada dengan pedang.
“Candi
Prambanan adalah akhir dari peristiwa itu.”
“Dan patung
Rara Jonggrang adalah patung yang cantik sekali,” sambung Swandaru yang pernah
mendengar ceritera itu pula.
“Sekarang,”
berkata Sutawijaya,
“kita akan
menyusur di sebelah bukit itu untuk menghindarkan diri dari kecurigaan
seseorang. Apakah kalian sependapat?”
Kedua
kawan-kawannya mengangguk. Hampir bersamaan mereka menjawab,
“Ya, kami
sependapat.”
Mereka pun kemudian berjalan ke arah bukit yang membentang
di sebelah Selatan padang ilalang itu. Padang yang menarik perhatian
Sutawijaya. Apalagi ketika kemudian mereka melihat tanah pategalan dan
persawahan yang hijau subur di sebelah padang ilalang yang semakin lama menjadi
semakin tipis.
“Daerah ini adalah
daerah yang sangat subur,” gumam Sutawijaya.
“Ya,” sahut
Agung Sedayu,
“tidak kalah
subur dengan daerah Sangkal Putung.”
“Menurut
pendengaranku, tanah ini mendapat air dari sungai di sebelah Candi Prambanan,
Sungai Opak,” berkata Sutawijaya itu pula.
Kedua
kawan-kawannya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Mereka hanya tertarik
pada tanah yang subur, tanaman yang hijau dan rumpun-rum pun yang segar. Tiba-tiba
terdengar Swandaru berdesis,
“Kalau tanah
ini sesubur Sangkal Putung, kenapa orang-orang Jipang tidak ingin memiliki
tanah dan kademangan ini pula?”
“Siapa tahu.”
sahut Agung Sedayu.
“Mungkin
daerah ini pun mendapat tekanan-tekanan
yang serupa dengan Sangkal Putung.”
“Tidak,”
potong Sutawijaya, “aku kira tidak, sebab Tohpati, Sanakeling, Alap-alap
Jalatunda, dan sebelum itu juga Pande Besi Sendang Gabus berada di sekitar
Sangkal Putung.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya,” katanya lirih.
Sejenak mereka
terdiam. Kaki-kaki mereka melangkah di antara batang-batang ilalang yang sudah
semakin tipis. Di hadapan mereka terbentang sebuah padang rumput yang sempit.
Di seberang padang rumput itu, maka terbentanglah tanah persawahan dan
pategalan yang hijau. Di sana-sini mereka melihat padesan yang segar
bermunculan di antara batang-batang padi yang sedang berbunga.
“Ada perbedaan
antara Prambanan dan Sangkal Putung,” berkata Sutawijaya kemudian.
“Yang mungkin
mempengaruhi perhitungan Tohpati adalah letak dari kedua kademangan ini. Yang
kedua, Sangkal Putung agak lebih besar dari Prambanan dan lebih padat pula,
sehingga yang tersimpan di dalam perut Kademangan Prambanan. Agaknya Prambanan
tidak memiliki kekayaan seperti Sangkal Putung. Ternak, iwen, lumbung-lumbung
yang padat dan hampir setiap orang di Pajang dan Jipang tahu, bahwa orang-orang
Sangkal Putung adalah selain petani yang rajin, juga pedagang yang ulet,
sehingga menurut perhitungan Tohpati, di Sangkal Putung, akan banyak dijumpai
emas dan permata. Kepentingan Tohpati yang lain, karena Sangkal Putung lebih
padat daripada Prambanan, maka Sangkal Putung akan dijadikan panjatan
perlawanan atas Pajang. Mungkin Tohpati akan dapat memanfaatkan penduduk
Sangkal Putung dengan sebaik-baiknya.”
Agung Sedayu
dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan mereka mendengar Sutawijaya
berkata terus,
“Tetapi tidak
mustahil, bahwa apabila mereka gagal menduduki Sangkal Putung, maka mereka akan
memperhatikan tempat-tempat lain. Tempat-tempat yang cukup baik, tetapi yang
terlepas dari pengawasan prajurit-prajurit Pajang. Tetapi aku kira Prambanan pun berada di bawah pengawasan langsung dari
beberapa orang prajurit.”
Agung Sedayu
dan Swandaru masih saja mengangguk-anggukkan kepala mereka. Di dalam hati
Swandaru merasa bangga, bahwa kademangannya, kademangan yang dipimpin oleh
ayahnya ternyata mempunyai beberapa keistimewaan dari kademangan-kademangan
lain. Jati Anom, Prambanan dan beberapa kademangan yang lain, bukanlah
kademangan yang dapat dinilai sebesar kademangannya. Tetapi berbeda dengan
angan-angan yang berputar di kepala Sutawijaya. Pandangannya atas kademangan
ini ternyata jauh melampaui masa yang dilihatnya kini. Ia adalah putera Ki Gede
Pemanahan. Sehingga apabila ayahnya nanti mampu membuka hutan Mentaok, maka
adalah menjadi kewajibannya untuk menjadikan daerah itu daerah yang besar. Daerah
yang memiliki kedudukan yang kuat dan memiliki sumber kekayaan yang cukup.
Prambanan adalah daerah yang cukup subur. Dan daerah ini tidak terlampau jauh
dengan alas Mentaok yang dijanjikan olah Adipati Pajang kepada ayahnya. Namun
Sutawijaya menyimpan angan-angan itu di dalam kepalanya. Ia sama sekali tidak
menyatakan kepada kedua kawannya. Gambaran-gambaran tentang masa depan itu
dibiarkan tumbuh dan berkembang di dalam hatinya sendiri. Mereka berjalan terus
ke arah Barat. Dilingkarinya pategalan dan tanah-tanah persawahan. Mereka
berjalan di padang alang-alang di sisi-sisi bukit kecil yang menbujur di
sebelah Selatan Prambanan.
“Itulah Candi
Jonggrang,” berkata Agung Sedayu kemudian.
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Gumamnya,
“Hem, itulah candi
yang terkenal itu.”
Swandaru
mengerutkan wajahnya. Tetapi ia tidak berkata suatu apapun. Ketika matahari
semakin lama menjadi semakin rendah, maka berkatalah Sutawijaya kemudian,
“Hampir senja.
Apakah kita akan bermalam di padang ilalang, ataukah kita ingin mencari
penginapan di desa yang terdekat. Lihat, desa itu adalah desa kecil yang
terpencil. Mungkin kita akan dapat mencari sekedar tempat untuk bermalam.”
Agung Sedayu
dan Swandaru tidak segera menjawab. Ditatapnya sebuah desa kecil yang terpencil
agak di sebelah Barat Candi Prambanan. Desa itu dipisahkan oleh sebuah bulak
yang agak panjang, yang ditumbuhi oleh batang-batang padi yang hijau subur.
Namun desa kecil itu sendiri dilingkari oleh tanaman yang segar pula. Daun-daun
yang hijau menjadi kemerah-merahan karena sinar matahari yang hampir terbenam
di ujung Barat.
“Bagaimana?”
desak Sutawijaya.
“Kalau kita
ingin bermalam di desa itu, maka biarlah kita menunggu gelap. Kita memasuki
desa itu setelah tidak banyak orang yang akan melihat kita. Kita pilih rumah
yang paling ujung. Dan kita minta bermalam apabila pemiliknya tidak keberatan.”
“Dengan segala
macam senjata ini?” bertanya Agung Sedayu.
Sutawijaya
mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya,
“Tidak. Kita
mencari tempat yang agak baik untuk menyembunyikan senjata-senjata ini.”
“Bagaimana
kalu senjata-senjata kita dicuri orang?” bertanya Swandaru.
“Tidak kita
letakkan di sembarang tempat. Kita sembunyikan di tempat yang kita yakin, bahwa
senjata-senjata itu tidak dilihat orang.”
Kedua kawannya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian Agung Sedayu menjawab,
“Baiklah.
Tanpa senjata di tangan kita tidak akan menakut-nakuti penduduk desa itu.
Tetapi apakah jawab kita apabila mereka bertanya siapakah kita dan apakah
kepentingan kita di desa mereka?”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya pula,
“Ya, apakah
keperluan kita?”
Mereka pun kemudian terdiam. Mereka sedang
mencari-cari jawab apabila mereka mendapat pertanyaan tentang diri mereka.
“Baiklah kita
katakan, bahwa kita adalah orang-orang Mangir. Kita baru saja bepergian ke
Sangkal Putung, bagaimana?” berkata Sutawijaya.
“Kita belum
pernah melihat daerah itu. Bagaimana kalau orang yang kita temui itu mengenal
Mangir dengan baik dan bertanya beberapa hal tentang Mangir?” sahut Agung
Sedayu.
Sutawijaya
termenung. Matahari di sebelah Barat telah menjadi semakin rendah.
“Kita bermalam
di padang ilalang ini saja,” katanya kemudian.
Swandaru mengerutkan
keningnya. Katanya,
“Dingin. Sudah
tentu kita tidak dapat membuat perapian kalau kita tidak ingin menarik
perhatian orang-orang Prambanan.”
“Ya, kau
benar,” jawab Sutawijaya,
“dingin dan
banyak sekali nyamuk. Memang lebih senang tidur di dalam rumah.”
“Kita
perhitungkan setiap kemungkinan. Manakah yang lebih baik. Kedinginan di ladang
ini atau menjawab pertanyaan-pertanyaan yang akan mereka berikan,” berkata
Agung Sedayu.
“Oh, aku
terbalik menjawab,” berkata Sutawijaya.
“Kita adalah
anak-anak Sangkal Putung yang akan pergi ke Mangir. Kita akan dapat menjawab
segala pertanyaan mengenai Sangkal Putung. Tetapi apabila mereka bertanya
tentang Mangir, biarlah kita jawab, bahwa kita belum pernah pergi ke Mangir.”
“Apakah
keperluan kita ke Mangir?” bertanya Swandaru.
“Apa saja,”
jawab Sutawijaya,
“mencari paman
kita atau kakak kita?”
“Baik, kita
adalah anak-anak Sangkal Putung,” sahut Swandaru kemudian.
“Kita
saudara-saudara sepupu,” berkata Sutawijaya,
“panggil aku
kakang. Agung Sedayu menjadi penengah di antara kita dan Swandaru adalah
saudara sepupu yang lahir dari saudara termuda di antara orang tua kita.”
Swandaru
tertawa. Katanya,
“Kenapa aku
yang termuda?”
“Demikianlah
sepantasnya,” jawab Sutawijaya.
“Muda dalam
urutan saudara sepupu tidaklah mesti yang paling muda umurnya,” sahut Swandaru.
“Apakah kita
akan berbantahan mengenai umur untuk kepentingan ini?” bertanya Sutawijaya.
Kedua kawannya
tertawa, “Baiklah,” desis Swandaru.
“Marilah, kita
dekati desa itu. Kau lihat pohon gayam yang besar itu? Kita sembunyikan senjata
kita ke atasnya. Aku sangka tak seorang
pun yang akan melihatnya.”
“Ya, apabila
senja telah menjadi gelap.”
Mereka
bertiga pun kemudian berjalan ke Utara.
Merka telah melampaui arah Candi Jonggrang. Mereka menuju sebuah desa kecil di
sebelah Barat candi itu, desa yang terpisah oleh sebuah bulak yang agak
panjang.
Pada saat yang
bersamaan, di Sangkal Putung berderap kaki-kaki kuda prajurit-prajurit Wira
Tamtama dari Pajang yang akan menjemput Ki Gede Pemanahan dengan membawa
orang-orang Jipang. Besok mereka akan kembali bersama sebagian dari pasukan
Widura di Sangkal Putung, sedang sebagian yang lain harus tetap tinggal di
Sangkal Putung untuk menjaga setiap kemungkinan. Orang-orang Widura itu akan
kembali ke Sangkal Putung bersama pasukan yang dipimpin oleh Pidaksa yang akan
di tempatkan di bawah kekuasaan Untara untuk menyelesaikan sisa-sisa orang-orang
Jipang itu sama sekali. Ki Gede Pemanahan yang gelisah karena puteranya pergi
tanpa sepengetahuannya, terpaksa tidak dapat berbuat apa pun juga. Ia harus
segera kembali ke Pajang yang sedang mengembangkan dirinya. Pada saat ini
Kerajaan Demak sedang kosong sepeninggal Sultan Trenggana. Timbulnya berbagai
pertentangan di antara putera-putera dan kemenakannya telah memberi peluang
kepada beberapa orang yang tidak senang menyaksikan Demak bangkit kembali.
Apalagi melihat kebangkitan keturunannya. Ki Gede itu hanya dapat berpesan
kepada Untara dan Widura untuk kelak menyuruh anaknya segera kembali ke Pajang.
Bukan saja dirinya sendiri yang menjadi gelisah, tetapi pasti Adipati
Adiwijaya pun menjadi gelisah pula.
“Anak itu
menggangu pekerjaanku saja,” gumamnya. Tetapi kemudian diteruskan,
“Yah, tetapi
ia telah berjasa pula kepada Pajang.”
Malam itu Ki
Gede Pemanahan telah mempersiapkan dirinya untuk besok pada saat matahari
terbit, berangkat dengan pengawalan yang kuat, membawa orang-orang Jipang yang
menyadari kekeliruan yang selama ini mereka lakukan.
Dan pada saat
itu, ketika matahari telah tenggelam di balik cakrawala, maka Sutawijaya, Agung
Sedayu, dan Swandaru telah berada di bawah pohon gayam yang cukup besar. Mereka
ingin menyimpan senjata-senjata mereka di atas pohon itu, supaya kehadiran
mereka ke desa di ujung Kademangan Prambanan tidak mencurigakan.
“Siapakah yang
memanjat?” bertanya Sutawijaya.
“Siapa?” sahut
Agung Sedayu.
“Berikan
senjata kalian. Aku akan memanjatnya,” desis Swandaru.
Kedua kawannya
tertawa. Ketika mereka melihat Swandaru melipat lengan bajunya serta
menyingsingkan kain panjangnya, maka kedua kawannya pun segera melepas senjata mereka.
“Apakah kau
dapat membawa sekaligus?” bertanya Agung Sedayu.
“Tentu tidak.
Aku akan memanjat untuk kepentingan kalian, tetapi tolong, berikan
senjata-senjata itu apabila aku sudah berada di atas pohon gayam ini,”
jawabnya.
“Uh, kalau
begitu sama saja bagiku. Lebih baik kita memanjat bersama-sama. Ayo, biarlah
aku membawa sebagian dari senjata-senjata itu,” berkata Agung Sedayu.
Swandaru lah
yang kemudian tertawa. Tetapi ia tidak menjawab. Dengan sebagian dari
senjata-senjata mereka ia memanjat. Dibawanya pedangnya sendiri, busur serta
endong panahnya, dan tombak Sutawijaya, sedang Agung Sedayu membawa
senjata-senjatanya sendiri dengan busur dan endong panah Sutawijaya.
Dengan
hati-hati mereka menyangkutkan senjata-senjata itu pada cabang-cabang yang kuat
dan rimbun. Mengikatnya dan kemudian mereka
pun turun dengan hati-hati supaya gerakan-gerakan mereka tidak
menjatuhkan senjata-senjata mereka yang terikat pada cabang-cabang pohon gayam
itu.
Sutawijaya
yang berdiri di bawah mengawasi keadaan dengan seksama. Kalau-kalau ada
seseorang yang mengintai mereka bertiga. Tatapi sampai kedua anak-anak muda itu
turun dari pohon gayam itu, tidak seorang
pun yang dilihatnya.
“Aku kira tak
seorang pun yang melihat kita di sini,”
desis Sutawijaya.
“Apalagi
setelah hari menjadi gelap. Kini marilah kita pergi ke desa itu.”
“Marilah,”
sahut keduanya.
Tetapi segera
langkah mereka terhenti. Dalam keremangan malam mereka melihat bayangan semakin
lama menjadi semakin dekat. Tidak hanya seorang. Tetapi dua dan bahkan tiga
orang.
Ketiga anak
muda itu menjadi berdebar-debar. Bukan karena mereka takut, namun apabila ada
orang yang melihat perbuatan mereka, maka pasti akan menimbulkan berbagai
pertanyaan dan persoalan. Apabila mereka harus mengalami perselisihan,
senjata-senjata mereka kini telah tersangkut di atas pohon gayam itu. Bayangan-bayangan
itu semakin lama menjadi semakin dekat. Kemudian terdengarlah suara mereka
bercakap-cakap. Tidak begitu jelas, tetapi percakapan mereka berjalan lancar.
“Mereka belum
melihat kita,” desis Sutawijaya perlahan-lahan.
“Ya, Tuan,
mereka belum melihat kita,” sahut Agung Sedayu.
“Jangan
panggil aku tuan. Panggil aku kakang.”
“Ya, Kakang,”
ulang Agung Sedayu.
Tiba-tiba tiga
orang yang berjalan itu pun tertegun.
Mereka kini melihat ketiga anak-anak muda yang berdiri di pinggir jalan di
bawah pohon gayam. Karena itu salah seorang dari mereka segera bertanya,
“Siapakah
kalian di situ?”
Ketiga
anak-anak muda itu sejenak menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian Sutawijaya
menjawab,
“Aku, Paman.”
“Aku siapa?”
Kembali
Sutawijaya menjadi bingung. Lebih baik baginya untuk tidak mempergunakan namanya
sendiri, supaya tidak mengganggunya. Sebab mungkin seseorang telah mendengar
nama itu.
“Siapa?”
bertanya orang itu pula.
“Aku, Suta
Paman.”
“Suta, Suta
siapa?”
“Suta, ya
Suta. Sutajia.”
“Sutajia,”
ulang orang itu, “aku belum pernah mendengar namamu.”
Sutawijaya,
Agung Sedayu, dan Swandaru pun menjadi
bingung. Meskipun mereka telah merencanakan, apa yang harus mereka katakan,
namun menghadapi pertanyaan itu mereka masih harus berpikir sejenak. Karena
mereka bertiga tidak segera menjawab, maka orang itu mensedak, “He, Sutajia,
siapakah kau?”
Sutawijaya
menjawab terbata-bata,
“Memang
mungkin, Paman. Mungkin Paman belum pernah mendengar namaku. Aku bukan orang
Prambanan.”
Orang itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Pantas. Aku
belum pernah mendengar nama itu. Tetapi meskipun kau bukan orang Prambanan,
namun namamu itu cukup aneh. Sutajia. Nama yang terasa tidak cukup lengkap.”
Dada
Sutawijaya menjadi berdebar-debar. Seakan-akan orang yang berbicara itu
mengerti keadaan dirinya sepenuhnya. Namun kemudian ia menjadi berlega hati
ketika orang itu bertanya,
“Dari manakah
kalian datang?”
“Kami datang
dari Sangkal Putung, Paman,” sahut Sutawijaya.
“Siapa kedua
kawanmu itu?”
“Mereka adalah
adik sepupuku. Yang bertubuh sedang bernama Agung Sedayu dan yang gemuk bernama
Swandaru Geni.”
Orang itu
mengangguk-anggukkan kepalanya kembali. Gumamnya,
“Nama itu
adalah nama-nama yang bagus, Agung Sedayu dan Swandaru Geni. Nama itu adalah
nama lengkap dan berwibawa. Tidak seperti namamu sendiri Sutajia.”
“Demikianlah
orang tua kami memberi nama kepada kami masing-masing, Paman.”
Dan orang
itu pun bertanya pula,
“Kalian datang
dari Sangkal Putung menurut katamu? Tetapi ke manakah kalian akan pergi?”
“Ya, Paman.
Kami datang dari Sangkal Putung. Sedang kami ingin pergi ke Magir.”
“Mangir, he?
Mangir di seberang hutan Mentaok?”
“Ya, Paman.”
“Apakah kalian
tidak sedang bermimpi?”
“Tidak,
Paman.”
Orang itu
mengangguk-anggukan kepalanya pula. Seolah-olah lehernya terlampau lentur.
“Apakah kalian
sudah mengetahui jalan yang harus kalian tempuh?”
“Sudah, Paman.
Kami akan melewati Candi Sari, Cupu Watu, dan kemudian hutan Tambak Baya.”
Orang itu
menarik nafas dalam-dalam. Pandangan wajahnya membayangkan keragu-raguan
hatinya. Tetapi ia tidak mempunyai kepentingan atas ketiga anak-anak muda itu.
Karena itu maka sambil lalu orang itu bertanya,
“Apakah malam
ini kau akan bermalam di bawah pohon ini?”
Sutawijaya
menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi setelah mereka saling berpandangan,
berkatalah Sutawijaya,
“Tidak, Paman.
Terlampau dingin. Tetapi kami tidak mempunyai keluarga di daerah ini.”
“Lalu?”
bertanya orang itu pendek.
“Sebenarnya
kami ingin pergi ke desa itu. Mungkin ada seseorang yang menaruh belas kepada
kami, dan mengijinkan kami bermalam semalam ini, meskipun kami harus tidur di
atas kandang.”
Orang itu
tertawa. Ia berpaling kepada kedua kawannya. Kemudian katanya,
“Kalian
bertiga akan pergi ke Mangir di sebelah hutan Mentaok, tetapi kalian takut
kedinginan di udara terbuka. Apakah kalian tahu, bahwa hutan Tambak Baya itu
menyimpan bahaya yang jauh lebih besar daripada udara yang dingin? Apalagi alas
Mentaok?”
Sutawijaya
terdiam. Tetapi pertanyaan itu masuk di dalam akalnya.
“Tetapi aku
kasihan melihat kalian bertiga,” berkata orang itu.
“Untunglah
bahwa keadaan telah menjadi baik, sehingga kami tidak ragu-ragu lagi membawa
kalian menginap di rumah kami.”
Sutawijaya,
Agung Sedayu, dan Swandaru mengerutkan keningnya. Agaknya Prambanan pun pernah mengalami masa yang kurang baik.
Tetapi ternyata masa yang kurang baik itu telah lampau.
“Bawa
anak-anak ini ke rumah, Bawa,” berkata orang itu. Kemudian kepada Sutawijaya ia
berkata,
“Keduanya
adalah anak-anakku. Yang tua bernama Bawa dan yang muda bernama Supa.”
“Oh,”
Sutawijaya menganggukkan kepalanya. Demikian pula Agung Sedayu dan Swandaru.
“Mari, ikut
aku,” ajak Bawa. Tetapi nada suaranya agak berbeda dengan nada suara ayahnya.
Tetapi Sutawijaya dan kedua kawan-kawannya mula-mula tidak memperhatikannya.
“Pulanglah
dahulu,” berkata orang itu kepada kedua anaknya,
“Aku masih
akan menyusur parit ini. Apakah kalian masih ada waktu?”
“Tidak Ayah.
Aku harus segera pulang. Kawan-kawan pasti sudah menanti di halaman banjar
desa.”
“Apakah kerja
kalian di sana? Bukankah lebih baik bagi kalian pergi ke pategalan sebentar
untuk menengok tanaman kalian. Mungkin ada binatang yang merusak mentimun itu.”
“Aku tidak
sempat, Ayah.”
“Hem,” orang
tua itu menarik nafas,
“ada-ada saja
kerjamu sekarang ini. Bagaimana kau, Supa?”
“Aku juga
tidak dapat Ayah. Aku juga harus pergi ke halaman banjar desa itu.”
“Terlalu. Jadi
aku juga yang harus pergi ke sana? Sesudah menyusur air ini, aku masih harus
pergi ke ladang mentimun itu?”
“Terserah
kepada Ayah. Bagaimana kalau ladang itu tidak usah ditengok? Aku kira hampir
tidak ada gunanya. Demikian kita meninggalkannya setelah kita bersusah payah
menengoknya, maka babi hutan itu datang merusaknya.”
“Memang
sebaiknya ladang itu kita tunggu apabila buahnya telah menjadi besar seperti
sekarang. Kalianlah yang harus membantu untuk menunggui ladang itu.”
Kedua anak
muda itu bersungut-sungut. Ternyata mereka sama sekali tidak tertarik akan
pekerjaan yang disebut oleh ayahnya, menunggui ladang. Anak muda yang bernama
Bawa, yang tertua kemudian manjawab,
“Pekerjaan itu
sangat menjemukan, Ayah.”
“Aku tidak
dapat melakukannya. Anak-anak muda yang lain bergembira di banjar desa, apakah
aku harus kedinginan di ladang mentimun?”
Ayahnya tidak
menyahut. Terdengar ia menarik nafas dalam-dalam.
“Ayo,” berkata
Bawa kemudian.
“Kalau kalian
mau ikut kami, marilah ikut.”
Bawa tidak
menunggu ketiga anak-anak Sangkal Putung itu menjawab. Langsung ia melangkah
pergi, meninggalkan ayahnya berdiri termanggu-maggu. Adiknya, Supa, segera
mengikuti pula berjalan di belakang kakaknya.
Sutawijaya,
Agung Sedayu, dan Swandaru masih belum bergerak dari tempatnya. Sekali-sekali
mereka memandang orang tua yang masih berdiri tegak di tempatnya dan
sekali-sekali mereka menatap kedua anak-anaknya yang berjalan dengan langkah
yang tetap.
Ketiga
anak-anak muda itu terkejut ketika orang tua itu berkata,
“Ikutlah.
Tidurlah di gandok wetan atau di tempat lain yang akan ditunjukkan oleh
anak-anakku. Mereka sendiri akan pergi ke banjar desa.”
“Apakah Paman
tidak pulang?” tiba-tiba Sutawijaya bertanya.
“Aku akan
pergi menyusur parit ini ke Timur. Seperti kalian dengar, aku masih harus pergi
ke ladang untuk melihat tanaman. Binatang-binatang liar kadang-kadang merusak
tanaman di ladang, meskipun tidak terlampau sering.”
Kembali
Sutawijaya menjadi ragu-ragu. Ketika ia memandangi wajah kedua orang temannya,
maka wajah-wajah mereka pun memancarkan
keragu-raguan pula. Akhirnya Sutawijaya itu
pun berkata,
“Paman. Kami
akan pergi bersama Paman.”
“Uh,” sahut
orang itu,
“belum tentu
tengah malam aku sampai ke rumah.”
“Biarlah.
Biarlah kami tengah malam sampai ke rumah Paman. Tetapi bukankah Paman yang
mempunyai rumah itu? Lebih baik bagi kami apabila kami datang ke rumah Paman
sesudah Paman berada di rumah.”
“Istriku ada
di rumah.”
“Tetapi bibi
belum mengenal kami dan putera-putera Paman agaknya terlampau tergesa-gesa.”
Orang tua itu
menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya,
“Terserahlah
kalian, kalau kalian ingin kedinginan di sepanjang parit ini.”
“Kami juga
anak-anak ladang,” tiba-tiba Swandaru menyela.
“Kami pun sering menyusur parit. Karena itu, kami tidak
akan canggung lagi berjalan di sepanjang pematang.”
Orang tua itu
mengangguk-angguk, katanya,
“Kalau
demikian terserahlah.”
“Marilah,”
akhirnya ia berkata sambil melangkahkan kakinya.
Sutawijaya,
Agung Sedayu, dan Swandaru pun berjalan
mengikutinya pula. Meskipun Swandaru lah yang berkata bahwa mereka adalah anak
ladang, namun ia pulalah yang bersungut-sungut sambil berbisik,
“Tuan, kenapa
kita mengikutinya? Kenapa kita tidak pergi bersama kedua anaknya. Kita tidak
akan kedinginan di tengah-tengah sawah seperti ini. Mungkin oleh bibi, istri
orang ini sudah dijamu dengan air sere hangat.”
Sutawijaya
tersenyum. Jawabnya,
“Kami adalah
anak-anak ladang. Kami pun sering
menyusur parit. Karena itu, kami tidak akan canggung lagi berjalan di
pematang.”
“Ah,” desah
Swandaru.
Agung Sedayu
yang mendengar pembicaraan itu pun
tertawa tertahan. Tetapi sebenarnya ia
pun telah merasa cukup lelah. Karena itu, maka dengan malasnya ia
menguap sambil berkata,
“Aku bukan
anak ladang. Karena itu aku kedinginan.”
“Ssst,” desis
Sutawijaya. “Kalian tidak tahu maksudku. Aku ingin mendengar ceritera tentang
daerah ini. Bukankah orang itu tadi mengatakan, bahwa keadaan kini telah
menjadi baik? Apakah yang telah terjadi sebelumnya?”
“Oh,” kedua
kawannya mengangguk-anggukan kepala mereka. Betapa pun dinginnya, namun mereka kini tidak lagi
berdesah di dalam hati.
Ketiga
anak-anak muda itu mengikuti orang tua berjalan di sepanjang pematang di tepi
parit. Alangkah dinginnya apabila kaki-kaki mereka terkena percikan air yang
mengalir di sepanjang parit itu. Sehingga akhirnya mereka sampai ke sebuah
bendungan kecil yang membagi parit itu menjadi dua buah saluran yang mengalir
ke arah yang berbeda.
“Aku akan
menutup salah satu daripadanya,” berkata orang tua itu.
“Tanah di
sebelah ini seharusnya telah kenyang. Karena itu, maka airnya akan dipergunakan
untuk belahan yang lain.”
Sutawijaya dan
kedua kawannya sama sekali tidak menyahut, tetapi mereka berdiri dekat di
belakang orang tua yang terbungkuk-bungkuk mencangkul tanah berpasir untuk
menutup salah sebuah dari kedua saluran itu. Dari bendungan kecil itu, mereka
segera ke ladang di sebelah padesan kecil yang semula akan disinggahi oleh
Sutawijaya dengan kawan-kawannya. Pategalan mentimun yang subur yang sudah
mulai berbuah.
Ketika mereka
kemudian duduk-duduk di rerumputan di sebelah tanaman di ladang itu, maka
mulailah Sutawijaya bertanya,
“Paman, apakah
desa ini termasuk Kademanangan Prambanan?”
“Ya, ya,”
sahut orang tua itu.
“Daerah ini
adalah daerah Kademangan Prambanan.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya pula,
“Siapa nama,
Paman?”
Orang
Prambanan itu tersenyum mendengar pertanyaan Sutawijaya. Katanya,
“Apakah kalian
ingin juga mengetahui namaku?”
“Tentu, Paman,
supaya besok aku dapat mengatakan kepada setiap orang di Sangkal Putung, bahwa
di Prambanan aku bermalam di rumah Paman.”
Orang itu kini
tertawa. Jawabnya,
“Namaku
Astra.”
“Astra,” ulang
Sutawijaya.
“Ya.”
“Hanya itu.”
“Ya, kenapa?”
“Mendengar
namaku, Sutajia, Paman menjadi heran. Menurut Paman, nama itu belum lengkap.
Tetapi nama Paman bagiku justru terlampau pendek. Bukankah itu lebih pendek
dari namaku?”
Orang yang
bernama Astra itu tertawa pula. Katanya,
“Tetapi namaku
meskipun pendek, kedengarannya tidak aneh seperti namamu.”
Sutawijaya
tertawa. Yang lain pun ikut tersenyum
pula.
Tiba-tiba
Sutawijaya bertanya,
“Kenapa
putera-putera Paman tidak mau membantu Paman ke sawah dan ladang?”
Orang itu
menarik nafas dalam-dalam. Kemudian setelah terdiam sejenak ia menjawab,
“Hal ini
terjadi belum terlalu lama. Dahulu anak-anakku adalah anak-anak yang rajin.
Bahkan aku hampir tidak pernah ke sawah. Merekalah yang menyelesaikan semua
pekerjaan. Tetapi sekarang tiba-tiba mereka menjadi malas, setelah di banjar
desa sering diadakan permainan tayuban.”
“Tayuban,”
Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru mengulang hampir bersamaan.
“Ya, tayuban.
Setelah keadaan kademangan ini menjadi baik, maka aneh-anehlah tingkah laku
anak-anak muda yang kehilangan kegiatan dan tidak mendapat penyaluran yang
sewajarnya.”
“Apa saja yang
mereka lakukan?” bertanya Agung Sedayu.
“Macam-macam.
Berjalan-jalan berbondong-bondong mengelilingi kademangan di senja hari.
Kemudian berteriak-teriak tidak menentu. Kadang-kadang mereka menyembelih
kambing, bahkan lembu tanpa sebab. Mereka makan-makan tanpa batas. Gadis-gadis
tidak mau ketinggalan. Merekalah yang memasak daging kambing atau lembu atau
kerbau. Kemudian sambil berkelakuan aneh-aneh mereka habiskan waktu mereka
semalam-malaman.”
Sutawijaya
mengerutkan keningnya. Sekali mereka bertiga saling berpandangan. Kemudian
terdengar Swandaru bertanya,
“Apakah orang
tua tidak berbuat sesuatu?”
“Kau lihat
sendiri, bagaimana sikap anak-anakku terhadapku. Apakah aku harus memukulnya?
Kalau aku berbuat demikian, mereka pasti akan melawan, dan aku pasti akan mati
mereka cekik bersama-sama.”
Sorot mata
Swandaru tiba-tiba menjadi aneh. Ia adalah pemimpin anak-anak muda Sangkal
Putung. Karena itu ia menaruh minat yang sangat besar mendengar ceritera itu.
“Kenapa
terjadi demikian, Paman Astra?” bertanya Swandaru.
“Bukankah
menurut Paman hal itu baru saja terjadi. Maksudku belum terlampau lama.”
“Ya, memang
demikian. Baru saja, sejak keadaan Prambanan menjadi baik kembali.”
“Apakah yang
pernah terjadi di Prambanan, Paman?” bertanya Agung Sedayu.
“Aku kira
pernah terjadi pula di Sangkal Putung. Apakah tidak demikian? Sisa-sisa laskar
Arya Penangsang, beberapa orang dari mereka selalu berkeliaran di sekitar
daerah ini. Hal itulah yang menyebabkan beberapa orang prajurit Pajang di
tempatkan di kademangan ini.”
Sutawijaya dan
kedua kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tiba-tiba
mereka lenyap dari daerah ini seperti ditelan hantu. Beberapa waktu yang lalu
mereka masih berkeliaran di sekitar kademangan ini.”
“Sejak kapan
mereka tidak menampakkan diri lagi, Paman?”
“Dua tiga
bulan, kurang lebih.”
Sutawijaya dan
kedua kawannya saling berpandangan. Dua bulan. Persiapan Tohpati yang terakhir
berlangsung dalam waktu yang lama dan cukup masak. Mungkin orang-orang Jipang
di Prambanan harus berkumpul di Sangkal Putung untuk memperkuat serangan yang
terakhir itu. Mungkin pula sejak serangan yang gagal sebelumnya, pada saat
Tohpati membawa orang-orangnya datang di malam hari. Tetapi tak seorang pun dari mereka yang mengatakannya kepada
Astra. Mereka masih saja berteka-teki di dalam dada masing-masing.
“Lalu apakah
hubungannya dengan perbuatan anak-anak muda di Prambanan ini, Paman.”
“Mereka
mendapat tuntunan dari para prajurit Pajang untuk menjaga kademangannya.
Prajurit Pajang sendiri tidak dapat mencukupi. Namun sebagian besar dari
anak-anak muda itu belum pernah mengalami pertempuran yang sebenarnya. Mereka
hanya berkeliling kademangan, meronda sambil membawa segala macam senjata.
Kalau ada sesuatu terjadi, mereka segera berlindung di belakang para prajurit Pajang
dan kawan-kawannya yang lebih berani. Untunglah, jumlah orang-orang Jipang
itu pun tidak seberapa banyak, sehingga
bagi Prambanan, mereka belum merupakan bahaya yang benar-benar dapat
menggoncangkan ketenteraman kademangan ini.”
Ketiga
anak-anak muda yang mendengarkan ceritera itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ini adalah suatu perbedaan antara anak-anak muda Prambanan dan anak-anak muda
Sangkal Putung. Anak-anak muda Sangkal Putung hampir seluruhnya telah mengalami
pertempuran berkali-kali dengan orang Jipang. Bahkan korban pun telah berjatuhan.
“Tetapi kenapa
mereka sekarang berbuat aneh-aneh?” bertanya Agung Sedayu.
“Kini sebagian
besar prajurit Pajang pun telah ditarik.
Pengawasan atas anak-anak muda itu menjadi jauh berkurang. Anak-anak muda yang
dirinya mendapat kekuasaan itu, tiba-tiba menjadi mabuk. Mabuk atas kekuasaan
yang ditinggalkan oleh para prajurit Pajang untuk menjaga keamanan kademangan
ini. Dengan pedang di lambung, mereka ditakuti. Karena itu, maka mereka
kadang-kadang melakukan perbuatan-perbuatan yang aneh-aneh itu.”
Ketiga
anak-anak muda itu merasa aneh mendengar ceritera Astra. Hati mereka segera
tersentuh, dan perhatian mereka pun
menjadi sangat tertarik kepada peristiwa itu. Dalam pada itu Astra berceritera
terus,
“Sekarang anak-anak
muda itu telah jauh terdorong ke dalam perbuatan-perbuatan yang lebih
berbahaya. Di antaranya kedua anakku. Mungkin kalian dapat menyalahkan aku dan
orang-orang tua. Tetapi aku yang mengalaminya sendiri merasa, bahwa habislah
akalku untuk mengendalikan kedua anak-anakku itu. Apalagi di antara kami orang
tua-tua, memang ada yang justru menjadi bangga melihat kelakuan anak-anaknya.
Seolah-olah anaknya telah menjadi seorang pahlawan.”
“Aneh,” desis
Sutawijaya dengan serta-merta.
“Ya, aneh,”
sahut Agung Sedayu dan Swandaru hampir bersamaan. Mereka adalah pemuda-pemuda
pula. Tetapi mereka tidak dapat membayangkan apa saja yang telah dilakukan oleh
anak-anak sebayanya di Kademangan Prambanan.
“Apakah tidak
ada tindakan yang dapat dilakukan?” bertanya Sutawijaya.
Astra menarik
nafas dalam-dalam. Sambil menggelengkan kepalanya ia menjawab,
“Sulit. Sulit
sekali. Mungkin dapat juga dilakukan tindak kekerasan. Tetapi anak-anak muda
itu merasa diri mereka pahlawan-pahlawan dan mereka pun pasti akan melawan dengan kekerasan pula.
Apakah yang kira-kira akan terjadi di Prambanan? Bencana ini akan jauh lebih
dahsyat daripada bencana yang dapat ditimbulkan oleh orang-orang Jipang.”
“Ya, Paman
benar,” shut Sutawijaya.
“Kami hampir
kehilangan akal untuk mengatasinya,” berkata orang tua itu pula.
“Bagaimana
dengan pamong kademangan ini? Bapak Demang misalnya atau Bapak Jagabaya?”
“He,”
tiba-tiba orang itu tersentak. Katanya kemudian,
“Kenapa kau
ributkan kademangan ini? Terserahlah kepada Bapak Demang dan Bapak Jagabaya.”
Sutawijaya dan
kedua kawan-kawannya terdiam. Namun timbullah keinginan mereka untuk melihat,
apakah yang telah terjadi di Banjar Desa Kademangan Prambanan? Karena itu,
tanpa bersetuju lebih dahulu, hampir bersamaan Agung Sedayu dan Sutawijaya
berkata,
“Apakah kita
akan melihat?”
“Apakah yang
akan kalian lihat?” bertanya Astra.
“Apa yang
terjadi di banjar desa.”
“Apakah kalian
akan membawa kebiasaan itu ke Sangkal Putung, supaya para pemudanya mempunyai
kebiasaan serupa pula?”
“Tidak,” sahut
Swandaru cepat-cepat.
“Kami hanya
ingin melihatnya.”
Orang tua itu
tersenyum. Katanya,
“Apalagi kini
di kademangan ini sedang kedatangan beberapa orang tamu. Dua atau tiga orang,
aku kurang tahu.”
“Tamu?”
bertanya ketiga anak-anak muda itu serta merta.
“Ya, tamu dari
seberang hutan Mentaok.”
Sutawijaya dan
kedua kawannya terkejut mendengar jawaban itu. Dengan terbata-bata Agung Sedayu
bertanya,
“Seberang
hutan Mentaok? Maksud Paman, tamu itu datang dari daerah di seberang hutan
Mentaok?”
“Ya, kenapa
kau terkejut?”
Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk menenangkan debar jantungnya.
Kemudian jawabnya,
“Tidak
apa-apa? Kami terpengaruh oleh tujuan kami sendiri. Kami ingin pergi ke hutan
itu, dan kami mendengar nama Mentaok, Paman sebut-sebut.”
“Oh,” Astra
mengangguk-anggukan kepalanya.
“Mereka adalah
utusan dari daerah perdikan Manoreh.”
“Bukit Manoreh
maksud Paman?”
Orang itu
mengangguk, “Demikian yang aku dengar. Aku tidak tahu kebenarannya.”
Ketiga
anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya pula.
“Mereka telah
dua malam berada di tempat ini. Dan mungkin kalian akan terkejut mendengarnya,
tamu-tamu itu akan pergi ke Sangkal Putung.”
Swandaru
menggigit bibirnya, tetapi ia masih tetap berdiam diri. Namun di dalam dada
anak-anak muda itu tersimpan bergabai macam pertanyaan. Kalau mereka utusan
Kepala Daerah Perdikan Menoreh, maka mereka pasti mempunyai sangkut paut dengan
kepala daerah perdikan itu. Daerah perdikan Menoreh adalah tanah kelahiran
Sidanti.
“Sangat
menarik perhatian,” gumam Agung Sedayu.
“Justru kami
datang dari daerah Sangkal Putung.”
“Kapan mereka
akan berangkat ke Sangkal Putung?” bertanya Sutawijaya.
“Aku tidak
tahu. Tetapi tamu-tamu itu agaknya kerasan di sini. Mereka pun masih muda-muda, semuda kalian bertiga.
Kalau terpaut umur, maka tidak akan lebih dari tiga empat tahun.”
Alangkah
menarik hati ceritera itu bagi ketiga anak-anak muda itu. Keinginan mereka
untuk melihat apa yang terjadi di Prambanan semakin mencengkam hati mereka.
Namun mereka tidak segera menyatakannya. Bahkan Sutawijaya itu bertanya,
“Kalau di
kedemangan ini ada tamu, apakah anak-anak mudanya masih juga mengadakan tayub
di banjar desa?”
“Tamu-tamu
itu pun mempunyai kesukaan serupa.”
“Oh,”
Sutawijaya menarik nafasnya dalam-dalam. Lalu tiba-tiba ia bertanya,
“Bagaimana
dengan para prajurit dari Pajang yang masih tinggal di sini?”
“He,” kembali
orang itu tersentak.
“Kenapa kalian
ributkan kademangan ini? Itu bukan urusan kalian, bukan urusanku dan bukan
urusan istriku. Urusanku sebenarnya hanyalah berkisar pada anak-anakku yang
menjadi mursal pula.”
“Paman keliru,”
sahut Sutawijaya tiba-tiba.
“Keadaan
kademangan ini adalah tanggung jawab segenap penghuninya. Tanggung jawab Bapak
Demang, Bapak Jagabaya, Bapak Kabayan, Bapak Pamong-Pamong yang lain dan
tanggung jawab Paman pula.”
Orang itu
membelalakkan matanya. Ia sebenarnya sependapat dengan Sutawijaya yang
menamakan dirinya Sutajia. Tetapi karena yang mengucapkan itu seorang anak muda
yang ingin menumpang tidur kepadanya, dan seorang anak muda yang disangkanya betul-betul
anak Sangkal Putung saja, dengan pakaian yang kusut, setelah mereka
mengenakannya selama dua hari terakhir siang dan malam, maka Astra menjadi
heran. Dengan penuh selidik ia bertanya,
“Darimana kau
bisa berbicara seolah-olah kau ini seorang pemimpin pemerintahan?”
“Aku hanya
sering mendengarnya, Paman. Bapak Demang Sangkal Putung sering mengatakan
demikian.”
“Oh,” Astra
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Apakah Bapak
Demang Prambanan tidak pernah berkata demikian?”
“Tentu. Tentu.
Bapak Demang adalah seorang demang yang baik. Tetapi apakah ia dapat berbuat
banyak di antara para pamong yang berbuat tidak baik? Di antara orang-orang tua
yang berbangga melihat anak-anaknya berbuat edan-edanan? Bahkan bukan saja
Bapak Demang, ada juga beberapa anak-anak muda yang menangis di dalam hatinya
melihat perkembangan keadaan. Tetapi tidak mendapat kesempatan apa-apa.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Agung Sedayu dan Swandaru duduk tepekur, tetapi
ia mendengar setiap pembicaraan dengan penuh minat.
“Seperti anak-anakku,”
berkata Astra pula.
“Aku sudah
hampir menjadi gila memikirkannya. Seandainya ada kekuatan yang mampu
memperingatkannya, meskipun seandainya anakku harus mengalami pelajaran yang
agak berat, aku akan berterima kasih.”
Ketiga
anak-anak muda yang datang dari Sangkal Putung itu berdiam sejenak. Dan Astra
berkata pula,
“Tetapi
sayang, anak-anak muda yang masih menyadari keadaan, jumlahnya tidak terlampau
banyak, dan mereka tidak mempunyai banyak kelebihan dari anak-anakku yang
bengal itu.”
“Tetapi itu
adalah pekerjaan kami, Bawa,” potong ayahnya.
Sutawijaya lah
yang kemudian bertanya,
“Paman, Paman
belum menjawab pertanyaanku. Bagaimana dengan prajurit-prajurit Pajang?”
Orang itu
terdiam sejenak. Tiba-tiba ia berkata,
“He, aku sudah
selesai dengan pekerjaan di sini. Tidak ada binatang-binatang liar yang
mengganggu ladangku. Ayo, kita kembali. Bukankah kau bermalam di rumahku?”
Sutawijaya
mengangguk-angguk, “Ya Paman,” jawabnya. Tetapi setiap kali ia kecewa.
Pertanyaannya belum terjawab. Sebagai seorang putera Panglima yang pernah ikut
serta dalam barisan Wira Tamtama justru menghadapi lawan yang terberat, yaitu
Arya Penangsang itu sendiri, maka ia terkait akan adanya beberapa orang
prajurit di Prambanan.
Tetapi mereka
tidak mendapat kesempatan untuk bertanya lagi. Astra segera berdiri, memanggul
cangkulnya dan berjalan menyusur pinggiran ladangnya. Katanya,
“Kita lewat
jurusan ini.”
Sutawijaya,
Agung Sedayu, dan Swandaru segera mengikutinya di belakang. Namun agaknya masih
belum puas. Di sepanjang jalan ia masih bertanya,
“Dan bagaimana
dengan tamu-tamu dari Menoreh?”
“Tidak
apa-apa. Mereka tidak apa-apa,” jawab Astra pendek.
Sutawijaya
menjadi benar-benar kecewa. Tiba-tiba ia berkata,
“Paman. Kami
ingin pergi ke banjar desa. Di kademangan kami hampir tidak pernah kami lihat
keramaian apapun. Apabila di sini kebetulan ada keramaian di banjar desa, maka
betapa besar keinginan kami untuk melihatnya.”
“Huh,
sebaiknya kalian tidak melihatnya.”
“Kenapa?”
Astra tidak
menjawab. Tetapi ia berkata,
“Bukankah
kalian akan bermalam di rumahku? Jarang aku bertemu dengan anak-anak muda
seperti kalian. Aku senang bercakap-cakap dengan anak-anakku sendiri.”
“Tentu Paman.
Aku akan mengikuti sampai ke rumah Paman. Kemudian kami akan mohon ijin untuk
pergi ke banjar desa. Dengan demikian kami telah mengenal rumah Paman, supaya
kami tidak usah mencari-cari apabila kami kembali dari banjar desa.”
Astra
mengangguk-anggukan kepalanya, “Baiklah,” gumamnya.
Kemudian
mereka saling berdiam diri. Mereka berjalan di sepanjang pategalan. Di sini
mereka melihat beberapa orang duduk di ladang semangka, menungguinya pula.
“Dari ladang
Kakang?” tegur salah seorang dari mereka.
“Ya,” sahut
Astra,
“aku tidak
dapat menungguinya malam ini. Anak-anak
pun tidak. Tolong, apabila kalian melihat binatang atau anak-anak nakal
merusak masuk.”
“Baik,
Kakang,” jawab orang itu.
“Tetapi
bukankah Supa dan Bawa telah mau ikut ke sawah bersama Kakang?”
“Mereka hanya
mau melewatinya tanpa membasahi kaki-kaki mereka dengan air parit. Mereka
tergesa-gesa pergi ke banjar desa. Apakah anak-anak kalian juga pergi ke sana?
“Ah, aku tidak
peduli lagi. Mereka telah menjadi gila. Tetapi bukankah Supa dan Bawa yang
berjalan bersama Kakang itu.
“Bukan, sama
sekali bukan. Anak-anak ini adalah kemenakanku yang baru saja datang dari
Sangkal Putung.”
“O,” orang
yang duduk-duduk tidak bertanya lagi. Astra dan ketiga anak-anak muda dari
Sangkal Putung itu berjalan terus menyusur jalan kecil di tengah-tengah ladang,
menyusup di dalam gelapnya malam.
Di pinggir
desa kecil di ujung kademangan itulah terletak rumah Astra. Sebuah rumah joglo
yang tidak terlampau besar. Tetapi menilik bentuknya dan coraknya, maka Astra
bukan termasuk orang yang dapat disebut miskin. Di sisi rumah itu, mereka
melihat sebuah pedati lembu di samping sebuah kandang.
“Inilah
rumahku,” berkata Astra,
“mungkin tidak
sebagus rumah-rumah di Sangkal Putung.”
Ketika mereka
berempat menginjakkan kaki-kaki mereka di halaman rumah itu, maka Sutawijaya
dan kedua kawannya tertegun sejenak. Ketika mereka saling berpandangan, maka
tanpa mereka kehendaki mereka mengangguk-anggukan kepala mereka.
“Mari
anak-anak,” ajak Astra.
“Paman,”
berkata Sutawijaya,
“kami
sebenarnya ingin untuk melihat banjar desa Prambanan. Kini kami telah
mengetahui rumah Paman. Nanti dari banjar desa kami akan datang kemari. Tetapi
kami tidak perlu membuat Paman dan Bibi menjadi sibuk. Biarlah kami nanti tidur
di pendapa ini saja apabila Paman mengijinkan.”
“He?” Astra
mengerutkan keningnya,
“pergilah ke
banjar desa kalau kalian benar-benar ingin. Tetapi marilah singgah sebentar.
Kalian tidak akan terlambat. Keramaian itu baru akan mencapai puncaknya nanti
menjelang tengah malam.”
“Terima kasih
Paman. Kami ingin melihat sejak keramaian ini baru dimulai.”
Orang tua itu
mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian katanya,
“Apakah kalian
pernah melihat orang berkelahi?”
Ketiga
anak-anak muda itu terkejut.
“Kenapa?”
bertanya Swandaru.
“Apakah di
Sangkal Putung ada juga anak-anak muda sering berkelahi di antara mereka, di
antara sesama?”
Swandaru dan
kawan-kawannya menjadi ragu-ragu untuk menjawab. Sementara itu Astra berkata,
“Kalau kalian
belum pernah melihat anak-anak muda berkelahi, sebaiknya kalian tidak usah
melihat, daripada kalian menjadi ketakutan.”
“Apakah akan
ada pertandingan berkelahi di banjar desa?” bertanya Agung Sedayu.
“Tidak. Tetapi
artinya hampir sama. Hampir setiap kali ada keramaian semacam ini, anak-anak
muda selalu bikin ribut. Ada-ada saja yang mereka persoalkan. Dan sering
terjadi mereka berkelahi di antara mereka karena soal-soal tetek bengek.”
Ketiga
anak-anak muda itu justru semakin ingin melihat apa yang sebenarnya terjadi di
banjar desa. Karena itu maka Sutawijaya menjawab,
“Kalau kami
tidak ikut campur dalam setiap perselisihan, maka aku kira kami tidak akan
terlibat, Paman.”
“Mudah-mudahan.
Kalau kau ngeri melihat mereka berkelahi, maka sebaiknya kalian segera pergi
dan kembali kemari.”
“Baik, Paman,”
sahut mereka hampir serentak.
Astra itu pun kemudian memberi mereka ancar-ancar ke
mana mereka harus pergi.
“Kalau kau
melihat lampu obor yang terang benderang seperti siang, maka itulah banjar
desa.”
“Terima kasih,
Paman,” sahut mereka bersamaan pula.
Sejenak
kemudian mereka telah meninggalkan halaman rumah Astra dengan pertanyaan yang
memenuhi dada. Ceritera Astra sangat menarik perhatian mereka. Mereka pun menyadari mungkin Astra telah membumbui
ceriteranya terlampau banyak. Namun sedikit banyak ceritera itu pasti
mengandung kebenaran. Ada beberapa hal yang sangat menarik perhatian ketiga
anak-anak muda itu. Tingkah laku sebagian anak-anak muda Prambanan, yang
menurut Astra mereka terpaksa menangis di dalam hati melihat sikap
kawan-kawannya. Kemudian apakah yang akan dilakukan oleh para pamong kademangan
dan lebih-lebih menarik lagi, bagaimanakah sikap beberapa orang prajurit Pajang
yang masih ada di Prambanan? Yang tidak kalah menariknya adalah ceritera
tentang tamu-tamu dari Menoreh. Tamu-tamu yang mau tidak mau pasti menyangkut
nama kepala daerah Perdikan Menoreh. Nama orang tua Sidanti. Karena itu, maka
tiba-tiba mereka tergesa-gesa. Tanpa mereka sengaja langkah mereka pun menjadi semakin cepat. Jarak yang harus
mereka tempuh tidak terlampau jauh. Jalan yang harus mereka lalui adalah jalan
itu juga, tanpa berbelok. Mereka akan melewati sebuah desa sebelum mereka akan
sampai ke bulak yang pendek. Di sebelah bulak yang pendek itulah terletak induk
Kademangan Prambanan. Dan di desa itulah terletak banjar desa. Tidak terlampau
jauh dari sebuah bangunan yang sangat terkenal, Candi Jonggrang. Waktu yang
mereka perlukan tidak terlalu banyak. Beberapa saat kemudian mereka telah
sampai ke ujung lorong memasuki desa yang pertama. Demikian mereka sampai ke
ujung desa, maka Sutawijaya mengamit kedua kawan-kawannya. Agung Sedayu dan
Swandaru berpaling. Hampir bersamaan mereka mengangguk ketika mereka mendengar
Sutawijaya berbisik,
“Kau lihat
beberapa orang berdiri di pinggir jalan di bawah lampu gardu itu?”
Melihat sikap
mereka, hati ketiga anak-anak muda itu menjadi berdebar-debar. Sikap itu
benar-benar bukan sikap yang wajar. Tetapi mereka bertiga tidak mempunyai
kepentingan dengan mereka. Karena itu mereka sama sekali tidak
memperhatikannya. Anak-anak muda yang berkerumun di sebelah gardu itu
mamandangi mereka bertiga dengan berbagai pertanyaan di dalam hati. Seorang
yang duduk di sisi jalan tiba-tiba berdiri dan bertolak pinggang. Tetapi ia
tidak bertanya apapun. Kawannya yang berjongkok di atas dinding halaman, meloncat
turun sambil bergumam,
“He, apakah
akan ada tamu lagi?”
“Huh,” sahut
yang lain yang berbaring di atas dinding halaman yang sempit di sisi jalan yang
lain,
“aku kira
mereka adalah gembala-gembala dari kademangan lain. Mungkin mereka ingin
mendapat sisa-sisa makanan di banjar desa.”
Hampir
serentak pemuda-pemuda itu tertawa. Bahkan seorang di antara mereka berjalan ke
tengah lorong, sementara Sutawijaya dan kedua kawan-kawannya menjadi semakin
dekat. Dengan tingkah yang dibuat-buat anak muda itu mengawasi Sutawijaya dan
kawan-kawannya. Kemudian katanya,
“Kalian benar.
Bukan anak-anak Prambanan. Mereka adalah anak-anak kelaparan. Wajahnya pucat
dan pakainnya kusut kumal.”
“Biarkan
mereka lewat. Tak ada kepentingan dengan anak-anak kecingkrangan,” berkata yang
lain.
Sutawijaya
tidak tahu, bagaimanakah tanggapan anak-anak muda itu sebenarnya atas dirinya
dan kedua kawan-kawannya, tetapi terasa untuk memancing perselisihan.
Sutawijaya sendiri menyadari bahwa pakaiannya pasti lebih baik dari pakaian
seorang anak yang disebut kecingkrangan. Meskipun setelah dipakainya selama ini
tanpa dicuci telah dilekati oleh banyak debu dan kotoran serta menjadi kusut.
Juga pakaian Agung Sedayu dan Swandaru adalah pakaian yang meskipun sederhana,
tetapi cukup baik. Tetapi pakaian itu
pun telah menjadi kusut. Sutawijaya sama sekali tidak menanggapi
kata-kata itu. Ia percaya bahwa Agung Sedayu akan bersikap demikian. Tetapi
yang agak dicemaskan adalah Swandaru. Agung Sedayu pun mempunyai perasaan yang serupa. Ia
mengharap di dalam hatinya agar Swandaru dapat sedikit mengendalikan dirinya. Namun
ternyata Swandaru bersikap acuh tak acuh. Ia berjalan saja tanpa berpaling. Ketika
mereka bertiga melewati anak-anak muda itu, dan beberapa langkah membelakangi
mereka, terdengar seolah-olah meledak, suara tertawa mereka tergelak-gelak.
Terdengar di antara suara tertawa itu salah seorang berkata,
“Apakah mereka
anak-anak Temu Agal, atau anak Kepuh?”
“Kami belum
pernah melihatnya,” sahut yang lain,
“tetapi aku
menjadi kasihan melihat sikap mereka, seperti tikus masuk ke dalam sarang
kucing.”
Sutawijaya dan
Agung Sedayu masih juga mencemaskan sikap Swandaru. Anak muda itu agak mudah
tersinggung. Tetapi ketika mereka berdua berpaling, memandangi wajah Swandaru
mereka melihat anak yang gemuk itu tersenyum, katanya perlahan-lahan,
“Aku senang
melihat sikap anak-anak itu.”
“Apa yang kau
senangi?” bertanya Agung Sedayu perlahan-lahan pula.
“Seperti
sebuah pertunjukan lelucon. Seperti raksasa-raksasa di dalam hutan melihat
Raden Arjuna lewat.”
“He, kau
sangka kau seperti Raden Arjuna,” potong Sutawijaya.
“Ya, aku
seperti Raden Arjuna bersama-sama dengan punakawannya.”
“Huh,” Agung
Sedayu menyahut. “Kaulah yang pantas menjadi Semar.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar