Sidanti tidak menjawab. Sekali lagi dijatuhkannya tubuhnya di atas amben bambu dengan hati yang sangat kesal. Sekali-sekali masih terdengar ia berdesah dan menarik nafas dalam-dalam. Setelah mereka hampir tidak dapat bersabar lagi, barulah mereka melihat Ki Tambak Wedi masuk ke dalam bilik. Sebentar kemudian seseorang menjengukkan kepalanya dan berkata,
“Inilah lampu
untuk bilik ini.”
“Taruhlah di
atas geledeg itu,” sahut Sidanti acuh tidak acuh. Ternyata hari telah berangsur
gelap, semakin gelap. Semula mereka sama sekali tidak memperhatikan, bahwa
bayangan mereka telah menghitam karena sinar senja yang semakin redup.
Ketika Ki
Tambak Wedi telah selesai berkemas, maka terdengar ia bergumam,
“Lebih baik
kalian tinggal di sini. Sekarang aku akan menemui Argapati untuk minta waktu,
berbicara di antara kami berdua.”
Sidanti dan
Argajaya saling berpandangan untuk sesaat, tetapi tidak ada pilihan lain
daripada menganggukkan kepala mereka dan menjawab,
“Baiklah. Kami
akan menunggu di sini.”
Ki Tambak Wedi
segera meninggalkan bilik itu. Kini tampak betapa ia menjadi tergesa-gesa,
sehingga orang tua itu sama sekali tidak berpaling lagi. Ketika Ki Tambak Wedi
telah hilang di balik pintu, Argajaya dan Sidanti seolah-olah tersedar dari
sebuah mimpi yang aneh. Hampir tidak masuk di dalam akal mereka, bahwa mereka
tidak boleh ikut serta dalam pembicaraan antara Ki Tambak Wedi dan Argapati
yang bergelar Ki Gede Menoreh, ayah Sidanti. Namun demikianlah yang dikehendaki
oleh Ki Tambak Wedi. Dan mereka hanya dapat menerima keadaan itu. Semuanya demi
untuk kebaikan keadaan mereka.
Ki Tambak Wedi
yang berjalan dengan tergesa-gesa keluar dari gandok, tiba-tiba tertegun di
halaman. Ternyata debar jantungnya menjadi semakin deras, seolah-olah seluruh
dadanya ikut berdetak.
“Hem,” orang
tua itu menarik nafas dalam-dalam,
“aku harus
dapat mengendalikan perasaanku. Ternyata aku telah dihantui oleh bayanganku
sendiri. Noda-noda hitam yang melekat di tubuhku agaknya telah membuat aku
menjadi seorang pengecut.”
Ki Tambak Wedi
mencoba menenteramkan hatinya. Dipandanginya pintu pringgitan yang masih
terbuka. Sinar lampu yang kemerah-merahan berloncatan jatuh di atas lantai
pendapa yang redup, oleh sinar pelita yang remang-remang.
“Di sana
Argapati menunggu aku, Sidanti, dan Argajaya,” orang tua itu berdesis.
Tetapi
keragu-raguan yang sangat telah mencengkam hatinya. Hampir-hampir ia
mengurungkan niatnya untuk bertemu dengan Argapati berdua. Tumbuhlah hasrat di
dalam hatinya untuk berbuat licik. Mengajak Sidanti dan Argajaya untuk
bersama-sama berbicara dengan Argapati meneruskan ceritera mereka yang
menjemukan itu.
“Tidak,”
tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu menggeretakkan giginya,
“dengan
demikian persoalan ini tidak akan selesai. Aku harus berkata seperti apa yang
terjadi. Aku harus mengatakan kepada Argapati tentang keadaan Sidanti seperti
yang benar-benar dialaminya. Apa pun
tanggapan Argapati, tetapi aku harus berterus terang.”
Ki Tambak Wedi
itu menggeram. Kemudian dibulatkannya hatinya untuk berhadapan dengan Argapati,
dan mengatakan tentang keadaan Sidanti, mengatakan tentang dendam yang menyala
di dada anak itu, serta sakit hati yang hampir-hampir tidak tertahankan.
“Argapati
harus mengerti,” gumam Ki Tambak Wedi, “apa pun yang sudah terjadi atasnya.”
Sesaat Ki
Tambak Wedi berdiri tegak sambil mengawasi pintu pringgitan. Ketika
keragu-raguannya mengganggunya lagi, maka dihentakkannya kakinya,
“Aku tidak
boleh ragu-ragu.”
Ki Tambak Wedi
itu pun kemudian melangkahkan kakinya
naik ke pendapa. Ditindasnya debar jantungnya yang semakin keras. Dicobanya
untuk berbuat dengan tenang. Tanpa kesan apa
pun di wajah dan sorot matanya.
Ketika ia
muncul di pintu pringgitan, dilihatnya Argapati duduk di atas sehelai tikar
pandan yang putih. Di sampingnya duduk puteri satu-satunya. Pandan Wangi. Gadis
itu sama sekali tidak mengesankan kegarangannya dalam pakaian laki-laki. Pandan
Wangi dalam keadaannya itu, benar-benar seorang gadis yang manis. Sebuah
pergolakan kembali melanda dada Ki Tambak Wedi. Tetapi sekali lagi ia mencoba
menindasnya. Namun darahnya serasa semakin cepat mengalir ketika ia mendengar
Argapati tertawa dan berkata,
“Ha, marilah,
silahkan duduk. Aku sudah lelah menunggu kalian. Marilah. Kita dapat berbicara
semalam suntuk. Kalian dapat berceritera apa
pun juga. Marilah.”
Ki Tambak Wedi
melangkah masuk. Dan dilihatnya Argapati itu mengerutkan keningnya,
“Di mana
Sidanti dan Argajaya. Kenapa ia tidak segera datang kemari? Pandan Wangi sudah
memanggilnya, tetapi Argajaya menjawab, bahwa mereka menunggu kau, Ki Tambak
Wedi.”
“Sebentar lagi
mereka akan datang,” jawab Ki Tambak Wedi.
“Apa lagi yang
mereka tunggu? Biarlah kita berbicara apa saja. Aku sudah kangen mendengar Sidanti
berceritera. Sebentar lagi biarlah Pandan Wangi menyajikan makan kita, lalu
kita berbicara lagi semalam suntuk. Aku kira beberapa orang akan datang pula
kemari untuk mendengarkan ceritera Sidanti yang telah lama tidak menginjakkan
kakinya di kampung halamannya. Beberapa orang pemimpin tanah perdikan ini pasti
akan kagum mendengar Sidanti menceriterakan peperangan yang dialaminya, dan
terbunuhnya Tohpati. Sidanti pasti akan memberikan banyak petunjuk dan
pengalaman di dalam ceriteranya bagi orang-orang tanah perdikan yang sepi ini.”
“Ya, ya.
Argapati. Sebentar lagi ia akan datang.”
“Apa yang
dikerjakannya sekarang.”
“Kepalanya
terasa agak pening. Perjalanan hari ini terasa agak berat baginya karena terik
matahari.”
Argapati
mengerutkan keningnya. Tanpa prasangka apa
pun ia bertanya,
“He, kenapa
kepala Sidanti itu begitu cengeng. Bukankah ia telah mengalami perjalanan
berhari-hari. Di dalam hujan dan terik matahari.”
Dada Ki Tambak
Wedi berdesir. Namun ia berusaha menjawab,
“Tentu
Argapati. Bukan hari inilah yang menentukan. Yang berhari-hari itu, sedikit
demi sedikit telah mempengaruhi kesehatan Sidanti. Tetapi anak itu tidak mau
melihat kenyataan, bahwa perjalanan yang berhari-hari itu terlampau berat
baginya. Dipaksakannya dirinya untuk berjalan terus, sehingga justru ketika ia
telah berada di rumahnya, ia merasakan kepalanya menjadi pening.”
Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi Ki Tambak Wedi mengumpat di dalam hati,
“Aku telah
mulai lagi dengan ceritera khayal yang memuakkan ini.”
Ketika Argapati
terdiam untuk sejenak, maka Ki Tambak Wedi
pun seolah-olah menjadi terbungkam. Ia tidak segera dapat mengatakan
maksudnya untuk berbicara berdua saja dengan Argapati. Dan hatinya kian
berdebar-debar ketika ia mendengar Argapati berkata,
“Biarlah ia
beristirahat. Tetapi sebentar lagi ia harus bangun dan duduk di sini. Beberapa
orang yang mendengar kedatangannya, juga anak-anak muda yang terkemuka pasti
ingin menemuinya untuk mendengarkan ceriteranya.”
Ki Tambak Wedi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak segera menjawab. Wajahnya
menjadi kian menegang, ketika ia berusaha mengumpulkan keberaniannya, untuk
mengatakan maksudnya. Ki Tambak Wedi bukanlah seorang penakut. Bukan seseorang
yang selalu ragu-ragu. Bahkan ia termasuk seorang yang kasar, yang berbuat
tanpa mempertimbangkan kepentingan orang lain. Namun berhadapan dengan Argapati
dalam persoalannya, dadanya serasa dirobek oleh keragu-raguan dan kecemasan. Meskipun
demikian, setelah berjuang sekuat tenaganya, maka Ki Tambak Wedi berhasil berkata,
“Argapati,
sebenarnya aku memang menahan Sidanti sesaat di biliknya. Kecuali supaya ia
beristirahat bersama pamannya, aku sengaja untuk mendapatkan kesempatan untuk
berbicara denganmu, berdua saja.”
“He,” Argapati
mengerutkan keningnya, “apakah yang perlu kita bicarakan?”
“Sidanti,”
jawab Ki Tambak Wedi.
Argapati tidak
segera menjawab. Tetapi tampaklah keningnya menjadi berkerut merut.
“Aku tidak
mengerti maksudmu, Ki Tambak Wedi.”
Dada Ki Tambak
Wedi bergetar sejenak. Namun ia berhasil pula menjawab,
“Maksudku
sudah jelas, Argapati. Aku ingin berbicara tanpa ada orang lain yang
mendengarkannya.”
“Ya, tetapi
maksud pembicaraan itu sama sekali tidak aku mengerti. Apakah ada gunanya kita
berbicara berdua?” Argapati berhenti sejenak, lalu,
“Ki Tambak
Wedi, aku kira sudah tidak ada masalah apa pun yang perlu kita bicarakan
berdua. Masalah yang ada sekarang adalah masalah kita semua. Masalah yang
sampai saat ini masih membebani hidupku adalah masalah anak-anakku. Bukan
karena persoalan-persoalan yang menyangkut mereka, tetapi bagaimana anak-anakku
itu kelak, Bagaimana aku dapat melihat anak-anakku yang sudah tidak beribu lagi
itu, menjadi manusia seperti yang kuimpikan. Manusia yang berguna di dalam
hubungannya dengan kemanusiaannya. Manusia yang mengerti akan dirinya,
sumbernya dan sesamanya.”
Dada Ki Tambak
Wedi menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia menjawab,
“Itulah yang
akan aku bicarakan. Aku ingin mengatakan beberapa hal mengenai Sidanti.”
Argapati
menggelengkan kepalanya, “Jangan kau bicarakan lagi.”
“Tidak. Tidak.
Tetapi bukankah aku kau percaya untuk mengasuh anakmu? Nah, sekarang ini
anggaplah aku akan memberikan laporan tentang itu.”
“Aku akan
sangat bersenang hati, tetapi kenapa harus tidak ada orang lain yang boleh
mendengarnya? Ki Tambak Wedi, biarlah orang-orang mendengar tentang hasil
usahamu mengasuh anakku. Aku akan berbangga. Biarlah Pandan Wangi, Sidanti, dan
Argajaya mendengar. Kalau ada yang baik, biarlah kita tekankan untuk seterusnya
dilakukan. Bila ada yang buruk, biarlah dihentikan untuk seterusnya pula.”
Ki Tambak Wedi
menjadi semakin gelisah. Tetapi sudah tentu tidak mungkin baginya untuk
bersikap seperti Argapati. Setelah berpikir sejenak ia berkata,
“Argapati.
Mungkin ada soal yang orang lain tidak perlu mendengarnya. Kegagalan-kegagalan
yang dialami Sidanti, perlu kau ketahui dan kau perhatikan.”
“Aku akan
mendengarkannya, Ki Tambak Wedi. Aku akan menaruh perhatian sepenuhnya atas
semua persoalan.”
“Tetapi anak
itu tidak perlu mendengarnya.”
Argapati
menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ia berpaling kepada puterinya yang duduk
dengan gelisah mendengar pembicaraan ayahnya.
“Hem, apakah
Pandan Wangi juga tidak boleh mendengar?”
Pertanyaan itu
telah membuat Ki Tambak Wedi semakin sulit. Tetapi ia terpaksa menjawab,
“Sebaiknya tidak
Argapati.”
Sekali lagi
Argapati menarik nafas dalam-dalam. Gumamnya,
“Pandan Wangi
adalah orang yang paling dekat dengan aku saat ini. Ia tahu apa saja
persoalanku. Persoalanku sebagai seorang ayah, dan persoalanku sebagai Kepala
Tanah Perdikan ini. Meskipun ia seorang gadis, tetapi ia adalah satu-satunya
keluargaku sehari-hari.”
“Tetapi aku
terpaksa minta kepadamu, Argapati.”
Argapati
terdiam sejenak. Ditatapnya celah-celah pintu pringgitan yang belum terkatup
rapat. Terasa silir angin menyentuh tubuhnya, ketika nyala api pelita di
dinding pringgitan itu bergerak-gerak.
“Hem,”
Argapati berdesah,
“Apakah kau
akan berbicara tentang Sidanti?”
“Ya, tentang
kemajuan dan kegagalannya akhir-akhir ini.”
“Tetapi kau
menggelisahkan aku.”
“Untuk
kebaikan anakmu itu, Argapati.”
“Menurut
pendirianku, tidak ada masalah yang harus dirahasiakan lagi tentang Sidanti.
Kemajuan dan kegagalannya adalah hal yang sangat wajar.”
Dalam
kegelisahannya Ki Tambak Wedi itu berkata,
“Aku ingin
mengatakan yang sebenarnya kepadamu, Argapati. Jangan salah paham. Ketahuilah,
bahwa Sidanti sebenarnya tidak melakukan perjalanan apa pun selama ini. Aku
telah membuat suatu ceritera untuk menyelubungi persoalan yang sebenarnya.
Persoalan yang hanya akan aku katakan kepadamu saja.”
Tampaklah
wajah Ki Gede Menoreh berkerut. Ia terkejut mendengar pengakuan yang tiba-tiba
itu. Ternyata bukan saja Ki Gede Menoreh, tetapi juga Pandan Wangi terperanjat
karenanya, sehingga untuk sesaat ditatapnya wajah Ki Tambak Wedi dengan mulut
ternganga. Ki Tambak Wedi melihat keheranan yang tersirat pada wajah-wajah itu.
Wajah Ki Gede Menoreh dan wajah Pandan Wangi. Dengan demikian, maka debar di
dadanya menjadi semakin tajam.
“Ki Tambak
Wedi,” desis Argapati, sejenak kemudian,
“apakah aku
tidak salah dengar, bahwa sebenarnya Sidanti sama sekali tidak pernah melakukan
perjalanan seperti yang kau katakan?”
Ki Tambak Wedi
menganggukkan kepalanya, “Ya, demikianlah.”
Argapati
menarik nafas panjang sekali. Wajahnya yang keras menjadi tegang. Namun ia
mencoba untuk tidak terpengaruh oleh keadaan itu.
“Ah, aku
sungguh tidak mengerti,” katanya kemudian,
“agaknya kau
masih juga senang bergurau Ki Tambak Wedi. Aku menanggapi ceritera itu dengan
bersungguh-sungguh. Ternyata kau hanya sekedar menganggu kami orang-orang
Menoreh.”
“Aku terpaksa
berkata demikian, Argapati,” sahut Tambak Wedi.
“Selanjutnya
aku ingin mengatakan yang sebenarnya. Aku minta kerelaanmu, untuk memberi aku
kesempatan berbicara.”
Kini bukan
saja dada Ki Tambak Wedi yang menjadi berdebar-debar. Tetapi dada Argapati pun menjadi berdebar-debar pula. Bahkan
Argapati itu tidak menyembunyikan perasaannya itu. Katanya,
“Ki Tambak
Wedi. Aku menjadi berdebar-debar karenanya. Bahkan aku menjadi cemas dan
gelisah. Apakah kau memang memerlukan sekali kesempatan itu?”
“Ya, aku
memerlukannya.”
Tampak kerut
merut di wajah Argapati menjadi semakin dalam. Dipandanginya puterinya yang
masih saja duduk di tempatnya dengan penuh pertanyaan tersimpan di dalam
hatinya.
“Hem,”
Argapati berdesah,
“kau
benar-benar membuat aku gelisah. Bagiku tidak ada lagi persoalan yang perlu
dirahasiakan, Ki Tambak Wedi. Kita sebaiknya berbicara dengan terbuka. Apa yang
telah terjadi atas Sidanti?”
“Berilah aku
kesempatan Argapati. Aku merasa, bahwa tidak ada orang lain yang perlu
mendengar keteranganku tentang apa yang telah terjadi atas Sidanti. Apalagi
Pandan Wangi.”
Kini Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia berpaling kepada puterinya. Dan
perlahan-lahan ia berkata,
“Wangi.
Sebaiknya kau tinggalkan kami berdua. Aku dan Ki Tambak Wedi. Agaknya Ki Tambak
Wedi ingin mengatakan sesuatu tentang kakakmu, Sidanti, tetapi tidak seyogyanya
kau ikut mendengarkannya.”
Keheranan
masih saja memancar dari wajah gadis itu. Tetapi ia tidak membantah. Segera ia
beringsut dari tempatnya dan berkata,
“Baiklah Ayah.
Aku akan pergi ke belakang, menyiapkan makan untuk Ayah dan para tamu.”
“Bagus, Bagus
Wangi. Lakukanlah. Kami akan segera makan.”
Pandan Wangi
itu segera meninggalkau pringgitan. Tetapi sesuatu yang aneh telah
menggelisahkannya. Ia sama sekali tidak mengerti, kenapa Ki Tambak Wedi ingin
berbicara berdua saja dengan ayahnya. Sepeninggal Pandan Wangi, wajah Argapati
menjadi semakin tegang. Ditatapnya saja wajah Ki Tambak Wedi tanpa mengucapkan
sepatah kata pun juga.
Maka Ki Tambak
Wedi-lah yang mulai dengan kata-katanya,
“Argapati.
Sebelumnya aku minta maaf, bahwa aku telah membuat suatu ceritera tentang
Sidanti. Aku terpaksa membuat ceritera itu, sebenarnya khusus untuk Pandan
Wangi. Ia aku anggap tidak perlu mengetahui keadaan Sidanti sebenarnya.”
“Kenapa?”
sahut Argapati,
“kenapa kau
tidak berterus terang tentang Sidanti kepada Pandan Wangi? Aku kira Pandan
Wangi telah cukup dewasa untuk mengetahui apa
pun juga tentang kakaknya, seandainya kegagalan sama sekalipun.” Argapati
terdiam sejenak, lalu,
“tetapi
menurut Pandan Wangi, Sidanti ternyata luar biasa. Pandan Wangi merasakan
tekanan yang berat dari kakaknya ketika kakaknya itu mengganggunya. Apalagi
seandainya Sidanti benar-benar ingin mengalahkannya, maka Sidanti pasti dengan
cepat akan dapat melakukan. Bukankah dengan demikian ternyata bahwa Sidanti
tidak gagal?”
“Ya, dari segi
kanuragan Sidanti memang tidak gagal.”
Argapati
mengerutkan keningnya. Kini ia telah mendapat arah dari pembicaraan ini.
Kegagalan Sidanti tidak terletak pada olah kanuragan. Karena itu, maka
perlahan-lahan ia bergumam seolah-olah ditujukan kepada diri sendiri,
“Jadi
kegagalan Sidanti terletak pada persoalan yang lebih dalam dari olah kanuragan
itu sendiri?”
“Ya,” jawab Ki
Tambak Wedi,
“Sidanti telah
melibatkan diri dalam persoalan yang besar yang menyangkut hubungannya dengan
Pajang.”
Tampaklah
kerut merut di kening Argapati menjadi semakin dalam. Terasa detak jantungnya
bertambah cepat.
“Maksudmu,
Sidanti telah terlibat dalam suatu persoalan dengan Pajang? Persoalan yang
mana? Bukankah Sidanti kini seorang prajurit Pajang?” Argapati berhenti
sejenak, seolah-olah ia sedang mencari kata-kata yang tepat untuk diucapkan.
Baru sejenak kemudian ia melanjutkan,
“Sudah tentu
Sidanti tidak sedang melakukan perjalanan seperti yang kau katakan. Dan sudah
tentu Sidanti meninggalkan Sangkal Putung bukan karena alasan itu pula. Nah,
apakah yang telah terjadi dengan Sidanti?”
“Itulah yang
akan aku katakan,” Ki Tambak Wedi menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi ia telah mulai
dengan persoalan itu, sehingga ia tidak akan dapat surut kembali.
“Apakah
Sidanti tidak cukup baik sebagai seorang prajurit, atau Sidanti telah melakukan
kesalahan?”
“Sebenarnya
Sidanti tidak bersalah,” jawab Tambak Wedi.
“Kenapa
sebenarnya? Apakah yang telah terjadi atasnya?”
Ki Tambak Wedi
menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba menenangkan hatinya sebelum mulai dengan
persoalan Sidanti yang sesungguhnya. Sejenak mereka saling berdiam diri.
Masing-masing mencoba mempersiapkan perasaan dan nalar mereka masing-masing,
untuk menghadapi suatu pembicaraan yang bersungguh-sungguh. Dalam kesenyapan
itu, yang terdengar hanyalah desah angin perlahan-lahan dan suara cengkerik di
kejauhan. Di sudut desa kemudian terdengar suara kentongan untuk memanggil para
peronda.
Suasana di
dalam pringgitan itu semakin lama menjadi semakin tegang. Meskipun Ki Tambak
Wedi belum menyatakan sepatah kata pun, namun terasa, bahwa seolah-olah mereka
telah berada dalam satu suasana yang menegangkan urat syaraf mereka. Setelah
dengan susah payah mengatur desah nafasnya, maka Ki Tambak Wedi baru dapat
mulai dengan kata-katanya,
“Sebelumnya
aku minta maaf padamu, Argapati.”
Argapati
mengangguk kaku. Tetapi ia tidak menyahut.
“Aku telah
mencoba berbuat sebaik-baiknya untuk kepentingan Sidanti. Tetapi keadaan di
sekitar Sidanti sama sekali tidak menguntungkannya.”
Sekali lagi
Argapati menganggukkan kepalanya.
“Sidanti
terpaksa meninggalkan lingkungan keprajuritan.”
Kening
Argapati tampak berkerut. Ia sudah menyangka, bahwa itulah yang terjadi.
Sidanti terpaksa meninggalkan lingkungan keprajuritan.
Argapati itu
berdesah. Tetapi ia masih belum menyahut.
“Kau jangan
terkejut Argapati, bahwa persoalannya adalah anak-anak muda.” Ki Tambak Wedi
berhenti sejenak. Orang tua itu menjadi semakin berdebar-debar ketika ia
melihat wajah Argapati menjadi merah.
“Tetapi itu
bukan sebab yang terutama, Argapati,” sambung Ki Tambak Wedi kemudian dengan
tergesa-gesa,
“persoalan itu
hanyalah sekedar pendorong dari sebab-sebab yang sebenarnya.”
Argapati masih
belum menjawab.
“Iri hati dan
dengki telah menyebabkan Sidanti terpaksa meninggalkan kedudukannya yang kian
hari kian bertambah baik.”
Kini Argapati
menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia berdesis,
“Iri hati dan
dengki adalah hambatan yang paling menjemukan bagi setiap kemajuan. Tetapi
kenapa Sidanti harus meninggalkan lapangan yang telah dipilihnya itu?”
“Kalau
kedengkian dan iri hati itu datang dari kawan-kawannya seangkatan, maka hal itu
pasti akan dapat di atasinya. Hal yang demikian agaknya cukup dibiarkannya
saja. Meskipun mungkin akan dapat juga menghambat kemajuannya, tetapi hal yang
serupa itu tidak perlu dilayani.” Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam,
lalu,
“Tetapi
kedengkian dan iri hati itu datangnya justru dari pimpinan pasukan Pajang di
Sangkal Putung.”
“He?” Argapati
terkejut, “Siapakah mereka itu?”
“Widura.”
“Widura?”
Argapati mengulangi.
“Dan Untara.”
“He,” Argapati
benar-benar terkejut mendengar nama itu disebut,
“Untara,
Senapati Pajang yang mendapat kepercayaan di daerah Merapi dan sekitarnya?”
Ki Tambak Wedi
mengangguk, “Ya.”
Sekali lagi Ki
Tambak Wedi melihat wajah Argapati menjadi semburat merah.
“Ki Tambak
Wedi,” nada suara Argapati menjadi semakin berat,
“apakah yang
sudah mereka lakukan? Apakah kedengkian mereka disebabkan karena kemungkinan
yang baik dari Sidanti di dalam lapangan keprajuritan, apakah disebabkan karena
persoalan anak-anak muda seperti yang kau katakan?”
“Keduanya,
Argapati,” sahut Ki Tambak Wedi, “Widura adalah pimpinan pasukan Pajang di
Sangkal Putung.”
“Ya, aku telah
mendengar.”
“Untara adalah
kemanakan Widura itu.”
Argapati
mengangguk.
“Tetapi sumber
yang paling memuakkan dari benturan di antara mereka adalah seorang anak muda
yang bernama Agung Sedayu.”
“Siapakah
Agung Sedayu itu?”
“Adik Untara.”
“Jadi juga
kemanakan Widura?”
“Ya.”
Terdengar
Argapati menggeram.
“Mereka adalah
anak Ki Sadewa. Aku mengenal ayahnya, meskipun tidak begitu rapat. Tetapi
ayahnya bukan seorang yang dengki dan iri hati terhadap kemajuan orang lain.
Lalu apakah yang sudah dilakukan oleh mereka atas Sidanti?”
“Agung Sedayu
dan Sidanti ternyata mempunyai sangkutan hati yang sama.”
“Oh,” Argapati
menarik nafas dalam-dalam. Terbayang di dalam kepalanya apa yang sudah terjadi
di antara mereka. Perlahan-lahan ia berkata,
“Apakah kau
akan mengatakan, bahwa Widura dan Untara ternyata berpihak kepada Agung Sedayu
dan bersama-sama berusaha menyingkirkan Sidanti.”
“Begitulah
kira-kira yang terjadi Argapati.”
Argapati
menggeleng-gelengkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berdesah,
“Aku sudah
berpesan mawantu-wantu. Jangan terlibat dalam persoalan yang pahit itu.”
“Tidak,
Argapati. Apa yang terjadi atas Sidanti dalam hubungannya dengan seorang gadis
adalah wajar. Tetapi kedatangan Agung Sedayu telah merusakkan hubungan itu.
Apalagi ketika Widura dan Untara turut campur.”
“Lalu apakah
yang telah dilakukan oleh Sidanti. Menentang kedua pimpinannya itu?”
“Darah mudanya
telah meluap.”
“Bodoh. Bodoh
sekali. Seharusnya ia tidak berbuat sekasar itu. Kalau hal itu tidak terjadi,
maka orang tua-tua ini pasti akan dapat menyelsaikannya, mungkin Ki Tambak
Wedi, mungkin pimpinan prajurit Pajang itu sendiri.”
Ki Tambak Wedi
terperanjat mendengar kata-kata Argapati. Ternyata Argapati menganggap, bahwa
sikap Sidanti itu adalah sikap yang salah. Argapati tidak menjadi kecewa atas
Widura dan Untara, bahkan sebaliknya ia menyesali sikap Sidanti.
Karena itu
maka sejenak Ki Tambak Wedi terdiam. Ia mencoba mencari alasan yang lebih baik,
yang dapat membakar hati Argapati.
“Ki Tambak
Wedi,” berkata Argapati itu kemudian,
“apakah kau
tidak berusaha mencegah kesalahan yang telah dibuat oleh Sidanti?”
“Tentu,
Argapati. Sudah tentu aku berusaha mencari jalan yang sebaik-baiknya untuk
memecahkan masalah itu. Aku temui satu demi satu kedua orang yang kebetulan
mendapat kepercayaan atas para prajurit Pajang di Sangkal Putung itu.”
Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sejenak ia terdiam. Dibiarkannya Ki
Tambak Wedi berkata terus,
“Tetapi
agaknya masalah bagi mereka yang sebenarnya bukanlah Agung Sedayu. Masalah yang
sebenarnya adalah masalah kedengkian mereka.”
Tampak kening
Argapati menjadi berkerut. Dan Ki Tambak Wedi berkata selanjutnya,
“Persoalan
Agung Sedayu ternyata telah mereka pakai untuk melepaskan iri hati dan dengki
mereka atas Sidanti.”
“Apa yang
telah mereka lakukan atas Sidanti?”
Ki Tambak Wedi
menarik nafas dalam-dalam. Ia berusaha untuk mengekang gelora di dadanya. Ia
harus berhati-hati supaya ia tidak buat kesalahan.
“Menyesal
sekali Argapati,” berkata Tambak Wedi,
“bahwa Widura
disetujui oleh Untara telah membuat darah kedua anak muda itu menjadi panas.”
Kening
Argapati menjadi semakin berkerut merut.
“Meskipun
tampaknya sangat baik, namun ternyata Widura telah membakar kedua anak muda itu
dan menjerumuskan ke dalam suatu pertentangan yang berbahaya.”
“Apa yang
sudah dilakukannya?”
“Widura
menyelenggarakan sayembara memanah.”
“Untuk apa?”
“Untuk
menentukan siapa yang berhak atas gadis itu.”
“Ah,” wajah
Argapati menjadi tegang, “apakah kau berkata sebenarnya Ki Tambak Wedi?”
“Kenapa tidak?
Aku berkata untuk kepentingan anakmu, Argapati.”
“Tetapi apakah
hak Widura untuk menyelenggarakan sayembara itu? Kalau sayembara itu diadakan
untuk memilih senapati yang akan dijadikannya pembantunya melawan Tohpati, itu
adalah kuwajiban Widura. Tetapi persoalan gadis itu, bukanlah wewenangnya.
Apakah gadis itu sudah tidak berayah dan beribu?”
“Oh, gadis itu
bernama Sekar Mirah. Ia adalah puteri Demang Sangkal Putung.”
Argapati
menjadi semakin tegang. Ditatapnya wajah Ki Tambak Wedi seolah-olah ia ingin
melihat apakah yang tergores di dalam kepala orang tua itu.
Sejenak
kemudian terdengar Argapati berdesis, “Kedengarannya aneh sekali Ki Tambak
Wedi.”
“Itulah yang
tidak dapat aku mengerti. Tetapi aku tidak dapat mencegahnya. Apalagi ketika
perlombaan itu telah berlangsung. Widura sudah mengatur orang-orangnya untuk
berlaku curang, sehingga di dalam sayembara itu, Sidanti tidak dapat
memenangkannya.”
“Lalu apa yang
dilakukan oleh Sidanti?”
“Darah mudanya
menyala tanpa dapat dikendalikan lagi. Ia terlibat dalam perang tanding. Bukan
sekedar sayembara memanah.”
Wajah Argapati
menjadi semakin berkerut merut.
“Keduanya
adalah anak-anak muda. Agung Sedayu dan Sidanti,” Ki Tambak Wedi meneruskan,
“tetapi sekali
lagi mereka berbuat curang. Kali ini Untara sendiri yang telah melanggar sikap
jantan. Dan sekali lagi Sidanti tidak dapat mengendalikan diri. Ketika Agung
Sedayu sudah tidak berdaya melawan Sidanti, maka Sidanti harus berhadapan
dengan Untara sendiri.”
“Oh,” Argapati
menarik nafas dalam-dalam, lalu katanya, “dan kau tidak dapat mencegahnya?”
“Sulit sekali,
Argapati. Kalau kau melihat apa yang terjadi, maka kau tidak akan menyalahkan
sikap Sidanti. Aku pun hampir-hampir kehilangan akal dan berbuat di luar
nalar.”
Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Lalu?”
“Ternyata yang
terjadi kemudian sama sekali tidak terduga-duga sebelumnya,” Ki Tambak Wedi
berhenti sejenak. Dicobanya untuk menjajagi perasaan Argapati. Tetapi ia tidak
menemukan kesan yang meyakinkan.
“Pertentangan
itu menjadi berlarut-larut. Meskipun perkelahian yang pertama itu tampaknya
berakhir tanpa menyakitkan hati kedua belah pihak, karena kepentingan mereka
atas keselamatan Sangkal Putung dari sergapan Tohpati, sehingga mereka masih
memerlukan Sidanti. Namun yang terjadi di hari-hari berikutnya adalah,
persoalan yang paling menyakitkan hati. Bagi Sidanti, perguruan Tambak Wedi dan
bagi Tanah Perdikan Menoreh.”
“Ah,” Argapati
berdesah, “kenapa hal itu harus terjadi?”
“Sidanti di
sudutkan ke dalam suatu keadaan yang tidak dapat dihindarinya.”
Argapati, yang
bergelar Ki Gede Menoreh itu menarik nafas dalam-dalam. Ia adalah seorang yang
menyimpan perbendaharaan pengalaman yang seimbang dengan Ki Tambak Wedi. Ia
adalah orang yang memiliki ketajaman penilaian atas peristiwa-peristiwa yang
terjadi dan keterangan-keterangan yang didengarnya. Meskipun ia keras hati,
tetapi ia mempunyai pertimbangan yang kuat. Sebelum meletakkan keputusan dan
menentukan sikap, maka ia mempertimbangkan setiap persoalan semasak-masaknya.
Sejenak
pringgitan itu dicengkam oleh kesepian. Yang terdengar hanya desah nafas mereka
berkejaran lewat lubang-lubang hidung. Namun demikian, debar jantung kedua
orang tua-tua itu menjadi semakin deras berdentangan di dalam dada mereka. Ki
Tambak Wedi mengharap, bahwa ia akan berhasil membakar hati Argapati. Ia mengharap
bahwa Argapati akan bersedia membantunya menebus segala kekalahan. Lebih
daripada itu, apabila ia berhasil menggerakkan Argapati, maka ia akan
membawanya ke singgasana Pajang. Tetapi Ki Tambak Wedi tidak dapat segera
menangkap perasaan Argapati. Meskipun wajahnya menegang, namun ia tidak
berhasil menangkap perasaan yang tersirat daripadanya.
Sesaat kemudian,
terdengar Argapati bergumam,
“Ki Tambak
Wedi, aku tidak melihat apa yang terjadi. Tetapi aku menyesal bahwa
pertentangan itu telah berlangsung. Baik antara Sidanti dan Agung Sedayu,
maupun Sidanti dan Widura serta Untara.”
“Keadaan itu
datang tanpa dapat dihindari oleh Sidanti.” jawab Ki Tambak Wedi.
“Ah, aku rasa
keadaan itu pasti ada permulaannya. Aku tidak tahu siapakah yang bersalah,
tetapi bahwa Sidanti dan Agung Sedayu itu bersaing untuk mendapatkan seorang
gadis, itu sudah tidak menyenangkan sama sekali. Aku tidak pedulikan Agung
Sedayu, sebab ia bukan sanak bukan kadang. Apa pun yang akan dilakukan,
seandainya ia berbuat nista seperti orang yang paling hina sekalipun. Tetapi
Sidanti adalah anakku. Ia harus mempunyai harga diri. Ia harus menempatkan
dirinya sebagai seorang putera Kepala Tanah Perdikan. Ia harus menjadi seorang
prajurit yang baik. Seorang prajurit yang harus menjadi tepa-tulada dari
prajurit-prajurit yang lain.”
“Ya, ya. Aku mengerti,”
sahut Ki Tambak Wedi,
“seharusnya
memang demikian. Tetapi aku tidak banyak berdaya untuk menghindarkannya.”
“Kalau saja
Sidanti tidak terkait gadis Sangkal Putung itu, maka semuanya tidak akan terjadi.”
“Kau salah,
Argapati. Soalnya bukan bersumber pada gadis itu. Sudah aku katakan. Soalnya
adalah kedengkian dan iri hati. Seandainya tidak ada persoalan gadis itu
sekalipun, namun Untara dan Widura pasti akan mencari sebab-sebab lain yang
akan dapat dipergunakan untuk menyingkirkan Sidanti.”
Argapati
mengerutkan keningnya. Dan ia mendengar Ki Tambak Wedi berkata terus,
“Aku sudah
mencoba menjajagi perasaan mereka. Di antara sekian banyak sebab dari
kedengkian dan iri hati itu, adalah kemajuan Sidanti. Mereka berusaha
sekeras-kerasnya untuk menyembunyikan kemampuan Sidanti. Sebab apabila
kemampuan Sidanti itu dapat dilihat oleh para pemimpin Wira Tamtama Pajang,
maka keadaannya sama sekali tidak akan menguntungkan Untara dan Widura. Karena
itu mereka berdua, paman dan kemanakan itu, berusaha untuk menyingkirkannya.
Apalagi apabila sampai pada suatu saat Sidanti berhasil membunuh Tohpati, maka
kedudukan Widura dan Untara pasti akan terdesak.”
Tetapi Ki
Tambak Wedi itu terperanjat ketika ia mendengar Argapati bertanya,
“Apakah memang
tersirat di kepala Sidanti untuk mendesak kedudukan kedua orang itu?”
Sejenak Ki
Tambak Wedi terbungkam. Di keningnya mengembun keringat yang dingin. Ia sama
sekali tidak menyangka, bahwa tiba-tiba saja ia di hadapkan pada pertanyaan
itu.
“Ki Tambak
Wedi,” berkata Argapati seterusnya,
“aku pun pernah mengalami menjadi seorang
prajurit. Senapati adalah jabatan yang memang diimpikan bagi setiap prajurit.
Senapati perang dari segala tingkatan. Seandainya Sidanti ingin menjadi senapati
pun, maka hal itu adalah wajar. Sebab tanpa keinginan dan cita-cita itu, maka
ia adalah seorang prajurit yang akan membeku saja di tempatnya. Ia akan tetap
seorang prajurit sampai pada suatu saat ujung pedang lawannya membelah dadanya,
atau sampai suatu saat ia harus mengundurkan diri karena umurnya. Tetapi aku
tidak pernah merasakan suatu kecemasan, bahwa seseorang akan mendesak
kedudukanku. Seandainya ada prajuritku yang maju, maka sebaiknya diberi
kesempatan. Bukan ditanggapi dengan iri dan dengki, apabila prajurit itu
berbuat dengan wajar. Tetapi bila seorang prajurit sengaja menjual jasa, dan
membanggakan kelebihannya, memang kadang-kadang sikap yang demikian tidak
menyenangkan atasannya. Nah, apakah Ki Tambak Wedi sudah melihat, apakah Sidanti
tidak terdorong dalam sikap serupa itu, sehingga Widura dan Untara tidak
menyenanginya?”
“Oh,” Ki
Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam,
“kau memang
orang yang terlampau baik, Argapati. Kau seorang yang keras hati, sekeras
batu-batu padas di pegununganmu. Wajahmu
pun tampak begitu keras membatu. Tetapi kau terlampau hati-hati untuk
mengambil sikap. Kau selalu berprasangka baik terhadap seseorang. Kau tidak
pernah melihat kesalahan orang lain lebih dahulu dari kebaikannya. Namun jangan
berbuat demikian terhadap Widura dan Untara. Jangan, Argapati. Kau harus dapat
menempatkan dirimu pada pihak yang seharusnya mendapat perlindunganmu.”
Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Wajahnya masih saja didera oleh keragu-raguan
dan kebimbangan.
Sejenak
kemudian ia berkata,
“Nah,
seandainya demikian, lalu apakah sebab langsung yang telah mendorong Sidanti
meninggalkan Sangkal Putung?”
“Aku
membawanya ke Tambak Wedi.”
“Begitu saja?”
“Aku tidak mau
melihat keadaan menjadi semakin parah. Aku tidak mau melihat Sidanti kehilangan
segala-galanya. Kehilangan gadis itu, kehilangan kesempatan di dalam
tugas-tugas keprajuritan, kehilangan harga diri, dan kehilangan keberanian
untuk bersikap. Atau apabila terjadi sebaliknya, Sidanti menjadi mata gelap dan
berbuat di luar kendali.”
Sekali lagi
Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Tampaklah suatu bayangan yang buram di
kepalanya. Betapa pun ia mencoba mengerti keterangan Ki Tambak Wedi, namun
setiap kali bayangan tentang Sidanti, Widura, dan Untara, seolah-olah seperti
asap yang tertiup angin. Pecah bertebaran, dan ia kehilangan gambaran tentang
apa yang terjadi.
“Aku tidak
dapat mengerti,” desisnya di dalam hati, “bagaimana mungkin seorang senapati
seperti Untara, menaruh kedengkian dan iri hati terhadap bawahannya. Terhadap
Sidanti.” Tetapi lalu dijawabnya sendiri, “Untara masih muda. Mungkin ia masih
kurang bijaksana menanggapi keadaan, sehingga timbullah kedengkian dan iri hati
itu.”
Namun
bagaimanapun juga Argapati masih dibelit oleh keragu-raguan dan kebimbangan.
“Apakah kau
tidak dapat mengerti, Argapati?” bertanya Ki Tambak Wedi.
“Aku sedang
mencoba untuk mengerti,” jawab Argapati dengan jujur.
“Kau memang
terlampau baik dan jujur, sehingga kau tidak dapat membayangkan kedengkian dan
iri hati orang lain. Sebab kau sendiri tidak pernah berbuat demikian atas orang
lain.”
“Hem,” Argapati
menarik nafas dalam-dalam,
“Lalu
seandainya kemudian aku meyakini kebenaran keteranganmu, lalu apakah yang
sebaiknya aku lakukan menurut pertimbanganmu?”
Detak jantung
Ki Tambak Wedi menjadi semakin berdebar-debar. Ia merasa belum dapat meyakinkan
Argapati. Namun ia harus berusaha membuat hati orang itu menjadi semakin panas.
Ia harus dapat membakar perasaannya.
“Tetapi
Argapati bukan Sidanti,” gumam Ki Tambak Wedi di dalam hatinya,
“Argapati adalah
orang yang matang dalam sikap dan perbuatan. Tetapi aku harus mencoba.”
Maka dengan
hati-hati Ki Tambak Wedi berkata, “Argapati. Aku sebenarnya tidak dapat
mengatakan apa pun kepadamu tentang
sikap yang sebaiknya kau ambil. Kau adalah seorang yang cukup matang menanggapi
persoalan. Adalah wewenangmu untuk menentukan, sikap apakah yang sebaiknya kau
ambil, tetapi aku percaya, bahwa kau masih Argapati yang aku kenal dahulu.
Seorang yang memiliki harga diri dan kejantanan.”
Argapati
mengerutkan keningnya. Lalu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata,
“Persoalan ini
bukan persoalan yang dapat diabaikan. Persoalannya tidak sekedar persoalan.
Sidanti dan Untara, tetapi pasti akan menyangkut orang tua-tua ini pula.”
“Tentu Argapati,”
Ki Tambak Wedi menyahut,
“apalagi kalau
Untara sengaja membuat laporan palsu. Maka penilaian orang-orang Pajang pasti
akan berkisar kepadamu dan kepadaku.”
Argapati mengangguk-angguk.
“Ya,” katanya.
“Pasti
orang-orang tua inilah yang akan mendapat sorotan tajam dari para pemimpin Wira
Tamtama Pajang.”
“Itulah
sebabnya, aku segera datang kepadamu.”
Argapati tidak
segera menjawab. Tetapi kerut merut di dahinya menjadi semakin dalam.
Dan terdengar
Ki Tambak Wedi melanjutkan,
“Dan untuk
seterusnya, kau harus berbuat sesuatu, Argapati.”
“Ya, aku
menyadari. Sebagai orang tua aku harus berbuat sesuatu untuk kepentingan
Sidanti.”
Kini Ki Tambak
Wedi-lah yang menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat titik-titik terang, bahwa
usahanya akan berhasil.
Tetapi
alangkah terperanjatnya ketika ia mendengar Argapati itu berkata,
“Baiklah, Ki
Tambak Wedi. Apabila kau dan Sidanti nanti pada waktunya kembali ke Tambak
Wedi, meskipun aku tidak mendesakmu untuk segera pergi dari Menoreh, bahkan
apabila mungkin kau akan berada di sini untuk waktu yang cukup lama, namun
maksudku, kelak apabila kau kembali, aku akan ikut serta bersama Argajaya. Aku
akan menemui Widura dan Untara. Aku ingin mendapat penjelasan akan sikapnya
itu.”
“Ah,” dengan
serta merta Ki Tambak Wedi memotong,
“masihkah kau
menganggap bahwa itu akan berguna bagimu dan bagi Sidanti?”
“Kenapa tidak?
Aku akan menemuinya, Ki Tambak Wedi. Aku dan Untara berdiri pada tingkat yang
sama. Aku tidak akan merendahkan diriku, mohon belas kasihan untuk kepentingan
anakku. Tidak Ki Tambak Wedi. Bukankah kau tahu, bahwa ketika kau menganjurkan
aku untuk menemui Ki Gede Pemanahan dan menitipkan Sidanti kepadanya, supaya
Sidanti segera mendapat kedudukan yang baik, aku menolak. Aku tidak mau berbuat
demikian. Sidanti harus menjadi seorang prajurit yang baik. Prajurit yang
merayap dari tingkat yang paling rendah untuk mencapai tingkat yang
setinggi-tingginya. Bukan karena ia anakku, dan aku telah mengenal Ki Gede
Pemanahan, meskipun tidak begitu rapat seperti aku mengenal kau. Kau pun telah
mengenal Ki Gede Pemanahan pula. Tetapi hal itu tidak kita lakukan. Aku tidak
mau. Meskipun tampaknya demikian akan menguntungkan Sidanti, namun Sidanti akan
kehilangan masa-masa yang akan dapat menempa dirinya sendiri. Ia akan
kehilangan keprihatinan, karena dengan serta merta ia berada ditingkat yang
tinggi. Bukan karena hasil cucuran keringatnya sendiri, tetapi karena pengaruh
orang lain, meskipun orang lain itu adalah ayahnya sendiri.”
“Aku tahu,
Argapati. Aku tahu betapa kau mencoba mendidik Sidanti untuk percaya kepada
diri sendiri tanpa menggantungkan diri kepada orang lain. Tetapi kini
masalahnya berbeda. Bukan sekedar harga diri. Bukan pula masalah yang dapat
dibicarakan dengan wajar. Tetapi masalahnya adalah kedengkian, dan iri hati.
Nah, dapatkah kau mempersoalkan kedengkian dan iri hati? Tidak Argapati. Dengki
dan iri hati tidak akan dapat dibicarakan. Tidak dapat dipersoalkan. Apalagi
kedengkian dan iri hati itu telah diungkapkannya dalam tindakan yang paling
menyakitkan hati. Tindakan yang tidak akan dapat dilupakan oleh Sidanti
sepanjang umurnya.”
Argapati tidak
segera menjawab. Sejenak ia terdiam, seolah-olah sedang merenungkan kata-kata
Ki Tambak Wedi itu. Dicobanya untuk mengerti dan mempercayainya. Tetapi setiap
kali ia merasakan sesuatu yang menggelepar di dalam hatinya. Alangkah sulitnya
bagi Argapati untuk dapat menelan keterangan itu.
Argapati itu
mengangguk, ketika ia mendengar Ki Tambak Wedi bertanya,
“Apakah kau
ragu-ragu, Argapati?”
“Ya, aku
memang ragu-ragu,” jawab Argapati.
“Kau tidak
mempercayai aku?”
“Bukan begitu
Ki Tambak Wedi,” sahut Argapati,
“aku tidak
meragukan kau. Tetapi aku meragukan tanggapan Sidanti atas kedua orang
atasannya itu. Mungkin sikap Widura dan Untara yang keras, diterimanya dengan
salah paham. Ia menyangka, bahwa Widura dan Untara menyimpan kedengkian dan iri
hati di dalam hati mereka.”
“Oh,” Ki
Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya,
“bukan hanya
kau yang meragukan hal itu. Semula aku
pun meragukannya. Tetapi akhirnya aku yakin, bahwa keduanya memang
dengki dan iri hati.”
“Ya,” akhirnya
Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya,
“jalan yang
paling baik bagiku adalah menemui Widura dan Untara. Aku bukan anak-anak lagi
seperti Sidanti yang menganggap perkelahian adalah jalan yang paling baik untuk
menyelesaikan persoalan. Aku akan mengambil jalan yang paling baik bagi semua.”
“Kalau kau
mendengarkan nasehatku, Argapati,” berkata Ki Tambak Wedi,
“jangan
merendahkan dirimu. Kau hanya akan mendapat penghinaan yang akan menambah parah
luka di hati.”
“Apakah mereka
sudah gila?” bertanya Argapati dengan serta merta.
“Mungkin
istilah itulah yang paling tepat dipergunakan untuk menyebut kedua orang itu,
Widura dan Untara.”
“Ah,” Argapati
berdesah. Sejenak ia terdiam. Namun kemudian ia bertanya,
“Bagaimana
yang baik menurut pertimbanganmu?”
“Argapati,”
berkata Ki Tambak Wedi dalam nada yang berat, “sebenarnya aku tidak akan sampai
hati mengatakan kepadamu. Tetapi setelah aku pertimbangkan baik-baik, maka
lebih baik kau mengerti setiap persoalan dengan baik daripada sekedar permukaannya
saja. Untuk seterusnya, aku dan Sidanti tidak akan dapat kembali lagi ke
padepokan Tambak Wedi.”
“He,” Argapati
mengerutkan keningnya. Keterangan itu telah mengejutkannya, “Kenapa?”
“Tambak Wedi
telah pecah. Hancur lumat menjadi abu.”
Argapati
justru terdiam. Tetapi keningnya menjadi semakin berkerut merut.
“Widura dan
Untara ternyata telah menyusul Sidanti ke Tambak Wedi.”
Tampaklah
sesuatu memancar dari sepasang mata Argapati yang dalam. Sejenak dipandangnya
wajah Ki Tambak Wedi dengan tajamnya. Namun kemudian dilemparkan pandangan
matanya itu ke arah nyala pelita di dinding. Begitu tajamnya ia memandang api
yang sedang menggapai-gapai itu. Tanpa berkedip. Dada Ki Tambak Wedi menjadi
berdebar-debar. Ia tahu benar kekuatan yang tersimpan di dalam diri orang itu.
Di dalam diri Ki Argapati. Seperti kelebihan yang tersimpan di dalam dirinya,
yang tidak dimiliki oleh orang kebanyakan, sehingga orang menyebut, bahwa Ki
Tambak Wedi mampu menangkap angin. Seperti orang mengatakan, bahwa perguruan
Kedung Jati mempunyai rangkapan nyawa di dalam diri setiap muridnya. Maka
hampir setiap mulut di Menoreh mengatakan, bahwa dengan sorot matanya, Argapati
yang bergelar Ki Gede Menoreh, itu mampu membakar setiap benda yang
dikehendakinya, sehingga menjadi abu. Debar di dada Ki Tambak Wedi itu menjadi
semakin keras, ketika tiba-tiba ia melihat api pelita itu terguncang dengan
kerasnya, seolah-olah dihembus oleh angin yang bertiup dari arah sepasang mata
Ki Gede Menoreh. Tetapi sejenak kemudian nyala pelita itu telah tegak kembali,
seolah-olah menari dengan riangnya. Ki Tambak Wedi tersedar, ketika ia
mendengar Ki Gede Menoreh itu menarik nafas dalam-dalam. Seolah-olah sedang
menikmati hasil pemusatan pikiran, dengan sengaja mengguncang nyala api pelita
itu dengan pandangan matanya.
“Bukan main,”
berkata Ki Tambak Wedi di dalam hatinya,
“begitu besar
perbawa pada dirinya, sehingga aku telah dicemaskan oleh permainannya. Hem,” Ki
Tambak Wedi-lah yang kemudian menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia sekali lagi
memandang api pelita itu, maka dilihatnya sekali lagi api pelita itu
berguncang, meskipun Ki Gede Menoreh tidak sedang memandanginya. Terasa, angin
yang lembut mengalir mengusap kening Ki Tambak Wedi yang basah oleh keringat.
“Setan alas,”
Ki Tambak Wedi itu mengumpat di dalam hatinya.
“Aku tidak
dapat membedakan lagi, apakah yang telah mengguncangkan nyala api itu. Tetapi
tadi aku tidak merasakan usapan angin yang dapat menggerakkan nyala pelita
itu.”
Sejenak
kemudian, keduanya masih saling berdiam diri. Ketegangan terasa semakin
memuncak. Dan sejenak kemudian, terdengar suara Argapati dalam nada yang berat
dan dalam,
“Apakah
keadaan Sidanti sudah sedemikian parahnya, sehingga kau harus mengorbankan
padepokanmu?”
Ki Tambak Wedi
menganggukkan kepalanya,
“Ya. Aku telah
mengorbankannya untuk mencoba mempertahankan Sidanti. Untunglah, bahwa Sidanti
berhasil melepaskan dirinya. Kalau tidak, ia pasti akan dijadikan
pangewan-ewan. Ia akan dihinakan jauh lebih menyakitkan hati daripada sisa-sisa
orang Jipang yang dapat ditangkap oleh Widura dan Untara.”
Sekali lagi
Argapati terhenyak dalam kediamannya. Sekali ia merenungkan kata-kata Ki Tambak
Wedi. Namun terasa ketegangan di dalam ruangan itu pun semakin bertambah-tambah.
“Argapati,” berkata
Ki Tambak Wedi kemudian,
“aku telah
melakukan segala macam usaha. Usahaku yang terakhir adalah menyelamatkan
Sidanti. Seterusnya aku hanya dapat mengadu kepadamu. Anak itu memerlukan
perlindungamu.”
Wajah Argapati
menjadi semakin tegang. Terbayanglah suatu peristiwa yang sama sekali tidak
disangka-sangkanya. Peristiwa yang telah menyeret Sidanti ke dalam suatu
persoalan yang sulit. Yang mau tidak mau pasti akan menyangkut namanya, kecuali
nama Ki Tambak Wedi. Namun bagaimanapun juga, Argapati tidak dapat mengusir
kebimbangan yang mencengkam jantungnya. Dengan demikian, maka terjadilah suatu
pergolakan di dalam dadanya. Sentuhan terhadap Sidanti yang setiap orang
menyebutnya putera Kepala Tanah Perdikan Menoreh adalah sentuhan terhadapnya.
Tetapi apakah benar hal itu terjadi karena kedengkian dan iri hati? Bukan hanya
sekedar karena salah paham yang berlarut-larut? Argapati menarik nafas
dalam-dalam, ketika ia mendengar Ki Tambak Wedi berkata,
“Kau harus
mengambil sikap, Argapati. Apa pun yang telah terjadi di antara kita, tetapi
kini nama Menoreh sedang mendapat perhatian di kalangan Wira Tamtama Pajang.
Bukan karena kesalahan kita, bukan pula karena kesalahan Sidanti. Tetapi
sayang, bahwa justru orang-orang seperti Widura dan Untara lah yang mendapat
kekuasaan di Sangkal Putung dan daerah di sekitar Gunung Merapi.”
“Hem,”
Argapati berdesah,
“kenapa
persoalan itu telah menjadi sedemikian jauh? Dan baru setelah semuanya tidak
dapat dicegah kau datang kepadaku, memberitahukannya? Sekarang aku sudah
tersudut ke dalam suatu keadaan yang paling parah.”
“Aku minta
maaf, Argapati,” desis Ki Tambak Wedi,
“aku pun sama sekali tidak menyangka, bahwa hal
itu akan terjadi. Tetapi semuanya telah terlanjur. Yang ada sekarang yang harus
diselesaikan, adalah keadaan kita kini.”
“Lalu apakah
yang dapat aku lakukan untuk menyelesaikannya?”
“Aku hanya
melihat satu jalan.”
“Jalan yang
mana?”
“Argapati.
Kita sudah terlanjur berada di tengah-tengah penyeberangan tanpa kita
kehendaki. Kembali kita sudah terlanjur basah. Karena itu, maka biarlah kita
berjalan terus. Apa pun yang terjadi.”
Argapati
mengerutkan keningnya, “Maksudmu?”
“Kita tebus
dengan darah.”
Kerut merut di
kening Argapati menjadi semakin dalam,
“Maksudmu kita
menggerakkan pasukan. Atau dengan berterus-terang kita memberontak terhadap
Pajang.”
Ki Tambak Wedi
tidak segera menjawab. Dipandanginya wajah Argapati. Tetapi ia tidak dapat
menangkap kesan yang meyakinkan. Karena itu, dengan berhati-hati ia berkata,
“Bukan maksud
kita. Tetapi kita di sudutkan ke dalam keadaan itu.”
“Ki Tambak
Wedi,” berkata Argapati datar, “Pajang kini sedang mencoba berdiri tegak
setelah saling memukul di antara keluarga sendiri. Bahkan sampai kini, menurut
pendengaranku, masih saja tumbuh keributan di mana-mana. Beberapa orang bupati
tidak senang menerima Karebet di atas tahta, meskipun mereka masing-masing
menyimpan pamrih pula. Nah, apakah kita juga akan menambah kekisruhan itu?”
Ki Tambak Wedi
mengangkat alisnya. Sejenak ia terdiam. Tetapi kemudian ia menjawab,
“Aku berpikir
sebaliknya, Argapati.”
“Maksudmu?”
“Pajang lah yang
selalu membuat keributan di mana-mana. Pajang lah yang terlampau tamak. Kalau
kau tahu sedikit saja tentang masa-masa muda anak yang bernama Karebet itu,
maka kau akan segera mengerti, apakah yang sebenarnya sedang dilakukannya kini.
Ternyata para perwira Wira Tamtama itu pun telah mewarisi sikap dan sifat-sifat
itu. Nah, apakah kau dapat mengerti?”
Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Ya, aku
mengerti. Bukankah maksudmu mumpung Pajang belum tegak benar, kita
mempergunakan kesempatan ini?”
“Begitulah.”
“Ki Tambak
Wedi,” berkata Argapati,
“persoalan itu
adalah persoalan hidup dan mati. Jangan menyeret tanah perdikan ini ke dalam
keadaan yang tidak dapat kita yakini. Apabila masalahnya demikian, maka kita
memerlukan waktu untuk memikirkannya.”
“Apakah kita
harus menunggu sampai pasukan Pajang menyeberangi hutan Tambak Baya, Mentaok,
dan Kali Praga.”
“Ah, jangan
seperti anak kecil, Ki Tambak Wedi. Kau tahu, bahwa untuk melakukannya,
Pajang pun memerlukan waktu. Menyeberang
hutan-hutan itu dan Kali Praga dalam gelar perang, bukan mainan kanak-kanak.
Kau pun pasti tahu, bahwa orang-orang
Pajang tidak sebodoh itu, kecuali mereka akan membunuh diri.”
“Tetapi apakah
kau tidak akan berbuat sesuatu?”
“Aku akan
memilih jalan yang paling baik. Aku akan menemui langsung Ki Gede Pemanahan.
Panglima Wira Tamtama itu. Ia harus menyadari, bahwa di dalam pasukannya ada
orang-orang seperti Widura dan Untara.”
“Oh,” Ki
Tambak Wedi-lah yang kemudian berdesah,
“aku lupa
mengatakan. Bahkan Pemanahan telah datang pula ke Sangkal Putung.”
“He,” Argapati
terkejut.
“Ya. Ia telah
datang ke Sangkal Putung. Dan Panglima yang gila itu membenarkan sikap Widura
dan Untara untuk memukul Tambak Wedi.”
Wajah Argapati
menjadi semakin tegang mendengar keterangan itu. Tanpa sesadarnya ia berkata,
“Jadi apa yang
dilakukan Untara dan Widura itu sudah setahu Pemanahan?”
“Ya.”
Argapati
terdiam sejenak. Tiba-tiba kepalanya menunduk dalam-dalam. Ki Tambak Wedi
menyadari, betapa dada orang yang bertubuh tinggi kekar berdada bidang itu
sedang dihantam oleh gelora perasaan yang luar biasa. Namun ia mengharap, agar
perkembangan persoalan di dalam diri Argapati itu mengarah kepada rencananya.
Mudah-mudahan Argapati menjadi marah dan mendendam. Meskipun tanah ini hanya
sekedar tanah perdikan, bukan daerah kabupaten atau kadipaten yang besar, namun
justru tanah ini tanah perdikan, maka Menoreh menjadi kuat. Menoreh tidak
berada di dalam pengawasan yang terlampau ketat dari Pajang seperti
daerah-daerah kadipaten dan kabupaten. Sekali lagi kedua orang tua itu
terlontar ke dalam kesepian yang tegang. Argapati masih saja menundukkan
kepalanya. Di kepala itu berkecamuk berbagai macam persoalan yang membuatnya
menjadi pening. Kalau Ki Gede Pemanahan telah membenarkan sikap Widura dan Untara,
maka mau tidak mau masalahnya pasti akan menjadi parah bagi Menoreh. Kalau Ki
Gede Pemanahan telah membenarkan sikap Untara, dan bahkan telah datang pula ke
Sangkal Putung, itu adalah suatu sikap yang pasti tidak dapat dihindarinya
lagi.
“Mungkin benar
kata Ki Tambak Wedi,” berkata Argapati di dalam hatinya,
“bahwa
sebentar lagi pasukan Pajang akan menyeberangi Alas Mentaok dan Kali Praga.
Bahwa sebentar lagi sepasukan prajurit segelar sepapan dalam gelar perang yang
sempurna akan berbaris memasuki tanah perdikan ini. Apakah aku harus menyambut
prajurit Pajang itu juga dalam gelar perang untuk mempertahankan Sidanti dan Ki
Tambak Wedi?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar