Jilid 031 Halaman 2


Sidanti tidak menjawab. Sekali lagi dijatuhkannya tubuhnya di atas amben bambu dengan hati yang sangat kesal. Sekali-sekali masih terdengar ia berdesah dan menarik nafas dalam-dalam. Setelah mereka hampir tidak dapat bersabar lagi, barulah mereka melihat Ki Tambak Wedi masuk ke dalam bilik. Sebentar kemudian seseorang menjengukkan kepalanya dan berkata,
“Inilah lampu untuk bilik ini.”
“Taruhlah di atas geledeg itu,” sahut Sidanti acuh tidak acuh. Ternyata hari telah berangsur gelap, semakin gelap. Semula mereka sama sekali tidak memperhatikan, bahwa bayangan mereka telah menghitam karena sinar senja yang semakin redup.
Ketika Ki Tambak Wedi telah selesai berkemas, maka terdengar ia bergumam,
“Lebih baik kalian tinggal di sini. Sekarang aku akan menemui Argapati untuk minta waktu, berbicara di antara kami berdua.”
Sidanti dan Argajaya saling berpandangan untuk sesaat, tetapi tidak ada pilihan lain daripada menganggukkan kepala mereka dan menjawab,
“Baiklah. Kami akan menunggu di sini.”
Ki Tambak Wedi segera meninggalkan bilik itu. Kini tampak betapa ia menjadi tergesa-gesa, sehingga orang tua itu sama sekali tidak berpaling lagi. Ketika Ki Tambak Wedi telah hilang di balik pintu, Argajaya dan Sidanti seolah-olah tersedar dari sebuah mimpi yang aneh. Hampir tidak masuk di dalam akal mereka, bahwa mereka tidak boleh ikut serta dalam pembicaraan antara Ki Tambak Wedi dan Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh, ayah Sidanti. Namun demikianlah yang dikehendaki oleh Ki Tambak Wedi. Dan mereka hanya dapat menerima keadaan itu. Semuanya demi untuk kebaikan keadaan mereka.

Ki Tambak Wedi yang berjalan dengan tergesa-gesa keluar dari gandok, tiba-tiba tertegun di halaman. Ternyata debar jantungnya menjadi semakin deras, seolah-olah seluruh dadanya ikut berdetak.
“Hem,” orang tua itu menarik nafas dalam-dalam,
“aku harus dapat mengendalikan perasaanku. Ternyata aku telah dihantui oleh bayanganku sendiri. Noda-noda hitam yang melekat di tubuhku agaknya telah membuat aku menjadi seorang pengecut.”
Ki Tambak Wedi mencoba menenteramkan hatinya. Dipandanginya pintu pringgitan yang masih terbuka. Sinar lampu yang kemerah-merahan berloncatan jatuh di atas lantai pendapa yang redup, oleh sinar pelita yang remang-remang.
“Di sana Argapati menunggu aku, Sidanti, dan Argajaya,” orang tua itu berdesis.
Tetapi keragu-raguan yang sangat telah mencengkam hatinya. Hampir-hampir ia mengurungkan niatnya untuk bertemu dengan Argapati berdua. Tumbuhlah hasrat di dalam hatinya untuk berbuat licik. Mengajak Sidanti dan Argajaya untuk bersama-sama berbicara dengan Argapati meneruskan ceritera mereka yang menjemukan itu.
“Tidak,” tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu menggeretakkan giginya,
“dengan demikian persoalan ini tidak akan selesai. Aku harus berkata seperti apa yang terjadi. Aku harus mengatakan kepada Argapati tentang keadaan Sidanti seperti yang benar-benar dialaminya. Apa  pun tanggapan Argapati, tetapi aku harus berterus terang.”
Ki Tambak Wedi itu menggeram. Kemudian dibulatkannya hatinya untuk berhadapan dengan Argapati, dan mengatakan tentang keadaan Sidanti, mengatakan tentang dendam yang menyala di dada anak itu, serta sakit hati yang hampir-hampir tidak tertahankan.
“Argapati harus mengerti,” gumam Ki Tambak Wedi, “apa pun yang sudah terjadi atasnya.”
Sesaat Ki Tambak Wedi berdiri tegak sambil mengawasi pintu pringgitan. Ketika keragu-raguannya mengganggunya lagi, maka dihentakkannya kakinya,
“Aku tidak boleh ragu-ragu.”
Ki Tambak Wedi itu  pun kemudian melangkahkan kakinya naik ke pendapa. Ditindasnya debar jantungnya yang semakin keras. Dicobanya untuk berbuat dengan tenang. Tanpa kesan apa  pun di wajah dan sorot matanya.
Ketika ia muncul di pintu pringgitan, dilihatnya Argapati duduk di atas sehelai tikar pandan yang putih. Di sampingnya duduk puteri satu-satunya. Pandan Wangi. Gadis itu sama sekali tidak mengesankan kegarangannya dalam pakaian laki-laki. Pandan Wangi dalam keadaannya itu, benar-benar seorang gadis yang manis. Sebuah pergolakan kembali melanda dada Ki Tambak Wedi. Tetapi sekali lagi ia mencoba menindasnya. Namun darahnya serasa semakin cepat mengalir ketika ia mendengar Argapati tertawa dan berkata,
“Ha, marilah, silahkan duduk. Aku sudah lelah menunggu kalian. Marilah. Kita dapat berbicara semalam suntuk. Kalian dapat berceritera apa  pun juga. Marilah.”
Ki Tambak Wedi melangkah masuk. Dan dilihatnya Argapati itu mengerutkan keningnya,
“Di mana Sidanti dan Argajaya. Kenapa ia tidak segera datang kemari? Pandan Wangi sudah memanggilnya, tetapi Argajaya menjawab, bahwa mereka menunggu kau, Ki Tambak Wedi.”
“Sebentar lagi mereka akan datang,” jawab Ki Tambak Wedi.
“Apa lagi yang mereka tunggu? Biarlah kita berbicara apa saja. Aku sudah kangen mendengar Sidanti berceritera. Sebentar lagi biarlah Pandan Wangi menyajikan makan kita, lalu kita berbicara lagi semalam suntuk. Aku kira beberapa orang akan datang pula kemari untuk mendengarkan ceritera Sidanti yang telah lama tidak menginjakkan kakinya di kampung halamannya. Beberapa orang pemimpin tanah perdikan ini pasti akan kagum mendengar Sidanti menceriterakan peperangan yang dialaminya, dan terbunuhnya Tohpati. Sidanti pasti akan memberikan banyak petunjuk dan pengalaman di dalam ceriteranya bagi orang-orang tanah perdikan yang sepi ini.”
“Ya, ya. Argapati. Sebentar lagi ia akan datang.”
“Apa yang dikerjakannya sekarang.”
“Kepalanya terasa agak pening. Perjalanan hari ini terasa agak berat baginya karena terik matahari.”
Argapati mengerutkan keningnya. Tanpa prasangka apa  pun ia bertanya,
“He, kenapa kepala Sidanti itu begitu cengeng. Bukankah ia telah mengalami perjalanan berhari-hari. Di dalam hujan dan terik matahari.”
Dada Ki Tambak Wedi berdesir. Namun ia berusaha menjawab,
“Tentu Argapati. Bukan hari inilah yang menentukan. Yang berhari-hari itu, sedikit demi sedikit telah mempengaruhi kesehatan Sidanti. Tetapi anak itu tidak mau melihat kenyataan, bahwa perjalanan yang berhari-hari itu terlampau berat baginya. Dipaksakannya dirinya untuk berjalan terus, sehingga justru ketika ia telah berada di rumahnya, ia merasakan kepalanya menjadi pening.”
Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi Ki Tambak Wedi mengumpat di dalam hati,
“Aku telah mulai lagi dengan ceritera khayal yang memuakkan ini.”

Ketika Argapati terdiam untuk sejenak, maka Ki Tambak Wedi  pun seolah-olah menjadi terbungkam. Ia tidak segera dapat mengatakan maksudnya untuk berbicara berdua saja dengan Argapati. Dan hatinya kian berdebar-debar ketika ia mendengar Argapati berkata,
“Biarlah ia beristirahat. Tetapi sebentar lagi ia harus bangun dan duduk di sini. Beberapa orang yang mendengar kedatangannya, juga anak-anak muda yang terkemuka pasti ingin menemuinya untuk mendengarkan ceriteranya.”
Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak segera menjawab. Wajahnya menjadi kian menegang, ketika ia berusaha mengumpulkan keberaniannya, untuk mengatakan maksudnya. Ki Tambak Wedi bukanlah seorang penakut. Bukan seseorang yang selalu ragu-ragu. Bahkan ia termasuk seorang yang kasar, yang berbuat tanpa mempertimbangkan kepentingan orang lain. Namun berhadapan dengan Argapati dalam persoalannya, dadanya serasa dirobek oleh keragu-raguan dan kecemasan. Meskipun demikian, setelah berjuang sekuat tenaganya, maka Ki Tambak Wedi berhasil berkata,
“Argapati, sebenarnya aku memang menahan Sidanti sesaat di biliknya. Kecuali supaya ia beristirahat bersama pamannya, aku sengaja untuk mendapatkan kesempatan untuk berbicara denganmu, berdua saja.”
“He,” Argapati mengerutkan keningnya, “apakah yang perlu kita bicarakan?”
“Sidanti,” jawab Ki Tambak Wedi.
Argapati tidak segera menjawab. Tetapi tampaklah keningnya menjadi berkerut merut.
“Aku tidak mengerti maksudmu, Ki Tambak Wedi.”
Dada Ki Tambak Wedi bergetar sejenak. Namun ia berhasil pula menjawab,
“Maksudku sudah jelas, Argapati. Aku ingin berbicara tanpa ada orang lain yang mendengarkannya.”
“Ya, tetapi maksud pembicaraan itu sama sekali tidak aku mengerti. Apakah ada gunanya kita berbicara berdua?” Argapati berhenti sejenak, lalu,
“Ki Tambak Wedi, aku kira sudah tidak ada masalah apa pun yang perlu kita bicarakan berdua. Masalah yang ada sekarang adalah masalah kita semua. Masalah yang sampai saat ini masih membebani hidupku adalah masalah anak-anakku. Bukan karena persoalan-persoalan yang menyangkut mereka, tetapi bagaimana anak-anakku itu kelak, Bagaimana aku dapat melihat anak-anakku yang sudah tidak beribu lagi itu, menjadi manusia seperti yang kuimpikan. Manusia yang berguna di dalam hubungannya dengan kemanusiaannya. Manusia yang mengerti akan dirinya, sumbernya dan sesamanya.”
Dada Ki Tambak Wedi menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia menjawab,
“Itulah yang akan aku bicarakan. Aku ingin mengatakan beberapa hal mengenai Sidanti.”
Argapati menggelengkan kepalanya, “Jangan kau bicarakan lagi.”
“Tidak. Tidak. Tetapi bukankah aku kau percaya untuk mengasuh anakmu? Nah, sekarang ini anggaplah aku akan memberikan laporan tentang itu.”
“Aku akan sangat bersenang hati, tetapi kenapa harus tidak ada orang lain yang boleh mendengarnya? Ki Tambak Wedi, biarlah orang-orang mendengar tentang hasil usahamu mengasuh anakku. Aku akan berbangga. Biarlah Pandan Wangi, Sidanti, dan Argajaya mendengar. Kalau ada yang baik, biarlah kita tekankan untuk seterusnya dilakukan. Bila ada yang buruk, biarlah dihentikan untuk seterusnya pula.”
Ki Tambak Wedi menjadi semakin gelisah. Tetapi sudah tentu tidak mungkin baginya untuk bersikap seperti Argapati. Setelah berpikir sejenak ia berkata,
“Argapati. Mungkin ada soal yang orang lain tidak perlu mendengarnya. Kegagalan-kegagalan yang dialami Sidanti, perlu kau ketahui dan kau perhatikan.”
“Aku akan mendengarkannya, Ki Tambak Wedi. Aku akan menaruh perhatian sepenuhnya atas semua persoalan.”
“Tetapi anak itu tidak perlu mendengarnya.”
Argapati menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ia berpaling kepada puterinya yang duduk dengan gelisah mendengar pembicaraan ayahnya.
“Hem, apakah Pandan Wangi juga tidak boleh mendengar?”
Pertanyaan itu telah membuat Ki Tambak Wedi semakin sulit. Tetapi ia terpaksa menjawab,
“Sebaiknya tidak Argapati.”
Sekali lagi Argapati menarik nafas dalam-dalam. Gumamnya,
“Pandan Wangi adalah orang yang paling dekat dengan aku saat ini. Ia tahu apa saja persoalanku. Persoalanku sebagai seorang ayah, dan persoalanku sebagai Kepala Tanah Perdikan ini. Meskipun ia seorang gadis, tetapi ia adalah satu-satunya keluargaku sehari-hari.”
“Tetapi aku terpaksa minta kepadamu, Argapati.”

Argapati terdiam sejenak. Ditatapnya celah-celah pintu pringgitan yang belum terkatup rapat. Terasa silir angin menyentuh tubuhnya, ketika nyala api pelita di dinding pringgitan itu bergerak-gerak.
“Hem,” Argapati berdesah,
“Apakah kau akan berbicara tentang Sidanti?”
“Ya, tentang kemajuan dan kegagalannya akhir-akhir ini.”
“Tetapi kau menggelisahkan aku.”
“Untuk kebaikan anakmu itu, Argapati.”
“Menurut pendirianku, tidak ada masalah yang harus dirahasiakan lagi tentang Sidanti. Kemajuan dan kegagalannya adalah hal yang sangat wajar.”
Dalam kegelisahannya Ki Tambak Wedi itu berkata,
“Aku ingin mengatakan yang sebenarnya kepadamu, Argapati. Jangan salah paham. Ketahuilah, bahwa Sidanti sebenarnya tidak melakukan perjalanan apa pun selama ini. Aku telah membuat suatu ceritera untuk menyelubungi persoalan yang sebenarnya. Persoalan yang hanya akan aku katakan kepadamu saja.”
Tampaklah wajah Ki Gede Menoreh berkerut. Ia terkejut mendengar pengakuan yang tiba-tiba itu. Ternyata bukan saja Ki Gede Menoreh, tetapi juga Pandan Wangi terperanjat karenanya, sehingga untuk sesaat ditatapnya wajah Ki Tambak Wedi dengan mulut ternganga. Ki Tambak Wedi melihat keheranan yang tersirat pada wajah-wajah itu. Wajah Ki Gede Menoreh dan wajah Pandan Wangi. Dengan demikian, maka debar di dadanya menjadi semakin tajam.
“Ki Tambak Wedi,” desis Argapati, sejenak kemudian,
“apakah aku tidak salah dengar, bahwa sebenarnya Sidanti sama sekali tidak pernah melakukan perjalanan seperti yang kau katakan?”
Ki Tambak Wedi menganggukkan kepalanya, “Ya, demikianlah.”
Argapati menarik nafas panjang sekali. Wajahnya yang keras menjadi tegang. Namun ia mencoba untuk tidak terpengaruh oleh keadaan itu.
“Ah, aku sungguh tidak mengerti,” katanya kemudian,
“agaknya kau masih juga senang bergurau Ki Tambak Wedi. Aku menanggapi ceritera itu dengan bersungguh-sungguh. Ternyata kau hanya sekedar menganggu kami orang-orang Menoreh.”
“Aku terpaksa berkata demikian, Argapati,” sahut Tambak Wedi.
“Selanjutnya aku ingin mengatakan yang sebenarnya. Aku minta kerelaanmu, untuk memberi aku kesempatan berbicara.”
Kini bukan saja dada Ki Tambak Wedi yang menjadi berdebar-debar. Tetapi dada Argapati  pun menjadi berdebar-debar pula. Bahkan Argapati itu tidak menyembunyikan perasaannya itu. Katanya,
“Ki Tambak Wedi. Aku menjadi berdebar-debar karenanya. Bahkan aku menjadi cemas dan gelisah. Apakah kau memang memerlukan sekali kesempatan itu?”
“Ya, aku memerlukannya.”
Tampak kerut merut di wajah Argapati menjadi semakin dalam. Dipandanginya puterinya yang masih saja duduk di tempatnya dengan penuh pertanyaan tersimpan di dalam hatinya.
“Hem,” Argapati berdesah,
“kau benar-benar membuat aku gelisah. Bagiku tidak ada lagi persoalan yang perlu dirahasiakan, Ki Tambak Wedi. Kita sebaiknya berbicara dengan terbuka. Apa yang telah terjadi atas Sidanti?”
“Berilah aku kesempatan Argapati. Aku merasa, bahwa tidak ada orang lain yang perlu mendengar keteranganku tentang apa yang telah terjadi atas Sidanti. Apalagi Pandan Wangi.”
Kini Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia berpaling kepada puterinya. Dan perlahan-lahan ia berkata,
“Wangi. Sebaiknya kau tinggalkan kami berdua. Aku dan Ki Tambak Wedi. Agaknya Ki Tambak Wedi ingin mengatakan sesuatu tentang kakakmu, Sidanti, tetapi tidak seyogyanya kau ikut mendengarkannya.”
Keheranan masih saja memancar dari wajah gadis itu. Tetapi ia tidak membantah. Segera ia beringsut dari tempatnya dan berkata,
“Baiklah Ayah. Aku akan pergi ke belakang, menyiapkan makan untuk Ayah dan para tamu.”
“Bagus, Bagus Wangi. Lakukanlah. Kami akan segera makan.”

Pandan Wangi itu segera meninggalkau pringgitan. Tetapi sesuatu yang aneh telah menggelisahkannya. Ia sama sekali tidak mengerti, kenapa Ki Tambak Wedi ingin berbicara berdua saja dengan ayahnya. Sepeninggal Pandan Wangi, wajah Argapati menjadi semakin tegang. Ditatapnya saja wajah Ki Tambak Wedi tanpa mengucapkan sepatah kata  pun juga.
Maka Ki Tambak Wedi-lah yang mulai dengan kata-katanya,
“Argapati. Sebelumnya aku minta maaf, bahwa aku telah membuat suatu ceritera tentang Sidanti. Aku terpaksa membuat ceritera itu, sebenarnya khusus untuk Pandan Wangi. Ia aku anggap tidak perlu mengetahui keadaan Sidanti sebenarnya.”
“Kenapa?” sahut Argapati,
“kenapa kau tidak berterus terang tentang Sidanti kepada Pandan Wangi? Aku kira Pandan Wangi telah cukup dewasa untuk mengetahui apa  pun juga tentang kakaknya, seandainya kegagalan sama sekalipun.” Argapati terdiam sejenak, lalu,
“tetapi menurut Pandan Wangi, Sidanti ternyata luar biasa. Pandan Wangi merasakan tekanan yang berat dari kakaknya ketika kakaknya itu mengganggunya. Apalagi seandainya Sidanti benar-benar ingin mengalahkannya, maka Sidanti pasti dengan cepat akan dapat melakukan. Bukankah dengan demikian ternyata bahwa Sidanti tidak gagal?”
“Ya, dari segi kanuragan Sidanti memang tidak gagal.”
Argapati mengerutkan keningnya. Kini ia telah mendapat arah dari pembicaraan ini. Kegagalan Sidanti tidak terletak pada olah kanuragan. Karena itu, maka perlahan-lahan ia bergumam seolah-olah ditujukan kepada diri sendiri,
“Jadi kegagalan Sidanti terletak pada persoalan yang lebih dalam dari olah kanuragan itu sendiri?”
“Ya,” jawab Ki Tambak Wedi,
“Sidanti telah melibatkan diri dalam persoalan yang besar yang menyangkut hubungannya dengan Pajang.”
Tampaklah kerut merut di kening Argapati menjadi semakin dalam. Terasa detak jantungnya bertambah cepat.
“Maksudmu, Sidanti telah terlibat dalam suatu persoalan dengan Pajang? Persoalan yang mana? Bukankah Sidanti kini seorang prajurit Pajang?” Argapati berhenti sejenak, seolah-olah ia sedang mencari kata-kata yang tepat untuk diucapkan. Baru sejenak kemudian ia melanjutkan,
“Sudah tentu Sidanti tidak sedang melakukan perjalanan seperti yang kau katakan. Dan sudah tentu Sidanti meninggalkan Sangkal Putung bukan karena alasan itu pula. Nah, apakah yang telah terjadi dengan Sidanti?”
“Itulah yang akan aku katakan,” Ki Tambak Wedi menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi ia telah mulai dengan persoalan itu, sehingga ia tidak akan dapat surut kembali.
“Apakah Sidanti tidak cukup baik sebagai seorang prajurit, atau Sidanti telah melakukan kesalahan?”
“Sebenarnya Sidanti tidak bersalah,” jawab Tambak Wedi.
“Kenapa sebenarnya? Apakah yang telah terjadi atasnya?”
Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba menenangkan hatinya sebelum mulai dengan persoalan Sidanti yang sesungguhnya. Sejenak mereka saling berdiam diri. Masing-masing mencoba mempersiapkan perasaan dan nalar mereka masing-masing, untuk menghadapi suatu pembicaraan yang bersungguh-sungguh. Dalam kesenyapan itu, yang terdengar hanyalah desah angin perlahan-lahan dan suara cengkerik di kejauhan. Di sudut desa kemudian terdengar suara kentongan untuk memanggil para peronda.

Suasana di dalam pringgitan itu semakin lama menjadi semakin tegang. Meskipun Ki Tambak Wedi belum menyatakan sepatah kata pun, namun terasa, bahwa seolah-olah mereka telah berada dalam satu suasana yang menegangkan urat syaraf mereka. Setelah dengan susah payah mengatur desah nafasnya, maka Ki Tambak Wedi baru dapat mulai dengan kata-katanya,
“Sebelumnya aku minta maaf padamu, Argapati.”
Argapati mengangguk kaku. Tetapi ia tidak menyahut.
“Aku telah mencoba berbuat sebaik-baiknya untuk kepentingan Sidanti. Tetapi keadaan di sekitar Sidanti sama sekali tidak menguntungkannya.”
Sekali lagi Argapati menganggukkan kepalanya.
“Sidanti terpaksa meninggalkan lingkungan keprajuritan.”
Kening Argapati tampak berkerut. Ia sudah menyangka, bahwa itulah yang terjadi. Sidanti terpaksa meninggalkan lingkungan keprajuritan.
Argapati itu berdesah. Tetapi ia masih belum menyahut.
“Kau jangan terkejut Argapati, bahwa persoalannya adalah anak-anak muda.” Ki Tambak Wedi berhenti sejenak. Orang tua itu menjadi semakin berdebar-debar ketika ia melihat wajah Argapati menjadi merah.
“Tetapi itu bukan sebab yang terutama, Argapati,” sambung Ki Tambak Wedi kemudian dengan tergesa-gesa,
“persoalan itu hanyalah sekedar pendorong dari sebab-sebab yang sebenarnya.”
Argapati masih belum menjawab.
“Iri hati dan dengki telah menyebabkan Sidanti terpaksa meninggalkan kedudukannya yang kian hari kian bertambah baik.”
Kini Argapati menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia berdesis,
“Iri hati dan dengki adalah hambatan yang paling menjemukan bagi setiap kemajuan. Tetapi kenapa Sidanti harus meninggalkan lapangan yang telah dipilihnya itu?”
“Kalau kedengkian dan iri hati itu datang dari kawan-kawannya seangkatan, maka hal itu pasti akan dapat di atasinya. Hal yang demikian agaknya cukup dibiarkannya saja. Meskipun mungkin akan dapat juga menghambat kemajuannya, tetapi hal yang serupa itu tidak perlu dilayani.” Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam, lalu,
“Tetapi kedengkian dan iri hati itu datangnya justru dari pimpinan pasukan Pajang di Sangkal Putung.”
“He?” Argapati terkejut, “Siapakah mereka itu?”
“Widura.”
“Widura?” Argapati mengulangi.
“Dan Untara.”
“He,” Argapati benar-benar terkejut mendengar nama itu disebut,
“Untara, Senapati Pajang yang mendapat kepercayaan di daerah Merapi dan sekitarnya?”
Ki Tambak Wedi mengangguk, “Ya.”
Sekali lagi Ki Tambak Wedi melihat wajah Argapati menjadi semburat merah.
“Ki Tambak Wedi,” nada suara Argapati menjadi semakin berat,
“apakah yang sudah mereka lakukan? Apakah kedengkian mereka disebabkan karena kemungkinan yang baik dari Sidanti di dalam lapangan keprajuritan, apakah disebabkan karena persoalan anak-anak muda seperti yang kau katakan?”
“Keduanya, Argapati,” sahut Ki Tambak Wedi, “Widura adalah pimpinan pasukan Pajang di Sangkal Putung.”
“Ya, aku telah mendengar.”
“Untara adalah kemanakan Widura itu.”
Argapati mengangguk.
“Tetapi sumber yang paling memuakkan dari benturan di antara mereka adalah seorang anak muda yang bernama Agung Sedayu.”
“Siapakah Agung Sedayu itu?”
“Adik Untara.”
“Jadi juga kemanakan Widura?”
“Ya.”
Terdengar Argapati menggeram.
“Mereka adalah anak Ki Sadewa. Aku mengenal ayahnya, meskipun tidak begitu rapat. Tetapi ayahnya bukan seorang yang dengki dan iri hati terhadap kemajuan orang lain. Lalu apakah yang sudah dilakukan oleh mereka atas Sidanti?”
“Agung Sedayu dan Sidanti ternyata mempunyai sangkutan hati yang sama.”
“Oh,” Argapati menarik nafas dalam-dalam. Terbayang di dalam kepalanya apa yang sudah terjadi di antara mereka. Perlahan-lahan ia berkata,
“Apakah kau akan mengatakan, bahwa Widura dan Untara ternyata berpihak kepada Agung Sedayu dan bersama-sama berusaha menyingkirkan Sidanti.”
“Begitulah kira-kira yang terjadi Argapati.”
Argapati menggeleng-gelengkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berdesah,
“Aku sudah berpesan mawantu-wantu. Jangan terlibat dalam persoalan yang pahit itu.”
“Tidak, Argapati. Apa yang terjadi atas Sidanti dalam hubungannya dengan seorang gadis adalah wajar. Tetapi kedatangan Agung Sedayu telah merusakkan hubungan itu. Apalagi ketika Widura dan Untara turut campur.”
“Lalu apakah yang telah dilakukan oleh Sidanti. Menentang kedua pimpinannya itu?”
“Darah mudanya telah meluap.”
“Bodoh. Bodoh sekali. Seharusnya ia tidak berbuat sekasar itu. Kalau hal itu tidak terjadi, maka orang tua-tua ini pasti akan dapat menyelsaikannya, mungkin Ki Tambak Wedi, mungkin pimpinan prajurit Pajang itu sendiri.”
Ki Tambak Wedi terperanjat mendengar kata-kata Argapati. Ternyata Argapati menganggap, bahwa sikap Sidanti itu adalah sikap yang salah. Argapati tidak menjadi kecewa atas Widura dan Untara, bahkan sebaliknya ia menyesali sikap Sidanti.

Karena itu maka sejenak Ki Tambak Wedi terdiam. Ia mencoba mencari alasan yang lebih baik, yang dapat membakar hati Argapati.
“Ki Tambak Wedi,” berkata Argapati itu kemudian,
“apakah kau tidak berusaha mencegah kesalahan yang telah dibuat oleh Sidanti?”
“Tentu, Argapati. Sudah tentu aku berusaha mencari jalan yang sebaik-baiknya untuk memecahkan masalah itu. Aku temui satu demi satu kedua orang yang kebetulan mendapat kepercayaan atas para prajurit Pajang di Sangkal Putung itu.”
Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sejenak ia terdiam. Dibiarkannya Ki Tambak Wedi berkata terus,
“Tetapi agaknya masalah bagi mereka yang sebenarnya bukanlah Agung Sedayu. Masalah yang sebenarnya adalah masalah kedengkian mereka.”
Tampak kening Argapati menjadi berkerut. Dan Ki Tambak Wedi berkata selanjutnya,
“Persoalan Agung Sedayu ternyata telah mereka pakai untuk melepaskan iri hati dan dengki mereka atas Sidanti.”
“Apa yang telah mereka lakukan atas Sidanti?”
Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam. Ia berusaha untuk mengekang gelora di dadanya. Ia harus berhati-hati supaya ia tidak buat kesalahan.
“Menyesal sekali Argapati,” berkata Tambak Wedi,
“bahwa Widura disetujui oleh Untara telah membuat darah kedua anak muda itu menjadi panas.”
Kening Argapati menjadi semakin berkerut merut.
“Meskipun tampaknya sangat baik, namun ternyata Widura telah membakar kedua anak muda itu dan menjerumuskan ke dalam suatu pertentangan yang berbahaya.”
“Apa yang sudah dilakukannya?”
“Widura menyelenggarakan sayembara memanah.”
“Untuk apa?”
“Untuk menentukan siapa yang berhak atas gadis itu.”
“Ah,” wajah Argapati menjadi tegang, “apakah kau berkata sebenarnya Ki Tambak Wedi?”
“Kenapa tidak? Aku berkata untuk kepentingan anakmu, Argapati.”
“Tetapi apakah hak Widura untuk menyelenggarakan sayembara itu? Kalau sayembara itu diadakan untuk memilih senapati yang akan dijadikannya pembantunya melawan Tohpati, itu adalah kuwajiban Widura. Tetapi persoalan gadis itu, bukanlah wewenangnya. Apakah gadis itu sudah tidak berayah dan beribu?”
“Oh, gadis itu bernama Sekar Mirah. Ia adalah puteri Demang Sangkal Putung.”
Argapati menjadi semakin tegang. Ditatapnya wajah Ki Tambak Wedi seolah-olah ia ingin melihat apakah yang tergores di dalam kepala orang tua itu.
Sejenak kemudian terdengar Argapati berdesis, “Kedengarannya aneh sekali Ki Tambak Wedi.”
“Itulah yang tidak dapat aku mengerti. Tetapi aku tidak dapat mencegahnya. Apalagi ketika perlombaan itu telah berlangsung. Widura sudah mengatur orang-orangnya untuk berlaku curang, sehingga di dalam sayembara itu, Sidanti tidak dapat memenangkannya.”
“Lalu apa yang dilakukan oleh Sidanti?”
“Darah mudanya menyala tanpa dapat dikendalikan lagi. Ia terlibat dalam perang tanding. Bukan sekedar sayembara memanah.”
Wajah Argapati menjadi semakin berkerut merut.
“Keduanya adalah anak-anak muda. Agung Sedayu dan Sidanti,” Ki Tambak Wedi meneruskan,
“tetapi sekali lagi mereka berbuat curang. Kali ini Untara sendiri yang telah melanggar sikap jantan. Dan sekali lagi Sidanti tidak dapat mengendalikan diri. Ketika Agung Sedayu sudah tidak berdaya melawan Sidanti, maka Sidanti harus berhadapan dengan Untara sendiri.”
“Oh,” Argapati menarik nafas dalam-dalam, lalu katanya, “dan kau tidak dapat mencegahnya?”
“Sulit sekali, Argapati. Kalau kau melihat apa yang terjadi, maka kau tidak akan menyalahkan sikap Sidanti. Aku pun hampir-hampir kehilangan akal dan berbuat di luar nalar.”
Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. “Lalu?”
“Ternyata yang terjadi kemudian sama sekali tidak terduga-duga sebelumnya,” Ki Tambak Wedi berhenti sejenak. Dicobanya untuk menjajagi perasaan Argapati. Tetapi ia tidak menemukan kesan yang meyakinkan.
“Pertentangan itu menjadi berlarut-larut. Meskipun perkelahian yang pertama itu tampaknya berakhir tanpa menyakitkan hati kedua belah pihak, karena kepentingan mereka atas keselamatan Sangkal Putung dari sergapan Tohpati, sehingga mereka masih memerlukan Sidanti. Namun yang terjadi di hari-hari berikutnya adalah, persoalan yang paling menyakitkan hati. Bagi Sidanti, perguruan Tambak Wedi dan bagi Tanah Perdikan Menoreh.”
“Ah,” Argapati berdesah, “kenapa hal itu harus terjadi?”
“Sidanti di sudutkan ke dalam suatu keadaan yang tidak dapat dihindarinya.”
Argapati, yang bergelar Ki Gede Menoreh itu menarik nafas dalam-dalam. Ia adalah seorang yang menyimpan perbendaharaan pengalaman yang seimbang dengan Ki Tambak Wedi. Ia adalah orang yang memiliki ketajaman penilaian atas peristiwa-peristiwa yang terjadi dan keterangan-keterangan yang didengarnya. Meskipun ia keras hati, tetapi ia mempunyai pertimbangan yang kuat. Sebelum meletakkan keputusan dan menentukan sikap, maka ia mempertimbangkan setiap persoalan semasak-masaknya.

Sejenak pringgitan itu dicengkam oleh kesepian. Yang terdengar hanya desah nafas mereka berkejaran lewat lubang-lubang hidung. Namun demikian, debar jantung kedua orang tua-tua itu menjadi semakin deras berdentangan di dalam dada mereka. Ki Tambak Wedi mengharap, bahwa ia akan berhasil membakar hati Argapati. Ia mengharap bahwa Argapati akan bersedia membantunya menebus segala kekalahan. Lebih daripada itu, apabila ia berhasil menggerakkan Argapati, maka ia akan membawanya ke singgasana Pajang. Tetapi Ki Tambak Wedi tidak dapat segera menangkap perasaan Argapati. Meskipun wajahnya menegang, namun ia tidak berhasil menangkap perasaan yang tersirat daripadanya.
Sesaat kemudian, terdengar Argapati bergumam,
“Ki Tambak Wedi, aku tidak melihat apa yang terjadi. Tetapi aku menyesal bahwa pertentangan itu telah berlangsung. Baik antara Sidanti dan Agung Sedayu, maupun Sidanti dan Widura serta Untara.”
“Keadaan itu datang tanpa dapat dihindari oleh Sidanti.” jawab Ki Tambak Wedi.
“Ah, aku rasa keadaan itu pasti ada permulaannya. Aku tidak tahu siapakah yang bersalah, tetapi bahwa Sidanti dan Agung Sedayu itu bersaing untuk mendapatkan seorang gadis, itu sudah tidak menyenangkan sama sekali. Aku tidak pedulikan Agung Sedayu, sebab ia bukan sanak bukan kadang. Apa pun yang akan dilakukan, seandainya ia berbuat nista seperti orang yang paling hina sekalipun. Tetapi Sidanti adalah anakku. Ia harus mempunyai harga diri. Ia harus menempatkan dirinya sebagai seorang putera Kepala Tanah Perdikan. Ia harus menjadi seorang prajurit yang baik. Seorang prajurit yang harus menjadi tepa-tulada dari prajurit-prajurit yang lain.”
“Ya, ya. Aku mengerti,” sahut Ki Tambak Wedi,
“seharusnya memang demikian. Tetapi aku tidak banyak berdaya untuk menghindarkannya.”
“Kalau saja Sidanti tidak terkait gadis Sangkal Putung itu, maka semuanya tidak akan terjadi.”
“Kau salah, Argapati. Soalnya bukan bersumber pada gadis itu. Sudah aku katakan. Soalnya adalah kedengkian dan iri hati. Seandainya tidak ada persoalan gadis itu sekalipun, namun Untara dan Widura pasti akan mencari sebab-sebab lain yang akan dapat dipergunakan untuk menyingkirkan Sidanti.”

Argapati mengerutkan keningnya. Dan ia mendengar Ki Tambak Wedi berkata terus,
“Aku sudah mencoba menjajagi perasaan mereka. Di antara sekian banyak sebab dari kedengkian dan iri hati itu, adalah kemajuan Sidanti. Mereka berusaha sekeras-kerasnya untuk menyembunyikan kemampuan Sidanti. Sebab apabila kemampuan Sidanti itu dapat dilihat oleh para pemimpin Wira Tamtama Pajang, maka keadaannya sama sekali tidak akan menguntungkan Untara dan Widura. Karena itu mereka berdua, paman dan kemanakan itu, berusaha untuk menyingkirkannya. Apalagi apabila sampai pada suatu saat Sidanti berhasil membunuh Tohpati, maka kedudukan Widura dan Untara pasti akan terdesak.”
Tetapi Ki Tambak Wedi itu terperanjat ketika ia mendengar Argapati bertanya,
“Apakah memang tersirat di kepala Sidanti untuk mendesak kedudukan kedua orang itu?”
Sejenak Ki Tambak Wedi terbungkam. Di keningnya mengembun keringat yang dingin. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa tiba-tiba saja ia di hadapkan pada pertanyaan itu.
“Ki Tambak Wedi,” berkata Argapati seterusnya,
“aku  pun pernah mengalami menjadi seorang prajurit. Senapati adalah jabatan yang memang diimpikan bagi setiap prajurit. Senapati perang dari segala tingkatan. Seandainya Sidanti ingin menjadi senapati pun, maka hal itu adalah wajar. Sebab tanpa keinginan dan cita-cita itu, maka ia adalah seorang prajurit yang akan membeku saja di tempatnya. Ia akan tetap seorang prajurit sampai pada suatu saat ujung pedang lawannya membelah dadanya, atau sampai suatu saat ia harus mengundurkan diri karena umurnya. Tetapi aku tidak pernah merasakan suatu kecemasan, bahwa seseorang akan mendesak kedudukanku. Seandainya ada prajuritku yang maju, maka sebaiknya diberi kesempatan. Bukan ditanggapi dengan iri dan dengki, apabila prajurit itu berbuat dengan wajar. Tetapi bila seorang prajurit sengaja menjual jasa, dan membanggakan kelebihannya, memang kadang-kadang sikap yang demikian tidak menyenangkan atasannya. Nah, apakah Ki Tambak Wedi sudah melihat, apakah Sidanti tidak terdorong dalam sikap serupa itu, sehingga Widura dan Untara tidak menyenanginya?”
“Oh,” Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam,
“kau memang orang yang terlampau baik, Argapati. Kau seorang yang keras hati, sekeras batu-batu padas di pegununganmu. Wajahmu  pun tampak begitu keras membatu. Tetapi kau terlampau hati-hati untuk mengambil sikap. Kau selalu berprasangka baik terhadap seseorang. Kau tidak pernah melihat kesalahan orang lain lebih dahulu dari kebaikannya. Namun jangan berbuat demikian terhadap Widura dan Untara. Jangan, Argapati. Kau harus dapat menempatkan dirimu pada pihak yang seharusnya mendapat perlindunganmu.”
Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Wajahnya masih saja didera oleh keragu-raguan dan kebimbangan.
Sejenak kemudian ia berkata,
“Nah, seandainya demikian, lalu apakah sebab langsung yang telah mendorong Sidanti meninggalkan Sangkal Putung?”
“Aku membawanya ke Tambak Wedi.”
“Begitu saja?”
“Aku tidak mau melihat keadaan menjadi semakin parah. Aku tidak mau melihat Sidanti kehilangan segala-galanya. Kehilangan gadis itu, kehilangan kesempatan di dalam tugas-tugas keprajuritan, kehilangan harga diri, dan kehilangan keberanian untuk bersikap. Atau apabila terjadi sebaliknya, Sidanti menjadi mata gelap dan berbuat di luar kendali.”

Sekali lagi Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Tampaklah suatu bayangan yang buram di kepalanya. Betapa pun ia mencoba mengerti keterangan Ki Tambak Wedi, namun setiap kali bayangan tentang Sidanti, Widura, dan Untara, seolah-olah seperti asap yang tertiup angin. Pecah bertebaran, dan ia kehilangan gambaran tentang apa yang terjadi.
“Aku tidak dapat mengerti,” desisnya di dalam hati, “bagaimana mungkin seorang senapati seperti Untara, menaruh kedengkian dan iri hati terhadap bawahannya. Terhadap Sidanti.” Tetapi lalu dijawabnya sendiri, “Untara masih muda. Mungkin ia masih kurang bijaksana menanggapi keadaan, sehingga timbullah kedengkian dan iri hati itu.”
Namun bagaimanapun juga Argapati masih dibelit oleh keragu-raguan dan kebimbangan.
“Apakah kau tidak dapat mengerti, Argapati?” bertanya Ki Tambak Wedi.
“Aku sedang mencoba untuk mengerti,” jawab Argapati dengan jujur.
“Kau memang terlampau baik dan jujur, sehingga kau tidak dapat membayangkan kedengkian dan iri hati orang lain. Sebab kau sendiri tidak pernah berbuat demikian atas orang lain.”
“Hem,” Argapati menarik nafas dalam-dalam,
“Lalu seandainya kemudian aku meyakini kebenaran keteranganmu, lalu apakah yang sebaiknya aku lakukan menurut pertimbanganmu?”
Detak jantung Ki Tambak Wedi menjadi semakin berdebar-debar. Ia merasa belum dapat meyakinkan Argapati. Namun ia harus berusaha membuat hati orang itu menjadi semakin panas. Ia harus dapat membakar perasaannya.
“Tetapi Argapati bukan Sidanti,” gumam Ki Tambak Wedi di dalam hatinya,
“Argapati adalah orang yang matang dalam sikap dan perbuatan. Tetapi aku harus mencoba.”
Maka dengan hati-hati Ki Tambak Wedi berkata, “Argapati. Aku sebenarnya tidak dapat mengatakan apa  pun kepadamu tentang sikap yang sebaiknya kau ambil. Kau adalah seorang yang cukup matang menanggapi persoalan. Adalah wewenangmu untuk menentukan, sikap apakah yang sebaiknya kau ambil, tetapi aku percaya, bahwa kau masih Argapati yang aku kenal dahulu. Seorang yang memiliki harga diri dan kejantanan.”
Argapati mengerutkan keningnya. Lalu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata,
“Persoalan ini bukan persoalan yang dapat diabaikan. Persoalannya tidak sekedar persoalan. Sidanti dan Untara, tetapi pasti akan menyangkut orang tua-tua ini pula.”
“Tentu Argapati,” Ki Tambak Wedi menyahut,
“apalagi kalau Untara sengaja membuat laporan palsu. Maka penilaian orang-orang Pajang pasti akan berkisar kepadamu dan kepadaku.”
Argapati mengangguk-angguk. “Ya,” katanya.
“Pasti orang-orang tua inilah yang akan mendapat sorotan tajam dari para pemimpin Wira Tamtama Pajang.”
“Itulah sebabnya, aku segera datang kepadamu.”
Argapati tidak segera menjawab. Tetapi kerut merut di dahinya menjadi semakin dalam.
Dan terdengar Ki Tambak Wedi melanjutkan,
“Dan untuk seterusnya, kau harus berbuat sesuatu, Argapati.”
“Ya, aku menyadari. Sebagai orang tua aku harus berbuat sesuatu untuk kepentingan Sidanti.”
Kini Ki Tambak Wedi-lah yang menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat titik-titik terang, bahwa usahanya akan berhasil.
Tetapi alangkah terperanjatnya ketika ia mendengar Argapati itu berkata,
“Baiklah, Ki Tambak Wedi. Apabila kau dan Sidanti nanti pada waktunya kembali ke Tambak Wedi, meskipun aku tidak mendesakmu untuk segera pergi dari Menoreh, bahkan apabila mungkin kau akan berada di sini untuk waktu yang cukup lama, namun maksudku, kelak apabila kau kembali, aku akan ikut serta bersama Argajaya. Aku akan menemui Widura dan Untara. Aku ingin mendapat penjelasan akan sikapnya itu.”
“Ah,” dengan serta merta Ki Tambak Wedi memotong,
“masihkah kau menganggap bahwa itu akan berguna bagimu dan bagi Sidanti?”
“Kenapa tidak? Aku akan menemuinya, Ki Tambak Wedi. Aku dan Untara berdiri pada tingkat yang sama. Aku tidak akan merendahkan diriku, mohon belas kasihan untuk kepentingan anakku. Tidak Ki Tambak Wedi. Bukankah kau tahu, bahwa ketika kau menganjurkan aku untuk menemui Ki Gede Pemanahan dan menitipkan Sidanti kepadanya, supaya Sidanti segera mendapat kedudukan yang baik, aku menolak. Aku tidak mau berbuat demikian. Sidanti harus menjadi seorang prajurit yang baik. Prajurit yang merayap dari tingkat yang paling rendah untuk mencapai tingkat yang setinggi-tingginya. Bukan karena ia anakku, dan aku telah mengenal Ki Gede Pemanahan, meskipun tidak begitu rapat seperti aku mengenal kau. Kau pun telah mengenal Ki Gede Pemanahan pula. Tetapi hal itu tidak kita lakukan. Aku tidak mau. Meskipun tampaknya demikian akan menguntungkan Sidanti, namun Sidanti akan kehilangan masa-masa yang akan dapat menempa dirinya sendiri. Ia akan kehilangan keprihatinan, karena dengan serta merta ia berada ditingkat yang tinggi. Bukan karena hasil cucuran keringatnya sendiri, tetapi karena pengaruh orang lain, meskipun orang lain itu adalah ayahnya sendiri.”
“Aku tahu, Argapati. Aku tahu betapa kau mencoba mendidik Sidanti untuk percaya kepada diri sendiri tanpa menggantungkan diri kepada orang lain. Tetapi kini masalahnya berbeda. Bukan sekedar harga diri. Bukan pula masalah yang dapat dibicarakan dengan wajar. Tetapi masalahnya adalah kedengkian, dan iri hati. Nah, dapatkah kau mempersoalkan kedengkian dan iri hati? Tidak Argapati. Dengki dan iri hati tidak akan dapat dibicarakan. Tidak dapat dipersoalkan. Apalagi kedengkian dan iri hati itu telah diungkapkannya dalam tindakan yang paling menyakitkan hati. Tindakan yang tidak akan dapat dilupakan oleh Sidanti sepanjang umurnya.”

Argapati tidak segera menjawab. Sejenak ia terdiam, seolah-olah sedang merenungkan kata-kata Ki Tambak Wedi itu. Dicobanya untuk mengerti dan mempercayainya. Tetapi setiap kali ia merasakan sesuatu yang menggelepar di dalam hatinya. Alangkah sulitnya bagi Argapati untuk dapat menelan keterangan itu.
Argapati itu mengangguk, ketika ia mendengar Ki Tambak Wedi bertanya,
“Apakah kau ragu-ragu, Argapati?”
“Ya, aku memang ragu-ragu,” jawab Argapati.
“Kau tidak mempercayai aku?”
“Bukan begitu Ki Tambak Wedi,” sahut Argapati,
“aku tidak meragukan kau. Tetapi aku meragukan tanggapan Sidanti atas kedua orang atasannya itu. Mungkin sikap Widura dan Untara yang keras, diterimanya dengan salah paham. Ia menyangka, bahwa Widura dan Untara menyimpan kedengkian dan iri hati di dalam hati mereka.”
“Oh,” Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya,
“bukan hanya kau yang meragukan hal itu. Semula aku  pun meragukannya. Tetapi akhirnya aku yakin, bahwa keduanya memang dengki dan iri hati.”
“Ya,” akhirnya Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya,
“jalan yang paling baik bagiku adalah menemui Widura dan Untara. Aku bukan anak-anak lagi seperti Sidanti yang menganggap perkelahian adalah jalan yang paling baik untuk menyelesaikan persoalan. Aku akan mengambil jalan yang paling baik bagi semua.”
“Kalau kau mendengarkan nasehatku, Argapati,” berkata Ki Tambak Wedi,
“jangan merendahkan dirimu. Kau hanya akan mendapat penghinaan yang akan menambah parah luka di hati.”
“Apakah mereka sudah gila?” bertanya Argapati dengan serta merta.
“Mungkin istilah itulah yang paling tepat dipergunakan untuk menyebut kedua orang itu, Widura dan Untara.”
“Ah,” Argapati berdesah. Sejenak ia terdiam. Namun kemudian ia bertanya,
“Bagaimana yang baik menurut pertimbanganmu?”
“Argapati,” berkata Ki Tambak Wedi dalam nada yang berat, “sebenarnya aku tidak akan sampai hati mengatakan kepadamu. Tetapi setelah aku pertimbangkan baik-baik, maka lebih baik kau mengerti setiap persoalan dengan baik daripada sekedar permukaannya saja. Untuk seterusnya, aku dan Sidanti tidak akan dapat kembali lagi ke padepokan Tambak Wedi.”
“He,” Argapati mengerutkan keningnya. Keterangan itu telah mengejutkannya, “Kenapa?”
“Tambak Wedi telah pecah. Hancur lumat menjadi abu.”
Argapati justru terdiam. Tetapi keningnya menjadi semakin berkerut merut.
“Widura dan Untara ternyata telah menyusul Sidanti ke Tambak Wedi.”

Tampaklah sesuatu memancar dari sepasang mata Argapati yang dalam. Sejenak dipandangnya wajah Ki Tambak Wedi dengan tajamnya. Namun kemudian dilemparkan pandangan matanya itu ke arah nyala pelita di dinding. Begitu tajamnya ia memandang api yang sedang menggapai-gapai itu. Tanpa berkedip. Dada Ki Tambak Wedi menjadi berdebar-debar. Ia tahu benar kekuatan yang tersimpan di dalam diri orang itu. Di dalam diri Ki Argapati. Seperti kelebihan yang tersimpan di dalam dirinya, yang tidak dimiliki oleh orang kebanyakan, sehingga orang menyebut, bahwa Ki Tambak Wedi mampu menangkap angin. Seperti orang mengatakan, bahwa perguruan Kedung Jati mempunyai rangkapan nyawa di dalam diri setiap muridnya. Maka hampir setiap mulut di Menoreh mengatakan, bahwa dengan sorot matanya, Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh, itu mampu membakar setiap benda yang dikehendakinya, sehingga menjadi abu. Debar di dada Ki Tambak Wedi itu menjadi semakin keras, ketika tiba-tiba ia melihat api pelita itu terguncang dengan kerasnya, seolah-olah dihembus oleh angin yang bertiup dari arah sepasang mata Ki Gede Menoreh. Tetapi sejenak kemudian nyala pelita itu telah tegak kembali, seolah-olah menari dengan riangnya. Ki Tambak Wedi tersedar, ketika ia mendengar Ki Gede Menoreh itu menarik nafas dalam-dalam. Seolah-olah sedang menikmati hasil pemusatan pikiran, dengan sengaja mengguncang nyala api pelita itu dengan pandangan matanya.
“Bukan main,” berkata Ki Tambak Wedi di dalam hatinya,
“begitu besar perbawa pada dirinya, sehingga aku telah dicemaskan oleh permainannya. Hem,” Ki Tambak Wedi-lah yang kemudian menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia sekali lagi memandang api pelita itu, maka dilihatnya sekali lagi api pelita itu berguncang, meskipun Ki Gede Menoreh tidak sedang memandanginya. Terasa, angin yang lembut mengalir mengusap kening Ki Tambak Wedi yang basah oleh keringat.
“Setan alas,” Ki Tambak Wedi itu mengumpat di dalam hatinya.
“Aku tidak dapat membedakan lagi, apakah yang telah mengguncangkan nyala api itu. Tetapi tadi aku tidak merasakan usapan angin yang dapat menggerakkan nyala pelita itu.”
Sejenak kemudian, keduanya masih saling berdiam diri. Ketegangan terasa semakin memuncak. Dan sejenak kemudian, terdengar suara Argapati dalam nada yang berat dan dalam,
“Apakah keadaan Sidanti sudah sedemikian parahnya, sehingga kau harus mengorbankan padepokanmu?”
Ki Tambak Wedi menganggukkan kepalanya,
“Ya. Aku telah mengorbankannya untuk mencoba mempertahankan Sidanti. Untunglah, bahwa Sidanti berhasil melepaskan dirinya. Kalau tidak, ia pasti akan dijadikan pangewan-ewan. Ia akan dihinakan jauh lebih menyakitkan hati daripada sisa-sisa orang Jipang yang dapat ditangkap oleh Widura dan Untara.”
Sekali lagi Argapati terhenyak dalam kediamannya. Sekali ia merenungkan kata-kata Ki Tambak Wedi. Namun terasa ketegangan di dalam ruangan itu  pun semakin bertambah-tambah.
“Argapati,” berkata Ki Tambak Wedi kemudian,
“aku telah melakukan segala macam usaha. Usahaku yang terakhir adalah menyelamatkan Sidanti. Seterusnya aku hanya dapat mengadu kepadamu. Anak itu memerlukan perlindungamu.”

Wajah Argapati menjadi semakin tegang. Terbayanglah suatu peristiwa yang sama sekali tidak disangka-sangkanya. Peristiwa yang telah menyeret Sidanti ke dalam suatu persoalan yang sulit. Yang mau tidak mau pasti akan menyangkut namanya, kecuali nama Ki Tambak Wedi. Namun bagaimanapun juga, Argapati tidak dapat mengusir kebimbangan yang mencengkam jantungnya. Dengan demikian, maka terjadilah suatu pergolakan di dalam dadanya. Sentuhan terhadap Sidanti yang setiap orang menyebutnya putera Kepala Tanah Perdikan Menoreh adalah sentuhan terhadapnya. Tetapi apakah benar hal itu terjadi karena kedengkian dan iri hati? Bukan hanya sekedar karena salah paham yang berlarut-larut? Argapati menarik nafas dalam-dalam, ketika ia mendengar Ki Tambak Wedi berkata,
“Kau harus mengambil sikap, Argapati. Apa pun yang telah terjadi di antara kita, tetapi kini nama Menoreh sedang mendapat perhatian di kalangan Wira Tamtama Pajang. Bukan karena kesalahan kita, bukan pula karena kesalahan Sidanti. Tetapi sayang, bahwa justru orang-orang seperti Widura dan Untara lah yang mendapat kekuasaan di Sangkal Putung dan daerah di sekitar Gunung Merapi.”
“Hem,” Argapati berdesah,
“kenapa persoalan itu telah menjadi sedemikian jauh? Dan baru setelah semuanya tidak dapat dicegah kau datang kepadaku, memberitahukannya? Sekarang aku sudah tersudut ke dalam suatu keadaan yang paling parah.”
“Aku minta maaf, Argapati,” desis Ki Tambak Wedi,
“aku  pun sama sekali tidak menyangka, bahwa hal itu akan terjadi. Tetapi semuanya telah terlanjur. Yang ada sekarang yang harus diselesaikan, adalah keadaan kita kini.”
“Lalu apakah yang dapat aku lakukan untuk menyelesaikannya?”
“Aku hanya melihat satu jalan.”
“Jalan yang mana?”
“Argapati. Kita sudah terlanjur berada di tengah-tengah penyeberangan tanpa kita kehendaki. Kembali kita sudah terlanjur basah. Karena itu, maka biarlah kita berjalan terus. Apa  pun yang terjadi.”
Argapati mengerutkan keningnya, “Maksudmu?”
“Kita tebus dengan darah.”
Kerut merut di kening Argapati menjadi semakin dalam,
“Maksudmu kita menggerakkan pasukan. Atau dengan berterus-terang kita memberontak terhadap Pajang.”
Ki Tambak Wedi tidak segera menjawab. Dipandanginya wajah Argapati. Tetapi ia tidak dapat menangkap kesan yang meyakinkan. Karena itu, dengan berhati-hati ia berkata,
“Bukan maksud kita. Tetapi kita di sudutkan ke dalam keadaan itu.”
“Ki Tambak Wedi,” berkata Argapati datar, “Pajang kini sedang mencoba berdiri tegak setelah saling memukul di antara keluarga sendiri. Bahkan sampai kini, menurut pendengaranku, masih saja tumbuh keributan di mana-mana. Beberapa orang bupati tidak senang menerima Karebet di atas tahta, meskipun mereka masing-masing menyimpan pamrih pula. Nah, apakah kita juga akan menambah kekisruhan itu?”
Ki Tambak Wedi mengangkat alisnya. Sejenak ia terdiam. Tetapi kemudian ia menjawab,
“Aku berpikir sebaliknya, Argapati.”
“Maksudmu?”
“Pajang lah yang selalu membuat keributan di mana-mana. Pajang lah yang terlampau tamak. Kalau kau tahu sedikit saja tentang masa-masa muda anak yang bernama Karebet itu, maka kau akan segera mengerti, apakah yang sebenarnya sedang dilakukannya kini. Ternyata para perwira Wira Tamtama itu pun telah mewarisi sikap dan sifat-sifat itu. Nah, apakah kau dapat mengerti?”
Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Ya, aku mengerti. Bukankah maksudmu mumpung Pajang belum tegak benar, kita mempergunakan kesempatan ini?”
“Begitulah.”
“Ki Tambak Wedi,” berkata Argapati,
“persoalan itu adalah persoalan hidup dan mati. Jangan menyeret tanah perdikan ini ke dalam keadaan yang tidak dapat kita yakini. Apabila masalahnya demikian, maka kita memerlukan waktu untuk memikirkannya.”
“Apakah kita harus menunggu sampai pasukan Pajang menyeberangi hutan Tambak Baya, Mentaok, dan Kali Praga.”
“Ah, jangan seperti anak kecil, Ki Tambak Wedi. Kau tahu, bahwa untuk melakukannya, Pajang  pun memerlukan waktu. Menyeberang hutan-hutan itu dan Kali Praga dalam gelar perang, bukan mainan kanak-kanak. Kau  pun pasti tahu, bahwa orang-orang Pajang tidak sebodoh itu, kecuali mereka akan membunuh diri.”
“Tetapi apakah kau tidak akan berbuat sesuatu?”
“Aku akan memilih jalan yang paling baik. Aku akan menemui langsung Ki Gede Pemanahan. Panglima Wira Tamtama itu. Ia harus menyadari, bahwa di dalam pasukannya ada orang-orang seperti Widura dan Untara.”
“Oh,” Ki Tambak Wedi-lah yang kemudian berdesah,
“aku lupa mengatakan. Bahkan Pemanahan telah datang pula ke Sangkal Putung.”
“He,” Argapati terkejut.
“Ya. Ia telah datang ke Sangkal Putung. Dan Panglima yang gila itu membenarkan sikap Widura dan Untara untuk memukul Tambak Wedi.”
Wajah Argapati menjadi semakin tegang mendengar keterangan itu. Tanpa sesadarnya ia berkata,
“Jadi apa yang dilakukan Untara dan Widura itu sudah setahu Pemanahan?”
 “Ya.”

Argapati terdiam sejenak. Tiba-tiba kepalanya menunduk dalam-dalam. Ki Tambak Wedi menyadari, betapa dada orang yang bertubuh tinggi kekar berdada bidang itu sedang dihantam oleh gelora perasaan yang luar biasa. Namun ia mengharap, agar perkembangan persoalan di dalam diri Argapati itu mengarah kepada rencananya. Mudah-mudahan Argapati menjadi marah dan mendendam. Meskipun tanah ini hanya sekedar tanah perdikan, bukan daerah kabupaten atau kadipaten yang besar, namun justru tanah ini tanah perdikan, maka Menoreh menjadi kuat. Menoreh tidak berada di dalam pengawasan yang terlampau ketat dari Pajang seperti daerah-daerah kadipaten dan kabupaten. Sekali lagi kedua orang tua itu terlontar ke dalam kesepian yang tegang. Argapati masih saja menundukkan kepalanya. Di kepala itu berkecamuk berbagai macam persoalan yang membuatnya menjadi pening. Kalau Ki Gede Pemanahan telah membenarkan sikap Widura dan Untara, maka mau tidak mau masalahnya pasti akan menjadi parah bagi Menoreh. Kalau Ki Gede Pemanahan telah membenarkan sikap Untara, dan bahkan telah datang pula ke Sangkal Putung, itu adalah suatu sikap yang pasti tidak dapat dihindarinya lagi.
“Mungkin benar kata Ki Tambak Wedi,” berkata Argapati di dalam hatinya,
“bahwa sebentar lagi pasukan Pajang akan menyeberangi Alas Mentaok dan Kali Praga. Bahwa sebentar lagi sepasukan prajurit segelar sepapan dalam gelar perang yang sempurna akan berbaris memasuki tanah perdikan ini. Apakah aku harus menyambut prajurit Pajang itu juga dalam gelar perang untuk mempertahankan Sidanti dan Ki Tambak Wedi?”


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar