Jilid 031 Halaman 3


Keragu-raguan yang dahsyat telah berkecamuk di dalam hati Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu. Berbagai pertimbangan dan perhitungan bersimpang-siur di dalam kepalanya. Namun bagaimanapun juga, ia masih belum berhasil mengusir kebimbangannya. Masih ada sepercik anggapan, bahwa yang terjadi adalah semata-mata sebuah salah paham.
Seandainya Untara dan Widura keblinger karena mereka melihat persoalannya itu dari sudut kepentingan mereka, dan kepentingan anak muda yang bernama Agung Sedayu, adik Untara dan kemanakan Widura itu, maka apakah Ki Gede Pemanahan dapat juga dengan mudahnya keblinger? Apakah Ki Gede Pemanahan dan Ki Tambak Wedi sama sekali tidak dapat menemukan titik-titik persamaan sikap untuk menyelesaikan masalah itu? Apakah keduanya kini sudah menjadi pikun dan tidak mampu lagi melihat jalan yang sebaik-baiknya mereka tempuh untuk menyelesaikan peristiwa ini?
Angin malam yang basah bertiup semakin kencang menyusup dari lubang pintu yang tidak terlampau rapat ditutup. Sentuhan di wajah-wajah mereka telah membangunkan mereka dari buaian angan-angan.
Argapati yang kemudian mengangkat wajahnya berdesis,
“Ki Tambak Wedi. Apakah dunia sekarang ini sudah demikian gelapnya, sehingga orang-orang seperti Ki Gede Pemanahan, dan Ki Tambak Wedi sudah tidak dapat melihat lagi jalan lain yang dapat ditempuh kecuali kekerasan? Aku tidak dapat mengerti, bahwa untuk persoalan yang kecil itu, maka Menoreh harus di sudutkan ke dalam suatu persiapan untuk menghadapi perang.”
Ki Tambak Wedi menggeleng-gelengkan kepalanya. Jawabnya,
“Aku tidak tahu, pertimbangan apakah yang telah mendorong Pemanahan untuk membenarkan sikap Widura dan Untara. Mungkin Panglima itu telah dimakan fitnah, mungkin pula karena nafsu berperang yang berkobar-kobar di dalam dadanya. Setelah Jipang tidak mampu lagi membuat perlawanan yang berarti, maka Pemanahan dengan sengaja telah membuat lawan baru, supaya ia tidak kehilangan kedudukannya sebagai orang yang terpenting di Pajang. Apabila peperangan masih berkecamuk terus, maka Panglima Wira Tamtama-lah yang seolah-olah memegang tampuk pimpinan dalam pemerintahan. Patih Manca Negara hampir-hampir sudah tidak berarti lagi. Kekuasaan Pajang di dalam masa perang, berada seluruhnya di tangan Pemanahan. Sedang apabila perang berakhir, maka Patih Manca Negara pasti akan segera tampil sebagai seorang ahli di dalam bidangnya.”

Keterangan itu memang masuk akal. Tetapi adalah licik sekali apabila perhitungan Ki Tambak Wedi itu benar. Sedang menurut pengenalannya atas Ki Gede Pemanahan, maka hal itu tidak mungkin dilakukannya. Dalam kebimbangan itu, Argapati menarik nafas dalam-dalam. Tanpa dikehendakinya sendiri, maka terpandanglah olehnya wajah Ki Tambak Wedi yang berkerut merut. Wajah yang telah lama dikenalnya. Hidung yang mirip dengan paruh burung betet, mata yang tajam seolah-olah memancarkan perasaan yang aneh tidak teraba.
Tiba-tiba terasa desir yang tajam tergores di dalam hati Argapati. Ia mengenal Ki Tambak Wedi tidak hanya baru sehari dua hari yang lalu. Ia mengenal Tambak Wedi sejak bertahun-tahun. Jauh lebih lama dari umur Sidanti itu sendiri. Karena itu, maka ia telah banyak sekali mengenal watak dan tabiatnya. Maka keragu-raguan di dalam hati Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu justru menjadi semakin tebal. Pengenalannya atas Ki Tambak Wedi sama sekali tidak mendorongnya untuk mempercayai keterangannya, tetapi justru sebaliknya.
Karena itu, maka terdengar Ki Gede Menoreh itu bergumam,
“Ki Tambak Wedi. Kalau demikian, maka aku harus segera bertindak. Aku harus mencegah keadaan ini menjadi semakin berlarut-larut.”
“Ya, ya,” sahut Ki Tambak Wedi.
“Kau memang harus segera berbuat sesuatu, supaya kau tidak dilanda banjir sedang kau tertidur di tengah-tengah sungai.”
Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia masih ingin mendengar keinginan Ki Tambak Wedi selanjutnya. Maka katanya,
“Kalau demikian, apakah yang pertama-tama harus aku lakukan?”
“Kau harus menyiapkan dirimu, Argapati.”
“Aku tahu maksudmu. Tetapi pertimbanganmu lebih jauh?”
Ki Tambak Wedi  pun menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi kemudian dikatakannya juga, apa yang telah tergores di dalam dadanya,
“Argapati. Kau akan dapat menguasai suatu daerah yang luas di sebelah Selatan.”
“Itu aku tahu.”
“Kemudian kau akan dapat memecah Pajang. Kau akan merebut seluruh kekuasaan yang kini berada di tangan Karebet itu.”
“Tak ada orang yang menerima aku di sana. Aku tidak akan mempunyai akar di dalam pemerintahan. Apalagi daerah Pesisir Lor, Bang Wetan, dan Bang Kulon.”
“Kau keliru. Sebagian dari mereka tidak lagi berpegangan pada tujuan hidup yang mendasari pemerintahan mereka atas daerah-daerah itu. Asal mereka masih tetap berkuasa dan dapat menyalah-gunakan kekuasaan mereka, maka mereka tidak akan berbuat apa-apa.”
Argapati mengerutkan alisnya. Agaknya Ki Tambak Wedi sudah membuat pertimbangan-pertimbangan yang jauh. Orang tua itu agaknya telah memperhitungkan setiap kemungkinan yang akan terjadi. Ki Tambak Wedi memang mempunyai wawasan yang tajam. Perhitungannya tentang para Adipati itu memang masuk akal. Ki Gede Menoreh  pun telah mendengar pula, bahwa ada di antara mereka, para Adipati sudah tidak berpijak lagi pada kepentingan daerah mereka masing-masing. Para pemimpin pemerintahan dan para Senapati yang bertugas di daerah-daerah  pun agaknya telah dijalari oleh penyakit yang serupa. Ada di antara mereka yang lebih senang melihat kepentingan sendiri daripada kepentingan daerah dan tugas masing-masing.
“Hem,” gumam Argapati di dalam hatinya,
“mengherankan bagiku. Kenapa Ki Tambak Wedi sudah membuat perhitungan sedemikian jauh sehingga ia yakin, bahwa setiap gerakan pasukan yang dapat memecah Pajang, akan dapat menguasai seluruh daerahnya? Tetapi seandainya demikian, apakah yang dapat aku lakukan?”
Dalam kediamannya, Ki Gede Menoreh mendengar Ki Tambak Wedi berkata,
“Apakah kau sependapat, Argapati?”
“Ki Tambak Wedi,” jawab Argapati perlahan-lahan,
“seandainya aku berhasil menguasai Pajang, lalu apakah gunanya bagiku? Para adipati hanya mementingkan diri mereka sendiri. Mereka sama sekali tidak berarti apa-apa bagi Pajang. Pajang tidak akan lebih dari sebuah nama yang kosong. Wilayahnya tidak lebih dari kota Pajang itu sendiri.”
“Perlahan-lahan Argapati. Perlahan-lahan, kau akan dapat menguasai mereka.”
“Tidak, Ki Tambak Wedi,” tiba-tiba Argapati menggeleng,
“aku tidak akan dapat menguasai mereka. Sebab pasti akan tumbuh orang lain yang mendendamku dan melakukan perbuatan yang sama. Merebut Pajang. Kalau ia mempunyai kekuatan yang lebih besar dari kekuatanku, maka peristiwa yang baru saja terjadi akan terulang. Terulang dan terulang kembali. Mereka yang merasa mempunyai kekuatan akan berbuat serupa. Para adipati dan senapati itu tidak akan berbuat apa-apa selain mengakui setiap orang yang sedang menguasai sekedar kota Pajang. Aku tidak ingin melihat hal yang serupa itu terjadi, Ki Tambak Wedi. Tidak.”
Tampaklah wajah Ki Tambak Wedi menjadi merah. Sebersit goncangan perasaan telah memanjat sampai ke wajahnya. Jawaban Argapati telah menggetarkan jantungnya, sehingga dengan serta merta ia berkata,
“Lalu apakah yang akan kau lakukan? Menghadap Ki Gede Pemanahan, Panglima yang tamak itu untuk minta belas kasihan?”

Terasa sesuatu berdesir di dada Argapati. Meskipun ia tidak segera menjawab, tetapi pandangan matanya menyorotkan perasaannya yang berguncang. Berbagai pertimbangan telah bergolak di dalam dirinya. Pertimbangan masa lampau, pengenalannya atas Ki Tambak Wedi, Sidanti, Menoreh, Pemanahan, dan semuanya. Terasa seolah-olah dunia di sekitarnya berputar mengelilinginya dengan segala macam persoalan. Tetapi yang paling parah menggores jantungnya adalah persoalannya sendiri. Persoalan yang dihadapkan kepadanya oleh Ki Tambak Wedi. Dengan melontarkan Sidanti sebagai pokok persoalan, ia di hadapkan pada pilihan yang pahit.
Argapati menarik nafas dalam-dalam. Kemudian terdengar ia bergumam,
“Apa pun yang kau katakan Ki Tambak Wedi, tetapi kau akan memilih jalan itu. Aku akan menemui Ki Gede Pemanahan. Kalau aku tidak dapat memecahkan masalahnya, maka apa boleh buat. Mungkin aku menerima pendapatmu. Mungkin aku akan memukul tanda perang dengan tanganku sendiri. Aku lah yang akan berdiri sebagai senapati tertinggi, yang akan berdiri menjadi paruh gelar pasukanku. Mudah-mudahan di dalam peperangan itu pun, aku akan bertemu lagi dengan Ki Gede Pemanahan, atau Adipati Pajang sendiri.”
Debar di dada Ki Tambak Wedi menjadi semakin keras berdentangan memukul dinding jantungnya. Dengan nada yang tinggi ia berkata,
“Kalau aku Argapati, maka aku tidak akan mau merendahkan diri seperti itu. Tidak ada lagi pembicaraan yang dapat menolong keadaan. Aku sudah bicara. Bicara sampai bibirku hampir terlepas dari mulutku. Tetapi yang aku terima hanya penghinaan. Penghinaan atas anakmu, Sidanti, dan aku, gurunya, juga kau, ayahnya.” Ki Tambak Wedi berhenti sejenak, lalu, “He, apakah kau tidak memperhitungkan, bahwa kedengkian itu tidak saja datang dari Widura dan Untara saja? Tetapi juga dari Ki Gede Pemanahan sendiri? Bukankah kau pernah mendengar, bahwa Pemanahan bertempur melawan Adipati Jipang bukan karena kesetiaannya kepada Pajang dan kepada Karebet? Tidak. Sama sekali tidak. Anak Sela yang menurut ceritera mampu menangkap petir itu, bertempur karena janji yang diterimanya. Ia akan mendapat Tanah Mentaok yang kini masih berwujud hutan belukar. Ha, apakah kau mempertimbangkannya pula, bahwa Menoreh akan dapat menjadi penghalang berkembangnya hutan itu untuk menjadi tempat yang ramai? Argapati, dengarlah kata-kataku. Semuanya terjadi karena pamrih. Kraton Pajang  pun kini sudah menjadi ajang memperebutkan pamrih pribadi. Adipati Adiwijaya, berusaha keras membunuh Arya Penangsang, karena perempuan yang diperlihatkan kepadanya oleh Ratu Kalinyamat yang sedang bertapa tanpa mengenakan pakaian sama sekali itu. Pemanahan dan Penjawi, karena Tanah Mentaok dan Tanah Pati. Nah, apalagi? Apakah yang kau ganduli dengan kesetiaanmu terhadap Pajang? Bukankah kau sampai saat ini belum menyatakan diri dengan resmi, di mana kau berdiri sepeninggal Demak?”
Argapati tidak segera menjawab. Tetapi darahnya serasa semakin cepat mengalir. Dalam pada itu, perputaran waktu di dalam dadanya berjalan semakin cepat. Masa demi masa. Waktu demi waktu, hilir mudik berurutan. Ketika ia sampai pada masa kini, maka ia di hadapkan pada suatu pilihan yang sulit. Ia harus berbuat sesuatu untuk Sidanti. Ya, untuk Sidanti. Menurut Ki Tambak Wedi, tidak ada jalan yang lebih baik dari peperangan. Mempertaruhkan Tanah Perdikan Menoreh yang selama ini dibinanya. Mengorbankan beratus-ratus bahkan beribu-ribu orang untuk Sidanti. Sidanti. Nama itu semakin keras terngiang di telinganya. Namun semakin keras nama itu mendengung, maka semakin deraslah arus darah di pembuluhnya. Dan tiba-tiba saja, Argapati itu berkata lantang,
“Tidak. Tidak.”
Kata-kata itu telah benar-benar menghantam dada Ki Tambak Wedi seperti runtuhnya batu-batu di atas bukit Menoreh menimpa dirinya. Sejenak ia mematung, namun sorot matanya seolah-olah menyala memandang Ki Gede Menoreh yang kini menengadahkan dadanya. Sejenak ketegangan di ruang itu menjadi semakin tajam. Dalam kediaman mereka, terasa bahwa dada masing-masing telah dipepati oleh desakan perasaan yang seolah-olah sudah tidak terbendung lagi. Di luar, angin malam yang sejuk berhembus mengguncang dedaunan. Suara gemersik sentuhan ranting-ranting yang berderak-derak, seakan-akan bisikan-bisikan yang mendebarkan jantung terdengar dari alam lain. Semakin lama semakin keras. Sedang nyala pelita yang redup di regol halaman dan di pendapa berguncang pula, menggeliat, seperti di hembus hantu.

Beberapa orang Menoreh telah duduk-duduk di regol halaman. Satu dua orang berada di tangga pendapa. Mereka ingin bertemu dengan Sidanti dan Argajaya, yang menurut pendengaran mereka, baru saja melakukan perjalanan yang panjang, jauh, dan penuh dengan bermacam-macam pengalaman. Pengalaman-pengalaman yang aneh, yang mencemaskan, yang mendebarkan tetapi juga yang mentertawakan. Dan mereka itu ingin mendengarnya. Apalagi mereka, terutama anak-anak muda yang sebaya dengan Sidanti, kawan bermain di masa kanak-kanak, setelah sekian lama tidak bertemu, mereka ingin melihat, bagaimanakah keadaan anak muda itu kini. Anak muda kebanggaan Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi kesempatan itu tidak kunjung datang. Mereka melihat bahwa pintu masuk ke dalam pringgitan belum tertutup rapat. Tetapi mereka tidak melihat bahwa di dalam pringgitan itu duduk beberapa orang yang sedang bercakap-cakap, atau pintu pringgitan itu terbuka dan seseorang mempersilahkan mereka masuk.
“Mungkin Sidanti masih terlampau lelah,” desis seseorang yang duduk di atas tangga pendapa.
“Mungkin.”
Tetapi mereka terkejut, ketika mereka mendengar suara yang agak keras meloncat dari pringgitan. Tetapi suara itu tidak begitu jelas bagi mereka. Sejenak mereka saling berpandangan. Tetapi mereka tidak dapat menerka, apa yang telah terjadi. Mereka tidak dapat menduga sama sekali, bahwa di pringgitan itu sedang berlangsung suatu pembicaraan yang tegang. Dalam pada itu, Sidanti dan Argajaya  pun hampir-hampir tidak sabar menunggu kedatangan Ki Tambak Wedi. Mereka hampir tidak sabar lagi duduk-duduk dengan tegangnya di dalam bilik mereka. Bilik yang terasa terlampau panas dan sesak. Tetapi mereka tidak berani melanggar pesan Ki Tambak Wedi, supaya rencana mereka tidak rusak karenanya. Mereka hanya dapat mengharap, mudah-mudahan Argapati dapat mengerti dan melakukan seperti yang mereka kehendaki. Di pringgitan, Argapati dan Ki Tambak Wedi, masih saja duduk berdiam diri. Keringat yang dingin mengalir membasahi pakaian mereka. Kedua orang tua-tua yang penuh dengan pengalaman, pengetahuan, dan ketajaman pandangan itu, tiba-tiba seolah-olah membeku. Mereka kehilangan pilihan kata-kata untuk meneruskan pembicaraan yang semakin lama menjadi semakin tegang. Namun justru karena mereka saling berdiam diri itu, maka ketegangan  pun menjadi semakin memuncak. Tiba-tiba dalam keheningan yang panas itu, Ki Tambak Wedi berkata lambat,
“Apakah maksudmu sebenarnya Argapati? Apakah kau akan ingkar dari tanggung jawabmu sebagai seorang ayah?”
Argapati mengerutkan keningnya. Jawabnya,
“Tidak. Bukan karena aku akan ingkar. Tetapi justru sebaliknya. Aku harus mengetahui keadaan sebenarnya. Aku harus mengatakan benar bagi yang benar, dan aku harus mengatakan salah bagi yang salah menurut keyakinanku. Aku bukan seorang pengecut yang takut melihat kesalahan melekat di tubuh sendiri. Tetapi aku juga bukan pengecut untuk mempertahankan kebenaran yang aku yakini, meskipun harus aku tebus dengan nyawa sekalipun. Itulah pendirianku. Juga pendirianku atas Sidanti. Kalau Sidanti bersalah, maka ia memang wajib mendapat peringatan, supaya kesalahan itu tidak terulang kembali. Tetapi kalau Sidanti benar seperti katamu, maka Pajang akan menjadi karang abang. Aku tidak takut seandainya ada seratus Pemanahan, seratus Penjawi, seratus Adiwijaya, dan kekuatan apa  pun yang ada di belakang mereka.”
“Aku tahu, Argapati,” jawab Ki Tambak Wedi,
“jelasnya kau tidak percaya kepadaku.”
“Bukan maksudku.”
“Tetapi kau masih memerlukan mendengar keterangan dari orang lain. Dan orang itu adalah Pemanahan.”
“Ya.”

Terdengar gigi Ki Tambak Wedi gemeretak. Tetapi ia mendengar pula ketika Argapati berkata,
“Kalau kau percaya, bukan maksudku untuk tidak mempercayaimu. Tetapi aku menyangka, bahwa telah timbul salah paham. Kalau salah paham itu dapat diperkecil, maka kemungkinan-kemungkinan yang lain  pun akan dapat ditemukan.”
“Tidak. Kau hanya sekedar menutupi ketidak-percayaanmu kepadaku, Argapati. Kau mungkin masih terpengaruh oleh pengenalanmu atasku dahulu. Tetapi karena kau sudah mempercayakan Sidanti kepadaku, seharusnya kau bersikap lain.”
“Apakah aku masih harus menjawabnya?”
“Mungkin tidak. Aku semakin yakin, bahwa kau masih terpengaruh oleh keadaan itu. Kalau demikian, maka apakah gunanya persetujuan yang telah kita buat, seakan-akan kita sudah tidak mempunyai persoalan lagi? Tetapi ternyata kau tidak jujur. Kau tidak memenuhi persetujuan itu sebulat hatimu. Kini dalam keadaan yang paling sulit yang dialami Sidanti, kau akan ingkar. Bukankah itu sikap pengecut?”
Wajah Argapati menjadi merah. Dalam cahaya lampu minyak yang kemerah-merahan, wajah itu seakan-akan membara. Dengan suara bergetar ia berkata,
“Jangan kau sebut-sebut lagi, Ki Tambak Wedi. Aku sudah mencoba melupakan semuanya yang telah terjadi. Aku menganggap tidak pernah ada persoalan di antara kita.”
Wajah Ki Tambak Wedi menjadi semakin tegang. Ditatapnya mata Argapati seolah-olah ingin melihat langsung ke dalam kepalanya. Tetapi kini Argapati tidak menundukkan kepalanya. Matanya yang tajam memancar seperti mata seekor harimau di dalam gelap. Kumis kebiru-biruan.
“Setan,” Ki Tambak Wedi mengumpat di dalam hatinya.
Meskipun matanya sendiri setajam mata burung hantu, tetapi ia terpaksa berpaling. Tetapi ia tidak mau menunjukkan kekecilan hatinya. Maka katanya,
“Kau benar-benar licik Argapati.”
“Aku tidak bermaksud tidak baik,” sahut Argapati.
“Aku bermaksud untuk menempatkan persoalannya di tempat yang sewajarnya. Aku tidak ingin mengajari Sidanti mengambil keputusan yang tergesa-gesa dalam menanggapi persoalan-persoalan yang penting, supaya ia tidak terperosok ke dalam kesalahan yang berbahaya.”
“Ah,” potong Ki Tambak Wedi,
“kau dapat saja menyusun seribu macam alasan.”
“Ki Tambak Wedi,” berkata Argapati kemudian,
“aku adalah Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Aku bukan sekedar Argapati seorang diri, atau setidak-tidaknya bersama Sidanti. Tetapi setiap keputusan yang aku ambil, adalah keputusan yang mengikat seluruh tanah perdikan ini.”
“Aku sudah tahu. Itulah yang aku kehendaki. Seluruh tanah ini bangkit dari tidur yang terlampau nyenyak. Hari depanmu dan hari depan tanah ini akan bertambah baik.”
“Atau sebaliknya.”
“Kau memang pengecut.”
“Tidak,” tiba-tiba suara Argapati menjadi keras,
“aku tidak akan melakukannya tanpa menilai semua persoalan sebaik-baiknya. Aku harus tahu benar, apakah yang sedang aku hadapi. Tidak membabi buta.”
“Katakan, tegasnya kau tidak percaya kepadaku.”
“Ki Tambak Wedi, jangan memaksa aku berkata demikian.”
“Kenapa kau takut berkata demikian. Katakanlah. Kau tidak percaya kepadaku.”
Argapati terdiam. Mulutnya terkatup rapat-rapat.
“Putuskan sekarang. Kau mau menggerakkan pasukanmu untuk memukul Sangkal Putung, dan kemudian Pajang, untuk menangkap atau membunuh sama sekali Widura dan Untara, kemudian merampas Sekar Mirah untuk anakmu, dan yang terakhir membunuh Adiwijaya atau tidak.”

Sebuah gelora yang dahsyat melanda dada Argapati. Kini ia di desak ke dalam pilihan yang pahit. Tetapi sikap Ki Tambak Wedi benar-benar tidak menyenangkannya, sehingga pertimbangannya menjadi kabur. Ia di desak oleh harga diri, sebagai seorang ayah dan sebagai seorang Kepala Tanah Perdikan. Ia adalah Kepala Tanah Perdikan Menoreh, dan ia adalah ayah Sidanti. Karena itu, maka ia Argapati-lah yang berhak menentukan segala keputusan atas pertimbangannya.
Maka setelah terdiam sejenak, terdengarlah jawabnya dan tegas,
“Tidak. Aku tidak akan tergesa-gesa mengambil keputusan.”
Terdengar gigi Ki Tambak Wedi gemeretak. Ia sudah tidak melihat lagi kemungkinan untuk dapat membujuk Argapati. Ia kenal tabiat Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu. Karena itu, maka harga dirinya  pun segera merentul ke permukaan wajahnya. Dengan kepala tengadah ia berkata,
“Baik. Baiklah, Argapati. Kalau kau ingkar akan kewajibannu, biarlah aku akan berusaha melepaskan Sidanti dari himpitan perasaan yang akan membunuhnya perlahan-lahan.”
“Aku tidak akan ingkar. Tetapi aku akan berbuat menurut pertimbanganku.”
“Tidak perlu. Kau tidak perlu berbuat apa-apa. Akulah yang akan berbuat sesuatu.”
Wajah Argapati menjadi berkerut-merut, “Maksudmu?”
“Selama ini Sidanti ada padaku. Ada dalam asuhanku. Akulah yang paling mengetahui apa yang terjadi atasnya dan apakah yang dirasakannya. Sidanti harus mendapat pelepasan. Akulah yang akan melakukannya. Ia tidak perlu berada di rumah ini.”
“Ki Tambak Wedi, apakah kau sudah gila. Biarlah Sidanti di sini. Aku adalah ayahnya. Akulah yang berhak menentukan sikap atasnya dan memberikan petunjuk kepadanya menurut seleraku.”
“Tidak. Akulah yang berhak atasnya. Ia akan aku bawa pergi. Pergi dari tempat pengecut ini.”
“Tidak. Sudah aku katakan. Biarlah aku mengurusnya dan menentukan keputusan.”
“Kau tidak punya hak apa-apa, Argapati. Kau kini sudah tidak lebih dari seorang tua yang sudah mati di dalam hidupmu. Kau sudah tidak mempunyai cita-cita lagi, sudah tidak mempunyai gairah perjuangan, tidak mempunyai harapan yang lebih baik di hari mendatang, meskipun untuk kepentingan anakmu. Tidak, kau sudah mati. Bagaimana Sidanti akan dapat berkembang di tangan orang mati.”
“Tambak Wedi.”
Tetapi Ki Tambak Wedi sudah tidak mempedulikannya. Dengan suara yang dalam, yang seolah-olah bergulung saja di dalam perutnya ia berkata,
“Aku akan pergi. Sidanti akan aku bawa. Ia sudah cukup dewasa. Aku tidak perlu lagi menipunya dengan segala macam ceritera cengeng itu.”
“Tambak Wedi. Kau benar-benar sudah gila.”
Ki Tambak Wedi tidak menjawab. Tetapi ia kemudian melangkah meninggalkan Argapati.

Akhirnya Argapati  pun berdiri pula. Diikutinya Ki Tambak Wedi keluar dari pringgitan. Tetapi Argapati itu menjadi bimbang. Apakah yang sebaiknya dilakukan. Di halaman itu, dilihatnya beberapa orang duduk sambil berbicara di antara mereka. Ketika mereka melihat Ki Tambak Wedi keluar dengan tergesa-gesa, maka mereka  pun menjadi terkejut karenanya.
“Kau tinggal di sini, Tambak Wedi, aku masih akan berbicara,” berkata Argapati.
“Tidak ada yang dibicarakan, Argapati,” desis Ki Tambak Wedi. “Semua sudah jelas bagiku.”
Dada Argapati bergetar mendengar jawaban Ki Tambak Wedi itu. Terdengar ia berdesis lambat. Ditahankannya perasaannya sekuat-kuatnya. Di sekitarnya banyak orang-orang yang melihatnya. Sehingga karena itu ia harus menahan dirinya.
Seandainya, ya, seandainya hal itu terjadi beberapa puluh tahun yang lampau. Maka dengan serta merta Ki Tambak Wedi itu pasti akan diterkamnya. Argapati pasti tidak akan menunggu sekejap  pun lagi. Darahnya sudah cukup mendidih, dan hatinya sudah cukup membara. Tetapi kini ia berdiri sebagai seorang Kepala Tanah Perdikan. Ia berdiri di pendapa, yang di sekitarnya terdapat banyak orang dari tanah perdikannya.
“Apa kata mereka kalau aku tiba-tiba saja bertempur melawan Ki Tambak Wedi di rumah ini.”
Terdengar Argapati menggeram. Dan yang diucapkannya ketika Ki Tambak Wedi semakin jauh,
“Tambak Wedi. Apa  pun yang terjadi adalah persoalan kita, persoalan orang tua-tua. Jangan kau siksa anak-anak itu dengan ceriteramu yang bodoh.”
Ki Tambak Wedi yang sudah hampir sampai di gandok, terhenti sejenak. Ia memutar tubuhnya dan menghadap kepada Ki Gede Menoreh,
“Itu urusanku, Argapati. Kalau kau tidak senang terserah kepadamu.”
“Bukan soalku, senang atau tidak senang. Tetapi justru untuk kepentingan anak itu sendiri.”
“Anak itu sudah cukup dewasa. Aku harus mengajarinya melihat kenyataan.”
“Tetapi kenyataan-kenyataan yang gila itu tidak perlu kau ungkapkan supaya anak itu tidak menjadi gila seperti kau.”
“Itu bukan urusanmu.”
Betapa Argapati mencoba menahan diri, tetapi terdengar juga giginya gemeretak. Diusapnya dadanya dengan tangannya, seakan-akan menahan dada itu supaya tidak meledak. Beberapa orang yang berada di halaman rumah itu menjadi terheran-heran. Apakah sebenarnya yang sudah terjadi? Mereka saling berpandangan dan saling bertanya lewat sorot mata mereka. Tetapi tidak seorang  pun yang berani mengucapkan pertanyaan yang menggelegak di dalam dada mereka. Ki Tambak Wedi kemudian dengan tergesa-gesa masuk ke dalam gandok. Di muka pintu hampir saja ia membentur Sidanti dan Argajaya yang ingin meloncat keluar, karena mereka mendengar suara Ki Tambak Wedi yang keras dan suara Argapati di pendapa.
“Apa yang terjadi Guru?” bertanya Sidanti dengan serta merta, “Apakah terjadi salah paham itu?”
Ki Tambak Wedi melihat kecemasan membayang di wajah Sidanti dan Argajaya. Sekali ia menarik nafas dalam-dalam, lalu katanya, “Ya. Argapati benar-benar telah menjadi gila.”
“Oh, lalu?” Sidanti menjadi semakin cemas.
“Kita pergi dari rumah terkutuk ini.”
Sidanti menjadi semakin bingung. Sejenak ia terbungkam. Tetapi sorot matanya memancarkan gejolak di dalam dadanya.
“Kita pergi Sidanti. Kita tidak akan tinggal di sini terlampau lama. Ternyata Argapati sekarang adalah seorang pengecut besar yang tidak berani berbuat apa  pun di luar halaman rumahnya sendiri.”
“Guru,” potong Sidanti. Bagaimana  pun juga, Argapati adalah ayahnya, sehingga kata-kata itu terasa menyentuh perasaannya.
“Jangan kau hiraukan Argapati. Marilah kita pergi.”
“Tetapi,” Sidanti tergagap, “rumah ini adalah rumah ayahku.”
“Ki Tambak Wedi,” berkata Argajaya, “apakah yang dapat kita lakukan tanpa Kakang Argapati?”
“Persetan dengan Argapati,” sahut Ki Tambak Wedi, kemudian suaranya merendah,
“Angger Argajaya. Kau sudah terlanjur terlibat dalam persoalan Sidanti. Kau tidak akan dapat menghindar lagi. Siapa  pun orangnya yang bernama Argapati itu, tetapi sudah menjadi kewajiban kita untuk menghindarkan diri dari penangkapan orang-orang Pajang, yang justru akan mungkin dilakukan oleh Argapati sendiri. Ternyata setan itu merasa dirinya lebih berkepentingan dari orang-orang Pajang sendiri. Ia merasa dirinya berkepentingan untuk mendapatkan pujian. Seandainya Sidanti bukan anaknya, Argajaya bukan adiknya, dan aku bukan guru anaknya, maka aku kira kita sudah tidak akan dapat keluar lagi dari halaman ini.”

Terasa dada Sidanti bergetar. Wajahnya menjadi merah dan giginya gemeretak. Terdengar suaranya parau,\
“Lalu, apakah yang akan dilakukan oleh Ayah?”
“Ia tidak mau tersangkut dalam persoalan kita dengan orang-orang Pajang. Ayahmu menjadi ketakutan, sehingga kita tidak mendapat perlindungan apa  pun di sini. Karena itu, marilah kita pergi. Ada sesuatu yang penting yang wajib kau ketahui Sidanti. Tetapi aku tidak sempat mengatakannya sekarang.”
Sidanti masih mematung. Ia tidak segera dapat menyesuaikan dirinya dengan keadaan yang dihadapinya. Terasa sesuatu yang sangat membingungkannya berkecamuk di dalam benaknya.
“Angger Argajaya,” berkata Ki Tambak Wedi,
“kau sudah tidak dapat menghindar lagi dari setiap pertanggungan jawab dengan orang-orang Pajang, seperti kata kakakmu sendiri. Karena itu, marilah kita berusaha menyelamatkan diri kita sendiri tanpa mempercayakannya kepada orang lain. Sebenarnya aku dapat berbuat apa saja untuk kepentinganku sendiri, tetapi aku tidak sampai hati meninggalkan Sidanti dan kau. Karena itu, apakah kau tidak berkeberatan, apabila malam ini aku dan Sidanti bermalam di rumahmu, sementara itu kita dapat menyusun rencana yang baik untuk melakukan sesuatu.”
Keduanya masih terdiam. Mereka didorong ke dalam suatu persoalan yang tidak terduga-duga sama sekali sebelumnya. Karena itu, maka mereka menjadi bingung, ragu-ragu dan cemas.
“Kita harus segera memutuskan,” berkata Ki Tambak Wedi,
“sebelum pintu regol itu ditutup dan Argapati membunyikan tanda bahaya untuk menangkap kita.”
Sidanti dan Argajaya benar-benar kehilangan kesempatan untuk membuat pertimbangan-perimbangan. Mereka di hadapkan pada keadaan yang buram, tanpa mendapatkan penjelasan-penjelasan. Dan mereka mendengar suara Ki Tambak Wedi selanjutnya,
“Kalau kalian masih kurang jelas mengenai masalah yang kalian hadapi, nanti aku akan menjelaskannya. Tetapi kita sekarang benar-benar harus segera memutuskan dan keluar dari halaman ini.”
Ki Tambak Wedi masih melihat Sidanti akan bertanya kepadanya. Tetapi ia mendahuluinya,
“Jangan bertanya sesuatu. Bawa senjata-senjata kita. Kita akan kehilangan waktu. Marilah kita keluar dahulu sebelum kita menyesal. Ayahmu lebih cinta kepada kedudukannya daripada kepada anaknya.”
Sidanti dan Argajaya benar-benar tidak mendapat kesempatan. Mereka melihat Ki Tambak Wedi itu keluar dari gandok dan berkata pula,
“Cepatlah Sidanti dan Angger Argajaya.”
Sidanti seakan-akan telah kehilangan kesadarannya. Kakinya melangkah saja di belakang gurunya. Orang yang selama ini dianggapnya orang yang paling dekat daripadanya. Meskipun ayahnya adalah Argapati, tetapi mereka seakan-akan tidak pernah bertemu, tidak pernah berbincang dan berbicara tentang berbagai hal. Itu sebabnya, maka meskipun dengan hati yang kosong, ia mengikuti juga langkah Ki Tambak Wedi. Di halaman mereka melihat beberapa orang Menoreh berdiri terheran-heran melihat keadaan yang tidak mereka mengerti sama sekali. Tetapi tidak seorang  pun dari mereka yang berani bertanya. Baik kepada Ki Tambak Wedi, maupun kepada Sidanti, atau Argajaya. Dada Sidanti berdesir, ketika ia melihat Argapati berdiri di pendapa. Sejenak ia menjadi ragu-ragu. Hampir-hampir ia berteriak untuk melepaskan pepat di dadanya, atau berteriak minta penjelasan. Namun yang didengarnya adalah suara ayahnya,
“Ki Tambak Wedi. Ingat, aku tidak menghendaki keadaan ini.”
“Maaf Argapati. Kami tidak ingin menjadi korban ketakutanmu kepada Adiwijaya. Kami tetap dalam pendirian kami, bahwa Pajang harus dilawan.”
“Terserah kepadamu, Tambak Wedi. Tetapi kepergianmu membawa Sidanti dan Argajaya sama sekali tidak aku inginkan.”
“Kami tidak mau membiarkan diri kami diterkam oleh pengkhianatan.”
“Tambak Wedi.”
“Jangan cegah kami.”

Darah Argapati serasa mendidih di dalam dadanya. Tetapi ia masih tetap menyadari kedudukannya. Kalau ia kehilangan akal, maka orang-orang Menoreh akan melihat, bahwa Ki Tambak Wedi dengan beraninya telah melawan perintahnya. Tentu hal itu tidak baik baginya dilihat oleh orang-orangnya. Apalagi kalau ia harus bertempur melawan orang itu di halaman. Meskipun demikian, ia tidak dapat menahan diri untuk berkata,
“Kau telah memperbaharui persoalan kita, Tambak Wedi.”
Ternyata Ki Tambak Wedi  pun tidak dapat mengendalikan kemarahannya lagi. Ketika tanpa disadarinya ia menengadahkan kepalanya, dan dilihatnya seleret bulan yang masih terlampau muda hinggap di kehitaman langit, maka dadanya serasa hendak meledak.
Dengan suara yang gemetar ia berkata,
“Terserah kepadamu, Argapati. Tetapi sebaiknya kita menyelesaikan persoalan ini seperti yang pernah kita lakukan. Marilah kita peringati pertemuan kita di bawah Pucang Kembar.”
Mendengar nama Pucang Kembar, maka hati Argapati hampir menjadi gelap disaput oleh perasaannya yang sedang membara. Tetapi orang-orang Menoreh yang berdiri termangu-mangu di halaman telah mencegahnya untuk berbuat langsung pada saat itu. Namun sebagai seorang yang keras hati, Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh itu menjawab,
“Baik, Tambak Wedi. Aku akan menunggu bulan purnama naik. Bukankah saat-saat yang demikian, di bawah Pucang Kembar beberapa puluh tahun yang lalu kita pernah membuat suatu perjanjian? Nah, aku bersedia memperingatinya. Nanti pada saat purnama penuh.”
“Bagus,” teriak Ki Tambak Wedi,
“aku menunggumu. Sementara ini, aku akan dapat memberikan penjelasan kepada Sidanti tentang semua persoalan.”
“Kau akan membuatnya gila seperti kau?”
“Itu urusanku.”
“Kau sudah kehilangan akal,” Argapati berhenti sejenak.
Terasa tubuhnya gemetar seperti sedang kedinginan. Namun masih terdengar suaranya parau, “Argajaya. Jangan ikut.”
Argajaya menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi ia mendengar Tambak Wedi berkata,
“Ia telah terlibat pula dalam persoalan Sidanti dan Pajang. Kalau ia tidak pergi bersamaku, maka ia akan menjadi korbanmu. Korban kelicikanmu. Untuk mendapatkan pujian dan mungkin hadiah seperti yang akan diterima oleh Pemanahan dan Penjawi untuk memperluas tanah perdikanmu, kau akan sampai hati mengorbankan kami, anakmu, adikmu, dan aku yang kau katakan sahabatmu.”
“Kau jangan mengigau, Tambak Wedi. Jangan membuat aku kehilangan akal pula. Kalau kau mau pergi, pergilah. Kita sudah menentukan waktu itu.”
“Baik. Pada saat purnama penuh naik. Aku menunggumu di bawah Pucang Kembar.”
Ki Tambak Wedi tidak menunggu Argapati menyahut. Segera ia melangkah pergi diikuti oleh Sidanti dan Argajaya. Semua mata yang berada di sekitar halaman itu mengikuti mereka dengan debar jantung yang menghentak-hentak dada. Tetapi mereka masih saja tidak berani mengucapkan sepatah pertanyaan pun. Bahkan tubuh mereka ikut menggigil tanpa diketahui sebab-sebabnya. Ketika ketiga orang yang telah menggetarkan dada setiap orang di halaman itu hilang di balik regol halaman, Ki Gede Menoreh menekan dadanya. Sekali ia menarik nafas dalam-dalam. Ternyata ia telah terlibat ke dalam persoalan yang sama sekali tidak diingininya.

Di luar regol halaman, Ki Tambak Wedi kemudian berjalan dengan tergesa-gesa diikuti oleh Sidanti dan Argajaya. Namun sekali lagi Sidanti dihambat oleh kebimbangan dan keragu-raguan. Kalau ia pergi mengikuti gurunya, ia harus meninggalkan ayahnya, tetapi kalau ia tinggal, maka ia akan terpisah dari gurunya yang selama ini mengasuhnya. Sejak ia meningkat menjelang dewasa, ia sudah tidak berada bersama ayahnya. Ia telah berada di padepokan Tambak Wedi bersama gurunya. Keragu-raguan itu benar-benar telah mengoyak hatinya. Ia benar-benar ingin berteriak sekuat-kuat tenaganya, supaya dadanya tidak menjadi pecah karenanya. Tetapi ia masih tetap sadar, bahwa apabila ia melakukannya, maka ia akan menyesal. Mungkin gurunya akan marah kepadanya atau orang-orang Menoreh terbangun dari tidurnya dan berlari-lari mencari arah suaranya. Ketika teringat olehnya kata-kata gurunya dalam perdebatannya dengan ayahnya, maka debar di dada Sidanti menjadi semakin keras. Ia tidak dapat mengerti, kenapa ayahnya tidak membantunya, melepaskannya dari kecemasan terhadap orang-orang Pajang, apalagi membalas sakit hatinya dengan menghancurkan Sangkal Putung dan Jati Anom, lebih-lebih lagi Pajang. Tetapi justru ayahnya telah mengingkari kewajibannya sebagai seorang ayah, bahkan akan menangkapnya dan menyerahkannya kepada Pajang.
Terngiang di telinganya kata-kata gurunya,
“Ayahmu lebih cinta kepada kedudukannya daripada kepada anaknya.”
Terdengar Sidanti menggeram. Namun kemudian timbul pula keragu-raguannya.
“Apakah benar ayah akan berbuat demikian?”
“Baiklah,” berkata Sidanti kemudian di dalam hatinya.
“Biarlah kali ini aku menghindar dulu. Besok atau lusa aku akan dapat minta penjelasan kepada ayah, apabila ada kesempatan. Mungkin aku perlu menghubungi ayah di luar pengetahuan guru, yang agaknya memang sudah mempunyai benih-benih yang kurang baik di antara mereka. Sejak kami berangkat dari Sangkal Putung, guru sudah tampak ragu-ragu dan bimbang. Ternyata yang terjadi benar-benar tidak menyenangkan.”
Sedang Argajaya  pun tidak kalah bingungnya. Ia berjalan seperti di dalam mimpi saja. Tanpa kesadaran. Meskipun demikian, ia tidak dapat menahan hati lagi dan bertanya,
“Apakah yang sebenarnya telah terjadi, Ki Tambak Wedi. Aku tidak mengerti ujung dan pangkal pembicaraan. Apalagi agaknya Kiai telah terlibat dalam persoalan yang tampaknya bersungguh-sungguh dengan Kakang Argapati.”
Ki Tambak Wedi menggeram. Katanya dengan suara gemetar,
“Aku memang sudah meragukannya sejak semula, Ngger, bahwa kakakmu akan tidak berani bertindak untuk nama keluarganya. Ternyata hal itu benar-benar terjadi, meskipun aku sudah berusaha untuk membakar hatinya. Aku sudah mengatakan persoalan Sidanti dengan hati-hati, bahkan dengan memburunya. Aku mengatakan kepadanya, bahwa Widura dan Untara menaruh dengki dan iri kepada Sidanti, apalagi kemudian menyangkut persoalan Sekar Mirah yang berhubungan pula dengan Agung Sedayu, adik Untara. Tetapi agaknya Argapati sama sekali tidak berani berbuat apa pun. Bahkan ia mengancam akan menghukum Sidanti, apabila ia bersalah. Argapati akan pergi ke Pajang dan menghubungi Ki Gede Pemanahan yang pasti sudah mendapat laporan dari Untara.”
“Ah,” tiba-tiba Argajaya memotong, “apakah benar begitu?”
“Bertanyalah kepada Argapati sendiri. Tapi kalau kau masuk ke halaman rumah itu, maka kau tidak akan dapat keluar lagi.”
Argajaya mengerutkan keningnya. Kakinya masih saja melangkah dengan tergesa-gesa mengikuti langkah Ki Tambak Wedi.
“Tetapi Kakang bukan seorang pengecut,” berkata Argajaya.
“Aku tahu,” sahut Ki Tambak Wedi, “Argapati bukan penakut. Tetapi ia termasuk seorang yang gila akan kedudukan. Pahamilah hal ini.” Ki Tambak Wedi berhenti sejenak. Lalu,
“Tetapi ada hal yang lebih penting lagi yang dapat aku katakan. Nanti setelah kita berada di rumah Angger Argajaya.”

Argajaya tidak menyahut lagi. Seperti Sidanti ia ingin mendengar dahulu semua persoalannya. Kemudian ia akan dapat mengambil kesimpulan. Kalau perlu, seperti juga yang tersirat di angan-angan Sidanti, ia akan dapat menemui Argapati untuk mendengar penjelasannya. Sementara itu, Argapati masih saja berdiri membeku di pendapa rumahnya. Terasa dadanya menjadi penat. Bahkan di dalam hatinya ia mengeluh,
“Mimpi apakah aku semalam? Tiba-tiba aku di hadapkan pada persoalan ini. Persoalan yang sudah lama aku kuburkan dalam-dalam. Persoalan. yang sudah aku lupakan.” Sekali lagi Argapati menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya orang-orang yang berdiri kebingungan di halaman. Ia merasa perlu untuk memberi ketenteraman kepada mereka. Karena itu maka katanya,
“Jangan bingung. Tidak ada apa-apa. Kami memang berselisih paham. Tetapi aku tahu, bahwa persoalan ini akan dapat kita selesaikan dengan baik. Kami masing-masing ingin berbuat untuk kebaikan Sidanti dan tanah ini. Hanya cara kami yang berbeda. Itulah sebabnya, kami akan membicarakan di lain kali. Kami mengharap seseorang dapat menengahi pembicaraan kami. Sekarang pulanglah dan beristirahatlah. Jangan kalian kembangkan persoalan ini seolah-olah sebuah persoalan yang besar.”
Orang-orang di halaman itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi mereka tidak meyakini kata-kata Ki Gede Menoreh. Meskipun demikian, mereka sama sekali tidak bertanya apa pun. Satu-satu mereka meninggalkan regol itu dengan hati yang gelisah, cemas dan kecewa. Mereka hanya melihat Sidanti lewat dan hilang di dalam kegelapan.
Sejenak kemudian, halaman rumah Argapati menjadi sepi. Dua orang peronda berdiri di regol halaman dengan wajah yang tegang dan hati yang bimbang. Tetapi mereka  pun tidak bertanya sesuatu. Argapati masih saja berdiri di pendapa rumahnya. Sebenarnya ia adalah seorang yang keras hati. Kalau saja ia tidak menyadari kedudukannya yang pasti akan dilihat oleh setiap orang di Tanah Perdikan Menoreh, maka ia pasti tidak akan sabar lagi menunggu purnama naik.
“Sekarang. Kita selesaikan sekarang.”
Argapati terperanjat ketika ia mendengar suara lirih di belakangnya,
“Ayah, apakah yang telah terjadi?”
Ketika Argapati berpaling, dilihatnya Pandan Wangi berdiri di belakangnya. Dalam taburan sinar pelita yang remang-remang. Argapati melihat kecemasan membayang di wajah anaknya itu. Anak gadisnya. Tiba-tiba terasa getaran melanda jantungnya. Sejenak Argapati terbungkam. Ditatapnya saja wajah puterinya itu tanpa berkedip.
Karena ayahnya tidak menjawab, maka diulanginya pertanyannya,
“Ayah, apakah yang terjadi?”
Argapati menarik nafas dalam-dalam. Ia masih belum menjawab. Tetapi Pandan Wangi merasa aneh, ketika kemudian tanpa mengucapkan sepatah katapun, ayahnya membimbingnya masuk ke dalam pringgitan. Pandan Wangi tidak bertanya lagi. Ia berjalan saja di samping ayahnya. Namun terasa hatinya menjadi berdebar-debar dan darahnya menjadi semakin cepat mengalir. Seribu macam pertanyaan bergelut di dadanya.
“Apakah yang sebenarnya sudah terjadi?”

Pandan Wangi melihat ayahnya menutup pintu pringgitan itu perlahan-lahan. Kemudian Pandan Wangi itu dibawanya duduk di atas tikar. Namun untuk sejenak Argapati masih saja berdiam diri. Kadang wajahnya ditundukkannya. Tetapi kadang-kadang ditengadahkannya.
“Wangi,” terdengar kemudian suaranya perlahan-lahan sekali,
“tolong, ambilkan ayah minum.”
Pandan Wangi memandang wajah ayahnya dengan penuh keheranan. Tetapi ia tidak juga bertanya. Perlahan-lahan ia berdiri dan berjalan ke belakang untuk mengambil minum. Tetapi tiba-tiba saja terasa ruang di belakang itu terlampau sunyi. Meskipun ia melihat beberapa orang pembantunya duduk sambil terkantuk-kantuk, tetapi hatinya terasa terlampau sepi. Diedarkannya pandangan matanya berkeliling. Terasa sesuatu yang tidak diketemukannya. Ada yang hilang dari ruang itu. Dada Pandan Wangi terasa menjadi sesak. Ketika ia sadar apa yang sedang dicarinya, tanpa diketahuinya, setitik air menetes di ujung jari kakinya. Pada saat-saat yang demikian, apabila ia tidak mengerti apa yang telah terjadi dengan ayahnya, ia selalu lari kepada ibunya. Ibunya yang sering duduk di ruang dalam. Kepada ibunya ia selalu bertanya,
“Ibu, kenapa dengan Ayah?”
Dan ibunya selalu menjawab,
“Tidak apa-apa, Wangi. Ayahmu tidak apa-apa.”
“Apakah ayah marah kepadaku, Ibu?”
Ibunya menggeleng sambil tersenyum,
“Tidak, Wangi. Bukankah ayah tidak pernah marah kepadamu?”
Terasa setitik air jatuh lagi di atas ujung jari kakinya. Kesepian telah mencengkam dadanya. Dan disadarinya kekurangan yang tidak akan lagi dapat diketemukan. Ibunya itu telah tidak ada lagi. Ibunya telah pergi meninggalkannya, untuk selama-lamanya. Dan kini dilihatnya ayahnya menjadi muram. Kini ia tidak dapat mengetahui, kenapa ayahnya berselisih dengan tamunya. Tetapi ia tidak dapat bertanya kepada siapa pun. Yang ada di dalam ruangan itu hanyalah beberapa orang pelayan.
Pandan Wangi terkejut, ketika ia mendengar seseorang bertanya kepadanya,
“Apakah yang kau perlukan?”
Pandan Wangi tergagap, jawabnya, “Minum. Ayah ingin minum.”
Pelayannya itu segera menyediakan minum. Semangkuk air jahe hangat, beberapa potong gula kelapa dan beberapa potong makanan.
“Apakah Ki Argapati tidak menjamu tamu-tamunya sekarang? Kami menunggu perintah itu. Bukankah hari telah cukup malam, bahkan terlalu malam?” bertanya pelayan itu.
Pandan Wangi menggelengkan kepalanya,
“Tidak,” jawabnya, “tamunya telah pergi.”
“Pergi?” pelayan itu menjadi terheran-heran.
“Kenapa?” yang lain bertanya.
Sekali lagi Pandan Wangi menggelengkan kepalanya. Sekali lagi terasa dadanya berdesir. Ia  pun menyimpan pertanyaan itu. Bukan sekedar pertanyaan, tetapi kecemasan. Para pelayan itu melihat wajah Pandan Wangi yang suram. Bahkan mereka melihat mata gadis itu menjadi basah. Namun justru itu, mereka tidak bertanya lagi.

Sepeninggal Pandan Wangi, Argapati duduk seorang diri di pringgitan. Hatinya terasa terlampau sakit mengalami peristiwa itu. Peristiwa yang tidak berdiri sendiri. Yang tidak terjadi pada saat itu saja dengan tiba-tiba. Tetapi peristiwa ini adalah peristiwa yang menjelujur dari masa-masa yang silam.
“Tetapi Pandan Wangi sudah cukup dewasa,” katanya di dalam hati,
“ia harus tahu apa yang sedang dihadapi oleh ayahnya.”
Namun Argapati masih tetap ragu-ragu.
“Hem,” ia menarik nafas dalam-dalam,
“Ki Tambak Wedi yang kehilangan padepokannya itu, benar-benar telah menjadi gila. Ia sudah tidak dapat berpikir bening lagi. Agaknya ia akan menyeret Sidanti ke dalam kegilaan itu, bersama Argajaya pula.”
Argapati itu berdesis perlahan-lahan. Ia di hadapkan pada suatu persoalan yang sangat pahit.
“Apakah Ki Tambak Wedi itu benar-benar melakukan seperti yang dikatakannya?” pertanyaan itu selalu membayang di dalam hatinya.
“Apabila demikian, aku harus menjelaskannya pula kepada Pandan Wangi, supaya ia tidak terkejut sekali, apabila pada saatnya ia mendengar. Daripada ia mendengar dari orang lain, maka sebaiknya ia mendengar dari mulutku sendiri.”
Sekali lagi Argapati menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali,
“Kasihan anak yang sudah tidak beribu ini. Kasihan Sidanti yang terseret arus kegilaan gurunya.”
Kepala Argapati itu  pun kemudian tertunduk,
“Apakah kedua kakak beradik itu harus berpisah?” pertanyaan itu benar-benar telah melukai jantungnya.
Hati orang tua itu menjadi berdebar-debar, ketika ia melihat Pandan Wangi datang kepadanya sambil menjinjing minuman. Apalagi ketika ia melihat wajah puterinya yang pucat itu. Argapati dapat meraba, bahwa Pandan Wangi menjadi gelisah dan cemas. Kalau puterinya itu tidak mendapat penjelasan, maka bayangan-bayangan yang dibuatnya sendiri, pasti akan membuatnya tidak dapat tidur semalam. Dan bayangan-bayangan yang demikian akan dapat berkembang tanpa batas.
“Aku harus berterus terang kepadanya,” katanya di dalam hati,
“supaya aku tidak menjerumuskannya ke dalam suatu keadaan yang kelak akan menggoncangkan perasaannya. Kini selagi aku masih ada. Selagi aku masih hidup. Aku dapat menenteramkan hatinya, apabila ia tergetar oleh desakan perasaannya.”
Tetapi keragu-raguan menjalari hatinya, ketika ia melihat Pandan Wangi telah duduk bersimpuh di hadapannya sambil menyodorkan semangkuk air jahe dan beberapa potong gula kelapa.
“Terima kasih, Pandan Wangi,” desis ayahnya.
Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi terasa betapa berat suara ayahnya, seolah-olah dibebani oleh perasaan yang hampir tidak tertanggungkan. Tetapi Pandan Wangi tidak berani bertanya. Ia duduk saja sambil menundukkan kepalanya. Namun sekali lagi dadanya disesakkan oleh kenangannya tentang ibunya yang sudah meninggal. Dalam saat-saat begini, Pandan Wangi selalu melihat ibunya berbincang dengan ayahnya. Ibunya selalu berusaha untuk menenteramkan hati ayahnya apabila ia sedang dipeningkan oleh persoalan-persoalan yang sangat berat. Tetapi kini, Argapati itu terpaksa membawa beban yang agaknya terlampau berat seorang diri. Ia belum pernah melihat wajah ayahnya semuram wajahnya kini.
“Tetapi aku harus mengatakan,” Argapati berkata di dalam hatinya,
“aku harus mempunyai keberanian untuk mengatakannya. Kalau aku tidak berani berterus terang kepada Pandan Wangi, sedang Ki Tambak Wedi mengatakannya kepada Sidanti, apa pun maksudnya, maka apabila pada suatu saat kedua kakak beradik ini bertemu, maka akan sangat terguncanglah perasaan Pandan Wangi, apabila Sidanti tidak dapat mengendalikan dirinya seperti sikap gurunya.”

Argapati menarik nafas dalam-dalam. Ketika Pandan Wangi mendengar desah yang panjang meluncur dari hidung ayahnya, maka gadis itu mengangkat wajahnya. Tetapi wajah itu segera tertunduk kembali ketika matanya membentur pandangan mata ayahnya yang suram.
“Pandan Wangi,” terdengar suara Argapati perlahan-lahan, “kenapa kau menjadi gelisah?”
Pandan Wangi heran mendengar pertanyaan ayahnya. Dan Argapati sendiri heran mendengar pertanyaan yang tiba-tiba saja meloncat dari bibirnya untuk memecahkan kebekuan suasana. Sekali lagi Argapati menarik nafas. Katanya,
“Maksudku, apakah kau menjadi gelisah mendengar dan melihat persoalan yang baru saja terjadi?”
“Ya, Ayah,” jawab Pandan Wangi, “aku menjadi gelisah dan cemas.”
“Apakah yang telah mencemaskan kau dalam persoalan itu? Apakah kau mendengar sesuatu yang pantas kau cemaskan?”
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Jawabnya,
“Pembicaraan Ayah dengan Ki Tambak Wedi tampaknya bersungguh-sungguh.”
Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Ya, Wangi. Agaknya Ki Tambak Wedi bersungguh-sungguh.”
“Kenapa ayah berselisih dengan Ki Tambak Wedi?” bertanya Pandan Wangi,
“dari ruang dalam aku mendengar ayah dan Ki Tambak Wedi berbicara tentang Kakang Sidanti.”
“Ya, Wangi.”
“Tetapi Ayah tidak sependapat dengan Ki Tambak Wedi.”
Argapati mengangguk, “Ya, Wangi, aku memang tidak sependapat dengan Ki Tambak Wedi.”


Halaman 1 2 3


<<< Jilid 030                                                                                                       Jilid 032 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar