Keragu-raguan yang dahsyat telah berkecamuk di dalam hati Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu. Berbagai pertimbangan dan perhitungan bersimpang-siur di dalam kepalanya. Namun bagaimanapun juga, ia masih belum berhasil mengusir kebimbangannya. Masih ada sepercik anggapan, bahwa yang terjadi adalah semata-mata sebuah salah paham.
Seandainya
Untara dan Widura keblinger karena mereka melihat persoalannya itu dari sudut
kepentingan mereka, dan kepentingan anak muda yang bernama Agung Sedayu, adik
Untara dan kemanakan Widura itu, maka apakah Ki Gede Pemanahan dapat juga
dengan mudahnya keblinger? Apakah Ki Gede Pemanahan dan Ki Tambak Wedi sama
sekali tidak dapat menemukan titik-titik persamaan sikap untuk menyelesaikan
masalah itu? Apakah keduanya kini sudah menjadi pikun dan tidak mampu lagi
melihat jalan yang sebaik-baiknya mereka tempuh untuk menyelesaikan peristiwa
ini?
Angin malam
yang basah bertiup semakin kencang menyusup dari lubang pintu yang tidak
terlampau rapat ditutup. Sentuhan di wajah-wajah mereka telah membangunkan
mereka dari buaian angan-angan.
Argapati yang
kemudian mengangkat wajahnya berdesis,
“Ki Tambak
Wedi. Apakah dunia sekarang ini sudah demikian gelapnya, sehingga orang-orang
seperti Ki Gede Pemanahan, dan Ki Tambak Wedi sudah tidak dapat melihat lagi
jalan lain yang dapat ditempuh kecuali kekerasan? Aku tidak dapat mengerti,
bahwa untuk persoalan yang kecil itu, maka Menoreh harus di sudutkan ke dalam
suatu persiapan untuk menghadapi perang.”
Ki Tambak Wedi
menggeleng-gelengkan kepalanya. Jawabnya,
“Aku tidak
tahu, pertimbangan apakah yang telah mendorong Pemanahan untuk membenarkan
sikap Widura dan Untara. Mungkin Panglima itu telah dimakan fitnah, mungkin
pula karena nafsu berperang yang berkobar-kobar di dalam dadanya. Setelah
Jipang tidak mampu lagi membuat perlawanan yang berarti, maka Pemanahan dengan
sengaja telah membuat lawan baru, supaya ia tidak kehilangan kedudukannya
sebagai orang yang terpenting di Pajang. Apabila peperangan masih berkecamuk
terus, maka Panglima Wira Tamtama-lah yang seolah-olah memegang tampuk pimpinan
dalam pemerintahan. Patih Manca Negara hampir-hampir sudah tidak berarti lagi.
Kekuasaan Pajang di dalam masa perang, berada seluruhnya di tangan Pemanahan.
Sedang apabila perang berakhir, maka Patih Manca Negara pasti akan segera
tampil sebagai seorang ahli di dalam bidangnya.”
Keterangan itu
memang masuk akal. Tetapi adalah licik sekali apabila perhitungan Ki Tambak
Wedi itu benar. Sedang menurut pengenalannya atas Ki Gede Pemanahan, maka hal
itu tidak mungkin dilakukannya. Dalam kebimbangan itu, Argapati menarik nafas
dalam-dalam. Tanpa dikehendakinya sendiri, maka terpandanglah olehnya wajah Ki
Tambak Wedi yang berkerut merut. Wajah yang telah lama dikenalnya. Hidung yang
mirip dengan paruh burung betet, mata yang tajam seolah-olah memancarkan
perasaan yang aneh tidak teraba.
Tiba-tiba
terasa desir yang tajam tergores di dalam hati Argapati. Ia mengenal Ki Tambak
Wedi tidak hanya baru sehari dua hari yang lalu. Ia mengenal Tambak Wedi sejak
bertahun-tahun. Jauh lebih lama dari umur Sidanti itu sendiri. Karena itu, maka
ia telah banyak sekali mengenal watak dan tabiatnya. Maka keragu-raguan di
dalam hati Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu justru menjadi semakin tebal.
Pengenalannya atas Ki Tambak Wedi sama sekali tidak mendorongnya untuk
mempercayai keterangannya, tetapi justru sebaliknya.
Karena itu,
maka terdengar Ki Gede Menoreh itu bergumam,
“Ki Tambak
Wedi. Kalau demikian, maka aku harus segera bertindak. Aku harus mencegah
keadaan ini menjadi semakin berlarut-larut.”
“Ya, ya,”
sahut Ki Tambak Wedi.
“Kau memang
harus segera berbuat sesuatu, supaya kau tidak dilanda banjir sedang kau
tertidur di tengah-tengah sungai.”
Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia masih ingin mendengar keinginan Ki
Tambak Wedi selanjutnya. Maka katanya,
“Kalau
demikian, apakah yang pertama-tama harus aku lakukan?”
“Kau harus
menyiapkan dirimu, Argapati.”
“Aku tahu
maksudmu. Tetapi pertimbanganmu lebih jauh?”
Ki Tambak
Wedi pun menjadi ragu-ragu sejenak.
Tetapi kemudian dikatakannya juga, apa yang telah tergores di dalam dadanya,
“Argapati. Kau
akan dapat menguasai suatu daerah yang luas di sebelah Selatan.”
“Itu aku
tahu.”
“Kemudian kau
akan dapat memecah Pajang. Kau akan merebut seluruh kekuasaan yang kini berada
di tangan Karebet itu.”
“Tak ada orang
yang menerima aku di sana. Aku tidak akan mempunyai akar di dalam pemerintahan.
Apalagi daerah Pesisir Lor, Bang Wetan, dan Bang Kulon.”
“Kau keliru.
Sebagian dari mereka tidak lagi berpegangan pada tujuan hidup yang mendasari
pemerintahan mereka atas daerah-daerah itu. Asal mereka masih tetap berkuasa
dan dapat menyalah-gunakan kekuasaan mereka, maka mereka tidak akan berbuat
apa-apa.”
Argapati
mengerutkan alisnya. Agaknya Ki Tambak Wedi sudah membuat
pertimbangan-pertimbangan yang jauh. Orang tua itu agaknya telah
memperhitungkan setiap kemungkinan yang akan terjadi. Ki Tambak Wedi memang
mempunyai wawasan yang tajam. Perhitungannya tentang para Adipati itu memang
masuk akal. Ki Gede Menoreh pun telah
mendengar pula, bahwa ada di antara mereka, para Adipati sudah tidak berpijak
lagi pada kepentingan daerah mereka masing-masing. Para pemimpin pemerintahan
dan para Senapati yang bertugas di daerah-daerah pun agaknya telah dijalari oleh penyakit yang
serupa. Ada di antara mereka yang lebih senang melihat kepentingan sendiri
daripada kepentingan daerah dan tugas masing-masing.
“Hem,” gumam
Argapati di dalam hatinya,
“mengherankan
bagiku. Kenapa Ki Tambak Wedi sudah membuat perhitungan sedemikian jauh
sehingga ia yakin, bahwa setiap gerakan pasukan yang dapat memecah Pajang, akan
dapat menguasai seluruh daerahnya? Tetapi seandainya demikian, apakah yang
dapat aku lakukan?”
Dalam
kediamannya, Ki Gede Menoreh mendengar Ki Tambak Wedi berkata,
“Apakah kau
sependapat, Argapati?”
“Ki Tambak
Wedi,” jawab Argapati perlahan-lahan,
“seandainya
aku berhasil menguasai Pajang, lalu apakah gunanya bagiku? Para adipati hanya
mementingkan diri mereka sendiri. Mereka sama sekali tidak berarti apa-apa bagi
Pajang. Pajang tidak akan lebih dari sebuah nama yang kosong. Wilayahnya tidak
lebih dari kota Pajang itu sendiri.”
“Perlahan-lahan
Argapati. Perlahan-lahan, kau akan dapat menguasai mereka.”
“Tidak, Ki
Tambak Wedi,” tiba-tiba Argapati menggeleng,
“aku tidak
akan dapat menguasai mereka. Sebab pasti akan tumbuh orang lain yang
mendendamku dan melakukan perbuatan yang sama. Merebut Pajang. Kalau ia
mempunyai kekuatan yang lebih besar dari kekuatanku, maka peristiwa yang baru
saja terjadi akan terulang. Terulang dan terulang kembali. Mereka yang merasa
mempunyai kekuatan akan berbuat serupa. Para adipati dan senapati itu tidak
akan berbuat apa-apa selain mengakui setiap orang yang sedang menguasai sekedar
kota Pajang. Aku tidak ingin melihat hal yang serupa itu terjadi, Ki Tambak
Wedi. Tidak.”
Tampaklah
wajah Ki Tambak Wedi menjadi merah. Sebersit goncangan perasaan telah memanjat
sampai ke wajahnya. Jawaban Argapati telah menggetarkan jantungnya, sehingga
dengan serta merta ia berkata,
“Lalu apakah
yang akan kau lakukan? Menghadap Ki Gede Pemanahan, Panglima yang tamak itu
untuk minta belas kasihan?”
Terasa sesuatu
berdesir di dada Argapati. Meskipun ia tidak segera menjawab, tetapi pandangan
matanya menyorotkan perasaannya yang berguncang. Berbagai pertimbangan telah
bergolak di dalam dirinya. Pertimbangan masa lampau, pengenalannya atas Ki
Tambak Wedi, Sidanti, Menoreh, Pemanahan, dan semuanya. Terasa seolah-olah
dunia di sekitarnya berputar mengelilinginya dengan segala macam persoalan.
Tetapi yang paling parah menggores jantungnya adalah persoalannya sendiri.
Persoalan yang dihadapkan kepadanya oleh Ki Tambak Wedi. Dengan melontarkan
Sidanti sebagai pokok persoalan, ia di hadapkan pada pilihan yang pahit.
Argapati
menarik nafas dalam-dalam. Kemudian terdengar ia bergumam,
“Apa pun yang
kau katakan Ki Tambak Wedi, tetapi kau akan memilih jalan itu. Aku akan menemui
Ki Gede Pemanahan. Kalau aku tidak dapat memecahkan masalahnya, maka apa boleh
buat. Mungkin aku menerima pendapatmu. Mungkin aku akan memukul tanda perang
dengan tanganku sendiri. Aku lah yang akan berdiri sebagai senapati tertinggi,
yang akan berdiri menjadi paruh gelar pasukanku. Mudah-mudahan di dalam
peperangan itu pun, aku akan bertemu lagi dengan Ki Gede Pemanahan, atau
Adipati Pajang sendiri.”
Debar di dada
Ki Tambak Wedi menjadi semakin keras berdentangan memukul dinding jantungnya.
Dengan nada yang tinggi ia berkata,
“Kalau aku
Argapati, maka aku tidak akan mau merendahkan diri seperti itu. Tidak ada lagi
pembicaraan yang dapat menolong keadaan. Aku sudah bicara. Bicara sampai
bibirku hampir terlepas dari mulutku. Tetapi yang aku terima hanya penghinaan.
Penghinaan atas anakmu, Sidanti, dan aku, gurunya, juga kau, ayahnya.” Ki
Tambak Wedi berhenti sejenak, lalu, “He, apakah kau tidak memperhitungkan,
bahwa kedengkian itu tidak saja datang dari Widura dan Untara saja? Tetapi juga
dari Ki Gede Pemanahan sendiri? Bukankah kau pernah mendengar, bahwa Pemanahan
bertempur melawan Adipati Jipang bukan karena kesetiaannya kepada Pajang dan
kepada Karebet? Tidak. Sama sekali tidak. Anak Sela yang menurut ceritera mampu
menangkap petir itu, bertempur karena janji yang diterimanya. Ia akan mendapat
Tanah Mentaok yang kini masih berwujud hutan belukar. Ha, apakah kau
mempertimbangkannya pula, bahwa Menoreh akan dapat menjadi penghalang
berkembangnya hutan itu untuk menjadi tempat yang ramai? Argapati, dengarlah
kata-kataku. Semuanya terjadi karena pamrih. Kraton Pajang pun kini sudah menjadi ajang memperebutkan
pamrih pribadi. Adipati Adiwijaya, berusaha keras membunuh Arya Penangsang,
karena perempuan yang diperlihatkan kepadanya oleh Ratu Kalinyamat yang sedang
bertapa tanpa mengenakan pakaian sama sekali itu. Pemanahan dan Penjawi, karena
Tanah Mentaok dan Tanah Pati. Nah, apalagi? Apakah yang kau ganduli dengan
kesetiaanmu terhadap Pajang? Bukankah kau sampai saat ini belum menyatakan diri
dengan resmi, di mana kau berdiri sepeninggal Demak?”
Argapati tidak
segera menjawab. Tetapi darahnya serasa semakin cepat mengalir. Dalam pada itu,
perputaran waktu di dalam dadanya berjalan semakin cepat. Masa demi masa. Waktu
demi waktu, hilir mudik berurutan. Ketika ia sampai pada masa kini, maka ia di
hadapkan pada suatu pilihan yang sulit. Ia harus berbuat sesuatu untuk Sidanti.
Ya, untuk Sidanti. Menurut Ki Tambak Wedi, tidak ada jalan yang lebih baik dari
peperangan. Mempertaruhkan Tanah Perdikan Menoreh yang selama ini dibinanya.
Mengorbankan beratus-ratus bahkan beribu-ribu orang untuk Sidanti. Sidanti.
Nama itu semakin keras terngiang di telinganya. Namun semakin keras nama itu
mendengung, maka semakin deraslah arus darah di pembuluhnya. Dan tiba-tiba saja,
Argapati itu berkata lantang,
“Tidak.
Tidak.”
Kata-kata itu
telah benar-benar menghantam dada Ki Tambak Wedi seperti runtuhnya batu-batu di
atas bukit Menoreh menimpa dirinya. Sejenak ia mematung, namun sorot matanya
seolah-olah menyala memandang Ki Gede Menoreh yang kini menengadahkan dadanya. Sejenak
ketegangan di ruang itu menjadi semakin tajam. Dalam kediaman mereka, terasa
bahwa dada masing-masing telah dipepati oleh desakan perasaan yang seolah-olah
sudah tidak terbendung lagi. Di luar, angin malam yang sejuk berhembus
mengguncang dedaunan. Suara gemersik sentuhan ranting-ranting yang
berderak-derak, seakan-akan bisikan-bisikan yang mendebarkan jantung terdengar
dari alam lain. Semakin lama semakin keras. Sedang nyala pelita yang redup di
regol halaman dan di pendapa berguncang pula, menggeliat, seperti di hembus
hantu.
Beberapa orang
Menoreh telah duduk-duduk di regol halaman. Satu dua orang berada di tangga
pendapa. Mereka ingin bertemu dengan Sidanti dan Argajaya, yang menurut
pendengaran mereka, baru saja melakukan perjalanan yang panjang, jauh, dan
penuh dengan bermacam-macam pengalaman. Pengalaman-pengalaman yang aneh, yang
mencemaskan, yang mendebarkan tetapi juga yang mentertawakan. Dan mereka itu
ingin mendengarnya. Apalagi mereka, terutama anak-anak muda yang sebaya dengan
Sidanti, kawan bermain di masa kanak-kanak, setelah sekian lama tidak bertemu,
mereka ingin melihat, bagaimanakah keadaan anak muda itu kini. Anak muda
kebanggaan Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi kesempatan itu tidak kunjung datang.
Mereka melihat bahwa pintu masuk ke dalam pringgitan belum tertutup rapat.
Tetapi mereka tidak melihat bahwa di dalam pringgitan itu duduk beberapa orang
yang sedang bercakap-cakap, atau pintu pringgitan itu terbuka dan seseorang
mempersilahkan mereka masuk.
“Mungkin
Sidanti masih terlampau lelah,” desis seseorang yang duduk di atas tangga
pendapa.
“Mungkin.”
Tetapi mereka
terkejut, ketika mereka mendengar suara yang agak keras meloncat dari
pringgitan. Tetapi suara itu tidak begitu jelas bagi mereka. Sejenak mereka
saling berpandangan. Tetapi mereka tidak dapat menerka, apa yang telah terjadi.
Mereka tidak dapat menduga sama sekali, bahwa di pringgitan itu sedang
berlangsung suatu pembicaraan yang tegang. Dalam pada itu, Sidanti dan
Argajaya pun hampir-hampir tidak sabar
menunggu kedatangan Ki Tambak Wedi. Mereka hampir tidak sabar lagi duduk-duduk
dengan tegangnya di dalam bilik mereka. Bilik yang terasa terlampau panas dan
sesak. Tetapi mereka tidak berani melanggar pesan Ki Tambak Wedi, supaya
rencana mereka tidak rusak karenanya. Mereka hanya dapat mengharap,
mudah-mudahan Argapati dapat mengerti dan melakukan seperti yang mereka
kehendaki. Di pringgitan, Argapati dan Ki Tambak Wedi, masih saja duduk berdiam
diri. Keringat yang dingin mengalir membasahi pakaian mereka. Kedua orang
tua-tua yang penuh dengan pengalaman, pengetahuan, dan ketajaman pandangan itu,
tiba-tiba seolah-olah membeku. Mereka kehilangan pilihan kata-kata untuk
meneruskan pembicaraan yang semakin lama menjadi semakin tegang. Namun justru
karena mereka saling berdiam diri itu, maka ketegangan pun menjadi semakin memuncak. Tiba-tiba dalam
keheningan yang panas itu, Ki Tambak Wedi berkata lambat,
“Apakah
maksudmu sebenarnya Argapati? Apakah kau akan ingkar dari tanggung jawabmu
sebagai seorang ayah?”
Argapati mengerutkan
keningnya. Jawabnya,
“Tidak. Bukan
karena aku akan ingkar. Tetapi justru sebaliknya. Aku harus mengetahui keadaan
sebenarnya. Aku harus mengatakan benar bagi yang benar, dan aku harus
mengatakan salah bagi yang salah menurut keyakinanku. Aku bukan seorang
pengecut yang takut melihat kesalahan melekat di tubuh sendiri. Tetapi aku juga
bukan pengecut untuk mempertahankan kebenaran yang aku yakini, meskipun harus
aku tebus dengan nyawa sekalipun. Itulah pendirianku. Juga pendirianku atas
Sidanti. Kalau Sidanti bersalah, maka ia memang wajib mendapat peringatan,
supaya kesalahan itu tidak terulang kembali. Tetapi kalau Sidanti benar seperti
katamu, maka Pajang akan menjadi karang abang. Aku tidak takut seandainya ada
seratus Pemanahan, seratus Penjawi, seratus Adiwijaya, dan kekuatan apa pun yang ada di belakang mereka.”
“Aku tahu,
Argapati,” jawab Ki Tambak Wedi,
“jelasnya kau
tidak percaya kepadaku.”
“Bukan
maksudku.”
“Tetapi kau
masih memerlukan mendengar keterangan dari orang lain. Dan orang itu adalah
Pemanahan.”
“Ya.”
Terdengar gigi
Ki Tambak Wedi gemeretak. Tetapi ia mendengar pula ketika Argapati berkata,
“Kalau kau
percaya, bukan maksudku untuk tidak mempercayaimu. Tetapi aku menyangka, bahwa
telah timbul salah paham. Kalau salah paham itu dapat diperkecil, maka
kemungkinan-kemungkinan yang lain pun
akan dapat ditemukan.”
“Tidak. Kau
hanya sekedar menutupi ketidak-percayaanmu kepadaku, Argapati. Kau mungkin
masih terpengaruh oleh pengenalanmu atasku dahulu. Tetapi karena kau sudah
mempercayakan Sidanti kepadaku, seharusnya kau bersikap lain.”
“Apakah aku
masih harus menjawabnya?”
“Mungkin
tidak. Aku semakin yakin, bahwa kau masih terpengaruh oleh keadaan itu. Kalau
demikian, maka apakah gunanya persetujuan yang telah kita buat, seakan-akan
kita sudah tidak mempunyai persoalan lagi? Tetapi ternyata kau tidak jujur. Kau
tidak memenuhi persetujuan itu sebulat hatimu. Kini dalam keadaan yang paling
sulit yang dialami Sidanti, kau akan ingkar. Bukankah itu sikap pengecut?”
Wajah Argapati
menjadi merah. Dalam cahaya lampu minyak yang kemerah-merahan, wajah itu
seakan-akan membara. Dengan suara bergetar ia berkata,
“Jangan kau
sebut-sebut lagi, Ki Tambak Wedi. Aku sudah mencoba melupakan semuanya yang
telah terjadi. Aku menganggap tidak pernah ada persoalan di antara kita.”
Wajah Ki
Tambak Wedi menjadi semakin tegang. Ditatapnya mata Argapati seolah-olah ingin
melihat langsung ke dalam kepalanya. Tetapi kini Argapati tidak menundukkan
kepalanya. Matanya yang tajam memancar seperti mata seekor harimau di dalam
gelap. Kumis kebiru-biruan.
“Setan,” Ki
Tambak Wedi mengumpat di dalam hatinya.
Meskipun
matanya sendiri setajam mata burung hantu, tetapi ia terpaksa berpaling. Tetapi
ia tidak mau menunjukkan kekecilan hatinya. Maka katanya,
“Kau
benar-benar licik Argapati.”
“Aku tidak
bermaksud tidak baik,” sahut Argapati.
“Aku bermaksud
untuk menempatkan persoalannya di tempat yang sewajarnya. Aku tidak ingin
mengajari Sidanti mengambil keputusan yang tergesa-gesa dalam menanggapi
persoalan-persoalan yang penting, supaya ia tidak terperosok ke dalam kesalahan
yang berbahaya.”
“Ah,” potong Ki
Tambak Wedi,
“kau dapat
saja menyusun seribu macam alasan.”
“Ki Tambak Wedi,”
berkata Argapati kemudian,
“aku adalah
Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Aku bukan sekedar Argapati seorang diri, atau
setidak-tidaknya bersama Sidanti. Tetapi setiap keputusan yang aku ambil,
adalah keputusan yang mengikat seluruh tanah perdikan ini.”
“Aku sudah
tahu. Itulah yang aku kehendaki. Seluruh tanah ini bangkit dari tidur yang
terlampau nyenyak. Hari depanmu dan hari depan tanah ini akan bertambah baik.”
“Atau
sebaliknya.”
“Kau memang
pengecut.”
“Tidak,”
tiba-tiba suara Argapati menjadi keras,
“aku tidak
akan melakukannya tanpa menilai semua persoalan sebaik-baiknya. Aku harus tahu
benar, apakah yang sedang aku hadapi. Tidak membabi buta.”
“Katakan,
tegasnya kau tidak percaya kepadaku.”
“Ki Tambak
Wedi, jangan memaksa aku berkata demikian.”
“Kenapa kau
takut berkata demikian. Katakanlah. Kau tidak percaya kepadaku.”
Argapati
terdiam. Mulutnya terkatup rapat-rapat.
“Putuskan
sekarang. Kau mau menggerakkan pasukanmu untuk memukul Sangkal Putung, dan
kemudian Pajang, untuk menangkap atau membunuh sama sekali Widura dan Untara,
kemudian merampas Sekar Mirah untuk anakmu, dan yang terakhir membunuh
Adiwijaya atau tidak.”
Sebuah gelora
yang dahsyat melanda dada Argapati. Kini ia di desak ke dalam pilihan yang
pahit. Tetapi sikap Ki Tambak Wedi benar-benar tidak menyenangkannya, sehingga
pertimbangannya menjadi kabur. Ia di desak oleh harga diri, sebagai seorang
ayah dan sebagai seorang Kepala Tanah Perdikan. Ia adalah Kepala Tanah Perdikan
Menoreh, dan ia adalah ayah Sidanti. Karena itu, maka ia Argapati-lah yang
berhak menentukan segala keputusan atas pertimbangannya.
Maka setelah
terdiam sejenak, terdengarlah jawabnya dan tegas,
“Tidak. Aku
tidak akan tergesa-gesa mengambil keputusan.”
Terdengar gigi
Ki Tambak Wedi gemeretak. Ia sudah tidak melihat lagi kemungkinan untuk dapat
membujuk Argapati. Ia kenal tabiat Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu. Karena
itu, maka harga dirinya pun segera
merentul ke permukaan wajahnya. Dengan kepala tengadah ia berkata,
“Baik.
Baiklah, Argapati. Kalau kau ingkar akan kewajibannu, biarlah aku akan berusaha
melepaskan Sidanti dari himpitan perasaan yang akan membunuhnya
perlahan-lahan.”
“Aku tidak
akan ingkar. Tetapi aku akan berbuat menurut pertimbanganku.”
“Tidak perlu.
Kau tidak perlu berbuat apa-apa. Akulah yang akan berbuat sesuatu.”
Wajah Argapati
menjadi berkerut-merut, “Maksudmu?”
“Selama ini
Sidanti ada padaku. Ada dalam asuhanku. Akulah yang paling mengetahui apa yang
terjadi atasnya dan apakah yang dirasakannya. Sidanti harus mendapat pelepasan.
Akulah yang akan melakukannya. Ia tidak perlu berada di rumah ini.”
“Ki Tambak
Wedi, apakah kau sudah gila. Biarlah Sidanti di sini. Aku adalah ayahnya.
Akulah yang berhak menentukan sikap atasnya dan memberikan petunjuk kepadanya
menurut seleraku.”
“Tidak. Akulah
yang berhak atasnya. Ia akan aku bawa pergi. Pergi dari tempat pengecut ini.”
“Tidak. Sudah
aku katakan. Biarlah aku mengurusnya dan menentukan keputusan.”
“Kau tidak
punya hak apa-apa, Argapati. Kau kini sudah tidak lebih dari seorang tua yang
sudah mati di dalam hidupmu. Kau sudah tidak mempunyai cita-cita lagi, sudah
tidak mempunyai gairah perjuangan, tidak mempunyai harapan yang lebih baik di
hari mendatang, meskipun untuk kepentingan anakmu. Tidak, kau sudah mati.
Bagaimana Sidanti akan dapat berkembang di tangan orang mati.”
“Tambak Wedi.”
Tetapi Ki
Tambak Wedi sudah tidak mempedulikannya. Dengan suara yang dalam, yang
seolah-olah bergulung saja di dalam perutnya ia berkata,
“Aku akan
pergi. Sidanti akan aku bawa. Ia sudah cukup dewasa. Aku tidak perlu lagi
menipunya dengan segala macam ceritera cengeng itu.”
“Tambak Wedi.
Kau benar-benar sudah gila.”
Ki Tambak Wedi
tidak menjawab. Tetapi ia kemudian melangkah meninggalkan Argapati.
Akhirnya
Argapati pun berdiri pula. Diikutinya Ki
Tambak Wedi keluar dari pringgitan. Tetapi Argapati itu menjadi bimbang. Apakah
yang sebaiknya dilakukan. Di halaman itu, dilihatnya beberapa orang duduk
sambil berbicara di antara mereka. Ketika mereka melihat Ki Tambak Wedi keluar
dengan tergesa-gesa, maka mereka pun
menjadi terkejut karenanya.
“Kau tinggal
di sini, Tambak Wedi, aku masih akan berbicara,” berkata Argapati.
“Tidak ada
yang dibicarakan, Argapati,” desis Ki Tambak Wedi. “Semua sudah jelas bagiku.”
Dada Argapati
bergetar mendengar jawaban Ki Tambak Wedi itu. Terdengar ia berdesis lambat.
Ditahankannya perasaannya sekuat-kuatnya. Di sekitarnya banyak orang-orang yang
melihatnya. Sehingga karena itu ia harus menahan dirinya.
Seandainya,
ya, seandainya hal itu terjadi beberapa puluh tahun yang lampau. Maka dengan
serta merta Ki Tambak Wedi itu pasti akan diterkamnya. Argapati pasti tidak
akan menunggu sekejap pun lagi. Darahnya
sudah cukup mendidih, dan hatinya sudah cukup membara. Tetapi kini ia berdiri
sebagai seorang Kepala Tanah Perdikan. Ia berdiri di pendapa, yang di
sekitarnya terdapat banyak orang dari tanah perdikannya.
“Apa kata
mereka kalau aku tiba-tiba saja bertempur melawan Ki Tambak Wedi di rumah ini.”
Terdengar
Argapati menggeram. Dan yang diucapkannya ketika Ki Tambak Wedi semakin jauh,
“Tambak Wedi.
Apa pun yang terjadi adalah persoalan
kita, persoalan orang tua-tua. Jangan kau siksa anak-anak itu dengan ceriteramu
yang bodoh.”
Ki Tambak Wedi
yang sudah hampir sampai di gandok, terhenti sejenak. Ia memutar tubuhnya dan
menghadap kepada Ki Gede Menoreh,
“Itu urusanku,
Argapati. Kalau kau tidak senang terserah kepadamu.”
“Bukan soalku,
senang atau tidak senang. Tetapi justru untuk kepentingan anak itu sendiri.”
“Anak itu
sudah cukup dewasa. Aku harus mengajarinya melihat kenyataan.”
“Tetapi
kenyataan-kenyataan yang gila itu tidak perlu kau ungkapkan supaya anak itu
tidak menjadi gila seperti kau.”
“Itu bukan
urusanmu.”
Betapa
Argapati mencoba menahan diri, tetapi terdengar juga giginya gemeretak.
Diusapnya dadanya dengan tangannya, seakan-akan menahan dada itu supaya tidak
meledak. Beberapa orang yang berada di halaman rumah itu menjadi
terheran-heran. Apakah sebenarnya yang sudah terjadi? Mereka saling
berpandangan dan saling bertanya lewat sorot mata mereka. Tetapi tidak
seorang pun yang berani mengucapkan
pertanyaan yang menggelegak di dalam dada mereka. Ki Tambak Wedi kemudian
dengan tergesa-gesa masuk ke dalam gandok. Di muka pintu hampir saja ia
membentur Sidanti dan Argajaya yang ingin meloncat keluar, karena mereka
mendengar suara Ki Tambak Wedi yang keras dan suara Argapati di pendapa.
“Apa yang
terjadi Guru?” bertanya Sidanti dengan serta merta, “Apakah terjadi salah paham
itu?”
Ki Tambak Wedi
melihat kecemasan membayang di wajah Sidanti dan Argajaya. Sekali ia menarik
nafas dalam-dalam, lalu katanya, “Ya. Argapati benar-benar telah menjadi gila.”
“Oh, lalu?”
Sidanti menjadi semakin cemas.
“Kita pergi
dari rumah terkutuk ini.”
Sidanti menjadi
semakin bingung. Sejenak ia terbungkam. Tetapi sorot matanya memancarkan
gejolak di dalam dadanya.
“Kita pergi
Sidanti. Kita tidak akan tinggal di sini terlampau lama. Ternyata Argapati
sekarang adalah seorang pengecut besar yang tidak berani berbuat apa pun di luar halaman rumahnya sendiri.”
“Guru,” potong
Sidanti. Bagaimana pun juga, Argapati
adalah ayahnya, sehingga kata-kata itu terasa menyentuh perasaannya.
“Jangan kau
hiraukan Argapati. Marilah kita pergi.”
“Tetapi,”
Sidanti tergagap, “rumah ini adalah rumah ayahku.”
“Ki Tambak
Wedi,” berkata Argajaya, “apakah yang dapat kita lakukan tanpa Kakang
Argapati?”
“Persetan
dengan Argapati,” sahut Ki Tambak Wedi, kemudian suaranya merendah,
“Angger
Argajaya. Kau sudah terlanjur terlibat dalam persoalan Sidanti. Kau tidak akan
dapat menghindar lagi. Siapa pun
orangnya yang bernama Argapati itu, tetapi sudah menjadi kewajiban kita untuk
menghindarkan diri dari penangkapan orang-orang Pajang, yang justru akan
mungkin dilakukan oleh Argapati sendiri. Ternyata setan itu merasa dirinya
lebih berkepentingan dari orang-orang Pajang sendiri. Ia merasa dirinya
berkepentingan untuk mendapatkan pujian. Seandainya Sidanti bukan anaknya,
Argajaya bukan adiknya, dan aku bukan guru anaknya, maka aku kira kita sudah
tidak akan dapat keluar lagi dari halaman ini.”
Terasa dada
Sidanti bergetar. Wajahnya menjadi merah dan giginya gemeretak. Terdengar
suaranya parau,\
“Lalu, apakah
yang akan dilakukan oleh Ayah?”
“Ia tidak mau
tersangkut dalam persoalan kita dengan orang-orang Pajang. Ayahmu menjadi
ketakutan, sehingga kita tidak mendapat perlindungan apa pun di sini. Karena itu, marilah kita pergi.
Ada sesuatu yang penting yang wajib kau ketahui Sidanti. Tetapi aku tidak sempat
mengatakannya sekarang.”
Sidanti masih
mematung. Ia tidak segera dapat menyesuaikan dirinya dengan keadaan yang
dihadapinya. Terasa sesuatu yang sangat membingungkannya berkecamuk di dalam
benaknya.
“Angger Argajaya,”
berkata Ki Tambak Wedi,
“kau sudah
tidak dapat menghindar lagi dari setiap pertanggungan jawab dengan orang-orang
Pajang, seperti kata kakakmu sendiri. Karena itu, marilah kita berusaha
menyelamatkan diri kita sendiri tanpa mempercayakannya kepada orang lain.
Sebenarnya aku dapat berbuat apa saja untuk kepentinganku sendiri, tetapi aku
tidak sampai hati meninggalkan Sidanti dan kau. Karena itu, apakah kau tidak
berkeberatan, apabila malam ini aku dan Sidanti bermalam di rumahmu, sementara
itu kita dapat menyusun rencana yang baik untuk melakukan sesuatu.”
Keduanya masih
terdiam. Mereka didorong ke dalam suatu persoalan yang tidak terduga-duga sama
sekali sebelumnya. Karena itu, maka mereka menjadi bingung, ragu-ragu dan
cemas.
“Kita harus
segera memutuskan,” berkata Ki Tambak Wedi,
“sebelum pintu
regol itu ditutup dan Argapati membunyikan tanda bahaya untuk menangkap kita.”
Sidanti dan
Argajaya benar-benar kehilangan kesempatan untuk membuat
pertimbangan-perimbangan. Mereka di hadapkan pada keadaan yang buram, tanpa
mendapatkan penjelasan-penjelasan. Dan mereka mendengar suara Ki Tambak Wedi
selanjutnya,
“Kalau kalian
masih kurang jelas mengenai masalah yang kalian hadapi, nanti aku akan
menjelaskannya. Tetapi kita sekarang benar-benar harus segera memutuskan dan
keluar dari halaman ini.”
Ki Tambak Wedi
masih melihat Sidanti akan bertanya kepadanya. Tetapi ia mendahuluinya,
“Jangan
bertanya sesuatu. Bawa senjata-senjata kita. Kita akan kehilangan waktu.
Marilah kita keluar dahulu sebelum kita menyesal. Ayahmu lebih cinta kepada
kedudukannya daripada kepada anaknya.”
Sidanti dan
Argajaya benar-benar tidak mendapat kesempatan. Mereka melihat Ki Tambak Wedi
itu keluar dari gandok dan berkata pula,
“Cepatlah
Sidanti dan Angger Argajaya.”
Sidanti
seakan-akan telah kehilangan kesadarannya. Kakinya melangkah saja di belakang
gurunya. Orang yang selama ini dianggapnya orang yang paling dekat daripadanya.
Meskipun ayahnya adalah Argapati, tetapi mereka seakan-akan tidak pernah
bertemu, tidak pernah berbincang dan berbicara tentang berbagai hal. Itu
sebabnya, maka meskipun dengan hati yang kosong, ia mengikuti juga langkah Ki
Tambak Wedi. Di halaman mereka melihat beberapa orang Menoreh berdiri
terheran-heran melihat keadaan yang tidak mereka mengerti sama sekali. Tetapi
tidak seorang pun dari mereka yang
berani bertanya. Baik kepada Ki Tambak Wedi, maupun kepada Sidanti, atau
Argajaya. Dada Sidanti berdesir, ketika ia melihat Argapati berdiri di pendapa.
Sejenak ia menjadi ragu-ragu. Hampir-hampir ia berteriak untuk melepaskan pepat
di dadanya, atau berteriak minta penjelasan. Namun yang didengarnya adalah
suara ayahnya,
“Ki Tambak
Wedi. Ingat, aku tidak menghendaki keadaan ini.”
“Maaf
Argapati. Kami tidak ingin menjadi korban ketakutanmu kepada Adiwijaya. Kami
tetap dalam pendirian kami, bahwa Pajang harus dilawan.”
“Terserah
kepadamu, Tambak Wedi. Tetapi kepergianmu membawa Sidanti dan Argajaya sama
sekali tidak aku inginkan.”
“Kami tidak
mau membiarkan diri kami diterkam oleh pengkhianatan.”
“Tambak Wedi.”
“Jangan cegah
kami.”
Darah Argapati
serasa mendidih di dalam dadanya. Tetapi ia masih tetap menyadari kedudukannya.
Kalau ia kehilangan akal, maka orang-orang Menoreh akan melihat, bahwa Ki
Tambak Wedi dengan beraninya telah melawan perintahnya. Tentu hal itu tidak
baik baginya dilihat oleh orang-orangnya. Apalagi kalau ia harus bertempur melawan
orang itu di halaman. Meskipun demikian, ia tidak dapat menahan diri untuk
berkata,
“Kau telah
memperbaharui persoalan kita, Tambak Wedi.”
Ternyata Ki
Tambak Wedi pun tidak dapat
mengendalikan kemarahannya lagi. Ketika tanpa disadarinya ia menengadahkan
kepalanya, dan dilihatnya seleret bulan yang masih terlampau muda hinggap di
kehitaman langit, maka dadanya serasa hendak meledak.
Dengan suara
yang gemetar ia berkata,
“Terserah
kepadamu, Argapati. Tetapi sebaiknya kita menyelesaikan persoalan ini seperti
yang pernah kita lakukan. Marilah kita peringati pertemuan kita di bawah Pucang
Kembar.”
Mendengar nama
Pucang Kembar, maka hati Argapati hampir menjadi gelap disaput oleh perasaannya
yang sedang membara. Tetapi orang-orang Menoreh yang berdiri termangu-mangu di
halaman telah mencegahnya untuk berbuat langsung pada saat itu. Namun sebagai
seorang yang keras hati, Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh itu menjawab,
“Baik, Tambak
Wedi. Aku akan menunggu bulan purnama naik. Bukankah saat-saat yang demikian,
di bawah Pucang Kembar beberapa puluh tahun yang lalu kita pernah membuat suatu
perjanjian? Nah, aku bersedia memperingatinya. Nanti pada saat purnama penuh.”
“Bagus,”
teriak Ki Tambak Wedi,
“aku
menunggumu. Sementara ini, aku akan dapat memberikan penjelasan kepada Sidanti
tentang semua persoalan.”
“Kau akan
membuatnya gila seperti kau?”
“Itu
urusanku.”
“Kau sudah
kehilangan akal,” Argapati berhenti sejenak.
Terasa
tubuhnya gemetar seperti sedang kedinginan. Namun masih terdengar suaranya
parau, “Argajaya. Jangan ikut.”
Argajaya
menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi ia mendengar Tambak Wedi berkata,
“Ia telah
terlibat pula dalam persoalan Sidanti dan Pajang. Kalau ia tidak pergi
bersamaku, maka ia akan menjadi korbanmu. Korban kelicikanmu. Untuk mendapatkan
pujian dan mungkin hadiah seperti yang akan diterima oleh Pemanahan dan Penjawi
untuk memperluas tanah perdikanmu, kau akan sampai hati mengorbankan kami,
anakmu, adikmu, dan aku yang kau katakan sahabatmu.”
“Kau jangan
mengigau, Tambak Wedi. Jangan membuat aku kehilangan akal pula. Kalau kau mau
pergi, pergilah. Kita sudah menentukan waktu itu.”
“Baik. Pada
saat purnama penuh naik. Aku menunggumu di bawah Pucang Kembar.”
Ki Tambak Wedi
tidak menunggu Argapati menyahut. Segera ia melangkah pergi diikuti oleh
Sidanti dan Argajaya. Semua mata yang berada di sekitar halaman itu mengikuti
mereka dengan debar jantung yang menghentak-hentak dada. Tetapi mereka masih
saja tidak berani mengucapkan sepatah pertanyaan pun. Bahkan tubuh mereka ikut
menggigil tanpa diketahui sebab-sebabnya. Ketika ketiga orang yang telah
menggetarkan dada setiap orang di halaman itu hilang di balik regol halaman, Ki
Gede Menoreh menekan dadanya. Sekali ia menarik nafas dalam-dalam. Ternyata ia
telah terlibat ke dalam persoalan yang sama sekali tidak diingininya.
Di luar regol
halaman, Ki Tambak Wedi kemudian berjalan dengan tergesa-gesa diikuti oleh
Sidanti dan Argajaya. Namun sekali lagi Sidanti dihambat oleh kebimbangan dan
keragu-raguan. Kalau ia pergi mengikuti gurunya, ia harus meninggalkan ayahnya,
tetapi kalau ia tinggal, maka ia akan terpisah dari gurunya yang selama ini
mengasuhnya. Sejak ia meningkat menjelang dewasa, ia sudah tidak berada bersama
ayahnya. Ia telah berada di padepokan Tambak Wedi bersama gurunya. Keragu-raguan
itu benar-benar telah mengoyak hatinya. Ia benar-benar ingin berteriak
sekuat-kuat tenaganya, supaya dadanya tidak menjadi pecah karenanya. Tetapi ia
masih tetap sadar, bahwa apabila ia melakukannya, maka ia akan menyesal.
Mungkin gurunya akan marah kepadanya atau orang-orang Menoreh terbangun dari
tidurnya dan berlari-lari mencari arah suaranya. Ketika teringat olehnya
kata-kata gurunya dalam perdebatannya dengan ayahnya, maka debar di dada
Sidanti menjadi semakin keras. Ia tidak dapat mengerti, kenapa ayahnya tidak
membantunya, melepaskannya dari kecemasan terhadap orang-orang Pajang, apalagi
membalas sakit hatinya dengan menghancurkan Sangkal Putung dan Jati Anom,
lebih-lebih lagi Pajang. Tetapi justru ayahnya telah mengingkari kewajibannya
sebagai seorang ayah, bahkan akan menangkapnya dan menyerahkannya kepada
Pajang.
Terngiang di
telinganya kata-kata gurunya,
“Ayahmu lebih
cinta kepada kedudukannya daripada kepada anaknya.”
Terdengar
Sidanti menggeram. Namun kemudian timbul pula keragu-raguannya.
“Apakah benar
ayah akan berbuat demikian?”
“Baiklah,”
berkata Sidanti kemudian di dalam hatinya.
“Biarlah kali
ini aku menghindar dulu. Besok atau lusa aku akan dapat minta penjelasan kepada
ayah, apabila ada kesempatan. Mungkin aku perlu menghubungi ayah di luar
pengetahuan guru, yang agaknya memang sudah mempunyai benih-benih yang kurang
baik di antara mereka. Sejak kami berangkat dari Sangkal Putung, guru sudah
tampak ragu-ragu dan bimbang. Ternyata yang terjadi benar-benar tidak
menyenangkan.”
Sedang Argajaya pun tidak kalah bingungnya. Ia berjalan
seperti di dalam mimpi saja. Tanpa kesadaran. Meskipun demikian, ia tidak dapat
menahan hati lagi dan bertanya,
“Apakah yang
sebenarnya telah terjadi, Ki Tambak Wedi. Aku tidak mengerti ujung dan pangkal
pembicaraan. Apalagi agaknya Kiai telah terlibat dalam persoalan yang tampaknya
bersungguh-sungguh dengan Kakang Argapati.”
Ki Tambak Wedi
menggeram. Katanya dengan suara gemetar,
“Aku memang
sudah meragukannya sejak semula, Ngger, bahwa kakakmu akan tidak berani bertindak
untuk nama keluarganya. Ternyata hal itu benar-benar terjadi, meskipun aku
sudah berusaha untuk membakar hatinya. Aku sudah mengatakan persoalan Sidanti
dengan hati-hati, bahkan dengan memburunya. Aku mengatakan kepadanya, bahwa
Widura dan Untara menaruh dengki dan iri kepada Sidanti, apalagi kemudian
menyangkut persoalan Sekar Mirah yang berhubungan pula dengan Agung Sedayu,
adik Untara. Tetapi agaknya Argapati sama sekali tidak berani berbuat apa pun.
Bahkan ia mengancam akan menghukum Sidanti, apabila ia bersalah. Argapati akan
pergi ke Pajang dan menghubungi Ki Gede Pemanahan yang pasti sudah mendapat
laporan dari Untara.”
“Ah,”
tiba-tiba Argajaya memotong, “apakah benar begitu?”
“Bertanyalah
kepada Argapati sendiri. Tapi kalau kau masuk ke halaman rumah itu, maka kau
tidak akan dapat keluar lagi.”
Argajaya
mengerutkan keningnya. Kakinya masih saja melangkah dengan tergesa-gesa
mengikuti langkah Ki Tambak Wedi.
“Tetapi Kakang
bukan seorang pengecut,” berkata Argajaya.
“Aku tahu,”
sahut Ki Tambak Wedi, “Argapati bukan penakut. Tetapi ia termasuk seorang yang
gila akan kedudukan. Pahamilah hal ini.” Ki Tambak Wedi berhenti sejenak. Lalu,
“Tetapi ada
hal yang lebih penting lagi yang dapat aku katakan. Nanti setelah kita berada
di rumah Angger Argajaya.”
Argajaya tidak
menyahut lagi. Seperti Sidanti ia ingin mendengar dahulu semua persoalannya.
Kemudian ia akan dapat mengambil kesimpulan. Kalau perlu, seperti juga yang
tersirat di angan-angan Sidanti, ia akan dapat menemui Argapati untuk mendengar
penjelasannya. Sementara itu, Argapati masih saja berdiri membeku di pendapa
rumahnya. Terasa dadanya menjadi penat. Bahkan di dalam hatinya ia mengeluh,
“Mimpi apakah
aku semalam? Tiba-tiba aku di hadapkan pada persoalan ini. Persoalan yang sudah
lama aku kuburkan dalam-dalam. Persoalan. yang sudah aku lupakan.” Sekali lagi
Argapati menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya orang-orang yang berdiri
kebingungan di halaman. Ia merasa perlu untuk memberi ketenteraman kepada mereka.
Karena itu maka katanya,
“Jangan
bingung. Tidak ada apa-apa. Kami memang berselisih paham. Tetapi aku tahu,
bahwa persoalan ini akan dapat kita selesaikan dengan baik. Kami masing-masing
ingin berbuat untuk kebaikan Sidanti dan tanah ini. Hanya cara kami yang
berbeda. Itulah sebabnya, kami akan membicarakan di lain kali. Kami mengharap
seseorang dapat menengahi pembicaraan kami. Sekarang pulanglah dan
beristirahatlah. Jangan kalian kembangkan persoalan ini seolah-olah sebuah
persoalan yang besar.”
Orang-orang di
halaman itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi mereka tidak meyakini
kata-kata Ki Gede Menoreh. Meskipun demikian, mereka sama sekali tidak bertanya
apa pun. Satu-satu mereka meninggalkan regol itu dengan hati yang gelisah,
cemas dan kecewa. Mereka hanya melihat Sidanti lewat dan hilang di dalam
kegelapan.
Sejenak
kemudian, halaman rumah Argapati menjadi sepi. Dua orang peronda berdiri di
regol halaman dengan wajah yang tegang dan hati yang bimbang. Tetapi
mereka pun tidak bertanya sesuatu. Argapati
masih saja berdiri di pendapa rumahnya. Sebenarnya ia adalah seorang yang keras
hati. Kalau saja ia tidak menyadari kedudukannya yang pasti akan dilihat oleh
setiap orang di Tanah Perdikan Menoreh, maka ia pasti tidak akan sabar lagi
menunggu purnama naik.
“Sekarang.
Kita selesaikan sekarang.”
Argapati
terperanjat ketika ia mendengar suara lirih di belakangnya,
“Ayah, apakah
yang telah terjadi?”
Ketika
Argapati berpaling, dilihatnya Pandan Wangi berdiri di belakangnya. Dalam
taburan sinar pelita yang remang-remang. Argapati melihat kecemasan membayang
di wajah anaknya itu. Anak gadisnya. Tiba-tiba terasa getaran melanda
jantungnya. Sejenak Argapati terbungkam. Ditatapnya saja wajah puterinya itu
tanpa berkedip.
Karena ayahnya
tidak menjawab, maka diulanginya pertanyannya,
“Ayah, apakah
yang terjadi?”
Argapati
menarik nafas dalam-dalam. Ia masih belum menjawab. Tetapi Pandan Wangi merasa
aneh, ketika kemudian tanpa mengucapkan sepatah katapun, ayahnya membimbingnya
masuk ke dalam pringgitan. Pandan Wangi tidak bertanya lagi. Ia berjalan saja
di samping ayahnya. Namun terasa hatinya menjadi berdebar-debar dan darahnya
menjadi semakin cepat mengalir. Seribu macam pertanyaan bergelut di dadanya.
“Apakah yang
sebenarnya sudah terjadi?”
Pandan Wangi
melihat ayahnya menutup pintu pringgitan itu perlahan-lahan. Kemudian Pandan
Wangi itu dibawanya duduk di atas tikar. Namun untuk sejenak Argapati masih
saja berdiam diri. Kadang wajahnya ditundukkannya. Tetapi kadang-kadang
ditengadahkannya.
“Wangi,”
terdengar kemudian suaranya perlahan-lahan sekali,
“tolong,
ambilkan ayah minum.”
Pandan Wangi
memandang wajah ayahnya dengan penuh keheranan. Tetapi ia tidak juga bertanya.
Perlahan-lahan ia berdiri dan berjalan ke belakang untuk mengambil minum. Tetapi
tiba-tiba saja terasa ruang di belakang itu terlampau sunyi. Meskipun ia
melihat beberapa orang pembantunya duduk sambil terkantuk-kantuk, tetapi
hatinya terasa terlampau sepi. Diedarkannya pandangan matanya berkeliling.
Terasa sesuatu yang tidak diketemukannya. Ada yang hilang dari ruang itu. Dada Pandan
Wangi terasa menjadi sesak. Ketika ia sadar apa yang sedang dicarinya, tanpa
diketahuinya, setitik air menetes di ujung jari kakinya. Pada saat-saat yang
demikian, apabila ia tidak mengerti apa yang telah terjadi dengan ayahnya, ia
selalu lari kepada ibunya. Ibunya yang sering duduk di ruang dalam. Kepada
ibunya ia selalu bertanya,
“Ibu, kenapa
dengan Ayah?”
Dan ibunya
selalu menjawab,
“Tidak
apa-apa, Wangi. Ayahmu tidak apa-apa.”
“Apakah ayah
marah kepadaku, Ibu?”
Ibunya
menggeleng sambil tersenyum,
“Tidak, Wangi.
Bukankah ayah tidak pernah marah kepadamu?”
Terasa setitik
air jatuh lagi di atas ujung jari kakinya. Kesepian telah mencengkam dadanya.
Dan disadarinya kekurangan yang tidak akan lagi dapat diketemukan. Ibunya itu
telah tidak ada lagi. Ibunya telah pergi meninggalkannya, untuk selama-lamanya.
Dan kini dilihatnya ayahnya menjadi muram. Kini ia tidak dapat mengetahui,
kenapa ayahnya berselisih dengan tamunya. Tetapi ia tidak dapat bertanya kepada
siapa pun. Yang ada di dalam ruangan itu hanyalah beberapa orang pelayan.
Pandan Wangi
terkejut, ketika ia mendengar seseorang bertanya kepadanya,
“Apakah yang
kau perlukan?”
Pandan Wangi
tergagap, jawabnya, “Minum. Ayah ingin minum.”
Pelayannya itu
segera menyediakan minum. Semangkuk air jahe hangat, beberapa potong gula
kelapa dan beberapa potong makanan.
“Apakah Ki
Argapati tidak menjamu tamu-tamunya sekarang? Kami menunggu perintah itu.
Bukankah hari telah cukup malam, bahkan terlalu malam?” bertanya pelayan itu.
Pandan Wangi
menggelengkan kepalanya,
“Tidak,”
jawabnya, “tamunya telah pergi.”
“Pergi?”
pelayan itu menjadi terheran-heran.
“Kenapa?” yang
lain bertanya.
Sekali lagi
Pandan Wangi menggelengkan kepalanya. Sekali lagi terasa dadanya berdesir.
Ia pun menyimpan pertanyaan itu. Bukan
sekedar pertanyaan, tetapi kecemasan. Para pelayan itu melihat wajah Pandan
Wangi yang suram. Bahkan mereka melihat mata gadis itu menjadi basah. Namun
justru itu, mereka tidak bertanya lagi.
Sepeninggal
Pandan Wangi, Argapati duduk seorang diri di pringgitan. Hatinya terasa
terlampau sakit mengalami peristiwa itu. Peristiwa yang tidak berdiri sendiri.
Yang tidak terjadi pada saat itu saja dengan tiba-tiba. Tetapi peristiwa ini
adalah peristiwa yang menjelujur dari masa-masa yang silam.
“Tetapi Pandan
Wangi sudah cukup dewasa,” katanya di dalam hati,
“ia harus tahu
apa yang sedang dihadapi oleh ayahnya.”
Namun Argapati
masih tetap ragu-ragu.
“Hem,” ia
menarik nafas dalam-dalam,
“Ki Tambak
Wedi yang kehilangan padepokannya itu, benar-benar telah menjadi gila. Ia sudah
tidak dapat berpikir bening lagi. Agaknya ia akan menyeret Sidanti ke dalam
kegilaan itu, bersama Argajaya pula.”
Argapati itu
berdesis perlahan-lahan. Ia di hadapkan pada suatu persoalan yang sangat pahit.
“Apakah Ki
Tambak Wedi itu benar-benar melakukan seperti yang dikatakannya?” pertanyaan
itu selalu membayang di dalam hatinya.
“Apabila
demikian, aku harus menjelaskannya pula kepada Pandan Wangi, supaya ia tidak
terkejut sekali, apabila pada saatnya ia mendengar. Daripada ia mendengar dari
orang lain, maka sebaiknya ia mendengar dari mulutku sendiri.”
Sekali lagi
Argapati menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali,
“Kasihan anak
yang sudah tidak beribu ini. Kasihan Sidanti yang terseret arus kegilaan
gurunya.”
Kepala
Argapati itu pun kemudian tertunduk,
“Apakah kedua
kakak beradik itu harus berpisah?” pertanyaan itu benar-benar telah melukai
jantungnya.
Hati orang tua
itu menjadi berdebar-debar, ketika ia melihat Pandan Wangi datang kepadanya
sambil menjinjing minuman. Apalagi ketika ia melihat wajah puterinya yang pucat
itu. Argapati dapat meraba, bahwa Pandan Wangi menjadi gelisah dan cemas. Kalau
puterinya itu tidak mendapat penjelasan, maka bayangan-bayangan yang dibuatnya
sendiri, pasti akan membuatnya tidak dapat tidur semalam. Dan bayangan-bayangan
yang demikian akan dapat berkembang tanpa batas.
“Aku harus
berterus terang kepadanya,” katanya di dalam hati,
“supaya aku
tidak menjerumuskannya ke dalam suatu keadaan yang kelak akan menggoncangkan
perasaannya. Kini selagi aku masih ada. Selagi aku masih hidup. Aku dapat
menenteramkan hatinya, apabila ia tergetar oleh desakan perasaannya.”
Tetapi
keragu-raguan menjalari hatinya, ketika ia melihat Pandan Wangi telah duduk
bersimpuh di hadapannya sambil menyodorkan semangkuk air jahe dan beberapa
potong gula kelapa.
“Terima kasih,
Pandan Wangi,” desis ayahnya.
Pandan Wangi
tidak menjawab. Tetapi terasa betapa berat suara ayahnya, seolah-olah dibebani
oleh perasaan yang hampir tidak tertanggungkan. Tetapi Pandan Wangi tidak
berani bertanya. Ia duduk saja sambil menundukkan kepalanya. Namun sekali lagi
dadanya disesakkan oleh kenangannya tentang ibunya yang sudah meninggal. Dalam
saat-saat begini, Pandan Wangi selalu melihat ibunya berbincang dengan ayahnya.
Ibunya selalu berusaha untuk menenteramkan hati ayahnya apabila ia sedang
dipeningkan oleh persoalan-persoalan yang sangat berat. Tetapi kini, Argapati
itu terpaksa membawa beban yang agaknya terlampau berat seorang diri. Ia belum
pernah melihat wajah ayahnya semuram wajahnya kini.
“Tetapi aku
harus mengatakan,” Argapati berkata di dalam hatinya,
“aku harus
mempunyai keberanian untuk mengatakannya. Kalau aku tidak berani berterus
terang kepada Pandan Wangi, sedang Ki Tambak Wedi mengatakannya kepada Sidanti,
apa pun maksudnya, maka apabila pada suatu saat kedua kakak beradik ini
bertemu, maka akan sangat terguncanglah perasaan Pandan Wangi, apabila Sidanti
tidak dapat mengendalikan dirinya seperti sikap gurunya.”
Argapati
menarik nafas dalam-dalam. Ketika Pandan Wangi mendengar desah yang panjang
meluncur dari hidung ayahnya, maka gadis itu mengangkat wajahnya. Tetapi wajah
itu segera tertunduk kembali ketika matanya membentur pandangan mata ayahnya
yang suram.
“Pandan
Wangi,” terdengar suara Argapati perlahan-lahan, “kenapa kau menjadi gelisah?”
Pandan Wangi heran
mendengar pertanyaan ayahnya. Dan Argapati sendiri heran mendengar pertanyaan
yang tiba-tiba saja meloncat dari bibirnya untuk memecahkan kebekuan suasana. Sekali
lagi Argapati menarik nafas. Katanya,
“Maksudku,
apakah kau menjadi gelisah mendengar dan melihat persoalan yang baru saja
terjadi?”
“Ya, Ayah,”
jawab Pandan Wangi, “aku menjadi gelisah dan cemas.”
“Apakah yang
telah mencemaskan kau dalam persoalan itu? Apakah kau mendengar sesuatu yang
pantas kau cemaskan?”
Pandan Wangi
menganggukkan kepalanya. Jawabnya,
“Pembicaraan
Ayah dengan Ki Tambak Wedi tampaknya bersungguh-sungguh.”
Argapati mengangguk-anggukkan
kepalanya,
“Ya, Wangi.
Agaknya Ki Tambak Wedi bersungguh-sungguh.”
“Kenapa ayah
berselisih dengan Ki Tambak Wedi?” bertanya Pandan Wangi,
“dari ruang
dalam aku mendengar ayah dan Ki Tambak Wedi berbicara tentang Kakang Sidanti.”
“Ya, Wangi.”
“Tetapi Ayah
tidak sependapat dengan Ki Tambak Wedi.”
Argapati
mengangguk, “Ya, Wangi, aku memang tidak sependapat dengan Ki Tambak Wedi.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar