Kemudian bersiap-siap untuk meneruskan perjalanannya. Para pengawal dari Mataram pun kemudian berkemas pula. Ada di antara mereka yang masih segan untuk bangun meskipun mereka hanya sekedar bersandar tiang gedogan. Tetapi Sutawijaya pun memutuskan untuk segera kembali ke Mataram. Baginya hal itu tentu lebih baik. Ia tidak akan dapat beristirahat dengan tenang di Tanah Perdikan Menoreh, karena ayahnya sudah mengharapnya menghadap karena ada persoalan yang cukup penting. Demikianlah, maka Raden Sutawijaya itu pun segera mohon diri kepada Ki Argapati. Dengan mengucapkan terima kasih, maka ia terpaksa sekali segera meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh.
“Agaknya
persoalan yang akan disampaikan oleh ayahanda Raden cukup penting.”
Raden
Sutawljaya hanya tersenyum saja.
“Kami di sini
tidak dapat memaksa Raden untuk tinggal lebih lama lagi, jika ayahanda memang
ingin segera bertemu dengan Raden.”
Raden
Sutawijaya pun kemudian minta diri pula kepada orang-orang tua yang ada di
Induk Tanah Perdikan Menoreh. Kepada Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, Ki Demang
Sangkal Putung, dan terutama kepada Ki Waskita.
“Jasa Ki
Waskita tidak akan dilupakan. Bukan saja olehku dan pasukanku, tetapi oleh
seluruh Tanah Mataram.”
“Ah,” Ki
Waskita berdesah,
“sudahlah,
Raden. Aku sudah senang sekali bahwa aku dapat bertemu dengan anakku. Tidak ada
yang lebih baik dari ketenangan di dalam hidup kekeluargaan. Dan agaknya Rudita
pun akan menempuh jalan yang sudah terbuka baginya. Ketenangan di dalam hati
sendiri.”
Raden
Sutawijaya memandang wajah Rudita sejenak. Tetapi anak muda yang perkasa itu
mengerutkan keningnya. Seakan-akan wajah Rudita itu adalah wajah yang lain dari
yang dilihatnya pada saat anak itu belum hilang. Dan bahkan sesaat setelah ia
diketemukan.
“Memang ada
sesuatu yang berkembang di dalam jiwa anak itu,” berkata Raden Sutawijaya di
dalam hatinya.
Maka pasukan
pengawal dari Mataram itu pun segera bersiap untuk berangkat. Atas persetujuan
Ki Argapati, maka para tawanan pun akan dibawanya pula bersama pasukan itu ke
Mataram. Karena jumlah mereka tidak begitu banyak lagi maka Sutawijaya pun
meminjam beberapa ekor kuda di samping kuda-kuda pasukan Mataram sendiri yang tersisa,
untuk membawa tawanan-tawanan itu.
“Kita akan
segera mengembalikan,” berkata Sutawijaya.
Ketika pasukan
pengawal itu mulai bergerak, anak-anak muda dari Sangkal Putung dan Menoreh
melambaikan tangannya. Bahkan Prastawa telah melambaikan kedua belah tangannya,
sedang Pandan Wangi memandangi pasukan itu dengan senyum yang tergores di
bibirnya.
“Menoreh akan
segera menjadi sunyi kembali,” desisnya.
Ki Argapati
menarik nafas dalam-dalam. Memang Menoreh akan menjadi sunyi. Setelah terasa
kegelisahan dan kesibukan di seluruh tlatah Menoreh, meskipun pertempuran itu
hanya terjadi di salah satu sudutnya saja, maka kini semuanya itu telah
berlalu. Yang tinggal adalah kepedihan hati mereka yang telah kehilangan
keluarganya di peperangan itu. Seakan-akan masih terdengar isak tangis mereka
di antara derap kaki-kaki kuda yang gemeretak di atas tanah berbatu-batu. Maka
mereka yang berada di regol pun perlahan-lahan melangkah melintasi halaman dan
kembali ke pendapa. Sedang Agung Sedayu dan Swandaru pergi sejenak ke gandok
menengok Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar yang masih berbaring.
“Raden
Sutawijaya itu sudah berangkat?” bertanya Kiai Gringsing.
“Ya, Guru,”
jawab Agung Sedayu dan Swandaru hampir bersamaan.
Kiai Gringsing
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak berkata apa pun lagi. Sumangkar pun
agaknya lebih senang mengangguk-angguk saja tanpa bertanya sesuatu. Sambil
melangkah ke pendapa, Swandaru berdesis ragu,
“Apakah kau
tahu apakah yang penting bagi Raden Sutawljaya itu?”
Agung Sedayu
menggelengkan kepalanya. Jawabnya,
“Aku tidak
tahu.”
“Bagaimana
pendapatmu tentang gadis yang disebut-sebut oleh beberapa orang termasuk
Daksina? Apakah agaknya gadis itu telah menumbuhkan persoalan yang pentang bagi
Raden Sutawijaya?”
“Mungkin.
Bahkan mungkin bukan saja bagi Raden Sutawijaya. Tetapi juga bagi Mataram.”
Swandaru
menarik nafas. Katanya,
“Agaknya
memang demikian. Gadis itu gadis yang penting bagi Sultan Pajang. Menurut
pendengaran kami, Sultan Pajang adalah seorang raja yang agak banyak terlibat
hubungan dengan perempuan.”
“Ya. Dan
itulah kelemahan Sultan Pajang.”
“Tetapi
agaknya Raden Sutawijaya pun demikian.”
Agung Sedayu
hanya menundukkan kepalanya saja. Meskipun tidak jelas baginya, namun ia dapat
menduga, bahwa agaknya Sultan Pajang telah mendengar, bahwa salah seorang gadis
yang ditemukannya di Kalinyamat itu telah membuat hubungan dengan Raden
Sutawijaya tanpa ijinnya. Dan apabila persoalannya telah memuncak, maka
persoalan pribadi itu akan membakar hubungan baik antara Pajang dan Mataram
yang nampaknya memang sudah menjadi semakin buram. Tetapi keduanya tidak
memperbincangkannya lagi. Mereka pun kemudian duduk di pendapa bersama beberapa
orang pemimpin Tanah Perdikan Menoreh. Ki Argapati sendiri telah masuk ke dalam
rumah bersama Pandan Wangi.
Prastawa yang masih
ada di pendapa pun kemudian mendekatinya sambil berkata,
“Aku akan ke
belakang dahulu.”
Agung Sedayu
merenung sejenak, lalu,
“Aku ikut
bersamamu.”
Prastawa
memandang Agung Sedayu sejenak, lalu berpaling kepada Swandaru,
“Kau di sini
mengawani Ki Demang sejenak?”
“Aku ikut ke
belakang.”
“Biarlah ia
ikut ke belakang. Barangkali ia dapat membantu mengambil air atau membersihkan
kuda,” potong Ki Demang Sangkal Putung.
“Aku akan
menengok Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar.”
Mereka pun
telah meninggalkan pendapa. Tetapi di pendapa itu masih ada beberapa orang
pemimpin pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun agaknya Menoreh
telah menjadi tenang kembali, namun di setiap padukuhan harus dipersiapkan
penjagaan yang baik. Orang-orang yang berhasil melarikan diri dari padepokan
yang pecah itu tentu akan bertebaran ke mana-mana. Mungkin ke tlatah Tanah
Perdikan Menoreh. Mungkin justru memasuki daerah Mataram yang sedang dibuka. Tetapi mungkin
juga mereka memasuki Tanah Mataram dengan tujuan yang sudah jauh berbeda dengan
yang pernah mereka lakukan. Mereka memasuki tlatah Mataram dengan niat yang
baik. Karena mereka telah kehilangan pegangan, maka mereka merasa lebih baik
membuka hutan dan hidup wajar di dalam sebuah padukuhan yang baru bersama
orang-orang yang baru dalam suasana yang lain dari suasana kehidupan di
padepokan Panembahan Agung.
Di gandok yang
lain, Ki Waskita duduk di amben yang besar bersandar dinding. Dibiarkannya
angan-angannya terbang dari waktu ke waktu. Yang baru saja terjadi di lembah
terasing itu telah mengungkapkan masa hidupnya yang lampau. Petualangan yang
kadang-kadang agak binal. Namun kemudian semakin matang ia menguasai ilmunya,
maka rasa-rasanya apa yang sudah dilakukannya itu bagaikan bayangan yang pahit.
Dengan sepenuh hati maka ia bertekad untuk menghentikannya. Maka Ki Waskita
memilih suatu kehidupan yang tenang. Meskipun sebagian dari ilmunya masih terus
dapat dipergunakan, ia memiliki kurnia dari Yang Maha Kuasa untuk melihat
isyarat bagi masa dan tempat yang terpisah oleh waktu dan jarak. Dan karena
ilmu itu dirasakannya tidak merugikan orang lain, maka ia masih tetap
mempergunakannya. Tetapi pada suatu saat ia harus mempergunakan ilmu yang lain,
yang telah disimpannya untuk beberapa lama.
“Untunglah
Rudita tidak melihat seluruhnya, sehingga ia tidak akan menuntut untuk
mewarisinya.” Ki Waskita berhenti sejenak, lalu,
“Aku kira ilmu
ini tidak sesuai dengan jiwanya yang agak lemah. Ia memandang semuanya dari
kepentingan diri sendiri.” Ki Waskita mengerutkan keningnya sejenak, lalu,
“Tetapi
agaknya ia telah berubah. Tetapi tidak seorang pun dapat menjamin, bahwa
apabila ia memiliki ilmu itu, ia akan menjadi semakin mengendap.”
Dan sekilas
terbayang olehnya Panembahan Agung yang salah langkah justru karena ia memiliki
ilmu yang dahsyat itu. Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Ia adalah orang
yang berusaha memandang persoalan yang dihadapinya, apalagi yang menyangkut
orang banyak dengan sejujur-jujurnya. Meskipun Rudita adalah anaknya sendiri,
tetapi ia tidak dapat dengan begitu saja memberikan pengetahuan yang dapat
membahayakan ketenangan lingkungannya seperti Panembahan Agung.
Ki Waskita
menarik nafas dalam-dalam. Ia mengucapkan sukur di dalam hatinya, bahwa Yang
Maha Kuasa memberikan tuntunan kepadanya sehingga ia tidak kehilangan akal
karena justru ia telah berhasil menguasai beberapa macam ilmu yang dahsyat, dan
bahwa ia masih dapat menyumbangkan ilmunya bagi ketenangan hidup sesamanya.
Namun agaknya
Ki Waskita masih mempunyai banyak harapan pada anak laki-lakinya itu untuk
menemukan jalan yang baik dan matang. Meskipun sebagai seorang ayah Ki Waskita
dibayangi oleh keragu-raguan dan kecemasan sehingga ia tidak berani melihat
isyarat bagi masa depan Rudita, tetapi berdasarkan perkembangan pribadinya yang
dirasakannya di saat terakhir, agaknya Rudita akan menemukan dirinya bukan
sebagai seorang anak yang cengeng, manja, dan mementingkan dirinya sendiri. Meskipun
demikian setiap kali ia ingin mencoba melihat masa depan anaknya, ia masih saja
dibayangi oleh keragu-raguan. Ia tidak akan begitu banyak terpengaruh
seandainya ia melihat kemungkinan yang buram bagi orang lain. Bahkan, ia merasa
beruntung bahwa ia dapat memberitahukannya, sehingga orang itu sempat
mempersiapkan dirinya dan menjauhkan kemungkinan yang lebih buruk lagi. Tetapi
jika yang dilihatnya itu adalah masa yang buram bagi anaknya sendiri, maka
hatinya tentu akan menjadi sangat bersedih. Dan itu pun disadarinya, bahwa
kelemahan hati manusiawinyalah yang telah membuatnya takut melihat kenyataan
yang bakal dihadapi.
Di belakang,
pada saat itu Prastawa sibuk dengan kerjanya. Meskipun sebenarnya ia masih
lelah, namun ia termasuk anak yang rajin. Ia harus membersihkan kuda yang baru
saja mereka pakai ke medan. Kuda yang dipergunakan oleh pamannya dan Pandan
Wangi. Tetapi kini ia mendapat kawan bekerja. Agung Sedayu dan Swandaru pun
termasuk anak-anak muda yang biasa bekerja berat, selain beberapa orang
pelayan. Agung Sedayu dan Swandaru tidak saja sekedar membersihkan kuda yang
mereka pakai sendiri, tetapi juga kuda-kuda Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar.
“Daripada kita
kehabisan waktu menimba air, bagaimana jika kuda-kuda ini kita bawa saja ke
sungai?” berkata Swandaru.
Prastawa
mengerutkan keningnya. Katanya,
“Tetapi tentu
tidak sebanyak ini. Nanti kita pergi ke sungai membawa beberapa saja yang mudah
dikuasai.”
Setelah
sebagian dibersihkan di halaman belakang dan dimasukkan ke dalam gedogan, maka
yang lain pun dimandikannya di sungai. Mereka membawa kuda-kuda itu ke dalam
air sehingga dengan mudah mereka memandikannya tanpa menghabiskan tenaga untuk
menimba. Dalam pada itu selagi mereka sibuk dengan kuda-kuda itu, seseorang
perlahan-lahan mendekatinya dengan ragu-ragu. Sejenak ia berdiri di tepian.
Namun kemudian ia melangkah mendekat. Prastawa-lah yang mula-mula melihatnya,
sambil mengerutkan keningnya ia berdesis,
“Anak cengeng
itu datang pula kemari.”
Swandaru
berpaling sejenak. Kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata,
“Aku juga
termasuk anak manja. Tetapi aku tahu bahwa manja yang berlebih-lebihan seperti
itu sama sekali tidak menguntungkan.”
Agung Sedayu
yang juga berpaling tidak berkata sepatah kata pun.Namun ia melihat sesuatu
yang lain di wajah anak muda yang bernama Rudita itu. Tetapi karena ia tidak
yakin akan penglihatannya, maka ia pun sama sekali tidak mengatakannya. Prastawa
yang benar-benar telah menjadi jemu melayani Rudita, masih saja berpura-pura
tidak melihatnya. Bahkan ia telah bergeser dan membelakangi anak muda yang
berdiri di tepian itu. Nampaknya ia masih saja sibuk memercikkan air ke tubuh
kuda yang sedang dimandikannya. Ternyata Swandaru pun tidak menghiraukannya
sama sekali. Seperti Prastawa ia sibuk dengan kudanya dan menggosoknya dengan
sepotong kain.
Agung Sedayu lah
yang kemudian tidak sampai hati membiarkan anak muda itu terlalu lama berdiri
termangu-mangu di tepian. Karena itulah maka anak muda itu pun mengangkat
wajahnya dan seakan-akan baru saja melihat Rudita itu berdiri di situ.
“O, kau?”
bertanya Agung Sedayu.
Rudita
menganggukkan kepalanya. Jawabnya lambat,
“Ya.”
“Kenapa kau
kemari?” bertanya Agung Sedayu pula.
Rudita
termangu-mangu sejenak, lalu dengan ragu-ragu ia bertanya,
“Apakah aku
dapat membantu kalian memandikan kuda-kuda itu?”
Pertanyaan itu
ternyata telah mengejutkan, sehingga Prastawa dan Swandaru pun terhenti sejenak
sambil memandang Rudita yang termangu-mangu.
“Kau akan
memandikan kuda?” bertanya Prastawa.
Rudita mengerutkan
keningnya. Jawabnya,
“Aku memang
tidak biasa memandikan kuda, Prastawa. Tetapi aku ingin belajar melakukannya,
akhirnya aku berpendapat, bahwa pada suatu saat aku pun harus memandikan kuda
seperti yang kalian lakukan.”
Prastawa dan
Swandaru saling berpandangan sejenak, sedang Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Seakan-akan ia melihat bayangannya sendiri pada anak muda yang
bernama Rudita itu. Sebagai seorang anak muda yang pernah mengalami
perkembangan pribadi yang cukup berat, maka Agung Sedayu segera dapat
merasakan, ada sesuatu yang bergejolak di hati Rudita. Karena itu, maka ialah
yang mula-mula menanggapinya dengan penuh minat. Sejenak dipandanginya wajah
Rudita yang nampak bersungguh-sungguh. Kemudian sambil menganggukkan kepalanya
ia berkata,
“Kemarilah
jika kau memang ingin mencoba menyesuaikan dirimu dengan kehidupan yang
barangkali agak terlampau keras bagimu.”
“Ya. Aku
selama ini menganggap bahwa aku dapat berbuat apa saja tanpa berbuat sesuatu.”
Swandaru dan
Prastawa mulai merasakan getaran di dalam hati anak muda itu. Wajah Rudita
nampaknya telah berubah. Tatapan matanya tidak lagi memancarkan perintah yang
tidak berkeputusan. Mulutnya tidak lagi menuntut perhatian orang lain dan ia
mulai mendengarkan pendapat orang lain atas dirinya. Anak-anak muda itu pun
menjadi iba kepadanya. Prastawa yang mula-mula merasa sangat jemu karena
tingkah lakunya, kini menganggap anak itu sebagai anak yang paling malang.
“Apakah kau
benar-benar akan mencoba memandikan kuda?” hampir di luar sadarnya Swandaru
bertanya.
Rudita
mengangguk.
“Baiklah.
Kemarilah. Kau tentu akan segera dapat melakukannya. Jika kau tidak mengejutkan
kuda yang sedang kau mandikan, maka kuda itu pun tidak akan berusaha untuk
lari.”
Perlahan-lahan
Rudita melangkah ke dalam air sungai yang tidak begitu dalam. Kakinya memang
agak merasa sakit karena batu-batu kerikil, tetapi sama sekali tidak
dihiraukannya, sehingga semakin lama ia pun menjadi semakin ke tengah mendekati
anak-anak muda yang sedang memandikan kuda itu.
Sejenak
kemudian Rudita telah ikut serta memandikan kuda-kuda itu. Semula tangannya
memang agak canggung. Tetapi semakin lama pekerjaan itu menjadi semakin menarik.
Bahkan rasa-rasanya ia menemukan kegembiraan baru di dalam percikan-percikan
air sungai itu. Rudita tidak menghiraukan lagi pakaiannya yang kemudian menjadi
basah kuyup seperti pakaian anak-anak muda yang lain. Tetapi Rudita tidak mau
melepaskan bajunya seperti kawan-kawannya. Karena itu, maka baju yang masih
dipakainya itu pun menjadi kuyup pula karenanya. Sejenak kemudian maka
anak-anak muda itu pun menuntun kuda-kuda itu kembali ke rumah Ki Argapati.
Tidak banyak orang yang memperhatikannya. Mereka yang bertemu di sepanjang
jalan, sekedar mengangggukkan kepalanya, karena mereka sudah mengenal anak-anak
muda itu, sedang memandikan kuda sama sekali bukan pekerjaan yang aneh bagi
mereka.
Ketika mereka
sampat di rumah Ki Argapati, maka mereka pun segera memasukkan kuda-kuda itu ke
dalam kandang. Kemudian anak-anak muda itu pun kembali ke bilik masing-masing
untuk mengambil ganti pakaian yang basah. Mereka masih akan mengguyur tubuh
mereka di pakiwan sebelum mereka berganti pakaian. Berbeda dengan Agung Sedayu,
Swandaru dan Prastawa yang setelah memberikan keterangan bahwa mereka baru saja
memandikan kuda di sungai maka pakaian mereka yang basah sama sekali tidak
menjadikan persoalan apa pun, namun ternyata bahwa pakaian Rudita yang basah
telah sangat mengejutkan ibunya.
“Kenapa
pakaianmu Rudita? Dan apalagi yang telah terjadi atasmu?”
Rudita
memandang ibunya sejenak, lalu jawabnya dengan tenang,
“Aku ikut
memandikan kuda di sungai, Ibu.”
“Memandikan
kuda?” ibunya mengulangi dengan mata terbelalak.
“He, kenapa
kau harus memandikan kuda? Apakah tidak ada seorang pelayan pun yang mau
memandikan kudamu dan barangkali juga kuda ayahmu?”
“Aku ikut
dengan Agung Sedayu, Swandaru, dan Prastawa.”
“Kenapa kau
ikut dengan anak-anak itu? Kau dapat menyuruh orang lain. Atau barangkali kau
dapat menyuruh anak-anak itu memandikan kudamu dengan sekedar upah.”
Tetapi kali
ini Rudita menggelengkan kepalanya. Katanya,
“Ternyata
senang sekali memandikan kuda di sungai. Barangkali kerja yang lain pun
memberikan kegembiraan yang serupa. Aku belum pernah pergi ke sawah untuk
membajak dan mencangkul. Aku kira pekerjaan itu pun memberikan kepuasan
tersendiri. Apalagi jika kelak kita memetik hasilnya.”
“He, aku tidak
mengerti apa yang kau maksudkan?”
“Ibu,” berkata
Rudita,
“ternyata aku
selama ini telah jauh ketinggalan dari anak-anak muda sebayaku. Aku tidak dapat
mengerjakan apa yang sanggup mereka lakukan dengan baik.”
“O, Rudita.
Apakah sebenarnya yang telah terjadi atasmu. Kenapa kau tiba-tiba saja telah
berubah. Kau tidak perlu berbuat apa-apa anakku. Kau tidak perlu berbuat
seperti anak-anak padesan itu. Kita mempunyai banyak pelayan di rumah. Kita
mempunyai uang untuk mengupah orang-orang yang dapat mengerjakan pekerjaan
kita.”
“Itulah yang
membuat aku ketinggalan, Ibu. Terlalu jauh.”
Ibunya masih
akan menjawab. Tetapi mereka berpaling ketika terdengar suara,
“Tetapi masih
ada kesempatan mengejar ketinggalan itu, Rudita.”
Ibunya
memandang Ki Waskita yang berdiri di muka pintu sambil menatap wajah anaknya.
Dengan nada yang datar ayahnya itu berkata selanjutnya,
“Kau agaknya
telah menemukan jalan yang benar anakku.”
“Apakah yang
kau maksud, Kiai?” bertanya ibu Rudita itu.
“Apakah kau
akan menjadikan anak kita seperti anak-anak padesan yang melarat itu dan
membuatnya menjadi budak? Tidak. Anakku harus menjadi anak yang lebih baik dari
mereka. Anakku tidak seharusnya bekerja di sawah, apalagi memandikan kuda.”
Ayahnya menarik
nafas dalam-dalam. Katanya,
“Seharusnya
kita berterima kasih, bahwa sepercik cahaya terang telah memancar di hati anak
kita itu.”
Nyai Waskita
termangu-mangu sejenak. Tetapi nampak pada sorot matanya bahwa ia tidak dapat
mengerti keterangan suaminya. Baginya Rudita adalah anak yang lain dari
anak-anak padesan. Bahkan bagi ibu Rudita itu, anaknya adalah anak yang lebih
tinggi martabatnya dengan anak-anak Sangkal Putung meskipun yang seorang dari
keduanya adalah anak Demang di Sangkal Putung.
Tetapi ibu
Rudita itu tidak berusaha mengetahui lebih banyak tentang sikap suaminya. Ia
seolah-olah telah menentukan sikapnya sendiri terhadap anaknya. Karena itu maka
katanya kemudian,
“Aku akan
tetap menjaga agar derajat anakku tidak merosot. Ia harus tetap anak yang baik,
yang terhormat dan berwibawa.”
Ki Waskita
menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun sadar, bahwa tidak akan ada gunanya
menjelaskan kepada isterinya untuk langsung dapat dimengerti.
“Mudah-mudahan
pada suatu saat ibunya dapat mengerti,” katanya di dalam hati.
Rudita sendiri
kemudian merasa dirinya berdiri di persimpangan jalan. Ia kini sadar, bahwa
ibunya masih tetap dalam sikapnya. Dan itulah yang membuatnya semakin jauh
dapat menyelami dirinya sendiri. Perlahan-lahan ia dapat melihat sebab yang
membuatnya tumbuh di dalam keadaan yang lain dari anak-anak muda sebayanya. Ketika
malam kemudian menyaput induk Tanah Perdikau Menoreh, maka Rudita mendapatkan
Agung Sedayu dan Swandaru yang duduk di serambi gandok. Udara yang panas
membuat mereka tidak tahan berada di dalam bilik menunggui Kiai Gringsing dan
Ki Sumangkar. Apalagi mereka terlampau asik berbicara di antara mereka
orang-orang tua bersama Ki Demang Sangkal Putung. Tetapi sikap Rudita pun
kemudian sudah sangat berlainan. Ia tidak lagi memandang kedua anak-anak muda
itu dengan kepala tengadah dan mengucapkan perintah-perintah dan menyatakan
keinginan-keinginannya tanpa menghiraukan perasaan orang lain. Kini Rudita itu
duduk di hadapan Agung Sedayu dan Swandaru dengan kepala tunduk.
“Aku minta
maaf kepada kalian,” berkata Rudita itu,
“kepada kau
berdua, kepada Pandan Wangi, dan kepada Prastawa.”
Agung Sedayu bergeser
setapak. Lalu katanya,
“Kesalahanmu
bukan kesalahan yang tidak termaafkan. Kami tahu, bahwa kau selama ini
dibayangi oleh kepribadian yang belum terbentuk karena lingkungan keluargamu.
Hampir tidak masuk akal bahwa kau adalah anak Ki Waskita yang tidak dapat
dibayangkan, betapa tinggi kemampuannya.”
Rudita
mengerutkan keningnya, lalu,
”Maksudmu?”
Agung Sedayu
termangu-mangu sejenak. Lalu,
“Ayahmu adalah
seorang yang memiliki ilmu tidak ada duanya dari mereka yang pernah aku kenal.”
Rudita tidak
mengerti yang dimaksud oleh Agung Sedayu. Namun kemudian ia menyahut,
“Ayah hanya
mampu menebak apa yang dilihatnya dalam isyarat. Kadang-kadang benar dan
kadang-kadang salah.”
Agung Sedayu
dan Swandaru mulai merasakan sesuatu yang ganjil pada tanggapan Rudita terhadap
ayahnya. Bahkan mereka pun kemudian mulai curiga bahwa Rudita tidak banyak
mengetahui bahwa ayahnya memiliki kemampuan olah kanuragan yang luar biasa di
samping ilmunya yang ajaib itu. Karena itu, maka Agung Sedayu dan Swandaru pun
kemudian tidak lagi berbicara tentang kemampuan Ki Waskita. Namun mereka ingin
menjajagi perkembangan pribadi Rudita
“Rudita,”
Swandaru lah yang kemudian bertanya kepadanya,
“aku melihat
sesuatu yang berubah pada dirimu. Apakah kau menyadarinya?”
“Aku
menyadari,” berkata Rudita,
“aku merasa
bahwa aku selama ini bersikap lain dengan sikap anak-anak muda sebayaku. Aku
dipengaruhi oleh perasaan yang baru sekarang aku sadari, bahwa hal itu kurang
menguntungkan bagi diriku sendiri.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Tetapi kau
adalah orang yang jujur sekali Rudita. Jarang sekali orang yang mau mengakui
kelemahan sendiri di masa lampaunya.”
“Aku mengalami
getaran yang sangat dahsyat di dalam jiwaku. Aku bahkan merasa bahwa aku tidak
akan pernah dapat melihat matahari terbit esok pagi.” Rudita berhenti sejenak,
lalu,
“Ketika Paman
Sumangkar menemukan aku, rasa-rasanya aku adalah orang yang mati dan hidup
lagi. Goncangan itulah yang membuat aku harus mengakui apa yang terjadi atas
diriku.”
“Apakah dengan
demikian kau kemudian berhasrat untuk mempelajari olah kanuragan?”
“Sudah
terlambat.”
“Tidak. Kau
adalah seorang laki-laki. Adikku, Sekar Mirah adalah seorang gadis. Ia tekun
mempelajari ilmu di saat ia sudah dewasa. Ia pun mengalami goncangan seperti
yang terjadi atasmu ketika ia diculik oleh seorang laki-laki yang
menginginkannya. Kini Sekar Mirah adalah seorang gadis yang dapat menjaga
dirinya sendiri.”
Rudita
tersenyum. Katanya,
“Tetapi aku
memilih jalan lain. Kekerasan bukan satu-satunya jalan untuk membina ketenteraman.
Jika Raden Sutawijaya dan Paman Argapati mempergunakan kekerasan untuk membuat
Mataram dan Menoreh tenteram dan tidak lagi diganggu oleh orang-orang
bersenjata yang ternyata di bawah pimpinan Panembahan Agung itu, maka aku akan
memilih jalan lain.”
“Apakah yang
kau pilih itu?” bertanya Agung Sedayu.
“Jika setiap
orang menghindarkan diri dari tindak kekerasan, maka rasa-rasanya kita
bersama-sama akan hidup tenteram. Memang agaknya kemungkinan itu jauh sekali
dari batas pencapaian di masa kini. Tetapi aku kira, itu adalah cara yang dapat
dimulai.”
Agung Sedayu
dan Swandaru mendengarkan kata-kata Rudita itu dengan dada yang berdebar-debar.
Mula-mula mereka tidak begitu menyadari arti dari kata-kata itu. Namun kemudian
terasa sesuatu yang lain menyentuh hati mereka.
“Jika kita
masih tetap menganggap bahwa kekerasan adalah jalan satu-satunya untuk
mendapatkan ketenangan, maka aku kira kita tidak akan pernah sampai pada
ketenangan yang sebenarnya,” berkata Rudita pula.
“Tetapi,” dengan
ragu-ragu Swandaru menyahut,
“apakah sikap
itu akan ada artinya apabila kita harus berhadapan dengan kekerasan? Kita tentu
tidak akan dapat meneriakkan aba-aba agar semua orang menghentikan kekerasan
dalam satu saat yang sama. Dengan demikian, maka sikap itu pun akan terguncang
oleh kenyataan bahwa kita berhadapan dengan sikap yang lain. Apakah dalam
keadaan serupa itu kita tidak seharusnya berusaha mempertahankan diri sebagai
salah satu sifat manusiawi, bahwa kita selalu ingin mempertahankan hidup kita
dan menghindari kematian sejauh dapat kita lakukan.”
“Kau benar,
Swandaru,” berkata Rudita,
“seperti yang
aku katakan, masa itu adalah masa yang masih jauh sekali dari masa kini, di
mana sikap tenang dan damai tidak dilambari dengan sikap kekerasan. Tetapi
menurut pendapatku, sesuai dengan keadaanku, maka bagiku jalan inilah yang
paling tepat aku tempuh. Tentu tidak akan dapat tercapai sejauh umurku. Jika
ada orang lain yang dapat mengerti caraku berpikir dan berusaha untuk
bersama-sama melakukannya, maka aku akan berbesar hati. Mudah-mudahan pada
suatu saat yang jauh sekali, akan datang waktunya bahwa kekerasan bukan
merupakan pelindung yang paling utama untuk mendapatkan kedamaian.”
Swandaru
memandang wajah Rudita sejenak. Rasa-rasanya yang diajaknya berbicara kali ini
bukan Rudita yang beberapa hari yang lalu masih saja membentak sambil berkata,
“Hasil buruan
yang pertama akan aku hadiahkan kepada Pandan Wangi.”
Bahkan Agung
Sedayu menerima kata-kata Rudita itu dengan debar yang rasa-rasanya
menghentak-hentak di dadanya. Ia sendiri pernah mengalami masa yang serupa
dengan Rudita. Tetapi akibat yang kemudian tumbuh adalah berbeda sekali. Ia
sendiri memilih jalan kekerasan untuk memantapkan diri, mempelajari ilmu
kanuragan dan ketahanan jasmaniah, namun Rudita memilih jalan yang lain. Ia
memilih jalan yang terasa asing. Namun justru jalan yang sangat mengagumkan.
Namun Agung
Sedayu pun menyadari alasan dari perkembangan yang berbeda itu. Pada masa
kecilnya, betapa pun ibunya memanjakannya seperti ibu Rudita, namun ia sempat
mempelajari beberapa jenis kemampuan jasmaniah. Ia mempelajari dasar-dasar tata
bela diri dan ilmu bidik yang ternyata melampaui kemampuan orang kebanyakan.
Modal itulah yang kemudian berkembang sejalan dengan perkembangan
kepribadiannya. Dan agaknya berbeda dengan Rudita. Meskipun ayahnya seorang
yang memiliki kelebihan yang jarang ada duanya, namun agaknya Rudita sama
sekali tidak pernah diperkenalkan dengan ilmu olah kanuragan sehingga arah
perkembangan kepribadiannya pun sangat berlainan dangan Agung Sedayu.
“Rudita,”
berkata Agung Sedayu kemudian,
“sikapmu
sangat mengagumkan. Aku iri mendengar pernyataanmu tentang dunia yang kau
cita-citakan. Tetapi apakah kau tidak membayangkan, betapa pun bersihnya suatu
cita-cita, namun apabila cita-cita itu tidak pernah dapat berkembang, bukankah
itu sama artinya dengan kesia-siaan?”
“Tentu, Agung
Sedayu,” jawab Rudita,
“karena itu
terserahlah kepada orang lain yang menanggapi sikapku. Jika tidak ada orang
lain yang berpendapat sesuai dengan pendapatku, dan bahkan aku akan tergilas
oleh sikap yang lain dalam waktu yang singkat, maka yang aku harapkan itu tidak
akan pernah terwujud. Tetapi aku masih ada harapan lain, bahwa pada suatu saat
ada orang lain yang meskipun belum pernah mendengar namaku dan belum pernah
mengetahui sikapku ini, akan mengambil sikap serupa.”
Agung Sedayu
mengangguk-angguk kecil. Lalu katanya,
“Apakah
bedanya sikapmu itu dengan sikap seseorang yang meskipun memiliki kemampuan
yang tinggi tetapi ia mendambakan kedamaian yang kekal. Justru dengan demikian
ia akan dapat memelihara dan mempertahankan sikapnya itu jika orang lain
berusaha menghancurkan cita-citanya dengan kekerasan, maka ia mempunyai
kekuatan untuk melindunginya.”
“Agung Sedayu.
Di dalam pertempuran yang baru saja terjadi di padepokan yang terpencil itu,
aku melihat sesosok tubuh raksasa. Aku semula tidak mengerti, karena bentuk
yang satu mirip sekali dengan ayahku. Ternyata Panembahan Agung sedang
bermain-main dengan bentuk semunya. Bentuk yang menurut Paman Sumangkar dapat
mengelabuhi siapa pun juga yang ada di sekitar jarak jangkau ilmunya. Namun
akhirnya yang semu itu tidak ada artinya apa-apa. Demikian juga agaknya
kekerasan itu. Yang dapat dicapai dengan kekerasan adalah keadaan yang semu,
karena pada suatu saat kekerasan yang lain akan saling berbenturan sehingga
akhirnya kekuatan yang satu akan segera lenyap karena kekuatan yang lain yang
timbul kemudian. Demikian seterusnya. Tetapi jika kita bersama-sama sama sekali
tidak memiliki kemampuan apa pun yang bersifat kekerasan, kita tidak akan dapat
berbuat demikian. Dan kita akan menemukan ketenangan yang sebenarnya di dalam
sikap damai setiap orang.”
Swandaru
menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat mengerti pendirian itu, namun bagi Swandaru
pendirian Rudita masih merupakan suatu mimpi yang samar-samar terapung di
langit yang jauh sekali. Meskipun Swandaru tidak menolak, bahwa jika benar
keadaan yang demikian itu dapat dicapai, maka hidup di dunia ini akan menjadi
semakin tenang. Agung Sedayu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Seperti Swandaru
ia pun mengerti. Bahkan ia lebih dalam tersentuh oleh kata-kata Rudita itu. Dan
menurut pendapat Agung Sedayu, apa yang dikatakan oleh Rudita itu adalah murni
tumbuh dari sanubarinya sendiri setelah ia mengalami goncangan perasaan yang
sangat dahsyat.
“Agung Sedayu,”
berkata Rudita kemudian,
“peristiwa
yang baru saja terjadi telah melontarkan aku ke dalam puncak perasaan takut.
Dengan demikian maka kini justru timbul pertanyaan di dalam diriku, kenapa aku
harus ketakutan menghadapi peristiwa semacam itu. Takut atau tidak takut
sebenarnya bagiku tidak akan ada bedanya. Jika tidak ada Paman Sumangkar yang
menolongku, maka aku sekarang sudah tidak akan sempat berbicara dengan kau
lagi. Karena itu sebenarnya sia-sialah perasaan takut itu bagiku. Mungkin tidak
bagimu, karena di dalam ketakutan kau dapat mencurahkan ilmumu untuk melindungi
dirimu. Tetapi tidak bagiku. Aku tidak perlu takut, karena aku tidak akan dapat
berbuat apa-apa. Sehingga karena perasaan takut atau tidak takut sama saja
bagiku, sebaiknya aku belajar mengusir perasaan takut itu. Ketakutan yang
bagaimana pun juga tidak akan menolongku.”
Agung Sedayu
mengerutkan keningnya. Sejenak ia berpaling memandang wajah Swandaru. Wajah itu
tampak tegang. Namun kemudian kepala Swandaru pun terangguk-angguk kecil. Agung
Sedayu pun kemudian mengangguk-angguk pula di luar sadarnya. Rudita benar-benar
telah menemukan dirinya di dalam bentuknya yang lain. Jika Agung Sedayu pun
kemudian berhasil melepaskan diri dari belenggu perasaannya dari ketakutan,
maka agaknya Rudita pun demikian. Namun Rudita menganggap bahwa lebih baik
baginya untuk berada di dalam sikapnya yang damai tanpa ketakutan sama sekali
apa pun yang akan dialami. Untuk beberapa saat ketiga anak-anak muda itu
berdiam diri, masing-masing dengan angan-angannya sendiri. Agung Sedayu dan
Swandaru masih saja merenungi sikap Rudita yang dapat mereka mengerti, namun
masih belum dapat mereka lakukan karena pertimbangan yang berlapis-lapis.
“Aku hormati
sikapmu,” desis Agung Sedayu kemudian,
“ternyata
bahwa kau jauh lebih berani daripada aku. Aku mengerti bahwa jalan itu benar.
Tetapi aku tidak mempunyai keberanian untuk menempuhnya. Dan kau pun benar,
bahwa dengan ketakutan sebagai dasar yang paling dalam, maka aku merasa perlu
untuk menempa diri dengan berbagai macam ilmu, sekedar untuk mendapatkan
ketenteram hati. Dan agaknya kau telah menemukan sikap yang damai dan tenang
tenteram tanpa mempelajari ilmu yang kau sebut dengan sikap kekerasan itu.”
Rudita
tersenyum. Katanya,
“Mungkin dapat
juga diartikan, aku sudah terlanjur menjadi anak yang malas, yang tidak
mempunyai kemampuan dan kemauan apa pun lagi untuk memilih sikap yang lain dari
sikapku ini.”
“Sikapmu
agaknya bukan sekedar karena kau tidak dapat berbuat yang lain,” jawab
Swandaru,
“agaknya kau
meyakini bahwa sikap itu adalah sikap yang paling baik kau lakukan.”
Rudita menarik
nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak segera menyahut.
Maka malam pun
menjadi semakin dalam. Di langit bintang bertebaran dari ujung sampai ke ujung.
Di kejauhan terdengar suara bilalang berderik bersahut-sahutan.
Rudita menarik
nafas. Kadang-kadang bulu-bulunya masih juga meremang jika ia mengenang
masa-masa yang mengerikan di padepokan yang terasing itu. Namun ia tersenyum
sendiri mengenangkan saat-saat ia menangis hampir semalam suntuk. Dan ternyata
tangisnya sama sekali tidak menolongnya. Yang menolongnya adalah Ki Sumangkar
yang memasuki padepokan itu. Meskipun Ki Sumangkar harus berbekal kekerasan
selagi melepaskannya, namun kekerasan itu sendiri agaknya tidak lagi
diperlukannya bagi dirinya sendiri. Pembicaraan mereka pun terputus ketika
Prastawa kemudian datang memanggil mereka dan Ki Demang Sangkal Putung untuk
makan bersama. Sedang bagi Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar, Pandan Wangi telah
membawa dan melayani mereka berdua makan di dalam biliknya.
“Aku dapat
naik ke pringgitan,” berkata Sumangkar,
“mungkin bagi
Kiai Gringsing masih diperlukan pelayanan di dalam bilik ini.”
“Beristirahat
sajalah, Kiai,” sahut Pandan Wangi,
“biarlah aku
melayani Kiai berdua. Meskipun luka-luka Kiai tidak separah Kiai Gringsing,
tetapi biarlah Kiai beristirahat secukupnya.”
Di pringgitan
kemudian berkumpul beberapa orang tua bersama anak-anak muda untuk makan
bersama. Sedangkan ibu Rudita seperti biasanya makan bersama beberapa orang
perempuan yang sibuk di dapur membantu menyediakan makan bagi para tamu dan
pengawal yang masih selalu bersiap-siap.
Sekali-sekali
mereka yang makan di pringgitan itu masih juga berbicara tentang kekuatan yang
tersembunyi di padepokan terpencil itu. Kekuatan yang sebenarnya akan sangat
berarti jika disalurkan lewat jalan yang benar dan baik. Dengan demikian Rudita
pun menjadi semakin yakin, bahwa ilmu yang semakin tinggi, akan semakin
berbahaya. Sifat manusia adalah lupa diri. Betapa pun juga ia mendasari dirinya
dengan sifat-sifat yang baik, namun apabila pada suatu saat ia tersentuh oleh
nafsu yang tidak terkendali, maka kemampuannya itu pun akan tergeret oleh
nafsunya dan akan disalah-gunakannya. Demikian asyiknya mereka berbicara,
akhirnya sampai juga mereka pada Raden Sutawijaya. Seorang anak muda yang
mengagumkan. Namun timbul pula pertanyaan di dalam diri mereka, siapakah
sebenarnya gadis yang telah disebut-sebut berasal dari Kalinyamat itu.
Raden
Sutawijaya sendiri yang sedang dibicarakan itu, telah dicengkam oleh kecemasan
yang sangat. Betapa pun ia mencoba menyembunyikan perasaannya, namun tampaklah
bahwa ia sedang kebingungan. Ki Lurah Branjangan yang telah menduga bahwa
sesuatu sedang bergolak di dalam hati anak muda itu, sekali-sekali ingin juga
bertanya kepadanya. Tetapi ia selalu ragu-ragu dan pertanyaan itu masih belum
dapat dilontarkannya. Ia hanya dapat duduk memandangi anak muda yang murung itu
sambil menunggu saat yang baik untuk bertanya. Namun dalam pada itu, beberapa
orang pengawal justru menjadi gelisah. Mereka tidak mengerti, kenapa Sutawijaya
telah menghentikan pasukannya justru setelah mereka berada di mulut Tanah
Mataram.
“Apakah kita
harus tidur di belukar ini setelah rumah kita berada di depan hidung?” desis
seorang pengawal yang nampaknya sudah terlalu letih sehingga seakan-akan ia
sudah tidak lagi dapat menahan hati untuk segera pulang dan tidur dengan
nyenyaknya.
Kawannya hanya
dapat mengangkat bahu. Mereka tidak mengerti kenapa mereka harus berhenti. Jika
mereka harus beristirahat di tempat itu, maka akan lebih baik jika jarak yang
pendek itu mereka selesaikan saja sama sekali. Baru kemudian mereka
beristirahat sebaik-baiknya. Tetapi tidak seorang pun yang menanyakannya kepada
Sutawijaya. Bahkan utusan yang memanggilnya agar ia cepat-cepat pulang ke Tanah
Mataram itu pun tidak bertanya apa-apa. Bahkan utusan itu malahan mendekati Ki
Lurah Branjangan dan duduk di sebelahnya.
“Apakah ada
sesuatu yang tidak wajar terjadi atas Raden Sutawijaya?” bertanya utusan itu.
Ki Lurah Branjangan
hanya dapat menarik nafas dalam-dalam, sambil bergumam,
“Aku tidak
mengerti perasaan apa yang berkecamuk di dalam dadanya.”
Keduanya pun
kemudian terdiam. Mereka sekilas memandang Raden Sutawijaya yang duduk
bersandar sebatang pohon. Kemudian berdiri dan berjalan mondar-mandir.
“Ki Lurah,”
berkata utusan itu,
“agaknya Raden
Sutawijaya memang sedang menghadapi kesulitan.”
“Ya,” sahut Ki
Lurah Branjangan,
“apakah kau
benar-benar tidak mengerti, atau setidak-tidaknya mendengar desas-desus, apakah
desas-desus itu salah atau benar, bahwa sesuatu telah terjadi sehingga ia telah
terpaksa pulang dengan tergesa-gesa?”
Utusan itu
menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya,
“Hanya sekedar
desas-desus. Tetapi sudah barang tentu tidak akan dapat dijadikan pegangan. Dan
itulah sebabnya aku bertanya kepada Ki Lurah barangkali Ki Lurah
mengetahuinya.”
“Aku tidak
tahu. Tetapi bagaimana bunyi desas-desus itu?”
Utusan yang
menjemput Raden Sutawijaya itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya
berbisik,
“Raden
Sutawijaya telah membuat hubungan gelap dengan seorang gadis dari Kalinyamat,
yang seharusnya diperuntukkan bagi ayahandanya Sultan Pajang.”
Ki Lurah
Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sebenarnya ia sudah tidak terkejut
lagi. Ia memang sudah menduga bahwa hal itulah yang menjadi persoalannya. Ia
pernah mendengar desas-desus yang serupa pula. Dan agaknya hal itu sudah bukan
merupakan rahasia lagi, meskipun belum seorang pun yang berani mengatakannya
dengan berterus-terang. Setiap mulut berbisik ke setiap telinga dengan pesan,
“Jangan kau
katakan kepada orang lain.” Namun akhirnya desas-desus itu sudah merata di
seluruh Tanah Mataram.”
Utusan yang
membisikkan desas-desus itu menjadi berdebar-debar. Bahkan kemudian ia
bertanya,
“Kau tidak
sependapat bahwa hal itu telah terjadi?”
Ki Lurah
Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya,
“Bukan aku
tidak sependapat bahwa hal itu telah terjadi. Jika hal itu sudah terjadi, apa
yang dapat aku lakukan? Tetapi aku memang tidak sependapat bahwa hal itu terjadi.
Tetapi sudah barang tentu yang sudah terjadi itu terjadilah.”
Utusan itu mengangguk-angguk.
Katanya,
“Jika benar
hal itu telah dilakukan oleh Raden Sutawijaya, maka yang akan terjadi tentu
tidak kita harapkan bersama. Kesulitan demi kesulitan akan melanda Mataram.
Hari ini Mataram telah membebaskan diri dari gangguan orang yang menyebut
dirinya Panembahan Tidak Bernama yang juga disebut Panembahan Alit dan orang
yang lebih berbahaya lagi, Panembahan Agung, namun kesulitan yang bakal datang
adalah dari Pajang. Di Pajang tidak kurang jumlah orang sakti yang akan dapat
mempengaruhi pertumbuhan Mataram.”
Ki Lurah
Branjangan memandang saja ke dalam kegelapan yang rasa-rasanya semakin
mencengkam. Lamat-lamat ia masih melihat bayangan Sutawijaya yang berjalan
hilir-mudik. Sepercik cahaya perapian telah mewarnai wajahnya menjadi
kemerah-merahan.
“Ya,” jawab
utusan itu,
“di Pajang
masih ada beberapa orang sakti. Mereka adalah senapati-senapati yang terpilih.
Sepeninggal Ki Gede Pemanahan dan Ki Penjawi, masih ada Ki Mancanagara, masih
ada Ki Wilamarta dan Ki Wuragil. Masih ada senapati-senapati lain yang namanya
cukup mendebarkan, selain mereka masih juga harus diingat, bahwa kekuasaan
Pajang meliputi Pasisir Lor dan Wetan, para adipati tentu tidak akan tinggal
diam jika Sultan Pajang menjatuhkan perintah atas mereka untuk menyapu Mataram
yang kini masih tidak lebih dari sebutir debu di pantai.”
Ki Lurah
Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Memang Mataram masih terlalu kecil jika
dibandingkan dengan Pajang keseluruhan. Tanpa para adipati itu pun Mataram
tentu akan menghadapi kesulitan apabila senapati di daerah Selatan yang justru
merupakan jalur lurus antara Pajang dan Mataram itu mulai bertindak. Jika
Sultan Pajang menjatuhkan perintah atas Untara maka Mataram akan menghadapi
persoalan yang sangat rumit. Kekuatan Untara memang masih belum sebesar kekuatan Mataram jika dihimpun seluruhnya.
Tetapi Untara adalah bagian kecil saja dari seluruh pasukan yang ada. Jika
dikehendaki, maka pasukan Untara dalam waktu satu hari satu malam dapat
ditambah dengan dua kali lipat, di bawah pimpinan senapati yang berilmu tinggi.
Ki Lurah Branjangan mengerutkan keningnya. Ia mengetahui semuanya itu. Tetapi
ada sesuatu yang mendesaknya untuk pergi ke Mataram saat itu. Bukan ia sendiri,
tetapi beberapa kawannya dan beberapa orang prajurit.
Tetapi agaknya
Pajang yang tampak kuat di luar itu, ternyata semakin lama menjadi semakin
rapuh. Para senapatinya telah menentukan sikapnya sendiri-sendiri. Jika Ki
Lurah Branjangan itu pergi ke Mataram, maka Daksina telah berada di padepokan
terpencil di bawah pengaruh Panembahan Agung, meskipun Daksina sendiri bukannya
orang tertinggi di Pajang di dalam lingkungannya.
“Apakah pada
saatnya Pajang akan runtuh dengan sendirinya?” bertanya Ki Lurah Branjangan di
dalam hatinya.
Tetapi Ki
Lurah Branjangan masih tetap berdiam diri. Ketika ia mengangkat wajahnya,
dilihatnya langit yang gelap menjadi semakin gelap. Segumpal mendung yang hitam
mengalir di ujung langit menutupi bintang yang bertebaran, dan hujan tentu
sudah jatuh di bagian lain dari daerah Mataram
Raden
Sutawijaya masih saja berjalan hilir-mudik dengan gelisahnya. Kegelisahannya
ternyata membuat para pengawal itu menjadi gelisah pula.
“Jika kita
berjalan terus, kita tentu sudah berada di mulut gerbang,” desis seorang
pengawal.
Tetapi
kawannya sama sekali tidak menyahut. Mereka tidak akan dapat merubah keputusan
Raden Sutawijaya. Bahkan utusan yang seolah-olah telah memaksa anak muda itu
meninggalkan Menoreh, sama sekali tidak berbuat apa-apa meskipun pasukan para
pengawal itu sudah berada di depan pintu gerbang. Selagi para pengawal itu
merenung, maka tiba-tiba saja terdengar Raden Sutawijaya itu memanggil Ki Lurah
Branjangan, sehingga dengan tergesa-gesa Ki Lurah itu berdiri dan melangkah mendekatinya.
“Raden
memanggil aku?” bertanya Ki Lurah Branjangan.
“Ya, Ki Lurah,”
sahut Haden Sutawijaya,
“kemarilah.
Aku ingin berbicara sedikit.”
Ki Lurah
Branjangan pun menjadi termangu-mangu. Namun ketika Sutawijaya kemudian duduk
di atas sebuah batu, maka Ki Lurah Branjangan pun berjongkok pula.
“Duduklah,”
berkata Raden Sutawijaya,
“aku ingin
berbicara dengan Paman seorang diri.”
Ki Lurah
Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian duduk pula di atas sebuah
batu. Ketika ia berpaling, dilihatnya utusan yang tadi berbicara dengannya itu
sudah melangkah pergi.
“Ki Lurah,”
berkata Sutawijaya kemudian,
“sebenarnya
ada sesuatu yang menyulitkan kedudukanku sekarang.”
Ki Lurah
Branjangan yang sudah menduga, persoalan apa yang sedang mencengkam hati Raden
Sutawijaya itu, mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia masih tidak segera
menanggapinya, seolah-olah ia masih belum mengetahuinya sama sekali. Tetapi
Sutawijaya itu pun berkata,
“Paman tentu
sudah mengetahuinya. Bahkan sebagian para pengawal Mataram pun sudah
membicarakannya. Daksina menyebutnya dengan berterus-terang di hadapan para
pengawal. Maksudnya memang dengan sengaja mempengaruhi perasaanku pada waktu
itu.”
“Persoalan
apakah yang Raden maksudkan?”
“Ki Lurah
tentu sudah mengetahuinya.”
Ki Lurah
memandang wajah Raden Sutawijaya sejenak. Meskipun wajah itu hanya disentuh
oleh nyala perapian yang redup namun Ki Lurah Branjangan dapat menangkap betapa
tegangnya perasaan Raden Sutawijaya, sehingga ia sama sekali tidak dapat
menyembunyikannya lagi.
“Raden,”
berkata Ki Lurah Branjangan,
“ada beberapa
persoalan yang sedang kita hadapi bersama. Tetapi persoalan yang khusus bagi
Raden, tentu aku tidak berani menyebutnya. Jika aku keliru, barangkali Raden
dapat marah kepadaku, sedangkan persoalan yang sebenarnya adalah persoalan yang
sama sekali tidak menyangkut masalah yang aku perkirakan itu.”
Raden
Sutawijaya termenung sejenak. Lalu katanya,
“Baiklah,
Paman. Paman adalah orang yang sudah jauh lebih masak dari padaku.” Raden Sutawijaya
berhenti sejenak, lalu,
“Aku kini
dihadapkan pada persoalan yang sangat rumit. Aku tentu akan dituntut oleh suatu
pertanggungan jawab yang barangkali berada di luar batas kemampuanku untuk
mempertanggung-jawabkannya.”
Ki Lurah
Branjangan hanya mengangguk-angguk saja. Dan Sutawijaya pun mulailah
menceriterakan apa yang pernah terjadi atas dirinya selagi ia pada suatu saat
datang ke Pajang.
“Aku menjumpai
gadis itu di luar rencanaku,” berkata Sutawijaya,
“tetapi
tiba-tiba saja hal itu sudah terjadi. Gadis itu terlampau cantik, manja, dan
seakan-akan pasrah diri. Dan akhirnya terjadilah semuanya itu. Apa yang
dikatakan Daksina itu sebenarnyalah memang sudah terjadi.”
Halaman 1 2 3
<<< Jilid 076 Jilid 078 >>>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar