“Siapakah Jaka Raras itu?”
“Aku
Panembahan.”
“Kenapa kau
panggil aku Panembahan.”
“Bukankah kau
menyebut dirimu Panembahan Agung?”
Panembahan
Agung itu mengangkat alisnya, lalu,
“Aku tidak
mengerti.”
“Baiklah. Jika
kau tidak mengenal lagi dirimu sebagai Panembahan Agung, biarlah aku
memanggilmu Gantar, yang kemudian kau lengkapi namamu menjadi Gantar Angin. Kau
ingat.”
“Ya, ya. Aku
adalah Gantar Angin.”
“Dan aku
adalah Jaka Raras.”
“Jaka Raras,”
orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya sambil mengingat-ingat. Lalu,
“O, aku ingat
sekarang. Kau Jaka Raras. Ya, Jaka Raras yang dungu itu.” Terdengar suara orang
itu tertawa terkekeh-kekeh. Suara tertawa seorang tua.
Namun
tiba-tiba suara tertawanya terhenti. Sambil mengerutkan keningnya ia berdesis,
“Jaka Raras.
Ya, kita pernah berguru bersama.”
“Benar. Kau
sudah menemukan permulaan dari kesadaranmu. Cobalah, kau telusuri ingatan itu,
sehingga kau tentu akan menemukan keadaanmu sekarang, sebagai seorang
Panembahan yang menyebut dirinya Panembahan Agung.”
Orang yang
menyebut dirinya Panembahan Agung itu termenung sejenak. Ia masih tetap duduk
bersila di atas sebuah amben kecil. Sekali-sekali ia menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian dengan tangannya yang lemah ia mencoba mengusap keningnya yang sudah
menjadi kehitam-hitaman. Tetapi, ketika kulitnya bersinggungan, Panembahan
Agung itu menyeringai menahan sakit.
“O,” Pandan
Wangi semakin bergeser di belakang Sumangkar. Ia menjadi bertambah ngeri
melihat keadaannya. Rasa-rasanya ia benar-benar menghadapi sesosok mayat yang
hidup kembali.
“Jaka Raras,”
berkata Panembahan Agung,
“di manakah
aku sekarang ini berada?”
“Jangan kau
cari di mana kau sekarang. Telusurilah kenanganmu sejak kita bersama-sama
berguru.”
Panembahan
Agung tidak segera menjawab. Dengan ingatannya yang gelap ia mencoba mengenang
semua yang telah terjadi atas dirinya.
“Gantar
Angin,” berkata Jaka Raras,
“mulailah dari
nama itu.”
Panembahan
Agung mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Aku sedang
mencoba. Tetapi aku rasa, aku tidak akan berhasil.”
“Kau akan
berhasil,” sahut Jaka Raras,
“kau telah
mendapatkan ilmu yang tidak ada taranya. Ilmu yang dapat menciptakan
bentuk-bentuk semu, kemudian ilmu yang dapat kau pergunakan untuk membakar
gunung dan memecahkan batu-batu hitam sebesar kerbau dengan tatapan matamu. Dan
kau mempunyai sebuah busur yang besar sekali yang tidak setiap orang dapat
mempergunakan.”
“O,” Gantar
Angin yang kemudian menyebut dirinya Panembahan Agung itu mengangguk-angguk
kecil.
“Nah, bukankah
kau sudah menemukan.”
“Kau benar,”
tiba-tiba Panembahan Agung itu mengangkat wajahnya. Sambil memandang Jaka Raras
ia berkata,
“Aku memiliki
ilmu itu, ilmu yang dapat membakar gunung. He, apakah kau akan
menghalang-halangi aku? Jaka Raras, aku ingat semuanya. Aku memiliki ilmu untuk
menciptakan bentuk-bentuk semu. Nah, malanglah nasibmu. Aku akan membakarmu
dengan ilmuku.”
“Panembahan,”
berkata Jaka Raras,
“kau belum
selesai. Ingatanmu baru merambat sampai saat kau mendapatkan ilmu itu.”
“Aku tidak
peduli. Aku mempunyai firasat bahwa kau berniat buruk. Karena itu kau harus
mati.”
Panembahan
Agung itu memandang Jaka Raras dengan tajamnya.
“Jangan kau
siksa dirimu dengan kenangan itu. Jika kau menyadari kenyataanmu, dan jika kau
berhasil menemukan dirimu saat ini, kau akan mengetahui, bahwa ilmumu sudah
punah semuanya.”
Mata
Panembahan Agung terbelalak. Dan tiba-tiba saja ia memandang ke dirinya
sendiri.
“Panembahan
Agung. Kau adalah Panembahan Agung. Tetapi kau bukan lagi Panembahan Agung
seperti pada saat kau menyebut dirimu demikian.”
“He,” mata Panembahan
Agung itu terbelalak,
“jadi ilmuku
sudah punah? He, siapakah yang sudah memunahkan ilmuku. Tidak mungkin. Hanya
gurukulah yang dapat melakukannya. Tidak orang lain. Tidak ada ilmu yang dapat
menyingkirkan ilmuku dari diriku.”
“Gantar
Angin,” berkata Jaka Raras,
“kita bersama
telah menerima bagian dari ilmu guru. Meskipun kau mendapat kesempatan lebih
banyak, tetapi setelah guru tidak ada lagi, aku berhasil menyempurnakan ilmuku
sehingga mendekati kemampuan guru. Dan aku, seperti juga kau, tentu akan dapat
melakukannya. Memunahkan ilmu itu. Kita telah bertempur untuk berusaha saling
membakar dan memunahkan ilmu kita masing-masing. Dan karena usahaku aku landasi
dengan keyakinan bahwa aku benar, maka aku berani mohon kepada Tuhan agar
menolongku di dalam puncak perjuanganku. Ternyata aku berhasil.”
“O, gila kau
Jaka Raras. Aku mempelajari ilmu itu bertahun-tahun. Kini kau khianati aku. Kau
khianati aku,” Panembahan Agung itu tiba-tiba berteriak keras sekali sehingga
suaranya seakan bergema memenuhi lembah dan tebing-tebing pegunungan, meskipun
ia tidak mampu lagi melontarkan suara di luar jangkauan getaran tenggorokannya
seperti yang pernah dapat ia lakukan.
“Sudahlah,
Panembahan. Sadarilah bahwa hukuman Tuhan telah datang.”
“Persetan. Aku
tidak mau. Kembalikan ilmuku itu, kembalikan,” Panembahan itu berteriak-teriak.
“Sadarlah, kau
bukan anak-anak lagi.”
“Tidak, tidak.
Kembalikan, kembalikan,” Panembahan itu menjerit. Namun tiba-tiba suaranya
terputus. Sejenak Panembahan Agung itu jatuh terkulai. Namun sejenak kemudian
ia pun bangkit kembali perlahan-lahan.
Wajahnya masih
tetap kehitam-hitaman. Tetapi justru menjadi semakin mengerikan ketika Panembahan
Agung itu justru tertawa,
“Ha, akulah
manusia yang paling sempurna di muka bumi. Aku adalah satu-satunya orang yang
memiliki ilmu yang dahsyat, yang mampu membakar gunung dan memecahkan batu
hitam sebesar kerbau. Aku pulalah yang dapat menciptakan apa pun juga yang aku
kehendaki.”
“Panembahan,”
Jaka Raras mengerutkan keningnya.
Panembahan
Agung tertawa semakin keras, semakin keras sehingga tubuhnya yang lemah itu
menjadi terguncang-guncang.
“Panembahan,
sadarilah keadaanmu.”
Suara
tertawanya justru semakin keras. Sambil berteriak ia menengadahkan tangannya,
“Aku adalah
manusia yang paling sempurna. Aku akan menghancurkan semua negeri yang ada di
muka bumi. Akulah penguasa tunggal alam semesta. Aku adalah yang Maha Kuasa di
atas bumi.”
Ki Waskita
yang juga disebut Jaka Raras itu mundur selangkah. Wajahnya menjadi tegang.
Demikian pula agaknya Ki Sumangkar dan anak-anak muda yang ada di sebelahnya.
“Panembahan,”
desis Jaka Raras.
“Pergi,
pergilah kalian. Jangan ganggu aku lagi. Atau aku harus membakar kalian menjadi
abu?”
“Semuanya
sudah lampau, Panembahan. Sebaiknya Panembahan melanjutkan selangkah lagi.
Panembahan belum sampai pada ujung penjelajahan kenangan masa lampau itu.”
Panembahan
Agung mengerutkan keningnya. Namun ia kemudian tertawa lagi,
“Persetan.
Jangan mencoba menghasut. Jika kau ingin hidup, pergilah.”
Ki Waskita
menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak dapat menolong lagi goncangan jiwa
Panembahan Agung yang agaknya telah menghancurkan nalarnya, sehingga ia tidak
lagi dapat mengendalikan gejolak perasaannya.
“Pergi, pergi.
Aku akan menghancurkan Mataram. Aku akan menghancurkan Demak yang sudah
bergeser ke Pajang itu. Aku akan menghancurkan kekuasaan para Adipati di
pasisir dan Bang Wetan. Semuanya, semuanya. Dan aku adalah penguasa tunggal di
atas bumi.”
Jaka Raras
hanya dapat memandanginya saja ketika Panembahan Agung berusaha untuk meloncat
bangkit. Sambil berteriak mengerikan ia menolak kenyataan tentang dirinya yang
sebenarnya lumpuh. Tetapi Panembahan Agung sama sekali tidak mempunyai kekuatan
lagi. Ilmunya sudah punah dan kekuatan jasmaniahnya pun telah hampir punah sama
sekali. Karena itulah, maka hentakan kekuatan yang dipaksakannya itu ternyata
telah merampas semua yang tersisa padanya. Seperti sebatang pohon pisang,
Panembahan Agung roboh di tanah. Nafasnya menjadi terengah-engah, dan wajahnya
yang hitam menjadi semakin hitam. Perlahan-lahan Ki Waskita mendekatinya.
Sambil berjongkok di samping tubuh Panembahan Agung ia berkata,
“Panembahan,
sebaiknya kau menyadari dirimu. Marilah, ikutlah aku.”
“Aku adalah
orang yang paling berkuasa. Jangan memerintah aku.”
Ki Waskita
menarik nafas dalam-dalam.
“He kau
dengar, bukankah aku orang yang paling berkuasa di muka bumi.”
Hampar di luar
sadarnya tiba-tiba saja Ki Waskita mengangguk,
“Ya,
Panembahan.”
“Nah,
bersujudlah.”
“Ya,
Panembahan.”
“Akuilah bahwa
aku mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas atas manusia, binatang dan
tumbuh-tumbuhan di muka bumi.”
“Ya,
Panembahan.”
Panembahan
Agung memandang Ki Waskita sejenak. Perlahan-lahan ia menggeliat. Ketika
terpandang olehnya wajah Ki Waskita yang sedang mengangguk-anggukkan kepalanya,
maka tiba-tiba ia pun tersenyum sambil berdesis,
“Bagus, akulah
yang Maha Kuasa itu.”
Ki Waskita
tidak sempat menjawab. Tiba-tiba saja kepala Panembahan Agung itu terpejam
untuk selama-lamanya. Perlahan-lahan Ki Waskita bergeser surut. Diusapkan
kening Panembahan Agung yang menjadi dingin.
“Ia sudah
meninggal,” desisnya.
Ki Sumangkar
diikuti oleh Agung Sedayu, Swandaru, dan Sutawijaya mendekatinya. Tetapi Pandan
Wangi masih tetap berdiri di kejauhan. Ia tidak berani memandang wajah dan
tubuh Panembahan Agung, yang mengerikan baginya itu.
“Ia tetap pada
pendiriannya sampai saat matinya,” desis Ki Waskita.
“Ia bertahan
pada jalannya yang sesat tanpa setitik terang pun sampai ia harus kembali
kepada Yang Maha Pencipta.”
“Mengerikan
sekali,” tiba-tiba Agung Sedayu berdesis.
Sutawijaya
menundukkan kepalanya. Panembahan Agung adalah gambaran orang yang tetap
mengeraskan hatinya sampai saat pengadilan yang abadi itu tiba. Dan ia tidak
akan sempat lagi untuk menyesali segenap kesalahan dan mohon ampun kepada Yang
Maha Pengasih. Rasa-rasanya semua pintu telah tertutup baginya, bagi orang yang
tidak mengindahkan kasih dan pengampunan-Nya.
Ki Waskita pun
kemudian berdiri. Dipandanginya orang-orang yang terikat pada batang-batang
pohon sambil menahan segala macam pergolakan di dalam hati. Panembahan yang
mereka sangka tidak dapat dikalahkan oleh siapa pun juga itu, akhirnya terbunuh
di peperangan
“Ki Sanak,”
berkata Ki Waskita,
“Panembahan
Agung telah mati. Ia adalah orang yang memiliki ilmu tanpa tanding. Tetapi ia
memilih jalan sesat. Kalian yang selama ini mengaguminya dan percaya kepadanya,
kini melihat kenyataan, bahwa tidak ada seorang pun yang sempurna di muka
bumi.” Ki Waskita berhenti sejenak.
“Nah, yang
dapat kalian lakukan kemudian adalah menguburnya dan mengubur kawan-kawanmu
yang terbunuh. Berilah pertanda pada kuburannya, panembahan yang pernah
menggoncangkan dunia.”
Orang-orang
itu tidak menyahut. Tetapi mereka dengan sepenuh hati menguburkan Panembahan
Agung setelah ikatan mereka dilepaskan. Salah seorang dari mereka pun kemudian
menemukan sebatang pohon nyamplung yang baru tumbuh dan memindahkannya di atas
kuburan Panembahan Agung itu, sehingga apabila pohon nyamplung itu kelak dapat
tumbuh dan menjadi sebesar gumuk kecil yang berada di lereng bukit, maka akan
dapat dikenal, bahwa di tempat itulah Panembahan Agung dikuburkan, tanpa
setetes pengampunan atas segala dosa-dosanya.
Setelah
penguburan Panembahan Agung dan korban-korban yang lain telah selesai, maka
mereka pun segera kembali kepada induk pasukan yang sedang menunggu. Swandaru
berjalan di paling depan sambil menolong Ki Sumangkar yang terluka. Sedang
dibelakangnya Pandan Wangi melangkah sambil menundukkan kepalanya. Beberapa
orang tawanan mengikutnya dengan hati yang kosong. Mereka sama sekali tidak
dapat membayangkan, apakah yang akan dapat terjadi atas diri mereka. Dan di
belakang mereka berjalan Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Ki Waskita.
Sutawijaya
sekali-sekali menarik nafas dalam-dalam. Yang terjadi adalah peristiwa yang
sangat gawat bagi Mataram. Jika tidak secara kebetulan ia pergi bersama Ki
Waskita dan pasukan pengawal terpilih dari Menoreh, maka ia tidak akan dapat
menyelesaikan tugas itu. Bahkan mungkin hanya tinggal namanya sajalah yang akan
diucapkan oleh orang-orang Mataram, sebagai seorang pahlawan yang mengorbankan
diri sebagai bebanten berdirinya Tanah Mataram. Atau dengan demikian ayahnya akan menjadi sangat kecewa dan
melepaskan niatnya untuk mendirikan sebuah negeri yang ramai. Mataram akan
terbengkelai, dan akhirnya benar-benar jatuh ke tangan orang-orang yang gila
itu.
Tetapi bagi
Sutawijaya, peristiwa ini bukan akhir dari perjuangannya untuk menegakkan
Mataram. Ia yakin bahwa di Pajang masih ada beberapa orang yang memiliki
kelebihan di dalam berbagai bidang, yang tidak senang melihat Mataram tumbuh
dan menjadi kuat. Mereka tentu akan melakukan apa saja yang dapat mereka
usahakan untuk menghancurkan Ki Gede Pemanahan.
“Persetan
dengan mereka,” berkata Sutawijaya di dalam hatinya,
“pada suatu
saat aku akan menemukan mereka. Ayahanda Sultan Pajang akan mengetahui,
siapakah sebenarnya yang telah menggali jarak antara Pajang dan Mataram.”
Namun
tiba-tiba dada Sutawijaya terguncang. Hampir di luar kemampuannya untuk
menolak, telah hadir pula di dalam angan-angannya wajah seorang gadis cantik
dari Kalinyamat itu.
“Persetan,”
sekali lagi ia berdesis.
Namun ia
akhirnya gagal untuk mengusir kegelisahan di hatinya itu. Ia tidak akan dapat
ingkar, jika seandainya ia dihadapkan pada gadis itu.
“Tetapi,
apakah benar-benar ia mengandung?” pertanyaan itu telah mengguncangkan dadanya.
Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya ia berkata kepada diri sendiri,
“Mudah-mudahan
tidak. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu akibat dari kekhilafan itu.”
Meskipun
demikian Sutawijaya tidak dapat mengingkari, bahwa rahasia itu tentu sudah
tersebar. Jika Daksina berhasil mengetahui rahasia itu, maka para pemimpinnya
di Pajang pun pasti telah mengetahuinya pula. Bukannya aneh jika kekhilafan itu
akhirnya akan didengar pula oleh ayahandanya. Baik ayahanda angkatnya, Sultan
Pajang, maupun ayahandanya sendiri, Ki Gede Pemanahan.
Raden
Sutawijaya berusaha mengusir angan-angan itu dengan menggeretakkan giginya.
Bahkan kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya. Untunglah bahwa orang-orang
yang berjalan di sekitarnya tidak memperhatikannya, karena mereka sedang sibuk
dengan persoalan mereka masing-masing. Kedatangan mereka di induk pasukannya disambut
dengan perasaan lega, setelah beberapa lamanya pasukan itu dicengkam oleh
kegelisahan. Rudita pun kemudian berlari-larian mendapatkan ayahnya dan seperti
seorang kanak-kanak yang baru pandai berjalan, ia menangis terisak-isak.
“Rudita,”
berkata ayahnya,
“lihatlah.
Kawan-kawan sebayamu tidak menangis seperti kau meskipun mereka mengalami
peristiwa yang barangkali lebih dahsyat dari yang kau alami.”“
Rudita
menganggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak merengek seperti biasanya. Matanya
yang redup memandang ke kejauhan, seakan-akan menggapai-gapai mencari persoalan
di dalam dirinya sendiri yang tidak dapat diketemukannya selama ini di dalam
dirinya itu.
“Memang ada
kelainan pada diri ini dengan anak-anak muda sebayaku,” tiba-tiba saja
terbersit perasaan itu di dalam dadanya.
Tetapi Rudita
hanya menarik nafas dalam-dalam. Ia mulai menyadari bahwa dirinya berbeda
dengan Agung Sedayu, dengan Swandaru, Prastawa, dan apalagi Sutawijaya.
Sementara itu,
Pasukan dari Mataram dan Menoreh itu pun mempersiapkan diri dan berkemas.
Setelah beristirahat secukupnya mereka harus segera kembali ke tempat
masing-masing. Di malam hari, lembah itu bagaikan dunia yang senyap dan
terpisah dari dunia yang lain. Gelap pekat dan sunyi. Suara malam bagaikan lagu
yang sangat asing menyentuh relung-relung hati yang paling dalam. Meskipun para
pengawal menyadari bahwa peperangan yang aneh itu sudah selesai, namun hampir
tidak seorang pun dari mereka yang sempat tidur dengan nyenyak. Berbagai
bayangan mengganggu angan-angan mereka. Bahkan kadang-kadang mereka seakan-akan
melihat bentuk-bentuk semu yang mengerikan di dalam gelapnya malam. Ketika
angin lembut mengusap tubuh mereka, terasa malam menjadi dingin. Dingin, sepi,
tetapi mengerikan. Di lewat tengah malam para pengawal itu terkejut mendengar
suara anjing liar menyalak di kejauhan. Melolong-lolong, seperti hantu-hantu
yang buas mencium bau mayat yang berserakan, yang terlampaui tidak diketemukan
oleh kawan-kawannya dan karena itu tidak dikuburkan. Lembah itu rasa-rasanya
bagaikan neraka yang dingin beku, tetapi melampaui panasnya bara api kayu
mlandingan. Setiap orang mengharap agar mereka segera terlepas dari belenggu
yang menegangkan itu. Setiap kali mereka selalu memandang batas langit di ujung
sebelah Timur.
Ketika seorang
pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh tidak dapat menahan lagi kesepian yang
mencengkam, ia mencoba untuk bangkit dan melangkah hilir-mudik di antara
beberapa orang kawannya yang terbaring membujur lintang. Namun hatinya menjadi
bergetar ketika ia mendengar di kejauhan terdengar suara burung kadasih.
Perlahan-lahan ia kembali duduk dan merayap ke atas rerumputan yang telah
dibuatnya menjadi pembaringannya.
“Kau ngeri
mendengar suara burung itu?” tiba-tiba saja terdengar kawannya yang berbaring
di sampingnya bertanya. Meskipun suaranya lambat sekali, namun pengawal yang
gelisah itu terkejut bukan buatan, sehingga hampir saja ia melonjak.
“Kau
mengejutkan aku,” desah pengawal yang terkejut itu.
“Aku hanya
berbisik,” jawab kawannya.
Pengawal itu
menarik nafas dalam-dalam. Ternyata kesepian yang memuncak itu telah membuat
setiap hati menjadi semakin mudah tersentuh.
Dalam pada
itu, Agung Sedayu dan Swandaru mendengarkan suara burung kedasih itu dengan
hati yang semakin gelisah. Suara burung kedasih bagi mereka mempunyai arti
tersendiri. Beberapa kali mereka pernah mendengar suara burung kedasih sebagai
pertanda yang khusus dari anak buah orang yang ternyata menyebut dirinya
Panembahan Agung itu.
Namun setelah
mereka mendengarkan suara burung itu dengan saksama, disusul oleh suara burung
kedasih yang lain di kejauhan, maka mereka pun yakin bahwa yang didengarnya itu
adalah benar-benar suara burung kedasih.
“Kau mendengar
suara burung itu?” bertanya Agung Sedayu berbisik.
Swandaru
mengangguk lemah. Katanya,
“Tetapi
agaknya suara itu benar-benar suara seekor burung.”
“Ya. Memang
agak berbeda. Tetapi agaknya di daerah ini memang banyak burung kedasih. Bahkan
mungkin daerah ini merupakan sarang sekelompok besar burung kedasih, sehingga
menimbulkan gagasan bagi Panembahan Agung untuk mempergunakan suara burung itu
sebagal suatu isyarat tertentu.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi suara burung kedasih yang ngelangut itu
masih saja menggelitik hatinya. Namun keduanya tidak lagi membicarakannya.
Keduanya mencoba untuk mempergunakan sisa malam itu untuk benar-benar
beristirahat meskipun mereka sama sekali tidak dapat tertidur sekejap pun.
Di antara
mereka yang tidak dapat tertidur terdapat Rudita. Malam baginya benar-benar
merupakan malam yang dahsyat. Setiap kali ia terkejut mendengar desir daun yang
terlepas dari tangkainya dan jatuh di tanah. Namun dalam pada itu, Rudita
sempat melihat kepada dirinya sendiri. Pengalamannya telah menimbulkan
persoalan yang belum pernah terpikirkan sebelumnya. Tetapi pengalaman itu
ternyata telah memacunya untuk berpikir lebih dewasa. Ia merasa, bahwa
sebenarnyalah ia bukan lagi kanak-kanak yang dapat bermanja-manja kepada setiap
orang. Memang ayah dan ibunya akan berusaha untuk dapat mengerti perasaannya,
tetapi tentu tidak bagi orang lain. Jika orang lain mencoba mengertinya, maka
tentu dalam batas-batas yang jauh lebih sempit dari ayah dan ibunya sendiri.
Mereka yang
mendapat perintah untuk melihat kuda-kuda mereka yang terikat, merasa jauh
lebih sepi lagi dari kawan-kawannya, yang ada di dalam pasukan. Beberapa orang
yang berada di daerah terpisah, di antara sekelompok kuda yang tertidur sambil
terikat pada batang-batang pohon, merasa diri mereka selalu terancam bahaya.
Mereka belum mengerti akhir dari pertempuran yang terjadi di depan padepokan
Panembahan Agung, sehingga karena itu, mereka masih tetap dibayangi oleh
kecemasan bahwa para pengawal dari Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh akan
mengalami kegagalan. Kecemasan dan kegelisahan yang mencengkam hati mereka,
membuat mereka selalu berjaga-jaga sepanjang malam. Senjata mereka sama sekali
tidak terlepas dari tangan. Apa pun yang sedang mereka lakukan, maka mereka
tetap menggenggam senjata telanjang. Ketika cahaya kemerah-merahan mulai
membayang di langit sebelah Timur, maka rasa-rasanya setiap orang yang berada
di lembah itu mulai dijalari oleh ketenangan. Rasa-rasanya darah yang
seakan-akan telah membeku di malam hari, mulai mengalir lagi perlahan-lahan di
seluruh tubuh. Para pengawal itu tidak menunggu sampai matahari terbit. Ketika cahaya
kemerah-merahan semakin jelas membayang di punggung pegunungan, maka mereka pun
membenahi diri mereka masing-masing. Mereka menyiapkan segala peralatan, dan
mengumpulkah para tawanan. Dengan batang-batang kayu yang dianyam dengan tali,
mereka telah membawa Kiai Gringsing yang terluka. Namun agaknya badan Kiai
Gringsing sudah merasa lebih segar dan lebih baik. Ketika lembah itu menjadi
semakin terang, para pengawal itu mulai menghitung diri. Setiap kelompok
melihat keadaan masing-masing. Mereka harus tahu pasti, apakah ada korban yang
jatuh di dalam kelompok itu. Setelah semuanya selesai, maka mulailah pasukan
itu berjalan perlahan-lahan, bersamaan dengan cahaya yang semakin terang muncul
di balik bukit. Demikianlah maka mulailah perjalanan mereka, pasukan pengawal
dari Mataram dan dari Tanah Perdikan Menoreh menyusuri lembah kembali keluar
dari daerah yang terpencil itu.
“Raden
Sutawijaya, kami harap singgah sejenak di Tanah Perdikan Menoreh,” Ki Argapati
mempersilahkan.
Semula Raden
Sutawijaya ragu ragu. Namun kemudian ia menganggukkan kepalanya. Namun ia sama
sekali tidak tahu, bahwa utusan ayahandanya telah menunggunya dengan membawa
kabar yang sangat penting baginya.
Setelah
menempuh jalan yang sulit, dan setelah mereka melalui daerah yang mengerikan
karena guguran-guguran tebing di sebelah-menyebelah lembah yang mereka lalui,
maka mereka pun akhirnya sampai ke daerah hutan perdu, di mana kuda-kuda mereka
terikat.
Sejenak mereka
beristirahat dan membenahi kuda-kuda mereka yang gelisah. Beberapa orang yang
terluka terpaksa naik ke atas punggung kuda dijagai oleh kawannya. Yang tidak
terlalu parah masih dapat berkuda sendiri, tetapi ada di antara mereka yang
sudah tidak mampu lagi untuk berpegangan pada kendali. Demikian juga Kiai
Gringsing. Tubuhnya masih terlalu lemah untuk berkuda sendiri Karena itu, maka
Agung Sedayu terpaksa menjaganya. Dipilihnya kuda yang tegar dan besar. Dan di
atas punggung kuda itulah Kiai Gringsing dan Agung Sedayu naik bersama-sama.
Setelah
semuanya siap, maka pasukan berkuda itu pun kemudian meniggalkan lembah yang
masih saja selalu membekas dalam kenangan setiap orang. Peristiwa yang
mengerikan dan hampir tidak dapat mereka percaya, telah terjadi. Tebing yang
bagaikan runtuh. Batang-batang kayu yang bergulung-gulung menimbuni lembah.
Bahkan beberapa orang kawan mereka telah tertimbun pula di bawah batu dan
kayu-kayu itu. Kemudian bentuk-bentuk semu yang hanya dapat mereka lihat di
dalam mimpi, namun ternyata bahwa mata mereka seakan-akan telah benar-benar
melihatnya.
“Perang yang
paling gila yang pernah aku alami,” desis Ki Lurah Branjangan.
“Aku adalah
prajurit Pajang sejak aku masih sangat muda. Aku sudah mengalami banyak sekali
peperangan. Namun baru kali ini aku berada di dalam dunia yang seolah-olah
hanya sekedar khayalan saja.”
Kawannya yang
berada di sisinya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia menyahut,
“Jika aku
ceriterakan pengalaman ini kepada orang lain, maka apakah mereka dapat
mempercayainya?”
Ki Lurah Branjangan
menggelengkan kepalanya,
“Tentu tidak.
Dan menurut Ki Waskita semuanya itu adalah sebuah kebohongan yang paling besar
yang dapat dibuat oleh Panembahan Agung.”
Keduanya pun
kemudian terdiam. Mereka memandang lurus ke depan. Ke jalan yang samar di
antara batang-batang perdu. Sebentar lagi mereka akan sampai ke tempat yang
lebih lapang.
Namun
perjalanan mereka tidak dapat lebih cepat lagi, karena mereka harus membawa
beberapa orang tawanan yang tidak dapat berjalan secepat seekor kuda. Karena
itu, maka perjalanan itu pun menjadi sangat lamban dan hampir merampas
kesabaran para pengawal itu. Tetapi mereka tidak dapat memaksa tawanan mereka
berjalan sambil berlari-lari, karena perjalanan yang akan mereka tempuh adalah
perjalanan yang cukup jauh.
Sekali-sekali
iring-iringan itu harus beristirahat di sepanjang jalan yang mereka lalui. Para
tawanan yang tidak dapat berjalan lagi karena luka-luka, mendapat kesempatan
untuk naik ke punggung kuda yang tidak berpenumpang. Mungkin karena
penumpangnya berkuda bersama kawannya karena keadaan tubuhnya yang lemah.
Tetapi mungkin juga karena mereka tidak dapat lagi kembali karena mereka gugur
di peperangan yang karena keadaannya, mereka terpaksa dikuburkan di medan
dengan ciri-ciri tertentu, sehingga kuburan itu akan tetap dapat dikenal
apabila pada suatu saat sanak keluarganya akan pergi menengoknya. Karena
perjalanan yang lambat itulah maka iring-iringan itu tidak dapat mencapai
padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Mereka berhenti pada sebuah padukuhan
kecil di sebelah hutan yang lebat itu. Padukuhan yang hanya dihuni oleh
beberapa orang, yang kerjanya sehari-hari berburu binatang dan mencari kayu. Baru
di pagi harinya mereka meneruskan perjalanan menuju ke induk Tanah Perdikan
Menoreh. Kedatangan pasukan itu disambut dengan berbagai macam perasaan. Ada
yang gembira, terharu, tetapi ada juga yang harus menitikkan air mata karena
yang ditunggunya terpaksa tidak dapat datang bersama kawan-kawan mereka.
“Mereka adalah
bebanten bagi ketenteraman Tanah Perdikan ini,” berkata kawan-kawannya
menghibur mereka yang kehilangan sanak keluarganya.
“Seluruh Tanah
Perdikan tidak akan melupakan jasa-jasanya.”
Orang yang
kehilangan itu menahan isaknya sambil bertanya,
“Apakah
begitu?”
“Ya. Kita
semuanya akan menghargai mereka yang mendahului kita. Untuk selama-lamanya.
Anak cucu kita pun harus mengetahui siapa saja yang pernah melakukan
pengorbanan tanpa dapat dinilai dengan nilai kebendaan, karena yang mereka
korbankan adalah jiwa.”
Namun
demikian, mereka yang kehilangan masih juga menitikkan air mata. Meskipun nalar
mereka dapat mengerti, tetapi perasaan mereka bersikap lain. Setelah
beristirahat sejenak di halaman rumah Kepala Tanah Perdikan Menoreh serta
setelah setiap kelompok mengulangi hitungan mereka, maka pasukan pengawal Tanah
Perdikan Menoreh itu pun diperkenankan pulang ke rumah masing-masing. Sedangkan
yang kemudian menjaga para tawanan adalah para pengawal dari Mataram dan
pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang tidak ikut serta pergi ke peperangan. Dalam
pada itu, para pemimpin pasukan pengawal itu pun kemudian naik ke pendapa.
Mereka duduk melingkar di atas tikar pandan yang putih. Namun yang tidak ada di
antara mereka adalah Ki Waskita. Ia langsung membawa Rudita ke gandok,
mendapatkan ibunya yang menunggu dengan hati yang bagaikan dipanggang di atas
bara sambil menangis tanpa henti-hentinya.
Pandan Wangi
yang merasa bertanggung jawab atas hilangnya Rudita pun kemudian mengikutinya
beberapa langkah di belakang Ki Waskita. Pandan Wangi tidak dapat menahan air
matanya yang mengembun di pelupuknya melihat betapa ibu Rudita itu menyambut
anaknya yang dikembalikannya kepadanya, setelah hilang untuk beberapa saat
lamanya. Beberapa orang yang ada di pendapa melihat pertemuan itu dengan
perasaan haru pula. Namun mereka pun bersyukur bahwa Tuhan masih melindungi
anak muda itu dan dapat kembali kepada orang tuanya dengan selamat. Sementara
itu di gandok yang lain, Kiai Gringsing terbaring di atas pembaringan ditunggui
oleh Agung Sedayu. Namun karena keadaannya sudah menjadi semakin baik, maka
Kiai Grigsing pun menyuruh muridnya itu naik ke pendapa bersama dengan para
pemimpin yang lain.
“Apakah
keadaan Guru sudah baik?” bertanya Agung Sedayu.
“Sudah. Aku
sudah menjadi semakin baik. Tinggalkan aku. Aku akan tidur. Dan sebaiknya kau
berada di pendapa. Mungkin ada persoalan yang perlu kau dengar.”
Agung Sedayu
menganggukkan kepalanya. Dengan ragu ragu ia melangkah meninggalkan Kiai
Gringsing yang sudah tampak lebih segar. Tetapi langkahnya tertegun ketika di
pintu gandok Agung Sedayu berpapasan dengan Ki Sumangkar yang masih pucat
dilayani oleh seorang pengawal.
“Kenapa,
Kiai?” bertanya Agung Sedayu.
“Tidak
apa-apa. Aku hanya merasa pening. Luka-lukaku agak terasa pedih meskipun tidak
mengalirkan darah lagi. Aku hanya ingin beristirahat sejenak mengawani Kiai
Gringsing.”
Agung Sedayu
masih berdiri termangu-mangu.
“Aku tidak
apa-apa,” berkata Sumangkar kemudian,
“aku hanya
ingin tidur. Luka-lukaku akan sembuh dalam waktu yang dekat.”
Kiai Gringsing
tersenyum melihat kehadiran Ki Sumangkar di bilik itu. Katanya,
“Marilah kita
berlomba, siapakah yang lebih dahulu tertidur.”
Ki Sumangkar
pun tertawa. Sambil berpaling kepada Agung Sedayu ia berkata,
“Apakah kau
akan ikut pula?”
Agung Sedayu
pun tersenyum. Namun dengan demikian ia tidak ragu-ragu meninggalkan kedua
orang-orang tua itu karena keadaan mereka agaknya menjadi berangsur baik. Sepeninggal
Agung Sedayu, maka Ki Sumangkar pun berbisik kepada Kiai Gringsing,
“Utusan dari
Mataram ternyata telah menunggu Raden Sutawijaya.”
“Ki Gede
Pemanahan tentu sekedar cemas karena puteranya tidak segera datang,” sahut Kiai
Gringsing.
“Mungkin.
Tetapi jika demikian utusan itu tidak akan memanggil Raden Sutawijaya untuk
segera menghadap ayahandanya.”
“Kenapa?
Seperti ayah dan ibu Rudita, mereka pun tidak sabar menunggu kedatangan anaknya
lebih lambat lagi.”
Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya,
“Mungkin
demikian. Tetapi masih ada bedanya. Raden Sutawijaya adalah seorang prajurit.”
Kiai Gringsing
lah yang kemudian mengangguk-angguk.
“Ya, agaknya
demikian.”
Di pendapa,
utusan yang sudah ada di Menoreh itu masih berada bersama di antara para
pemimpin yang sedang beristirahat sambil menikmati minuman hangat dan sekedar
makanan ringan yang tergesa-gesa dipersiapkan. Namun agaknya suasananya memang
dipengaruhi oleh kehadiran beberapa orang utusan dari Mataram itu, karena
mereka langsung menyampaikan pesan Ki Gede Pemanahan kepada Raden Sutawijaya.
“Biarlah Raden
Sutawijaya beristirahat sehari dua hari di sini,” berkata Ki Argapati.
Utusan itu tersenyum.
Katanya,
“Ki Gede
Pemanahan berpesan, agar Raden Sutawijaya segera kembali.”
“Apakah
sebenarnya yang telah terjadi di Mataram?” bertanya Ki Lurah Branjangan.
“Kami tidak
mengetahui dengan pasti,” sahut utusan itu, sehingga Ki Lurah Branjangan pun
hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
Raden Sutawijaya
sendiri menjadi gelisah mendengar panggilan ayahandanya. Sekilas terngiang
ancaman Daksina bahwa rahasianya tentu akan terbongkar. Gadis dari Kalinyamat
itu tidak akan dapat lagi menyembunyikan dirinya akibat hubungannya dengan
Raden Sutawijaya.
“Apakah
ayahanda sudah mendengar?” ia bertanya kepada diri sendiri. Tetapi hal itu
mungkin sekali terjadi karena orang-orang Pajang banyak sekali yang tidak
menyukainya lagi, justru karena ia berusaha membuka hutan Mentaok dan
menjadikannya sebuah negeri yang ramai.
“Tetapi,”
berkata Ki Argapati kemudian,
“bukankah Ki
Gede tidak perlu gelisah lagi, bahwa puteranya telah pasti selamat dan berada
di sini?”
Utusan itu
masih tersenyum, katanya,
“Aku tidak
dapat membuat pertimbangan seperti itu menilik pesan yang agaknya sangat
mendesak.”
Sutawijaya
menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
“Baiklah. Aku
akan segera kembali. Tetapi aku minta kesempatan untuk beristirahat sejenak.
Aku harus membersihkan diri dahulu. Demikian juga para pengawal. Kami harus
mengurus orang-orang yang terluka dan para tawanan.”
“Tentu, Raden.
Kami akan membantu. Bukan maksud kami, Raden harus berangkat sekarang. Tetapi
sudah barang tentu Raden akan berkemas lebih dahulu dan beristirahat
secukupnya. Tetapi tidak terlampau lama.”
Raden
Sutawijaya merasa bahwa sesuatu yang sangat penting telah terjadi. Dan
firasatnya pun telah mengatakan kepadanya, bahwa persoalan yang dihadapi adalah
persoalan gadis dari Kalinyamat itu. Gadis yang seharusnya disediakan untuk
ayahandanya Sultan Pajang, namun yang terjadi adalah di luar kemampuannya untuk
menghindar.
Sutawijaya
yang termangu-mangu itu pun kemudan mencoba mengusir kegelisahannya. Di pendapa
itu masih ada beberapa orang yang duduk sambil menghirup minuman hangat dan
makanan sepotong-sepotong. Pandan Wangi yang sekali-sekali masih mengusap
matanya yang basah telah duduk di pendapa pula, sedang Ki Argapati lah yang
kemudian turun dari pendapa menemui Ki Waskita dan isterinya.
“Kami
berterima kasih kepada Ki Gede dengan para pengawal dari Menoreh dan Mataram,”
berkata Ki Waskita.
“Ah, justru
kamilah yang berterima kasih kepada Ki Waskita. Tanpa Ki Waskita, kami tidak
akan kembali dengan selamat,” sahut Ki Gede Menoreh.
Namun dengan
segera Ki Waskita memotong,
“Aku tidak
berbuat apa-apa. Aku sekedar menggantungkan diri kepada kalian. Aku hanya
sekedar orang yang mencoba melihat isyarat buat masa depan yang sebenarnya
tidak jelas.”
Ki Gede
mengerutkan keningnya. Apalagi ketika dilihatnya wajah Rudita yang
keheran-heranan.
“Aku tidak
lebih dari sebuah beban bagi Ki Gede,” berkata Ki Waskita. Sambil berpaling
kepada anaknya ia melanjutkan,
“Kau harus
mengucapkan terima kasih. Kau tahu bahwa ayahmu tidak lebih adalah seorang
tukang ramal yang lebih banyak gagal dari hasil yang memadai. Tanpa pasukan
pengawal Menoreh dan Mataram, kau benar-benar telah hilang.”
Rudita masih
termangu-mangu. Namun kemudian ia berkata,
“Ki Gede. Aku
mengucapkan terima kasih kepada Ki Gede, kepada pasukan pengawal Menoreh dan
Mataram, kepada Pandan Wangi, kepada Prastawa kepada Ki Demang dari Sangkal
Putung, Kiai Gringsing dan kedua muridnya, dan terlebih-lebih kepada Ki
Sumangkar. Ki Sumangkarlah yang secara langsung membebaskan aku dari kekuasaan
mereka.”
Ki Argapati
mengerutkan keningnya. Ia merasakan nada yang berbeda pada cara Rudita menyatakan
perasaannya.
“Ki Gede,”
berkata Rudita kemudian,
“agaknya
selama ini aku telah keliru menilai diriku sendiri.”
“Rudita,”
hampir berbareng Ki Waskita dan ibunya memotong meskipun tanggapan mereka
berbeda-beda.
“Kau tidak keliru,
Rudita,” berkata ibunya,
“kamilah yang
kurang berhati-hati menjagamu. Ayahmu terlalu lengah karena ia telah
melepaskanmu berburu hanya dengan anak-anak muda.” Ibunya berhenti sejenak,
lalu,
“Aku pun tidak
dapat menyalahkan anak-anak muda itu, karena mereka pun masih dipengaruhi oleh
kemudaannya dan memburu kesenangan diri masing-masing.”
Ki Argapati
mengerutkan keningnya, sedang Ki Waskita pun dengan tergesa-gesa menyahut,
“Tentu tidak,
Nyai. Meskipun mereka masih muda, tetapi sikap mereka cukup dewasa.”
“Tetapi tentu
berbeda dengan orang-orang tua.”
“Ya,” potong
Ki Argapati,
“tentu berbeda
dengan orang-orang tua. Biasanya anak-anak lebih memperhatikan diri sendiri
seperti yang dikatakan oleh Nyai Waskita. Tetapi orang tua lebih banyak menjaga
anak-anaknya dan anak-anak muda yang bersamanya.”
“Nah,” sahut
Nyai Waskita,
“bukankah
benar kataku. Kau jangan menyalahkan anakmu saja. Meskipun aku juga tidak
menyalahkan anak-anak muda yang bersamanya, tetapi bahwa keadaan yang demikian
itulah yang telah memungkinkan Rudita hilang.”
“Tetapi kita
sekarang tinggallah mengucap syukur,” Ki Argapati menyela,
“dan Rudita
sudah ada di antara kita.”
“Ya.
Demikianlah aku mengucap syukur kepada semuanya, terutama kepada kemurahan Yang
Maha Agung.”
Ki Argapati
memandang Rudita yang menundukkan kepalanya sejenak, lalu katanya,
“Tenteramkan
hatimu. Kau sudah berada di sarang sendiri, di bawah sayap induk yang akan
selalu melindungmu. Dan agaknya indukmu adalah seekor burung garuda yang luar
biasa.”
“Aku tidak
mengerti, Ki Gede,” desis Ki Waskita,
“tetapi
bagaimana pun juga, aku mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga.”
Ki Argapati
pun kembali ke pendapa. Ternyata Raden Sutawijaya masih tetap duduk di
tempatnya. Agaknya ia masih sangat segan untuk segera berkemas dan kembali ke
Mataram. Karena itulah, maka Ki Gede sama sekali tidak bertanya apa pun
kepadanya.
Sepeninggal Ki
Argapati, ibu Rudita agaknya masih belum puas mendengar pembicaraan suaminya
dengan Ki Argapati. Katanya,
“Kiai,
sebenarnya Kiai harus menunjukkan kekecewaan kita terhadap anak-anak muda itu.
Kiai jangan mencari kesalahan pada Rudita. Adalah suatu kurnia bahwa mereka
berhasil menemukan Rudita. Jika tidak, maka anak itu akan benar-benar sudah
hilang. Dan akulah orang yang akan merasa paling pedih karena kehilangan itu.
Bukan Ki Argapati, bukan tamu-tamu dari Sangkal Putung itu dan bukan anak-anak
muda yang membawanya tanpa bertanggung jawab itu.”
“Kau jangan
menyalahkan mereka Nyai. Mereka adalah anak-anak muda yang sebaya dengan
Rudita.”
“Siapa pun
mereka, tetapi mereka telah membawanya.”
“Tidak, Ibu,”
potong Rudita tiba-tiba saja,
“seharusnya
Ibu tidak menganggap bahwa mereka telah membawa aku serta di dalam perburuan
itu. Tetapi yang benar, kami pergi bersama-sama. Karena aku pun anak muda yang
sudah sebaya dengan mereka, sehingga di antara kita, tidak ada yang harus
mempertanggung-jawabkan yang seorang atas yang lain.”
Ibu Rudita
menjadi heran mendengar jawaban itu. Demikian juga ayahnya. Tetapi tanggapan
mereka terhadap Rudita menjadi semakin jauh berbeda. Ki Waskita melihat sesuatu
yang tumbuh dan berkembang pada anaknya seperti yang diharapkannya. Sedang
ibunya sama sekali tidak mengerti, kenapa Rudita menjawab demikian.
“Rudita,”
berkata ibunya,
“kenapa kau
menganggap bahwa kau tidak pergi bersama anak-anak muda itu di dalam tanggung
jawab mereka. Bukankah mereka telah membawamu?”
“Seperti juga
Pandan Wangi tidak bertanggung jawab atas Prastawa, dan juga Prastawa tidak
bertanggung jawab atas Agung Sedayu, maka kenapa mereka harus bertanggung jawab
atasku?”
“Tetapi
kedudukanmu lain dari mereka, Rudita. Mereka adalah anak-anak yang sudah
terbiasa melakukan perburuan atau pekerjaan-pekerjaan kasar seperti itu. Tetapi
tidak dengan kau. Kau adalah anakku. Kau wajib mendapat perlindungan
sebaik-baiknya. Jika kau hilang, maka aku akan kehilangan milikku yang paling
berharga di muka bumi ini. Tetapi jika orang lain, anak-anak Sangkal Putung
itu, aku sama sekali tidak akan merasa kehilangan apa pun juga. Aku mungkin
akan terharu dan iba jika terjadi sesuatu atas mereka, tetapi aku sendiri tidak
kehilangan apa pun juga.”
Ki Waskita
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sebelum la menyahut ternyata Rudita berkata,
“Ibu memandang
persoalan ini dari satu segi. Coba katakan, apakah kira-kira yang akan terjadi
seandainya Swandaru itu hilang. Aku tidak menyebut Agung Sedayu, karena ia
adalah anak yatim piatu. Jika Swandaru hilang, maka banyak sekali orang yang
akan merasa kehilangan. Ibunya. Tentu ia akan berkata seperti ibu. Swandaru
adalah miliknya yang paling berharga. Kemudian ayahnya. Seperti Ayah, Ki Demang
Sangkal Putung menganggap Swandaru adalah anak yang paling baik. Tetapi masih
ada orang lain yang merasa kehilangan. Luka di hatinya tentu akan sangat parah.
Orang itu adalah Pandan Wangi dan ayahnya.”
“Rudita,”
potong ibunya. Wajahnya benar-benar diwarnai oleh keheranan yang menghentak
dadanya.
“Sudahlah,”
berkata Ki Waskita menengahi,
“Rudita baru
saja dicengkam oleh kegelisahan yang sangat. Mungkin sesuatu telah terjadi di
dalam dirinya. Kita belum dapat menilai, apakah ia akan menjadi semakin dewasa
atau sebaliknya. Karena itu biarlah ia beristirahat. Pengaruh goncangan
perasaannya itu tentu masih terasa. Dan karena itulah maka kau seakan-akan
tidak mengenali lagi perasaan anakmu. Tetapi jika ia sudah tenang, maka biarlah
ia menilai dirinya sendiri.”
Ibunya
mengusap air matanya. Dibelainya kepala anaknya. Lalu katanya,
“Tenangkan
hatimu, Anakku. Kita berada di halaman rumah Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang
dijaga dengan baik. Kau akan dapat tidur nyenyak dan beristirahat sebaik-baiknya.”
Rudita
menganggukkan kepalanya.
“Jika kau
memerlukan sesuatu, kau dapat mengatakannya kepadaku. Di sini banyak pelayan
yang dapat melayanimu.”
Sekail lagi
Rudita mengangguk. Tetapi kata-kata ibunya itu kini bukannya ditelannya begitu
saja, tetapi ia sudah mulai mencernakannya. Ketika ibunya pergi ke belakang,
dan berada di antara para pelayan dan tetangga yang sibuk menyediakan makan dan
minuman bagi para pengawal di halaman depan, maka Ki Waskita pun mendekati
anaknya sambil bertanya,
“Rudita,
siapakah yang mengajarimu bahwa kepergianmu ke hutan perburuan itu sama sekali
bukannya menjadi beban tanggung jawab orang lain, tetapi sekedar pergi
bersama-sama di dalam tanggung jawab kalian masing-masing?”
Rudita memandang
ayahnya sejenak, lalu,
“Apakah maksud
Ayah?”
“Rudita, aku
memang melihat sesuatu berubah di dalam dirimu.”
Rudita menarik
nafas dalam-dalam. Ki Waskita tidak lagi melihat mata anaknya itu mengembun dan
menitikkan air mata. Mulutnya tidak lagi menyeringai dibuat-buat untuk memberikan
tekanan kepada usahanya menarik perhatian orang lain.
“Ayah,”
berkata Rudita,
“pengalaman
beberapa hari ini telah membangunkan aku. Aku tidak tahu, kenapa aku merasa
bahwa aku memang agak lain dari anak-anak muda itu. Mereka berbuat sesuatu
untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Tetapi aku tidak. Aku masih saja
menggantungkan diriku kepada orang lain seperti aku berada di rumah, di antara
Ayah dan ibu. Dan agaknya ibu memang mendidik aku untuk selalu bergantung
kepada orang lain.”
Ki Waskita
menepuk bahu anaknya. Sesuatu telah bergetar di dalam hatinya, seakan-akan ia
melihat cahaya terang yang memercik di sanubari anaknya.
“Rudita,”
berkata ayahnya,
“kau telah
tumbuh ke arah yang benar. Kau masih mempunyai waktu untuk meraih bentuk
dirimu. Meskipun barangkali tidak untuk menjadi anak-anak muda seperti Agung
Sedayu dan Swandaru.”
Rudita
menganggukkan kepalanya.
“Banyak cara
yang dapat di tempuh untuk menentukan diri sendiri. Ciri seorang yang
bertanggung jawab atas dirinya sendiri bukannya hanya ada pada mereka yang
pandai bermain pedang dan tombak.”
Sekali lagi
Rudita menganggukkan kepalanya.
“Rudita,
betapa pun dahsyatnya ilmu yang dimiliki seseorang namun sebenarnya bahwa
tujuan setiap manusia adalah perasaan damai dan tenang. Kehidupan yang aman
tenteram. Bukankah seseorang mempelajari ilmu sejauh-jauhnya sekedar berusaha
melindungi dirinya dari ketidak-tenangan. Dengan ilmu itu ia menjadi tenang
karena ia merasa tidak ada orang lain yang dapat mengganggunya dan
menghalang-halangi kehendaknya. Meskipun ada satu dua perkecualian, namun
demikianlah pada umumnya.”
Rudita tidak
menyahut. Tetapi kepalanya pun kemudian tertunduk. Rasa-rasanya di dalam waktu
terakhir, di sepanjang pulang kembali ke induk Tanah Perdikan Menoreh ini,
hatinya bergejolak dahsyat sekali. Seolah-olah ada sesuatu yang saling
berbenturan dan melingkar-lingkar di dalam hatinya itu. Tetapi di dalam waktu
yang singkat itu, Rudita masih belum dapat menemukan apakah yang sebenarnya
kini sedang berkembang di dalam dirinya. Namun ia mulai meyakini bahwa jalan
yang dilaluinya selama ini tidak menguntungkannya.
Dalam pada
itu, para pengawal dari Mataram yang bertebaran di halaman, telah mendapatkan
makan mereka masing-masing. Mereka sebenarnya masih juga segan untuk segera
berangkat kembali ke Mataram karena badan mereka yang masih terasa letih
setelah melakukan peperangan yang dahsyat itu. Namun ada juga dorongan untuk
segera kembali kepada keluarga mereka yang menunggu siang dan malam. Karena
itu, maka mereka tidak mengerti tentang diri mereka sendiri, manakah yang
lebih-baik, segera kembali atau beristirahat barang semalam di Menoreh.
“Terserah
kepada Raden Sutawijaya,” berkata seorang pengawal yang sudah setengah tua,
“tetapi ada
juga baiknya kita pulang. Sama sekali kita menjadi letih. Tetapi kita segera
berada di antara keluarga.”
Seorang
pengawal yang masih muda menarik nafas. Katanya,
“Sebenarnya
aku ingin tidur sejenak.”
“Tidurlah.
Tidak ada yang melarangmu tidur. Mungkin di bawah jambu itu kau dapat tidur
nyenyak,” sahut seorang kawannya.
“Aku masih
malas untuk meneruskan perjalanan.”
“Kau masih
sendiri,” berkata seorang yang sudah lebih tua sedikit daripadanya.
“Ah, tentu.
Kau penganten baru,” jawab pengawal yang muda itu.
“Sudahlah,” sahut
yang sudah setengah umur,
“sekarang
tidur sajalah. Nanti jika pasukan ini benar-benar akan segera kembali ke
Mataram, aku akan membangunkanmu.”
Pengawal muda
itu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun segera berbaring di bawah pohon jambu
yang sejuk, sehingga beberapa saat kemudian, ia pun benar-benar telah tertidur.
Ternyata bukan hanya pengawal muda itu saja yang telah tertidur. Di kebun
belakang, beberapa orang pengawal bertebaran dan tidur silang melintang.
Di pendapa,
Sutawijaya sama sekali tidak sempat beristirahat dengan baik. Utusan ayahnya benar-benar
tidak memberinya kesempatan untuk menunda perjalanannya kembali ke Mataram. Karena
itu, setelah pasukannya beristirahat beberapa lamanya, maka Sutawijaya pun
membenahi dirinya. Untuk menyegarkan tubuhnya, maka ia pun memerlukan mandi di
pakiwan.
Halaman 1 2 3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar