KI WASKITA menjadi berdebar-debar. Ia sadar, bahwa beberapa orang Pengawal Panembahan Agung itu tentu bukan orang kebanyakan. Jika mereka bersama-sama menyerangnya, maka ia akan menjadi agak bingung juga. Namun ia sudah bertekad, bahwa ia harus terlibat dalam perkelahian yang kisruh sehingga Panembahan Agung akan menjadi ragu-ragu melepaskan anak panahnya, karena dengan demikian akan dapat mengenai anak buahnya sendiri. Atau ia justru harus langsung menyerang Panembahan Agung dalam jarak yang pendek, sehingga Panembahan Agung tidak sempat lagi melepaskan anak panah itu ke arahnya. Dan agaknya cara yang kedua itulah yang condong akan diambil oleh Jaka Raras. Dengan tangkasnya ia meloncat maju sambil menangkis setiap serangan yang menghujaninya. Semakin lama semakin dekat. Ternyata bahwa ikat pinggangnya benar-benar memiliki kekuatan yang mengagumkan, sehingga ia tidak lagi mencemaskannya, bahwa ikat pinggang itu akan menjadi hancur. Dalam pada itu, para pengawal Panembahan Agung pun mulai bergerak. Mereka sudah mendengar perintah yang diberikan oleh pemimpinnya, sehingga mereka sudah tidak ragu-ragu lagi untuk bertindak. Tetapi sebelum mereka sempat berbuat apa-apa, mereka pun terkejut ketika mereka mendengar seseorang berkata,
“He, Ki Sanak.
Jangan ganggu Jaka Raras. Marilah kita membuat arena permainan sendiri.”
Para pengawal
itu pun berpaling. Dilihatnya seseorang muncul dari balik gerumbul-gerumbul
perdu di belakang mereka.
Sejenak para
pengawal itu termangu-mangu. Namun kemudian salah seorang berkata,
“Biarkan
bentuk semu itu. Lawan Panembahan Agung yang licik itu tentu akan mencoba
menahan kita di sini, agar ia tidak menjadi bingung karena ia harus melawan
kita bersama-sama.”
“Lihatlah dengan
saksama,” berkata orang itu,
“ini bukan
sekedar bentuk semu. Sebenarnyalah kau melihat seseorang yang berdiri di sini.”
Tetapi para
pengawal itu menjadi ragu-ragu. Sementara Panembahan Agung hampir tidak
mendapat kesempatan untuk membantu mereka, karena Jaka Raras berloncatan
semakin mendekatinya.
“Jangan
hiraukan,” sekali lagi seorang pengawal berdesis,
“yang pasti,
Jaka Raras itu sajalah yang harus kita binasakan.”
Para pengawal
itu pun kemudian tidak menghiraukan lagi orang yang berdiri di depan
gerumbul-gerumbul perdu itu. Dengan tergesa-gesa mereka pun kemudian siap untuk
menerjunkan diri melawan Jaka Raras yang sedang bertempur melawan Panembahan
Agung. Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja salah seorang pengawal itu pun
memekik tertahan. Ternyata senjata orang yang berdiri di depan gerumbul itu
telah menyambar lengannya, sehingga lengannya itu pun tersobek karenanya.
“He,” salah
seorang kawannya berdesis,
“apakah kau
benar-benar terluka, atau sekedar penglihatanku.”
Orang yang
terluka itu terdorong beberapa langkah dan bersandar pada sebuah batu padas
yang besar sambil menggeram,
“Setan. Ia
benar-benar melukai tanganku.”
“Nah, kalian
harus percaya bahwa aku bukannya sekedar bentuk semu. Trisulaku telah berhasil
menyobek lengan itu, dan sebentar lagi, dada kalian pun akan berlubang
karenanya.”
Meskipun
demikian para pengawal itu masih termangu-mangu sejenak sehingga mereka tidak
segera melibatkan diri dalam perkelahian.
“He, siapakah
orang itu,” Panembahan Agung yang sempat memperhatikan dengan seksama itu pun
bertanya ketika ia sekilas melihat seseorang yang bersenjata sebuah trisula
yang diikatkan pada ujung rantai, hampir seperti cakram bergerigi Jaka Raras.
“Ki
Sumangkar,” Ki Waskita lah yang menjawab,
“ia akan
menghancurkan pengawalmu.”
“Apakah kalian
seperguruan di dalam olah kanuragan setelah kita berpisah dari perguruan kita
itu?” bertanya Panembahan Agung.
“Ya. Kami
seperguruan. Guru kami adalah tuntunan keadilan sehingga kami harus bekerja
bersama melawanmu dan para pengawalmu kali ini.”
Panembahan
Agung menjadi semakin marah sehingga rasa-rasanya dadanya akan meledak
karenanya. Sambil menyerang Jaka Raras dengan anak panahnya ia berteriak,
“Bunuhlah
orang itu. Yang berdiri di hadapan kalian itu bukannya bentuk semu.”
Tetapi ketika
para pengawal itu mulai menyadari sepenuhnya akan keadaan mereka, maka seorang
lagi di antara mereka telah berteriak kesakitan. Trisula Sumangkar benar-benar
telah menyambar lambung salah seorang dari mereka. Yang lain tidak membiarkan
Sumangkar mendahului lagi. Mereka pun segera menyerangnya hampir berbareng
dengan senjata masing-masing. Tetapi mereka tidak segera dapat mendekat.
Sumangkar memutar rantai yang berujung trisula dan trisula yang lain di tangan
kirinya. Dengan demikian, maka di antara mereka, Sumangkar dan para pengawal
Panembahan Agung itu pun segera timbul pertempuran yang sengit. Sumangkar harus
melawan beberapa orang sekaligus yang mengepungnya rapat-rapat. Tetapi mereka
tidak dapat dengan mudah menyerang Sumangkar yang mempunyai senjata yang aneh
itu. Meskipun demikian, karena jumlah mereka berlipat banyaknya, maka Sumangkar
pun akhirnya harus berusaha melepaskan diri dari kepungan yang rapat itu.
Untunglah bahwa di sekitarnya terdapat pohon-pohon perdu, sehingga Sumangkar
dapat memanfaatkannya sebaik-baiknya.
“Licik,”
teriak salah seorang pengawal Panembahan Agung,
“kau tidak
bertempur secara jantan.”
“Kenapa?”
bertanya Sumangkar.
“Kau
berlari-lari melingkar-lingkar di seputar gerumbul-gerumbul perdu. Bukan begitu
caranya seorang laki-laki bertempur.”
“Maaf, aku
akan bersikap jantan terhadap orang-orang yang bersikap jantan pula. Jika salah
seorang dari kalian siap untuk berperang tanding, aku akan melayaninya dengan
jantan.”
Sejenak para
pengawal itu tidak menjawab. Namun sejenak kemudian salah seorang dari mereka
berteriak,
“Aku
menantangmu. Marilah kita bertempur dengan jantan.”
“Aku tidak
membawa saksi,” sahut Sumangkar sambil memutar senjatanya.
“Pengecut.”
“Aku mempunyai
firasat bahwa kalian akan menjebak aku. Perang tanding itu sendiri adalah suatu
cara yang licik dan pengecut.”
“Jangan banyak
bicara.”
Di luar dugaan
mereka, Sumangkar menjawab,
“Baik.”
Dan Sumangkar
pun tidak berbicara lagi. Tetapi ia masih mempergunakan caranya. Sekali-sekali
ia menyusup di balik batang-batang perdu, kemudian berlari-lari dan dengan
tiba-tiba ia menyerang dengan garangnya. Di antara gerumbul-gerumbul yang
rimbun itu, sulitlah untuk dapat mengepungnya dan kemudian menyerang
bersama-sama dari banyak arah. Selagi Sumangkar bertempur dengan sengitnya,
maka Panembahan Agung pun mengerahkan segenap kemampuannya untuk membinasakan
Jaka Raras. Tetapi anak panahnya seakan-akan tidak banyak berarti lagi. Jaka
Raras mempunyai perisai yang dapat memunahkan serangan-serangan anak panah
Panembahan Agung. Bahkan semakin lama Jaka Raras justru menjadi semakin dekat.
“Kau tidak
akan dapat lari lagi, Panembahan. Aku tahu bahwa kau terikat pada tempatmu
itu.”
“Persetan.”
Terdengar Jaka
Raras tertawa. Suaranya dalam dan datar. Katanya,
“Sekali lagi
aku tawarkan kepadamu, hentikan semua kegiatanmu.”
“Syaratnya?”
tiba-tiba Panembahan Agung bertanya.
“Aku akan
memunahkan semua kesaktian yang ada padamu. Kau akan menjadi seorang panembahan
yang baik dan hidup tenteram di padukuhanmu di mana pun yang kau kehendaki.”
“Gila. Syarat
itulah yang gila. Lebih baik aku membunuhmu.”
Jaka Raras
tidak menjawab. Ia disibukkan oleh anak panah yang bagaikan hujan menyerangnya.
Namun ia berhasil menangkis dan menghindarinya. Betapa pun banyaknya persediaan
anak panah pada Panembahan Agung, namun semakin lama menjadi semakin susut
juga, sejalan dengan kecemasan yang semakin mengguncangkan dadanya. Apalagi
karena ia sadar, bahwa tidak akan banyak gunanya lagi ia melepaskan anak panah
itu kepada lawannya. Apabila sekilas ia melihat kepada pertempuran yang
berlangsung antara pengawalnya melawan Sumangkar, maka ia tidak mendapat
gambaran sama sekali, siapakah yang akan dapat menang. Setiap kali Sumangkar
berlari bersembunyi di balik batang-batang perdu yang rimbun. Kemudian dengan
tiba-tiba saja ia menyerang lawan-lawannya yang sedang mencarinya. Setiap
kali justru ialah yang berhasil melukai
lawannya, sehingga kekuatan para pengawal itu pun semakin lama menjadi semakin
berkurang.
Sekali lagi,
Panembahan Agung menggeram. Ia tidak dapat mengelakkan kenyataan itu. Yang
terjadi bukannya sekedar bentuk-bentuk semu yang dilontarkan oleh Jaka Raras.
Tetapi yang terjadi adalah sebenarnya terjadi. Pengawalnya tidak segera dapat
mengalahkan lawannya, sehingga karena itu mereka tidak akan segera dapat
membantunya. Karena itu, maka Panembahan Agung pun tidak lagi ingin berbuat
setengah-setengah. Ia sudah melepaskan ilmunya yang dahsyat dengan
membingungkan lawannya. Tetapi ternyata di antara lawan-lawannya itu terdapat
orang yang memiliki kemampuan yang serupa. Dengan demikian maka Panembahan
Agung pun berusaha untuk sampai kepada puncak ilmunya. Ilmu yang didapatkannya
dari perguruannya. Ia tahu, bahwa lawannya juga pernah menerima ilmu itu dari
gurunya. Tetapi ia mendapatkan lebih banyak sampai saatnya gurunya tidak lagi
mampu menambah ilmu itu, justru karena ia lebih dekat pada gurunya itu daripada
Jaka Raras. Pada saat maut tidak lagi terelakkan, karena usia yang lanjut,
gurunya belum sempat meratakan ilmunya itu kepada Jaka Raras sampai setingkat
dengan dirinya.
“Aku terpaksa
membinasakannya dengan ilmu ini,” katanya di dalam hati,
“jika tidak,
maka akulah yang akan dibinasakannya, atau semua ilmuku akan dipunahkannya.”
Dalam pada
itu, Sumangkar pun semakin lama semakin sibuk melayani lawan-lawannya yang
marah. Tetapi ia masih dapat melawan dengan caranya. Dengan trisula di ujung
rantainya dan dengan berlari-lari sambil bersembunyi. Namun yang kemudian
menyerang dengan tiba-tiba. Agaknya Sumangkar berhasil mengurangi jumlah
lawannya. Tetapi ia masih belum berhasil melepaskan dirinya sama sekali dari
bahaya yang masih selalu mengancamnya dari segala arah. Apalagi ketika kemudian
terasa nafasnya mulai mengganggu. Tetapi Sumangkar adalah saudara seperguruan
Patih Mantahun dari Jipang yang dikenal seakan-akan memiliki nyawa rangkap.
Karena itu, maka ia masih mampu mengatasi kesulitan yang ada di sekitarnya. Namun
demikian, jumlah lawannya yang banyak itu telah menimbulkan kesulitan yang
beruntun. Ketika ujung tombak seorang lawannya berhasil menyentuhnya, maka
rasa-rasanya dadanya mulai diganggu oleh debar yang semakin cepat. Ternyata
ketika ia bersembunyi di balik sebuah gerumbul yang rimbun, seorang lawannya
yang marah tidak menunggunya atau mengitari gerumbul itu. Untung-untungan ia
melontarkan tombaknya dengan sekuat tenaga. Namun ternyata bahwa ujung tombak
itu justru berhasil mengenai lengan Sumangkar yang sedang bersembunyi di
dalamnya, meskipun luka itu tidak terlampau dalam.
“Setan alas,”
Sumangkar mengumpat. Kemarahannya bagaikan menyala sampai ke ujung ubun-ubun.
Namun demikian ia harus menyadari bahwa kemampuannya pun terbatas. Apalagi
menghadapi lawan yang jumlahnya cukup banyak.
Ternyata
kemudian bahwa lawan-lawannya itu telah berhasil melukainya. Sekilas teringat
olehnya Kiai Gringsing yang terbaring dengan luka-lukanya pula. Bagi Sumangkar,
Kiai Gringsing adalah seorang yang memiliki kelebihan daripadanya betapa pun
tipisnya. Meskipun di Jati Anom Kiai Gringsing pernah juga terluka, tetapi
agaknya hal itu terjadi karena kesalahan yang dilakukan oleh Kiai Gringsing
sendiri. Sedang berhadapan dengan Panembahan Alit, ternyata bahwa Kiai
Gringsing tidak akan dapat menghindarkan diri dan luka-lukanya itu meskipun ia
sama sekali tidak melakukan kesalahan di dalam pertempuran itu. Dan kini, ia
pun sudah mulai terluka. Seorang demi seorang lawan-lawannya bukannya orang
yang harus disegani. Tetapi mereka berada di dalam satu kelompok yang berusaha
mengepungnya dan menyerangnya dari segala penjuru. Debar jantung Sumangkar terasa
semakin cepat. Tangannya menggenggam senjata semakin erat. Ketika ia meraba
lukanya dengan ujung jarinya, terasa ujung jari itu menjadi hangat oleh darah. Tetapi
Sumangkar tidak segera kehilangan akal. Ia masih tetap menguasai perasaannya.
Karena itu ia tidak menjadi putus asa dan membabi buta. Ia masih sempat
memperhitungkan dan mempertimbangkan setiap langkahnya.
Sementara itu
Panembahan Agung yang sudah sampai pada puncak ilmunya, sudah siap untuk
menghancurkan Jaka Raras. Namun Jaka Raras yang agaknya mengetahui bahwa
Panembahan Agung berusaha untuk melontarkan ilmunya yang dahsyat, ia pun segera
meloncat semakin dekat dan menyerangnya dengan cakramnya yang digantungkannya
pada ujung rantainya. Panembahan Agung mengumpat di dalam hati. Ia belum sempat
melontarkan ilmunya itu ketika Jaka Raras mengayunkan cakramnya yang bergerigi
itu hampir menyambar hidungnya. Dengan demikian maka Panembahan Agung terpaksa
mempergunakan busurnya untuk menangkis setiap serangan Jaka Raras, sedang
tangannya yang lain menggenggam anak panahnya yang sekaligus dipergunakannya
sebagai senjata yang mematuk-matuk. Namun Jaka Raras ternyata sangat lincah. Ia
mampu meloncat selincah anak kijang di padang perburuan. Ditambah lagi dengan
ayunan senjatanya yang dahsyat itu. Sekali-sekali terdengar Panembahan Agung
menggeram ia belum mendapat kesempatan melontarkan ilmunya. Justru karena Jaka
Raras berhasil mendekatinya sampai pada jarak putar cakramnya. Namun Panembahan
Agung pun memiliki kecepatan bergerak yarg luar biasa. Ketika terbuka sedikit
kesempatan, maka anak panahnya telah melekat pada busurnya. Dalam jarak yang
sangat pendek Panembahan Agung membidikkan anak panahnya. Jaka Raras terkejut
melihat kecepatan bergerak tangan Panembahan Agung itu. Namun jaraknya tidak
lagi memungkinkannya untuk menyerang dengan cakramnya. Karena itu, dadanya
menjadi berdentangan. Jarak itu sangat pendek. Sedangkan Jaka Raras mengetahui
dengan pasti kekuatan busur Panembahan Agung itu. Tetapi Jaka Raras tidak
membiarkan lehernya terputus oleh anak panah itu. Dengan memusatkan kekuatan
pada tangan kirinya ia berdiri tegak. Justru memusatkan tatapan matanya kepada
ujung anak panah Panembahan Agung itu. Yang terjadi kemudian hanyalah beberapa
saat yang pendek. Anak panah Panembahan Agung pun telah terlepas dari busurnya
dan meluncur dengan cepatnya. Hampir berbareng, karena jarak yang sangat
pendek, terdengar benturan yang sangat dahsyat. Jaka Raras terlontar beberapa
langkah surut. Dorongan anak panah pada lengannya yang terbalut ikat pinggang itu
benar-benar bagaikan merontokkan tulang-tulangnya. Untunglah bahwa ia memiliki
kemampuan dan ketahanan tubuh yang luar biasa sehingga ia masih sempat meloncat
berdiri dan mempersiapkan diri dengan serangan berikutnya. Tetapi Panembahan
Agung tidak ingin menyerangnya lagi dengan anak panah, karena ia kini mendapat
kesempatan untuk melontarkan puncak ilmunya. Jaka Raras yang juga bernama Ki
Waskita itu terkejut melihat tatapan mata Panembahan Agung. Ia tidak menduga
bahwa Panembahan Agung telah sampai kepada ilmu simpanannya. Untunglah bahwa
Jaka Raras masih melihat seolah-olah asap yang tipis bergulung lepas dari mata
Panembahan Agung. Dengan serta-merta Jaka Raras meloncat dan berguling di atas
batu-batu padas. Pada saat itulah terdengar ledakan di sebelah Jaka Raras.
Ternyata kekuatan aji pamungkas yang terlontar dari mata Panembahan Agung tidak
mengenai sasarannya. Ketika kekuatan itu menyentuh batu padas, maka padas itu
seakan-akan meledak.
“Kau gila
Panembahan,” teriak Jaka Raras.
“Kau harus
lumat dibakar oleh ilmu ini.”
Tetapi Jaka
Raras tidak mau menjadi debu. Ia pun pernah menerima dasar-dasar dari ilmu yang
dahsyat itu. Tetapi sebelum ia menjadi sempurna, bahkan belum sejauh Panembahan
Agung yang dekat dengan gurunya, gurunya itu telah kehilangan kemampuannya
karena kekuasaan yang seakan-akan tidak terbatas itu telah direnggut oleh Maha
Kekuasaan yang tidak dapat dilawannya, dan yang sebenarnyalah memang tidak
terbatas. Namun dalam pada itu, sepeninggal gurunya ia masih sempat bersunyi
diri mematangkan ilmu yang baru diterima dasar-dasarnya. Tetapi dengan
dasar-dasar ilmu yang telah lengkap itu, ia telah berhasil membentuk dirinya
pada saat itu menjadi orang yang luar biasa. Dengan mesu raga dan olah tapa,
maka ternyata bahwa ia berhasil menguasai dan mengembangkan ilmu itu. Itulah
sebabnya, ketika ia diserang dengan kemampuan yang seakan-akan tidak terbatas
itu, Jaka Raras benar-benar telah kehilangan pengekangan diri. Ia pun kemudian
meloncat bangkit, berdiri pada kedua kakinya yang renggang, dan dengan wajah
yang seakan-akan membara memandang mata Panembahan Agung yang mulai melepaskan
asap yang tipis bergulung-gulung melibatnya. Tetapi pada saat yang bersamaan,
dari mata Jaka Raras pun telah memancar kabut yang tipis pula, sehingga sejenak
kemudian gulungan asap tipis yang seakan-akan saling menyerang itu pun
berbenturan dengan dahsyat sekali. Tidak seorang pun yang mendengar sesuatu.
Tidak seorang pun yang melihat batu-batu berguguran atau gumpalan api yang
memancar. Namun terasa pada keduanya, maka dada mereka telah berguncang dengan
dahsyatnya. Benturan ilmu yang telah dilontarkan oleh dua buah ujung dari garis
lurus yang menghubungkan pasangan mata kedua orang itu bagaikan guruh yang
meledak hanya di dada masing-masing. Demikian dahsyatnya sehingga keduanya
telah berguncang. Sebenarnyalah telah terjadi pergolakan yang dahsyat di dalam
diri masing-masing ketika keduanya kemudian saling perpandangan. Masing-masing
telah mengerahkan segenap kemampuan yang ada di dalam dirinya.
Panembahan
Agung telah menerima ilmu itu hampir lengkap dari gurunya, sedang Jaka Raras
baru menerima dasar-dasarnya saja. Tetapi ia telah berhasil mengembangkannya
sendiri dan justru tidak kalah dahsyatnya dengan yang dimiliki Panembahan
Agung. Panembahan Agung menerima dari gurunya seakan-akan telah berada dalam
tingkatnya yang sekarang, sedang Jaka Raras yang harus mencari kesempurnaannya
sendiri, ternyata telah justru mendapatkan lebih banyak dari yang ada pada
Panembahan Agung yang sudah puas dengan apa yang telah dimilikinya itu. Sejenak
mereka masih saling memandang. Dari segenap lubang kulit mereka, mengembun
bintik-bintik keringat yang semakin lama bukan saja keringat yang bening,
tetapi menjadi semburat merah seakan-akan di dalam butiran-butiran keringat itu
mengembun pula warna darah. Dengan sekuat tenaga keduanya mencoba mengerahkan
segenap kemampuan yang ada di dalam diri mereka. Kedua macam ilmu yang serupa
itu bagaikan saling mendesak dan mendorong. Namun dengan demikian, maka tubuh
kedua orang itu rasa-rasanya semakin lama menjadi semakin panas.
Desakan-desakan yang tidak kasat mata itu membuat keduanya terbenam dalam
ketegangan yang semakin memuncak. Keringat yang semburat merah itu semakin lama
justru menjadi semakin jelas berwarna darah. Semakin lama semakin rata di
seluruh tubuh kedua orang yang sedang bertempur dengan ilmu yang dahsyat itu. Untuk
beberapa saat lamanya keduanya bagaikan menjadi patung. Nafas mereka semakin
lama menjadi semakin cepat mengalir. Apalagi ketika kemudian dari ubun-ubun
mereka seakan-akan telah mengepul kabut yang berwarna putih, seperti yang telah
terlontar dari mata masing-masing. Sejenak kemudian keduanya pun menjadi
gemetar. Jantung mereka rasa-rasanya semakin lama semakin lemah, dan darah
mereka pun mengalir semakin lambat. Tetapi dalam pada itu, keringat mereka
telah benar-benar berwarna darah.
Tidak ada
kekuatan seseorang yang dapat mencegah apa yang terjadi kemudian. Kedua sosok
tubuh itu benar-benar telah menjadi gemetar seperti orang kedinginan.
Perlahan-lahan keduanya telah kehilangan kekuatan mereka, sehingga akhirnya
keduanya merasa bahwa pertempuran yang aneh itu memang harus segera berakhir. Tetapi
mereka masih belum tahu pasti, siapakah yang masih akan dapat menghisap udara
pegunungan yang segar oleh angin lembah yang mengusap punggung-punggung bukit
itu.
Jaka Raras pun
kemudian tidak mampu lagi tetap berdiri tegak pada kedua kakinya.
Perlahan-lahan ia jatuh berlutut dan mencoba menahan tubuhnya dengan kedua
tangannya. Namun demikian ia masih tetap memandang sepasang mata Panembahan
Agung yang masih juga memandanginya. Dalam keadaan yang semakin lemah keduanya
tidak mau melepaskan tatapan mata mereka, karena dari mata mereka itulah
pancaran kekuatan mereka saling berbenturan. Betapa pun lemahnya keadaan
mereka, namun keduanya masih tetap saling memandang dalam puncak ilmu
masing-masing. Dari tubuh kedua orang itu telah benar-benar mengalir keringat
yang bercampur dengan darah. Wajah mereka menjadi kehitam-hitaman seakan-akan
hangus terbakar oleh ilmu mereka masing-masing.
Dalam pada
itu, Sumangkar pun masih harus bertempur mati-matian melawan para pengawal
Panembahan Agung. Segores demi segores kulitnya telah disobek oleh senjata
lawannya. Semakin lama semakin banyak. Seperti juga Panembahan Agung dan Jaka
Raras, maka Sumangkar pun telah dibasahi oleh darahnya, meskipun tidak
mengembun lewat lubang-lubang kulitnya, tetapi mengalir lewat luka senjata. Tetapi
senjata Sumangkar yang dahsyat itu masih juga sempat melukai lawan-lawannya.
Seorang demi seorang telah tersentuh oleh ujung trisula, sehingga bukan saja
dirinya sendiri yang terluka, tetapi beberapa orang lawannya pun telah
dilukainya pula. Namun demikian Sumangkar yang seorang diri itu semakin lama
menjadi semakin lemah. Sedang jumlah lawannya masih cukup banyak mengepungnya
dan mengejarnya kemana ia berlari dan bersembunyi sebelum ia tiba-tiba meloncat
menyerang. Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak akan dapat berbuat
lebih banyak lagi. Apalagi ketika ia sekilas melihat Jaka Raras yang berdiri
pada lututnya dan menahan tubuhnya dengan kedua tangannya. Tetapi bagi
Sumangkar, tugas seorang di medan perang memang mengarah kepada kemungkinan
yang paling pahit itu. Jika ia tidak berhasil, maka ia akan mati. Dan mati di
peperangan adalah mati yang paling terhormat bagi seorang prajurit. Meskipun
Sumangkar sudah bukan seorang prajurit, tetapi tugasnya kini adalah tugas
seorang prajurit, sehingga baginya apa pun yang akan terjadi, bukannya harus
diratapi dan disesali. Meskipun demikian Sumangkar masih tetap bertempur sekuat
tenaga. Tetapi kemampuan dan tenaganya benar-benar tidak dapat dipaksakannya
melampaui batas tertentu. Nafasnya yang semakin lama menjadi semakin dalam.
Kekuatannya yang semakin susut, dan darah yang semakin banyak mengalir. Namun
dalam pada itu, selagi Sumangkar sudah hampir kehilangan kesempatan untuk
mempertahankan hidupnya, seorang anak muda telah meloncat ke tengah-tengah
perkelahian itu dengan sebatang tombak pendek. Kemudian disusul oleh dua orang
yang lain dengan cambuk di tangannya. Ketika seorang anak gadis muncul di
antara mereka, maka terdengar anak muda bertombak pendek itu berdesis,
“Tolonglah
Paman Sumangkar lebih dahulu.”
Gadis itu
adalah Pandan Wangi. Mereka yang datang ke arena itu adalah anak-anak muda yang
merasa cemas karena Sumangkar yang pergi menyusul Panembahan Agung. Setelah
mendapat ijin dari orang-orang tua, serta menyerahkan pimpinan pasukan Mataram
kepada Ki Lurah Branjangan, maka Sutawijaya bersama dengan kedua murid Kiai
Grinsing dan Pandan Wangi mencoba
menyusulnya. Semula mereka hanya akan melihat apakah kira-kira yang telah
terjadi. Namun dari puncak bukit mereka melihat bahwa di lereng seberang.
Sumangkar sedang bertempur melawan beberapa orang yang mengeroyoknya. Anak-anak
muda yang melihat perkelahian yang tidak seimbang itu tidak dapat membiarkannya
terjadi. Karena itu, maka mereka pun segera berlari turun dan berusaha membantu
Sumangkar yang menjadi semakin lemah.
Pandan Wangi
segera mendekati Sumangkar. Masih ada satu dua orang yang mencoba menyelesaikan
hidup Sumangkar yang sudah hampir tidak dapat melawan sama sekali, sedang yang
lain menghambur melawan anak-anak muda yang berdatangan itu. Namun Pandan Wangi
ternyata cukup cepat. Dengan sepasang pedangnya ia menyerang orang-orang yang
masih berusaha menghabisi nyawa Sumangkar. Sumangkar melihat kehadiran
anak-anak muda itu. Terasa dadanya berdesir oleh haru yang mendalam. Apalagi
ketika dilihatnya dengan lincah Pandan Wangi berhasil menghalau dua orang yang
masih tetap berusaha menyerangnya. Sesaat Sumangkar masih tetap berdiri di
tempatnya. Namun kemudian terasa tubuhnya menjadi semakin lemah. Karena itu,
maka ia pun melangkah tertatih-tatih menepi dan duduk bersandar pada sebatang
pohon sambil menyaksikan pertempuran yang seakan-akan menyala semakin dahsyat
antara anak-anak muda itu melawan para pengawal Panembahan Agung.
Sutawijaya,
Agung Sedayu, Swandaru, dan Pandan Wangi bertempur dengan gigihnya. Senjata
mereka yang terayun-ayun itu pun berhasil memecah kesatuan pengawal Panembahan
Agung yang menjadi kisruh. Sementara itu Sumangkar melihat dalam sekilas, bahwa
anak-anak muda itu akan segera berhasil menguasai keadaan. Jumlah mereka cukup
banyak untuk melawan para pengawal yang jumlahnya sudah menjadi semakin susut.
Seorang demi seorang para pengawal itu pun terluka oleh ujung pedang, tombak,
dan cambuk. Betapa pun mereka berusaha, namun mereka tidak dapat melawan
anak-anak muda yang darahnya seolah-olah mendidih menyaksikan perkelahian yang
tidak seimbang, sehingga hampir saja membunuh Ki Sumangkar. Ki Sumangkar
menarik nafas dalam-dalam, ketika ia melihat beberapa orang pengawal itu
mencoba melarikan diri. Tetapi mereka justru tergelincir dan terperosok ke
dalam tebing padas yang dalam, sehingga yang terdengar hanyalah teriakan ngeri
yang menyayat. Akhirnya, para pengawal Panembahan Agung itu pun tidak lagi
dapat berbuat apa pun juga. Tiga orang yang tersisa, kemudian melemparkan
senjatanya dan menyerah.
“Kalian
benar-benar menyerah?” bertanya Sutawijaya.
“Ya. Kami
benar-benar menyerah. Tetapi jangan bunuh kami.”
Sutawijaya
memandang mereka sejenak, lalu,
“Kalian harus
diikat, sementara kami akan melihat pertempuran antara Panembahan Agung dan Ki
Waskita itu.”
Ketiga orang
pengawal yang menyerah itu tidak mengelak ketika tangan mereka kemudian diikat
pada sebatang pohon dengan kain panjang mereka sendiri.
Dalam pada
itu, maka anak-anak muda itu pun mendekati Ki Sumangkar dan bertanya,
“Apakah Ki
Sumangkar tidak terlampau parah?”
Sumangkar menggelengkan
kepalanya. Katanya,
“Tidak. Aku
telah mencoba mengurangi arus darah dari luka-lukaku dengan serbuk-serbuk ini
yang aku dapatkan dari Kiai Gringsing.”
Sutawijaya
melihat sebuah bumbung kecil di tangan Ki Sumangkar yang berisi serbuk seperti
yang dikatakannya.
“Aku akan
melihat pertempuran itu.”
“Hati-hatilah.
Mereka tidak saja mempergunakan ilmu kanuragan. Jangan memasuki daerah
kemampuan kekuatan aji mereka yang belum kita ketahui dengan pasti.”
Sutawijaya
menganggukkan kepalanya. Ia tidak dapat membiarkan pula sesuatu terjadi atas Ki
Waskita yang nampaknya telah menjadi sangat lemah dan berlutut di hadapan
Panembahan Agung. Dengan tergesa-gesa anak-anak muda itu berlari-lari mendekat
arena itu. Tetapi langkah mereka tertegun beberapa langkah, ketika rasa-rasanya
mereka telah menyentuh arena yang tidak dapat mereka masuki. Rasa-rasanya udara
menjadi sangat panas dan mencengkam. Yang dapat mereka lakukan adalah sekedar
menyaksikan apa yang kemudian terjadi. Dengan hati yang berdebar-debar
anak-anak muda itu menyaksikan Ki Waskita yang meskipun sudah berdiri di atas lututnya,
namun ia masih tetap memandang mata Panembahan Agung. Sebaliknya Panembahan
Agung pun masih tetap pula menatap sepasang mata Ki Waskita. Namun dalam pada
itu, anak-anak muda itu pun menjadi heran. Mereka hampir tidak percaya pada
penglihatannya, bahwa Panembahan Agung di dalam keadaannya itu duduk bersila di
atas sebuah amben kecil dengan sepasang kayu usungan. Tandu.
Serentak
tumbuh dihati anak-anak muda itu dugaan,
“Apakah
Panembahan Agung telah diusung dengan tandu itu?”
Tetapi mereka
tidak segera dapat kepastian. Yang dilihatnya adalah Panembahan Agung yang
sedang bertempur itu duduk dengan lemahnya di atas sebuah amben kecil yang
terikat dengan beberapa helai tali-temali pada usungan yang terletak di sebelah
menyebelah amben kecil itu. Untuk beberapa saat keduanya tetap dalam
keadaannya. Mereka seakan-akan telah terpisah dengan dunia sekitarnya. Keduanya
seakan-akan tidak melihat anak-anak muda yang ada di sekitar arena itu.
Dengan
demikian keduanya masih tetap saling memandang. Agaknya ilmu mereka yang
berdasarkan pada sumber yang sama itu sudah berada pada batas kemampuan mereka.
Yang mereka lakukan kemudian adalah sekedar bertahan agar diri masing-masing
tidak lumat dilanda oleh ilmu lawannya.
Tetapi keadaan
itu pun sampai pula pada saatnya berakhir. Baik Panembahan Agung maupun Jaka
Raras benar-benar telah sampai pada batas kemampuan mereka. Namun batas itu
ternyata berselisih beberapa kejap. Pada saat terakhir, Panembahan Agung yang
duduk bersila di atas ambennya itu masih sempat menghempaskan sisa-sisa
kekuatannya pada saat yang pendek, sehingga hampir saja Jaka Raras kehilangan
kemampuan untuk bertahan. Namun sekejap kemudian, ternyata Panembahan Agung
benar-benar telah kehilangan segenap kekuatannya. Betapa pun ia mencoba
bertahan namun perlahan-lahan kepalanya mulai menunduk dengan lemahnya. Yang
dapat dilakukan olehnya hanyalah mengatupkan giginya rapat-rapat. Tetapi
kepalanya itu tetap bergerak perlahan-lahan. Maka sampailah batas yang
mengerikan itu. Ketika Panembahan Agung telah kehilangan segenap kekuatannya,
ia pun tidak dapat lagi bertahan memandang sepasang mata Jaka Raras, sehingga
dengan demikian, maka ilmunya pun perlahan-lahan menjadi padam sejalan dengan
gerak kepalanya yang lemah itu. Karena itulah, maka kekuatan ilmu Jaka Raras
bagaikan mendapat kesempatan. Seakan-akan Panembahan Agung telah membuka pintu
bagi serangan yang melontar dari kekuatan ilmu Jaka Raras yang tidak kasat mata
itu. Sesaat Panembahan Agung terlepas dari kemampuan tatapan matanya, maka
serasa api neraka telah melanda tubuhnya. Sejenak ia menggeliat. Namun ia pun
kemudian terkapar tidak berdaya. Meskipun kakinya masih tetap bersila, namun
tubuhnya terkulai di atas ambennya dan kepalanya seolah-olah bergantungan tanpa
kekuatan sama sekali. Panembahan Agung agaknya telah terbakar oleh ilmu yang
dahsyat yang dilontarkan oleh Jaka Raras. Namun dalam pada itu, dalam saat yang
bersamaan, Jaka Raras pun seakan-akan telah kehilangan segenap kekuatannya
pula. Sejenak ia bertahan pada lututnya, namun kemudian ia pun segera duduk
bersila pula sambil menyilangkan tangannya di dadanya. Kepalanya tertunduk
dalam-dalam dan matanya telah terpejam.
Anak-anak muda
itu berdiri termangu-mangu. Untuk beberapa lamanya mereka tidak tahu apa yang
harus dilakukannya selain setiap kali memandang Jaka Raras yang duduk dengan
kepala tunduk dan mata terpejam itu berganti-ganti dengan Panembahan Agung yang
sudah terkulai dengan lemahnya. Dalam ketegangan itu, mereka dikejutkan oleh
suara di belakang mereka,
“Pertempuran
sudah selesai.”
Serentak
anak-anak muda itu berpaling. Dilihatnya Sumangkar yang lemah berdiri di
belakang mereka. Kedua tangannya memegangi luka-lukanya yang dirasanya paling
pedih.
“Bagaimana
dengan Ki Waskita?” bertanya Agung Sedayu.
“Ia sedang
memusatkan segenap kekuatan untuk memulihkan tenaganya. Kekuatan yang tidak
tampak di mata kita, tetapi ada di dalam dirinya.”
Anak-anak muda
itu termangu-mangu sejenak. Tanpa sesadarnya Pandan Wangi memandang Panembahan
Agung yang terkulai diam itu sambil berdesis,
“Dan
Panembahan Agung itu?”
“Ia kehabisan
tenaga sama sekali, sehingga di saat terakhir kekuatan aji pamungkas Ki Waskita
berhasil menghantamnya. Tetapi ternyata kekuatan itu pun tidak ada lagi
sepersepuluh dari kemampuan yang sebenarnya sehingga Panembahan Agung tidak hancur
menjadi debu karenanya.”
Anak-anak muda
itu mengangguk-angguk. Dengan ragu-ragu Sutawijaya pun kemudian bertanya,
“Apakah kami dapat mendekati keduanya, Kiai?”
“Kita harus
menunggu sampai Ki Waskita selesai dengan samadinya. Mudah-mudahan ia akan segera
dapat pulih kembali.”
Anak-anak muda
itu tidak menyahut. Mereka masih saja berdiri termangu-mangu memandang kedua
orang yang sudah tidak berdaya itu berganti-ganti. Namun tiba-tiba saja
Swandaru bertanya,
“Paman
Sumangkar, apakah Panembahan Agung itu mati.”
“Aku pun tidak
tahu. Apakah ia mati atau sekedar pingsan karena kekuatan aji Ki Waskita yang
sudah sangat lemah itu.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia pun kemudian bertanya pula,
“Paman. Apakah
sebenarnya amben kecil itu? Apakah benar amben itu sebuah tandu?”
“Ya,” jawab
Sumangkar.
“Kenapa
Panembahan Agung harus ditandu? Apakah ia tidak mau berjalan sendiri atau …”
Sumangkar menganggukkan
kepalanya. Katanya,
“Dugaanmu
benar. Dari Ki Waskita aku mendengar bahwa Panembahan Agung memang cacat kaki.
Lebih parah dari Ki Argapati. Tetapi bahwa ia harus berada di atas tandu itu
pun baru aku ketahui ketika aku mengikuti perkelahian ini dan melibatkan diri
ke dalamnya. Menilik keadaannya, maka Panembahan Agung telah mengalami cacat
kaki yang sangat parah.”
Anak-anak muda
itu saling berpandangan sejenak. Meskipun tidak mereka ucapkan, namun
seakan-akan mereka berkata di dalam hatinya bersama-sama,
“Ia telah
mengimbangi cacat tubuhnya dengan ilmu yang luar biasa dahsyatnya.”
Ki Waskita
masih saja tekun dalam samadinya dalam usahanya untuk memulihkan segenap
kekuatan tenaganya. Karena itu, ia sama sekali tidak menghiraukan apa pun yang
terjadi di sekitarnya. Bahkan seandainya ada seekor harimau yang hendak
menerkamnya pun ia tidak dapat melawannya sama sekali. Karena itu, maka agar
mereka tidak melakukan kesalahan, maka Sumangkar yang lemah itu pun berkata,
“Baiklah, kita
menunggunya sampai selesai. Lebih baik kita duduk sejenak di sini. Aku masih
harus banyak beristirahat karena rasa-rasanya tubuhku terlampau lemah meskipun
kini darah sudah tidak banyak mengalir lagi dari luka-lukaku. Sedangkan
orang-orang yang terikat itu pun tidak akan dapat melepaskan diri mereka
sendiri.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menjawab,
“Baiklah, Kiai.
Kita sudah tidak tergesa-gesa lagi. Semuanya seakan-akan sudah selesai. Rudita
sudah diketemukan dan sarang Panembahan Agung ini sudah kita kuasai pula
seluruhnya.”
Maka anak anak
muda itu pun kemudian duduk di atas rerumputan menunggui Ki Waskita yang sedang
samadi. Namun demikian, mereka masih saja selalu diganggu oleh kegelisahan.
Mereka tidak dapat melepaskan diri dari perasaan, bahwa mereka masih tetap
berada di medan peperangan. Dada anak-anak muda itu bergetar ketika mereka
melihat justru Panembahan Agung yang terkulai itulah yang mula-mula bergerak.
Ternyata Panembahan Agung itu tidak mati. Bahkan perlahan-lahan ia berusaha
mengangkat kepalanya dan bangkit duduk meskipun nampaknya masih terlampau
lemah. Sejenak kepalanya tertunduk kembali karena kekuatannya sama sekali masih
belum mampu menahan kepalanya yang tegak. Sumangkar pun menjadi berdebar-debar.
Ia mengenal Panembahan Agung sebagai seseorang yang memiliki ilmu yang luar
biasa. Ia pun mengetahui bahwa busurnya yang besar itu dapat melontarkan anak
panah raksasa yang dapat meledakkan kepala seseorang.
“Kiai,”
berkata Sutawijaya,
“Panembahan
Agung itu seolah-olah bagaikan mayat yang bangkit lagi dari kuburnya.
Mengerikan sekali. Ia akan dapat membakar kita dengan ilmunya.”
“Ya,” sahut
Sumangkar.
“Kita mendahuluinya,”
geram Swandaru,
“kita
membunuhnya selagi ia masih belum mampu berbuat apa-apa.”
Sumangkar
berpikir sejenak. Agaknya pendapat Swandaru itu dapat dimengertinya. Lebih baik
mendahuluinya daripada mereka harus dibakar hidup-hidup oleh ilmunya yang
sangat dahsyat itu. Namun demikian mereka masih tetap ragu-ragu. Sekilas mereka
berpaling. Dilihatnya Ki Waskita masih duduk dalam samadinya. Dalam pada itu,
perlahan-lahan Panembahan Agung mendapatkan sebagian kecil kekuatannya kembali
sehingga meskipun masih bersandar pada kedua telapak tangannya yang bertelekan
di sisi tubuhnya, ia sudah berhasil mengangkat kepalanya.
Dalam pada
itu, mereka yang ditinggalkan oleh anak-anak muda itu menyusul Ki Sumangkar
menjadi cemas juga. Namun mereka percaya bahwa anak-anak muda yang sudah cukup
matang menghadapi berbagai jenis medan itu akan dapat menolong diri mereka
sendiri apabila terjadi sesuatu. Sementara itu, pasukan pengawal Menoreh dan
pasukan pangawal dari Mataram telah benar-benar menguasai seluruh padepokan
yang oleh Panembahan Agung disebutnya Padepokan Medang.
Sebagian dari
para pengawal padepokan itu dapat dikuasai hidup-hidup. Namun korban pun
berserakan hampir tidak terhitung jumlahnya dari kedua belah pihak. Namun
karena pasukan Mataram dan Menoreh telah mempersiapkan diri menghadapi medan
yang membingungkan, justru korban di antara mereka tidak jatuh sebanyak korban
dari padepokan itu sendiri. Para pengawal Panembahan Agung ternyata telah
terguncang oleh kenyataan yang tidak mereka duga-duga. Mereka menyangka bahwa
hanya Panembahan Agung sajalah yang dapat menciptakan kebohongan-kebohongan
yang membingungkan. Namun ternyata bahwa lawan mereka pun mampu melakukannya,
sehingga karena mereka belum bersiap sama sekali menghadapi hal itu, justru
merekalah yang menjadi sangat bingung sehingga korban berjatuhan tanpa
hitungan. Apalagi para pemimpin padepokan itu. Tidak seorang pun yang berusaha
untuk tetap hidup. Sepeninggal Putut Nantang Pati dan Daksina, apalagi kemudian
Panembahan Alit, maka mereka pun bagaikan saling mendahului membunuh diri di
peperangan. Kiai Gringsing yang lemah sudah dibawa ke padepokan. Dibaringkannya
tubuhnya di pembaringan yang terletak di sebuah gubug kecil dekat regol
terdepan padepokan Panembahan Alit.
Namun Kiai Gringsing
sudah dapat memberikan petunjuk kepada Ki Demang Sangkal Putung, bagaimana
merawat luka-lukanya sendiri. Sementara itu Ki Argapati dan Prastawa sibuk
mengatur para pengawal yang memasuki padepokan itu. Menempatkan mereka di
tempat-tempat yang pantas mendapat pengawasan dan menjaga para tawanan yang
menyerah. Sementara itu beberapa orang pemimpin pengawal dari Mataram telah
mengatur beberapa orang pengawal dan para tawanan untuk membersihkan medan.
Menyingkirkan mayat yang berserakan dan mengurus penguburannya.
Di dalam
kesibukan itu, Ki Lurah Branjangan segera dapat mengenali beberapa orang yang
sebenarnya prajurit-prajurit Pajang. Baik yang menjadi korban di dalam
peperangan itu, maupun yang masih hidup dan menjadi tawanan. Tetapi mereka
adalah prajurit-prajurit. Mereka tidak akan dapat memberikan banyak keterangan
selain menyebut nama Daksina sebagai senapati mereka yang telah membawa mereka
ke padepokan terpencil itu. Namun dengan demikian semakin nyata bagi Ki Lurah
Branjangan, bahwa sebenarnyalah Pajang telah terpecah. Seperti dirinya sendiri
yang pernah menjadi seorang senapati di Pajang, kini telah berada di antara
para pengawal di tanah Mataram yang sedang berkembang itu. Dengan demikian maka
ternyata bahwa kekuatan Pajang telah terpecah dalam bagian-bagian kecil yang
saling bertentangan dan bahkan saling bertempur. Jika di peperangan ini ia
bertemu dengan Daksina, itu berarti bahwa dua orang Senapati Pajang telah
berhadapan di bawah panji-panji yang berbeda warna. Namun dengan demikian, warna-warna
itu seakan-akan telah melambangkan keringkihan Pajang yang semakin lama menjadi
semakin parah.
Sementara itu,
selagi orang-orang di padepokan itu sibuk dengan menyingkirkan mayat-mayat yang
akan dikubur di tempat yang masih harus dicari, maka Ki Pemanahan yang berada
di Mataram dengan gelisah menunggu kedatangan Sutawijaya. Namun sebagai seorang
prajurit ia menyadari, bahwa tugas Sutawijaya tidak akan dapat diselesaikan
dalam waktu satu dua hari saja. Mungkin Sutawijaya berhasil menduduki sarang orang-orang
bersenjata itu, tetapi tentu diperlukan waktu untuk menguasainya sama sekali. Namun
dalam pada itu, yang seakan-akan membuat Ki Gede Pemanahan tidak sabar lagi
menunggunya adalah berita yang sudah sampai di telinganya, yang bersumber dari
seorang prajurit Pajang, bahwa Sutawijaya telah melakukan tindakan yang
tercela. Ia telah melakukan kesalahan yang besar sekali terhadap Sultan Pajang,
yang telah mengangkat menjadi anaknya dan mengasihinya seperti anaknya sendiri.
“Jika berita
ini benar, celakalah Sutawijaya. Sultan Pajang mempunyai alasan yang kuat untuk
menghukum Sutawijaya. Jika beberapa daerah sebelumnya menyetujui sikapnya,
meskipun hanya di dalam hati, tentu akan melepaskan dukungannya terhadap
Mataram. Beberapa orang bupati yang menjunjung tinggi nilai kesopanan, akan
mengutuknya dan meninggalkannya dalam kesulitan. Bahkan mereka tentu akan
mendukung tindakan Sultan Pajang seandainya mereka akan menangkap Sutawijaya,”
keluh Ki Gede Pemanahan di dalam hati.
Sekali-sekali
Ki Gede Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Meskipun ia tidak segera mengambil
tindakan berhubung dengan berita yang sampai kepadanya, namun ia merasa
seakan-akan tersiksa karenanya. Karena itu, ketika ia tidak dapat menahan hati
lagi, masa diperintahkannya beberapa orang penghubung untuk menyusul Sutawijaya
ke Menoreh.
“Katakan
kepadanya, jika persoalan yang dihadapinya sudah selesai, ia harus segera
kembali ke Mataram. Ada sesuatu yang sangat penting untuk dibicarakan,” berkata
Ki Gede kepada utusan itu.
Utusan itu
menjadi termangu-mangu. Kepergian Sutawijaya ke Menoreh dengan membawa pasukan
berkuda adalah untuk melakukan tugas yang cukup berat. Namun tiba-tiba Ki Gede
Pemanahan seolah-olah tidak sabar menunggunya dan memerintahkan puteranya
segera kembali ke Mataram.
Karena itu
maka utusan itu pun memberanikan diri untuk bertanya,
“Ki Gede. Kami
kurang mengerti Bukankah kepergian Raden Sutawijaya itu untuk menunaikan tugas
pengamanan daerah Mataram?”
“Ya. Tetapi
yang harus kau sampaikan itu ada juga sangkut pautnya dengan pengamanan daerah
yang sedang kita buka ini. Justru tidak kalah pentingnya dengan persoalan yang
kini sedang dihadapi oleh Sutawijaya di Menoreh.”
“Apakah aku
dapat menyampaikan persoalan itu kepada Raden Sutawijaya.”
Ki Gede menggelengkan
kepalanya. Katanya,
“Kau tidak
usah menyebut persoalan itu. Mungkin Sutawijaya sendiri tidak segera mengetahui
apakah yang akan dijumpainya di dalam persoalan yang aku pesankan kepadamu. Itu
tidak penting. Yang penting biarlah Sutawijaya segera kembali.”
“Tetapi
bagaimanakah jika tugas itu belum selesai.”
Ki Gede
Pemanahan termangu-mangu sejenak.
“Panggilan ini
tentu akan menggelisahkannya, Ki Gede. Jika Raden Sutawijaya sedang berada di
medan, sudah tentu bahwa aku tidak akan dapat menyampaikan kepadanya.”
“Kenapa?”
bertanya Ki Gede.
“Aku
mengetahui benar tabiat Raden Sutawijaya. Jika ia dikecewakan oleh sesuatu
persoalan, selagi persoalannya yang dahulu belum selesai, ia akan menjadi
marah, dan berbuat atas landasan perasaannya.”
“Kau benar.”
“Jadi?”
“Baiklah. Jika
ia masih berada di medan, kau dapat menunggunya sampai selesai. Mudah-mudahan
ia tidak mengalami sesuatu di tlatah Menoreh, dan bahkan mudah-mudahan ia dapat
berhasil.” Ki Gede berhenti sejenak, lalu,
“Tetapi
ingatlah, ia harus segera berada di Mataram, sebelum ada persoalan yang datang
justru dari Pajang.”
Penghubung itu
mengerutkan keningnya. Tetapi Ki Gede berkata seterusnya,
“Jangan kau
pikirkan apa yang telah terjadi dengan Sutawijaya. Tugasmu adalah membawanya
kembali. Biar aku sajalah yang menyampaikan persoalan itu kepadanya, agar tidak
terjadi salah mengerti.”
“Baiklah, Ki
Gede.”
“Nah,
berangkatlah. Pergilah ke induk Tanah Perdikan Menoreh. Kebijaksanaan
selanjutnya ada padamu.”
Penghubung itu
pun segera berkemas. Dengan tiga orang kawannya maka ia pun segera berangkat
menyeberangi Sungai Praga. Ternyata di lereng perbukitan padas di perbatasan
Menoreh, Raden Sutawijaya bersama anak-anak muda murid Kiai Gringsing, Pandan
Wangi, dan Ki Sumangkar sedang dicengkam oleh kegelisahan. Panembahan Agung itu
pun perlahan-lahan mencoba sekali lagi mengangkat wajahnya. Namun sekali lagi
wajah itu tertunduk. Agaknya masih belum cukup kekuatan padanya untuk memandang
keadaan di sekelilingnya dengan tatapan matanya. Sementara itu, Swandaru hampir
tidak sabar lagi. Sekali lagi ia berdesis,
“Apakah kita
akan menunggu Panembahan Agung itu berhasil membangunkan kekuatannya dan
membakar kita di sini menjadi debu?”
Sutawijaya
memandang Ki Sumangkar sejenak, seakan-akan mencari jawab atas pertanyaan
Swandaru itu yang memang dapat dimengertinya. Sekilas Ki Sumangkar memandang
Panembahan Agung yang lemah. Nampaknya betapa pun ia berusaha, tetapi ia masih
tetap tidak bertenaga. Ia hanya berhasil bangkit dan duduk bertelekan kedua
tangannya dengan kepala yang seakan-akan terkulai tunduk tidak bertulang lagi. Namun
tiba-tiba Sutawijaya berdesis,
“Apakah ia
memiliki ilmu kebal seperti Panembahan Alit. Jika tidak, maka ia tentu sudah
menjadi debu oleh kekuatan ilmu Ki Waskita.”
Anak-anak muda
itu saling berpandangan. Hampir bersamaan mereka pun memandang kepada Ki
Sumangkar. Swandaru-lah yang mula-mula bertanya kepadanya,
“Apakah
Panembahan Agung itu juga kebal seperti Panembahan Alit?”
Ki Sumangkar
menggelengkan kepalanya. Katanya,
“Aku tidak
mengerti. Tetapi kemungkinan itu memang ada. Ternyata ia berhasil lolos dari
maut oleh kekuatan ilmu Ki Waskita. Tubuhnya sama sekali tidak terluka meskipun
menjadi kehitam-hitaman.”
Anak-anak muda
itu menjadi tegang. Jika benar Panembahan Agung juga memiliki ilmu kebal, maka
sudah barang tentu mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa. Hanya Kiai
Gringsing-lah yang akan berhasil meremukkan bagian dalam orang itu meskipun
kulitnya masih tetap utuh. Tetapi Kiai Gringsing bangkit pun seakan-akan tidak
mampu lagi karena luka-lukanya yang agak parah. Dalam keragu-raguan itulah
mereka melihat Panembahan Agung bergerak-gerak lagi. Dengan sepenuh sisa tenaga
yang dapat dibangunkannya lagi, ia berusaha mengangkat wajahnya yang
kehitam-hitaman.
Betapa pun
beratnya, namun akhirnya Panembahan Agung itu berhasil. Ia berhasil mengangkat
wajahnya dan memandang keadaan di sekelilingnya. Tatapan matanya itu pun
kemumudian terhenti ketika terlihat olehnya Ki Sumangkar bersama anak-anak muda
yang sedang termangu-mangu itu. Debar di jantung Ki Sumangkar dan anak-anak muda
itu pun rasa-rasanya menjadi semakin cepat. Mereka hanya dapat berdiri tegak
memandang Panembahan Agung dari tempat mereka. Rasa-rasanya mereka bagaikan
melekat di atas tanah tempat mereka berdiri. Sejenak Panembahan Agung
menggeram. Matanya masih memandang kepada Ki Sumangkar dan anak-anak muda yang
ada di sekitarnya.
“Panembahan
Agung sedang menyiapkan ilmunya,” berkata anak-anak muda itu di dalam hatinya.
Namun
tiba-tiba anak-anak muda itu mendengar Ki Sumangkar berkata,
“Kita harus
memencar. Jika tenaga itu tumbuh lagi di mata Panembahan Agung, kita tidak
bersama-sama terbakar.”
“Bagus,” desis
Sutawijaya,
“kita
bersembunyi di balik batu-batu padas.”
Anak-anak muda
itu pun telah siap untuk meloncat memencar agar mereka tidak hangus
bersama-sama. Dari tempat mereka bersembunyi mereka akan dapat berusaha melawan
Panembahan Agung sejauh dapat mereka lakukan. Namun sebelum mereka melangkahkan
kaki mereka, terdengar suara lemah di belakang mereka,
“Kalian tidak
usah menyingkir ke mana pun.”
Serentak
mereka berpaling. Dan mereka pun merasa seolah-olah telah terlepas dari mulut
seekor harimau yang paling ganas. Mereka melihat Ki Waskita telah mengangkat
wajahnya meskipun ia masih duduk bersila.
“Ki Sumangkar,”
berkata Ki Waskita,
“kau tidak
usah cemas lagi terhadap Panembahan Agung. Meskipun ia masih tetap hidup tetapi
ia tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi. Ia telah kehilangan sebagian besar
dari dirinya sendiri. Ia sudah tidak dapat memancarkan ilmunya yang dahsyat itu
lagi. Di dalam keadaan yang terakhir, kita berjuang untuk saling menghancurkan
sumber ilmu yang ada di dalam diri kita masing-masing, bukan bentuk jasmaniah
ini meskipun siapa yang menang akan dengan mudah dapat menjadikan bentuk
jasmaniah ini menjadi debu.”
Sumangkar
mengerutkan keningnya. Sejenak ia memandang Panembahan Agung yang masih juga
memandang ke arahnya dan anak-anak muda yang berdiri di sekitarnya. Namun
tiba-tiba Ki Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Baru kini ia sadar, bahwa
tatapan mata Panembahan Agung itu bagaikan tatapan sebutir batu hitam. Tanpa
sorot dan tanpa lukisan kehendak sama sekali. Tiba-tiba saja Sumangkar menjadi
ngeri. Seakan-akan ia melihat sebuah sumur yang sudah mati, namun dalamnya
tidak dapat dijajagi. Dalam sekali tanpa dasar, namun kosong. Agaknya anak-anak
muda. yang ada di sekitarnya pun menangkap keadaan itu pula, sehingga Pandan
Wangi yang meremang di seluruh tubuhnya bergeser mendekatinya sambil berdesis,
“Kiai, apakah
yang sebenarnya terjadi?”
Ki Sumangkar
menarik nafas dalam-dalam. Sambil memandang Panembahan Agung ia berkata,
“Ia telah
kehilangan segala-galanya yang ingin ia miliki di dunia ini. Ilmunya,
kedudukannya, dan kini dirinya sendiri.”
Pandan Wangi
bergeser semakin mendekati Sumangkar. Meskipun ia prajurit di medan perang,
tetapi kesan yang ditangkapnya pada Panembahan Agung agak berbeda. Semula ia
sudah siap untuk pergi memencar dan berjuang seorang demi seorang. Tetapi kini
justru ia menjadi ngeri dan seakan-akan ia ingin berlindung di belakang
Sumangkar yang telah mengalami luka-luka.
Dalam pada
itu, perlahan-lahan Ki Waskita pun berdiri pula. Dengan kening yang berkerut ia
melangkah mendekati Panembahan Agung yang masih duduk sambil memandang
berkeliling. Seakan-akan ia menjadi heran melihat alam yang gumelar di
sekitarnya. Ketika Ki Sumangkar melangkah mengikutinya, Pandan Wangi pun ikut
pula di belakangnya diiringi oleh anak-anak muda yang lain.
Beberapa
langkah di hadapan Panembahan Agung, Ki Waskita pun berdiri tegak. Kemudian
sambil membungkukkan kepalanya ia bertanya,
“Apa kabar,
Panembahan?”
Panembahan
Agung memandanginya sejenak, lalu terdengar ia bertanya. Namun Ki Sumangkar dan
anak-anak muda itu terkejut mendengar suaranya yang tidak ubahnya suara seorang
tua yang sudah pikun,
“Kau siapa,
he?”
“Panembahan,
apakah Panembahan tidak mengenali aku lagi? Aku Jaka Raras.”
“Jaka Raras,”
Panembahan Agung mengingat-ingat. Namun kemudian ia menggelengkan kepalanya,
Halaman 1 2 3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar