Karena itu, maka segera dilepasnya bajunya dan dilemparkannya dari balik batu padas itu. Dugaannya ternyata, tidak salah. Begitu bajunya tersembul dari balik batu padas, sebuah anak panah yang besar telah menyambarnya.
“Hem,” Jaka
Raras menarik nafas. Jika ia sendiri yang muncul, maka dadanya tentu akan
tembus. Ia tahu benar, bahwa busur dan anak panah Panembahan Agung adalah busur
dan anak panah yang khusus. Hampir tidak ada orang yang mampu menarik busurnya
yang besar itu, selain mereka yang memiliki tenaga melampaui tenaga orang
kebanyakan.
“Gila,”
Panembahan Agung lah yang berteriak kemudian ketika ia sadar, bahwa yang
dikenainya sama sekali bukan Jaka Raras, tetapi hanya selembar bajunya saja.
Dalam pada
itu, Ki Waskita telah meloncat menyusup gerumbul perdu dan melingkari sebuah
gundukan padas yang besar dan menjadi semakin dekat dari tempat Panembahan
Agung. Tetapi ia harus hati-hati, bahwa setiap kali anak panah Panembahan itu
akan dapat menyambar lehernya, sehingga ia tidak dapat menarik nafas sekali
lagi. Ternyata bahwa yang membingungkan Panembahan Agung kemudian sama sekali
bukan bentuk-bentuk semu. Tetapi bentuk-bentuk wadag yang sebenarnya tidak
mempunyai arti di dalam pertempuran itu. Baju Jaka Raras jauh lebih berarti
daripada bentuk-bentuk apa pun yang mengerikan atau yang menggetarkan jantung.
Ternyata Panembahan Agung yang tidak dapat dibingungkan dengan bentuk-bentuk
semu itu menjadi bingung dan mengumpat-umpat tidak habis-habisnya karena
selembar baju yang telah dikenainya dengan anak panahnya.
Kini
Panembahan Agung memusatkan perhatiannya kepada keadaan di sekelilingnya. Ia
sadar, bahwa setiap saat Jaka Raras akan muncul dan menerkamnya. Dicobanya
untuk menangkap setiap gerak dan getar dari udara di sekelilingnya. Tetapi
agaknya Jaka Raras berhasil membersihkan dirinya dari isyarat-isyarat yang akan
dapat ditangkap oleh Panembahan Agung. Tetapi Panembahan Agung tidak berdiri
sendiri. Beberapa orang pengawal pilihannya pun segera menebar dan menjaga
segala penjuru. Mereka pun sadar, bahwa lawan Panembahan Agung kali ini
bukannya orang kebanyakan. Bahkan memiliki ilmu yang serupa dengan ilmu
Panembahan Agung sendiri. Karena itu, maka mereka pun telah menyiapkan senjata
telanjang. Setiap saat Jaka Raras muncul, maka mereka akan beramai-ramai
menyerangnya, sebelum Panembahan Agung akan mengakhiri nyawanya dengan anak
panahnya yang luar biasa itu.
Dalam pada
itu, Panembahan Agung yang dijalari oleh perasaan gelisah itu menjadi semakin
tidak tenang lagi. Ketika ia melihat sesuatu bergerak di balik segunduk batu
padas, maka tiba-tiba saja sebuah anak panah telah meluncur dengan cepatnya,
seperti petir menyambar di langit. Batu padas itu seolah-olah meledak karena
hantaman anak panah yang besar dan dengan kekuatan yang luar basa. Segumpal
batu padas itu pecah dan berserakan menghambur di sekelilingnya. Mereka yang
melihat dan mendengar ledakan itu menahan nafas. Jika yang dikenalnya itu tubuh
seseorang, maka tubuh ini tentu akan tembus oleh anak panah raksasa itu, dan
tulang-tulangnya pun akan remuk menjadi debu. Dalam pada itu, Ki Waskita pun
menjadi berdebar-debar. Ia sadar akan kemampuan Panembahan Agung. Karena itu,
maka ia pun harus berhati-hati.
Tetapi bagi
Jaka Raras, tentu tidak mungkin melawan Panembahan Agung yang memiliki
kesaktian tiada taranya itu hanya dengan tangannya. Karena itu, untuk beberapa
saat ia menjadi ragu-ragu sambil berjongkok di balik sebuah batu besar. Sudah bertahun-tahun
ia tidak mempergunakan senjatanya. Tetapi di dalam keadaan ini, ia tidak akan
dapat berbuat lain. Betapa pun ia dicengkam oleh keragu-raguan, namun akhirnya
Ki Waskita itu pun melepaskan ikat pinggangnya yang besar, yang terbuat dari
kulit berlapis baja pilahan. Kemudian diurainya sebuah rantai di bawah ikat
pinggangnya dan sebuah cakram kecil bergerigi yang diambilnya dari kantong ikat
pinggangnya. Dengan ragu-ragu Jaka Raras mengaitkan rantainya pada cakram
bergerigi itu. Namun akhirnya ia berkata kepada diri sendiri,
“Di dalam
keadaan tanpa pilihan, aku tidak dapat
berbuat lain. Aku masih belum ingin mati. Bukan saja karena aku masih harus
membentuk anakku, tetapi jika aku mati maka akibatnya akan sangat luas.
Panembahan Agung akan menjadi gila, dan orang orang Mataram dan Tanah Perdikan
Menoreh harus menyediakan banyak korban sebelum berhasil membiasakannya.
Karena itu,
maka Jaka Raras pun kemudian menggeretakkan giginya, seakan-akan ingin mengusir
keragu-raguan yang masih saja menggelitiknya. Sambil menggeram maka Ki Waskita
itu pun berkata kepada diri sendiri,
“Bukan
maksudku. Tetapi apa boleh buat.”
Namun sejenak
Ki Waskita menundukkan kepalanya, bagaimana pun juga ia merasa bertanggung
jawab atas perbuatannya. Bukan saja kepada orang lain, tetapi terutama kepada
Penciptanya. Di dalam hatinya ia memohon agar jika perbuatannya itu sesat dari
jalan yang telah dipilihnya selama ini, hendaklah diampuninya, karena yang
dilakukannya itu semata-mata didorong oleh keinginannya menyelamatkan banyak
orang dari kebuasan Panembahan Agung. Sesaat kemudian, maka Ki Waskita itu pun
membelitkan ikat pinggangnya yang berlapis baja dilengannya, ia dapat
mempergunakan ikat pinggangnya itu sebagai perisai menghadapi anak panah
Panembahan Agung.
“Tetapi anak panah
itu bukan anak panah biasa,” katanya di dalam hati,
“namun ikat
pinggang ini pun bukan ikat pinggang biasa.”
Dengan
demikian Ki Waskita kini sudah siap menghadapi lawannya yang paling berat.
Setelah bertahun-tahun Ki Waskita menghindarkan diri dari tindakan kekerasan,
sehingga anak laki-lakinya sama sekati tidak membayangkan bahwa ayahnya dapat
melakukan hal serupa itu, kini terpaksa melakukannya.
“Mudah-mudahan
hanya sekali saja lagi,” desisnya.
Menjelang Ki
Waskita mengatur perasaannya dan memantapkan hatinya, maka Kiai Gringsing sudah
sampai pada puncak pertempurannya. Tangannya yang menggenggam cemeti itu
seakan-akan telah dipenuhi dengan segenap kekuatan yang ada padanya, dan
segenap kekuatan cadangan yang mampu dihimpunnya. Pada saat terakhir Kiai
Gringsing melihat lawannya, Panembahan Alit pun telah berada pada puncak
kemampuannya dalam ilmu kebalnya, sehingga seakan-akan mereka berdua telah
sampai pada saat yang menentukan, siapakah yang akan memenangkan pertempuran
itu. Rasa-rasanya setiap jantung dari mereka yang berada di seputar arena itu
menjadi berhenti berdenyut melihat sikap kedua orang yang sudah sampai pada
puncak ilmunya ini. Beberapa saat keduanya masih melakukan gerakan-gerakan
kecil, seakan-akan mencari kelemahan pada lawan masing-masing. Namun pada
saatnya, keduanya sadar, bahwa pertempuran itu sudah mendekati akhirnya, siapa
pun yang akan binasa. Karena itu, ketika keduanya merasa bahwa mereka telah
berada pada puncak kekuatannya, maka keduanya pun mulai mempersiapkan diri,
untuk membenturkan ilmu masing-masing.
Ki Argapati
yang memiliki kemampuan yang hampir sempurna itu pun menahan nafasnya.
Seandainya kakinya tidak sedang cacat, maka ia akan dapat berbuat serupa,
meskipun di dalam kenyataan terakhir, selagi Kiai Gringsing menghadapi puncak
kesulitannya, ternyata mempunyai beberapa kelebihan yang menentukan. Lembah
yang baru saja hiruk-pikuk oleh pertempuran yang sengit itu justru menjadi
hening diam, namun betapa setiap hati dicengkam oleh ketegangan. Sejenak
kemudian perlahan-lahan tangan Kiai Gringsing mulai bergerak, sehingga ujung
cambuknya mulai berjuntai perlahan-lahan. Ternyata gerakan itu telah menyentuh
naluri Panembahan Alit, sehingga ia pun mulai melangkah ke samping. Tetapi ia
tidak menunggu lebih lama lagi. Ia ingin perkelahian itu segera berakhir, siapa
pun yang akan terkapar di tanah. Karena itu, maka ia pun segera mempersiapkan
senjatanya. Sejenak ia memandang Kiai Gringsing sambil menggeram. Namun sejenak
kemudian maka senjatanya itu pun mulai teracu.
Berhentilah
segala tarikan malas dan detak jantung ketika tiba-tiba saja Panembahan Alit
meloncat menyerang Kiai Gringsing dengan loncatan yang dilambari dengan puncak
ilmunya, sehingga bagaikan loncatan petir di langit yang tidak mampu diikuti
oleh mata telanjang. Namun Kiai Grjngsing pun sudah mempersiapkan dirinya pula.
Sekali cambuknya berputar, kemudian sebuah ayunan yang dahsyat telah
menyongsong Panembahan Alit yang masih terapung di udara karena loncatannya. Sebuah
ledakan cambuk yang menggelegar rasa-rasanya telah mengguncangkan lembah itu.
Orang-orang yang ada di sekitar arena itu sebelumnya telah mendengar cambuk itu
meledak beberapa kali. Tetapi ledakan yang dilontarkan oleh puncak ilmunya itu
rasa-rasanya telah memecahkan selaput telinga. Panembahan Alit masih sempat
menggeliat. Namun ia tidak dapat menghindari ujung cambuk Kiai Gringsing yang
melecutnya jauh lebih cepat dari lecutan sewajarnya. Terdengar Panembahan Alit
menggeram. Tetapi ia masih sempat berdiri di atas kedua kakinya. Bahkan sebuah
loncatan lagi yang tidak terduga telah mendorongnya mendekati Kiai Gringsing
sambil mengacukan senjatanya. Kiai Gringsing tidak sempat mengelak. Karena
itulah maka ia tidak dapat berbuat lain daripada melindungi dadanya dengan
lengannya. Betapa pun ia berusaha untuk memukul sisi pedang lawannya, namun
Panembahan Alit sempat memutar pedangnya, sehingga lengan Kiai Gringsing
tersobek karenanya. Terdengar orang tua itu berdesis. Sekilas ia melihat darah
mengalir dari luka itu. Namun ternyata bahwa Panembahan Alit mampu bergerak
terlalu cepat. Sekali lagi ia meloncat sambil, mematukkan senjatanya sehingga
Kiai Gringsing kehilangan kesempatan untuk kedua kalinya. Meskipun Kiai
Gringsing masih berusaha untuk mencondongkan tubuhnya, namun pedang itu telah
tergores di pundaknya. Kiai Gringsing sadar, bahwa ia tidak boleh kehilangan
kesempatan berikutnya. Jika demikian maka ia akan kehilangan kesempatan untuk
seterusnya. Karena itu, maka selagi Panembahan Alit menyiapkan serangan
berikutnya, Kiai Gringsing sempat mendahuluinya. Sebuah ledakan cambuk yang
dilambari oleh puncak ilmunya telah menggetarkan lembah itu. Tebing-tebing
gunung bagaikan bergetar, dan dedaunan yang menguning satu-satu berguguran di
tanah. Tetapi rasa-rasanya setiap orang tidak mempercayai penglihatannya.
Panembahan Alit masih tetap berdiri tegak dengan senjata di tangannya. Dua
ledakan cambuk yang didorong oleh kekuatan yang tiada taranya, itu sama sekali
tidak melukai kulitnya selagi Panembahan Alit berada di puncak ilmu kebalnya
pula. Sejenak Kiai Gringsing pun menjadi termangu-mangu. Namun ketika
Panembahan Alit mulai bergerak, sekali lagi Kiai Gringsing mendahuluinya.
Cambuknya meledak sekali lagi tanpa menghiraukan darahnya sendiri yang mengucur
dari luka. Panembahan Alit tampak bergoyang sedikit seperti sebatang pohon
raksasa yang disentuh angin. Namun sekejap kemudian, ia ternyata masih sempat
meloncat menyerang dengan pedang terjulur. Kiai Gringsing sama sekali tidak
menyangka, bahwa Panembahan Alit masih mampu melakukan serangan yang dahsyat
itu. Karena itu, Kiai Gringsing kehilangan kesempatan sekali lagi. Kali ini
lambungnya telah sobek oleh senjata Panembahan Alit. Untunglah bahwa ia
mempergunakan ikat pinggang kulit yang tebal dan besar, sehingga dengan
menyumbatkan kainnya yang dibelitkan pada ikat pinggangnya, Kiai Gringsing
dapat mengurangi kucuran darah dan rasa sakit.
Tetapi dengan
demikian tenaga Kiai Gringsing pun menjadi semakin lemah. Pemusatan ilmunya pun
mulai menjadi kabur. Sejenak ia melihat Panembahan Alit masih berdiri tegak di
hadapannya.
Dengan mata
terbelalak Kiai Gringsing melihat, bahwa kulit Panembahan Alit benar-benar
tidak dapat dilukainya meskipun ia sudah berada di puncak ilmunya. Meskipun
demikian, Panembahan Alit itu bagaikan sudah tidak berpakaian lagi. Pakaiannya
ternyata telah terbakar oleh ledakan dahsyat dari cambuk Kiai Gringsing yang
dilambari oleh puncak ilmu simpanannya. Lembah itu benar-benar telah dicengkam
oleh keheningan yang sangat tegang. Semua orang yang berdiri melingkari arena
pertempuran yang sangat dahsyat itu tidak dapat menahan kekaguman di dalam
hati. Di tengah-tengah arena itu berdiri dua orang yang memiliki kelebihan yang
hampir tiada bandingnya. Kiai Gringsing yang melepaskan puncak ilmunya itu
telah mampu menimbulkan kekaguman yang sangat. Ternyata ujung cambuknya bukan
saja mampu menyayat-nyayat pakaian Panembahan Alit. Tetapi ternyata bahwa bekas
cambuk itu bagaikan bara api yang mampu membakar Panembahan itu sehingga
menjadi hangus. Namun kekaguman mereka pun kemudian bertumpu kepada kemampuan
Panembahan Alit bertahan atas ujung cambuk Kiai Gringsing yang telah membakar
pakaiannya itu. Kulitnya yang dilambari oleh ilmu kekebalan itu sama sekali
tidak terluka. Meskipun tampak juga jalur-jalur kehitam-hitaman seakan-akan
kulit itu telah disengat oleh api. Sejenak Panembahan Alit masih berdiri tegak
dengan pedang terjulur. Kemudian tampak Panembahan itu menggerakkan tangannya,
siap untuk menusuk perut Kiai Gringsing yang sudah menjadi semakin lemah. Tetapi
Kiai Gringsing pun pantang menyerah. Dengan sisa puncak ilmu yang masih ada,
sekali lagi ia meledakkan cambuknya, tepat mengenai leher Panembahan Alit. Ternyata
ilmu Panembahan Alit masih mampu bertahan. Lehernya sama sekali tidak terluka.
Tetapi
orang-orang yang berdiri di sekitar arena itu pun kemudian menyaksikan
perubahan yang terjadi pada keduanya. Kiai Gringsing yang kehilangan pemusatan
ilmunya itu pun menjadi semakin tidak berdaya. Cambuknya tidak lagi
menggetarkan tebing dan meruntuhkan dedaunan. Namun dalam pada itu, orang-orang
itu pun melihat tatap mata Panembahan Alit seakan-akan menjadi kosong di dalam
keputus-asaannya. Ia tidak lagi berpengharapan apa pun selain membinasakan
lawannya sebelum ia sendiri menyudahi hidupnya di peperangan. Sejenak
orang-orang yang berdiri di seputar arena itu menjadi tegang. Mereka melihat
Kiai Gringsing melangkah surut. Dan mereka pun melihat Panembahan Alit
selangkah maju mendekati dengan pedang di tangan. Betapa pun juga, Kiai
Gringsing masih tetap siap melecutkan cemetinya, meskipun pandangan matanya
menjadi kabur. Darah yang mengalir dari lukanya telah membasahi sebagian besar
tubuhnya. Luka-lukanya di pundak, lengan, dan lambung rasa-rasanya telah
menghisap semua tenaganya dan bahkan pemusatan puncak ilmunya.
Ketika
Panembahan Alit melangkah sekali lagi, maka dengan lemahnya Kiai Gringsing
masih mengayunkan cambuknya. Tetapi cambuknya tidak lagi melecut dan meledak
dalam gerak sendal pancing. Bahkan di luar kemampuan Kiai Gringsing yang lemah
itu, ternyata ujung cambuknya telah tersangkut pada tubuh Panembahan Agung. Di
saat terakhir itulah Kiai Gringsing telah kehilangan segenap kemampuannya untuk
bertahan. Matanya menjadi berkunang-kunang. Ia sadar, bahwa terlampau banyak
darah yang mengalir dari lukanya, sehingga ia tidak mampu lagi mempertahankan
puncak ilmunya. Sekilas Kiai Gringsing masih melihat Panembahan Alit yang tidak
dapat dilukainya itu masih berdiri tegak tanpa mengibaskan ujung cambuknya.
Sesaat
kemudian, Kiai Gringsing sudah tidak mampu lagi mempertahankan keseimbangannya.
Perlahan-lahan ia terhuyung-huyung dan jatuh pada lututnya. Ia masih mencoba
berpegangan pada tangkai cambuknya yang ujungnya tersangkut pada lawannya.
Tetapi rasa-rasanya kesadarannya menjadi semakin samar. Dan ia pun jatuh
terlentang di atas tanah dengan perlahan-lahan.
Semua orang
yang menyaksikan menahan nafas. Bakan rasa-rasanya jantung Agung Sedayu dan
Swandaru akan meledak menyaksikan hal itu. Kekalahan gurunya akan berarti
kebinasaan bagi semua orang yang ada di lembah itu, karena Panembahan Alit akan
mampu mengalahkan setiap orang dari mereka. Apalagi apabila Panembahan Agung
sendiri akan turun ke gelanggang. Namun demikian, bukan saja keduanya, tetapi
semua orang yang ada di sekitar arena itu telah membulatkan hati untuk melawan
siapa pun juga tanpa menghiraukan apa pun akibatnya.
Tetapi
ternyata bahwa sekali lagi mereka dicengkam oleh peristiwa yang menggetarkan
dada mereka. Ternyata demikian Kai Gringsing terjatuh dan berpegangan pada
tangkai cambuknya, perlahan-lahan Panembahan Alit pun bagaikan dihisap pula
oleh ujung cambuk itu. Ternyata kemampuan jasmaniahnya terbatas pula seperti
Kiai Gringsing. Meskipun kulitnya tidak terluka, namun Panembahan Alit telah
kehilangan semua kekuatannya. Seperti Kiai Gringsing, maka perlahan-lahan
Panembahan Alit pun terjerembab jatuh di atas tanah. Mereka yang mengerumuni
arena itu melihat, segumpal darah yang kehitam-hitaman meloncat dari mulut
Panembahan Alit itu.
Sejenak
orang-orang di sekitar arena itu terdiam mematung, namun Ki Argapati pun segera
menyadari bahwa ia harus berbuat sesuatu. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa
ia mendekati Kiai Gringsing yang sudah terbaring diam. Dilekatkannya telinganya
di dada orang tua itu. Dan perlahan-lahan ia berdesis,
“Aku masih
mendengar detak jantungnya.”
Agung Sedayu,
Swandaru dan orang-orang lain bagaikan sadar dari mimpi mereka yang paling
buruk. Mereka pun segera berloncatan mendekatinya.
“Darah ini
masih saja mengalir,” desis Ki Argapati. Lalu,
“Jika Kiai
Gringsing kehabisan darah, maka tidak ada jalan untuk menolongnya.”
Orang-orang
yang ada di sekitarnya saling berpandangan sejenak. Kiai Gringsing sendiri
sudah menjadi semakin lemah. Matanya terpejam dan nafasnya menjadi
terengah-engah.
“Ki Gede,” tiba-tiba
Agung Sedayu berdesis,
“biasanya Kiai
Gringsing membawa obat pada kantong ikat pinggangnya.”
“O,” Ki
Argapati dengan tergesa-gesa mencari obat yang memang biasa dibawa oleh Kiai
Gringsing.
Ternyata di
kantong ikat pinggang Kiai Gringsing memang terdapat beberapa bumbung kecil
berisi serbuk-serbuk obat. Tetapi Agung Sedayu tidak dapat mengatakan, yang
manakah yang harus dipergunakan.
Dalam
kebingungan itu, Ki Argapati mencoba berbisik ditelinga Kiai Gringsung,
“Kiai, Kiai?”
Ternyata bahwa
perlahan-lahan Kiai Gringsing masih sempat membuka matanya. Meskipun kabur,
namun ia melihat bayangan orang-orang yang mengerumuninya. Ki Argapati
mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Ditunjukkannya beberapa buah
bumbung di tangannya. Bumbung kecil yang berwarna wulung, yang lain berwarna
kuning dan yang lain lagi dari ujung pring tutul yang berbintik-bintik.
Ketika Ki
Argapati menunjukkan sebuah bumbung kecil yang terbuat dari pring gading, maka
Kiai Gringsing mengangguk kecil. Ki Argapati tidak menyia-nyiakan waktu. Ia
tahu bahwa obat yang dicarinya terdapat di dalam bumbung kecil itu. Karena itu,
maka ia pun segera membukanya dan menaburkan serbuk berwarna putih
kehitam-hitaman ke atas luka-luka di lengan, pundak dan lambung Kiai Gringsing.
Betapa lemahnya orang tua itu, namun ternyata perasaan sakit yang menyengat
membuatnya menggeliat. Namun kemudian orang tua itu mengatupkan bibirya
rapat-rapat. Bahkan Kiai Gringsing itu pun kemudian jatuh pingsan.
Namun dalam
pada itu, ternyata obat yang ditaburkannya di atas luka-lukanya mulai bekerja.
Perlahan-lahan darah yang mengalir itu pun menjadi mampat.
“Mudah-mudahan
kita berhasil,” desis Ki Demang yang sejak semula berdiri saja seperti patung.
“Mudah-mudahan,”
desis Ki Argapati.
Di belakang Ki
Argapati, Pandan Wangi berdiri termangu-mangu. Sekilas terkenang ujung dari
peristiwa ini. Semula yang akan dilakukannya hanyalah sekedar berburu di hutan
liar itu. Tetapi akhirnya ia telah menyeret Tanah Perdikan Menoreh ke dalam
peperangan yang gawat. Sudah barang tentu ada beberapa orang korban yang jatuh.
Dan bahkan di hadapannya seorang tua yang memiliki ilmu hampir sempurna ini pun
terbaring diam dengan beberapa buah luka di tubuhnya.
Tetapi ketika
orang-orang itu melihat luka di tubuh Gringsing tidak lagi mengucurkan darah,
mereka menjadi agak tenang dan berpengharapan. Dalam pada itu, barulah mereka
teringat pada tubuh yang lain yang terbaring tidak jauh dari tempat itu. Tubuh
Panembahan Alit. Prastawa yang pertama-tama menyentuh tubuh itu, menarik rafas
dalam-dalam sambil berkata,
“Ia sudah
meninggal.”
Ki Argapati
mengerutkan keningnya. Orang-orang yang lain telah menyibak. Dan Ki Argapati
pun mendekati tubuh yang terbaring diam itu, sementara Ki Demang di Sangkal
Putung masih tetap menunggui Kiai Gringsing. Ketika Ki Argapati meraba-raba
tubuh Panembahan Alit yang bagaikan disengat oleh bara api hampir di seluruh
tubuhnya, meskipun tubuh itu tidak terluka sama sekali, terasa betapa
kedahsyatan ilmu Kiai Gringsing telah meremukkan tulang-tulangnya.
“Panembahan
Alit memang seorang yang kebal,” berkata Ki Argapati,
“tetapi
ternyata bagian tubuhnya tidak mampu bertahan atas ujung cambuk Kiai Gringsing.
Ujung cambuk yang mampu membakar pakaiannya dengan ledakan-ledakan yang dahsyat
dan membuat jalur-jalur hitam di kulit yang kebal ini.”
Orang-orang
yang kemudian mengerumuni tubuh yang terbaring diam itu menjadi semakin kagum.
Kagum akan kekebalan kulit Panembahan Alit dan kagum akan kedahsyatan tenaga
Kiai Gringsing yang mampu meremukkan bagian dalam tubuh Panembahan Alit itu.
“Jika kita
tidak bersama Kiai Gringsing dan Ki Waskita,” berkata Sutawijaya kemudian dengan
nada yang dalam dan datar,
“aku kira,
yang akan kembali hanyalah sekedar nama-nama kita saja.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tiba-tiba ia teringat Ki Waskita, sehingga
tanpa sesadarnya ia berkata,
“Ya, Ki
Waskita masih belum ada di antara kita.”
Semua orang
menengadahkan wajahnya. Mereka tidak lagi melihat bentuk-bentuk semu di sekitar
lembah itu. Karena itu, maka Pandan Wangi pun berdesis,
“Masih ada
seorang yang lain yang harus dihadapi.”
“Ya, Panembahan
Agung,” desis Sutawijaya.
Ki Argapati
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi tampak ketegangan membayang di wajahnya.
Panembahan Agung tentu memiliki kemampuan yang setidak-tidakmya mengimbangi
kemampuan Panembahan Alit di dalam olah kanuragan, selain ilmu semunya. Dan Ki
Argapati tidak lagi dapat mengharapkan Kai Gringsing yang sudah terluka parah. Namun
dalam pada itu mereka semuanya terkejut ketika mereka mendengar seseorang
berkata di antara mereka,
“Serahkan
Panembahan Agung kepada Ki Waskita.”
“Ki Sumangkar,”
desis beberapa orang bersamaan. Perhatian mereka yang terpusat kepada Kiai
Gringsing dan Panembahan Alit membuat mereka tidak segera melihat kehadiran Ki
Sumangkar yang membimbing seorang anak muda.
Sumangkar
tersenyum. Tetapi di wajahnya masih nampak ketegangan yang mencengkam
perasaannya. Sambil membimbing Rudita ia melangkah maju.
“Aku telah
mengambil Rudita dari sarang mereka,” berkata Sumangkar.
“Syukurlah,”
Pandan Wangi lah yang meloncat ke depan. Wajahnya seolah-olah memancar meskipun
hanya sejenak.
“Jadi, tidak
terjadi apa-apa atasmu Rudita?”
Rudita
termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian menggelengkan kepalanya.
“Kau tidak
mengalami sesuatu?” bertanya Pandan Wangi seolah-olah tidak percaya.
Sekali lagi
Rudita menggeleng. Perlahan-lahan ia menjawab seolah-olah suaranya tersangkut
di kerongkongannya,
“Tidak, Pandan
Wangi.”
Pandan Wangi
menarik nafas dalam-dalam sambil menekankan tangannya di dadanya,
“Syukurlah.
Tuhan masih melindungi kita semua.”
Namun dalam
pada itu Ki Argapati bertanya,
“Tetapi di
manakah Ki Waskita?”
“Aku sudah
menyerahkan anak ini kepada ayahnya. Tetapi Ki Waskita mengembalikannya
kepadaku. Ia kini sedang berusaha untuk menemukan Panembahan Agung.”
“O,” dada Ki
Argapati menjadi berdebar-debar.
“Ia merasa
berkewajiban untuk menemukannya,” sambung Ki Sumangkar.
“Tetapi,
apakah Ki Waskita sudah siap menghadapinya dengan segala macam cara?” bertanya
Ki Argapati.
“Ia cukup
masak di dalam sikap. Karena itu, ia tentu dapat mengukur dirinya sendiri
sebelum ia memutuskan untuk menemui Panembahan Agung.”
Ki Argapati
tidak menyahut. Namun nampak kecemasan membayang di wajahnya meskipun tidak
dikatakannya, karena jika dengan demikian Rudita akan menjadi semakin gelisah.
“Ki Waskita
minta agar Rudita berada di antara kita. Agaknya tidak lagi akan ada bahaya
yang mengancam. Seandainya masih ada juga, maka kita bersama-sama akan dapat
melindungnya.”
Ki Argapati
masih saja mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tiba-tiba saja Ki Sumangkar
bertanya,
“Jadi
bagaimana dengan Kiai Gringsing?”
Ki Argapati
berpaling memandangi tubuh Kiai Gringsing yang masih terbaring ditunggui oleh
Ki Demang Sangkal Putung.
“Lukanya sudah
tidak lagi mengucurkan darah. Tetapi ia menjadi sangat lemah.”
“Luka itu
tampaknya cukup parah.”
“Ya, cukup
parah. Mudah-mudahan kita tidak terlambat. Darahnya sudah terlampau banyak
mengalir.”
Ki Sumangkar
termenung sejenak. Namun kemudian perlahan-lahan ia melangkah mendekati Kiai
Gringsing.
“Ia pingsan,”
desis Ki Argapati.
“Tetapi ia
sudah mulai menggerakkan pelupuk matanya,” desis Ki Demang Sangkal Putung.
“Apakah tidak
ada setitik air yang dapat dipercikkan ke bibirnya. Agaknya Kiai Gringsing
merasa haus sekali.”
“Kita belum
tahu, apakah ada air di sekitar tempat ini. Dan seandainya di padukuhan itu ada
air, apakah airnya masih dapat kita minum tanpa kecurigaan apa pun juga.”
Ki Sumangkar
menjadi termangu-mangu. Ia sadar, bahwa segala cara dapat dipakai oleh lawan
untuk membunuh musuhnya. Dan Ki Sumangkar pun kadang-kadang masih merasa ngeri
mendengar ceritera tentang racun di Alas Mentaok.
Ketika Ki
Sumangkar kemudian berjongkok di samping Kiai Gringsing, ternyata orang itu
sudah mulai sadar. Karena itu maka Ki Sumangkar pun kemudian berkata,
“Jika Kiai
Gringsing mendapatkan kesadarannya sepenuhnya kembali, kita berpengharapan
besar bahwa ia akan dapat sembuh kembali. Kiai Grngsing tentu dapat menyebut
obat apakah yang diperlukannya.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu katanya,
“Apakah tidak
sebaiknya Kiai Gringsing kita sisihkan dan kita tempatkan di tempat yang agak
tenang?”
“Sebaiknya
demikian. Biarlah murid-muridnya membawanya ke bawah pepohonan yang rimbun di
kaki tebing itu,” sahut Sumangkar.
Agung Sedayu
dan Swandaru membawa Kiai Gringsing yang masih sangat lemah itu menepi. Tetapi
Kiai Gringsing ternyata sudah tidak pingsan lagi. Tetapi wajahnya masih sangat
pucat dan tubuhnya sangat lemah.
Dalam pada
itu, ketika Kiai Gringsing sudah berada di tempat yang lebih tenang, maka Ki
Argapati pun mulai menanyakan lagi tentang Ki Waskita.
“Ia pergi
seorang diri.”
Ki Argapati menarik
nafas dalam-dalam, lalu,
“Apakah tidak
sebaiknya kita menyusulnya?”
Sumangkar merenung
selenak, lalu,
“Ki Gede.
Sebaiknya Ki Gede berada di tempat ini. Kiai Gringsing tidak akan dapat
ditinggalkan begitu saja. Biar aku sajalah yang mencari Ki Waskita. Mungkin aku
dapat menemukannya.”
Ki Argapati
memandang Ki Sumangkar sejenak, lalu,
“Tugas itu
cukup berbahaya, Ki Sumangkar.”
“Aku sadari.
Tetapi aku sudah berniat melakukannya,” tanpa disadari Ki Sumangkar memandang
kaki Ki Gede yang cacat, sehingga Ki Gede Menoreh memotong kata-katanya,
“Aku mengerti,
Ki Sumangkar. Agaknya Ki Sumangkar mencemaskan kakiku.”
“Bukan, Ki
Gede,” cepat-cepat Sumangkar menyahut,
“bukan hanya
karena itu. Tetapi ada sebab-sebabnya yang lain. Dan agaknya Ki Argapati memang
lebih baik berada di sini.”
“Jika
demikian, biarlah aku saja yang ikut bersamamu,” berkata Sutawijaya tiba-tiba.
Ki Sumangkar
memandang anak muda itu sejenak, lalu,
“Angger
memimpin pasukan dari Mataram.”
Sutawijaya
termenung sejenak. Kemudian dilontarkannya pandangan matanya ke padepokan yang
sudah benar-benar dikuasai oleh pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh.
Maka katanya
kemudian,
“Di sini sudah
tidak ada apa apa lagi. Pasukan kita sudah menguasai keadaan sepenuhnya.”
“Tetapi
persoalannya belum berarti selesai. Jika timbul sesuatu yang memerlukan
keputusan Raden, maka Raden harus berada di antara mereka.”
Sutawijaya
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak membantah lagi. Dalam pada itu Ki Sumangkar
pun kemudian berkata,
“aku akan
pergi sendiri. Aku serahkan Rudita kepada Ki Argapati. Mudah-mudahan aku segera
menemukannya.”
“Hati-hatilah,”
pesan Ki Argapati,
“Panembahan
Alit telah berhasil mengimbangi kemampuan Kiai Gringsing. Bahkan hampir saja
membawanya serta ke dalam kekuasaan maut. Karena itu Panembahan Agung tentu
merupakan orang yang lebih berbahaya dari Panembahan Alit itu.”
“Baiklah, Ki
Gede,” jawab Sumangkar,
“aku akan
sangat berhati-hati.”
Ki Sumangkar
pun meninggalkan para pemimpin pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh yang
sedang menunggui Kiai Gringsing. Namun agaknya keadaan Kiai Gringsing sendiri
menjadi berangsur baik. Dengan tergesa-gesa Sumangkar mencoba mencari jejak
yang ditinggalkan oleh Ki waskita. Karena Ki Waskita tidak berusaha untuk
menghilangkan jejaknya, maka Ki Sumangkar dapat melihat dengan jelas.
Ranting-ranting yang patah, rerumputan yang terinjak kaki dan jejak-jejak kaki
di atas tanah berdebu di sela-sela batu padas.
Sementara itu,
Panembahan Agung masih menunggu. Beberapa orang pengawalnya yang menebar dengan
penuh kewaspadaan mengawasi segala penjuru. Setiap saat Ki Waskita yang juga
disebut Jaka Raras itu dapat meloncat menyerang. Ki Waskita sendiri tidak
berani bertindak dengan tergesa-gesa. Ia pun menyadari bahwa Panembahan Agung
bukan orang yang dapat diabaikan kemampuannya, meskipun Jaka Raras sendiri
memiliki bekal yang cukup untuk melawannya. Panahnya dan kekuatan busurnya yang
besar, merupakan senjata yang sangat dahsyat. Jika anak panah itu berhasil
menyentuh tubuhnya maka tulang-tulangnya pun akan menjadi lumat karenanya. Karena
itu Ki Waskita harus memperhitungkan sebaik-baiknya, apakah yang harus
dilakukannya. Dari tempatnya bersembunyi, ia dapat melihat samar-samar beberapa
orang pengawal Panembahan Agung, sehingga karena itu ia harus bertindak dengan
tepat. Jika pengawalnya itu dapat mengetahui, bahwa ia bersembunyi di balik
gerumbul atau batu, maka Panembahan Agung tentu akan menghancurkan batu atau
membakar gerumbul itu dengan panahnya yang besar sekali itu. Sejenak Ki Waskita
mencari cara yang paling baik dilakukan. Ia pun sadar, bahwa para pengawal
Panembahan Agung itu tentu bukan orang-orang kebanyakan pula. Mereka tentu
dipilih di antara pengawal yang lain.
Panembahan
Agung sendiri menjadi sangat tegang. Sudah beberapa lama ia menunggu.
Rasa-rasanya bahkan sudah terlampau lama. Tetapi Ki Waskita masih belum berbuat
sesuatu. Tetapi Ki Waskita tidak dapat dipancingnya keluar. Panembahan Agung
sadar bahwa Ki Waskita yang dikenalnya bernama Jaka Raras itu pun mempunyai
perhitungan yang masak pula.
Karena itu
untuk beberapa saat lamanya, kedua belah pihak hanya saling menunggu saja.
Panembahan Agung tidak dapat mencari Ki Waskita, sedang Ki Waskita tidak segera
menemukan cara untuk menyerang, karena Panembahan Agung memiliki beberapa orang
pengawal. Jika ia menyerang juga, maka kedatangannya tentu sudah diketahui
sebelumnya, dan anak panah Panembahan Agung akan menghujaninya tanpa kesempatan
untuk mengelak sama sekali. Dalam pada itu, Sumangkar pun menjadi semakin dekat
pula dengan arena ketegangan yang senyap itu. Dari puncak bukit ia mencoba
memandang ke tebing seberang. Sejenak Sumangkar merenung. Ia tahu pasti, bahwa
jejak Ki Waskita berhenti untuk sesaat di tempat itu. Tiba-tiba dadanya menjadi
berdebar-debar. Di lereng, ia melihat beberapa buah bintik yang bergerak-gerak.
Ia melihat beberapa orang yang berdiri dan berjalan-jalan hilir-mudik.
“Apakah mereka
itu Panembahan Agung dengan pengawalnya?” bertanya Sumangkar di dalam hati.
Tetapi
Sumangkar tidak yakin akan penglihatannya. Kadang-kadang ia masih saja
ragu-ragu, bahwa ia melihat bentuk semu yang sebenarnya sama sekali tidak ada. Karena
itu untuk beberapa saat Sumangkar tidak melanjutkan langkahnya. Ia masih
menunggu, apakah sebenarnya yang dilihatnya itu.
Sementara itu,
Ki Waskita yang masih saja bersembunyi di balik sebuah batu, tiba-tiba
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejengkal ia bergeser. Dilihatnya seseorang
yang berdiri beberapa langkah daripadanya, menghadap ke arah yang lain. Ketika
dengan hati-hati ia menjenguk semakin jauh, dilihatnya orang yang lain lagi
dengan senjata telanjang di tangannya. Tiba-tiba saja Ki Waskita bertekad untuk
mulai. Ia tidak dapat berada di balik batu untuk waktu yang tidak terbatas. Apa
pun yang terjadi, ia sudah bertekad untuk melawan Panembahan Agung
sejadi-jadinya. Sejenak ia memusatkan kemampuan lahir dan batinnya. Sekali lagi
ia memohon kepada Penciptanya, agar ia mendapatkan petunjuk, apakah yang harus
dilakukannya. Dalam pada itu, para pengawal Panembahan Agung itu pun tiba-tiba
terkejut ketika mereka melihat seseorang yang merunduk dari balik sebuah batu
dan hilang di belakang semak-semak. Sejenak mereka termangu-mangu. Namun
kemudian salah seorang dari mereka berdesis,
“Aku melihat
sesuatu bergerak di balik gerumbul itu.”
“Ya. Aku
juga,” sahut yang lain.
“Kita lihat,
siapa yang berada di balik gerumbul itu. Jika benar yang kita lihat itu
seseorang, maka tentu orang yang sedang kita tunggu itulah.”
Dengan
hati-hati keduanya mendekati gerumbul itu. Beberapa langkah kemudian mereka
berpencar. Mereka ingin mencapai orang yang bersembunyi itu dari dua arah. Namun
agaknya orang yang bersembunyi itu telah melihat keduanya lebih dahulu, karena
tiba-tiba saja orang itu pun merunduk berlari meninggalkan gerumbul itu ke
gerumbul yang lain.
Setelah yakin
bahwa yang ditunggunya berusaha menghindar maka salah seorang dari kedua
pengawal itu berkata lantang,
“Orang itu
berada di sini.”
Para pengawal
yang lain pun berlari-larian mendekatinya. Dengan tegang pengawal itu menunjuk
sebuah gerumbul perdu yang rimbun sambil berkata,
“Kepung
gerumbul perdu itu.”
Dalam pada
itu, Panembahan Agung pun menjadi tegang. Dari tempatnya ia tidak melihat
sesuatu, sehingga karena itu ia bertanya,
“Apakah yang
kalian lihat?”
“Seseorang.
Tentu yang sedang mengejar kita,” jawab salah seorang.
“Di mana?”
“Ia berlari
dari balik batu besar itu, kemudian bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul.
Kita akan mengepungnya, agar orang itu tidak dapat lolos lagi.”
Panembahan
Agung menjadi ragu-ragu. Tetapi ia berkata,
“Giringlah
orang itu mendekat, agar aku dapat melumatkannya dengan anak panahku.”
“Baik,
Panembahan.”
“Tetapi
hati-hatilah. Ia bukan orang kebanyakan. Jika kalian tidak berhasil, berilah
aku tanda sebelum kalian semuanya punah oleh ilmunya.”
Para
pengawalnya itu pun kemudian berdiri dalam sebuah lingkaran mengepung sebuah
gerumbul yang rimbun. Selangkah demi selangkah mereka maju, sedang Panembahan
Agung pun sudah siap dengan anak panahnya. Namun betapa terkejut Panembahan
Agung, ketika ia mendengar desir lembut di belakangnya. Dengan cepatnya ia
memutar tubuhnya. Dan dilihatnya Jaka Raras itu berdiri beberapa langkah dari
padanya.
“Gila,”
Panembahan Agung itu bergumam.
“Ajaklah anak
buahmu mengenal bentuk-bentuk semu itu Panembahan, agar anak buahmu tidak
mengejar sekedar bayangan yang tidak berarti.”
Panembahan
Agung tidak menjawab. Ia harus bertindak cepat menghadapi seseorang yang
memiliki kelebihan seperti Jaka Raras itu agar ia tidak menjadi korban
kelambatannya. Itulah sebabnya ia tidak menyahut lagi. Namun hampir tidak dapat
dilihat dengan mata, tangannya telah memasang anak panah pada busurnya, menarik
talinya, dan sekejap kemudian sebuah anak panah raksasa telah meluncur mengarah
ke dada Jaka Raras. Tetapi Jaka Raras pun sudah bersiap menghadapi serangan
itu. Selangkah ia bergeser, dan anak panah itu menghantam sebuah batu padas di
belakangnya sehingga pecah berantakan. Namun Jaka Raras terkejut, bahwa sebelum
ia sempat memperbaiki keseimbangannya, anak panah kedua telah terlepas dari
busurnya. Dengan demikian Jaka Raras tidak dapat berbuat lain daripada
melemparkan dirinya sekali lagi agar anak panah itu tidak menyambar lehernya. Tetapi
demikian kakinya menginjak tanah berbatu padas, anak panah ketiga telah
mengarah ke dadanya pula. Tidak ada kesempatan baginya untuk menghindar. Karena
itu, maka tidak ada cara lain daripada melindungi dadanya dengan menangkis anak
panah raksasa itu. Meskipun Jaka Raras masih agak ragu-ragu, tetapi ia tidak
sempat membuat banyak pertimbangan. Diangkatnya tangannya yang dibalut dengan
ikat pinggangnya yang berlapis baja tipis, tetapi baja pilihan. Sejenak
kemudian terdengarlah benturan yang sangat dahsyat. Sepercik bunga api meloncat
ke udara ketika mata anak panah Panembahan Agung menghantam baja pilihan
lapisan dari ikat pinggang Ki Waskita yang dililitkan di tangannya itu.
Selangkah Ki
Waskita terdesak surut. Tetapi ternyata bahwa lapisan baja pada ikat
pinggangnya tidak sobek oleh ujung anak panah raksasa itu, meskipun tampak juga
bekasnya yang lekuk cukup dalam. Panembahan Agung menjadi termangu-mangu
melihat kemampuan Jaka Raras. Apalagi ketika Panembahan Agung melepaskan anak
panahnya yang berikutnya. Jaka Raras yang telah berhasil menyiapkan dirinya,
berdiri agak condong ke depan. Sebuah kakinya ditekuknya pada lututnya sedang
kakinya yang lain ditariknya sedikit ke belakang. Tangan kirinya yang dibalut
dengan ikat pinggangnya siap untuk menangkis setiap serangan, sedang tangannya
yang lain telah memutar rantainya yang pada ujungnya disangkutkan sebuah cakram
kecil yang bergerigi.
“Gila,” geram
Panembahan Agung,
“kau berhasil
menangkis anak panahku.”
“Panembahan,”
berkata Ki Waskita,
“kita sudah
menjadi semakin tua. Sebaiknya kita berbuat baik bagi sesama. Karena itu,
cobalah mengerti, bahwa tidak ada gunanya lagi kau menumbuhkan pertengkaran di
antara kita.”
“Tutup mulutmu!”
bentak Panembahan Agung.
“Sebentar lagi
kau akan mati dan dicincang oleh pengawal-pengawalku.”
Ki Waskita
terdiam sejenak. Dilihatnya para pengawal Panembahan Agung yang agaknya sudah
menyadari kesalahan mereka. Sejenak Ki Waskita berdiri termangu-mangu.
Dilihatnya para pengawal itu memandanginya masih dari tempat mereka disesatkan
oleh bentuk semu yang dibuat oleh Ki Waskita.
“Jaka Raras,”
berkata Panembahan Agung,
“jangan
menyesal bahwa kau sudah menyusul aku. Agaknya kau benar-benar sudah jemu
hidup. Jika kau sudah menemukan anakmu, sebenarnya persoalanmu sudah selesai.
Dan kau tidak perlu ikut campur dalam persoalan-persoalan berikut.”
Ki Waskita
menarik nafas. Katanya,
“Panembahan
Agung. Aku sudah berjanji di dalam diriku sendiri untuk menghentikan
petualanganmu yang sesat itu. Kenapa kau tidak mendengarkan tawaranku.
Berhentilah. Dan marilah kita berbuat baik untuk tanah kelahiran kita. Kita
tahu bahwa Mataram itu kini sedang tumbuh. Apakah salahnya jika kita justru
membantu. Bukan menghalang-halangi. Sudah berapa puluh korban yang jatuh dalam
usahamu menggagalkan perkembangan Mataram karena ternyata kau sendiri
menghendakinya. Hantu-hantuanmu telah gagal. Racun yang kau sebarkan di daerah
yang sedang dibuka itu pun tidak berhasil. Kemudian kau mencoba membenturkan
Pajang dan Mataram ketika Senapati Pajang di daerah Selatan ini, Untara, sedang
melangsungkan perkawinannya. Yang terakhir kau berusaha menutup daerah yang
seharusnya sedang berkembang itu dari dunia luar. Nah, kenapa kau tidak
berpikir untuk menghentikan usahamu yang selalu gagal itu?”
“Jaka Raras,”
jawab Panembahan Agung,
“setiap orang
tentu mempunyai cita-cita. Aku pun mempunyai cita-cita. Apakah yang akan aku
dapatkan jika Mataram menjadi ramai dan bahkan menjadi sebuah negeri. Aku
hormat kepada Ki Gede Pemanahan, tetapi aku membenci Sutawijaya dalam segala
bentuknya. Ia adalah putera angkat Sultan Pajang. Seharusnya ia tunduk kepada
semua perintah ayah angkatnya, karena Sultan Pajang bukan saja ayah angkatnya,
tetapi juga guru dan rajanya . Tiga kedudukan yang seharusnya memaksa
Sutawijaya itu untuk tidak berbuat khianat kepada Pajang. Tetapi apa yang
dilakukannya. Ia membuka Mataram dengan tujuan yang tidak baik. Ia ingin
menghisap kebesaran Pajang ke Mataram. Dan yang terakhir, ia telah menodai
seorang gadis yang dipersiapkan untuk menjadi isteri Sultan Pajang itu sendiri.
Yang seharusnya menjadi ibunya.”
Jaka Raras
mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya,
“Setiap orang
dapat memandang Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar itu dari
seginya masing-masing. Dan kau memandang dari segi yang buram. Tetapi demikian
juga setiap orang berhak menyebut Sultan Pajang dengan semua kelebihan dan
kekurangannya sehingga memaksa Sutawijaya untuk berbuat sesuatu.”
“Apakah
bedanya solah tingkah Sutawijaya itu dengan yang sedang aku lakukan? Kita
masing-masing ingin mengambil alih kekuasaan Pajang. Dan kita masing-masing
mempunyai cara kita sendiri.”
“Panembahan
Agung,” berkata Jaka Raras,
“apakah sebenarnya
Sutawijaya itu sudah melakukan seperti yang kau katakan? Alas Mentaok sudah
resmi diserahkan kepadanya oleh ayahandanya Sultan Pajang. Apakah salahnya jika
ia membuka hutan itu dan kemudian mengusahakannya menjadi negeri yang ramai?”
“Kau jangan
berpura-pura bodoh, Jaka Raras. Aku tahu kau memiliki ketajaman penglihatan
lahir dan batin. Kau bukan saja mampu membuat uraian atas peristiwa-peristiwa
yang terjadi, kemudian membuat kesimpulan berdasarkan perhitungan. Tetapi kau
juga mampu melihat dari segi yang lain dari perhitungan nalarmu. Nah, karena
itu jangan mencoba membodohkan diri sendiri.”
“Hanya karena
prasangka buruk saja kau berpendapat demikian, Panembahan Agung, yang juga
bergelar Panembahan Cahyakusuma dan pernah menyebut dirimu sendiri dengan
Panembahan Panjer Bumi atau barangkali masih ada sebutan-sebutan lain.
Seharusnya kau tidak usah berprasangka demikian. Biarlah Mataram berkembang.”
“Kau memiliki
kemampuan tiada bandingnya. Tetapi jiwamu adalah jiwa penjilat kecil yang sama
sekali tidak bercita-cita selain menggantungkan diri kepada orang lain. Kenapa
kau tidak ingin berbuat sesuatu yang dapat mengangkat derajadmu? Kenapa kau
sekedar menerima nasibmu yang buruk itu?”
“Setiap orang
dapat bercita-cita setinggi bintang. Tetapi tidak setiap orang sampai hati
berbuat onar seperti kau. Mengorbankan orang lain dan bahkan meletakkan
bebanten tanpa hitungan. Caramu telah menimbulkan kekacauan dan bahkan kau
harapkan peperangan antara Pajang dan Mataram. Apakah yang menarik dalam setiap
peperangan? Kematian, luka-luka parah yang mengerikan? Anak-anak menjadi yatim
dan perempuan menjadi janda? Adakah sepantasnya kita mencoba meraih cita-cita
kita yang setinggi bintang itu dengan alas mayat yang bertimbun-timbun?”
“Kau memang
berjiwa budak kecil yang hanya pantas menghambakan diri. Jika demikian
sepanjang umurmu kau tidak akan dapat berdiri di depan.”
“Aku tidak
memerlukannya, Panembahan Agung. Karena itu, marilah kita hentikan semuanya
ini. Kau dapat bekerja bersama kami, membangun Mataram menjadi sebuah negeri.”
“Persetan!
Jangan membujuk seperti membujuk anak kecil.”
“Jadi, apakah
kita harus bertempur?”
“Apa boleh
buat. Anak panahku pada suatu saat akan menyobek dadamu.”
Jaka Raras
menarik nafas dalam-dalam. Dilihatnya para pengawal Panembahan Agung berdiri
termangu-mangu.
“Panembahan,”
berkata Jaka Raras,
“aku terpaksa
bertindak atasmu. Aku akan menghapuskan semua kemampuan ilmumu. Jika kau tetap
bertahan, maka aku minta maaf, bahwa jiwamu pun akan serta bersama ilmumu yang
kau pergunakan untuk tujuan yang sesat itu, meskipun bukan itulah yang aku
kehendaki.”
Wajah
Panembahan Agung menjadi merah padam. Ia benar-benar merasa terhina oleh Jaka
Raras, seakan-akan Jaka Raras itu pasti, bahwa ia tidak akan dapat melawannya. Karena
itu, maka ia tidak berbicara lagi. Ia mulai lagi menghujani Jaka Raras dengan
anak panah raksasa. Tetapi seperti yang sudah terjadi, Jaka Raras berhasil
menangkis setiap anak panahnya. Sekali-sekali meloncat menghindar dan
kadang-kadang memukul anak panah itu dengan cakram yang di putarnya seperti
baling-baling. Panembahan Agung menjadi semakin marah melihat kemampuan Jaka
Raras yang seharusnya telah diketahuinya. Karena itu maka tiba-tiba saja ia
berteriak,
“Kepung orang
ini! Hati-hati, jangan dikelabui lagi dengan bentuk-bentuk semu. Di hadapanku
ia tidak akan sempat membuat bentuk-bentuk yang sebenarnya tidak ada itu.”
Halaman 1 2 3
<<< 1 Jilid 075 Jilid 077 >>>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar