DENGAN demikian maka bersama di dalam satu kelompok dengan Ki Lurah Branjangan, Raden Sutawijaya berusaha untuk menahan Daksina. Meskipun Raden Sutawijaya sadar, bahwa Daksina memiliki kemampuan yang lebih baik daripada dirinya sendiri, tetapi seperti yang pernah di lakukan, Raden Sutawijaya tidak berdiri sendiri. Di pihak yang lain, Senapati pangapit Panembahan Alit tertahan oleh Ki Argapati yang kini dirangkapi oleh anak gadisnya, Pandan Wangi, karena Pandan Wangi sadar, bahwa gangguan pada kaki ayahnya tentu akan segera kambuh lagi jika ia harus bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuannya. Itulah sebabnya maka ia merasa wajib selalu berada di sampingnya. Di bagian lain, para pemimpin Mataram harus menahan serangan lambung yang berusaha memecah perhatian para pemimpin pasukan Mataram dan Menoreh. Namun ternyata bahwa kekuatan serangan pada lambung itu sama sekali tidak mampu mengatasi ketangkasan para pengawal dari Mataram. Demikian juga di lambung yang lain. Ketika Agung Sedayu dan Swandaru mulai melecutkan cambuknya, maka ternyata bahwa lawan mereka tidak banyak berarti bagi gelar yang kurang sempurna itu, sehingga serangan lambung di belahan yang terdiri dari orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh itu pun tidak banyak memberikan gangguan. Sementara itu, pasukan yang berada di bagian belakang dari gelar yang tidak sempurna itu sama sekali tidak mendapat gangguan apa pun. Ki Demang yang berada di bagian belakang, benar-benar merupakan tenaga cadangan yang setiap saat dapat dipergunakan sebaik-baiknya. Sejenak setelah kedua pasukan itu berbenturan, Panembahan Alit sudah merasa tekanan yang berat dari lawannya. Namun demikian ia masih tetap merasa cukup kuat untuk melawan pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh itu, meskipun ia segera dapat juga mengenal orang bercambuk yang kini menahannya di ujung medan.
“Kita bertemu
lagi Panembahan,” berkata Kiai Gringsing setelah keduanya terlibat di dalam
peperangan.
“Kenapa kau
turut campur?” bertanya Panembahan Alit.
“Aku kira kau
mendendam ketika aku menahanmu di Alas Tambak Baya.”
“Bukan sekedar
itu,” sahut Kiai Gringsing,
“tetapi aku
memang sependapat dengan Raden Sutawijaya bahwa alas tempat gerombolanmu
berpijak ini harus dihancurkan. Sudah sekian lamanya Mataram harus mengalami
gangguan-gangguan yang gila dari Panembahan Agung dan Panembahan Alit.
Hantu-hantuan, racun, dan seakan-akan kalian telah memagari Mataram dengan
kekerasan.”
“Persetan.
Tetapi kali ini kalian benar-benar telah terjerumus ke dalam sarang serigala.
Kau akan mati dan hancur disayat-sayat oleh ujung senjata kami.”
Kiai Gringsing
tidak menyahut. Yang terdengar adalah ledakan cambuknya sehingga Panembahan
Alit terkejut dan meloncat menghindar dengan tangkasnya. Selagi pertempuran itu
berlangsung, maka masih terdengar suara Panembahan Agung,
“Cepat,
tahanlah pasukan Raden Sutawijaya. Kau dapat mempergunakan pengaruhmu. Kemudian
aku akan menyerahkan anakmu itu.”
“Sayang,
Panembahan,” sahut Ki Waskita,
“aku tidak
dapat melakukannya. Aku akan membebaskan anakku, tetapi tidak untuk
menjerumuskan orang lain ke dalam tanganmu.”
Terdengar
raksasa itu menggeram. Dengan nada tinggi ia kemudian berkata,
“Jadi kau
relakan anakmu mati dengan cara yang mengerikan itu?”
“Kenapa
mengerikan?”
“Sudah aku
katakan. Aku akan mengikat kakinya dan menjerat lehernya dengan tali yang
terikat pada seekor kuda.”
“Jika kau
mengerti bahwa hal itu mengerikan, kenapa kau lakukan?”
“Sengaja, agar
kau tahu, bahwa kau terlampau sombong dengan membiarkan anakmu mati dengan cara
itu. Mungkin kau lebih menghargai hadiah dari Raden Sutawijaya atas bantuanmu
saat ini. Mungkin dijanjikan bahwa kau kelak akan diangkat menjadi seorang
pemimpin di Mataram sehingga kau bersedia mengorbankan anakmu.”
“Aku sama
sekali tidak bermaksud mengorbankan anakku yang manja itu. Aku akan membebaskan
dengan caraku.”
“Persetan. Ia
akan mati. Jika aku tidak melihat kau berusaha mempengaruhi Raden Sutawijaya
dalam hitungan ke sepuluh, aku akan melepaskan isyarat.”
Waskita
termangu-mangu sejenak. Tetapi ia sengaja memperpanjang waktu dengan berkata,
“Tunggu dulu.
Aku sedang berpikir. Jangan mulai dengan hitungan itu.”
“Kau menunggu
pasukanku hancur?”
“Bukan itu,
tetapi sekedar jaminan bahwa anakku akan selamat. Apakah kau dapat menunjukkan
di mana anakku sekarang?”
“Ada padaku.
Bukan aku sendirilah yang menemukannya. Tetapi orang-orang kepercayaanku. Kami
mengira bahwa anak itu dapat kita pergunakan sebagai umpan antuk memancing
kalian. Tetapi kami sudah gagal menghancurkan kalian di mulut lembah yang
sempit. Kemudian pemainanku telah kau ganggu. Dan sekarang, satu-satunya
kesempatan adalah mempergunakan kau dan anakmu itu.”
“Aku minta
jaminanmu.”
Panembahan
Agung menggeram. Ia masih belum mulai menghitung, karena Waskita sengaja
memperpanjang pembicaraan. Dalam pada itu, Waskita memang menunggu agar
usahanya untuk melepaskan anaknya dapat terlaksana lebih dahulu sebelum
Panembahan Agung menentukan sikap dan melepaskan isyarat untuk membunuh
anaknya.
Dengan
petunjuk dari Ki Waskita atas dasar isyarat yang ditangkapnya, maka Sumangkar
merayap semakin dekat dengan padepokan Panembahan Agung yang seakan-akan telah
menjadi kosong. Para penjaga dan pengawal telah dikerahkan ke medan untuk
menahan arus pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh. Yang tinggal di
padepokan itu hanyalah beberapa orang yang bertugas mengawasi keadaan dan dua
orang untuk menjaga Rudita yang terikat pada tiang di ruang belakang padepokan
itu. Panembahan Agung ternyata telah kecewa menahan anak cengeng yang semula
disangkanya tidak akan mempunyai arti apa-apa, yang ternyata meleset dari
perhitungannya. Dengan demikian maka nilai Rudita bagi Panembahan Agung itu
telah mengalami beberapa kali perubahan. Semula ketika ia menerima anak itu ia
mendapat laporan, bahwa anak itu agaknya termasuk orang yang penting, sehingga
ia tidak ikut di dalam pertempuran yang sedang berlangsung. Tetapi kemudian
Panembahan Agung berpendapat, bahwa anak itu adalah anak yang dianggapnya tidak
bernilai. Cengeng dan sama sekali tidak mengetahui apa pun juga tentang
Mataram. Namun ketika anak itu akan dibunuhnya, tanpa disadari, anak itu telah
berceritera tentang Tanah Perdikan Menoreh, sehingga Panembahan Agung
berpendapat bahwa dari anak itu akan dapat diperas beberapa keterangan mengenai
Menoreh. Yang terakhir ternyata, Panembahan Agung mengetahui bahwa anak itu
adalah anak Jaka Raras, orang yang paling diseganinya karena orang itu juga
memiliki ilmu seperti ilmunya sendiri. Ilmu yang dapat menjelmakan kebohongan
yang paling besar yang dapat dilakukan oleh seseorang. Tetapi ternyata bahwa di
saat yang paling genting bagi Panembahan Agung, ayah anak cengeng itu sama
sekali tidak berniat untuk menebus anaknya, karena ia tidak mau berkhianat kepada
Raden Sutawijaya. Dengan demikian maka anak itu benar-benar tidak berarti lagi
baginya, sehingga agaknya lebih baik anak itu dibunuhnya saja. Pada saat itu
Sumangkar telah berada di dalam padepokan yang sepi. Menurut Ki Waskita,
anaknya ada di bagian belakang dari padepokan itu, sehingga dengan hati-hati,
ia berkisar dari balik gerumbul ke balik gerumbul yang lain mendekati ruangan
yang paling mungkin dipergunakan untuk menahan Rudita. Dalam pada itu,
Sumangkar menyadari, bahwa Rudita akan dapat dijadikan barang penting untuk
memeras Ki Waskita. Karena itu, maka ia pun berusaha dengan secepat-cepatnya
untuk melepaskannya. Sumangkar menjadi berdebar-debar ketika dilihatnya masih
ada beberapa orang yang hilir-mudik di halaman rumah induk padepokan itu. Dengan
demikian, maka ia berpendapat, bahwa pada suatu saat, jika perlu, ia memang
harus mempergunakan kekerasan. Tetapi Sumangnar maju terus mendekati tempat
yang diduganya dipergunakan untuk menyembunyikan Rudita. Ketika ia mendapat
kesempatan, maka Sumangkar pun berlari dari balik gerumbul ke sudut rumah induk
itu. Namun, ternyata tanpa disengaja seseorang telah melihatnya. Tetapi karena
orang itu tidak begitu jelas, siapakah yang dilihatnya itu, maka ia pun
mendekatinya dengan senjata teracu. Dalam keadaan itu, Sumangkar tidak dapat
bersembunyi lagi. Bahkan ia pun kemudian berjongkok di sudut rumah itu sambil
menundukkan kepalanya dalam-dalam.
“Siapa kau,
he?” bertanya orang yang mendekatinya.
Tetapi orang
itu tidak dapat bertanya untuk kedua kalinya, ketika tiba-tiba saja ia
terhuyung-huyung. Dengan mata terbelalak orang itu masih melihat Sumangkar
berdiri. Namun kemudian matanya menjadi berkunang-kunang. Dadanya serasa sesak.
Agaknya Sumangkar telah meloncat dan memukul dada orang itu, sehingga akhirnya
orang itu pun terjatuh menelentang di tanah. Pingsan.
Dengan
tergesa-gesa Sumangkar masih sempat menarik orang itu dan menyembunyikannya di
balik pintu yang terbuka. Kemudian dengan hati-hati ia bergeser menuju ke
tempat yang paling sesuai dengan keterangan yang diberikan oleh Ki Waskita
menurut rabaan isyaratnya. Sekali-sekali Sumangkar masih harus berhenti dan
berlindung di balik sudut-sudut rumah atau gerumbul-gerumbul yang rimbun. Ia
masih berusaha untuk menghindari kekerasan sejauh dapat dilakukan, karena ia
tidak mengetahui dengan pasti, ada berapa orang yang masih tinggal di padepokan
ini. Ketika Sumangkar mendekati rumah yang diduga sebagai tempat untuk
menyembunyikan Rudita, maka ia terpaksa bersembunyi melekat dinding ketika ia
melihat seseorang justru berjalan ke arahnya. Namun ia tidak membiarkan orang
itu memberikan isyarat kepada kawan-kawannya. Demikian orang itu sampai di
sudut rumah, maka ia tidak sempat berbuat apa pun juga. Sebuah tangan yang kuat
telah mencengkam mulutnya dan sebuah pukulan yang keras terasa mengenai
tengkuknya. Setelah itu, maka ia pun jatuh pingsan pula. Seperti orang yang
pertama, maka orang itu pun kemudian disembunyikan di balik dinding. Agaknya
rumah-rumah gubug yang bertebaran di padepokan itu sudah dikosongkan, karena
orang-orangnya berada di medan di hadapan padepokan yang terpencil dan
tersembunyi itu. Dengan hati yang berdebar-debar Sumangkar melanjutkan
langkahnya. Setiap kali ia berhenti dan mendengarkan setiap bunyi yang
mencurigakan. Akhirnya Sumangkar berhasil mendekati tempat yang dicarinya.
Lamat-lamat ia mendengar seseorang menangis meskipun tertahan-tahan.
“Hanya
Rudita-lah yang menangis dengan cara itu,” desis Sumangkar kepada diri sendiri.
Perlahan-lahan
ia berusaha mendekati gubug itu. Ternyata gubug itu sepi. Meskipun demikian
Sumangkar yakin, bahwa tentu ada satu atau dua orang yang menjaganya.
Selagi ia
termangu-mangu, tiba-tiba ia mendengar suara yang menggelegar dari medan.
Ketika ia berpaling, dilihatnya sesuatu telah berbenturan di langit. Sejenak
Sumangkar termangu-mangu, namun kemudian ia tidak menghiraukan sama sekali. Ia
sadar, bahwa yang dilihat dan didengarnya sama sekali bukannya bentuk yang
sebenarnya, seperti dua raksasa yang berdiri di puncak bukit itu. Meskipun ia
melihat juga bayangan raksasa di sela-sela dedaunan, tetapi ia sama sekali
tidak menghiraukannya, karena raksasa-raksasa itu tidak akan dapat berbuat
apa-apa atasnya.
Tetapi ketika
ia melangkah semakin dekat, dan berdiri di ujung dinding di belakang gubug itu,
ia mendengar bunyi yang berdesing di udara. Seperti bunyi sawangan yang
kadang-kadang dipasang pada burung merpati.
Mula-mula
Sumangkar tidak menghiraukannya. Namun kemudian ia mulai tertarik ketika ia
mendengar suara seseorang di dalam gubug itu,
“Kau mendengar
bunyi sawangan?”
“Ya,” jawab
yang lain.
“Apakah itu
suatu isyarat?”
Sejenak mereka
terdiam. Namun kemudian salah seorang berkata,
“Ya. Itu tentu
suatu isyarat. Bukankah Panembahan Agung sudah berpesan, bahwa jika terdengar
isyarat yang akan akan dilontarkannya lewat bunyi, maka anak ini dapat
dibunuh.”
Rudita yang
agaknya mendengar pembicaraan itu pun tiba-tiba berteriak, “Jangan, Jangan
bunuh aku.”
“Diam anak
gila. Semakin keras kau berteriak, nasibmu akan menjadi semakin jelek. Aku kira
Panembahan Agung akan sependapat jika kita memilih cara yang paling baik untuk
membunuhnya.”
“Jangan,
jangan,” teriak anak itu.
“Kita tunggu
sejenak,” terdengar suara dari dalam gubug itu pula,
“mungkin ada
isyarat lain yang lebih jelas.”
Gubug itu
menjadi sepi sejenak. Yang terdengar hanyalah tangis Rudita yang semakin keras.
“Tutup
mulutmu, tutup mulutmu,” bentak salah seorang dari penjaganya.
Sumangkar
tergeser setapak ketika ia mendengar sebuah pukulan diikuti jerit tertahan.
“Ampun, ampun.
Aku tidak bersalah.”
“Jika kau tidak
mau diam, aku remukkan mulutmu.”
Suara tangis
itu pun menurun. Tetapi terdengar isak yang sesak. Agaknya Rudita mencoba
menahan tangisnya sekuat-kuatnya. Sumangkar terkejut ketika ia mendengar
langkah seseorang berlari-lari. Karena itu, ia pun mencoba bergeser dan
berlindung di sudut gubug itu, di sisi yang lain dari arah suara yang
didengarnya.
Ternyata suara
langkah, orang itu telah memasuki gubug tempat Rudita ditahan.
“Aku mendapat
perintah langsung dari Panembahan Agung,” desis orang itu.
“Bagaimana
mungkin. Panembahan Agung masih berada dipuncak bukit.”
“Gila,
seakan-akan kau tidak mengenal ilmunya. Dengar, aku diperintahkan, bersama
kalian membawa anak ini ke medan. Cepat.”
“Untuk apa?”
“Untuk memaksa
ayahnya menghentikan perlawanan.”
Sejenak bilik
di dalam gubug itu menjadi sepi. Tetapi kemudian tangis Rudita seakan-akan
meledak lagi. Agaknya, ia menyadari apa yang akan terjadi atas dirinya jika ia
dibawa ke medan.
“Jangan,
jangan,” Rudita berteriak lagi. Tetapi sekali lagi suaranya terputus ketika
terdengar sebuah pukulan mengenai pipinya.
“Jika kau
berteriak lagi, aku remukkan mulutmu.”
“Tetapi jangan
bawa aku ke medan.”
“Kau tidak
mempunyai pilihan. Kau harus pergi ke medan dengan diikat pada lehermu. Setiap
kali ayahmu menolak perintah Panembahan Agung, maka tali di lehermu akan
menjadi semakin mencekik leher itu. Perlahan-lahan tali itu akan ditarik ke
atas dan digantungkan pada sebatang pohon. Jika ayahmu tetap menolak maka kau
terayun-ayun di atas jurang yang paling dalam. Tetapi tentu tidak akan lama,
karena tali itu akan segera diputuskan dan kau akan terlempar jatuh ke
dalamnya. Kau tahu berapa dalam jurang itu? Tidak kurang dari tiga puluh depa.”
“Tidak,
tidak,” Rudita menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menangis. Tangannya masih
terikat sehingga ia tidak dapat berbuat lain.
Orang-orang
yang menjagainya tidak menghiraukan tangisnya lagi. Yang terdengar adalah,
“Cepat.
Lepaskan talinya.”
Sumangkar
menahan nafasnya sejenak. Didekatkannya telinganya pada dinding gubug itu. Yang
terdengar kemudian adalah desir tali yang sedang dilepaskan dan tangis Rudita
yang tertahan-tahan. Namun, Sumangkar terkejut ketika ia mendengar langkah
mendekatinya. Agaknya perhatiannya terlampau tertuju kepada peristiwa di dalam
gubug itu, sehingga ia tidak mendengar langkah mendekati. Baru ketika orang itu
sudah terlampau dekat, Sumangkar dapat mendengar desir langkahnya dan desah
nafasnya yang justru tertahan-tahan. Tepat pada saatnya Sumangkar berpaling.
Agaknya orang itu memang sedang merunduknya. Tanpa bertanya sesuatu, tombaknya
langsung meluncur menyerang lambung. Tetapi Sumangkar sempat melihat mata
tombak itu. Karena itu, maka ia masih sempat mengelak sehingga ujung tombak itu
langsung menubruk dinding gubug itu. Ternyata dinding gubug itu bukannya dinding
yang kuat. Ketika ujung tombak itu membentur dinding, maka dinding itu pun
tembus dan bahkan oleh dorongan yang kuat, maka tali pengikat dinding itu pun
terputus, dan dinding itu seakan-akan telah terbuka di sudut. Orang-orang yang
berada di dalam bilik di gubug kecil itu terkejut. Mereka melihat ujung tombak
yang menerobos masuk, kemudian seseorang melanggar dinding sehingga dinding itu
hampir roboh.
Selagi
orang-orang itu termangu-mangu, maka Sumangkar menyadari keadaannya. Ia tidak
dapat menyembunyikan diri lagi. Karena itu, maka ia harus mengambil tindakan
yang cepat. Sejenak kemudian, maka Sumangkar pun mulai bertindak. Selagi orang
yang membentur dinding itu berusaha untuk bangkit, maka sebuah pukulan telah
mengenai tengkuknya, sehingga sekali lagi ia jatuh terjerembab. Dan bahkan
kesadarannya pun seakan-akan telah direnggut sama sekali daripadanya. Dan ia
pun jatuh pingsan karenanya. Untuk beberapa saat Sumangkar masih berdiri di
tempatnya. Ia ragu-ragu untuk meloncat masuk. Karena itu, maka ia masih saja
berdiri di luar dinding yang hampir roboh itu.
“Jika aku
masuk, maka akan dapat mendorong orang-orang itu mempergunakan Rudita untuk
memaksakan kehendaknya,” berkata Sumangkar kepada diri sendiri, sehingga dengan
demikian, ia masih tetap berada di luar.
Ia berharap
bahwa orang-orang yang ada di dalam bilik itulah yang justru keluar dan
meninggalkan Rudita. Setidak-tidaknya, sebagian dari mereka. Ternyata
perhitungannya itu benar. Dua orang telah meloncat keluar dengan senjata
terhunus, sedang yang seorang lagi justru sedang mengikat kembali tangan Rudita
yang sudah hampir terlepas.
“Siapa kau?”
bertanya salah seorang dari mereka.
Sumangkar
tidak segera menyahut. Bahkan ia melangkah surut sambil memandang berkeliling.
Jika ada orang lain lagi yang melihatnya, maka keadaannya akan menjadi gawat.
Tetapi rupa-rupanya padepokan itu memang sudah sepi.
“Jangan lari,”
bentak salah seorang dari orang-orang yang menunggui Rudita.
Sumangkar
tidak menyahut. Ia melangkah lagi surut. Dan seperti yang dikehendakinya, maka
kedua orang itu mengikutinya semakin jauh dari bilik Rudita.
“Siapa kau
he?” bentak orang itu lagi.
Sumangkar
menarik nafas dalam-dalam. Ia mengharap agar yang masih ada di dalam bilik itu
tidak mempergunakan Rudita. Agaknya kedua orang itu pun tidak sabar lagi.
Karena Sumangkar tidak juga menjawab, maka salah seorang dari mereka menggeram,
“Baik Jika kau
tetap membisu, maka kau akan mati tanpa dikenal namamu.”
Kedua orang
itu pun langsung menyerang Sumangkar dengan dahsyatnya. Senjata mereka berputar
dan mematuk dengan cepatnya. Agaknya untuk menjaga Rudita, Panembahan Agung
telah menempatkan orang-orangnya yang paling terpercaya. Dengan demikian, maka
perkelahian itu pun semakin lama menjadi semakin sengit. Sumangkar ternyata
selalu meloncat surut meskipun hanya berputar-putar di tempat itu. Tampaknya
sulit bagi Sumangkar untuk melawan kedua orang yang menyerangnya dengan garang
meskipun ia sudah mempergunakan senjatanya. Tetapi ia masih sempat untuk
berusaha menghindarkan diri dari setiap sentuhan senjata, meskipun ia harus
selalu berloncatan dan bergeser surut.
“Kau tidak
akan dapat lari,” bentak orang-orang itu.
Sumangkar
tidak menyahut. Ia masih melawan dengan gigih sambil terdesak terus-menerus.
“Menyerahlah,
dan katakan apa yang kau kehendaki,” berkata salah seorang dari lawannya sambil
menyerangnya terus.
Sumangkar
tidak menjawab.
“ Gila, apakah
kau memang bisu?”
“Tidak,” jawab
Sumangkar.
“Jadi
bagaimana? Kenapa kau tidak dapat mengatakan, untuk apa kau datang kemari? Jika
kau tidak mempunyai niat jelek, kami dapat mengampunimu.”
Sumangkar
tidak menjawab lagi. Tetapi ia masih berusaha melawan terus. Sejenak kemudian
terdengar salah seorang dari lawannya tertawa. Katanya,
“Kau tentu
akan melepaskan anak manja yang bernama Rudita itu. Apakah kau ayahnya? Tentu
tidak. Jika kau ayahnya, kau tentu sudah dibinasakan oleh Panembahan Agung,
karena ayahnya selalu mengganggunya di medan yang berat itu. Aku mendapat
perintah dari Panembahan Agung untuk membawa anak itu ke medan.”
Sumangkar sama
sekali tidak menjawab. Ia masih saja bertempur dengan gigihnya meskipun ia
masih selalu terdesak surut. Kedua orang lawannya menjadi semakin marah
karenanya. Karena itu, maka salah seorang berkata,
“Cepat, kita
selesaikan saja orang ini. Kita harus segera membawa anak cengeng itu sebelum
pasukan kita menjadi semakin terdesak. Ayah anak itu akan dapat mempengaruhi
medan, jika anaknya kita ikat pada sebatang pohon di atas jurang itu.”
Kedua orang
itu bertempur semakin sengit, dan Sumangkar pun menjadi semakin terdesak
karenanya. Ia harus berusaha sekuat tenaga untuk menghindari serangan-serangan
lawannya. Dengan senjatanya ia berusaha menahan desakan kedua lawannya itu. Tetapi
meskipun Sumangkar hampir tidak mampu berbuat apa-apa selain berloncatan,
bahkan berlari-lari surut dan melingkar-lingkar, namun ia masih berhasil
membebaskan diri dari senjata-senjata lawannya yang mematuk berganti-ganti. Akhirnya
lawan-lawannya itu tidak sabar lagi. Salah seorang dari mereka pun berteriak,
“Cepat. He,
kemarilah, jagalah agar orang ini tidak berlari-larian saja. Kita bunuh saja
meskipun kita tidak mengenal namanya. Apa boleh buat. Ia terlalu keras kepala.”
Kawannya yang
dipanggil, yang sedang menunggu Rudita, menjadi termangu-mangu. Namun ia pun
melihat cara Sumangkar berkelahi. Agaknya jika seorang lagi terjun ke arena
perkelahian itu, dan berusaha menahan agar Sumangkar tidak berlari-lari dan
menghindar melingkar-lingkar, maka usaha mereka akan cepat berhasil. Tetapi ia
masih tetap ragu-ragu. Jika selain Sumangkar masih ada orang lain yang akan
dapat mengambil anak cengeng itu, maka Panembahan Agung tentu akan marah
sekali. Karena itu maka orang itu pun tidak segera beranjak dari tempatnya.
“Cepat, kau
kemarilah. Kita selesaikan saja orang tua ini,” teriak salah seorang lawan Sumangkar.
Tetapi orang
yang menjagai Rudita itu menjawab,
“Tetapi apakah
anak ini akan ditinggalkan?”
“Ia tidak akan
dapat melepaskan dirinya.”
“Bagaimana
jika ada orang lain?”
Kedua lawan
Sumangkar itu terdiam. Memang mungkin sekali ada orang lain yang dapat
mengambil anak itu selagi mereka bertempur melawan Sumangkar yang meskipun
tidak menggetarkan dada mereka, namun terlampau licin sehingga mereka masih
belum dapat membunuhnya. Untuk beberapa saat kemudian, kedua lawannya itu
mencoba berusaha tanpa orang ke tiga yang menunggui Rudita. Tetapi Sumangkar
memang terlampau licin, sehingga keduanya pun kemudian mengambil cara lain. Keduanya
menyerang Sumangkar dari arah yang berlawanan. Dengan demikian mereka berharap
bahwa Sumangkar tidak dapat menghindarkan dirinya lagi dengan berloncatan
surut. Sumangkar memang tampaknya mendapat kesulitan. Tetapi ia masih saja
dapat menghindar dengan loncatan-loncatan panjang dari antara kedua orang yang
menyerangnya.
“Anak setan.
Kau tidak akan berhasil melarikan diri,” teriak salah seorang lawannya yang
jengkel,
“menyerahlah.
Kami tidak akan membunuhmu.”
Sumangkar sama
sekali tidak menjawab.
“Apakah ia
memiliki aji welut putih,” desis yang lain.
“Persetan.
Tetapi ia harus mati. Tentu ia tidak memiliki aji apa pun. Welut putih hanya
sekedar untuk melepaskan diri dari tangkapan tangan. Tetapi ia akan mati jika
tersentuh senjata.”
Tetapi
meskipun dengan banyak kesulitan, namun Sumangkar benar-benar tidak mau pergi
apalagi menyerah, sehingga salah seorang dari lawannya berteriak lagi kepada
kawannya yang menjaga Rudita,
“Selarak pintu
depan. Kau lewat dinding yang terbuka itu membantu kami. Dari tiga arah, maka
orang ini akan segera mati terbunuh. Kita harus segera menghadap Panembahan
Agung.”
Orang yang
menjaga Rudita termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian menyelarak pintu
depan, dan dengan senjata terhunus terjun ke medan yang menjengkelkan itu. Sumangkar
melihat orang itu berlari-lari mendekati arena. Kemudian bertiga mereka
mengepungnya. Dengan penuh ketegangan mereka merundukkan senjata-senjata mereka
mengarah ke dada Sumangkar.
“Sekarang kau
akan mati,” desis salah seorang dari mereka,
“jika kau
tidak berkeberatan, sebut namamu. Kelak akan ada orang yang dapat mengatakan
jika seseorang mencarimu.”
Sumangkar
berdiri diam. Dengan tegang pula ia bersiaga untuk mempertahankan dirinya dari
sergapan ketiga orang yang sedang marah itu.
“Baiklah. Jika
kau tidak mau menyebut namamu, maka kau akan mati tanpa meninggalkan bekas apa
pun.”
Sumangkar
masih tetap diam. Dan orang-orang itu tidak membuang waktu lebih banyak lagi.
Sejenak kemudian mereka pun segera berloncatan menyerang. Saat yang demikianlah
yang sebenarnya ditunggu oleh Sumangkar. Jika ia memberikan perlawanan dan
berusaha menentukan akhir dari perkelahian itu, tidak ada orang lagi yang dapat
mengancam Rudita dan memaksakan kehendaknya. Karena itu, maka Sumangkar pun
tidak mau memperpanjang permainannya lagi. Demikian ketiga orang itu menyerang,
maka Sumangkar pun memutar senjatanya. Sebuah trisula yang kecil terikat pada
ujung rantai, dan trisula yang lain di tangan kirinya. Tetapi orang-orang yang
mengepungnya pun memang bukan orang-orang kebanyakan. Untuk beberapa saat
mereka masih tetap bertahan dan berusaha untuk mengalahkan orang tua yang
bersenjata aneh itu. Namun usaha mereka sama sekali tidak berhasil. Kini
Sumangkar justru tidak berloncatan mundur lagi. Ia tetap berdiri di tempatnya
sambil memutar senjatanya. Bahkan rantai itu kadang-kadang dapat digerakkan ke
arah yang tidak terduga-duga. Akhirnya ketiga orang itu menyadari, bahwa
sebenarnya Sumangkar bukan orang yang disangkanya hanya mampu berlari-lari.
Mereka pun mulai sadar, bahwa ternyata Sumangkar telah memancing mereka bertiga
untuk keluar dari bilik itu. Karena itu, maka selagi masih sempat, tiba-tiba saja
salah seorang dari mereka bersuit nyaring. Kemudian berteriak,
“Ambil anak
itu. Kita paksa orang ini berhenti dengan anak itu pula.”
Dada Sumangkar
tergetar karenanya. Namun ia tidak mau terlambat. Karena itu, maka ketika orang
itu berhenti berteriak, Sumangkar mempergunakan saat yang tepat. Hampir tidak
dapat ditangkap dengan indera wadag ketika begitu mulut orang itu terkatub,
maka ia pun terdorong surut dan jatuh terlentang di tanah. Dadanya memancarkan
darah yang merah dari lukanya. Tiga buah lubang yang meskipun tidak begitu
besar, tetapi ternyata cukup parah dan berbahaya. Dua kawannya yang lain
terkejut melihat peristiwa itu. Tetapi mereka tidak sempat meninggalkan arena,
dan apalagi mengancam Rudita. Dalam keragu-raguan itu, keduanya dikejutkan oleh
sambaran senjata Sumangkar. Salah seorang dari mereka mengaduh tertahan. Sesaat
ia masih berdiri terhuyung-huyung, namun kemudian ia pun jatuh terbanting di
tanah. Kawannya yang seorang menyadari keadaannya. Karena itu ia sama sekali
tidak berusaha melawan. Dengan cepatnya ia meloncat berlari ke bilik tempat
mereka mengikat Rudita. Namun nasibnya tidak berbeda dengan kedua kawannya.
Ketika ia sedang merunduk masuk lewat dinding yang terbuka, maka terasa
jari-jari yang kuat mencengkam pundaknya. Ia tidak dapat bertahan ketika ia
seakan-akan terseret keluar lagi dari bilik itu. Ketika ia mencoba berpaling
maka ia masih sempat melihat wajah Sumangkar yang garang. Kemudian sebuah
pukulan mengenai tengkuknya.
Semuanya
menjadi gelap. Dan orang itu pun kemudian pingsan. Ketika Sumangkar mencoba
dengan tergesa-gesa memasuki ruangan itu, ia masih melihat dua orang
berlari-lari ke arahnya. Agaknya keduanya telah mendengar suitan kawannya yang
dadanya telah berlubang. Karena itu maka ia pun harus segera mengambil sikap
agar ia tidak kehilangan kesempatan menyelamatkan Rudita yang terikat di dalam
bilik. Sejenak Sumangkar menimbang-nimbang. Jika ia melepaskan Rudita, mungkin
ia justru akan mendapat kesulitan dari Rudita itu sendiri, karena ia sadar,
bahwa Rudita adalah seorang yang sangat dipengaruhi oleh perasaan takut dan
cemas. Karena itu, Sumangkar tidak segera memasuki bilik itu ia justru meloncat
dan berdiri beberapa langkah dari lubang dinding yang terbuka itu.
Kedua orang
yang berlari-lari itu sempat melihat beberapa orang kawannya yang terbaring.
Karena itu, maka ia pun langsung mengerti, bahwa orang yang berdiri di belakang
gubug itu tentu bukan orang dari pihak mereka atau bukan prajurit Pajang yang
berada di dalam lingkungan mereka bersama Daksina. Karena itulah maka mereka
berdua pun langsung menyerang dengan garangnya. Tetapi Sumangkar yang
tergesa-gesa itu tidak memberikan banyak kesempatan kepada mereka, karena
sejenak kemudian, keduanya pun telah terbaring di tanah. Sesaat kemudian
Sumangkar pun telah berada di dalam bilik itu. Dengan tergesa-gesa ia membuka
ikatan Rudita sambil berdesis,
“Jangan
berbuat sesuatu yang dapat merugikan dirimu sendiri. Aku akan berusaha
menyelamatkan kau.”
“Tetapi,
tetapi apa yang akan kau lakukan?”
“Bersembunyi.
Hanya bersembunyi.”
“Apakah
orang-orang itu tidak akan mencari kita?”
“Kita mencari
jalan untuk menemui ayahmu. Aku sudah berjanji membawamu ke tempat yang sudah
kami setujui bersama. Karena itu, kau harus menurut petunjukku. Jika tidak, dan
kau tertangkap lagi, maka kau akan dicincang. Mengerti?”
Mengerikan
sekali. Karena itu, maka Rudita pun menjadi gemetar dan berkata terbata-bata,
“Baiklah,
Kiai. Kita bersembunyi saja. Orang-orang di Tanah Perdikan Menoreh ternyata
bukan orang-orang yang baik.”
“Tidak
semuanya.”
“Ya. Semuanya.
Mereka senang sekali berkelahi satu sama lain. Jika Pandan Wangi dan
kawan-kawannya tidak sengaja memburu orang-orang yang tidak dikenalnya untuk
saling berkelahi, maka aku tidak akan sampai ke tempat ini.”
“Sudahlah.
Sekarang, ikuti aku.”
Rudita tidak
menyahut lagi. Dengan kaki gemetar ia mencoba mengikuti langkah Sumangkar, yang
dengan sangat hati-hati keluar dari bilik itu lewat celah-celah dinding yang
terbuka. Ketika tanpa disadari kaki Rudita menyentuh orang yang terbaring,
tiba-tiba saja ia memekik. Dengan serta-merta ia berlari memeluk lambung
Sumangkar sambil berkata dengan gemetar,
“Siapa yang
mati itu, Kiai, siapa?”
“Yang dua
orang itu tidak mati. Mereka hanya pingsan. Tetapi yang lain, entahlah. Mungkin
mereka terbunuh oleh senjataku. Tetapi aku tidak sengaja membunuh mereka.”
Rudita
melepaskan pelukannya sambil melangkah surut,
“Kiai membunuh
orang-orang itu?”
“Ya.”
“Kenapa Kiai
membunuh?”
“Supaya kau
tidak mati terbunuh oleh mereka.”
Darah Rudita
serasa berhenti mengalir. Tetapi ia pun sadar bahwa sebenarnya hal itu memang
dapat terjadi atasnya. Bahkan mungkin seperti yang dikatakan oleh orang-orang
yang akan membawanya kepada Panembahan Agung, bahwa ia akan digantung di atas
jurang yang dalam. Rasa-rasanya Rudita tidak lagi memiliki kekuatan. Tubuhnya
bagaikan sudah tidak bertulang lagi. Ketakutan yang amat sangat telah
mencengkam hatinya. Apalagi ketika ia melihat tidak hanya seorang yang
terbaring diam. Tetapi beberapa orang. Dalam keadaan yang demikian Sumangkar
berkata,
“Jangan
kehilangan akal. Jika kau tidak mampu lagi berbuat sesuatu, dan kau akan tetap
berada di sini maka kau benar-benar akan digantung atau dicincang. Nah, cepat,
bukankah kau tidak ingin diperlakukan demikian?”
Rudita
mengangguk lemah. Tetapi ia mengikuti ketika Sumangkar kemudian melangkah
meninggalkan tempat itu dan menerobos masuk ke dalam semak-semak.
Dengan susah
payah Sumangkar membawa Rudita meninggalkan padepokan itu dan menuju ke tempat
ayahnya menunggu. Mereka menghindari daerah peperangan yang semakin bergeser
mendekati padepokan. Namun agaknya pertempuran itu masih berjalan dengan sengit
dan memerlukan waktu yang cukup panjang. Dalam pada itu, ternyata Panembahan
Agung masih tetap dalam bentuknya. Seorang raksasa yang berdiri di puncak bukit
sambil menggeram dengan marahnya, sedang di puncak yang lain Jaka Raras sekedar
melayaninya, dalam sikap yang tenang.
“Itulah
ayahmu,” berkata Sumangkar sambil menunjuk kepada raksasa itu.
“He,” ternyata
Rudita terkejut bukan kepalang. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa di
hadapannya seorang raksasa yang besar berdiri di atas bukit. Selama itu ia
hanya memperhatikan semak-semak dan duri di sepanjang jalannya. Tetapi ketika
ia menengadahkan wajahnya, maka dilihatnya bentuk yang mengerikan itu.
“Jadi raksasa
itu sebenarnya ada?” ia bertanya kepada Sumangkar.
“Selama ini
aku hanya menyangka bahwa raksasa itu hanya terdapat di dalam ceritera-ceritera
saja.”
“Memang tidak
ada,” berkata Sumangkar.
“Jadi apakah
yang tampak di puncak bukit itu?”
Sumangkar
menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Ki Waskita benar-benar seorang yang rendah
hati. Ia sama sekali tidak menampakkan ilmunya yang aneh itu. Kepada anaknya
pun tidak. Ia tidak mau memberikan kesan kepada anaknya bahwa ayahnya adalah
seorang pembohong besar, yang dengan ilmunya dapat mengelabuhi banyak orang
sehingga mereka dapat kehilangan pegangan.
Tetapi dalam
keadaan yang memaksa, maka Ki Waskita telah melawan setiap bentuk semu dengan
bentuk semu pula, sehingga pasukan pengawal Menoreh dan Mataram tidak terjebak
karenanya.
“Kiai,” Rudita
mendesak,
“jadi apakah
yang tampak itu jika keduanya bukan raksasa?”
“Tidak ada
apa-apa.”
“Yang kita
lihat itu?”
“Sebuah
gambaran di dalam angan-angan kita setelah kita dipengaruhi oleh ilmu kedua
orang itu. Ilmu Panembahan Agung dan ilmu ayahmu sendiri. Pengaruh ilmunya
telah menyesatkan kita. Apalagi pengaruh ilmu Panembahan Agung yang dengan
sengaja menyesatkan kita dengan tujuan yang jahat.”
“Aku tidak
mengerti,” sahut Rudita,
“Kiai menyebut
nama ayahku?”
“Sudahlah.
Marilah kita mendekati bukit itu. Aku sudah berjanji akan membawamu ke tempat
itu.”
Namun langkah
mereka segera tertegun, ketika tiba saja raksasa yang berdiri di atas bukit itu
tiba-tiba tertawa sambil berkata,
“Nah, apakah
kau tetap pada pendirianmu Jaka Raras. Lihatlah, aku sudah benar-benar
bermaksud membunuh anakmu.”
Dan ketika
mereka yang mendengar suara itu berpaling memandang ke atas bukit, dilihatnya
raksasa itu memegangi seorang anak muda. Anak muda itu adalah Rudita. Sejenak
mereka terpaku di tempat masing-masing. Bahkan mereka yang sedang bertempur,
yang melihat Rudita di tangan raksasa itu pun menjadi ragu-ragu. Tetapi mereka
tidak dapat membiarkan diri mereka terbunuh di peperangan, sehingga karena
lawan-lawannya masih saja menyerang, maka pasukan Mataram dan Menoreh itu pun
bertempur terus betapa mereka diganggu oleh kegelisahan yang sangat melihat
Rudita di tangan raksasa yang telah diujudkan oleh Panembahan Agung itu.
“Jaka Raras,”
berkata Panembahan Agung dalam bentuknya yang mengerikan itu,
“apakah kau melihat
anakmu?”
Ki Waskita
termenung sejenak. Dipandanginya anak muda yang meronta-ronta di tangan
Panembahan Agung.
“Hentikan
perlawanan orang-orang Mataram dan Menoreh. Jika tidak anakmu akan aku
lemparkan ke dalam jurang yang dalam itu. Kepalanya akan membentur batu-batu
padas dan akan remuk sama sekali. Otaknya berhamburan dan tulang-tulangnya akan
patah.”
“Kau licik
Panembahan,” geram Ki Waskita.
Panembahan
Agung tertawa. Lalu,
“Terserah
kepadamu. Aku sudah kehilangan cara lain yang lebih sopan daripada cara ini.
Karena itu, terserah kepadamu. Aku memberi waktu kau beberapa saat. Tetapi aku
akan segera menentukan sikap.”
Jaka Raras
yang juga bernama Ki Waskita itu berdiam diri sejenak. Dipandanginya anaknya
dengan wajah yang tegang. Dalam pada itu Rudita sendiri memandang orang yang di
dalam genggaman raksasa itu dengan tegangnya pula. Sejenak ia berdiri membeku.
Namun kemudian tubuhnya menjadi gemetar.
“Kiai,
bagaimana aku dapat melihat diriku sendiri di tangan raksasa itu?”
“Yang manakah
yang kau sadari saat ini tentang dirimu. Apakah kau merasa berdiri di sini
bersama aku, atau kau merasa dirimu digenggam oleh raksasa itu.”
“Aku merasa di
sini. Tetapi bagaimana dengan aku yang itu, Kiai?”
“Kau hanya
satu. Tidak ada kau yang lain. Kesadaranmu tentang dirimu itulah yang benar.
Yang kau lihat itu adalah kau di luar dirimu. Dan apa pun dapat berujud seperti
dirimu di luar dirimu, tetapi tanpa dapat kau kuasai dan tanpa hubungan rohani
sama sekali. Itulah yang kau lihat sekarang. Dan bentuk yang menyerupai dirimu
sendiri itu adalah kesatuan bentuk semu dari Panembahan Agung.”
Rudita menjadi
bingung. Dengan sosok mata penuh pertanyaan ia memandang sumangkar. Dan Sumangkar
pun kemudian berkata,
“Baiklah. Jika
kau kurang mengerti, jangan hiraukan. Marilah kita cepat menemui ayahmu, agar
ayahmu tidak terpengaruh oleh ujudmu itu. Ayahmu adalah seorang yang memiliki
ilmu yang seimbang dengan Panembahan Agung. Tetapi kejutan dan kegelisahannya
melihat ujud anaknya, barangkali membuat pandangannya menjadi buram. Padahal di
dalam pertarungan ilmu, ayahmu memerlukan hati yang bening. Demikian juga
agaknya penglihatannya atas ujudmu itu. Goncangan perasaannya telah membuatnya
agak bingung dan gelisah, sehingga ia tidak sempat memandang lawannya dengan
cermat dengan mata hatinya.”
Rudita masih
juga tidak mengerti. Tetapi ia tidak sempat bertanya karena Sumangkar segera
menarik tangannya dan melangkah dengan tergesa-gesa di sela-sela
gerumbul-gerumbul liar.
“Kakiku sakit,
Kiai.”
Tetapi
Sumangkar tidak menghiraukannya. Ia menarik anak muda itu semakin cepat.
“Kakiku
sakit,” Rudita mengulangi.
Dan Sumangkar
menjawab,
“Lebih sakit
lagi jika kau benar-benar dilemparkan ke dalam jurang itu.”
Rudita tidak
menjawab lagi. Ia berusaha untuk mempercepat langkahnya betapa kakinya digigit
oleh perasaan nyeri. Tetapi ketakutannya telah membuatnya menahan rasa sakit
yang menggigit kakinya.
Namun sekali
lagi orang-orang di lembah itu dikejutkan oleh suara tertawa. Kali ini Ki
Waskita-lah yang tertawa sambil berkata,
“Panembahan
Agung. Ternyata kau berhasil mengejutkan aku sehingga aku kehilangan ketajaman
penglihatanku untuk beberapa saat. Hampir saja aku menangis melihat anakku yang
kau genggam itu, Panembahan. Tetapi akhirnya aku menyadari, bahwa kebohonganmu
yang mantap itu hampir menelan aku dan tentu anakku juga. Tetapi Panembahan,
sekarang aku sempat melihat apa yang terjadi dengan ilmuku. Dan kau tidak usah
ingkar, bahwa bentuk semu yang kau ciptakan itu tentu tidak akan dapat
menguasai bentuk yang sebenarnya jika benar anakkulah yang kau pegang dengan
bentuk semumu itu. Nah, kau mengerti bahwa aku tidak kehilangan akal? Karena
itu, terserahlah kepadamu, apakah kau akan melemparkan bentuk yang menyerupai
ujud anakku itu ke dalam jurang, atau akan kau telan sama sekali.”
“Persetan,”
teriak Panembahan Agung yang marah. Tetapi ia tidak dapat ingkar, bahwa ia
telah gagal lagi. Karena itu maka diputarnya ujud Rudita yang ada ditangannya
itu kemudian dilemparkannya membentur lereng bukit. Sebuah ledakan yang dahsyat
telah terjadi, disusul dengan api yang melonjak tinggi menelan ujud Rudita yang
terdengar berteriak-teriak sekuat-kuat tenaganya.
“Kiai, Kiai,”
Rudita yang sebenarnya pun hampir berteriak. Tetapi Sumangkar sempat menutup
mulutnya sambil berkata,
“Diam saja
kau. Jika terdengar oleh orang-orang Panembahan Agung, dan mereka telah
mendapat laporan bahwa kau hilang, maka mereka akan mencarimu dan menangkapmu.”
Rudita
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi rasa-rasanya ia tidak lagi mengerti,
apakah yang harus dilakukan dan bahkan keadaan yang sebenarnya sedang
dialaminya. Ia tidak dapat mempertimbangkan apa pun lagi ketika kemudian
Sumangkar menariknya terus menyusup gerumbul-gerumbul perdu. Dalam pada itu,
pertempuran yang terjadi di lembah itu pun menjadi semakin seru. Orang-orang Mataram
dan Menoreh pun kemudian menyadari, bahwa yang kemudian hancur menjadi abu itu
sama sekali bukan Rudita yang sebenarnya. Kebohongan Panembahan Agung hampir
saja berhasil mengguncangkan pemusatan ilmu lawannya, Ki Waskita. Panembahan
Agung yang masih menunggu kedatangan anak buahnya yang disuruhnya mengambil
Rudita, menjadi tidak sabar lagi. Apalagi setelah usahanya mengguncangkan
ketabahan hati Ki Waskita tidak berhasil. Maka ia harus menilai pertempuran
yang sedang terjadi itu dengan perhitungan dan pertimbangan wajar. Ia tidak
lagi dapat mempergunakan perang urat syaraf yang seakan-akan tidak berpengaruh
lagi atas orang-orang Mataram dan Menoreh.
Dengan dada
yang berdebar-debar Panembahan Agung harus melihat kenyataan. Pasukannya
semakin terdesak terus. Pemimpin-pemimpinnya sama sekali tidak berhasil
menguasai lawannya. Meskipun Panembahan Alit mampu mengimbangi kemampuan Kiai
Gringsing, tetapi di bagian lain, pasukannya tidak berhasil menahan arus
tekanan para pengawal dari Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh. Dengan tombak
pendeknya Sutawijaya berusaha mendesak lawannya dilengkapi oleh kemampuan
menggerakkan senjata Ki Lurah Branjangan. Di bagian lain Ki Argapati dan Pandan
Wangi masih tetap merupakan kekuatan yang tidak dapat ditembus oleh lawannya. Namun
semakin lama terasa kaki Ki Argapati mulai dijalari oleh perasaan nyeri. Namun
ia tidak mengeluh. Dan ia tidak ingin membuat Pandan Wangi berkecil hati.
Sehingga karena itu, maka ia pun masih juga tetap bertempur dengan gigihnya. Meskipun
demikian, Pandan Wangi yang bertempur bersamanya merasakan, tekanan yang
semakin berat padanya dengan demikian ia menyadari, bahwa tenaga ayahnya
menjadi semakin susut karenanya. Pandan Wangi pun bertempur semakin sengit. Ia
ingin memaksa lawannya kehilangan kemampuan perlawanannya sebelum ayahnya
menjadi lumpuh. Jika ayahnya tidak dapat melakukan perlawanan yang wajar, maka
pertempuran itu akan menjadi sangat berbahaya baginya.
Apalagi Putut
Nantang Pati yang harus melihat kenyataan yang dihadapinya itu menjadi sangat
marah. Ia tahu bahwa usaha Panembahan Agung telah gagal karena tanpa mereka
duga, dipihak Mataram dan Menoreh ada seorang yang memiliki ilmu yang serupa
dengan ilmu Panembahan Agung, sehingga orang itu berhasil mengacaukan semua
usahanya. Dengan segala kemampuan yang ada, Pandan Wangi mengisi kelemahan
ayahnya melawan Putut Nantang Pati. Agaknya Putut Nantang Pati sudah mengetahui
kelemahan Ki Argapati, sehingga ia berusaha untuk berkelahi dalam lingkaran
yang luas, untuk memaksa Ki Argapati berloncatan. Tetapi Pandan Wangi lah yang
kemudian berusaha mengisi jarak yang panjang itu. Namun Putut Nantang Pati,
seperti yang sudah pernah terjadi tidak berhasil memancing Pandan Wangi
menjauhi ayahnya dan menghancurkannya tanpa perlindungan ayahnya. Tetapi sebaliknya
Putut Nantang Pati juga tidak pernah berhasil menyerang Ki Argapati yang sudah
semakin lemah itu tanpa bantuan anak gadisnya. Dalam pada itu, di bagian lain,
di lambung gelar yang tidak sempurna itu, beberapa orang pemimpin Mataram di
satu sisi, dan di sisi yang lain, Agung Sedayu, Swandaru, dan Prastawa, sudah
berhasil menghancurkan, usaha lawannya untuk menyergap gelar itu dari lambung.
Pasukan Panembahan Agung yang berada di lereng perbukitan, sama sekali tidak
berhasil mengganggu gelar itu dari sebelah-menyebelah. Bahkan tanpa mereka
duga-duga mereka telah membentur kekuatan yang tiada dapat mereka lawan sama
sekali. Pasukan yang menyerang lambung di belahan pasukan Menoreh terkejut
ketika tiba-tiba saja mereka telah dilanda oleh ujung-ujung cambuk Agung Sedayu
dan Swandaru. Sedang di sisi yang lain, para pemimpin pengawal Mataram pun
dengan cepat berhasil menghancurkan mereka. Putut Nantang Pati tidak dapat
mengabaikan semua yang telah terjadi itu. Kemarahan yang menggelegak sampai
keubun-ubunnya serasa akan meledakkan kepalanya. Tetapi ia tidak dapat terbuat
banyak karena ia masih harus menghadapi Ki Argapati meskipun ia mulai terganggu
oleh kakinya beserta anak gadisnya. Di bagian lain tumpuan dari pertempuran
itu, Panembahan Alit pun berusaha sekuat-kuat tenaganya untuk segera
mengalahkan Kiai Gringsing. Namun seperti yang pernah terjadi di Alas Tambak
Baya, panembahan yang juga menyebut dirinya Tak Bernama itu tidak mampu segera
mengatasi lawannya. Bahkan semakin lama rasa-rasanya rambuk Kiai Gringsing
meledak semakin dekat dengan telinganya. Tetapi Panembahan Alit adalah orang
yang mumpuni di dalam olah kanuragan seperti Kiai Gringsing sendiri. Karena
itulah maka pertempuran di antara keduanya adalah pertempuran yang sangat
sengit. Di dalam puncak ilmu masing-masing, maka keduanya telah membuat arena
yang seakan-akan terpisah dari keseluruhan pertempuran. Tenaga mereka bagaikan
berkembang sejalan dengan kemarahan yang berkembang di hati masing-masing.
Bahkan ranting-ranting dan batang-batang perdu di sekitar mereka telah
berpatahan dan daun-daun berguguran di tanah. Agaknya keduanya sadar, bahwa
kali ini mereka harus bertempur mati-matian. Mereka tidak dapat membiarkan
pertempuran itu selesai tanpa akhir dalam keadaan serupa itu. Beberapa puluh langkah
di belakang Panembahan Alit adalah padukuhan induk yang dihuni oleh Panembahan
Agung sendiri. Jika pasukan Mataram dan Menoreh sampai ke pusat padepokan itu,
maka habislah alat pertahanan mereka yang selama ini mereka susun. Dengan
demikian, maka tinggal ada dua pilihan bagi Panembahan Alit. Mempertahankan
padepokan itu atau mati sama sekali. Itulah sebabnya, maka ia pun bertempur
dengan mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya.
Ternyata bahwa
kemampuan Panembahan Alit tidak berada di bawah kemampuan Kiai Gringsing.
Bahkan agaknya Panembahan Alit mempunyai sedikit kelebihan dari Kiai Gringsing.
Panembahan Alit di dalam keadaan yang paling sulit itu, tidak lagi menghiraukan
sopan santun di dalam perkelahian. Ia tidak lagi memikirkan bahwa apa yang
dilakukan adalah tata gerak yang kasar dan bahkan hampir liar. Namun satu hal
yang dipegangnya, bertahan sampai kemungkinan yang lain merenggutnya, mati. Agaknya
sikapnya itu sangat berpengaruh kepada anak buahnya. Nantang Pati pun sama
sekali tidak berniat untuk mundur setapak. Apalagi karena menurut penilaiannya
Argapati tidak akan dapat lagi mendesaknya. Ia lebih banyak bertahan bersama
anak gadisnya. Titik berat gerak Ki Argapati kini berada di tangannya. Namun
demikian, tangannya tetap merupakan tangan seorang yang mumpuni di dalam olah
kanuragan. Di bagian lain, Daksina mulai terdesak oleh Raden Sutawijaya, Ki
Lurah Branjangan, dan para pemimpin pengawal yang telah kehilangan lawannya di
lambung. Mereka melepaskan diri dari kelompoknya dan membantu Raden Sutawijaya
yang sebenarnya masih belum dapat disejajarkan dengan kemampuan Daksina. Tetapi
Daksima tidak dapat melawan beberapa orang sekaligus di dalam kepungan
orang-orang Mataram dan Menoreh. Pengawal-pengawalnya seorang demi seorang
telah berguguran dan terdesak menjauhinya tanpa dikehendakinya.
Rudita yang
dibimbing oleh Sumangkar, yang bahkan seakan-akan diseretnya saja di sela-sela
gerumbul-gerumbul perdu itu pun semakin lama menjadi semakin dekat dengan
ayahnya. Namun ketika ia berada di lereng gunung alas berdiri raksasa yang
berujud seperti ayahnya, Rudita menjadi ragu-ragu.
“Ayahku bukan
sebesar itu,” katanya.
“Marilah,”
berkata Sumangkar,
Halaman 1 2 3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar