Api Di Bukit Manoreh Seri 1 Jilid 074 Halaman 3


“Jadi ditebing itu juga ada batang-batang kayu dan batu-batu yang siap mereka luncurkan?”
“Ya. Jika rencana mereka berhasil, maka pasukan Mataram tidak akan dapat berbuat apa-apa. Dari dua tebing sebelah-menyebelah, batang-batang kayu dan batu-batu meluncur menimbuni lembah itu bersama seluruh pasukan pengawal dari Mataram. Dan tamatlah usaha kita untuk membebaskan Rudita.”

Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Dengan dada yang berdebar-debar ia memandang ke tebing di sebelah kiri. Tidak tampak sesuatu yang dapat memberikan kesan, bahwa di tebing itu masih bergayutan nafas-nafas maut yang sudah siap menerkam mereka.
“Marilah,” berkata Sutawijaya kemudian,
“kita berjalan maju. Meskipun dengan demikian kita sudah terpisah dari Daksina dan anak buahnya, namun kita akan dapat menyelusur jejaknya. Kita akan menemukan persembunyiannya, dan barangkali juga Rudita.”
“Baiklah,” berkata Kiai Gringsing,
“tetapi kita sekarang mempunyai beban beberapa orang tawanan. Beberapa orang yang lain terpaksa dimusnahkan, karena mereka melawan dan berusaha memberikan isyarat. Namun selain itu, aku berpendapat, bahwa batu dan batang-batang kayu itu sebaiknya diruntuhkan saja sama sekali agar tidak berbahaya bagi siapa pun juga kelak. Karena tali-tali itu semakin lama akan menjadi semakin rapuh, sehingga pada suatu ketika akan putus dengan sendirinya. Apabila pada saat itu ada orang di lembah ini, siapa pun juga, maka batu dan kayu itu akan berbahaya bagi mereka.”
Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya,
“Baiklah Kiai. Marilah kita menyingkir. Biarlah batu dan kayu-kayu itu diruntuhkan sama sekali.”
Maka mereka pun segera menyingkir. Beberapa orang kemudian memotong tali temali yang mengikat batang-batang kayu dan mendorong batu-batu yang memang sudah dipersiapkan. Tebing pegunungan itu bagaikan diguncang oleh gempa. Sekali lagi debu mengepul di udara. Dan batu-batu padas pun hanyut menimbuni lembah yang sempit itu.
Sutawijaya adalah seorang anak muda yang hampir tidak mengenal takut. Tetapi ketika ia melihat batang-batang kayu dan batu-batu padas yang tertimbun itu, rasa-rasanya ia menjadi terlampau kecil. Terasa betapa perkasanya alam, dan siapa yang berhasil menjinakkannya dan mempergunakannya, maka ia akan mendapat kekuatan yang tidak terlawan. Bukan saja pasukan berkuda dari Mataram yang terpilih, tetapi pasukan yang mana pun juga dari permukaan bumi ini, tidak akan mampu melawan batu-batu padas dan batang-batang kayu yang meluncur itu selain keajaiban.
“Kita perlu beristirahat,” berkata Sutawijaya setelah getar di dadanya,
“terutama agaknya Ki Gede Menoreh mulai diganggu oleh perasaan sakit di kakinya.”
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat ingkar lagi.
“Baiklah,” katanya,
“kakiku memang mulai mengganggu.”
Kiai Gringsing pun kemudian mendekatinya. Perlahan-lahan dirabanya kakinya, dan katanya,
“Ya. Kita memang perlu beristirahat.”

Untuk beberapa lamanya pasukan yang kemudian telah bergabung kembali itu pun beristirahat. Dalam kesempatan itu Kiai Gringsing mencoba mengurangi perasaan sakit pada kaki Ki Argapati dengan memberikan sejenis serbuk yang harus dicairkannya lebih dahulu. Dengan air persediaan untuk minum yang dibawa oleh para pengawal yang bertugas untuk menyiapkan perbekalan, maka serbuk itu pun kemudian diaduk di dalam air dari digosokkan pada kaki yang sakit itu. Terasa kaki itu menjadi panas. Namun kemudian perasaan sakit itu pun menjadi semakin berkurang, meskipun hanya untuk sementara.
“Kita masih harus menempuh jalan yang panjang,” berkata Sutawijaya kemudian.
“Ya. Kita akan menghadapi garis pertahanan yang tentu akan disusun oleh Daksina.”
“Ya, dan tetindih pasukan kecil yang menghentikan pasukan kami,” sahut Ki Gede Menoreh,
“ternyata adalah orang yang memiliki kemampuan yang cukup tinggi. Aku tidak dapat mengalahkannya.”
Mereka yang mendengar keterangan itu terkejut. Namun Pandan Wangi menjelaskan,
“Tetapi Ayah tidak saja melawan orang itu, tetapi Ayah juga harus melawan perasaan sakit di kakinya.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tetapi sebenarnyalah orang itu memiliki ilmu yang tinggi,” sahut Ki Argapati,
“agaknya ia lebih baik atau setidak-tidaknya mempunyai ilmu yang setingkat dengan Daksina.”
“Ya,” sambung Pandan Wangi.
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Yang dihadapi agaknya benar-benar suatu gerombolan yang sudah dipersiapkan.

Dalam pada itu, Ki Waskita dan Ki Sumangkar yang sedang menempuh perjalanan yang berat di lereng tebing-tebing yang terjal, tiba-tiba terhenti. Agaknya ada sesuatu yang mengganggu perasaan Ki Waskita sehingga untuk beberapa saat ia berdiri sambil memejamkan matanya. Ki Sumangkar yang mengerti bahwa Ki Waskita sedang mencoba menghubungkan getaran di dalam dirinya dengan alam luas di sekitarnya, sama sekali tidak mengganggunya.
“Ki Sumangkar,” tiba-tiba Ki Waskita berdesis,
“ada sesuatu yang perlu diperhatikan.”
“Apakah itu?”
“Aku tidak tahu. Tetapi pasukan Mataram memang perlu mendapat peringatan. Mungkin aku menangkap isyarat, bahwa mereka akan menghadapi rintangan yang berat. Aku kira aku hanya dicemaskan oleh kegelisahanku. Tetapi aku ternyata mendapatkan isyarat itu. Bahaya yang besar yang berlapis-lapis.” Ia berhenti sejenak.
“O, isyarat itu menjadi kabur. Aku akan berhenti di sini sejenak untuk menemukannya kembali.”
Ki Sumangkar menganggukkan kepalanya. Ia pun menjadi berdebar-debar. Meskipun pasukan itu adalah pasukan yang cukup kuat, namun lawannya pun adalah lawan yang kuat pula. Sejenak Ki Waskita berdiri diam. Kepalanya tunduk dan tangannya bersilang di dada.
“Mereka telah melepaskan diri dari bahaya yang besar, yang hampir saja memusnahkan seluruh pasukan,” Ki Waskita seakan-akan bergumam untuk diri sendiri. Kepalanya masih tertunduk dan matanya masih terpejam.
“Tetapi itu bukannya rintangan yang terakhir.”
Ki Sumangkar tidak menjawab. Tetapi wajahnya pun menjadi tegang pula. Sejenak kemudian ayah Rudita itu menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata kepada Ki Sumangkar,
“Jalan memang cukup berbahaya.”
Ki Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
“Medan memang berat. Tetapi agaknya Daksina benar-benar menyiapkan dirinya untuk menyongsong pasukan pengawal dari Mataram itu.”
“Bukan saja Daksina. Di belakang bukit ini telah tersusun kekuatan yang luar biasa. Pertahanan yang berlapis-lapis. Senjata yang mencuat di segala sudut bagaikan batang ilalang. Dan lebih dari itu adalah kemampuan yang aneh dari orang yang disebut Panembahan Agung itu.”
Ki Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu ia pun bertanya,
“Jadi menurut pertimbanganmu, apakah yang sebaiknya kita lakukan?”
“Kita mendekat. Aku masih tetap yakin, bahwa aku akan menemukan tempat anakku itu. Dan tujuan yang dicapai oleh Raden Sutawijaya adalah tujuan yang semu. Bukan pusat dari kekuatan lawan yang sebenarnya. Aku semakin yakin. Mungkin Raden Sutawijaya akan segera menemukan tempat yang dicarinya. Tetapi ia masih harus melanjutkan perjalanan.”
Ki Sumangkar masih mengangguk-angguk.
“Baiklah kita berjalan terus,” berkata Ki Waskita kemudian,
“mudah-mudahan kita dapat melihat, apa yang ada di sekitar bukit sebelah.”
“Tetapi,” bertanya Sumangkar ragu-ragu,
“jika benar Panembahan Agung memiliki indera yang lain dari indera wadagnya, apakah ia tidak akan mampu melihat kehadiran kita?”
“Kita dapat berusaha mengaburkan penglihatan itu. Seperti juga Panembahan Agung. Jika ia mengetahui bahwa aku akan mendekat, maka ia pun tentu akan mengaburkan penglihatanku atas mereka. Tetapi Panembahan Agung itu tentu belum melihat kehadiranku sampai di sini.”
“Apakah dalam keadaan kita sekarang ini, Panembahan Agung akan melihat?”
“Tidak. Selain agaknya Panembahan Agung memusatkan perhatiannya pada gerak yang besar dari pasukan pengawal dari Mataram, maka aku pun akan selalu berusaha menyamarkan diri ke dalam getar alam yang luas.”

Ki Sumangkar mengerutkan keningnya. Ia mengerti bahwa Ki Waskita memiliki ketajaman penglihatan batiniah. Tetapi agaknya terlalu sulit baginya untuk mengerti bahwa Ki Waskita dapat menyamarkan diri ke dalam getar alam di sekitarnya.
“Mungkin ia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, sehingga penglihatan batin Panembahan Agung menangkapnya sebagai getar alam benda di sekitarnya. Seperti kayu dan batu atau bahkan seperti mendung yang lewat di langit.”
Tetapi Sumangkar tidak bertanya.
“Marilah kita maju lagi,” berkata Ki Waskita.
“Kita berusaha untuk melihat padepokan itu. Jika mungkin aku akan masuk ke dalam dan melihat dari dekat, apa yang sudah dilakukan. Jika tidak, kita akan melihat dari kejauhan. Dan jika perlu kita harus memberitahukan kepada pasukan Pengawal Mataram dan Menoreh, apa yang sebenarnya mereka hadapi.”
Ki Sumangkar hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Dan ia pun kemudian mengikuti ayah dari anak yang hilang itu, berjalan di sepanjang tebing yang sulit. Mereka berusaha melintasi salah sebuah puncak bukit kecil yang berbatu padas untuk melihat, apa yang ada di seberang. Dengan susah payah, akhirnya mereka pun berhasil mencapai puncak bukit. Dengan keringat yang membasahi segenap tubuh, mereka berdiri termangu-mangu memandang puncak yang hanya ditumbuhi oleh gerumbul-gerumbul yang jarang.
“Kita akan melintasi puncak itu,” berkata Ki Waskita,
“kemudian kita akan menuruni lereng sebelah, dan kita sudah akan berada di dalam lingkaran pengawasan Panembahan Agung.”
Ki Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Ia adalah seseorang yang memiliki pengalaman yang luas di medan yang betapa pun beratnya. Tetapi agaknya kali ini ia akan sampai ke medan yang sangat berat. Selain melawan pasukan lawan yang sudah menunggu, maka lereng pegunungan dan batu-batu padas di bawah kakinya, akan merupakan lawan yang harus diperhitungkan pula.
Mereka pun kemudian berjalan di atas batu padas di puncak bukit yang membujur di antara beberapa bukit yang lain itu. Meskipun mereka masih belum terlalu dekat, tetapi mereka harus berhati-hati. Mereka sejauh mungkin berjalan di antara semak-semak yang tumbuh di antara batu-batu padas yang retak-retak oleh terik matahari. Setelah melintasi puncak itu, maka mereka pun segera sampai di tebing seberang. Namun rasa-rasanya nafas mereka mulai bekejaran oleh letih yang merayapi seluruh tubuh.
“Kita beristirahat dahulu di sini,” berkata Ki Waskita,
“perjalanan kita masih jauh, meskipun kita sudah dekat dengan padepokan yang kita cari. Aku tidak dapat membayangkan bentuk padepokan itu. Mungkin sebuah padesan kecil, mungkin bentuk yang lain. Tetapi dugaanku kuat, Rudita ada di sini.”
Maka Ki Waskita itu pun kemudian duduk di bawah gerumbul dan berlindung dari kemungkinan dapat dilihat oleh lawan. Ki Sumangkar yang masih mengawasi medan sejenak itu pun kemudian duduk pula di sebelah ayah Rudita yang mulai merenung lagi. Sambil menyilangkan tangan di dadanya, kepalanya pun tunduk dalam-dalam. Seperti yang selalu dilakukan, maka Ki Sumangkar pun sama sekali tidak mengganggunya. Ia sadar, betapa gelisahnya hati Ki Waskita yang kehilangan satu-satunya anak laki-laki.
Sejenak kemudian Ki Waskita itu mengangkat kepalanya. Dan seakan-akan kepada dirinya sendiri ia bergumam,
“Aku yakin, anakku masih tetap sehat. Ia ada di sekitar tempat ini. Padukuhan yang akan diketemukan oleh Raden Sutawijaya adalah padukuhan yang kurang berarti. Tetapi ia sudah harus melalui pertempuran-pertempuran yang menelan korban.” Ia berhenti sejenak, lalu,
“Kita masih mempunyai waktu. Jika nafas kita sudah teratur kembali, kita akan mendekati padukuhan itu. Tetapi kita harus membuat perhitungan sebaik-baiknya agar kita tidak terjebak di dalam kesulitan yang tidak teratasi.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia mengedarkan tatapan matanya, lalu,
“Apakah pasukan Raden Sutawijaya itu masih akan memerlukan waktu yang panjang untuk sampai ke tempat ini?”
“Ya. Kita telah memintas meskipun ternyata jalan yang kita lalui sangat sulit. Selain daripada itu, Raden Sutawijaya harus melalui pertahanan demi pertahanan. Dan itu juga memerlukan waktu. Bahkan mungkin pasukan Mataram dan Menoreh akan bermalam sebelum memasuki daerah pertahanan yang sebenarnya dari padepokan Panembahan Agung. Dan agaknya itu akan lebih baik.”
Sumangkar masih mengangguk-angguk.
“Dan kita pun harus menyesuaikan diri dengan pasukan Mataram yang bakal datang itu.”
Sumangkar tidak menyahut. Dipandanginya wajah langit yang jernih dan awan yang sedang berarak. Puncak pebukitan yang berlapis-lapis dan lembah yang kehijau-hijauan. Sumangkar mengerutkan keningnya. Hampir di luar sadarnya ia berdesis,
“Di lembah itu tentu ada pategalan.”
Ki Waskita mengangguk. Katanya,
“Aku juga mengira demikian.”
Sumangkar menjadi heran mendengar jawaban itu. Meskipun ia tidak bertanya sesuatu, tetapi rasa-rasanya Ki Waskita dapat menebak pertanyaan yang tersimpan di hati Sumangkar. Maka katanya,
“Yang hijau lebat itu tentu tanaman yang diatur dengan tangan manusia. Tentu aku tidak dapat melihat segala sesuatunya seperti aku melihat alam. Sudah berkali-kali aku katakan, bahwa aku hanya menerima isyarat. Dan sudah barang tentu isyarat itu kadang-kadang kabur, kadang-kadang agak lebih jelas. Dan aku tidak dapat dengan mudah membedakan, belukar, hutan, perdu, dan tanah pategalan. Tetapi indera wadagkulah yang dapat melihat dan kemudian menduga, bahwa di lembah itu memang terdapat tanah pategalan yang agaknya ditanami buah-buahan dan pohon-pohon perdu yang menghasilkan.”
Sumangkar mengerutkan keningnya. Lalu katanya,
“Jika demikian, kita benar-benar telah memasuki daerah Panembahan Agung. Agaknya tanah pategalan itu merupakan cadangan persediaan makanan apabila mereka tidak sempat mencari perbekalan keluar daerah pegunungan ini.”
“Agaknya memang demikian. Kita akan mendekati daerah pategalan itu dan kemudian menelusur mendekati pusat padepokannya.”
Sumangkar tidak menyahut lagi. Tetapi seolah-olah ia mencoba memandang menembus lembah dan tebing.

Dalam pada itu, pasukan pengawal Mataram dan Menoreh masih beristirahat. Meskipun demikian, mereka tidak kehilangan kewaspadaan. Beberapa orang maju beberapa langkah dan mengawasi keadaan. Dengan pengalaman yang mendebarkan itu, mereka harus memperhitungkan setiap kemungkinan yang dapat terjadi.
“Tentu tidak di tebing itu,” desis seorang pengawal kepada kawannya yang berbaring di sampingnya, di atas rerumputan sambil memandangi tebing di hadapannya.
“Ya, tentu tidak dengan cara seperti yang sudah di lakukan. Selain tebing itu agak landai, maka lembah ini bukannya tempat yang baik untuk mengubur sepasukan pengawal, karena lembah ini terlampau luas untuk keperluan itu.”
Kawannya tidak menyahut. Tetapi ia menjadi ngeri mengenang kawannya yang begitu saja ditelan oleh batu dan batang-batang kayu tanpa dapat berbuat sesuatu.
“Tubuhnya tentu hancur di bawah timbunan batu-batu itu,” desisnya dengan suara yang datar.
“Apa?” bertanya kawannya.
“Mereka yang tertimbun batu di lembah itu.”
Kawannya menarik nafas. Tetapi ia tidak menjawab. Dalam pada itu, Ki Argapati sudah mulai merasa sehat kembali meskipun ia sadar, bahwa kakinya akan tetap menjadi gangguan. Jika ia berbuat sesuatu yang memerlukan gerak dan kekuatan kakinya, maka seperti yang sudah terjadi, ia akan kehilangan kemampuan mempergunakan kakinya itu. Dengan obat yang digosokkan di kakinya, perasaan sakit yang menyengat itu menjadi jauh berkurang. Tetapi tentu keadaan kakinya yang sebenarnya masih belum berubah. Karena itu Ki Argapati harus memperhitungkan setiap tindakannya dengan tepat menghadapi medan yang semakin berat.

Sementara itu, pasukan Daksina yang mengundurkan diri dan bergabung kembali dengan Putut Nantang Pati itu pun telah berada di padepokan. Tetapi padepokan itu memang sudah dikosongkannya. Dengan para penjaga yang tersisa maka mereka pun menarik pasukannya ke pertahanan di hadapan padepokan Panembahan Agung. Meskipun demikian, Daksina yang memiliki pengalaman perang yang cukup dan Putut Nantang Pati yang pengenal daerah pertahanannya dengan baik, tidak melepaskan pasukan Mataram begitu saja berjalan dengan lancar menyusuri jejak mereka. Karena itulah, maka mereka pun meninggalkan beberapa kelompok yang harus mengganggu perjalanan pasukan pengawal dari Mataram dan dari Menoreh. Kelompok-kelompok itu harus berada di tebing-tebing yang cukup tinggi. Mereka akan melontarkan anak panah kepada pasukan Mataram dan Menoreh. Kemudian apabila pasukan-pasukan itu mencoba membalas, mereka dapat menghilang di balik gerumbul-gerumbul di atas tebing. Meskipun gerumbul-gerumbul itu tidak lebat, namun cukup baik untuk melindungkan diri. Ketika pasukan Mataram dan pasukan Menoreh itu sudah cukup beristirahat, maka mereka pun segera bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Namun menilik sinar matahari yang menjadi semakin kuning, mereka harus memperhitungkan kemungkinan yang akan terjadi. Mereka tidak dapat mengesampingkan perhitungan hari yang semakin mendekati ujungnya.
“Kita akan maju beberapa ratus langkah lagi,” berkata Sutawijaya,
“jika sekiranya kita perlu bermalam sebelum kita menemukan sarang mereka, kita pun akan beristirahat.”
Orang-orang yang ada di sekitarnya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Mereka pun menganggap bahwa hari sudah terlalu jauh untuk mulai dengan sebuah perjuangan merebut padepokan yang kuat dan mencari Rudita di dalamnya, karena mereka masih belum tahu pasti, di manakah anak itu disembunyikan.
“Kita terpaksa mengikat kalian,” berkata Sutawijaya kepada beberapa orang tawanan yang dibawa oleh pasukan Mataram dan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu.
“Jika tidak, kalian akan mempersulit keadaan kami.”
Tawanan-tawanan itu hanya menundukkan kepalanya saja.
“Nah, marilah,” berkata Sutawijaya kemudian, lalu ia berpaling kepada Ki Argapati,
“apakah Ki Gede sudah siap untuk memulai lagi?”
Betapa pun juga Ki Argapati itu menjawab,
“Sudah. Aku sudah siap.”

Sejenak kemudian pasukan itu pun mulai bergerak. Seorang prajurit yang baru saja memejamkan matanya, terpaksa berjalan dengan malasnya di samping kawannya yang mulai enggan melanjutkan perjalanan itu. Tetapi karena yang dilakukan itu adalah sebuah kewajiban, maka ia pun berusaha untuk meyakinkan dirinya sendiri, bahwa pasukan itu bukanlah segerombolan orang yang pergi bertamasya di lembah dan ngarai. Dengan hati-hati dua orang pengawal dari Menoreh berjalan di paling depan sambil berusaha mengenal arah lawannya. Mereka menyusur jejak kaki pasukan Daksina dan Putut Nantang Pati yang mengundurkan diri. Meskipun demikian, mereka tidak dapat dengan tergesa-gesa maju, karena mereka masih harus memperhatikan setiap keadaan yang mungkin dipergunakan sebaik-baiknya oleh lawan untuk menjebak mereka. Setiap gerumbul, setiap tebing padas yang menjorok dan setiap tikungan di lembah yang semakin luas itu. Seluruh pasukan itu menjadi berdebar-debar ketika mereka hampir bersamaan melihat sebuah jalan setapak di tebing yang membelit meloncati sebuah ujung dari pebukitan itu ke arah seberang dan seakan-akan hilang di balik gerumbul-gerumbul di puncak bukit.
“Jalur jalan itulah agaknya yang kita lihat sambungannya di balik pebukitan itu, dan menuju ke padesan di sebelah,” desis pengawas yang pernah mendahului pasukan itu.
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak sempat menyahut, karena mereka mendengar Raden Sutawijaya berkata,
“kita tentu sudah mendekati padepokan mereka.”
Kiai Gringsing yang berjalan di sebelahnya menyahut,
“Ya. Agaknya padepokan yang mereka pergunakan sebagai sarang itu, merupakan padesan yang cukup luas dan terlindung. Jalur jalan itulah agaknya yang menghubungkan sarang mereka dengan dunia luar, apa pun bentuknya. Memang mungkin sebuah padesan atau padepokan, tetapi mungkin pula sebuah goa yang besar dan dalam.”
Raden Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Apa pun bentuknya, kita harus menguasainya dan sekaligus mencari Rudita. Tetapi yang tidak kalah pentingnya, adalah menghancurkan mereka, agar mereka tidak akan dapat mengganggu Mataram dan juga Tanah Perdikan Menoreh.”
Kiai Gringsing tidak menyahut. Tetapi terbayang padanya, sebuah padesan yang dijaga oleh sepasukan pengawal yang kuat di setiap sudut dan di luar padesan itu berbaris sepasukan pengawal dan prajurit-prajurit Pajang yang telah mencoba berkhianat. Baik terhadap Pajang yang masih berdiri, maupun kepada Mataram yang sedang tumbuh dan berkembang, sehingga dengan demikian, terbayang juga sebuah kesulitan yang benar-benar memerlukan tenaga sepenuhnya. Belum lagi mereka sempat meneruskan pembicaraan, maka mereka pun terkejut ketika dari atas tebing, dari balik gerumbul-gerumbul yang lebat, meluncur beberapa buah anak panah. Semakin lama semakin banyak. Dengan serta-merta, mereka yang berperisai di dalam pasukan pengawal Mataram dan Menoreh itu pun berloncatan maju. Mereka berusaha menahan anak panah itu dengan perisai agar tidak mengenai seorang pun di antara mereka. Meskipun demikian, ada juga satu dua dari anak panah itu yang berhasil melukai para pengawal. Tetapi luka-luka itu tidak begitu parah dan tidak berbahaya, sehingga hampir tidak berarti bagi kekuatan kedua pasukan itu. Namun demikian anak panah semacam itu tentu akan memperlambat gerak maju kedua pasukan itu.

Seperti yang dikehendaki oleh Daksina dengan orang-orangnya itu, maka sebenarnyalah bahwa pasukan pengawal Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh memang harus berhenti. Beberapa orang yang bersenjata panah pun segera berlindung di balik perisai kawan-kawannya dan membalas melontarkan anak panah ke atas tebing. Tetapi dengan demikian, yang lain tidak tinggal diam melihat pertempuran jarak jauh itu. Beberapa orang segera menebar, dan merayap perlahan-lahan ke atas tebing, melingkar agak jauh dari pertempuran itu. Seperti sapit urang mereka dengan hati-hati mendekat, mencepit orang-orang yang sedang melemparkan anak panah. Tetapi orang-orang itu pun cukup berwaspada, sehingga mereka pun segera menarik diri ke dalam gerumbul-gerumbul liar. Namun ternyata bahwa kehadiran pasukan pengawal Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh yang tiba-tiba saja di sebelah-menyebelah itu memang tidak mereka perhitungkan lebih dahulu, maka di dalam gerak mundur itu pun mereka harus meninggalkan korban.
“Orang-orang Mataram dan Menoreh memang gila,” desis salah seorang pengawal padepokan Putut Nantang Pati yang sedang melarikan diri itu.
“Ya. Kami menyangka bahwa mereka akan sekedar mencari tempat bersembunyi. Sejauh-jauhnya mereka akan membalas dengan panah dari lembah.”
“Ternyata sebagian dari mereka memanjat tebing dan menjepit kita dari dua arah.”

Kawan-kawannya terdiam. Mereka sama sekali tidak memperhitungkan bahwa akan ada korban yang jatuh dalam serangan yang demikian. Namun ternyata bahwa tiga orang kawan mereka tidak dapat kembali bersama mereka. Dalam pada itu, pasukan pengawal Mataram dan Menoreh itu pun segera berkumpul. Namun Raden Sutawijaya cukup cerdas menanggapi keadaan. Katanya,
“Mereka hanya sekedar mengganggu perjalanan kami.”
“Meskipun demikian, kami tidak dapat membiarkan mereka menghujani pasukan ini dengan anak panah,” sahut Ki Lurah Branjangan.
“Ya, dan kita sudah mengusir mereka.”
“Tetapi kita akan menjumpainya lagi di beberapa tempat. Seperti yang Raden katakan, mereka sengaja memperlambat perjalanan kita, dan terlebih-lebih lagi jika mereka berhasil, mereka ingin mengganggu ketabahan hati kita,” berkata Kiai Gringsing.
“Ya, Kiai.”
“Jika demikian menurut pertimbanganku, apakah kita tidak lebih baik bermalam sebelum kita berada di muka padepokan itu. Kita tidak mengenal medan sebaik-baiknya, seperti mereka mengenalnya. Karena itu, kita tidak berani mendekat lagi. Kita masih belum tahu, apalagi yang akan dipergunakan oleh Daksina dan barangkali Panembahan Agung itu untuk menjebak kita.”
“Maksud, Kiai, bahwa di malam hari banyak peristiwa yang dapat terjadi?”
“Ya,” jawab Kiai Gringsing,
“dan saat ini, matahari sudah terlampau rendah.”
Raden Sutawijaya tidak segera menyahut. Tetapi dipandanginya wajah Ki Argapati yang berkerut-merut.
“Aku sependapat, Raden,” berkata Ki Argapati kemudian,
“jika kita bermalam di sini, di tempat yang masih belum terlampau dekat dengan padepokan, kita masih mempunyai banyak kesempatan untuk melakukan tindakan yang perlu, pengawasan yang agak longgar, dan barangkali jika ada jebakan-jebakan yang mungkin telah dipasang di padepokan itu tanpa sepengetahuan kita.”
“Baiklah,” berkata Raden Sutawijaya,
“kita bermalam di sini. Kita akan membuat beberapa kelompok penjagaan beberapa puluh langkah di hadapan kita, dan di sudut-sudut yang kita anggap perlu. Tidak mustahil mereka akan menghujani anak panah di malam hari selagi sebagian besar dari kita sedang tertidur nyenyak.”
“Ya. Kita harus berada di sela-sela gerumbul sehingga kita sedikit terlindung dari anak panah yang tiba-tiba saja datangnya. Kita harus menyiapkan perisai sebanyak mungkin ada pada kita dan kulit kayu yang mungkin dapat dipergunakan untuk melawan anak panah itu,” berkata Ki Argapati.
“Selain itu, pengawasan yang ketat, yang seakan-akan melingkari tempat ini.”
“Beberapa orang akan berada di lereng sebelah. Mungkin mereka dapat berbuat sesuatu jika ada orang yang menyerang kita dari tempat yang tinggi itu.”
Mereka pun segera mengatur diri, mencari tempat yang sebaik-baiknya untuk bermalam, sebelum mereka berada di depan padukuhan yang mereka sangka langsung padukuhan Panembahan Agung.

Namun dalam pada itu, orang yang ditugaskan untuk melontarkan berita tentang Raden Sutawijaya telah berhasil masuk ke pusat pemerintahan Mataram. Bahkan ia sempat menyampaikannya kepada orang-orang di dalam lingkungan keluarga Ki Gede Pemanahan, bahwa Raden Sutawijaya telah berhubungan dengan salah seorang gadis dari Kalinyamat yang sebenarnya akan dipersembahkan kepada Sultan Pajang sendiri, sehingga gadis itu mengandung.
Beberapa orang yang mendengar itu mengerutkan keningnya dan berkata,
“Ah, tentu tidak.”
“Tentu tidak,” dan yang lain pun, “tentu tidak.”
Namun akhirnya berita itu pun sampai juga kepada Ki Gede Pemanahan pada hari itu juga, karena seorang abdinya yang menjadi sangat cemas mendengar berita itu, langsung menghadap Ki Gede Pemanahan dan dengan tubuh gemetar menyampaikannya.
Ki Gede Pemanahan menahan nafasnya. Hatinya melonjak, tetapi sebagai seorang yang telah mengendap, maka ia tidak tergesa-gesa memberikan tanggapan betapa pun sesak dadanya. Tetapi bagaimana pun juga, berita tentang Raden Sutawijaya itu tentu sudah tersebar. Tidak usah menunggu sampai matahari terbenam. Para pengawal tentu akan saling membicarakannya.
“Siapakah yang mula-mula mengatakannya?” bertanya Ki Gede Pemanahan kepada abdinya.
“Kami tidak mengetahui Ki Gede. Tetapi baru saja kami melihat seorang prajurit Pajang di sini. Mungkin prajurit itu telah membawa berita tentang Raden Sutawijaya. Bahkan aku mendengar bahwa prajurit itu berusaha menghadap Ki Gede Pemanahan.”
Tetapi Ki Gede menggelengkan kepalanya. Katanya,
“Aku belum dapat mempercayainya. Tetapi aku pun tidak dapat mengabaikan kabar ini.”
“Demikianlah sebaiknya Ki Gede. Sebaiknya Ki Gede mendapatkan kepastian dari berita itu.” Abdi itu berhenti sejenak, lalu,
“apakah Ki Gede akan memanggil prajurit Pajang itu menghadap?”
Ki Gede termangu-mangu sejenak. Tetapi ia bukan seorang yang sekedar mempergunakan perasaannya. Ia mendengar bahwa beberapa orang prajurit Pajang telah meninggalkan kesatuannya karena harapan-harapan yang diberikan oleh orang lain yang merasa dirinya akan mampu menguasai telalah yang luas. Dari pesisir Utara sampai ke pesisir Selatan. Dari ujung Kulon sampai ujung Timur. Apalagi prajurit Pajang itu memang melihat sikap dan tingkah laku yang semakin lama semakin jauh menyimpang dari Sultan Pajang sendiri. Pengendalian daerah yang tidak lagi berpegang pada dasar-dasar yang sama-sama diletakkan seperti pada saat ia berhasil mengangkat dirinya sebagai Sultan Pajang.
“Baiklah,” berkata Ki Gede Pemanahan kepada abdinya,
“aku memperhatikan laporanmu. Tetapi sebaiknya kau pergi ke Pajang dan mencari kebenaran, apakah Sutawijaya benar-benar telah melakukan perbuatan itu atau tidak.”
“Jadi aku harus menyelusur berita ini, Ki Gede?”
“Tidak. Kau tidak perlu mencari siapakah sumber berita itu. Tetapi kau harus berusaha mendengar dari orang yang dapat kau percaya di Pajang, apakah benar salah orang gadis dari Kalinyamat itu sudah berhubungan dengan Sutawijaya dan bahkan sudah mengandung seperti berita yang kau dengar itu.”
“Baiklah, Ki Gede. Dan apakah Raden Sutawijaya perlu diberitahukan akan hal ini, agar ia dapat berbuat sesuatu? Jika tidak benar, biarlah ia membersihkan namanya.”
“Tetapi jika benar?” potong Ki Gede Pemanahan.
Abdi itu menundukkan kepalanya. Namun di luar kehendaknya sendiri ia berkata,
“Ia sudah terlalu lama berada dibawah asuhan ayahanda angkatnya, Sultan Pajang.”
“Kenapa?”
“Apakah tindakan dan tingkah laku Sultan Pajang telah berpengaruh pula atasnya?”

Ki Gede Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Sekilas teringat olehnya sebutir kelapa muda di Giring. Kelapa muda yang menurut Ki Ageng Giring akan mendatangkan keluhuran bagi yang meneguk airnya. Ki Gede Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Ketika abdinya bertanya kepadanya, maka Ki Gede itu pun seakan-akan terbangun dari mimpinya yang menumbuhkan harapan itu.
“Ki Gede,” bertanya abdinya itu,
“apakah sebaiknya aku segera berangkat, atau menunggu kedatangan Raden Sutawijaya yang sedang pergi ke seberang Kali Praga?”
“Berangkatlah,” jawab Ki Gede Pemanahan,
“mungkin kau memerlukan waktu yang tidak hanya satu dua hari. Bukankah kau masih mempunyai sanak keluarga di Pajang.”
“Cukup banyak, Ki Gede,” sahut abdi itu,
“mungkin aku akan segera mendapatkan keterangan tentang berita itu.”
Abdi itu pun segera pergi ke Pajang dikawal oleh beberapa orang pengawal, dan kemudian dilepaskan pergi sendiri setelah melampaui hutan yang terakhir yang masih meragukan pengamanannya. Namun agaknya, Panembahan Agung telah benar-benar menarik orang-orangnya menghadapi kedatangan Raden Sutawijaya dan Ki Argapati.
“Jemput aku di sini dua hari lagi. Jika aku belum datang, maka tunggu sampai hari ketiga dan keempat.”
“Bagaimana jika aku berada di sini sebulan lamanya?” bertanya pengawal yang mengantarkannya.
“Barangkali itu lebih baik. Tetapi jika aku mati di hutan itu, kau akan digantung oleh Ki Gede Pemanahan.”
Pemimpin pengawal itu tidak menyahut lagi. Dipandanginya saja abdi terdekat dari Ki Gede Pemanahan itu memacu kudanya ke arah Timur.
“Perjalanan yang cukup jauh,” berkata abdi itu di dalam hatinya.
Matahari yang tenggelam membuat hatinya ragu-ragu, apakah ia akan meneruskan perjalanannya di malam hari? Tetapi ia berpacu terus.
“Aku akan bermalam di Candi Sari,” katanya di dalam hati, karena ia mempunyai seorang saudara yang tinggal di dekat Candi Sari.
Kedatangannya di Candi Sari memang mengejutkan. Namun ia berhasil memberikan keterangan sehingga saudaranya yang menjadi berdebar-debar itu menepuk bahunya, sambil berdesis,
“Kau mengejutkan kami.”

Dalam pada itu, Raden Sutawijaya yang bermalam di lembah di perbukitan sebelah Barat Kali Praga, terkejut ketika seseorang membangunkannya.
“Ada apa?” ia bertanya.
“Kami melihat api obor di atas bukit itu,” berkata seorang pengawas.
“Awasi dengan baik,” perintahnya, “aku tetap di sini.”
Pengawas itu pun mengangguk. Perlahan-lahan ia meninggalkan Sutawijaya yang berbaring lagi di atas rerumputan kering. Namun ia pun melihat sekilas sebuah obor yang seakan-akan menusup pepohonan jauh di atas bukit, seperti seekor burung kemamang yang terbang di sela-sela gerumbul-gerumbul.
“Tentu orang-orang Daksina,” katanya di dalam hati,
“tetapi apa maksudnya dengan sengaja menunjukkan kehadirannya di bukit itu?”

Raden Sutawijaya termangu-mangu sejenak. Namun kesimpulannya adalah, bahwa obor itu sekedar memancing perhatian, dan di sekitar obor itu justru, tidak akan ada apa-apa sama sekali. Tetapi tiba-tiba saja Raden Sutawijaya bangkit. Dipanggilnya pengawal yang terdekat. Katanya kemudian setengah berbisik,
“Hubungi Ki Lurah Branjangan. Beritahukan agar para pengawas berhati-hati. Obor itu tentu sekedar pancingan, agar perhatian kita terampas olehnya, tapi yang justru berbahaya akan datang dari arah lain. Kemudian hubungi pula Ki Argapati dan Kiai Gringsing atau kedua muridnya.”
Pengawal itu pun kemudian pergi meninggalkan Sutawijaya yang duduk termenung. Yang mula-mula dihubungi adalah Ki Lurah Branjangan yang perhatiannya memang tertarik kepada obor yang bergerak itu.
“Baiklah,” katanya setelah mendengar penjelasan pengawal itu atas perintah Raden Sutawijaya,
“kami akan mengawasi obor itu. Tetapi kami akan mengawasi bagian-bagian yang lain pula, yang menjadi daerah pengawasanku dengan baik. Tetapi sebaiknya orang-orang Tanah Perdikan Menoreh diberitahukan juga, agar mereka tidak menjadi lengah, meskipun di sana ada Ki Argapati dan Kiai Gringsing.”
“Aku memang akan menghubunginya.”
Ki Lurah Branjangan mengangguk-anggukkan kepalanya, seperti Raden Sutawijaya ia pun kemudian duduk di antara beberapa orang pengawal.
“Hati-hatilah,” desis Ki Lurah Branjangan,
“awasi segala arah.”
Dan perintah itu pun kemudian menjalar dari seorang ke orang yang lain. Ketika pengawal yang menghubungi Ki Argapati sampai ke tempatnya di ujung lain dari lembah itu, dilihatnya Ki Argapati justru sedang duduk bersama Kiai Gringsing.
“O,” desis pengawal itu,
“selamat malam Ki Gede.”
“Selamat malam,” jawab Ki Gede,
“apakah ada kepentinganmu datang kemari?”
“Tidak apa-apa Ki Gede. Hanya barangkali Ki Gede juga melihat obor di sela-sela pepohonan itu?”
“Ya, kami sedang memperhatikannya.”
Pengawal itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu di sampaikannya pesan Sutawijaya.
“Terima kasih,” sahut Ki Argapati,
“tetapi sebenarnya kami punya rencana tersendiri. Kami ingin melihat apakah sebenarnya obor itu.”
“Ya, Ki Gede,” jawab pengawal itu,
“tetapi barangkali benar juga kata Raden Sutawijaya, bahwa obor itu hanya sekedar pancingan saja.”
“Kemungkinan yang paling besar. Tetapi kita pun akan memancing mereka. Baiklah, aku akan menemui Raden Sutawijaya.”
“Silahkan Ki Gede,” jawab pengawal itu, lalu,
“obor itu sampai sekarang masih ada. Seakan-akan sekedar melingkari tempat ini.”

Ki Argapati dan Kiai Gringsing pun kemudian pergi menemui Raden Sutawijaya. Mereka ternyata bersepakat untuk memancing lawannya yang barangkali sedang memancing mereka pula.
“Sebagian dari pengawal ini akan terpancing oleh obor itu,” berkata Ki Argapati,
“tetapi dengan diam-diam yang lain menunggu, apakah yang akan terjadi.”
“Ya,” sahut Raden Sutawijaya, “obor itu berhenti,” tiba-tiba Raden Sutawijaya menunjuk.
“He, tidak hanya ada satu obor, dua, eh, tiga.”
“Mereka akan membuat kesan, bahwa mereka akan menyerang dari sana. Karena itu, kita akan terpancing karenanya. Tetapi kita akan mengawasi setiap arah.”
Setelah rencana itu kemudian disepakati, maka kedua pasukan itu pun menyebarkan perintah untuk memanggil setiap pimpinan kelompok, dan perintah berikutnya pun diberikan dengan singkat. Para pengawal yang sedang tidur itu pun segera terbangun. Beberapa orang kemudian memencar menghubungi para pengawas yang terpisah. Pada saat yang ditentukan maka pasukan yang sedang beristirahat itu pun seakan-akan telah terbangun. Dengan riuhnya mereka menyongsong lawan yang datang dengan membawa obor di atas tebing. Namun di bagian lain, pasukan Mataram dan Menoreh telah siap untuk menghadapi kemungkinan. Tetapi beberapa lamanya mereka merayap maju, mereka sama sekali tidak menjumpai siapa pun. Sedang mereka yang berjaga-jaga di bagian lain pun sama sekali tidak menemukan pasukan lawan yang merayap mendekat.
“Kita benar-benar terpancing,” desis Ki Argapati,
“mereka agaknya hanya meletakkan obor itu pada cabang batang pohon dan meninggalkannya.”
Raden Sutawijaya menganggukkan kepalanya. Namun mereka yang ada di lereng bukit itu terbelalak ketika mereka melihat di bagian lain api obor itu seakan-akan menjadi semakin lama semakin besar, semakin besar. Bahkan bukan hanya tiga, tetapi lima, sembilan dan lebih dari dua belas. Dalam kebingungan itu, tiba-tiba Kiai Gringsing berdesis perlahan-lahan,
“Kita sudah berhadapan dengan ilmu Panembahan Agung. Tetapi tentu bukan orang itu sendiri yang melontarkannya.”
Yang mendengar kata-kata Kiai Gringsing itu terkejut. Sejenak mereka tertegun. Namun ketika mereka memandang api yang berada di atas tebing itu, maka mereka pun mulai dijalari oleh kecurigaan.
“Api itu bukan tiruan api yang sempurna,” berkata Kiai Gringsing,
“karena itu, menurut pendapatku, orang yang melontarkan ilmu itu adalah orang yang baru mulai belajar pada Panembahan Agung. Mungkin ia muridnya yang terpercaya, tetapi di dalam ilmunya yang satu ini, ia adalah murid yang baru sama sekali.”
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata,
“Kiai benar. Obor-obor itu seperti api yang terpisah dari alam sekelilingnya. Jika obor itu adalah bayangan semu yang sempurna, maka obor itu akan melemparkan cahayanya atas alam di sekitarnya. Tetapi obor itu tidak menumbuhkan bayangan dan nyalanya seakan-akan tidak menerangi pepohonan di sekitarnya.”

Kiai Gringsing mengusap keringatnya yang mengembun di kening. Ternyata bahwa medan kali ini adalah medan yang benar-benar berat. Jika mereka benar-benar bertemu dengan seseorang yang menyebut dirinya bernama Panembahan Agung, maka mereka tentu akan mengalami kesulitan. Agung Sedayu, Swandaru, Pandan Wangi, dan Prastawa, serta para pengawal pun mengangguk-anggukkan kepala pula. Mereka juga menyadari keanehan dari api yang menyala semakin besar dan banyak. Namun yang sampai pada suatu saat, api itu menjadi susut kembali.
“Itukah ilmu yang dimiliki oleh Panembahan Agung?” bertanya Sutawijaya.
“Ya. Dan tentu lebih sempurna,” sahut Kiai Gringsing.
Sutawijaya menjadi termangu-mangu. Bahkan kemudian ia berkata,
“Pasukan kita akan mengalami kesulitan. Mereka dapat membuat rintangan-rintangan semu yang membingungkan.”
“Benar Raden. Apalagi Panembahan Agung sendiri.”
“Apakah Kiai tidak dapat mengatasi kesulitan ini?”
Kiai Gringsing menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata,
“Raden. Aku mempunyai cara untuk melawan pengaruh bayangan-bayangan semu itu di dalam diriku. Aku dapat menguasai indera wadagku, dan menghapuskan bayangan semu. Aku pernah mempelajari ilmu itu. Tetapi hanya untuk diriku sendiri. Aku tidak mempunyai kemampuan untuk melawan ilmu semacam itu bagi orang lain.”
“Baiklah,” Raden Sutawijaya yang masih dialiri darah mudanya itu menyahut,
“itu sudah cukup. Kiai akan berdiri di paling depan dari pasukan ini. Kiai dapat memberikan aba-aba kepada kami apa yang sebaiknya harus kami jakukan. Jika kita melihat sesuatu, Kiai dapat mengatakan, apakah yang kita lihat itu sebenarnya memang ada.”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Raden Sutawijaya sejenak, lalu katanya,
“Memang mungkin dapat dicoba. Tetapi jika pertempuran terjadi di antara kita dengan mereka, maka kesempatan itu terlampau kecil.”
“Itu lebih, baik daripada tidak sama sekali.”
“Tetapi Kiai,” berkata Ki Argapati,
“jika pertempuran sudah terjadi, apakah Panembahan Agung masih dapat melontarkan ilmunya dengan bentuk-bentuk semu itu khusus bagi kita dan tidak mempengaruhi anak buahnya sendiri?”
“Itulah yang aku kurang mengerti,” berkata Kiai Gringsing,
“Panembahan Agung dapat memilih sasaran bagi ilmunya. Tetapi di dalam campur baurnya pertempuran, maka bentuk-bentuk semu agaknya akan mempengaruhi orang-orang mereka juga.”
Ki Argapati menganggukkan kepalanya. Desisnya,
“Jika demikian kita harus berusaha untuk segera melibatkan diri di dalam pertempuran.”
Kiai Gringsing tidak segera menjawab. Tetapi ketika ia menengadahkan wajahnya, obor-obor itu sudah menjadi semakin kecil dan kemudian hilang di dalam kegelapan.
“Marilah kita kembali ke tempat kita semula. Kita sedang disuguhi suatu permainan yang kurang menarik,” berkata Kiai Gringsing.

Pasukan pengawal Mataram dan Menoreh itu pun segera kembali ke tempat mereka semula. Tetapi Kiai Gringsing, Ki Argapati, kedua muridnya, Pandan Wangi, dan Prastawa berkumpul di ujung lembah. Bahkan Ki Demang Sangkal Putung yang tidak banyak berbuat apa-apa itu berkata,
“Benar-benar sebuah pertahanan yang kuat sekali.”
“Ya, Ki Demang,” berkata Kiai Gringsing,
“jika ada dua atau tiga orang yang memiliki dasar ilmu itu, meskipun belum berkembang sama sekali, kita sudah akan terganggu semalam suntuk.”
“Kenapa harus dua atau tiga orang?”
“Tentu tidak akan dapat dilakukan oleh seorang. Mereka yang baru mulai dengan ilmu ini, masih harus mengerahkan segenap daya pikir dan rasa untuk menimbulkan bayangan semu seperti ini. Orang itu memerlukan waktu yang agak lama dan pengerahan segenap kemampuan.”


Halaman 1 2 3


<<< Jilid 073                                   Jilid 075 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar