Api Di Bukit Manoreh Seri 1 Jilid 077 Halaman 2


“Siapakah Jaka Raras itu?”
“Aku Panembahan.”
“Kenapa kau panggil aku Panembahan.”
“Bukankah kau menyebut dirimu Panembahan Agung?”
Panembahan Agung itu mengangkat alisnya, lalu,
“Aku tidak mengerti.”
“Baiklah. Jika kau tidak mengenal lagi dirimu sebagai Panembahan Agung, biarlah aku memanggilmu Gantar, yang kemudian kau lengkapi namamu menjadi Gantar Angin. Kau ingat.”
“Ya, ya. Aku adalah Gantar Angin.”
“Dan aku adalah Jaka Raras.”
“Jaka Raras,” orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya sambil mengingat-ingat. Lalu,
“O, aku ingat sekarang. Kau Jaka Raras. Ya, Jaka Raras yang dungu itu.” Terdengar suara orang itu tertawa terkekeh-kekeh. Suara tertawa seorang tua.
Namun tiba-tiba suara tertawanya terhenti. Sambil mengerutkan keningnya ia berdesis,
“Jaka Raras. Ya, kita pernah berguru bersama.”
“Benar. Kau sudah menemukan permulaan dari kesadaranmu. Cobalah, kau telusuri ingatan itu, sehingga kau tentu akan menemukan keadaanmu sekarang, sebagai seorang Panembahan yang menyebut dirinya Panembahan Agung.”

Orang yang menyebut dirinya Panembahan Agung itu termenung sejenak. Ia masih tetap duduk bersila di atas sebuah amben kecil. Sekali-sekali ia menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan tangannya yang lemah ia mencoba mengusap keningnya yang sudah menjadi kehitam-hitaman. Tetapi, ketika kulitnya bersinggungan, Panembahan Agung itu menyeringai menahan sakit.
“O,” Pandan Wangi semakin bergeser di belakang Sumangkar. Ia menjadi bertambah ngeri melihat keadaannya. Rasa-rasanya ia benar-benar menghadapi sesosok mayat yang hidup kembali.
“Jaka Raras,” berkata Panembahan Agung,
“di manakah aku sekarang ini berada?”
“Jangan kau cari di mana kau sekarang. Telusurilah kenanganmu sejak kita bersama-sama berguru.”
Panembahan Agung tidak segera menjawab. Dengan ingatannya yang gelap ia mencoba mengenang semua yang telah terjadi atas dirinya.
“Gantar Angin,” berkata Jaka Raras,
“mulailah dari nama itu.”
Panembahan Agung mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Aku sedang mencoba. Tetapi aku rasa, aku tidak akan berhasil.”
“Kau akan berhasil,” sahut Jaka Raras,
“kau telah mendapatkan ilmu yang tidak ada taranya. Ilmu yang dapat menciptakan bentuk-bentuk semu, kemudian ilmu yang dapat kau pergunakan untuk membakar gunung dan memecahkan batu-batu hitam sebesar kerbau dengan tatapan matamu. Dan kau mempunyai sebuah busur yang besar sekali yang tidak setiap orang dapat mempergunakan.”
“O,” Gantar Angin yang kemudian menyebut dirinya Panembahan Agung itu mengangguk-angguk kecil.
“Nah, bukankah kau sudah menemukan.”
“Kau benar,” tiba-tiba Panembahan Agung itu mengangkat wajahnya. Sambil memandang Jaka Raras ia berkata,
“Aku memiliki ilmu itu, ilmu yang dapat membakar gunung. He, apakah kau akan menghalang-halangi aku? Jaka Raras, aku ingat semuanya. Aku memiliki ilmu untuk menciptakan bentuk-bentuk semu. Nah, malanglah nasibmu. Aku akan membakarmu dengan ilmuku.”
“Panembahan,” berkata Jaka Raras,
“kau belum selesai. Ingatanmu baru merambat sampai saat kau mendapatkan ilmu itu.”
“Aku tidak peduli. Aku mempunyai firasat bahwa kau berniat buruk. Karena itu kau harus mati.”
Panembahan Agung itu memandang Jaka Raras dengan tajamnya.
“Jangan kau siksa dirimu dengan kenangan itu. Jika kau menyadari kenyataanmu, dan jika kau berhasil menemukan dirimu saat ini, kau akan mengetahui, bahwa ilmumu sudah punah semuanya.”
Mata Panembahan Agung terbelalak. Dan tiba-tiba saja ia memandang ke dirinya sendiri.
“Panembahan Agung. Kau adalah Panembahan Agung. Tetapi kau bukan lagi Panembahan Agung seperti pada saat kau menyebut dirimu demikian.”
“He,” mata Panembahan Agung itu terbelalak,
“jadi ilmuku sudah punah? He, siapakah yang sudah memunahkan ilmuku. Tidak mungkin. Hanya gurukulah yang dapat melakukannya. Tidak orang lain. Tidak ada ilmu yang dapat menyingkirkan ilmuku dari diriku.”
“Gantar Angin,” berkata Jaka Raras,
“kita bersama telah menerima bagian dari ilmu guru. Meskipun kau mendapat kesempatan lebih banyak, tetapi setelah guru tidak ada lagi, aku berhasil menyempurnakan ilmuku sehingga mendekati kemampuan guru. Dan aku, seperti juga kau, tentu akan dapat melakukannya. Memunahkan ilmu itu. Kita telah bertempur untuk berusaha saling membakar dan memunahkan ilmu kita masing-masing. Dan karena usahaku aku landasi dengan keyakinan bahwa aku benar, maka aku berani mohon kepada Tuhan agar menolongku di dalam puncak perjuanganku. Ternyata aku berhasil.”
“O, gila kau Jaka Raras. Aku mempelajari ilmu itu bertahun-tahun. Kini kau khianati aku. Kau khianati aku,” Panembahan Agung itu tiba-tiba berteriak keras sekali sehingga suaranya seakan bergema memenuhi lembah dan tebing-tebing pegunungan, meskipun ia tidak mampu lagi melontarkan suara di luar jangkauan getaran tenggorokannya seperti yang pernah dapat ia lakukan.
“Sudahlah, Panembahan. Sadarilah bahwa hukuman Tuhan telah datang.”
“Persetan. Aku tidak mau. Kembalikan ilmuku itu, kembalikan,” Panembahan itu berteriak-teriak.
“Sadarlah, kau bukan anak-anak lagi.”
“Tidak, tidak. Kembalikan, kembalikan,” Panembahan itu menjerit. Namun tiba-tiba suaranya terputus. Sejenak Panembahan Agung itu jatuh terkulai. Namun sejenak kemudian ia pun bangkit kembali perlahan-lahan.
Wajahnya masih tetap kehitam-hitaman. Tetapi justru menjadi semakin mengerikan ketika Panembahan Agung itu justru tertawa,
“Ha, akulah manusia yang paling sempurna di muka bumi. Aku adalah satu-satunya orang yang memiliki ilmu yang dahsyat, yang mampu membakar gunung dan memecahkan batu hitam sebesar kerbau. Aku pulalah yang dapat menciptakan apa pun juga yang aku kehendaki.”
“Panembahan,” Jaka Raras mengerutkan keningnya.
Panembahan Agung tertawa semakin keras, semakin keras sehingga tubuhnya yang lemah itu menjadi terguncang-guncang.
“Panembahan, sadarilah keadaanmu.”

Suara tertawanya justru semakin keras. Sambil berteriak ia menengadahkan tangannya,
“Aku adalah manusia yang paling sempurna. Aku akan menghancurkan semua negeri yang ada di muka bumi. Akulah penguasa tunggal alam semesta. Aku adalah yang Maha Kuasa di atas bumi.”
Ki Waskita yang juga disebut Jaka Raras itu mundur selangkah. Wajahnya menjadi tegang. Demikian pula agaknya Ki Sumangkar dan anak-anak muda yang ada di sebelahnya.
“Panembahan,” desis Jaka Raras.
“Pergi, pergilah kalian. Jangan ganggu aku lagi. Atau aku harus membakar kalian menjadi abu?”
“Semuanya sudah lampau, Panembahan. Sebaiknya Panembahan melanjutkan selangkah lagi. Panembahan belum sampai pada ujung penjelajahan kenangan masa lampau itu.”
Panembahan Agung mengerutkan keningnya. Namun ia kemudian tertawa lagi,
“Persetan. Jangan mencoba menghasut. Jika kau ingin hidup, pergilah.”
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak dapat menolong lagi goncangan jiwa Panembahan Agung yang agaknya telah menghancurkan nalarnya, sehingga ia tidak lagi dapat mengendalikan gejolak perasaannya.
“Pergi, pergi. Aku akan menghancurkan Mataram. Aku akan menghancurkan Demak yang sudah bergeser ke Pajang itu. Aku akan menghancurkan kekuasaan para Adipati di pasisir dan Bang Wetan. Semuanya, semuanya. Dan aku adalah penguasa tunggal di atas bumi.”
Jaka Raras hanya dapat memandanginya saja ketika Panembahan Agung berusaha untuk meloncat bangkit. Sambil berteriak mengerikan ia menolak kenyataan tentang dirinya yang sebenarnya lumpuh. Tetapi Panembahan Agung sama sekali tidak mempunyai kekuatan lagi. Ilmunya sudah punah dan kekuatan jasmaniahnya pun telah hampir punah sama sekali. Karena itulah, maka hentakan kekuatan yang dipaksakannya itu ternyata telah merampas semua yang tersisa padanya. Seperti sebatang pohon pisang, Panembahan Agung roboh di tanah. Nafasnya menjadi terengah-engah, dan wajahnya yang hitam menjadi semakin hitam. Perlahan-lahan Ki Waskita mendekatinya. Sambil berjongkok di samping tubuh Panembahan Agung ia berkata,
“Panembahan, sebaiknya kau menyadari dirimu. Marilah, ikutlah aku.”
“Aku adalah orang yang paling berkuasa. Jangan memerintah aku.”
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam.
“He kau dengar, bukankah aku orang yang paling berkuasa di muka bumi.”
Hampar di luar sadarnya tiba-tiba saja Ki Waskita mengangguk,
“Ya, Panembahan.”
“Nah, bersujudlah.”
“Ya, Panembahan.”
“Akuilah bahwa aku mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas atas manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan di muka bumi.”
“Ya, Panembahan.”

Panembahan Agung memandang Ki Waskita sejenak. Perlahan-lahan ia menggeliat. Ketika terpandang olehnya wajah Ki Waskita yang sedang mengangguk-anggukkan kepalanya, maka tiba-tiba ia pun tersenyum sambil berdesis,
“Bagus, akulah yang Maha Kuasa itu.”
Ki Waskita tidak sempat menjawab. Tiba-tiba saja kepala Panembahan Agung itu terpejam untuk selama-lamanya. Perlahan-lahan Ki Waskita bergeser surut. Diusapkan kening Panembahan Agung yang menjadi dingin.
“Ia sudah meninggal,” desisnya.
Ki Sumangkar diikuti oleh Agung Sedayu, Swandaru, dan Sutawijaya mendekatinya. Tetapi Pandan Wangi masih tetap berdiri di kejauhan. Ia tidak berani memandang wajah dan tubuh Panembahan Agung, yang mengerikan baginya itu.
“Ia tetap pada pendiriannya sampai saat matinya,” desis Ki Waskita.
“Ia bertahan pada jalannya yang sesat tanpa setitik terang pun sampai ia harus kembali kepada Yang Maha Pencipta.”
“Mengerikan sekali,” tiba-tiba Agung Sedayu berdesis.
Sutawijaya menundukkan kepalanya. Panembahan Agung adalah gambaran orang yang tetap mengeraskan hatinya sampai saat pengadilan yang abadi itu tiba. Dan ia tidak akan sempat lagi untuk menyesali segenap kesalahan dan mohon ampun kepada Yang Maha Pengasih. Rasa-rasanya semua pintu telah tertutup baginya, bagi orang yang tidak mengindahkan kasih dan pengampunan-Nya.
Ki Waskita pun kemudian berdiri. Dipandanginya orang-orang yang terikat pada batang-batang pohon sambil menahan segala macam pergolakan di dalam hati. Panembahan yang mereka sangka tidak dapat dikalahkan oleh siapa pun juga itu, akhirnya terbunuh di peperangan
“Ki Sanak,” berkata Ki Waskita,
“Panembahan Agung telah mati. Ia adalah orang yang memiliki ilmu tanpa tanding. Tetapi ia memilih jalan sesat. Kalian yang selama ini mengaguminya dan percaya kepadanya, kini melihat kenyataan, bahwa tidak ada seorang pun yang sempurna di muka bumi.” Ki Waskita berhenti sejenak.
“Nah, yang dapat kalian lakukan kemudian adalah menguburnya dan mengubur kawan-kawanmu yang terbunuh. Berilah pertanda pada kuburannya, panembahan yang pernah menggoncangkan dunia.”
Orang-orang itu tidak menyahut. Tetapi mereka dengan sepenuh hati menguburkan Panembahan Agung setelah ikatan mereka dilepaskan. Salah seorang dari mereka pun kemudian menemukan sebatang pohon nyamplung yang baru tumbuh dan memindahkannya di atas kuburan Panembahan Agung itu, sehingga apabila pohon nyamplung itu kelak dapat tumbuh dan menjadi sebesar gumuk kecil yang berada di lereng bukit, maka akan dapat dikenal, bahwa di tempat itulah Panembahan Agung dikuburkan, tanpa setetes pengampunan atas segala dosa-dosanya.
Setelah penguburan Panembahan Agung dan korban-korban yang lain telah selesai, maka mereka pun segera kembali kepada induk pasukan yang sedang menunggu. Swandaru berjalan di paling depan sambil menolong Ki Sumangkar yang terluka. Sedang dibelakangnya Pandan Wangi melangkah sambil menundukkan kepalanya. Beberapa orang tawanan mengikutnya dengan hati yang kosong. Mereka sama sekali tidak dapat membayangkan, apakah yang akan dapat terjadi atas diri mereka. Dan di belakang mereka berjalan Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Ki Waskita.
Sutawijaya sekali-sekali menarik nafas dalam-dalam. Yang terjadi adalah peristiwa yang sangat gawat bagi Mataram. Jika tidak secara kebetulan ia pergi bersama Ki Waskita dan pasukan pengawal terpilih dari Menoreh, maka ia tidak akan dapat menyelesaikan tugas itu. Bahkan mungkin hanya tinggal namanya sajalah yang akan diucapkan oleh orang-orang Mataram, sebagai seorang pahlawan yang mengorbankan diri sebagai bebanten berdirinya Tanah Mataram. Atau dengan demikian  ayahnya akan menjadi sangat kecewa dan melepaskan niatnya untuk mendirikan sebuah negeri yang ramai. Mataram akan terbengkelai, dan akhirnya benar-benar jatuh ke tangan orang-orang yang gila itu.

Tetapi bagi Sutawijaya, peristiwa ini bukan akhir dari perjuangannya untuk menegakkan Mataram. Ia yakin bahwa di Pajang masih ada beberapa orang yang memiliki kelebihan di dalam berbagai bidang, yang tidak senang melihat Mataram tumbuh dan menjadi kuat. Mereka tentu akan melakukan apa saja yang dapat mereka usahakan untuk menghancurkan Ki Gede Pemanahan.
“Persetan dengan mereka,” berkata Sutawijaya di dalam hatinya,
“pada suatu saat aku akan menemukan mereka. Ayahanda Sultan Pajang akan mengetahui, siapakah sebenarnya yang telah menggali jarak antara Pajang dan Mataram.”
Namun tiba-tiba dada Sutawijaya terguncang. Hampir di luar kemampuannya untuk menolak, telah hadir pula di dalam angan-angannya wajah seorang gadis cantik dari Kalinyamat itu.
“Persetan,” sekali lagi ia berdesis.
Namun ia akhirnya gagal untuk mengusir kegelisahan di hatinya itu. Ia tidak akan dapat ingkar, jika seandainya ia dihadapkan pada gadis itu.
“Tetapi, apakah benar-benar ia mengandung?” pertanyaan itu telah mengguncangkan dadanya. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya ia berkata kepada diri sendiri,
“Mudah-mudahan tidak. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu akibat dari kekhilafan itu.”
Meskipun demikian Sutawijaya tidak dapat mengingkari, bahwa rahasia itu tentu sudah tersebar. Jika Daksina berhasil mengetahui rahasia itu, maka para pemimpinnya di Pajang pun pasti telah mengetahuinya pula. Bukannya aneh jika kekhilafan itu akhirnya akan didengar pula oleh ayahandanya. Baik ayahanda angkatnya, Sultan Pajang, maupun ayahandanya sendiri, Ki Gede Pemanahan.
Raden Sutawijaya berusaha mengusir angan-angan itu dengan menggeretakkan giginya. Bahkan kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya. Untunglah bahwa orang-orang yang berjalan di sekitarnya tidak memperhatikannya, karena mereka sedang sibuk dengan persoalan mereka masing-masing. Kedatangan mereka di induk pasukannya disambut dengan perasaan lega, setelah beberapa lamanya pasukan itu dicengkam oleh kegelisahan. Rudita pun kemudian berlari-larian mendapatkan ayahnya dan seperti seorang kanak-kanak yang baru pandai berjalan, ia menangis terisak-isak.
“Rudita,” berkata ayahnya,
“lihatlah. Kawan-kawan sebayamu tidak menangis seperti kau meskipun mereka mengalami peristiwa yang barangkali lebih dahsyat dari yang kau alami.”“
Rudita menganggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak merengek seperti biasanya. Matanya yang redup memandang ke kejauhan, seakan-akan menggapai-gapai mencari persoalan di dalam dirinya sendiri yang tidak dapat diketemukannya selama ini di dalam dirinya itu.
“Memang ada kelainan pada diri ini dengan anak-anak muda sebayaku,” tiba-tiba saja terbersit perasaan itu di dalam dadanya.
Tetapi Rudita hanya menarik nafas dalam-dalam. Ia mulai menyadari bahwa dirinya berbeda dengan Agung Sedayu, dengan Swandaru, Prastawa, dan apalagi Sutawijaya.

Sementara itu, Pasukan dari Mataram dan Menoreh itu pun mempersiapkan diri dan berkemas. Setelah beristirahat secukupnya mereka harus segera kembali ke tempat masing-masing. Di malam hari, lembah itu bagaikan dunia yang senyap dan terpisah dari dunia yang lain. Gelap pekat dan sunyi. Suara malam bagaikan lagu yang sangat asing menyentuh relung-relung hati yang paling dalam. Meskipun para pengawal menyadari bahwa peperangan yang aneh itu sudah selesai, namun hampir tidak seorang pun dari mereka yang sempat tidur dengan nyenyak. Berbagai bayangan mengganggu angan-angan mereka. Bahkan kadang-kadang mereka seakan-akan melihat bentuk-bentuk semu yang mengerikan di dalam gelapnya malam. Ketika angin lembut mengusap tubuh mereka, terasa malam menjadi dingin. Dingin, sepi, tetapi mengerikan. Di lewat tengah malam para pengawal itu terkejut mendengar suara anjing liar menyalak di kejauhan. Melolong-lolong, seperti hantu-hantu yang buas mencium bau mayat yang berserakan, yang terlampaui tidak diketemukan oleh kawan-kawannya dan karena itu tidak dikuburkan. Lembah itu rasa-rasanya bagaikan neraka yang dingin beku, tetapi melampaui panasnya bara api kayu mlandingan. Setiap orang mengharap agar mereka segera terlepas dari belenggu yang menegangkan itu. Setiap kali mereka selalu memandang batas langit di ujung sebelah Timur.
Ketika seorang pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh tidak dapat menahan lagi kesepian yang mencengkam, ia mencoba untuk bangkit dan melangkah hilir-mudik di antara beberapa orang kawannya yang terbaring membujur lintang. Namun hatinya menjadi bergetar ketika ia mendengar di kejauhan terdengar suara burung kadasih. Perlahan-lahan ia kembali duduk dan merayap ke atas rerumputan yang telah dibuatnya menjadi pembaringannya.
“Kau ngeri mendengar suara burung itu?” tiba-tiba saja terdengar kawannya yang berbaring di sampingnya bertanya. Meskipun suaranya lambat sekali, namun pengawal yang gelisah itu terkejut bukan buatan, sehingga hampir saja ia melonjak.
“Kau mengejutkan aku,” desah pengawal yang terkejut itu.
“Aku hanya berbisik,” jawab kawannya.
Pengawal itu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata kesepian yang memuncak itu telah membuat setiap hati menjadi semakin mudah tersentuh.
Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Swandaru mendengarkan suara burung kedasih itu dengan hati yang semakin gelisah. Suara burung kedasih bagi mereka mempunyai arti tersendiri. Beberapa kali mereka pernah mendengar suara burung kedasih sebagai pertanda yang khusus dari anak buah orang yang ternyata menyebut dirinya Panembahan Agung itu.
Namun setelah mereka mendengarkan suara burung itu dengan saksama, disusul oleh suara burung kedasih yang lain di kejauhan, maka mereka pun yakin bahwa yang didengarnya itu adalah benar-benar suara burung kedasih.
“Kau mendengar suara burung itu?” bertanya Agung Sedayu berbisik.
Swandaru mengangguk lemah. Katanya,
“Tetapi agaknya suara itu benar-benar suara seekor burung.”
“Ya. Memang agak berbeda. Tetapi agaknya di daerah ini memang banyak burung kedasih. Bahkan mungkin daerah ini merupakan sarang sekelompok besar burung kedasih, sehingga menimbulkan gagasan bagi Panembahan Agung untuk mempergunakan suara burung itu sebagal suatu isyarat tertentu.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi suara burung kedasih yang ngelangut itu masih saja menggelitik hatinya. Namun keduanya tidak lagi membicarakannya. Keduanya mencoba untuk mempergunakan sisa malam itu untuk benar-benar beristirahat meskipun mereka sama sekali tidak dapat tertidur sekejap pun.
Di antara mereka yang tidak dapat tertidur terdapat Rudita. Malam baginya benar-benar merupakan malam yang dahsyat. Setiap kali ia terkejut mendengar desir daun yang terlepas dari tangkainya dan jatuh di tanah. Namun dalam pada itu, Rudita sempat melihat kepada dirinya sendiri. Pengalamannya telah menimbulkan persoalan yang belum pernah terpikirkan sebelumnya. Tetapi pengalaman itu ternyata telah memacunya untuk berpikir lebih dewasa. Ia merasa, bahwa sebenarnyalah ia bukan lagi kanak-kanak yang dapat bermanja-manja kepada setiap orang. Memang ayah dan ibunya akan berusaha untuk dapat mengerti perasaannya, tetapi tentu tidak bagi orang lain. Jika orang lain mencoba mengertinya, maka tentu dalam batas-batas yang jauh lebih sempit dari ayah dan ibunya sendiri.

Mereka yang mendapat perintah untuk melihat kuda-kuda mereka yang terikat, merasa jauh lebih sepi lagi dari kawan-kawannya, yang ada di dalam pasukan. Beberapa orang yang berada di daerah terpisah, di antara sekelompok kuda yang tertidur sambil terikat pada batang-batang pohon, merasa diri mereka selalu terancam bahaya. Mereka belum mengerti akhir dari pertempuran yang terjadi di depan padepokan Panembahan Agung, sehingga karena itu, mereka masih tetap dibayangi oleh kecemasan bahwa para pengawal dari Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh akan mengalami kegagalan. Kecemasan dan kegelisahan yang mencengkam hati mereka, membuat mereka selalu berjaga-jaga sepanjang malam. Senjata mereka sama sekali tidak terlepas dari tangan. Apa pun yang sedang mereka lakukan, maka mereka tetap menggenggam senjata telanjang. Ketika cahaya kemerah-merahan mulai membayang di langit sebelah Timur, maka rasa-rasanya setiap orang yang berada di lembah itu mulai dijalari oleh ketenangan. Rasa-rasanya darah yang seakan-akan telah membeku di malam hari, mulai mengalir lagi perlahan-lahan di seluruh tubuh. Para pengawal itu tidak menunggu sampai matahari terbit. Ketika cahaya kemerah-merahan semakin jelas membayang di punggung pegunungan, maka mereka pun membenahi diri mereka masing-masing. Mereka menyiapkan segala peralatan, dan mengumpulkah para tawanan. Dengan batang-batang kayu yang dianyam dengan tali, mereka telah membawa Kiai Gringsing yang terluka. Namun agaknya badan Kiai Gringsing sudah merasa lebih segar dan lebih baik. Ketika lembah itu menjadi semakin terang, para pengawal itu mulai menghitung diri. Setiap kelompok melihat keadaan masing-masing. Mereka harus tahu pasti, apakah ada korban yang jatuh di dalam kelompok itu. Setelah semuanya selesai, maka mulailah pasukan itu berjalan perlahan-lahan, bersamaan dengan cahaya yang semakin terang muncul di balik bukit. Demikianlah maka mulailah perjalanan mereka, pasukan pengawal dari Mataram dan dari Tanah Perdikan Menoreh menyusuri lembah kembali keluar dari daerah yang terpencil itu.
“Raden Sutawijaya, kami harap singgah sejenak di Tanah Perdikan Menoreh,” Ki Argapati mempersilahkan.
Semula Raden Sutawijaya ragu ragu. Namun kemudian ia menganggukkan kepalanya. Namun ia sama sekali tidak tahu, bahwa utusan ayahandanya telah menunggunya dengan membawa kabar yang sangat penting baginya.
Setelah menempuh jalan yang sulit, dan setelah mereka melalui daerah yang mengerikan karena guguran-guguran tebing di sebelah-menyebelah lembah yang mereka lalui, maka mereka pun akhirnya sampai ke daerah hutan perdu, di mana kuda-kuda mereka terikat.
Sejenak mereka beristirahat dan membenahi kuda-kuda mereka yang gelisah. Beberapa orang yang terluka terpaksa naik ke atas punggung kuda dijagai oleh kawannya. Yang tidak terlalu parah masih dapat berkuda sendiri, tetapi ada di antara mereka yang sudah tidak mampu lagi untuk berpegangan pada kendali. Demikian juga Kiai Gringsing. Tubuhnya masih terlalu lemah untuk berkuda sendiri Karena itu, maka Agung Sedayu terpaksa menjaganya. Dipilihnya kuda yang tegar dan besar. Dan di atas punggung kuda itulah Kiai Gringsing dan Agung Sedayu naik bersama-sama.
Setelah semuanya siap, maka pasukan berkuda itu pun kemudian meniggalkan lembah yang masih saja selalu membekas dalam kenangan setiap orang. Peristiwa yang mengerikan dan hampir tidak dapat mereka percaya, telah terjadi. Tebing yang bagaikan runtuh. Batang-batang kayu yang bergulung-gulung menimbuni lembah. Bahkan beberapa orang kawan mereka telah tertimbun pula di bawah batu dan kayu-kayu itu. Kemudian bentuk-bentuk semu yang hanya dapat mereka lihat di dalam mimpi, namun ternyata bahwa mata mereka seakan-akan telah benar-benar melihatnya.
“Perang yang paling gila yang pernah aku alami,” desis Ki Lurah Branjangan.
“Aku adalah prajurit Pajang sejak aku masih sangat muda. Aku sudah mengalami banyak sekali peperangan. Namun baru kali ini aku berada di dalam dunia yang seolah-olah hanya sekedar khayalan saja.”
Kawannya yang berada di sisinya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia menyahut,
“Jika aku ceriterakan pengalaman ini kepada orang lain, maka apakah mereka dapat mempercayainya?”
Ki Lurah Branjangan menggelengkan kepalanya,
“Tentu tidak. Dan menurut Ki Waskita semuanya itu adalah sebuah kebohongan yang paling besar yang dapat dibuat oleh Panembahan Agung.”
Keduanya pun kemudian terdiam. Mereka memandang lurus ke depan. Ke jalan yang samar di antara batang-batang perdu. Sebentar lagi mereka akan sampai ke tempat yang lebih lapang.

Namun perjalanan mereka tidak dapat lebih cepat lagi, karena mereka harus membawa beberapa orang tawanan yang tidak dapat berjalan secepat seekor kuda. Karena itu, maka perjalanan itu pun menjadi sangat lamban dan hampir merampas kesabaran para pengawal itu. Tetapi mereka tidak dapat memaksa tawanan mereka berjalan sambil berlari-lari, karena perjalanan yang akan mereka tempuh adalah perjalanan yang cukup jauh.
Sekali-sekali iring-iringan itu harus beristirahat di sepanjang jalan yang mereka lalui. Para tawanan yang tidak dapat berjalan lagi karena luka-luka, mendapat kesempatan untuk naik ke punggung kuda yang tidak berpenumpang. Mungkin karena penumpangnya berkuda bersama kawannya karena keadaan tubuhnya yang lemah. Tetapi mungkin juga karena mereka tidak dapat lagi kembali karena mereka gugur di peperangan yang karena keadaannya, mereka terpaksa dikuburkan di medan dengan ciri-ciri tertentu, sehingga kuburan itu akan tetap dapat dikenal apabila pada suatu saat sanak keluarganya akan pergi menengoknya. Karena perjalanan yang lambat itulah maka iring-iringan itu tidak dapat mencapai padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Mereka berhenti pada sebuah padukuhan kecil di sebelah hutan yang lebat itu. Padukuhan yang hanya dihuni oleh beberapa orang, yang kerjanya sehari-hari berburu binatang dan mencari kayu. Baru di pagi harinya mereka meneruskan perjalanan menuju ke induk Tanah Perdikan Menoreh. Kedatangan pasukan itu disambut dengan berbagai macam perasaan. Ada yang gembira, terharu, tetapi ada juga yang harus menitikkan air mata karena yang ditunggunya terpaksa tidak dapat datang bersama kawan-kawan mereka.
“Mereka adalah bebanten bagi ketenteraman Tanah Perdikan ini,” berkata kawan-kawannya menghibur mereka yang kehilangan sanak keluarganya.
“Seluruh Tanah Perdikan tidak akan melupakan jasa-jasanya.”
Orang yang kehilangan itu menahan isaknya sambil bertanya,
“Apakah begitu?”
“Ya. Kita semuanya akan menghargai mereka yang mendahului kita. Untuk selama-lamanya. Anak cucu kita pun harus mengetahui siapa saja yang pernah melakukan pengorbanan tanpa dapat dinilai dengan nilai kebendaan, karena yang mereka korbankan adalah jiwa.”
Namun demikian, mereka yang kehilangan masih juga menitikkan air mata. Meskipun nalar mereka dapat mengerti, tetapi perasaan mereka bersikap lain. Setelah beristirahat sejenak di halaman rumah Kepala Tanah Perdikan Menoreh serta setelah setiap kelompok mengulangi hitungan mereka, maka pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu pun diperkenankan pulang ke rumah masing-masing. Sedangkan yang kemudian menjaga para tawanan adalah para pengawal dari Mataram dan pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang tidak ikut serta pergi ke peperangan. Dalam pada itu, para pemimpin pasukan pengawal itu pun kemudian naik ke pendapa. Mereka duduk melingkar di atas tikar pandan yang putih. Namun yang tidak ada di antara mereka adalah Ki Waskita. Ia langsung membawa Rudita ke gandok, mendapatkan ibunya yang menunggu dengan hati yang bagaikan dipanggang di atas bara sambil menangis tanpa henti-hentinya.

Pandan Wangi yang merasa bertanggung jawab atas hilangnya Rudita pun kemudian mengikutinya beberapa langkah di belakang Ki Waskita. Pandan Wangi tidak dapat menahan air matanya yang mengembun di pelupuknya melihat betapa ibu Rudita itu menyambut anaknya yang dikembalikannya kepadanya, setelah hilang untuk beberapa saat lamanya. Beberapa orang yang ada di pendapa melihat pertemuan itu dengan perasaan haru pula. Namun mereka pun bersyukur bahwa Tuhan masih melindungi anak muda itu dan dapat kembali kepada orang tuanya dengan selamat. Sementara itu di gandok yang lain, Kiai Gringsing terbaring di atas pembaringan ditunggui oleh Agung Sedayu. Namun karena keadaannya sudah menjadi semakin baik, maka Kiai Grigsing pun menyuruh muridnya itu naik ke pendapa bersama dengan para pemimpin yang lain.
“Apakah keadaan Guru sudah baik?” bertanya Agung Sedayu.
“Sudah. Aku sudah menjadi semakin baik. Tinggalkan aku. Aku akan tidur. Dan sebaiknya kau berada di pendapa. Mungkin ada persoalan yang perlu kau dengar.”
Agung Sedayu menganggukkan kepalanya. Dengan ragu ragu ia melangkah meninggalkan Kiai Gringsing yang sudah tampak lebih segar. Tetapi langkahnya tertegun ketika di pintu gandok Agung Sedayu berpapasan dengan Ki Sumangkar yang masih pucat dilayani oleh seorang pengawal.
“Kenapa, Kiai?” bertanya Agung Sedayu.
“Tidak apa-apa. Aku hanya merasa pening. Luka-lukaku agak terasa pedih meskipun tidak mengalirkan darah lagi. Aku hanya ingin beristirahat sejenak mengawani Kiai Gringsing.”
Agung Sedayu masih berdiri termangu-mangu.
“Aku tidak apa-apa,” berkata Sumangkar kemudian,
“aku hanya ingin tidur. Luka-lukaku akan sembuh dalam waktu yang dekat.”
Kiai Gringsing tersenyum melihat kehadiran Ki Sumangkar di bilik itu. Katanya,
“Marilah kita berlomba, siapakah yang lebih dahulu tertidur.”
Ki Sumangkar pun tertawa. Sambil berpaling kepada Agung Sedayu ia berkata,
“Apakah kau akan ikut pula?”
Agung Sedayu pun tersenyum. Namun dengan demikian ia tidak ragu-ragu meninggalkan kedua orang-orang tua itu karena keadaan mereka agaknya menjadi berangsur baik. Sepeninggal Agung Sedayu, maka Ki Sumangkar pun berbisik kepada Kiai Gringsing,
“Utusan dari Mataram ternyata telah menunggu Raden Sutawijaya.”
“Ki Gede Pemanahan tentu sekedar cemas karena puteranya tidak segera datang,” sahut Kiai Gringsing.
“Mungkin. Tetapi jika demikian utusan itu tidak akan memanggil Raden Sutawijaya untuk segera menghadap ayahandanya.”
“Kenapa? Seperti ayah dan ibu Rudita, mereka pun tidak sabar menunggu kedatangan anaknya lebih lambat lagi.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya,
“Mungkin demikian. Tetapi masih ada bedanya. Raden Sutawijaya adalah seorang prajurit.”
Kiai Gringsing lah yang kemudian mengangguk-angguk.
“Ya, agaknya demikian.”

Di pendapa, utusan yang sudah ada di Menoreh itu masih berada bersama di antara para pemimpin yang sedang beristirahat sambil menikmati minuman hangat dan sekedar makanan ringan yang tergesa-gesa dipersiapkan. Namun agaknya suasananya memang dipengaruhi oleh kehadiran beberapa orang utusan dari Mataram itu, karena mereka langsung menyampaikan pesan Ki Gede Pemanahan kepada Raden Sutawijaya.
“Biarlah Raden Sutawijaya beristirahat sehari dua hari di sini,” berkata Ki Argapati.
Utusan itu tersenyum. Katanya,
“Ki Gede Pemanahan berpesan, agar Raden Sutawijaya segera kembali.”
“Apakah sebenarnya yang telah terjadi di Mataram?” bertanya Ki Lurah Branjangan.
“Kami tidak mengetahui dengan pasti,” sahut utusan itu, sehingga Ki Lurah Branjangan pun hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
Raden Sutawijaya sendiri menjadi gelisah mendengar panggilan ayahandanya. Sekilas terngiang ancaman Daksina bahwa rahasianya tentu akan terbongkar. Gadis dari Kalinyamat itu tidak akan dapat lagi menyembunyikan dirinya akibat hubungannya dengan Raden Sutawijaya.
“Apakah ayahanda sudah mendengar?” ia bertanya kepada diri sendiri. Tetapi hal itu mungkin sekali terjadi karena orang-orang Pajang banyak sekali yang tidak menyukainya lagi, justru karena ia berusaha membuka hutan Mentaok dan menjadikannya sebuah negeri yang ramai.
“Tetapi,” berkata Ki Argapati kemudian,
“bukankah Ki Gede tidak perlu gelisah lagi, bahwa puteranya telah pasti selamat dan berada di sini?”
Utusan itu masih tersenyum, katanya,
“Aku tidak dapat membuat pertimbangan seperti itu menilik pesan yang agaknya sangat mendesak.”
Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
“Baiklah. Aku akan segera kembali. Tetapi aku minta kesempatan untuk beristirahat sejenak. Aku harus membersihkan diri dahulu. Demikian juga para pengawal. Kami harus mengurus orang-orang yang terluka dan para tawanan.”
“Tentu, Raden. Kami akan membantu. Bukan maksud kami, Raden harus berangkat sekarang. Tetapi sudah barang tentu Raden akan berkemas lebih dahulu dan beristirahat secukupnya. Tetapi tidak terlampau lama.”
Raden Sutawijaya merasa bahwa sesuatu yang sangat penting telah terjadi. Dan firasatnya pun telah mengatakan kepadanya, bahwa persoalan yang dihadapi adalah persoalan gadis dari Kalinyamat itu. Gadis yang seharusnya disediakan untuk ayahandanya Sultan Pajang, namun yang terjadi adalah di luar kemampuannya untuk menghindar.
Sutawijaya yang termangu-mangu itu pun kemudan mencoba mengusir kegelisahannya. Di pendapa itu masih ada beberapa orang yang duduk sambil menghirup minuman hangat dan makanan sepotong-sepotong. Pandan Wangi yang sekali-sekali masih mengusap matanya yang basah telah duduk di pendapa pula, sedang Ki Argapati lah yang kemudian turun dari pendapa menemui Ki Waskita dan isterinya.
“Kami berterima kasih kepada Ki Gede dengan para pengawal dari Menoreh dan Mataram,” berkata Ki Waskita.
“Ah, justru kamilah yang berterima kasih kepada Ki Waskita. Tanpa Ki Waskita, kami tidak akan kembali dengan selamat,” sahut Ki Gede Menoreh.
Namun dengan segera Ki Waskita memotong,
“Aku tidak berbuat apa-apa. Aku sekedar menggantungkan diri kepada kalian. Aku hanya sekedar orang yang mencoba melihat isyarat buat masa depan yang sebenarnya tidak jelas.”
Ki Gede mengerutkan keningnya. Apalagi ketika dilihatnya wajah Rudita yang keheran-heranan.
“Aku tidak lebih dari sebuah beban bagi Ki Gede,” berkata Ki Waskita. Sambil berpaling kepada anaknya ia melanjutkan,
“Kau harus mengucapkan terima kasih. Kau tahu bahwa ayahmu tidak lebih adalah seorang tukang ramal yang lebih banyak gagal dari hasil yang memadai. Tanpa pasukan pengawal Menoreh dan Mataram, kau benar-benar telah hilang.”
Rudita masih termangu-mangu. Namun kemudian ia berkata,
“Ki Gede. Aku mengucapkan terima kasih kepada Ki Gede, kepada pasukan pengawal Menoreh dan Mataram, kepada Pandan Wangi, kepada Prastawa kepada Ki Demang dari Sangkal Putung, Kiai Gringsing dan kedua muridnya, dan terlebih-lebih kepada Ki Sumangkar. Ki Sumangkarlah yang secara langsung membebaskan aku dari kekuasaan mereka.”

Ki Argapati mengerutkan keningnya. Ia merasakan nada yang berbeda pada cara Rudita menyatakan perasaannya.
“Ki Gede,” berkata Rudita kemudian,
“agaknya selama ini aku telah keliru menilai diriku sendiri.”
“Rudita,” hampir berbareng Ki Waskita dan ibunya memotong meskipun tanggapan mereka berbeda-beda.
“Kau tidak keliru, Rudita,” berkata ibunya,
“kamilah yang kurang berhati-hati menjagamu. Ayahmu terlalu lengah karena ia telah melepaskanmu berburu hanya dengan anak-anak muda.” Ibunya berhenti sejenak, lalu,
“Aku pun tidak dapat menyalahkan anak-anak muda itu, karena mereka pun masih dipengaruhi oleh kemudaannya dan memburu kesenangan diri masing-masing.”
Ki Argapati mengerutkan keningnya, sedang Ki Waskita pun dengan tergesa-gesa menyahut,
“Tentu tidak, Nyai. Meskipun mereka masih muda, tetapi sikap mereka cukup dewasa.”
“Tetapi tentu berbeda dengan orang-orang tua.”
“Ya,” potong Ki Argapati,
“tentu berbeda dengan orang-orang tua. Biasanya anak-anak lebih memperhatikan diri sendiri seperti yang dikatakan oleh Nyai Waskita. Tetapi orang tua lebih banyak menjaga anak-anaknya dan anak-anak muda yang bersamanya.”
“Nah,” sahut Nyai Waskita,
“bukankah benar kataku. Kau jangan menyalahkan anakmu saja. Meskipun aku juga tidak menyalahkan anak-anak muda yang bersamanya, tetapi bahwa keadaan yang demikian itulah yang telah memungkinkan Rudita hilang.”
“Tetapi kita sekarang tinggallah mengucap syukur,” Ki Argapati menyela,
“dan Rudita sudah ada di antara kita.”
“Ya. Demikianlah aku mengucap syukur kepada semuanya, terutama kepada kemurahan Yang Maha Agung.”
Ki Argapati memandang Rudita yang menundukkan kepalanya sejenak, lalu katanya,
“Tenteramkan hatimu. Kau sudah berada di sarang sendiri, di bawah sayap induk yang akan selalu melindungmu. Dan agaknya indukmu adalah seekor burung garuda yang luar biasa.”
“Aku tidak mengerti, Ki Gede,” desis Ki Waskita,
“tetapi bagaimana pun juga, aku mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga.”
Ki Argapati pun kembali ke pendapa. Ternyata Raden Sutawijaya masih tetap duduk di tempatnya. Agaknya ia masih sangat segan untuk segera berkemas dan kembali ke Mataram. Karena itulah, maka Ki Gede sama sekali tidak bertanya apa pun kepadanya.

Sepeninggal Ki Argapati, ibu Rudita agaknya masih belum puas mendengar pembicaraan suaminya dengan Ki Argapati. Katanya,
“Kiai, sebenarnya Kiai harus menunjukkan kekecewaan kita terhadap anak-anak muda itu. Kiai jangan mencari kesalahan pada Rudita. Adalah suatu kurnia bahwa mereka berhasil menemukan Rudita. Jika tidak, maka anak itu akan benar-benar sudah hilang. Dan akulah orang yang akan merasa paling pedih karena kehilangan itu. Bukan Ki Argapati, bukan tamu-tamu dari Sangkal Putung itu dan bukan anak-anak muda yang membawanya tanpa bertanggung jawab itu.”
“Kau jangan menyalahkan mereka Nyai. Mereka adalah anak-anak muda yang sebaya dengan Rudita.”
“Siapa pun mereka, tetapi mereka telah membawanya.”
“Tidak, Ibu,” potong Rudita tiba-tiba saja,
“seharusnya Ibu tidak menganggap bahwa mereka telah membawa aku serta di dalam perburuan itu. Tetapi yang benar, kami pergi bersama-sama. Karena aku pun anak muda yang sudah sebaya dengan mereka, sehingga di antara kita, tidak ada yang harus mempertanggung-jawabkan yang seorang atas yang lain.”
Ibu Rudita menjadi heran mendengar jawaban itu. Demikian juga ayahnya. Tetapi tanggapan mereka terhadap Rudita menjadi semakin jauh berbeda. Ki Waskita melihat sesuatu yang tumbuh dan berkembang pada anaknya seperti yang diharapkannya. Sedang ibunya sama sekali tidak mengerti, kenapa Rudita menjawab demikian.
“Rudita,” berkata ibunya,
“kenapa kau menganggap bahwa kau tidak pergi bersama anak-anak muda itu di dalam tanggung jawab mereka. Bukankah mereka telah membawamu?”
“Seperti juga Pandan Wangi tidak bertanggung jawab atas Prastawa, dan juga Prastawa tidak bertanggung jawab atas Agung Sedayu, maka kenapa mereka harus bertanggung jawab atasku?”
“Tetapi kedudukanmu lain dari mereka, Rudita. Mereka adalah anak-anak yang sudah terbiasa melakukan perburuan atau pekerjaan-pekerjaan kasar seperti itu. Tetapi tidak dengan kau. Kau adalah anakku. Kau wajib mendapat perlindungan sebaik-baiknya. Jika kau hilang, maka aku akan kehilangan milikku yang paling berharga di muka bumi ini. Tetapi jika orang lain, anak-anak Sangkal Putung itu, aku sama sekali tidak akan merasa kehilangan apa pun juga. Aku mungkin akan terharu dan iba jika terjadi sesuatu atas mereka, tetapi aku sendiri tidak kehilangan apa pun juga.”
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sebelum la menyahut ternyata Rudita berkata,
“Ibu memandang persoalan ini dari satu segi. Coba katakan, apakah kira-kira yang akan terjadi seandainya Swandaru itu hilang. Aku tidak menyebut Agung Sedayu, karena ia adalah anak yatim piatu. Jika Swandaru hilang, maka banyak sekali orang yang akan merasa kehilangan. Ibunya. Tentu ia akan berkata seperti ibu. Swandaru adalah miliknya yang paling berharga. Kemudian ayahnya. Seperti Ayah, Ki Demang Sangkal Putung menganggap Swandaru adalah anak yang paling baik. Tetapi masih ada orang lain yang merasa kehilangan. Luka di hatinya tentu akan sangat parah. Orang itu adalah Pandan Wangi dan ayahnya.”
“Rudita,” potong ibunya. Wajahnya benar-benar diwarnai oleh keheranan yang menghentak dadanya.
“Sudahlah,” berkata Ki Waskita menengahi,
“Rudita baru saja dicengkam oleh kegelisahan yang sangat. Mungkin sesuatu telah terjadi di dalam dirinya. Kita belum dapat menilai, apakah ia akan menjadi semakin dewasa atau sebaliknya. Karena itu biarlah ia beristirahat. Pengaruh goncangan perasaannya itu tentu masih terasa. Dan karena itulah maka kau seakan-akan tidak mengenali lagi perasaan anakmu. Tetapi jika ia sudah tenang, maka biarlah ia menilai dirinya sendiri.”
Ibunya mengusap air matanya. Dibelainya kepala anaknya. Lalu katanya,
“Tenangkan hatimu, Anakku. Kita berada di halaman rumah Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang dijaga dengan baik. Kau akan dapat tidur nyenyak dan beristirahat sebaik-baiknya.”
Rudita menganggukkan kepalanya.
“Jika kau memerlukan sesuatu, kau dapat mengatakannya kepadaku. Di sini banyak pelayan yang dapat melayanimu.”

Sekail lagi Rudita mengangguk. Tetapi kata-kata ibunya itu kini bukannya ditelannya begitu saja, tetapi ia sudah mulai mencernakannya. Ketika ibunya pergi ke belakang, dan berada di antara para pelayan dan tetangga yang sibuk menyediakan makan dan minuman bagi para pengawal di halaman depan, maka Ki Waskita pun mendekati anaknya sambil bertanya,
“Rudita, siapakah yang mengajarimu bahwa kepergianmu ke hutan perburuan itu sama sekali bukannya menjadi beban tanggung jawab orang lain, tetapi sekedar pergi bersama-sama di dalam tanggung jawab kalian masing-masing?”
Rudita memandang ayahnya sejenak, lalu,
“Apakah maksud Ayah?”
“Rudita, aku memang melihat sesuatu berubah di dalam dirimu.”
Rudita menarik nafas dalam-dalam. Ki Waskita tidak lagi melihat mata anaknya itu mengembun dan menitikkan air mata. Mulutnya tidak lagi menyeringai dibuat-buat untuk memberikan tekanan kepada usahanya menarik perhatian orang lain.
“Ayah,” berkata Rudita,
“pengalaman beberapa hari ini telah membangunkan aku. Aku tidak tahu, kenapa aku merasa bahwa aku memang agak lain dari anak-anak muda itu. Mereka berbuat sesuatu untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Tetapi aku tidak. Aku masih saja menggantungkan diriku kepada orang lain seperti aku berada di rumah, di antara Ayah dan ibu. Dan agaknya ibu memang mendidik aku untuk selalu bergantung kepada orang lain.”
Ki Waskita menepuk bahu anaknya. Sesuatu telah bergetar di dalam hatinya, seakan-akan ia melihat cahaya terang yang memercik di sanubari anaknya.
“Rudita,” berkata ayahnya,
“kau telah tumbuh ke arah yang benar. Kau masih mempunyai waktu untuk meraih bentuk dirimu. Meskipun barangkali tidak untuk menjadi anak-anak muda seperti Agung Sedayu dan Swandaru.”
Rudita menganggukkan kepalanya.
“Banyak cara yang dapat di tempuh untuk menentukan diri sendiri. Ciri seorang yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri bukannya hanya ada pada mereka yang pandai bermain pedang dan tombak.”
Sekali lagi Rudita menganggukkan kepalanya.
“Rudita, betapa pun dahsyatnya ilmu yang dimiliki seseorang namun sebenarnya bahwa tujuan setiap manusia adalah perasaan damai dan tenang. Kehidupan yang aman tenteram. Bukankah seseorang mempelajari ilmu sejauh-jauhnya sekedar berusaha melindungi dirinya dari ketidak-tenangan. Dengan ilmu itu ia menjadi tenang karena ia merasa tidak ada orang lain yang dapat mengganggunya dan menghalang-halangi kehendaknya. Meskipun ada satu dua perkecualian, namun demikianlah pada umumnya.”
Rudita tidak menyahut. Tetapi kepalanya pun kemudian tertunduk. Rasa-rasanya di dalam waktu terakhir, di sepanjang pulang kembali ke induk Tanah Perdikan Menoreh ini, hatinya bergejolak dahsyat sekali. Seolah-olah ada sesuatu yang saling berbenturan dan melingkar-lingkar di dalam hatinya itu. Tetapi di dalam waktu yang singkat itu, Rudita masih belum dapat menemukan apakah yang sebenarnya kini sedang berkembang di dalam dirinya. Namun ia mulai meyakini bahwa jalan yang dilaluinya selama ini tidak menguntungkannya.

Dalam pada itu, para pengawal dari Mataram yang bertebaran di halaman, telah mendapatkan makan mereka masing-masing. Mereka sebenarnya masih juga segan untuk segera berangkat kembali ke Mataram karena badan mereka yang masih terasa letih setelah melakukan peperangan yang dahsyat itu. Namun ada juga dorongan untuk segera kembali kepada keluarga mereka yang menunggu siang dan malam. Karena itu, maka mereka tidak mengerti tentang diri mereka sendiri, manakah yang lebih-baik, segera kembali atau beristirahat barang semalam di Menoreh.
“Terserah kepada Raden Sutawijaya,” berkata seorang pengawal yang sudah setengah tua,
“tetapi ada juga baiknya kita pulang. Sama sekali kita menjadi letih. Tetapi kita segera berada di antara keluarga.”
Seorang pengawal yang masih muda menarik nafas. Katanya,
“Sebenarnya aku ingin tidur sejenak.”
“Tidurlah. Tidak ada yang melarangmu tidur. Mungkin di bawah jambu itu kau dapat tidur nyenyak,” sahut seorang kawannya.
“Aku masih malas untuk meneruskan perjalanan.”
“Kau masih sendiri,” berkata seorang yang sudah lebih tua sedikit daripadanya.
“Ah, tentu. Kau penganten baru,” jawab pengawal yang muda itu.
“Sudahlah,” sahut yang sudah setengah umur,
“sekarang tidur sajalah. Nanti jika pasukan ini benar-benar akan segera kembali ke Mataram, aku akan membangunkanmu.”
Pengawal muda itu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun segera berbaring di bawah pohon jambu yang sejuk, sehingga beberapa saat kemudian, ia pun benar-benar telah tertidur. Ternyata bukan hanya pengawal muda itu saja yang telah tertidur. Di kebun belakang, beberapa orang pengawal bertebaran dan tidur silang melintang.
Di pendapa, Sutawijaya sama sekali tidak sempat beristirahat dengan baik. Utusan ayahnya benar-benar tidak memberinya kesempatan untuk menunda perjalanannya kembali ke Mataram. Karena itu, setelah pasukannya beristirahat beberapa lamanya, maka Sutawijaya pun membenahi dirinya. Untuk menyegarkan tubuhnya, maka ia pun memerlukan mandi di pakiwan.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar