Api Di Bukit Manoreh Seri 1 Jilid 075 Halaman 2


“Apakah Kiai sedang memikirkan aliran air dari mata air itu?” bertanya Ki Argapati.
Kiai Gringsing memandanginya sejenak, lalu menganggukkan kepalanya,
”Ya, Ki Gede. Jalan keluar dari parit itu merupakan jalur yang dapat kita ikuti, kecuali apabila air itu kemudian menembus di bawah tanah.”
“Kenapa jalur parit itu?” tiba-tiba saja Agung Sedayu bertanya.
”Kita sudah menemukan jejak mereka.”
“Ya. Jejak itu memang dapat kita ikuti. Tetapi jika kita kehilangan jejak itu, maka kita mempunyai pegangan lain.”
“Tetapi apakah mereka akan selalu mengikuti air itu? Mungkin mereka mempunyai jalan lain,” potong Swandaru.
“Memang mungkin. Kita memang dihadapkan pada banyak kemungkinan. Tetapi semuanya memerlukan perhatian dan perhitungan yang cermat.”
Ki Argapati dan para pemimpin yang lain mengangguk-anggukkan kepala. Tetapi tidak seorang pun dari mereka yang menduga, bahwa di hadapan mereka masih terdapat sebuah padepokan lagi dan justru merupakan pusat pertahanan yang sangat kuat. Karena itulah, yang mereka putuskan kemudian adalah sekedar mengikuti jejak pasukan yang telah meninggalkan padepokan itu.
“Kita berusaha untuk menemukan mereka di mana pun,” berkata Raden Sutawijaya.
”Tetapi jika mereka keluar dari lembah ini,” sahut Ki Argapati,
”kita akan mendapatkan kesulitan. Mereka akan menenggelamkan diri dalam kehidupan biasa di antara orang-orang padesan. Kita tidak akan dapat membedakan lagi, yang manakah orang-orang yang ikut di dalam pasukan di lembah ini dan yang manakah orang-orang padesan yang sewajarnya.”
“Orang-orang padesan itu, atau para bebahu akan dapat menunjukkan kepada kita, siapakah di antara mereka yang harus kita ambil.”
“Berbahaya sekali. Berbahaya bagi orang-orang padesan itu. Sebab mereka akan diancam dan pada saat lain akan mengalami nasib yang sangat buruk.” Ki Argapati berhenti sejenak, lalu,
”Tetapi kita dapat mencoba. Marilah kita ikuti jejak itu, agar kita mendapatkan kepastian, apakah yang harus kita lakukan.”
Para pemimpin kedua pasukan itu bersama-sama sependapat, bahwa mereka akan melanjutkan perjalanan, mengikuti jejak pasukan yang meninggalkan padepokan itu.

Setelah mereka berhenti sejenak untuk meneliti padepokan itu, maka mereka pun segera mengatur pasukankan berjalan menyusuri bekas pasukan yang telah pergi menghindar itu. Namun mereka sama-sama berpendapat, bahwa padepokan itu bukan sebenarnya padepokan. Mereka tidak mendapatkan tanda-tanda bahwa di padepokan itu tinggal pula perempuan dan anak-anak, seperti kewajaran keluarga.
“Padepokan itu tidak lebih dari sarang segerombolan perampok yang sangat besar jumlahnya,” desis Kiai Gringsing yang samar-samar teringat pada sarang pasukan Jipang yang dipimpin oleh Tohpati di hutan rindang di hadapan Kademangan Sangkal Putung. Padepokan ini tidak ubahnya seperti sarang pasukan Jipang yang sudah kehilangan bentuknya itu. Namun agaknya sarang yang besar ini memiliki susunan yang lebih baik dari sebuah masyarakat yang tidak wajar.
“Agaknya memang demikian,” berkata Raden Sutawijaya kemudian.
”Dengan demikian kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa padepokan ini adalah sebuah pusat pemerintahan yang tersendiri. Penghuni-penghuninya adalah orang-orang yang meninggalkan keluarga mereka dan berhimpun di sini. Tentu di dalam keadaan yang sulit mereka akan memencar dan kembali kepada keluarga masing-masing.”
“Tetapi itu bukan berarti bahwa usaha mereka sudah berakhir. Hadirnya prajurit-prajurit Pajang di daerah ini tentu menimbulkan pertimbangan-pertimbangan tersendiri di dalam penilaian ini,” sahut Ki Argapati.
Yang mendengarkan kata-kata Ki Argapati itu menganggu-anggukkan kepalanya. Memang mereka tidak dapat melupakan begitu saja peranan yang dipegang oleh beberapa orang Senapati dari Pajang, yang tentu bukannya sekedar seperti daun kuning yang berguguran dari ranting-rantingnya. Kehadiran pasukan Pajang di daerah ini tentu masih mempunyai jalur hubungan dengan para senapati yang ada di istana. Pasukan itu berjalan maju perlahan-lahan. Mereka menyusuri bekas yang dapat mereka ketemukan dengan jelas. Seakan-akan orang-orang yang meninggalkan padepokannya itu sama sekali tidak menjadi cemas atas jejak yang mereka tinggalkan.

Dalam pada itu, masih agak jauh dari pasukan yang bergerak maju itu, Putut Nantang Pati dan Daksina sedang mengatur sebuah pertahanan yang kuat untuk menghentikan pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh yang tentu akan segera datang.
“Kita akan menghadapinya dengan perlawanan terbuka,” berkata Putut Nantang Pati,
”kita tidak usah membuat jebakan-jebakan seperti yang pernah kita lakukan. Di sini kita akan menghancurkan mereka. Hancur lumat.”
Daksina menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
”Kau terlampau percaya kepada kemampuan diri sendiri tanpa memperhitungkan kemampuan lawan.”
Putut Nantang Pati tersenyum. Katanya,
”Kau harus menyadari kemampuan kita di sini. Kau melihat sendiri, bahwa dengan permainan api yang kecil itu, pasukan Mataram dan Menoreh sudah menjadi bingung. Apalagi apabila Panembahan Agung sendiri yang melepaskan ilmu itu. Pasukan Mataram dan Menoreh akan kehilangan keseimbangan.”
“Ya. Menghadapi pasukan yang besar itu, apakah kira-kira yang akan dilakukan oleh Panembahan Agung?”
”O, tentu ada seribu cara dapat dilakukannya. Panembahan Agung dapat membuat seakan-akan hutan di sekitar tempat ini terbakar. Atau seakan-akan langit dipenuhi burung garuda yang menyambar-nyambar.”
“Tetapi bukankah bentuk-bentuk semu itu tidak dapat berbuat apa-apa? Maksudku, seandainya di langit ada beratus-ratus atau bahkan beribu-ribu burung garuda sebesar kerbau sekalipun, namun burung-burung semu itu tentu tidak akan dapat menyentuh pasukan Menoreh dan Mataram.”
“Tidak. Tetapi sementara mereka kebingungan karena bentuk semu itu, kita akan dapat menghancurkan sebagian dari mereka. Jika kemudian bentuk-bentuk itu hilang, maka pasukan mereka tinggal tidak lebih dari separo. Apalagi jika hadir bentuk-bentuk yang lain, seekor Naga bertanduk dan bertaring, atau berkepala lima dan menyemburkan api dari mulutnya.”
Daksina menarik nafas dalam-dalam. Bentuk-bentuk itu memang mengerikan. Tetapi apakah pasukan Mataram dan Menoreh dapat dikelabuhinya dengan mudah? Tetapi agaknya Putut Nantang Pati memang yakin, bahwa pasukannya akan dapat menghancurkan pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh betapapun kuatnya. Dengan bentuk-bentuk semu kedua pasukan itu akan kehilangan pemusatan arah perlawanan sehingga dengan mudah pasukan Putut Nantang Pati akan dapat membinasakan sebagian besar dari mereka. Tetapi agaknya Daksina lebih mementingkan kepada pertahanannya. Pasukan yang berada di dalam garis pertahanan itu mendapatkan petunjuk-petunjuk bagaimana mereka harus menghentikan gerak pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh yang kuat.
“Mereka adalah pengawal-pengawal yang memiliki nilai tempur seperti prajurit-prajurit Pajang,” berkata Daksina,
”karena itu, jangan lengah. Kita bukannya tidak percaya, bahwa Panembahan Agung akan mampu menciptakan bentuk-bentuk semu, tetapi kita pun harus memperhitungkan kemungkinan yang ada pada pasukan lawan. Aku kira tidak ada di antara mereka yang mampu melawan ilmu Panembahan Agung. Tetapi mungkin ada di antara mereka yang menyadari, bahwa mereka tidak boleh dibingungkan oleh bentuk-bentuk semu itu sehingga mereka sama sekali mengabaikan penglihatan mereka yang tidak wajar itu.”

Anak buahnya mengangguk-anggukkan kepala. Mereka, terutama prajurit-prajurit Pajang memang tidak meletakkan kekuatan mereka kepada ilmu yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Tetapi mereka harus menyandarkan perlawanan mereka kepada kemampuan diri sendiri. Meskipun demikian, ada juga semacam harapan, bahwa mereka tidak perlu memeras segenap tenaga dan kemampuan mereka, jika benar ilmu Panembahan Agung dapat mempengaruhi lawan.
“Daksina,” berkata Putut Nantang Pati yang mengetahui bahwa Daksina masih meragukan kelebihan ilmu Panembahan Agung,
”mungkin orang-orang Mataram dan Menoreh tidak menghiraukan sama sekali burung-burung garuda di langit, ular naga sebesar pohon nyamplung di sebelah itu, atau bentuk-bentuk yang lain karena mereka sadar, bahwa bentuk-bentuk itu adalah bentuk-bentuk semu, tetapi mereka tidak akan dapat membedakan bentuk semu yang berupa lembah dan pegunungan. Kayu-kayu besar yang roboh dan angin pusaran di lereng pegunungan. Mereka tentu akan bingung melihat pasukan kita terbang di atas jurang yang dalam, karena jurang itu sebenarnya tidak pernah ada.”
Daksina mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia memang berdiri di persimpangan. Ia sudah melihat sendiri, bentuk semu yang dibuat oleh Putut Nantang Pati meskipun menurut pengakuannya sama sekali belum sempurna. Namun demikian, ia adalah senapati prajurit, yang memperhitungkan kekuatan di peperangan dengan jumlah ujung senjata dan kemampuan setiap pribadi di dalam pasukannya. Namun sebenarnyalah dengan demikian pertahanan yang disusun oleh Putut Nantang Pati dan Daksina adalah pertahanan yang sangat kuat, justru karena Daksina tidak menumpukan kekuatannya kepada ilmu ajaib yang dimiliki oleh Panembahan Agung. Jika ternyata kemudian Penembahan Agung juga berhasil membingungkan pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh, maka kedua pasukan itu benar-benar akan diancam kepunahan. Dalam pada itu, di hadapan garis pertahanan itu pasukan Mataram yang tidak sempat mengetahui kekuatan lawan, bersama pasukan Tanah Perdikan Menoreh bergerak maju. Mereka sama sekali tidak menduga, bahwa di hadapan mereka terbentang sebuah pertahanan yang kuat dari tebing sampai ke tebing. Bukan saja pertahanan yang dilambari dengan kemampuan tempur pasukan yang telah menggemparkan Mataram itu, tetapi juga dibayangi oleh ilmu yang belum pernah ditemui di medan yang mana pun. Yang berjalan di paling depan, adalah para pengawas yang perhatiannya lebih banyak ditujukan kepada jejak orang-orang yang mereka cari daripada sebuah pertahanan yang bagaikan benteng baja. Mereka sibuk menundukkan kepalanya, mengungkit ranting-ranting patah dan dedaunan yang tumelung di atas jalur jalan yang mereka tempuh, sehingga dengan demikian mereka tidak mengetahui, bahwa jarak pertahanan di hadapan mereka semakin lama menjadi semakin pendek. Sementara pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh merayap semakin dekat, maka Daksina dan Putut Nantang Pati menjadi berdebar-debar ketika ia dipanggil menghadap di padepokan di belakang pertahanan mereka.
“Apakah yang penting? Jika tiba-tiba saja pasukan Mataram dan Menoreh melanda pasukan kita, maka pertahanan ini akan menjadi hancur. Aku di sini justru sedang menunggu kehadiran Panembahan Agung, jika setiap saat lawan kita itu datang,” jawab Daksina.
“Kenapa kau bertanya?” bertanya utusan itu.
”Panembahan Agung memiliki perhitungan yang sempurna. Apakah kau merasa bahwa perhitunganmu lebih matang?”
“O,” Daksina menjadi tergagap karenanya,
”bukan maksudku. Tetapi aku mendasarkan pada perhitungan keprajuritan.”
“Jangan membantah lagi,” berkata Putut Nantang Pati pula,
”marilah, kita menghadap.”
Keduanya pun kemudian dengan tergesa-gesa pergi ke padepokan. Daksina tampak menjadi sangat gelisah. Ia tidak biasa meninggalkan pasukannya di saat yang paling genting meskipun sudah diserahkannya kepada orang yang dipercayainya.

Daksina hampir tidak sabar ketika ia harus duduk di serambi depan menunggu kehadiran Panembahan Agung. Keringatnya mengalir membasahi kening dan punggung. Ketika pintu terbuka, maka yang hadir sama sekali bukan Panembahan Agung, tetapi Panembahan Alit, yang juga menyebut dirinya Panembahan Tidak Bernama.
“O,” desis Daksina yang mulai menjadi jengkel,
”apakah kami sudah diperbolehkan menghadap Panembahan Agung yang memanggil kami?”
Panembahan Alit memandanginya sejenak. Kemudian ia pun duduk pula di antara mereka sambil berkata,
”Aku tidak tahu, kapan kalian diperbolehkan menghadap. Tetapi justru aku mendapat perintah untuk berada bersama kalian di sini.”
“Tetapi pasukan lawan tentu sudah menjadi semakin dekat. Naluri keprajuritanku sudah memperingatkan agar aku siap menunggu mereka di dalam pasukan yang harus bersiaga sepenuhnya.”
“Ah kau,” Putut Nantang Pati tersenyum,
”percayalah. Panembahan Agung mengetahui apa yang sedang kita hadapi. Pasukan itu tentu terhalang oleh orang-orang kita yang bertugas memperlambat dan mengganggu pasukan mereka. Bukan saja agar mereka tidak dapat maju dengan pesat. Tetapi mereka akan menjadi marah sehingga mereka lebih banyak mempergunakan perasaannya daripada perhitungan nalarnya. Karena itu, mereka tentu masih berada di jarak yang jauh.”
Daksina menarik nafas dalam-dalam. Dan Panembahan Alit itu pun berkata,
”Jangan gelisah. Percayalah.”
Daksina tidak menyahut lagi. Tetapi rasa-rasanya hatinya selalu melonjak-lonjak di dalam dadanya. Sebagai seorang senapati, ia merasa wajib berada di gelanggang di saat pertempuran mulai berkobar. Tetapi agaknya Putut Nantang Pati sama sekali tidak merasa gelisah. Ia menyandarkan semua pertimbangan di saat itu kepada Panembahan Agung, meskipun biasanya ia adalah seorang pemimpin yang baik di peperangan. Baru sejenak kemudian maka seseorang telah keluar lagi dari ruang dalam dan berkata,
”Panembahan Alit diharap menghadap lebih dahulu.”
“Hanya Panembahan Alit?” desak Daksina.
“Ya.”
Panembahan Alit itu pun berdiri sambil menepuk bahu Daksina,
”Sabarlah. Tidak akan ada apa-apa yang terjadi.”
Daksina menarik nafas dalam-dalam. Sejenak kemudian, maka Panembahan Alit itu pun hilang di balik pintu.
“Kita masih harus menunggu?” bertanya Daksina yang kehilangan kesabaran.
“Semakin kau mendesak, maka kau akan merasa semakin lama menunggu di sini. Jangan hiraukan, agar kau tidak terlampau gelisah.”
Daksina hanya menarik nafas saja dalam-dalam. Sesaat kemudian pintu itu pun terbuka lagi. Yang tampak keluar lewat pintu itu adalah Panembahan Alit. Sambil membawa sebatang tongkat ia berkata,
”Daksina dan Putut Nantang Pati. Ternyata aku menerima tongkat kekuasaan tertinggi di padepokan ini. Karena itu. maka akulah yang akan menjadi senapati besar di dalam pertempuran yang akan segera terjadi. Menurut pengamatan Panembahan Agung, pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh yang datang ke padepokan ini cukup besar, sehingga kita di sini harus berjuang sebaik-baiknya melawan mereka. Panembahan Agung sendiri akan hadir di medan dan dengan kuasanya akan berusaha untuk memperlemah daya tempur pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh.”
Putut Nantang Pati mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata,
”Jika memang itu yang diperintahkan. Aku percaya bahwa Panembahan Alit akan dapat melakukan tugas itu sebaik-baiknya.”
Tetapi Daksina berkata,
”Jadi, apakah kami sudah dapat menghadap Panembahan Agung?”
“Kalian tidak perlu menghadap. Perintahnya sudah jelas. Dan tongkat kekuasaan ini merupakan bukti perintah yang sudah diucapkan itu.”
“Jadi buat apa aku harus datang kemari?” bertanya Daksina.
“Itu adalah kehendak Panembahan Agung. Kenapa kau tampak kecewa?”
“Tentu. Sebaiknya aku berada di antara pasukanku jika aku di sini hanya sekedar duduk menunggu dan tidak ada kepentingan apa pun juga.”
“Kau tidak dapat membantah perintahnya.”
“Aku bukan anak buahnya. Tetapi aku adalah seorang senapati yang dikirim oleh Kakang Tumenggung untuk memimpin pasukan Pajang yang ada di sini.”
“Di sini kau berada di bawah perintah Panembahan Agung yang kali ini dilimpahkan kepadaku,” berkata Panembahan Alit,
”jangan membuat keributan di saat pasukan lawan sudah berada di depan hidung.”
Daksina menggeretakkan giginya. Katanya,
”Hanya karena kesadaran itu aku melalaikannya. Tetapi jika kau mengecilkan arti Daksina di sini, berarti kau mengecilkan arti Kakang Tumenggung dan Kakang Panji di Pajang. Jangan kau sangka bahwa keduanya dapat kalian perintah seperti memerintah anak-anak yang paling dungu seperti ini. Namun sekali lagi aku katakan, bahwa aku hanya sekedar mengingat bahwa musuh kini sudah berada di hadapan hidungku.”
“Jangan bersikap begitu kasar. Agaknya sikapmu tidak akan menguntungkan sama sekali.”
“Tetapi bukan berarti bahwa kalian dapat menghinakan dan memerintah aku seperti seorang budak.”

Panembahan Alit mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih tetap menyadari, bahwa untuk menghadapi Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh, mereka memerlukan paduan kekuatan yang ada, dan karena itulah maka ia masih tetap menahan diri. Namun dalam pada itu, mereka bertiga terkejut ketika tiba-tiba saja mereka mendengar seekor kuda meringkik. Kemudian dari pintu itu pun muncul seekor kuda yang tegar meloncat ke halaman. Sekali kuda itu melonjak, namun kemudian berlari kencang sekali seperti angin, sedang di atasnya duduk seorang anak kecil berambut putih. Tetapi ketika kuda itu kemudian hilang di balik pepohonan, Panembahan Alit dan Putut Nantang Pati justru tersenyum karenanya, sedang Daksina masih saja termangu-mangu.
“Siapa anak itu?” bertanya Daksina.
”Aku belum pernah melihatnya. Bahkan bentuknya agak aneh. Wujudnya kecil, tetapi rambutnya sudah memutih,”
Panembahan Alit tertawa. Katanya,
”Itu adalah salah seorang prajurit Panembahan Agung. Kau tentu belum pernah melihatnya. Aku juga belum.”
Daksina menjadi semakin tidak mengerti. Apalagi ketika Panembahan Alit bertanya,
”Apakah menurut pengenalanmu, rambutnya memang sudah putih?”
“Ya.”
“Matanya lebar?”
Daksina mengingat-ingat sejenak, lalu, ”Ya.”
“Hidungnya?”
Daksina agak bingung. Dan Panembahan itu berkata,
”Mungkin kita menangkap suatu perbedaan kecil pada bagian-bagiannya. Tetapi tentu tidak pada keseluruhannya.”
“Aku tidak mengerti.”
“Itulah yang dimaksud dengan ilmu Panembahan Agung. Semula aku juga terkejut karena tiba-tiba saja aku mendengar derap kuda itu. Tetapi lihatlah, pintu itu hanya terbuka sedikit. Apakah menurut dugaanmu, kuda yang setegar itu benar-benar dapat meloncat keluar dari pintu yang tidak terbuka seluruhnya itu? Dan apalagi pintu itu adalah pintu yang rendah.”
Daksina memandang pintu itu sesaat. Kemudaan dipandanginya arah kuda itu hilang di balik gerumbul-gerumbul.
Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata,
”Inikah yang dimaksud dengan bentuk-bentuk semu itu?”
Putut Nantang Pati pun tertawa sambil berkata,
”Ya itulah. Jangan bingung. Kau harus meyakinkan pasukanmu, bahwa mereka tidak usah menghiraukan jika di dalam peperangan nanti ada bentuk-bentuk semu yang kadang-kadang mengerikan, karena sebenarnya mereka tidak berpengaruh secara langsung. Di dalam keadaan yang memungkinkan itulah, kita menghancurkan lawan, selagi orang-orang Mataram dan Menoreh kebingungan. Tetapi jika kita sendiri bingung, maka kita tidak akan dapat berbuat apa-apa.”
Daksina termangu-mangu sejenak. Dadanya menjadi berdebar-debar. Apa yang dikatakan dengan bentuk semu itu memang aneh sekali baginya. Kuda itu adalah kuda yang sangat bagus. Dan anak yang ada di punggungnya itu adalah anak yang aneh sekali.
“Nah, marilah,” berkata Panembahan Alit,
”kita harus segera berada di garis pertahanan. Pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh itu memang sudah mendekati daerah ini. Mereka telah melampaui gangguan-gangguan kecil di perjalanan mereka menuju ke pertahanan ini. Tetapi sudah pasti, bahwa mereka tidak tahu, bahwa kita sudah menunggu mereka dan siap menghancurkan mereka dengan cara yang paling menarik.”
Daksina mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba saja ia bertanya,
”Jadi, pasukan Mataram dan Tanah Perdikan penoreh itu akan dicengkam oleh bentuk-bentuk semu seperti itu? Dan kita akan menyerang mereka selagi mereka kebingungan?”
“Ya. Jika datang saatnya mereka menyadari bahwa yang mereka hadapi sekedar bentuk-bentuk semu, maka jumlah mereka sudah jauh berkurang.”
“Mengerikan,” desis Daksina tiba-tiba.
“Kenapa?”
“Aku tidak biasa berbuat seperti itu di peperangan. Ada semacam ketidak-adilan dengan cara itu. Kita akan membunuh orang-orang yang sedang kebingungan dan tidak tahu apa yang dikerjakan. Itu bukan sikap jantan.”
Tetapi Panembahan Alit dan Putut Nantang Pati tertawa bersama-sama. Di sela-sela suara tertawanya Panembahan Alit berkata,
”Jangan menyalahkan diri sendiri. Di dalam perang semua ilmu dapat dipergunakan. Itulah kelebihan kita dari mereka. Dan bukannya suatu kecurangan bahwa kita memiliki kelebihan. Baik yang berupa senjata, jumlah orang dan juga ilmu yang dapat mereka anggap ajaib.”
“Aku mengerti. Tetapi perasaanku agak kurang mapan.”
“He, Daksina,” berkata Panembahan Alit,
”barangkali kau pernah mendengar ceritera tentang usaha penyerbuan Adipati Unus ke seberang lautan melawan orang-orang berkulit putih. Nah, apakah juga dapat disebut tidak adil, bahwa orang-orang berkulit putih itu bersenjatakan petir?
“Petir?”
“Tentu bukan petir di langit. Tetapi mereka mempunyai senjata yang dapat meledak dan menghancurkan lawan dari jarak yang jauh. Apakah itu juga tidak adil jika lawan mereka hanya sekedar bersenjata tombak dan pedang seperti kita sekarang ini?”

Daksina tidak menyahut. Pertanyaan itu memang tidak dapat dijawabnya. Tetapi di dalam relung hatinya yang paling dalam ia merasakan perbedaan dari kedua persoalan itu.
”Sudahlah,” berkata Panembahan Alit,
”mumpung masih ada waktu. Marilah kita pergi. Pada saatnya Panembahan Agung akan menyusul kita dan akan menyusun pertahanan yang sempurna. Tetapi sekali lagi aku ingatkan bahwa pasukanmu harus kau beritahu dengan segera, bahwa jangan terpengaruh oleh bentuk-bentuk semu yang akan dijumpainya di peperangan. Kau sudah melihat sendiri contoh dari bentuk itu.”
Seperti tanpa disadari, Daksina pun melangkah sambil menganggukkan kepalanya di sisi Panembahan Alit dan Putut Nantang Pati. Tetapi tiba-tiba langkah mereka tertegun. Tiba-tiba saja Daksina merasa sebuah gempa telah mengguncang daerah itu dan tanah di hadapannya bagaikan runtuh ke dalam jurang yang dalam. Namun ia segera menguasai diri dan mengerti, bahwa yang terjadi hanyalah sekedar guncangan pada inderanya sendiri. Karena itu, maka sambil menarik nafas Daksina berpaling. Tetapi ia tidak melihat Panembahan Agung, yang dilihatnya hanyalah beberapa orang pengawal yang berdiri di sebelah rumah yang baru saja ditinggalkannya.
“Marilah,” ajak Panembahan Alit.
Daksina termangu-mangu. Ia melihat sebuah jurang yang menganga di hadapannya. Meskipun tidak begitu lebar, tetapi jurang itu sangat dalam.
“Marilah,” desak Putut Nantang Pati pula. Daksina masih berdiri di tempatnya. Ia menjadi ragu-ragu untuk melangkah, karena seakan-akan ia melihat sebuah jurang yang terbentang di hadapannya. Tetapi agaknya Panembahan Alit tidak menghiraukannya sama sekali. Meskipun jurang itu sangat dalam, namun Panembahan Alit berjalan terus tanpa menghiraukannya. Hampir saja Daksina berteriak memanggilnya ketika Panembahan Alit yang sudah berdiri di bibir jurang itu masih melangkahkan kakinya, justru ke atas jurang itu. Tetapi ternyata Panembahan Alit sama sekali tidak terlempar turun ke dalam jurang itu. Bahkan seakan-akan Panembahan Alit itu berjalan di udara di atas jurang yang menganga mengerikan.
“Panembahan,” Daksina berdesis.
“Marilah. Kau pun dapat melakukannya.”
Di sinilah Daksina berdiri di simpang jalan antara nalar dan penglihatannya. Penglihatannya yang terganggu di jalur syarafnya, seakan-akan melihat sebuah jurang yang terbuka. Sedang nalarnya tahu pasti, bahwa tidak ada apa-apa di hadapan kakinya saat itu, sehingga jika ia melangkah terus, maka ia akan dapat seakan-akan berjalan di udara seperti Panembahan Alit.
“Kau ternyata ragu-ragu,” berkata Panembahan Alit,
”agaknya akan demikian pula orang-orang Mataram itu. Mereka akan ragu-ragu seperti kau meskipun seandainya mereka tahu bahwa yang dihadapi adalah sekedar bentuk-bentuk semu.”
Daksina menganggukkan kepalanya. Katanya,
”Ya. Agaknya bentuk-bentuk semacam ini memang akan dapat mengganggu.”
“Nah, yakinilah. Sehingga dengan demikian kita akan dapat menghancurkan orang-orang Mataram dan Menoreh itu dengan mudah.”
Daksina tidak menjawab. Dan ketika ia mendengar Putut Nantang Pati pun kemudian mengajaknya, maka dengan ragu-ragu ia melangkahkan kakinya. Seperti orang buta ia meletakkan kakinya di atas jurang itu ketika ia sudah berdiri tepat di bibirnya.
Tetapi ternyata kakinya mendapat sentuhan pula, meskipun seakan-akan ia berjalan di atas jurang.

Daksina menarik nafas panjang. Dan tiba-tiba saja sekali lagi ia terkejut. Ketika ia berdiri di atas jurang itu, maka tiba-tiba tanah bagaikan terkatub seperti sediakala.
“Kau sudah melihat dan merasakan sendiri, betapa kau dicengkam oleh keragu-raguan. Katakanlah kepada prajurit-prajuritmu agar mereka, tidak usah ragu-ragu jika mereka menghadapi persoalan semacam ini. Mereka harus yakin bahwa mereka akan dapat mempergunakan kesempatan serupa ini justru untuk menghancurkan lawan yang sedang dikuasai oleh kebimbangan dan keragu-raguan.”
Daksina menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab.
“Nah, marilah. Agaknya musuh yang datang itu sudah menjadi semakin dekat. Kita masih harus mempersiapkan segala sesuatunya untuk melawan mereka.”
Daksina masih tetap berdiam diri. Tetapi ia melangkah semakin cepat, agar ia segera sampai kepada anak buahnya. Seperti pesan Panembahan Alit, maka Daksina pun segera memberitahukan kepada para prajurit Pajang yang masih belum pernah mengalami peristiwa-peristiwa yang aneh itu. Namun agaknya satu dua orang di antara mereka sudah pernah mendengar bahwa ada semacam ilmu yang dapat menciptakan bentuk-bentuk yang sebenarnya hanya semu.
Ternyata bahwa kesempatan yang dapat dipergunakan hanya sedikit sekali. Namun demikian, Daksina berhasil menyebarkan pengertian itu kepada setiap telinga orang-orang yang ada di bawah perintahnya. Panembahan Alit yang mendapat kuwajiban untuk memimpin seluruh pasukan itu pun segera mengatur pasukannya. Meskipun Panembahan Agung akan datang dengan ilmunya yang ajaib, tetapi ternyata Daksina harus mengakui, bahwa Panembahan Alit pun mengerti tentang olah keprajuritan. Dengan teliti Panembahan Alit memberikan perintah kepada para senapati, termasuk Daksina dan Putut Nantang Pati yang akan menjadi senapati pengapitnya.
“Jika orang-orang Mataram dan Menoreh berhasil menyingkirkan keragu-raguan mereka tentang bentuk-bentuk semu yang diciptakan oleh Panembahan Agung, maka kalian harus bertempur dengan wajar. Namun demikian, kalian harus yakin, bahwa kalian lebih menguasai medan dari mereka. Karena itu, sebagian di ujung kanan dan kiri, sebaiknya naik memanjat tebing di sebelah-menyebelah. Mereka nanti akan menyerang pasukan Mataram dan Menoreh dari lambung. Apalagi apabila mereka sedang terpengaruh oleh bentuk-bentuk semu yang akan diciptakan pada saat pasukan itu memasuki medan yang sudah kita tandai ini.”
Para senapati bawahannya mengangguk-anggukkan kepala termasuk kedua Senapati pengapitnya, Daksina dan Putut Nantang Pati.
“Sebentar lagi Panembahan Agung akan datang. Ia tahu pasti, kapan ia harus mendekati garis pertempuran, karena ia tahu pasti, sampai di mana pasukan Mataram dan Menoreh itu mendekat,” berkata Panembahan Alit kemudian.
Dalam pada itu, pasukan Mataram dan Menoreh benar-benar telah menjadi semakin dekat. Tetapi mereka sama sekali tidak menduga bahwa mereka menjadi semakin dekat dengan pertahanan lawan.
Meskipun demikian pasukan Mataram dan Menoreh tidak kehilangan kewaspadaan. Mereka masih tetap mengikuti jejak yang sengaja dibiarkan saja oleh orang-orang yang sedang dicarinya. Namun justru jejak itu menuju ke pertahanan yang kuat yang telah disusun oleh Panembahan Alit yang kadang-kadang juga menyebut dirinya Panembahan Tidak Bernama.

Tiga orang pengawas yang mendahului pasukan Mataram dan Menoreh itu pun berusaha untuk mengenali daerah yang akan dilalui oleh pasukannya. Dengan teliti mereka mengamati setiap batang pohon dan gerumbul-gerumbul. Namun mereka pun menjadi curiga, bahwa daerah yang semakin jauh dari padepokan yang mereka sangka adalah padepokan Panembahan Agung itu tidak justru menjadi semakin liar, tetapi pategalan dan sawah-sawah menjadi semakin teratur dan subur.
“Aku tidak mengerti, apakah daerah padepokan yang tersembunyi di antara pebukitan ini memang membujur sampai ujung lembah,” desis salah seorang dari mereka.
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pun menjadi heran melihat daerah yang justru menjadi semakin teratur. Jalur-jalur jalan yang semakin jelas dan bersih, sehingga mereka menduga bahwa jalan itu adalah jalan yang masih selalu dipergunakan.
“Agaknya jalur jalan ini adalah salah satu jalur jalan keluar dari lembah terkurung ini. Bukankah kita pernah melihat jalan di lereng bukit di seberang puncak itu.”
“Ya, Dan itu wajar sekali. Mereka tentu mempunyai jalan untuk menghubungkan diri dengan daerah di luar daerah ini. Mereka tentu memerlukan kebutuhan-kebutuhan yang tidak mereka dapatkan di sini. Misalnya garam.”
“Ya,” tetapi sambil mengangguk-anggukkan kepadanya ia berkata,
”aku menduga bahwa di hadapan kita masih ada padepokan yang lain, yang mungkin lebih besar dari yang baru saja kita temukan.”
”Ya. Dan sebaiknya kita segera melaporkannya. Siapa tahu bahwa justru di hadapan kita itulah padepokan yang sebenarnya.”
Para pengawas itu termangu-mangu sejenak. Namun mereka merasa wajib untuk segera melaporkan kepada pimpinan mereka.
“Pergilah,” berkata yang tertua kepada salah seorang dari mereka bertiga,
”kami akan tetap di sini. Kami akan mengawasi keadaan.”
Salah seorang dari mereka pun segera merayap kembali ke induk pasukan untuk melaporkan apa yang dilihatnya.
“Memang menarik perhatian,” berkata Kiai Gringsing.
“Dua padepokan yang terletak di lembah yang sama meskipun jaraknya agak jauh,” desis Raden Sutawijaya.
“Mungkin sekali,” sahut Ki Demang di Sangkal Putung,
”seperti sebuah kademangan, kadang-kadang terdiri dari lima bahkan sampai sepuluh padukuhan.”
Raden Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi yang kemudian menjadi teka-teki, yang manakah padepokan induk dari seluruh padepokan di lembah ini. Jika benar Panembahan Agung ada di padepokan ini atau panembahan yang mana pun juga, maka ia tentu akan berada di induk padepokan.
“Apakah benar Panembahan Tak Bernama yang pernah berada di Alas Tambak Baya itu ada di sini? Dan apakah masih ada panembahan yang lain atau orang-orang sakti yang lain yang berada di lembah ini?” bertanya Agung Sedayu di dalam hatinya karena baginya padepokan ini benar-benar masih suatu teka-teki.
Ternyata bahwa orang-orang yang lain pun menyimpan pertanyaan yang serupa. Swandaru, Ki Demang Sangkal Putung, Ki Argapati, Pandan Wangi, Prastawa, dan yang lain lagi.

Namun dengan demikian maka mereka merasa bahwa mereka harus lebih berhati-hati lagi menghadapi lawan yang kurang mereka kenal.
“Kita harus bergerak dalam gelar yang sesuai dengan keadaan lembah ini,” berkata Sutawijaya.
“Ya. Kita akan maju dalam kesiagaan,” desis Prastawa.
”Sebelum kita berada di mulut lembah yang menghadap ke daerah yang terbuka, kita masih mungkin diterkam oleh jebakan yang tidak kita ketahui.”
“Kita tidak dapat memasang gelar Cakra Byuha yang sempurna. Tetapi kita dapat mempergunakan,” berkata Ki Argapati.
Ternyata Raden Sutawijaya sependapat, sehingga sejenak kemudian mereka pun segera membentuk sebuah gelar Cakra Byuha yang kurang sempurna, karena mereka tidak dapat berdiri dalam suatu lingkaran bergerigi.
“Cakra yang terbentuk adalah cakra yang bulat panjang,” desis Agung Sedayu ditelinga Swandaru.
Swandaru tidak menjawab, karena ia pun harus segera memisahkan diri dan berada di ujung gerigi di lambung pasukannya. Para pemimpin, baik dari Mataram maupun dari Tanah Perdikan Menoreh telah terbagi dalam kelompok-kelompok kecil yang berada di sebuah lingkaran, bagaikan gerigi-gerigi yang tajam yang akan memotong kekuatan lawan. Yang berada di paling depan adalah Raden Sutawijaya. sedang di sampingnya sebelah-menyebelah adalah Kiai Gringsing dan Ki Argapati yang dibayangi oleh Pandan Wangi, karena di dalam keadaan yang gawat, apabila kaki ayahnya itu kambuh, Pandan Wangi merasa bertanggung jawab untuk membantunya. Kemudian di lambung kanan adalah Prastawa, Agung Sedayu, Swandaru dan di lambung kiri adalah para pemimpin dari Mataram, termasuk Ki Lurah Branjangan. Di bagian belakang dari gelar itu pun harus mendapat perhatian, jika terpaksa lingkaran itu bergerak dalam putaran, maka bagian belakang akan mengalami perlawanan yang berat, sehingga karena itu, maka Ki Demang-lah yang kemudian berada di gerigi belakang itu.
Perlahan-lahan gelar perang yang tidak sempurna itu berderap maju. Meskipun jumlahnya tidak sebanyak pasukan Jipang yang menyeberangi Kali Sore, pada saat berkecamuknya perang saudara yang mengerikan itu, namun pasukan dari Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh itu pun merupakan kekuatan yang cukup untuk menghadapi sebuah pertahanan yang mempunyai kekuatan yang sebenarnya masih kabur bagi para pemimpin pasukan yang bergerak maju itu.
Dengan hati-hati pengawas yang melaporkan pengamatannya tentang daerah di hadapan mereka itu membawa Sutawijaya dengan pasukannya yang sudah berjalan dalam gelar, menuju ketempat kedua kawan-kawannya menunggu. Tetapi ketika mereka sampai ke tempat itu, mereka tidak menemukan seorang pun dari keduanya.
“Keduanya ada di sini,” berkata pengawas itu.
“Mungkin ada yang menarik perhatiannya. Mereka tentu sudah bergerak maju.”
“Kita sudah berada dekat di muka padepokan itu.”
“Ya,” sahut Raden Sutawijaya,
”kita memang sudah berada dekat dengan padepokan yang satu lagi. Kita tidak tahu, apakah padepokan ini juga kosong seperti padepokan yang baru saja kita lewati.”
“Jadi, apakah kita akan maju terus?”
“Kita tunggu sejenak. Mungkin kedua pengawas itu dapat memberikan penjelasan.”

Sutawijaya pun memberikan isyarat yang diteruskan oleh para pemimpin dari kedua pasukan yang sedang bergerak itu, sehingga dengan demikian kedua pasukan itu berhenti sejenak. Tetapi karena kedua pengawas itu tidak juga datang kembali ke induk pasukan, maka mereka pun kemudian berangkat lagi. Meskipun demikian, Sutawijaya telah mengirimkan dua orang dari Mataram dan dua orang dari Menoreh untuk mendahului. Beberapa saat kemudian, maka keempat orang yang berada di depan pasukan itu terkejut. Ternyata mereka menemukan kawan-kawan mereka yang dua orang terkapar pingsan di antara gerumbul-gerumbul perdu.
“Jangan sentuh,” yang tertua di antara mereka berempat itu pun memperingatkan kawan-kawannya.
“Kita laporkan kepada Raden Sutawijaya.”
“Sebentar lagi mereka akan datang.”
Sebenarnyalah maka pasukan itu pun segera sampai pula ke tempat itu. Seperti para pengawas yang berjalan mendahului, maka para pemimpin dari pasukan itu pun menjadi heran melihat kedua pengawas yang terdahulu itu. Kiai Gringsing lah yang kemudian mendekatinya. Dengan ketajaman inderanya ia mengetahui, bahwa orang-orang itu sama sekali tidak tersentuh racun. Karena itu, maka ia pun segera merabanya dan mencoba mencari sebab, kenapa kedua orang itu menjadi pingsan.
“Tidak ada tanda-tanda bahwa orang itu terluka baik di luar maupun di dalam,” berkata Kiai Gringsing.
Beberapa orang yang mengerumuninya menjadi heran. Memang tidak ada bekas apa pun pada tubuhnya yang dapat dijadikan pertanda, sebab-sebab kenapa ia pingsan. Sutawijaya yang berdiri termangu-mangu itu pun memandang berkeliling. Barangkali ia menemukan sesuatu yang mencurigakan. Tetapi ia tidak melihat apa pun juga, apalagi melihat seseorang.
“Apakah orang-orang itu telah dicekik?” tiba-tiba saja Pandan Wangi bertanya.
Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya. Jawabnya,
”Tidak. Tidak ada bekas-bekas jari di lehernya.”
Dalam pada itu, Ki Argapati yang mengamati keadaan di sekelilingnya berkata,
”Agaknya ada bekas perkelahian di tempat ini.”
Kiai Gringsing yang melihat juga tanda-tanda itu mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata,
”Ya. Agaknya memang ada bekas perkelahian. Tetapi setelah ada perkelahian, apakah yang kemudian menyebabkan kedua orang ini pingsan.”
Tidak seorang pun yang menjawab, sedang Kiai Gringsing pun kemudian berusaha untuk membuat kedua orang itu sadar. Perlahan-lahan kedua orang itu mulai membuka matanya. Namun dengan wajah yang pucat dan ketakutan meresa segera menutup matanya kembali.
“Tidak, tidak.”
“Sst,” desis Kiai Gringsing,
”aku, Kiai Gringsing dan di sini ada pula Raden Sutawijaya.”
Perlahan-lahan orang itu sekali lagi membuka matanya meskipun mula-mula agak kabur, namun mereka pun melihat bahwa yang ada di sekitarnya adalah kawan-kawannya sendiri. Sambil menarik nafas dalam-dalam, salah seorang dari mereka berusaha bangkit. Setelah duduk di rerumputan, maka ia pun mengusap matanya beberapa kali. Diedarkannya pandangan matanya menyapu dedaunan di sekitarnya.
“Kenapa kau berdua pingsan?” bertanya Kiai Gringsing.
“Tiba-tiba saja kami diserang.”
“Siapa?”
“Seseorang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan.”
“Kau berkelahi?”
“Ya. Kami berdua berkelahi melawan orang itu. Tetapi ternyata orang itu sangat tangguh. Kami berdua tidak berhasil mengalahkannya.”
“Tetapi kenapa kau pingsan tanpa luka di tubuhmu?”
“Aku kira, aku telah kehabisan nafas. Aku tidak dapat lagi menggerakkan tubuhku sama sekali. Mataku menjadi berkunang-kunang dan akhirnya aku tidak sadarkan diri.”
Yang mendengarkan ceritera itu mengerutkan keningnya. Dan dengan jantung yang berdebar-debar Kiai Gringsing bertanya,
”Apakah kau tahu namanya?”
“Orang itu memang menyebutkan namanya.”
“Siapa?”
“Namanya Tak Bernama.”
“He,” yang mendengar itu menjadi heran. Tetapi Kiai Gringsing menyahut,
”Maksudmu. Panembahan Tidak Bernama?”
“Ya. Ya. Ia menyebut namanya Panembahan Tidak Bernama.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ternyata orang itu memang ada di sini. Orang yang menyebut dirinya Panembahan Tidak Bernama. Namun kemudian tumbuh pertanyaan di dalam dirinya, apakah Panembahan Tidak Bernama itu juga yang menyebut dirinya Panembahan Agung?
Dalam pada itu Raden Sutawijaya pun bertanya,
“Kenapa orang itu tidak menangkapmu, atau berusaha membunuhmu?”
“Aku tidak tahu, Raden. Tetapi ia memang berkata, bahwa ia tidak akan membunuhku. Yang ditunggunya adalah para pemimpin dari Mataram dan Menoreh. Bahkan orang itu menyebut-nyebut orang yang bersenjata cambuk.”
Kiai Gringsing menganggukkan kepalanya. Katanya,
”Agaknya mereka sudah mengetahui bahwa kami ada di tempat ini.”
“Tentu,” sahut Sutawijaya,
”Agung Sedayu dan Swandaru bersenjata cambuk pula ketika kami berkelahi melawan pasukan Daksina di daerah terbuka di sebelah hutan itu.”
Kiai Gringsing tidak menyahut. Dipandanginya orang yang baru sadar itu sejenak, lalu perlahan-lahan ia menarik orang-orang itu untuk berdiri.
“Apakah kau sudah dapat berdiri?”
“Ya. Tetapi badanku masih terlalu lemah.”
“Baiklah. Beradalah di dalam pasukan. Gelar yang tidak sempurna ini akan bergerak terus. Dan sebelum badanmu pulih kembali, kau sebaiknya berada di dalam lingkaran bersama para tawanan yang ada pada kami dan pengawal-pengawalnya. Kau dapat membantu mereka jika diperlukan.”
Maka pasukan itu pun mulai bergerak lagi. Sutawijaya pun kemudian berpesan kepada pengawas-pengawas yang baru, agar mereka memberikan isyarat jika mereka menjumpai kesulitan atau sesuatu yang mencurigakan. Para pengawas yang kemudian berjalan mendahului pasukan itu pun menjadi semakin berhati-hati. Mereka tidak mau mengalami nasib seperti kedua kawannya yang pingsan di dalam perkelahian karena kehabisan nafas meskipun hal itu cukup menarik perhatian. Apalagi karena lawannya sama sekali tidak melukainya dan apalagi membunuh.
“Mungkin orang itu sekedar memberikan peringatan. Tetapi mungkin juga ia tergesa-gesa pergi karena pasukan ini sudah menjadi semakin dekat,” berkata pengawas itu di dalam hati.
Namun demikian, mereka sadar bahwa orang itu tentu orang yang memiliki kelebihan. Dalam pada itu, pasukan Mataram dan Menoreh itu pun sudah menjadi sangat dekat dengan pertahanan lawan yang tersembunyi, sehingga tidak mudah bagi mereka untuk melihatnya lebih dahulu. Mereka sama sekali tidak sadar, bahwa di balik batu-batu padas di lereng bukit sebelah-menyebelah, di balik dinding-dinding batu padepokan di hadapan mereka di belakang gerumbul-gerumbul di sebelah padepokan itu, pasukan lawan sudah menunggu dengan pedang terhunus. Namun lebih daripada itu, di antara mereka terdapat Panembahan Alit diapit oleh Daksina dan Putut Nantang Pati, serta agak di belakang terdapat Panembahan Agung yang duduk di serambi sebuah gardu kecil. Di sebelah-menyebelah gardu itu terdapat para pengawal yang juga tersembunyi. Dari gardu itulah Panembahan Agung akan mengawasi pertempuran yang sebentar lagi bakal terjadi.

Beberapa puluh langkah di hadapan pertahanan itu Raden Sutawijaya memimpin pasukannya mendekati dinding batu di ujung padepokan. Perlahan-lahan dan hati-hati. Namun sama sekali tidak menduga bahwa di balik dinding batu, di balik pepohonan dan batu-batu padas, lawannya sedang mengintai dan siap untuk menerkam. Dalam pada itu, tiba-tiba saja para pengawas yang mendahului pasukan Mataram itu terkejut. Tiba-tiba saja mereka melihat sebatang pohon raksasa di hadapan mereka yang berguncang. Apalagi para pengawas yang datang dari Menoreh, yang kebetulan ikut di dalam perburuan bersama Pandan Wangi dan kedua anak-anak muda Sangkal Putung.
“Tentu ular naga,” desis yang seorang,
”gerak pohon itu tepat seperti yang kita lihat di hutan itu.”
“Ya. Dan bau yang wengur ini?”
“Apa?” bertanya pengawal yang datang dari Mataram.
”Ular raksasa yang lapar. Kau lihat pepohonan yang berguncang itu. Tidak hanya satu, tetapi tiga batang.”
“Ya. Tiga batang. Jadi tentu ada tiga ekor ular raksasa lapar di hadapan kita.”
“Kita berhenti di sini,” berkata salah seorang pengawas.
“Lebih baik melawan Panembahan Tidak Bernama daripada melawan ular-ular raksasa itu. Adalah kebetulan saja Agung Sedayu dapat mengenai mata naga itu dengan tombak. Jika tidak, maka kita tentu akan disapu dengan ekornya. Demikian juga agaknya pasukan ini Jika kita tidak berhenti di sini, maka kita akan kehilangan banyak orang tanpa arti.”
“Tetapi kapan ular itu akan pergi?”
“Tentu kita tidak tahu. Biarlah Raden Sutawijaya mengambil keputusan.”
Seperti yang mereka harapkan, maka sejenak kemudian induk pasukan pun datang ketempat itu. Seperti pengawas, maka mereka pun segera melihat pepohonan besar yang bagaikan ditiup angin pusaran. Raden Sutawijaya menjadi termangu-mangu sejenak, sedang Pandan Wangi yang berada bersama ayahnya di sisi ujung tengah pasukan itu pun hampir berteriak berkata,


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar