Api Di Bukit Manoreh Seri 1 Jilid 075 Halaman 3


”Ular-ular naga.”
Sutawijaya memandang pepohonan yang bergetar itu dengan hati yang berdebar-debar. Sementara itu Agung Sedayu dan Swandaru meninggalkan kelompoknya sejenak dan mendekati gurunya yang berdiri di sebelah Sutawijaya.
“Guru,” berkata Agung Sedayu,
”ketika kami menangkap ular naga, maka yang pertama-tama kami lihat adalah getar pepohonan seperti itu.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tampaklah keragu-raguan membayang di wajahnya.
“Jika tidak dengan kebetulan aku mengenai matanya dengan tombak, aku kira kami tidak akan dapat kembali. Setidak-tidaknya salah seorang dari kami telah menjadi korban.”
“Ya,” sahut Kiai Gringsing,
”ular yang berbuat demikian adalah ular yang lapar. Dan kini ada tiga ekor ular naga yang lapar bersama-sama.”
Tidak seorang pun yang menjawab. Namun tiba-tiba salah seorang dari ke empat pengawas itu berteriak,
”Aku sudah melihat ular itu. Hampir tidak mungkin. Lebih besar yang pernah kita tangkap.”

Ternyata bahwa bukan saja para pengawas itu melihat ular raksasa yang mulai meluncur turun dari pohonan itu. Tetapi hampir setiap orang di dalam pasukan itu dengan hati yang berdebar-debar menyaksikan tiga ular yang besar sekali sedang turun dari pohon-pohon raksasa di hadapan mereka.
“Apakah kita akan bertempur melawan ular-ular naga itu?” bertanya salah seorang kepada kawan-kawannya.
Tetapi belum lagi kawannya menjawab, mereka melihat suatu peristiwa yang belum pernah mereka saksikan sepanjang hidup mereka. Ternyata ke tiga ekor ular naga yang sedang lapar itu telah saling menyerang dan berkelahi di antara mereka sendiri. Perkelahian itu benar-benar telah menarik perhatian para pengawal dari Mataram dan dari Tanah Perdikan Menoreh itu, sehingga mereka menjadi lengah dan kehilangan perhatian terhadap gelar yang mulai pecah.
“Ular itu saling menyerang,” desis Agung sedayu.
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menyahut sama sekali. Sejenak seluruh pasukan itu terpesona melihat tiga ekor ular naga raksasa yang saling membelit dan bertempur di antara mereka. Semakin lama menjadi semakin liar. Apalagi setelah darah yang merah kehitam-hitaman mulai membasahi tubuh mereka.
“Guru,” berbisik Agung Sedayu kemudian,
”ular sebesar itu tentu memiliki tenaga yang luar biasa. Pepohonan menjadi rusak dan berhamburan. Bagaimana kira-kira jika ular-ular itu menyerang pasukan ini, apalagi dalam keadaan yang marah?”
Kiai Gringsing tidak segera menjawab. Diperhatikannya ketiga ekor ular yang bertempur sendiri itu. Tetapi ternyata bahwa yang dicemaskan Agung Sedayu itu terjadi. Tiba-tiba salah seekor dari ular itu yang terlepas dari belitan perkelahian di antara mereka, mengangkat kepalanya tinggi-tinggi seakan-akan ingin melihat keadaan di sekelingnya. Perlahan-lahan ular itu mengangkat kepalanya sambil mengangakan mulutnya. Tampak taringnya yang panjang dan tajam, kemudian lidahnya yang bercabang menjulur panjang sekali. Dengan mata yang merah menyala ular itu memandang perbukitan di sekitarnya. Kemudian tiba-tiba saja mata itu menyentuh para pengawal yang dengan termangu-mangu sedang memperhatikannya. Tiba-tiba ular itu mendengus keras sekali sehingga kedua ekor yang lain terkejut. Perkelahian di antara mereka pun tiba-tiba juga berhenti. Kini ketiga ekor naga itu memperhatikan arah yang sama. Pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh. Para pengawal menjadi berdebar-debar. Sejenak mereka memperhatikan ketiga ekor ular naga itu. Jika ular itu menyerang mereka, maka mereka tidak akan banyak dapat berbuat. Seandainya mereka melemparkan semua senjata ke arah ke tiga ekor naga itu maka mereka tidak akan mampu menahan gejolak yang sangat dahsyat sebelum ketiga ekor ular itu mati. Dan separo dari pengawal di dalam pasukan itu pun akan terbunuh. Dan ternyata yang mereka cemaskan itu terjadi. Ketiga ekor ular naga yang sudah terluka itu mulai merunduk. Mereka agaknya menjadi sangat marah melihat orang-orang yang telah melihat perkelahian di antara mereka. Sesaat kemudian hampir berbareng ketiga ekor naga itu meluncur maju. Perlahan-lahan tetapi pasti, bahwa mereka akan menyerang orang-orang yang mereka anggap telah mengganggu. Tanpa disadari, maka para pengawal dari Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh itu melangkah surut. Tiga ekor ular naga yang besar bersama-sama telah menyerang mereka. Sesaat pasukan itu menjadi berdebar-debar. Apalagi mereka yang pernah melihat, bagaimana seekor ular naga yang marah menyerang lawannya, ketika mereka berburu bersama Pandan Wangi dan anak-anak Sangkal Putung itu. Prastawa menjadi gelisah. Bahkan dengan serta-merta berkata kepada pamannya,
”Paman, sebaiknya kita menghindari ular-ular naga itu. Mereka sangat buas dan barangkali tidak ada cara yang dapat kita pergunakan untuk melawan mereka bertiga.”
Ki Argapati tidak menjawab. Ia sedang memandang ketiga ekor ular naga itu dengan wajah yang tegang.
Dalam pada itu, selagi seluruh pasukan menjadi cemas. Agung Sedayu sempat melihat beberapa ekor burung yang berterbangan di udara. Sehingga karena itu ia bertanya kepada gurunya,
”Guru, apakah Guru juga melihat burung-burung di udara itu?”

Kiai Gringsing mengangkat wajahnya. Dilihatnya burung yang berterbangan di langit. Berputar-putar seakan-akan tidak ada apa pun yang terjadi di bawah sayapnya. Tiba-tiba saja Kiai Gringsing tersenyum. Katanya kepada Agung Sedayu,
”Kita sudah mulai mengalami.”
Dan berbareng dengan itu Raden Sutawijaya pun bertanya,
”Kiai, coba katakan, apakah yang kita lihat itu bukan sekedar bentuk semu? Aku tidak yakin, bahwa kita menjumpai tiga ekor ular raksasa sekaligus.”
“Tetapi mereka bertempur di antara mereka sendiri,” desis Prastawa ragu-ragu.
Dan keragu-raguan telah melanda seluruh pasukan. Namun dalam pada itu Kiai Gringsing berkata,
”Kita tidak berhadapan dengan tiga ekor ular naga yang sebenarnya. Jika ada seekor ular saja di hadapan kita, maka binatang-binatang yang lain akan menghindar. Demikian juga burung-burung di udara.”
“Jika demikian,” teriak Sutawijaya,
”semua kembali ke dalam kelompoknya. Adalah berbahaya sekali jika kita terpancang oleh bentuk-bentuk semu itu, sedang pasukan lawan yang sebenarnya akan menyerang kita.”
Perintah itu telah menggerakkan para pemimpin dari Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh. Mereka sadar, bahwa mereka harus berada di dalam lingkaran gelar yang tidak sempurna itu. Karena itu maka mereka pun segera berlari-larian kembali ke kelompok masing-masing. Namun demikian bentuk yang mengerikan itu semakin lama menjadi semakin dekat. Adalah meragukan sekali, bahwa bentuk-bentuk itu hanya sekedar bentuk semu. Bahkan ada di antara para pengawal yang menjadi gemetar melihat taring yang panjang runcing dan lidah yang menjulur bercabang. Tetapi Kiai Gringsing sempat menyakinkan dirinya sendiri. Dengan ilmu yang ada padanya, ia telah menemukan kepastian bahwa yang dilihatnya bukannya tiga ekor ular naga raksasa.
“Kita maju terus,” perintah Raden Sutawijaya kemudian.
Namun Raden Sutawijaya sendiri masih juga dicengkam oleh kebimbangan, sehingga tombaknya selalu merunduk ke depan, siap untuk dipergunakan. Namun seandainya yang menjadi semakin dekat itu adalah benar-benar tiga ekor naga maka tombak itu tidak akan berarti apa-apa.
Dalam pada itu, selagi pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh dicengkam oleh keragu-raguan yang dahsyat, maka pasukan yang dipimpin oleh Putut Nantang Pati dan Daksina sudah siap untuk menyerang mereka. Tetapi yang telah menggoncangkan hati adalah perintah Raden Sutawijaya, justru para pengawal itu harus kembali di tempat masing-masing di dalam gelar yang tidak sempurna itu.
“Mereka mengerti, bahwa bentuk-bentuk itu bukannya bentuk yang sesungguhnya,” berkata Putut Nantang Pati.
“Mereka bukan orang dungu. Tetapi nampak bahwa pasukan itu menjadi ragu-ragu,” jawab Daksina yang bersembunyi di balik dinding batu.
“Kita menunggu perintah Panembahan Alit.”
Dalam pada itu Panembahan Alit menjadi bimbang pula. Ternyata pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh tidak menjadi pecah dan berlarian saling tunjang sehingga dengan mudah mereka dapat menumpasnya. Bahkan ia mendengar meskipun lamat-lamat perintah Sutawijaya untuk tetap berada di dalam gelar perangnya yang meskipun tidak sempurna, namun merupakan suatu gelar yang rapat di dalam lembah yang tidak terlalu luas ini. Dalam keragu-raguan itu, tiba-tiba mereka terkejut melihat api yang menyala dari mulut ke tiga ekor naga itu. Sejenak, Panembahan Alit dan anak buahnya terpesona sendiri melihat nyala yang menyembur dari mulut yang sedang menganga itu meskipun mereka tahu pasti, bahwa yang mereka lihat bukannya api yang sebenarnya. Namun dalam pada itu, ternyata bahwa api yang memancar dari mulut tiga ekor naga itu telah menggetarkan jantung setiap orang di dalam pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh. Rasa-rasanya api itu terasa panasnya pada tubuh mereka, sehingga mereka benar-benar meragukan, apakah yang mereka lihat hanya sekedar semu. Dengan demikian maka pasukan yang berada di dalam gelar itu telah terhenti. Bahkan beberapa orang mulai tergerak surut karena api yang semakin lama menjadi semakin besar itu.
“Tidak ada apa-apa,” Kiai Gringsing-lah yang kemudian berteriak,
”aku tidak melihat apa-apa.”

Mereka yang mengenal Kiai Gringsing sebagai seorang yang memiliki kelebihan, menerima keterangannya itu dengan akalnya. Namun ternyata sebelum para pengawal itu harus bertempur melawan pasukan Panembahan Agung, mereka telah bertempur di dalam diri mereka sendiri, karena akal dan perasaan mereka menjadi tidak seimbang.
“Nah,” berkata Panembahan Alit,
”kini mereka mulai kehilangan keseimbangan. Sejenak lagi kita akan menyerang mereka. Terutama pasukan yang ada di lambung itu.”
Tetapi yang terjadi kemudian adalah suatu permainan baru yang menggemparkan medan. Tiba-tiba saja, selagi pasukan Mataram dan Menoreh mulai kebingungan, di langit berterbangan beberapa ekor burung elang raksasa. Semakin lama semakin banyak sehingga kemudian langit bagaikan diliputi oleh mendung. Berpuluh-puluh burung elang yang besar berterbangan mengitari tiga ekor naga raksasa itu. Dan sejenak kemudian tiba-tiba saja berpuluh-puluh burung elang yang besar itu menyerang ke tiga ekor ular naga itu dengan paruhnya yang tajam dan dengan kuku-kukunya yang runcing. Ular-ular naga itu pun terkejut mendapat serangan yang tiba-tiba dari udara. Ketiganya menggeliat, dan kemudian menengadahkan kepalanya. Namun burung-burung elang raksasa itu pun menyerang semakin lama menjadi semakin dahsyat, sehingga ketiga ekor ular itu tidak sempat memperhatikan lagi para pengawal dari Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh. Mereka menyemburkan api di mulutnya ke arah burung elang itu. Tetapi agaknya burung-burung elang itu telah kebal sehingga api yang menjilat mereka, sama sekali tidak menghanguskan bulu-bulunya. Panembahan Alit yang melihat pertempuran itu menjadi heran. Kemudian cemas dan berdebar-debar. Sedang Putut Nantang Pati dan Daksina menjadi bingung dan bertanya,
”Panembahan, apakah yang terjadi?”
“Aku tidak mengerti. Tentu ada sesuatu yang tidak pada tempatnya. Elang-elang raksasa itu sangat mencurigakan, tentu hanya bentuk semu seperti ular raksasa itu pula. Jika burung-burung itu adalah burung yang sebenarnya, mereka tentu tidak akan terpengaruh, oleh bentuk-bentuk semu seperti ke tiga ekor ular raksasa itu.”
Ternyata bukan saja Panembahan Alit yang menjadi cemas dan bingung. Panembahan Agung yang duduk di serambi gardunya pun terkejut merasakan suatu getaran yang lain yang telah terjadi pada pusat samadinya sehingga akhirnya ia melihat gangguan-gangguan yang tidak dikehendaki. Yang terjadi kemudian sebenarnya adalah pertempuran kekuatan ilmu yang aneh itu. Dengan segenap pemusatan pikiran dan perasaan, Panembahan Agung mempertahankan bentuk-bentuk semunya agar tidak terganggu oleh burung-burung yang berterbangan dan menyerangnya berganti-ganti. Getar-getaran yang dahsyat ternyata telah melanda pemusatan pikirannya, sehingga bentuk-bentuk yang diciptakannya terpengaruh pula olehnya. Ternyata bahwa gelombang getaran yang melanda jantungnya adalah ilmu yang sangat dahsyat. Apalagi Panembahan Agung tidak menyangka bahwa ia akan mendapat serangan yang sangat dahsyat seperti itu. Karena itulah maka ia harus berjuang mati-matian, agar bentuk-bentuk semunya tidak terpengaruh oleh benturan ilmu itu. Tetapi itu tidak mungkin. Penguasaannya atas getaran alam di sekitarnya yang langsung mempengaruhi syaraf setiap orang yang berada di dalam lingkup jangkau kemampuan ilmunya sehingga tercipta bentuk-bentuk yang semu, yang seolah-olah dapat disentuh oleh syaraf penghayatan yang wadag itu, terpengaruh pula oleh gejolak getaran ilmu yang serupa.
Akhirnya Panembahan Agung itu tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Apalagi ia merasa tidak bersiap menghadapi serangan yang tiba-tiba serupa itu sehingga akhirnya ia berniat untuk mulai saja dengan medan yang baru sama sekali dengan melepaskan medan yang lemah itu. Karena itu, maka dengan hati yang berdebar-debar orang-orang yang berada di lembah dan yang sudah bersiap untuk bertempur itu menjadi termangu-mangu. Mereka melihat ke tiga ekor ular naga itu bergeser surut. Perlahan-lahan mereka meninggalkan medan diburu oleh burung-burung yang berterbangan di udara. Dan akhirnya ketiga ekor ular naga itu pun meluncur masuk ke dalam rimbunnya pepohonan di lembah itu. Demikian ketiga ekor ular naga itu hilang, maka burung-burung itu pun melayang meninggi, dan akhirnya hilang pula di balik awan.
Para pengawal Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh menggosok mata mereka. Kini mereka melihat, bahwa sebenarnya di hadapan mereka tidak ada bekas-bekas perkelahian dari tiga ekor ular naga itu. Mereka tidak melihat pepohonan yang berserakan dan dahan-dahan kayu yang berpatahan. Pepohonan yang ada di padukuhan di hadapannya masih tampak hijau segar dan daun-daunnya masih tetap rimbun.
“Kita telah dihadapkan pada permainan yang gila,” teriak Sutawijaya.
”Jika kita setiap kali menghadapi permainan seperti itu, kita memang akan dapat menjadi gila karenanya. Sekarang, selagi kita masih sadar sepenuhnya bahwa kita adalah sasaran permainan itu, cepat, kita harus menemukan sumber dari permainan gila itu sendiri.”
Para pemimpin dari Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh sependapat dengan perintah Raden Sutawijaya itu. Namun mereka masih saja selalu dibebani oleh pertanyaan, bagaimana burung-burung elang raksasa itu begitu saja hadir dan membantu mereka menghapus bayangan semu yang mengerikan itu.
“Apakah juga Panembahan Agung yang menciptakan bentuk-bentuk burung elang raksasa yang dahsyat itu?” bertanya salah seorang pengawal Tanah Perdikan Menoreh kepada seorang kawannya.
“Aku kira bukan,” Agung Sedayu yang mendengar pertanyaan itu menjawab.
“Jadi siapa?”
“Lembah ini memiliki seribu rahasia yang tidak mudah dikatakan maknanya.”

Pengawal itu tidak bertanya lagi. Raden Sutawija yang marah karena merasa dipermainkan, segera membawa pasukannya maju. Tetapi langkahnya terhenti ketika tiba-tiba saja, seperti yang pernah dialami Daksina, lembah itu telah diguncang oleh gempa bumi. Pohon-pohon besar berguncang dan dan tebing batu-batu yang besar runtuh menimpa pepohonan. Raden Sutawijaya terkejut. Dan rasa-rasanya tanah memang berguncang, sehingga karena itu, sejenak ia menjadi bingung. Apalagi kemudian terdengar tanah di hadapan mereka runtuh, dan mengangalah sebuah jurang yang besar dan dalam. Beberapa orang pengawal di dalam pasukan yang sedang bergerak maju itu berpegangan pepohonan erat-erat, seakan-akan mereka akan terlempar ke dalam jurang yang dalam itu. Bahkan beberapa orang dibagian depan gelar yang tidak sempurna itu bergeser surut. Ketika gempa menjadi reda, maka kebimbangan yang sangat telah meraba hati setiap orang. Bahkan mereka merasa tidak pasti terhadap diri mereka sendiri, setelah mereka diganggu oleh peristiwa-peristiwa yang mengerikan itu. Dan belum lagi getaran jantung mereka mereda, mereka melihat asap yang tebal mengepul dari dalam jurang itu, seolah-olah di dalam jurang itu terdapat kawah gunung berapi yang panas. Kali ini Panembahan Alit tidak mau lagi melepaskan kesempatan itu. Selagi orang-orang Mataram dan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh menjadi kebingungan, maka terdengar isyarat dari senapati itu, bahwa pasukannya harus menyerang. Maka anak buah Putut Nantang Pati dan Daksina itu pun segera menghambur keluar dari persembunyian mereka. Karena mereka sudah dibekali keyakinan bahwa yang mereka lihat adalah sekedar bentuk semu, maka mereka tidak menghiraukannya lagi. Yang berada di paling depan sebelah-menyebelah adalah Putut Nantang Pati dan Daksina. Mereka bagaikan terbang melintasi jurang dan asap tebal keputih-putihan. Di belakangnya, anak buahnya mengikutinya tanpa ragu-ragu. Mereka berlari-larian di udara, melintasi jurang yang dalam itu. Sebenarnyalah bahwa para pengawal dari Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh menjadi bingung. Meskipun mereka mencoba untuk menilai apa yang dilihatnya, tetapi untuk beberapa saat mereka kehilangan keseimbangan nalarnya. Dalam pada itu, para pemimpinnya merasakan keragu-raguan yang dahsyat itu. Apalagi setelah mereka melihat pasukan lawan mulai menyerang dan seakan-akan terbang di udara di atas jurang yang menganga.
Hampir berbareng di dalam kecemasan melihat kebimbangan pasukannya, Raden Sutawijaya, Kiai Gringsing, dan Ki Argapati berteriak,
”Jangan bingung. Kalian melihat bentuk-bentuk yang tidak sebenarnya ada. Tetapi pasukan lawan itu sebenarnya sedang menyerang kalian.”
Perintah itu memang berpengaruh. Tetapi nalar mereka seakan-akan sedang buntu oleh kebingungan yang mencengkam mereka. Baru ketika terdengar perintah sekali lagi, maka mereka pun mulai terbangun dan mempersiapkan senjata mereka. Dengan dada yang berdebar-debar mereka menunggu lawan mereka yang terbang di atas jurang yang lebar dan dalam itu. Tetapi sebelum mereka menjadi benar-benar mapan, maka datanglah gangguan yang lain. Tebing lembah itu sekali lagi bagaikan runtuh. Batu-batu besar berguguran dan pepohonan tumbang. Rasa-rasanya lembah itu semakin lama menjadi semakin sempit. Sekali lagi timbul kebingungan pada setiap orang di dalam pasukan itu, sehingga sekali lagi Kiai Gringsing berteriak,
”Jangan hiraukan. Tidak ada apa-apa.”
Dan disahut oleh setiap pemimpin, meskipun mereka juga masih ragu-ragu.
”Jangan hiraukan. Bersiap melawan pasukan lawan itu.”

Tetapi mereka pernah menyaksikan lembah yang bagaikan runtuh ketika mereka memasuki lembah yang agak luas itu. Reruntuhan itu telah benar-benar menguburkan beberapa orang kawan mereka, sehingga karena itu, batu-batu padas yang runtuh itu benar-benar telah membuat mereka kebingungan. Dengan pemusatan perhatian terhadap para penyerang, para pemimpin kelompok dari pasukan pengawal Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh mencoba melepaskan perhatiannya kepada semua yang telah terjadi di sekitarnya. Meskipun demikian, mereka tidak berhasil sepenuhnya mengnguasai diri sendiri. Terlebih-lebih lagi ketika mereka mulai disentuh oleh angin yang bagaikan menggugurkan gunung yang mengalir di lembah itu, sehingga setiap pohon berguncang dengan dahsyatnya. Tetapi, suatu peristiwa yang tidak mereka sangka-sangka telah terjadi lagi. Selagi pasukan lawan hampir mencapai ujung jurang yang hanya ada di dalam kegelisahan hati itu, tiba-tiba meluncurlah anak panah bagaikan hujan dari balik pepohonan. Bukan saja anak panah, tetapi tombak-tombak pendek dan bahkan lembing-lembing bambu yang berujung runcing. Dengan demikian maka pasukan Panembahan Alit yang terbang itu bagaikan berhenti. Mereka menjadi ragu-ragu pula. Sejenak Putut Nantang Pati dan Daksina mencoba menilai keadaan. Apakah yang sebenarnya mereka hadapi. Panembahan Alit yang berada di antara pasukan itu pun kemudian bergeser maju. Katanya,
”Gila, orang-orang Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh benar-benar tidak terpengaruh oleh bentuk-bentuk yang aneh ini.”
“Ya, mereka sempat menyerang dari balik pepohonan tanpa menghiraukan angin ribut dan batu-batu padas yang berguguran itu.
Para pemimpin pasukan Panembahan Alit itu menjadi bimbang. Panah-panah yang meluncur itu seperti merambat semakin maju mendekati ujung pasukan mereka yang kini bagaikan terkatung-katung di udara. Ketika satu dua anak panah sudah menjadi semakin dekat, maka tanpa disengaja, beberapa orang mulai bergeser surut. Namun dalam pada itu, Sutawijaya dan seluruh pasukannya pun menjadi heran. Tidak seorang pun dari mereka yang dengan tenangnya melontarkan anak panah dari balik pepohonan. Namun ternyata anak panah itu meluncur deras sekali, sehingga menahan arus pasukan lawan yang menyerang mereka dalam saat mereka berada di dalam cengkaman kebimbangan dan kebingungan.
Dalam pada itu, Sutawijaya juga dicengkam oleh kebimbangan yang luar biasa sehingga tanpa disadarinya ia memukul-mukul kepalanya sendiri sambil berkata,
”Kita berada di daerah yang dapat membuat kita gila.” Tetapi tiba-tiba ia berteriak,
”Jangan hiraukan, marilah kita maju. Kita tentu dapat juga terbang seperti orang-orang itu. Sebenarnyalah bahwa jurang itu tidak ada sama sekali. Hanya kegilaan kita sajalah yang telah membayangkannya bahwa kita di batasi oleh sebuah jurang yang dalam.”
Sutawijaya tidak menunggu lebih lama lagi, ia pun kemudian melangkah dengan tombak pendeknya merunduk rendah. Namun betapa pun juga, sebenarnya Raden Sutawijaya masih juga dibayangi oleh keragu-raguan meskipun ia sadar, bahwa persoalannya terletak pada ketidak-seimbangan antara nalar dan perasaannya. Dengan hati yang berdebar-debar Sutawijaya memperhatikan anak panah yang meluncur seperti semburan air dari arah pasukannya. Tetapi ia pun segera dapat menghubungkannya dengan garuda yang telah menyerang tiga ekor naga raksasa yang mengganggu pasukannya. Yang menjadi teka-teki baginya, siapakah yang sudah melakukannya. Sebagai seorang senapati, maka Sutawijaya mencoba mengambil keuntungan dari keadaan medan. Justru karena lawannya yang sedang ragu-ragu, maka Sutawijaya pun membawa pasukannya untuk maju terus.
Tetapi di samping Sutawijaya terdapat seseorang yang memiliki pengalaman yang jauh lebih banyak daripadanya, sehingga karena itu, maka Sutawijaya mendengar Ki Argapati memerintahkan kepada anak buahnya, tetapi perlahan-lahan agar tidak diketahui oleh lawan,
”Lepaskan anak panah yang sebenarnya. Kita mengambil keuntungan dari keadaan yang belum kita ketahui dengan pasti.”
Ternyata bahwa para pemimpin dari Mataram pun melakukan hal yang serupa. Mereka melepaskan anak panah sambil melangkah maju, sehingga ketika sebuah dari anak panah itu mengenai lawannya, maka lawannya pun benar-benar menjadi terluka.
Putut Nantang Pati dan Daksina menjadi bingung. Meskipun mereka semula mulai menyadari, bahwa anak panah itu sekedar bayangan semu seperti jurang yang seakan-akan berada di bawah kaki mereka, namun ketika Panembahan Alit hampir meneriakkan perintah bahwa pasukannya tidak usah memperhatikan anak panah itu, tiba-tiba saja dua orang dari mereka sekaligus terluka oleh anak panah itu. Anak panah yang sebenarnya dilepaskan oleh orang-orang Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan anak panah itu tidak saja mengarah ke medan di hadapan mereka, tetapi juga menghadap ke lambung, ke arah batu-batuan yang berguguran, yang sebenarnya melindungi pasukan yang sudah siap menyerang dari lambung.

Maka pasukan Putut Nantang Pati dan Daksina pun terpaksa melangkah surut digiring oleh anak panah yang mendesak maju. Mereka tidak siap menghadapi serangan itu, sehingga mereka tidak segera dapat menemukan cara untuk melawan anak panah itu, selain berusaha menangkis dengan senjata yang ada pada mereka. Pasukan itu agaknya terlampau percaya dengan permainan Panembahan Agung yang akan dapat membingungkan pasukan lawan. Namun ternyata, bahwa mereka masih tetap berada di dalam gelar yang utuh meskipun tidak sempurna. Meskipun kemudian Putut Nantang Pati dan Daksina sadar, bahwa bukan semua anak panah yang meluncur itu adalah benar-benar anak panah, namun memang terlampau sulit untuk membedakan, yang manakah yang sebenarnya anak panah, dan yang manakah yang sekedar seperti elang raksasa yang berterbangan di langit. Tetapi, ternyata bahwa pasukan Raden Sutawijaya pun terhambat pula oleh jurang itu. Ketika pasukannya sudah berdiri di bibir jurang, maka sekali lagi mereka diamuk oleh kebimbangan.
“Ikuti aku,” teriak Kiai Gringsing yang berjalan terus tanpa ragu-ragu. Ia berhasil melihat kenyataan yang di hadapannya dengan mengesampingkan perasaannya. Namun yang lain tidak memiliki keteguhan kepercayaan dan nalar seperti Kiai Gringsing, sehingga untuk beberapa saat pasukan itu terhenti.
Namun sekali lagi mereka dikejutkan oleh peristiwa yang tidak mereka sangka-sangka. Tiba-tiba saja sekali lagi tanah berguncang. Tetapi tidak sedahsyat yang baru saja terjadi, namun ternyata goncangan itu telah melontarkan beberapa buah pokok kayu raksasa yang kemudian tumbang dan menyilang jurang yang dalam itu. Terlampau banyak, seakan-akan sengaja diatur seperti sebuah jembatan.
“Oh, gila. Benar-benar gila,” Raden Sutawijaya berteriak keras sekali. Lalu,
”Tetapi lintasi jembatan itu jika kalian ragu-ragu bahwa jurang itu memang tidak ada.”
Agung Sedayu, Swandaru, Pandan Wangi, Prastawa, dan para pemimpin dari Mataram, yang memiliki pemusatan nalar lebih baik dari orang kebanyakan segera membawa kelompoknya mendesak maju. Mereka yakin bahwa mereka tidak akan terperosok ke dalam jurang yang memang tidak ada. Pasukan itu maju terus, meskipun dengan dibayangi oleh kebimbangan dan keragu-raguan. Namun mereka pun kemudian dengan hati yang bulat bertekad untuk melawan ilmu yang gila-gilaan itu. Pengalaman yang telah terjadi, membuat mereka justru semakin mantap, bahwa mereka tidak boleh dikelabuhi oleh gambaran-gambaran gila di dalam angan-angan mereka sendiri.
Ternyata bahwa yang terjadi itu justru mengacaukan pasukan Panembahan Alit. Mereka sama sekali tidak menduga, bahwa pada suatu saat mereka akan berhadapan dengan lawan yang memiliki kemampuan serupa. Bahkan salah seorang dari para pemimpinnya berdesis,
”Mataram memang tidak dapat diangggap ringan.”
Selain pasukannya, maka ternyata Panembahan Agung sendiri mengalami goncangau perasaan yang dahsyat, sehingga mempengaruhi pemusatan ilmunya. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa ilmunya mengalami perlawanan. Dengan susah payah ia berusaha merubah medan. Ia berusaha merubah jurangnya menjadi semakin besar, agar pohon-pohon yang menyilang itu terjerumus ke dalamnya. Tetapi rasa-rasanya ia terpengaruh oleh sebuah kekuatan yang menggetarkan setiap pemusatan ilmunya. Karena itu, maka sekali lagi Panembahan Agung menjadi marah oleh kekalahan yang tidak diduganya sama sekali. Dengan serta-merta ia merusak medan yang sudah diciptakannya dan berusaha membuat gangguan-gangguan baru meskipun ia tahu, bahwa ia harus bertempur melawan ilmu yang serupa.
Raden Sutawijaya dan anak buahnya terkejut ketika tiba-tiba saja jurang itu lenyap. Dan ternyata mereka benar-benar berdiri di atas tanah. Sedang pepohonan yang besar itu pun telah tidak ada di tempatnya pula.
“Kita maju terus,” teriak Raden Sutawijaya kemudian,
”kita tidak boleh terpengaruh oleh perang urat syaraf yang tidak mempengaruhi langsung keadaan medan. Di sinilah sebenarnya kita diuji ketahanan kita. Jika kita percaya kepada diri sendiri dengan sepenuh hati, maka kita akan mengatasi gangguan-gangguan yang sebenarnya tidak berarti apa-apa. Terserah kepada kalian, apakah kalian dapat dipengaruhi oleh perang urat syaraf yang gila-gilaan ini atau tidak.”

Ternyata kata-kata Sutawijaya itu dapat membangkitkan kemantapan di hati setiap orang di dalam pasukannya. Mereka mencoba untuk tidak lagi menghiraukan bentuk-bentuk semu yang sengaja dipergunakan sebagai alat di dalam perang urat syaraf. Mereka sadar bahwa apabila mereka tenggelam di dalam kegelisahan karena perang urat syaraf itu, maka sebenarnyalah mereka telah dikalahkan sebelum perang yang sebenarnya mulai. Dengan mantap maka pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh itu berderap maju. Mereka siap dengan senjata telanjang di tangan, karena mereka sudah berada di hadapan pasukan Panembahan Alit dan kedua senapati pengapitnya. Namun sekali lagi gangguan itu datang. Tiba-tiba saja terdengar suara prahara yang berputar-putar di dalam lembah itu. Tidak ada angin dan tidak ada mendung di langit, tetapi suara prahara itu terdengar semakin lama semakin dekat.
“Jangan terpengaruh,” terdengar perintah Raden Sutawijaya.
Namun tiba-tiba saja terdengar jawaban dengan suara yang berat dalam dan melingkar-lingkar di dalam lembah itu.
”Kau memang luar biasa anak muda. Agaknya tidak sia-sialah kau menjadi anak pungut Kanjeng Sultan Pajang. Dan tidak sia-sia pula kau menyebut dirimu anak Pemanahan.”
Raden Sutawijaya justru terhenti mendengar suara itu. Dengan lantang ia menyahut,
”Akulah Sutawijaya. Siapakah kau, he? Aku mendengar suaramu, tetapi kau tidak berani menampakkan ujudmu.”
Terdengar suara tertawa melingkar-lingkar. Suara yang memenuhi lembah itu sehingga setiap orang menjadi berdebar-debar dan cemas. Seakan-akan mereka sedang berbicara dengan lanngit dan bumi dan dengan gunung-gunung di sekitar mereka.
“Kau aneh Sutawijaya. Jika kau bertanya ujudku, maka tentu kau tahu, aku dapat berada di segala bentuk apa yang aku kehendaki. Aku dapat menjadi seekor naga raksasa. Bahkan tiga ekor. Aku dapat menjadi raksasa sebesar gunung Merapi. Aku dapat menjadi api dan dapat menjadi banjir. Aku dapat menjadi angin prahara dan petir yang menyambar di langit. Aku mempunyai bentuk seperti isi dunia ini.”
“Omong kosong,” teriak Raden Sutawijaya,
”kau hanya dapat membuat bentuk-bentuk semu yang tidak ada artinya bagiku.”
“Jangan sombong anak muda. Kau akan menyesal karena pada suatu saat, kau tidak akan dapat membedakan antara bentuk yang sebenarnya dan bentuk yang semu. Aku akui, kali ini kau berhasil mengalahkan gangguan atas syarafmu. Tetapi nanti tidak. Sebentar lagi kau akan benar-benar kehilangan kemampuan untuk mempertimbangkan yang manakah yang semu dan yang manakah yang sebenarnya.” Suara itu berhenti sejenak, lalu,
”Dan akulah ujud dari segalanya itu.”
Namun sebelum Sutawijaya menjawab, terdengar suara yang lain. Tidak ada bedanya dengan suara yang seakan-akan memenuhi seluruh lembah mengumandang dari dinding pegunungan yang satu membentur dinding pegunungan yang lain.
“Panembahan Agung. Sebenarnya kau memang dapat mewujudkan dirimu dalam segala bentuk sebanyak bentuk yang ada di muka bumi. Bahkan bentuk-bentuk yang ada di dalam dongeng dan ceritera-ceritera. Tetapi bentuk yang kau ciptakan itu sama sekali tidak berarti. Seperti angin lembut yang lewat tanpa meninggalkan bekas. Hanya orang-orang yang hatinya ringkih sajalah yang dapat kau pengaruhi dengan kebohongan yang paling besar itu. Kebohongan yang dapat berujud dan dibentuk oleh kelemahan hati sendiri. Ternyata bentuk-bentuk yang kau ciptakan itu tidak dapat berpengaruh terhadap mereka yang hatinya bagaikan baja. Bukan saja atas orang-orang tua seperti Kiai Gringsing, Ki Gede Menoreh, Ki Demang di Sangkal Putung, bahkan sama sekali tidak berarti apa-apa bagi anak semuda Raden Sutawijaya, Agung Sedayu, Swandaru, Pandan wangi, Prastawa, dan para pemimpin Mataram yang lain. Bahkan merupakan tontonan yang menarik hati bagi Ki Lurah Branjangan dan anak buahnya.”
“Cukup,” terdengar suara yang meledak bagaikan guntur. Lalu,
”Siapakah kau sebenarnya. Aku tahu, tentu kau yang sudah mengganggu pemusatan samadiku.”
“Kita saling mengganggu. Dan kita memang sedang bermain-main seperti orang gila, karena permainan kita sama sekali tidak menarik bagi pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh. Justru anak buahmulah yang menjadi bingung karenanya.”

Benturan suara yang menggetarkan lembah itu benar-benar telah menggelisahkan setiap orang di dalam pasukan yang sudah berhadapan dengan senjata telanjang. Seakan-akan mereka berada di tengah-tengah, di antara dua ekor gajah raksasa yang akan bertempur. Dalam pada itu terdengar lagi suara,
”Kau sudah mengenal aku sebagai Panembahan Agung yang menguasai bumi pulau ini, sekarang sebut namamu, siapakah kau sebenarnya.”
Terdengar suara tertawa perlahan-lahan. Kemudian katanya,
”Kau tentu sudah mengenal aku, Panembahan.”
“Aku ingin melihatmu, mungkin aku akan segera mengenal, siapakah lawanku kali ini.”
Suara tertawa itu pun menjadi semakin keras. Di antara suara tertawa itu terdengar,
”Kau memang aneh. Seperti kau, aku berada dalam segala bentuk sebanyak bentuk di atas bumi. Bahkan bentuk dan ujud yang hanya ada di dalam dongeng-dongeng. Burung berkepala dua, atau seekor ular bertanduk seperti tanduk rusa dan berkaki seperti kaki harimau. Nah, sebut saja, bentuk yang manakah yang kau kehendaki.”
“Bentukmu yang sebenarnya. Aku ingin melihat kau sebagai mana kau yang sebenarnya.”
“Baiklah. Tempatkan dirimu. Aku pun akan segera keluar dari persembunyianku.”
Setiap dada sekali lagi berguncang. Bahkan rasa-rasanya mereka yang tidak tabah menghadapi kegilaan itu, telah kehilangan kepastian tentang pengamatan dirinya. Dengan dada yang berdebar-debar mereka melihat seorang raksasa berdiri di atas puncak sebuah bukit padas. Sambil bertolak pinggang ia berkata,
”Inilah aku, Panembahan Agung yang sakti tiada duanya di muka bumi. Ayo, siapakah yang berani menempatkan diri sebagai lawan Panembahan Agung, akan aku injak sampai lumat. Jika kau melihat bentuk ini, maka kalian tidak akan dapat menyebutnya sebagai sekedar bentuk semu seperti naga dan jurang itu. Tetapi akulah sebenarnya Panembahan Agung.”
Belum lagi gema suaranya berhenti, tiba-tiba tangan raksasa itu memungut segumpal batu sebesar kerbau. Sambil mengangkat batu itu ia berkata,
”Aku dapat melemparkan batu ini ke tengah-tengah pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh. Kalian boleh melihat, apakah batu ini sekedar bayangan di dalam perasaanmu atau sebenarnya batu yang dapat memecahkan kepala dan melumatkan tubuhmu.”
Namun dalam pada itu terdengar jawaban,
”Aku percaya kalau batu itu sebenarnya batu, Panembahan. Kau memang sakti, kau mampu mengangkat batu sebesar itu dengan kekuatan samadimu dan melontarkannya ke dalam pasukan lawanmu dengan alat bentukmu sendiri yang kau hadirkan sebesar raksasa itu. Tetapi jika kau mempergunakan ilmu semacam itu, maka ilmumu harus dilawan dengan ilmu gila-gilaan yang serupa.”
“Persetan,” raksasa itu menggeram,
”aku tidak peduli.”
Dengan dada yang berdebar-debar setiap orang di dalam lembah itu melihat, raksasa yang berdiri di atas ujung bukit padas itu pun mengangkat batu sebesar kerbau dan siap untuk dilemparkan ke arah pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh.
Para pengawal dari Mataram dan Menoreh itu menahan nafasnya. Jika benar batu itu bukan sekedar bentuk semu seperti yang pernah dilihatnya, maka batu itu akan dapat menggilas lebih dari dua puluh lima orang sekaligus apabila raksasa itu melontarkan dengan tepat ke dalam gelar yang tidak sempurna itu. Pepohonan yang melindungi mereka tentu akan berhamburan dan roboh berserakan. Tetapi sebelum batu itu terlepas, tiba-tiba sebuah sinar yang silau telah meluncur dan menyambar batu itu sehingga batu itu pecah berserakan. Serentak setiap orang di dalam lembah itu berpaling ke arah yang lain, ke arah sumber sinar yang memecah batu sebesar kerbau itu.
Dengan jantung yang seolah-olah terhenti mereka melihat raksasa yang lain. Raksasa yang bentuk dan wajahnya dapat segera mereka kenali.
“Ki Waskita,” Sutawijaya tiba-tiba berteriak.
“Ya Raden. Inilah aku. Tetapi jangan hiraukan bentuk ini. Bentuk yang tidak sebenarnya ada. Meskipun seperti Panembahan Agung yang dengan kekuatan samadinya benar-benar dapat melontarkan batu yang sebenarnya.”
Dalam pada itu, di atas dua ujung gunung yang berseberang sebelah-menyebelah lembah tempat pasukan Menoreh dan Mataram sudah berhadapan dengan pasukan Panembahan Agung, berdiri dua orang raksasa yang mengerikan.
Dengan suara bagaikan guruh Panembahan Agung menggeram,
”Jadi kau, Jaka Raras. Aku memang sudah mengira, bahwa hanya kaulah yang mampu mengganggu aku di dalam keadaan serupa ini.”
“Maaf, Panembahan. Kau agaknya sudah melupakan kewajibanmu atas diri sendiri. Kau tidak akan dapat mempergunakan ilmu ini sekehendak hatimu, untuk tujuan yang tidak seharusnya kau lakukan. Karena itu, sudah tentu aku tidak akan dapat tinggal diam.”
“Persetan, tetapi aku tidak menyentuh kepentinganmu.”
“Sengaja atau tidak, kau sudah membuat aku hampir gila sehingga aku terpaksa sekali bermain-main dengan gila pula kali ini. Kau sudah mengambil anakku dari padaku.”
“He,” Panembahan Agung terkejut,
”siapa anakmu?”
“Rudita. Rudita adalah anakku, anak Waskita. Tentu ia tidak akan dapat menyebut namaku seperti yang kau kenal. Namaku sejak kecil memang Waskita. Tetapi kita bertemu di satu perguruan setelah aku menyebut diriku Jaka Raras. Karena itu jika kau bertanya kepada Rudita, maka ia akan berkata, bahwa ayahnya bernama Waskita.”

Raksasa yang berdiri di puncak bukit padas itu menggeram. Suaranya bagaikan suara guruh yang menggelegar di langit. Ditatapnya raksasa yang lain, yang menyebut dirinya Jaka Raras dengan sinar mata yang bagaikan memancarkan api.
“Nah, Panembahan Agung, sekarang aku datang untuk mengambil anakku,” berkata Ki Waskita kemudian.
Sejenak Panembahan Agung tercenung. Namun kemudian terdengar suara tertawanya,
”Kau memang bernasib malang, Jaka Raras. Anakmu yang bernama Rudita memang berada di tanganku. Aku kira aku memerlukannya. Tetapi ternyata anakmu itu tidak lebih dari seekor cucurut kecil yang tidak berarti. Selain anakmu memang menyebutmu dengan nama yang tidak aku kenal, aku memang tidak menyangka bahwa Jaka Raras yang perkasa itu mempunyai anak seekor cucurut. Nah, sekarang sebaiknya kau berbuat sebaik-baiknya untuk mengambil anakmu itu.”
“Aku memilih cara ini, Panembahan. Aku kira cara ini adalah cara yang paling baik. Tentu aku tidak akan dapat datang sendiri untuk membebaskan anakku. Dan kini aku sudah mendapat perlindungan dari Raden Sutawijaya. Karena sebenarnyalah bahwa kekuatan dari kedua belah pihak yang berhadapan kali ini ada di dalam pasukan itu. Tidak pada permainan gila ini.”
“Persetan,” teriak Panembahan Agung sehingga rasa-rasanya setiap selaput telinga akan pecah,
”aku tidak peduli. Tetapi kau akan aku hancurkan bersama pasukan Mataram dan Menoreh. Sedang anakmu pun kini berada di tangan orang yang mengetahui akan tugasnya. Dengan isyarat dari padaku, maka anakmu akan segera dicekik dengan tali yang diikat pada seekor kuda. Kau mengerti.”
“Kau kini berada di sini. Bagaimana kau dapat memerintahkan anak buahmu itu?”
“Kau bodoh. Aku adalah seseorang yang memiliki kemampuan menciptakan seribu macam bentuk. Dan dengan bentuk-bentuk yang sudah aku janjikan, aku dapat memberikan perintah itu.”
”Omong kosong, Panembahan. Kau tidak dapat menciptakan apa pun juga. Seperti aku juga tidak. Yang sama-sama dapat kita ciptakan hanya sebuah kebohongan besar seperti ini.”
“Tetapi dengan kebohongan yang mantap ini, aku dapat memerintahkan membunuh anakmu itu.”
“Jangan kau coba, Panembahan. Kau akan gagal. Aku dapat menghadang samadimu sekarang ini.”
Sekali lagi Panembahan Agung menggeram. Sejenak kedua raksasa itu saling memandang. Dan tiba-tiba saja dari kedua pasang mata itu bagaikan memancar sinar-sinar yang menyilaukan dan berbenturan dengan dahsyatnya.
Dalam pada itu, terdengar suara Waskita datar,
”Raden Sutawijaya. Jangan hiraukan kami, Raden. Mulailah. Biarlah raksasa yang semu ini aku hadapi. Raden dapat menghancurkan pasukannya seperti menghancurkan pasukan-pasukan yang lain, yang akan selalu mengganggu Mataram yang sedang berkembang dan Tanah Perdikan Menoreh.”
Raden Sutawijaya dan setiap pemimpin di dalam pasukannya rasa-rasanya terbangun mendengar peringatan itu. Maka mereka pun segera mempersiapkan diri menghadapi setiap kemungkinan yang bakal terjadi. Bahkan Raden Sutawijaya sudah siap meneriakkan perintah untuk menyerang pasukan lawan. Sementara itu kedua raksasa itu masih saja bertempur dengan caranya. Meskipun orang-orang di lembah itu berusaha untuk tidak menghiraukan, namun mereka masih juga terpengaruh oleh ledakan petir yang saling menyambar dan guntur yang menggelegar, seakan-akan kedua raksasa itu bersenjatakan lidah api dan ledakan-ledakan di langit. Namun orang-orang di dalam pasukan yang siap bertempur itu telah menyadari, bahwa yang mereka lihat sebenarnya adalah ketiadaan, sama seperti sebuah kebohongan besar yang mantap.

Karena itu, maka Raden Sutawijaya tidak membuang waktu lagi. Segera ia mendesak maju dalam gelarnya yang kurang sempurna. Tetapi agaknya seperti Raden Sutawijaya, maka Panembahan Alit pun berpikiran serupa. Ternyata ia tidak dapat lagi menyerahkan persoalannya kepada Panembahan Agung. Bukan karena Panembahan Agung kehilangan kesaktiannya, tetapi justru karena lawannya memiliki kemampuan untuk melawan kesaktian itu. Sesaat kemudian terdengar isyarat dari Panembahan Alit. Dan hampir bersamaan, maka dari sebelah-menyebelah itu menghambur pasukannya yang memang sudah dipersiapkan menyerang dari lambung. Maka pertempuran pun kemudian mulai berkobar. Pertempuran yang wajar dari kedua belah pihak. Dan agaknya kedua belah pihak, telah berhasil menyingkirkan pengaruh ilmu kedua raksasa yang meskipun masih bertempur dengan caranya, namun keduanya tidak lagi menentukan apa-apa. Tetapi di dalam kesulitan itu, Panembahan Agung masih sempat berkata,
”Jaka Raras. Apakah kau sampai hati membiarkan anakmu dicekik sampai mati dengan sebuah tambang yang diikatkan pada seekor kuda, yang menjerat lehernya, sedang kaki anakmu itu terikat pada sebatang pohon.”
”Itu jauh lebih gila dari permainan gila ini,” sahut Waskita.
“Aku memang senang pada permainan-permainan yang gila. Aku akan tetap membunuh anakmu yang cengeng itu dengan caraku. Ia membuat aku hampir gila karena menangis siang dan malam. Aku kira aku akan dapat mempergunakannya untuk menahan arus pasukan Raden Sutawijaya di saat terakhir seperti yang aku pertimbangkan sebelumnya, apabila orang-orang Mataram dan Menoreh tidak menghiraukan kebohongan-kebohonganku yang besar itu.”
“Maksudmu?”
”Kau dapat minta Raden Sutawijaya menghentikan pasukannya. Berbicara dan kemudian anakmu selamat,” Waskita menjadi termangu-mangu sejenak. Dipandanginya raksasa yang berdiri di atas bukit di hadapannya. Meskipun ia sadar, bahwa yang dilihatnya itu sekedar sebuah bayangan seperti dirinya sendiri.
Dalam keadaan yang diperlukan, Waskita dapat melenyapkan gangguan pada syaraf inderanya itu dan melihat dengan wajar, siapakah yang dihadapinya. Namun ia masih membiarkan saja permainan yang gila itu berlangsung terus. Justru dengan demikian, anak buah Panembahan Agung sendirilah yang menjadi bingung karena mereka tidak bersiap menghadapi keadaan serupa itu. Berbeda dengan pasukan dari Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh. Mereka memang sudah mempersiapkan diri memasuki medan yang akan dipenuhi oleh keajaiban yang sebenarnya tidak lebih dari sebuah kebohongan besar. Karena Waskita tidak segera menjawab, maka Panembahan Agung pun segera mendesaknya,
”Bagaimana, Jaka Raras. Apakah kau setuju. Jika kau setuju, maka hentikan pasukan Raden Sutawijaya dengan pengaruhmu.”
Ki Waskita memandang pertempuran yang sudah berkobar itu sejenak. Pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh yang mempergunakan gelar Cakra Byuha yang tidak sempurna, ternyata berhasil menahan serangan lawannya yang tidak saja datang dari depan, tetapi juga dari lambung.
Di ujung pasukan, Panembahan Alit yang memimpin pasukannya langsung turun ke medan. Dengan kemarahan yang meluap-luap ia berusaha untuk dapat bertemu dengan Senapati yang memimpin gelar lawannya itu. Namun ketika Raden Sutawijaya siap untuk melawannya, Kiai Gringsing terpaksa bergeser sambil berdesis,
”Raden, serahkan orang tua itu kepadaku. Orang itulah yang pernah aku jumpai di Alas Tambak Baya dan menyebut dirinya Panembahan Tidak Bernama. Ternyata bahwa Panembahan Agung adalah orang lain dari orang yang menyebut dirinya Panembahan Tidak Bernama ini.”
“Tetapi bagaimanakah jika orang itu juga yang menyebut dirinya Panembahan Agung?”
“Tidak. Ia sedang berdiri di puncak bukit sebagai seorang raksasa itu. Setidak-tidaknya ia sedang berada di dalam semadinya untuk mempertahankan bentuk itu dari gangguan Ki Waskita.”
Raden Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan ia sadar bahwa ia tidak akan mampu melawan Panembahan Alit itu.


Halaman 1 2 3


<<< Jilid 074                                   Jilid 076 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar