Api Di Bukit Manoreh Seri 1 Jilid 076 Halaman 2


“jangan ragu-ragu, akulah yang akan membawamu kembali kepada ayahmu.”
“Tetapi di manakah ayah sebenarnya jika raksasa itu hanya sekedar bentuk semu?”
“Aku mengetahui tempatnya. Karena itu, cepatlah sedikit, agar ayahmu segera dapat mengambil tindakan jika ia yakin bahwa kau sudah selamat.”
Meskipun dengan ragu-ragu, namun Rudita mengikuti saja dibimbing oleh Sumangkar merayap mendekati bukit. Sedang di bukit yang lain tampak Panembahan Agung masih berdiri dengan wajah yang merah membara. Sejalan dengan kemenangan demi kemenangan yang dicapai oleh pasukan Mataram dan Menoreh, maka Panembahan Agung yang tidak dapat ingkar dari kenyataan itu pun semakin menjadi cemas. Ia sadar bahwa ia tidak dapat mempengaruhi pasukan Mataram dan Menoreh itu dengan kebohongan-kebohongan lain, karena kegagalannya pada bagian pertama dari pertempuran ini, telah membuat lawannya menjadi kebal. Mereka tahu pasti, bahwa apa yang akan diujudkan dalam bentuknya yang semu itu benar-benar tidak akan berpengaruh atas mereka.
Sementara itu Kiai Gringsing masih bertempur dengan gigihnya. Bahkan dengan mengerahkan segenap kemampuannya, perlahan-lahan Kiai Grngsing dapat membatasi kekasaran dan keliaran Panembahan Alit. Ki Argapati yang bertempur tidak terlampau jauh dari Kiai Gringsing, melihat betapa Kiai Gringsing telah berjuang dengan sepenuh kemampuannya. Bahkan kadang-kadang tampak sesuatu yang mendebarkan jantung Ki Argapati. Tetapi ia tidak mempunyai waktu untuk memperhatikannya terlalu lama, karena Pulut Nantang Pati yang mendekati kegoyahan sikap itu masih saja menyerangnya dengan garang. Bahkan kemudian yang tampak pada sikap Putut itu adalah keputus-asaan atas segala kegagalan Panembahan Agung yang selama ini dianggapnya sebagai manusia yang tidak ada tandingnya di muka bumi. Manusia yang seakan-akan dapat mengubah alam menurut keinginannya dan mengacaukan bentuk yang sebenarnya dengan bentuk-bentuk semu yang tidak dapat dibedakan dengan kenyataan di dalam ujud yang terbayang oleh pengaruh getaran ilmu yang langsung mempengaruhi pusat syaraf.
Dalam pada itu, Agung Sedayu, Swandaru, dan Prastawa tidak lagi harus bertempur mati-matian. Ia kini berada di antara para pengawal. Cambuknya masih meledak-ledak, tetapi mereka tidak lagi harus memeras segenap kemampuan. Apalagi Agung Sedayu yang menganggap lawan mereka tinggal para pengawal yang tidak banyak mengetahui apa yang harus dilakukan itu. Ia bertempur untuk sekedar menahan mereka. Sekali-sekali ia terpaksa melukai, tetapi ia sama sekali tidak ingin membunuh lagi, setelah dengan berat hati ia terpaksa mematahkan serangan lawan-lawannya dengan sungguh-sungguh, dan bahkan menimbulkan kematian. Dalam keadaan yang demikian, sekali-sekali ia sempat melihat gurunya bertempur. Ada sesuatu yang sangat menarik perhatiannya. Di dalam penempuran yang sangat dahsyat melawan orang yang sudah mencapai puncak ilmunya, ternyata Kiai Gringsing memiliki sesuatu yang masih agak asing bagi kedua muridnya. Meskipun pada dasarnya murid-muridnya sudah memiliki ilmu itu, tetapi ada yang masih mendebarkan jantung mereka.
Agung Sedayu pernah melihat gurunya bertempur melawan orang-orang yang memiliki ilmu yang luar biasa. Gurunya pernah bertempur melawan Ki Tambak Wedi. Melawan hantu-hantu di Alas Mentaok. Melawan banyak lagi orang-orang yang tidak terduga-duga. Bahkan Kiai Gringsing pernah terluka di Jati Anom. Namun kali ini perkelahian di antara kedua orang itu benar-benar merupakan perkelahian yang luar biasa.
“Agaknya Panembahan Alit bukan saja mempergunakan ilmu olah kanuragan secara wajar,” perasaan itu tumbuh di dalam hati kedua murid-murid Kiai Gringsing itu.
Sebenarnyalah mereka melihat, bahwa pertempuran itu rasa-rasanya seperti tidak sewajarnya. Kadang-kadang mereka bergerak terlampau cepat. Namun kadang-kadang mereka berdiri saja dengan tegang sambil menggenggam senjata masing-masing. Dalam pada itu Panembahan Alit merasa, bahwa kali ini ia benar-benar menemukan lawan yang tidak dapat dikalahkannya dengan segenap ilmu yang ada padanya. Seakan-akan Kiai Gringsing dapat melakukan apa saja yang dilakukannya.

Di lingkaran perkelahian yang lain, Putut Nantang Pati benar-benar telah dicengkam oleh perasaan putus asa. Anak buahnya telah terdesak semakin mundur. Sedangkan ia masih belum berhasil menga1ahkan Ki Argapati dan anak gadisnya, meskipun tampaknya Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu menjadi semakin parah. Namun dalam pada itu, tiba-tiba seorang anak muda telah terjun ke dalam arena itu pula. Prastawa, yang agaknya sudah kehilangan lawan-lawannya di lambung, tidak mau membiarkan Pandan Wangi semakin sulit mengalami tekanan Putut Nantang Pati justru karena Ki Argapati menjadi semakin lemah. Kehadiran Prastawa membuat Putut Nantang Pati menjadi semakin marah. Dengan segenap kemampuan dilambari oleh perasaan putus asa ia mencoba memecahkan perlawanan ketiga orang itu. Tetapi ternyata usahanya sia-sia saja. Meskipun Prastawa tidak sekuat Pandan Wangi, namun kehadirannya benar-benar telah membuat Putut Nantang Pati kehilangan harapan untuk memenangkan perkelahian itu. Bahkan ia telah kehilangan harapan atas keseluruhan dari pertempuran itu. Dan itulah sebabnya, maka ia pun seakan-akan menjadi kehilangan akal. Dengan membabi buta ia berusaha untuk, memecahkan kerja sama ketiga lawannya. Tetapi Putut Nantang Pati pun merasa bahwa usaha itu tidak akan berhasil. Dalam keadaan itu, Ki Argapati merasa bahwa tugasnya pun menjadi semakin ringan. Prastawa dapat mengambil sebagian dari tugasnya mengatasi serangan-serangan Putut Nantang Pati yang menjadi semakin kasar dan liar. Namun dalam kesempatan itu, kadang-kadang ia masih sempat memperhitungkan Kiai Gringsing yang bertempur melawan Panembahan Alit. Sebagai seorang yang memiliki ilmu yang hampir sempurna, Ki Argapati dapat menilai pertempuran yang sedang berlangsung antara Kiai Gringsing dan Panembahan Alit. Meskipun Ki Argapati pada saat itu tidak akan lagi mampu melawan Panembahan Alit karena cacatnya, namun Ki Argapati masih mampu melihat, apakah sebenarnya yang terjadi di arena kedua orang yang pilih tanding itu.
Ki Argapati melihat bahwa keduanya telah sampai kepada inti ilmu masing-masing. Bahkan kadang-kadang mereka telah sampai pada puncak tenaga cadangan yang ada di dalam dirinya, sehingga nampaknya, tenaga yang terlontar dari kedua orang itu memiliki kekuatan yang luar biasa.
Tetapi selain dari kekaguman Ki Argapati atas kemampuan Kiai Gringsing dan Panembahan Alit yang masih tetap utuh, meskipun umur mereka menjadi semakin tua bahkan seakan-akan justru menjadi semakin masak dan sempurna, Ki Argapati juga menjadi heran, bahwa Kiai Gringsing selama ini telah melakukan suatu usaha yang dapat membahayakan jiwanya. Sejak pertama kali ia melihat kehadiran orang itu di Menoreh pada saat pertentangan berkobar di Tanah Perdikan ini, dan yang ternyata telah didahului oleh peristiwa-peristiwa yang penting yang terjadi di Sangkal Putung, saat Tohpati masih memiliki kekuatan, telah menimbulkan beberapa pertanyaan di hatinya.
“Apakah yang telah mendorong orang tua itu untuk menyabung nyawa di setiap peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di sekitar Mataram? Jika ia sekedar seorang yang memiliki kelebihan di dalam olah kanuragan, kemudian mengambil kedua anak muda itu menjadi muridnya, maka ia tidak akan mempertaruhkan nyawanya bagi Mataram.” Namun kemudaan,
“Apakah hanya secara kebetulan saja semuanya itu terjadi?”
Namun Ki Argapati masih tetap menganggap bahwa ada sesuatu yang lain yang mendorong Kiai Gringsng itu berbuat banyak bagi Mataram,
“Bukan hanya bagi Mataram,” Ki Argapati melengkapi pendapatnya sendiri di dalam hati,
“ia telah membantu menegakkan Pajang di saat pasukan Jipang masih tersisa. Dan ia telah membantu memadamkan api yang berkobar di atas Tanah Perdikan Menoreh, dan kini ia berbuat banyak sekali bagi Mataram yang sedang tumbuh itu.”

Tetapi Ki Argapati terpaksa menghentikan angan-angannya. Ia melihat Pandan Wangi dan Prastawa menjadi semakin sulit melawan Putut Nantang Pati yang benar-benar telah berputus asa, meskipun beberapa orang pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang telah kehilangan lawan-lawannya datang membantu, sehingga Putut Nantang Pati itu seakan-akan telah dikepung oleh empat orang sekaligus, selain darinya sendiri, dan seorang di antaranya adalah seorang anak muda bertubuh gemuk dan bersenjata sebuah cambuk. Sejenak Ki Argapati mengamati pertempuran itu. Putut Nantang Pati memang seorang yang memiliki perhitungan yang baik. Di dalam keputusasaan itu, hampir di luar sadarnya, ia masih mampu melakukan gerak-gerak yang mengejutkan. Di dalam saat ia tidak lagi dapat berpikir dengan baik, ia masih mampu menemukan sikap yang tidak disangka-sangka oleh lawannya.
“Di dalam segala keadaan, agaknya Putut Nantang Pati benar-benar sudah mapan dan menguasai ilmunya dengan baik,” berkata Ki Gede Menoreh di dalam hatinya. Dan itulah sebabnya, maka ia harus berada di tengah-tengah pertempuran itu meskipun ia hanya sekedar menentukan keadaan, karena untuk langsung bertempur menghadapi Putut Nantang Pati, kakinya menjadi semakin sakit dan lemah. Kehadiran Swandaru di dalam arena itu telah menggetarkan hati Putut Nantang Pati. Bunyi cambuknya itu bagaikan suara hantu yang memanggilnya dari lubang kubur. Apalagi ketika mulai terasa ujung cambuk menyentuh tubuhnya. Memang tidak ada jalan untuk keluar dari pertempuran itu. Pasukannya sudah terdesak, dan ia sendiri seakan-akan telah dipisahkan dari pasukannya. Di sekitarnya melingkar orang-orang Menoreh yang bersenjata telanjang teracu kepadanya. Akhirnya, tidak ada pilihan lain daripada Putut Nantang Pati selain mati. Dan ternyata bahwa ia tidak lagi segan untuk melakukannya. Demikian juga agaknya Daksina. Sutawijaya, Ki Lurah Branjangan, dan beberapa orang pengawal pilihan telah mengepungnya dan mendesaknya sampai ke tepi padas yang tegak pada kaki pebukitan.
“Kau tidak akan dapat lari lagi,” desis Sutawijaya,
“menyerahlah. Mungkin aku masih dapat berbicara dengan mulutku, tidak dengan senjataku, karena aku tahu Paman adalah seorang Senapati Pajang. Di saat Pajang mulai tegak, Paman telah berjasa bagi Pajang. Barangkali jasa Paman itu dapat mengurangi kemurkaan Ayahanda Sultan Pajang dan Ayahanda Pemanahan.”
“Aku tidak akan memohon belas kasihan kepada siapa pun juga. Kepada kedua ayahmu itu pun tidak,” Daksina justru berteriak.
Sutawijaya mengerutkan keningnya, lalu,
“Bukan belas kasihan, tetapi Pajang dan Mataram tidak akan melupakan jasa seseorang. Karena itu menyerahlah. Paman tidak akan mengalami nasib yang buruk.”
“Bohong. Aku tentu akan kau perah seperti cucian hingga darahku kering. Kau dan ayahmu Pemanahan tentu ingin tahu, siapa saja yang berada di pihakku.”
“Kau berprasangka. Kami telah bersama-sama berjuang menegakkan Pajang. Karena itu, marilah. Jangan kehilangan akal.”
Tetapi Daksina tidak menghiraukannya. Ia masih tetap bertempur dengan gigihnya.

Para pengawal dari Mataram itu pun masih mencoba melunakkan hati Daksina. Mereka memang berkepentingan untuk dapat menangkap Daksina hidup. Tetapi agaknya Daksina sendiri tidak lagi berminat untuk tetap hidup.
“Daksina,” berkata Ki Lurah Branjangan,
“kau tentu mengenal aku dan beberapa orang prajurit Pajang yang ada di sini seperti aku mengenal kau dan beberapa orang kawanmu. Kenapa kau berkeras untuk berkelahi sampai mati jika kita dapat mencari cara penyelesaian yang lain?”
“Persetan!” bentak Daksina.
“Jangan banyak bicara Branjangan, kau atau aku yang akan mati.”
Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Daksina bagaikan orang mengamuk.
“Kita tangkap hidup-hidup,” desis Sutawijaya kepada Branjangan.
Tetapi agaknya Daksina mendengarnya sehingga dengan penuh kemarahan ia berteriak,
“Sombong. Ayo tangkap aku hidup-hidup jika kau mampu.”
Dalam pada itu, Agung Sedayu yang sudah tidak mempunyai lawan lagi berdiri termangu-mangu. Dilihatnya pasukan Panembahan Agung yang semakin jauh terdesak, sehingga mereka sudah hampir memasuki padepokan induk. Sejenak ia termangu-mangu karena di sekitarnya masih ada beberapa lingkaran perkelahian. Kiai Gringsing yang bertempur melawan Panembahan Alit benar-benar merupakan arena pertempuran yang tidak ada bandingnya. Pertempuran itu tentu lebih dahsyat dari saat-saat Kiai Gringsing harus bertempur melawan Ki Tambak Wedi. Sekilas terbayang perang tanding yang pernah dilakukan oleh Ki Argapati melawan Ki Tambak Wedi. Tentu merupakan pertempuran yang sangat dahsyat pula. Namun kini di samping kemampuan olah kanuragan dan pengungkapan tenaga cadangan, di dalam pertempuran itu terasa sesuatu telah membakar keduanya. Kemarahan dan puncak dari ilmu mereka.
Setiap kali Agung Sedayu masih mendengar cambuk Kiai Gringsing meledak-ledak. Demikian juga cambuk Swandaru. Karena itu, maka Agung Sedayu mulai tertarik untuk membantu salah seorang dari mereka. Tetapi ia pasti, bahwa ia tidak akan dapat banyak berbuat di arena pertempuran melawan Panembahan Alit.
Karena itu, perlahan-lahan Agung Sedayu mendekati arena pertempuran melawan Putut Nantang Pati. Ia masih melihat senjata terayun. Tetapi ketika ia mendekat, terdengar seseorang mengaduh perlahan-lahan. Dan sekali lagi cambuk Swandaru meledak, maka suara itu pun terulang lagi.
Agung Sedayu tertegun ketika ia melihat darah ditubuh Putut Nantang Pati. Ternyata senjata Pandan Wangi telah menyentuhnya, disusul oleh senjata Swandaru, sehingga dari luka di tubuh Putut Nantang Pati itu pun meleleh darah dan menitik ke atas tanah di lembah yang terasing itu. Putut Nantang Pati menggeram. Tetapi ia sudah bertekad, bahwa lembah terasing ini adalah lembah yang harus dipertahankan dengan mempertaruhkan nyawa. Karena itu, maka ia sama sekali tidak berusaha untuk menghindari maut yang sudah mulai menyentuhnya. Serangan-serangan berikutnya adalah serangan-serangan yang lebih dahsyat lagi. Dan Putut Nantang Pati yang menjadi semakin lemah, sama sekali tidak mampu lagi untuk menghindarkan diri dari kematian. Tetapi sebelum saat terakhir datang, maka terdengar suara Ki Argapati,
“Cukup. Tidak bijaksana membunuh lawan yang sudah tidak berdaya.”
“Persetan,” tiba-tiba Pulut Nantang Pati berteriak dengan sisa tenaganya,
“aku tidak akan mengharap belas kasihan seperti itu. Aku adalah Putut Nantang Pati, murid terpercaya dari Panembahan Agung. Jika kalian ingin membunuh aku, bunuhlah.”
“Ki Sanak,” berkata Ki Argapati,
“kematian bukan tujuan kami. Kau harus dapat mengerti, bahwa yang kami perangi bukan kau sebagai manusia wadag. Tetapi adalah sikap dan perbuatan. Jika wadagmu tidak mampu lagi mendukung sikap dan keinginanmu yang salah, maka kami tidak akan berbuat banyak lagi atas wadagmu itu.”

Mata Putut Nantang Pati justru menjadi semakin membara. Sejenak ia memandang Ki Argapati. Namun agaknya ia benar-benar tersinggung oleh kata-kata Ki Argapati itu, sehingga ia pun kemudian berteriak,
“Kau menghina aku. Kau menghina kejantananku.”
Hampir di luar dugaan siapa pun juga, Putut Nantang Pati yang lemah itu, didorong oleh kemarahan yang meluap-luap, tiba-tiba saja meloncat secepat tatit di udara, menyerang Ki Argapati, tanpa menghiraukan lawan-lawannya yang lain. Namun sudah menjadi tekadnya, ketika ujung pedang Pandan Wangi, ujung cambuk Swandaru dan serangan mendatar Prastawa berbareng mengenainya. Bahkan Ki Argapati sendiri yang terkejut, tidak mampu lagi untuk menghindar. Apalagi kakinya benar-benar terasa sangat mengganggunya. Karena itu, yang dapat dilakukannya adalah mengacungkan tombak pendeknya ke arah lawannya. Demikianlah beberapa ujung senjata, bersama-sama telah mengenai tubuh Putut Nantang Pati. Ia masih dapat menggeram dan menggeliat. Tetapi kemudian ia menghembuskan nafasnya yang penghabisan, menelungkup di atas tanah yang dipertahankannya sampai ujung hidupnya. Agung Sedayu yang juga melihat tubuh Putut Nantang Pati yang arang kranjang itu memalingkan wajahnya. Meskipun ia berada di medan, tetapi ia tidak sampai hati melihat luka dan darah yang bagaikan membalut tubuh yang terbaring itu. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia pernah mendengar ceritera tentang Kiai Ageng Sela yang mengikuti pencalonan senapati. Di dalam pendadaran, Kiai Ageng Sela harus bertempur melawan seekor harimau lapar di alun-alun. Dengan menaiki seekor kuda, Kiai Ageng Sela memasuki arena, diringi oleh sorak sorai prajurit yang menjadi pagar arena dengan tombak di tangan.
Ketika sampai saatnya ia berhasil menusuk harimau itu tepat di punggungnya, dan ketika darah yang merah seakan-akan memancar dari luka itu. Kiai Ageng Sela memalingkan wajahnya. Ia tidak sampai hati melihat harimau itu mengaum dan mandi darah. Namun dengan demikian, ternyata ada orang yang lain melampauinya di dalam pendadaran itu. Bukan kemampuannya olah senjata sambil mengendalikan seekor kuda. Tetapi orang itu tanpa mengedipkan matanya memandang harimau korbannya yang berguling-guling kesakitan dan kemudian mati terkapar di alun-alun diiringi sorak sorai yang rasa-rasanya akan merobohkan langit.
Kiai Ageng Sela tidak berhasil menjadi seorang senapati. Tetapi Kiai Ageng Sela sama sekali tidak menyesal, bahkan ia masih berasa bersukur bahwa ia tidak berhasil, karena di medan perang, yang dibunuhnya itu tentu bukanya sekedar seekor harimau.

Agung Sedayu sekali lagi menarik nafas dalam-dalam. Dan ia menjadi semakin yakin akan dirinya sendiri, bahwa ia tidak akan dapat menjadi seorang prajurit yang baik. Selagi merenungi keadaannya sendiri, maka Agung Sedayu pun terkejut pula ketika ia mendengar orang-orang Mataram bersorak. Ternyata beberapa orang yang juga berasal dari Pajang, termasuk Raden Sutawijaya dan Ki Lurah Branjangan, telah berhasil mengakhiri pertempuran itu. Seperti Putut Nantang Pati maka Daksina pun tidak mau menyerah. Ia sadar, bahwa ia akan mengalami banyak kesulitan di Mataram, jika ia tertangkap hidup-hidup. Ia akan mengalami perlakuan yang parah untuk diperas keterangan dari mulutnya tentang orang-orang Pajang.
Dalam pada itu, yang masih saja bertempur dengan gigihnya adalah Panembahan Alit. Kiai Gringsing benar-benar mengalami kesulitan, bahkan hampir tidak mungkin untuk mengalahkannya. Panembahan Alit memilki ilmu yang sulit diatasi. Kecepatannya bergerak merupakan senjata yang dibanggakannya. Karena itu, maka ujung cambuk Kiai Gringsing hampir tidak pernah berhasil menyentuhnya.
“Ilmu apa sajakah yang sedang bertarung di arena itu,” Raden Sutawijaya pun menjadi heran. Hampir saja ia memerintahkan pasukannya untuk bersama-sama membinasakan Panembahan Alit. Namun Kiai Gringsing sempat berterak,
“Biarkan Panembahan Alit bermain-main dengan aku sendiri.”
Maka perkelahian itu pun berlangsung dengan sangat sengitnya, sementara pasukan Panembahan Agung yang lain telah terdorong memasuki padepokannya. Panembahan Alit pun mengetahui, bahwa pasukannya telah terdesak dan bahkan terpisah dari padanya. Dan ia pun mengetahui bahwa kedua senapati pengapitnya telah mati di peperangan itu. Namun ia tidak ingin lari, tidak berbuat seperti di Alas Tambak Baya. Kali ini ia bertempur mati-matian mengerahkan segenap ilmu yang ada padanya. Ternyata bahwa Panembahan Alit yang juga menyebut dirinya Panembahan Tidak Bernama itu berhasil mengimbangi kemampuan Kiai Gringsing. Bahkan sekali-sekali Panembahan Alit mampu mendesak Kiai Gringsing beberapa langkah surut. Kiai Gringsing pun sadar, bahwa ia tidak akan dapat memenangkan perkelahian itu begitu saja. Ia kagum akan kecepatan bergerak lawannya, yang kadang-kadang dapat melampaui kecepatan ujung cambuknya. Dengan demikian, maka beberapa orang pemimpin dari Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh kemudian berdiri melingkari arena pertempuran antara Kiai Gringsing dan Panembahan Alit yang semakin lama justru menjadi semakin seru. Bahkan mereka sudah bertekad untuk bertempur sehari semalam, dan jika perlu lebih panjang lagi dari waktu yang sehari semalam itu.
Namun dalam pada itu, Panembahan Agung sendiri tidak dapat mengingkari kenyataan. Pasukan lawan sedikit demi sedikit telah memasuki padepokannya, sehingga ia tidak akan dapat tinggal diam. Karena itulah, maka telah terjadi sesuatu yang mengguncangkan keseimbangan pertempuran itu.
Di dalam cengkaman perang tanding yang dahsyat itu, Panembahan Alit masih sempat melihat bayangan raksasa di puncak bukit. Semakin lama bayangan itu menjadi semakin samar. Bayangan itu tidak hilang dengan tiba-tiba, tetapi perlahan-lahan, sehingga akhirnya hilang sama sekali. Bukan saja Panembahan Alit, tetapi hampir setiap orang sempat melihat raksasa yang seakan-akan perlahan-lahan menjadi asap sehingga akhirnya.tidak lagi kasat mata. Kepergian bayangan itu agaknya menimbulkan kesan tersendiri. Raksasa yang lain pun tiba-tiba telah lenyap pula dari atas bukit, meskipun dengan cara yang lain, tidak dengan perlahan-lahan.
Sumangkar yang membimbing Rudita melihat juga bahwa kedua raksasa itu telah hilang. Karena itu dengan bergegas ia berkata,
“Rudita, ayahmu telah selesai dengan samadinya. Marilah, cepat.”
Keduanya merayap naik di antara batu-batu padas. Hanya beberapa langkah. Di balik sebuah gerumbul mereka melihat Ki Waskita masih duduk di atas sebuah batu yang tersembunyi.
Rudita menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi Sumangkar berbisik,
“Itu benar-benar ayahmu, bukan bentuk semu.”
Rudita memandang Sumangkar sejenak, namun kemudian ia berteriak,
“Ayah.”
Ki Waskita pun kemudian berdiri. Dipandanginya saja anaknya yang kemudian tertatih-tatih berlari mendapatkannya dan langsung memeluknya sambil menangis seperti kanak-kanak. Ki Waskita membelai kepala anaknya yang telah hilang beberapa lamanya itu.
“Kau tidak apa-apa?” desis ayahnya.
“Kenapa tidak apa-apa,” sahut anaknya di sela-sela tangisnya,
“aku telah diikat, disakiti dan dipaksa untuk berbicara yang aku sendiri tidak mengerti.”

Ki Waskita menjadi semakin iba kepada anaknya. Anak laki-lakinya yang sangat manja, yang tidak pernah mengalami persoalan yang dapat menggoncangkan hatinya. Tiba-tiba saja ia mengalami peristiwa yang memang sangat dahsyat, bahkan bagi mereka yang berhati tabah sekali pun.
“Baiklah, Rudita. Beristirahatlah di sini bersama pamanmu Sumangkar. Aku masih harus menyelesaikan pekerjaan ini.”
“Apakah Ayah akan pergi?”
“Ya. Aku harus bertemu dengan Panembahan Agung. Agaknya ia menyingkir dari padepokannya.”
“Darimana Ayah tahu?”
“Bentuk semu yang diciptakannya ditinggalkan begitu saja sehingga perlahan-lahan menjadi kabur dan hilang. Ia tidak sempat menghapusnya lebih dahulu ketika ia meninggalkan tempatnya.”
“Tetapi biar sajalah ia pergi, Ayah?”
“Ia akan menjadi manusia yang paling berbahaya. Kegagalannya kali ini akan menumbuhkan dendam yang semakin dahsyat di dalam hatinya.”
“Tetapi Ayah jangan pergi.”
Ki Waskita seolah-olah tidak menghiraukan suara anaknya. Perlahan-lahan ia melepaskan pelukan anaknya sambil berkata kepada Ki Sumangkar,
“Aku titip anakku. Bawalah kepada Ki Gede Menoreh jika ia sudah selesai. Aku harus mendapatkan Panembahan Agung, jika kita tidak ingin melihat ia mengguncang-guncang ketenteraman bumi ini dengan ilmu kebohongan itu.”
“Ayah,” Rudita berteriak.
“Jangan gelisah. Kau sudah aman di sini. Tidak ada apa-apa lagi.”
“Tetapi Ayah jangan pergi.”
Ki Waskita tidak menghiraukannya. Ia pun segera berlari menghambur dan hilang di balik gerumbul.
“Ayah, Ayah,” Rudita masih berteriak.
“Sudahlah, Rudita. Marilah kita pergi mendapatkan Ki Argapati.”
Rudita mencoba untuk meronta melepaskan dirinya dari tangan Sumangkar untuk menyusul ayahnya. Tetapi Sumangkar memeganginya semakin erat sambil membujuknya,
“Rudita. Kau adalah seorang anak muda yang sudah dewasa. Kau bukan anak-anak lagi. Anak-anak muda sebayamu kini berada di medan dengan senjata di tangan. Kenapa kau masih saja menangis?”
Rudita memandang Sumangkar dengan tatapan mata yang basah. Namun anak muda itu mencoba juga untuk menahan tangisnya yang menyesak di dadanya.
“Sudahlah,” berkata Sumangkar kemudian,
“ayahmu adalah seorang yang memiliki kelebihan dari orang lain. Ia merasa mempunyai kewajiban untuk berbuat kebajikan. Karena itu, jangan kau tahan agar usahanya untuk bertemu dengan Panembahan Agung dapat berhasil.”
Rudita tidak menyahut.
“Nah, marilah kita menemui Ki Argapati.”
Rudita tidak meronta lagi ketika Ki Sumangkar membimbingnya seperti membimbing anak-anak menuruni tebing dan mendekati arena yang sudah menjadi lengang.
Namun ternyata masih ada pertempuran yang sengit terjadi di lembah itu. Bahkan seperti ayam jantan yang sedang bersabung, maka beberapa orang telah melingkarinya menyaksikan perkelahian yang dahsyat itu.

Sampai saat terakhir tidak ada tanda-tanda, bahwa Kiai Gringsing akan berhasil. Panembahan Alit bagaikan menyimpan sarang angin di dalam dadanya. Betapa pun ia bergerak dan berloncatan, nafasnya rasa-rasanya sama sekali tidak terpengaruh. Bahkan seolah-olah tata geraknya semakin lama menjadi semakin mapan. Meskipun Panembahan Alit adalah seorang yang bertubuh wajar, namun ia selalu berhasil menyusup di antara lecutan-lecutan cambuk Kiai Gringsing yang meledak-ledak di seputarnya. Tetapi di saat-saat terakhir, terjadilah perubahan itu. Ketika Panembahan Alit melihat bayangan raksasa di atas bukit yang lenyap dengan perlahan-lahan, maka seolah-olah ia mendapatkan isyarat, bahwa Panembahan Agung sudah tidak mampu lagi bertahan.
Bagi Panembahan Alit, maka Panembahan Agung adalah tumpuan perjuangannya. Ia bertempur mati-matian dan melakukan semua usaha selama ini untuk menggagalkan usaha membuka Alas Mentaok karena ia berharap bahwa pada suatu saat Panembahan Agung akan dapat menjadi Ratu Adil yang menguasai Tanah Jawa. Yang akan memerintah dengan kebesaran yang tiada taranya, yang akan disegani oleh kawan dan lawan, dihormati oleh bangsa-bangsa di permukaan bumi. Namun di dalam saat terakhir, pertahanan ini agaknya tidak lagi dapat diselamatkan. Panembahan Agung sendiri agaknya telah menjadi berputus asa, atau meninggalkan padepokan tanpa memberitahukan kepadanya lebih dahulu.
Perasaan kecewa, menyesal, dan cemas bercampur baur di dalam hatinya, sehingga tata geraknya pun menjadi terpengaruh olehnya.
Pada saat-saat yang demikian itulah maka cambuk Kiai Gringsing telah menyentuhnya tepat di lambung, sehingga Panembahan Alit itu pun terdorong beberapa langkah surut. Tetapi ternyata bahwa setiap mata menjadi terbelalak karenanya. Ujung cambuk Kiai Gringsing yang tiada taranya itu, sama sekali tidak berhasil melukai tubuh Panembahan Alit. Meskipun pakaian Panembahan Alit koyak karenanya, tetapi kulitnya sama sekali tidak tersobek, sehingga tidak setitik darah pun yang mengembun dari tubuhnya. Bukan saja yang menyaksikan hal itu menjadi terheran-heran. Tetapi Kiai Gringsing sendiri menjadi heran pula. Hampir di luar sadarnya ia berdesis perlahan-lahan kepada diri sendiri,
“Orang ini agaknya memiliki ilmu kebal.”
Ternyata bukan hanya sekali dua kali. Ujung cambuk Kiai Gringsing beberapa kali berhasil menyentuh lawannya. Tetapi sentuhan itu sama sekali tidak melukainya. Dada Kiai Gringsing menjadi berdebar-debar. Sepanjang petualangan yang pernah dilakukan, jarang sekali ia menjumpai orang yang memiliki ilmu serupa ini. Ki Tambak Wedi yang menggetarkan itu pun tidak memiliki kekebalan. Ki Argapati justru pernah terluka, dan sudah barang tentu Sumangkar pun tidak. Namun Panembahan Alit yang juga menyebut dirinya Panembahan Tidak Bernama ini ternyata tidak dapat dilukai oleh ujung cambuknya.
Meskipun oleh pengaruh perasaan sendiri, tandang Panembahan Alit seakan-akan menjadi susut, dan bahkan beberapa kali lawannya berhasil mengenainya, namun tidak ada tanda-tanda bahwa ia akan menghentikan pertempuran itu, atau bahkan tidak ada tanda-tanda bahwa Kiai Gringsing akan berhasil mengalahkannya. Karena itulah, maka setiap orang yang menyaksikan perkelahian itu pun menjadi sangat cemas. Mereka tidak dapat membayangkan apakah yang akan terjadi dengan pertempuran itu. Dengan kemampuannya Kiai Gringsing selalu berhasil menghindari serangan lawannya, sedang lawannya seakan-akan tidak dapat di lukai dengan senjata.
“Jika pertempuran berlangsung terus seperti ini, maka aku kira tidak akan dapat selesai tiga hari tiga malam,” berkata Raden Sutawijaya kepada diri sendiri.
Namun Raden Sutawijaya tidak dapat berbuat apa-apa. Jika ia turun ke gelanggang dan tidak memiliki kemampuan bergerak seperti Kiai Gringsing, maka ia tentu akan segera diterkam oleh bencana karena di dalam keadaan yang pahit itu, Panembahan Alit masih tetap seorang yang sangat berbahaya. Dengan sepenuh tenaga Kiai Gringsing mencoba untuk mempergunakan saat-saat yang tidak menguntungkan bagi Panembahan Alit itu. Tetapi setiap kali ia gagal. Bahkan Kiai Gringsing pun menjadi cemas. Jika Panembahan Alit berhasil mengatasi persoalan di dalam dirinya, atau justru menjadi putus asa sama sekali dan bertempur membabi buta, maka akibatnya akan pahit pula baginya. Justru karena senjatanya seakan-akan tidak mampu menembus pertahanan kekebalan kulit Panembahan Alit itu. Pertempuran itu pun menjadi kian sengit. Kiai Gringsing berusaha sekuat tenaga untuk mencoba menembus kekebalan kulit Panembahan Alit. Tetapi usahanya tidak berhasil, karena kulit Panembahan Alit itu pun seakan-akan telah berlapis baja. Sejenak Kiai Gringsing menjadi termangu-mangu. Bahkan kadang-kadang ia harus meloncat surut. Namun ia tidak dapat ingkar dari kenyataan yang dihadapinya. Lawannya tidak dapat dilukai dengan senjatanya.

Karena itu, Kiai Gringsing tidak dapat berbuat lain, Meskipun seakan-akan ia telah menyimpan ilmunya yang jarang-jarang sekali dipergunakannya itu, karena ia hampir tidak pernah menjumpai lawan yang sekuat Panembahan Alit, namun akhirnya datang saatnya ia harus mempergunakannya lagi. Dalam keadaan yang sangat terdesak, Kiai Gringsing menggeretakkan giginya. Matanya menjadi merah dan tiba-tiba saja orang-orang yang berdiri di sekeliling arena melihat perubahan pada wajah orang tua itu. Kiai Gringsing yang berwajah lunak dan sejuk itu, betapa pun ia dilibat oleh kesulitan di dalam pertempuran tiba-tiba menjadi seorang yang berwajah keras seperti batu-batu padas di tebing pegunungan. Matanya menjadi seakan-akan bersinar kemerah-merahan oleh goncangan di dalam dirinya. Ternyata Kiai Gringsing sedang memusatkan segenap kemampuannya pada ilmunya yang selama ini tidak pernah dibangunkannya lagi, setelah ia meninggalkan lingkungannya pada masa Demak masih berkuasa. Meskipun saat itu ia masih muda, namun gurunya telah mempercayakan sebuah ilmu yang hampir tidak dapat dicarinya duanya. Di dalam kesulitan itulah, maka Kiai Gringsing mencoba untuk membangunkan ilmunya. Ilmu yang masih sangat asing meskipun bagi murid-muridnya sendiri. Dengan sebuah loncatan panjang Kiai Gringsing menjauhi lawannya. Kemudian dengan sepenuh kekuatan yang terpusat pada anggauta badan wadagnya, maka Kiai Gringsing mengangkat sebelah tangannya yang menggenggam cambuknya tinggi-tinggi menyilangkan tangan kiri di dadanya, dan sambil menggeram ia mematangkan dirinya pada pusat kekuatan yang ada padanya.
Pada saat itu, Ki Waskita yang sedang berusaha mengejar Panembanan Agung yang telah meninggalkan bentuk semunya begitu saja sehingga seperti asap lenyap perlahan-lahan, melihat dari kejauhan sikap Kiai Gringsing itu. Sejenak ia tertegun. Sebuah getaran telah mengguncang dadanya. Ilmu itu adalah ilmu yang dianggapnya telah tenggelam dilanda oleh arus waktu yang keras. Namun ternyata ia masih sempat melihat seseorang bersikap seperti yang pernah dilihatnya. Namun Ki Waskita harus berusaha menenangkan debar jantungnya, karena ia harus mengejar Panembahan Agung. Dengan kemampuan mengenal isyarat di dalam dirinya, Ki Waskita dapat menduga ke mana arah yang dilalui oleh Panembahan Agung itu. Maka dengan segenap kemampuan yang ada padanya, Ki Waskita berlari menyusup semak-semak dan gerumbul-gerumbul perdu memotong arah Panembahan Agung. Ia yakin, bahwa pada suatu saat ia tentu akan dapat menyusulnya. Jika tidak dihari itu maka di malam hari ia akan berhasil. Dan jika tidak di malam hari, maka ia akan mengejarnya terus, meskipun ia harus berlari sampai tiga hari tiga malam.
Langkah Ki Waskita terhenti sejenak ketika kakinya menginjak jalan lurus yang meninggalkan padepokan induk di lembah terasing itu. Sejenak ia memusatkan perhatiannya kepada orang yang sedang dikejarnya. Dan tiba-tiba saja ia meloncat berlari di antara pohon-pohon perdu dan merayap tebing pegunungan. Di antara batu-batu padas, Ki Waskita pun kemudian mencoba memotong arah dan menyilang sebuah jalan sempit yang mendaki pegunungan itu.

Tetapi tiba-tiba wajahnya menjadi tegang. Ia sama sekali tidak melihat bekas-bekas kaki di jalan sempit yang kotor itu. Karena itu maka dicobanya untuk meraba buruannya dengan inderanya yang lain. Terdengar Ki Waskita menggeram. Ternyata ia telah melampaui jalur jalan yang ditempuh oleh Panembahan Agung itu, sehingga ia terpaksa meluncur turun beberapa, langkah dengan tergesa-gesa. Ternyata bahwa isyarat, yang dilihatnya dapat dipercayanya ketika ia juga melihat bekas kaki yang masih baru, menyelusuri sebuah jalan yang berbelok menyusur tebing. Panembahan Agung ternyata menempuh jalan yang tidak diperhitungkannya dengan nalar. Tetapi alat perabanya yang lain berhasil menyentuh jejak orang yang sangat berbahaya itu.
“Ia tidak akan dapat menghindar dengan cepat,” berkata Ki Waskita kepada diri sendiri,
“aku tentu mampu berlari lebih cepat daripadanya.”
Dengan demikian maka ia yakin bahwa Panembahan Agung semakin lama menjadi semakin dekat daripadanya, meskipun Ki Waskita belum melihatnya. Sebenarnya Panembahan Agung pun telah memperhihitungkan, bahwa hal itu akan terjadi. Tetapi ia merasa tidak akan ada gunanya mengganggu Ki Waskita dengan bentuk-bentuk semu yang dapat dibuatnya di sepanjang jejaknya, meskipun kemudian akan hilang dengan perlahan-lahan. Panembahan Agung yakin, bahwa orang yang menyebut dirinya Jaka Raras itu akan dengan mudah mengatasi bentuk-bentuk semu yang dibuatnya. Sehingga bentuk-bentuk semu itu justru akan mempertegas jejaknya saja. Atau usaha untuk melindungi diri dari tangkapan isyarat pun ia tidak akan berhasil karena jarak yang sudah terlampau dakat. Sekali-sekali Panembahan Agung memang mencoba untuk membuat Ki Waskita bingung. Bukan dengan menciptakan jurang yang luas atau api yang membakar bukit, tetapi justru bentuk-bentuk yang sederhana dan kecil. Bekas-bekas kaki yang berbelok di jalan yang sebenarnya tidak dilaluinya.
Beberapa kali Ki Waskita memang dapat dihambat dengan cara itu, karena semula Ki Waskita tidak menduga, bahwa Pembahan Agung sempat melakukannya. Tetapi, ketika sekali ia disesatkan oleh bentuk semu, yang kemudian berhasil dipunahkannya, maka untuk seterusnya ia menjadi sangat berhati-hati. Di setiap simpangan ia melihat bekas-bekas yang diikutinya itu dengan mata ilmunya.
Meskipun Ki Waskita selalu berhasil menemukan bekas kaki yang benar, tetapi usaha untuk mengetahui itu telah memerlukan waktu meskipun pendek. Dengan demikian maka Panembahan Agung mendapat kesempatan untuk memperpanjang jarak yang telah menjadi semakin pendek. Tetapi akhirnya Panembahan Agung sadar, bahwa usahanya untuk melepaskan diri itu tidak akan berhasil, ia tahu pasti bahwa Jaka Raras mampu menyelusur jejaknya bukan saja dari jejak-jejak kaki, tetapi juga getaran isyarat pada dirinya. Meskipun di dalam usaha melepaskan diri Panembahan Agung sudah membatasi kemungkinan itu sekecil-kecilnya, dengan ilmu yang ada padanya, mengaburkan setiap getaran yang dapat dikenal oleh orang lain, namun di dalam keadaan yang sulit itu, usahanya tidak banyak membawa hasil. Ki Waskita yang mengejarnya terus itu semakin lama menjadi semakin dekat. Sehingga pada akhirnya, ketika Ki Waskita telah sampai ke puncak bukit yang rendah, ia berhasil melihat di sela-sela semak belukar, Panembahan Agung yang sedang melarikan diri itu. Dengan ilmunya Ki Waskita pun kemudian berkata dari jarak yang jauh,
“Panembahan Agung, apakah kau masih akan berusaha untuk melarikan diri?”
Panembahan Agung mengerti bahwa suara itu bukan suara wajar Jaka Raras, seperti ia sendiri mampu melakukannya. Tetapi suara itu telah menggetarkan jantungnya pula. Namun Panembahan Agung itu pun menjawab,
“Jangan menakut-nakuti aku, Jaka Raras. Kau mempergunakan ilmumu. Tetapi sebenarnya kau belum melihat aku.”
Jaka Raras tertawa. Katanya,
“Aku bukan anak kecil lagi Panembahan, seperti juga kau yang sudah berani menyebut dirimu panembahan, bahkan panembahan yang agung. Aku tahu bahwa kau memiliki ilmu serupa. Tetapi aku kali imi tidak sedang bermain-main. Aku telah melihatmu. Aku kini berada di puncak bukit kecil yang tebingnya baru kau turuni.”
Hampir di luar sadarnya, Panembahan Agung berpaling. Dan sebenarnyalah ia melihat seseorang berdiri di atas bukit padas itu. Bukan terbentuk seorang raksasa, tetapi seorang dalam ujudnya yang wajar. Kecil sekali di sela-sela batu-batu besar.
“Nah, bukankah kau sudah melihat aku? Aku yang sebenarnya. Kau tentu dapat membedakan, apakah yang kau lihat ini bentuk yang sebenarnya atau sekedar bentuk semu saja.”
Dada Panembahan Agung menjadi berdebar-debar. Ia tahu tenar, bahwa yang berdiri di atas bukit itu adalah Jaka Raras. Sebenarnya Jaka Raras, bukan bentuk semu yang diciptakannya.

Karena itu untuk beberapa saat ia tidak menyahut. Dicobanya untuk mencari jalan, melepaskan diri dari kejaran Jaka Raras. Meskipun ia berpengawal saat itu sedang Jaka paras hanya seorang diri mengejarnya, tetapi ia merasa, bahwa terlampau berat agaknya untuk melawan Jaka Raras yang sedang didera oleh kemarahan karena anaknya, telah disembunyikannya.
“Panembahan Agung,” berkata Jaka Raras,
“berhentilah. Dan marilah kita berbicara dengan baik. Aku dapat berbuat kasar, tetapi aku pun dapat berbuat lunak. Aku sekarang berdiri sendiri. Anakku yang telah aku ketemukan kembali, tidak ada bersamaku sekarang. Karena itu, jika perlu aku dapat berbuat liar atau buas. Kita memang bukan orang-orang yang berhati sutra. Kita telah ditempa oleh kehidupan yang keras, kasar dan bahkan liar dan buas. Jika selama ini aku menjadi seorang yang seolah-olah baik, lembut, dan lunak, semata-mata untuk kepentingan anakku, karena aku sadar bahwa hidup dengan cara kita, adalah hidup yang dipenuhi dengan kegelisahan dan kecemasan, sehingga karena itu, aku sama sekali tidak menghendaki anakku akan menempuh hidup seperti kehidupan yang pernah kita jalani. Namun agaknya aku salah hitung, ditambah dengan kasih yang berlebih-lebihan dari ibunya, maka anakku menjadi seorang laki-laki yang cengeng, bodoh, dan agak sombong. Aku sendiri sudah menyalurkan ilmu yang ada padaku pada bentuk yang bermanfaat bagi sesama. Melihat masa-masa yang dekat dan jauh di hadapan kita tanpa mendahului dan berusaha merubah takdir dan keharusan. Karena yang aku lihat adalah yang akan terjadi, bukan yang diinginkan terjadi. Namun aku harus mengakui betapa piciknya pengetahuan seseorang. Ternyata bahwa aku tidak mengerti, bahwa pada suatu saat anakku akan hilang, karena akulah yang menganjurkannya untuk ikut berburu supaya ia sedikit memiliki sifat seorang laki-laki.”
Panembahan Agung menjadi berdebar-debar mendengar kata-kata Jaka Raras. Ia sadar, bahwa Jaka Raras tidak hanya sekedar menggertaknya. Ia kenal orang itu di dalam perguruan. Jaka Raras memang dapat berbuat keras dan kasar, bahkan liar dan buas.
“Panembahan,” berkata Jaka Raras,
“aku menunggu keputusanmu. Sekali lagi aku peringatkan, bahwa aku kini tidak bersama anakku, sehingga jika aku kambuh lagi kepada sifat-sifatku, maka anakku tidak akan menjadi kecewa karena ia tidak melihat bahwa ayahnya bukannya orang yang baik seperti yang dikenalnya. Nah, bersiaplah. Kita akan bertempur dengan cara kita. Kemudian jika aku berhasil mengatasi kekuatan batinmu, maka wadagmu akan hancur menjadi makanan burung gagak, karena aku dapat melampaui kebuasan binatang yang paling buas di hutan.”
Panembahan Agung masih tetap berdiam diri. Ia seakan-akan telah terjepit pada suatu keharusan untuk bertempur melawan Jaka Raras. Meskipun ia tidak seorang diri, tetapi agaknya beberapa pengawalnya itu tidak akan berarti apa-apa bagi Jaka Raras.
Tetapi sudah barang tentu bahwa Panembahan Agung bukan seorang pengecut yang menyerah untuk diikat dan dibawa ke Mataram sebagai seorang tawanan. Dengan demikian ia akan dapat menjadi tontonan orang di alun-alun di negeri yang sedang tumbuh itu. Karena itu, maka tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh kecuali bertempur sampai kemungkinan yang paling akhir.
“Panembahan Agung,” terdengar lagi suara Jaka Raras,
“kenapa kau tidak menjawab? Apakah kau sedang memperhitungkan untung dan rugi dari tindakan yang akan kau ambil?”
Panembahan Agung menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
“Jaka Raras, kau memang selalu menghina aku. Tetapi sampai saat ini, hinaan itu sudah cukup banyak. Aku tidak mau lagi mendengarnya. Sebaiknya kau tidak usah mendekati aku, karena itu akan berarti maut bagimu. Pergilah. Jika anakmu sudah kembali padamu, baiklah. Dan segera pergilah daripadaku, agar aku tidak terlanjur berbuat lebih banyak lagi atasmu.”
“Ah, kau aneh, Panembahan,” sahut Jaka Raras, lalu,
“seakan-akan kita adalah orang-orang yang baru pertama kali ini bertemu. Bukankah kita sudah saling mengenal sejak di perguruan. Dan aku tahu pula seorang yang bernama Panembahan Cahyakusuma, yang kemudian menyebut dirinya bernama Panembahan Agung. Jangan mencoba menakut-nakuti, seperti aku juga tidak akan ada gunanya menakut-nakuti kau. Yang akan kita lakukan selanjutnya ada dua pilihan. Kau menyerah atau kita bertempur sampai mati. Mungkin kau tetapi mungkin juga aku. Tetapi itu adalah akibat yang sudah sama-sama kita ketahui sebelumnya.”
“Jika demikian, Jaka Raras,” berkata Panembahan Agung,
“kenapa kau masih saja berbicara berkepanjangan tidak ada habis-habisnya. Berbuatlah sesuatu. Sikapku sudah jelas, bahwa aku tidak akan membiarkan diriku menjadi pangewan-ewan di Mataram. Aku tahu bahwa sekarang ini selain kau mencari anakmu, kau juga berada di pihak Mataram. Dan itulah kesalahanku yang pokok, karena aku tidak mengerti bahwa Rudita adalah anakmu, sehingga kehadiranmu di pihak Mataram benar-benar membuat aku kehilangan kesempatan kali ini.”
“Kau sangka tanpa aku Mataram tidak dapat menggilasmu?” bertanya Ki Waskita.
“Mungkin kehadiranku mempercepat saja penyelesaian yang berlangsung seperti sekarang ini. Tetapi tanpa aku pun kau tidak akan banyak berarti, karena di antara mereka terdapat orang-orang yang tidak akan menghiraukan bentuk-bentuk semu yang gila-gilaan itu.”
“Omong kosong,” geram Panembahan Agung,
“mereka akan kebingungan dan kehilangan pegangan.”
“Jangan mimpi,” sahut Ki Waskita, “Kiai Gringsing akan mentertawakan ular nagamu, jurangmu, dan apimu. Ki Argapati akan menjadi acuh tidak acuh melihat raksasa yang berada di atas bukit-bukit padasnya. Dan bentuk-bentuk apa lagi yang akan terwujud tentu tidak akan menarik perhatian.” Jaka Raras itu berhenti sejenak, lalu,
“Sudahlah Panembahan Agung. Jika kau memang memilih jalan kekerasan, kebuasan yang liar, baiklah, aku akan segera menyusulmu.”
Panembahan Agung menggeram. Katanya,
“Datanglah. Aku akan menyambutmu.”

Jaka Raras tidak menyahut lagi. Ia pun kemudian menghambur menuruni tebing pegunungan mendekati Panembahan Agung yang sudah ada di lereng. Dalam pada itu, maka Panembahan Agung pun kemudian berkata lantang kepada pengawalnya,
“Tempatkan aku di atas jalan setapak menghadap arah ia akan datang.”
Sementara itu, Jaka Raras pun menjadi semakin dekat. Ia sadar bahwa lawannya adalah seorang yang memiliki kelebihan yang kadang-kadang tidak diduganya. Itulah sebabnya, maka ia pun menjadi sangat berhati-hati. Di dalam keadaan yang tegang itu, Jaka Raras tidak kehilangan penguasaan atas perasaannya. Betapa pun ia marah dan dendam karena anaknya yang mendalami perlakuan yang sangat buruk itu. Namun ia tetap berhati-hati. Tetapi seperti Panembahan Agung, ia tidak akan lagi mempergunakan bentuk-bentuk semu, karena ia tahu bahwa bentuk-bentuk yang demikian itu tidak akan ada gunanya lagi, karena keduanya benar-benar telah berada di puncak ilmunya. Di balik sebuah batu padas, Ki Waskita terhenti sejenak. Ia menjadi ragu-ragu untuk melangkah maju.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar