Api Di Bukit Manoreh Seri 1 Jilid 076 Halaman 3


Karena itu, maka segera dilepasnya bajunya dan dilemparkannya dari balik batu padas itu. Dugaannya ternyata, tidak salah. Begitu bajunya tersembul dari balik batu padas, sebuah anak panah yang besar telah menyambarnya.
“Hem,” Jaka Raras menarik nafas. Jika ia sendiri yang muncul, maka dadanya tentu akan tembus. Ia tahu benar, bahwa busur dan anak panah Panembahan Agung adalah busur dan anak panah yang khusus. Hampir tidak ada orang yang mampu menarik busurnya yang besar itu, selain mereka yang memiliki tenaga melampaui tenaga orang kebanyakan.
“Gila,” Panembahan Agung lah yang berteriak kemudian ketika ia sadar, bahwa yang dikenainya sama sekali bukan Jaka Raras, tetapi hanya selembar bajunya saja.
Dalam pada itu, Ki Waskita telah meloncat menyusup gerumbul perdu dan melingkari sebuah gundukan padas yang besar dan menjadi semakin dekat dari tempat Panembahan Agung. Tetapi ia harus hati-hati, bahwa setiap kali anak panah Panembahan itu akan dapat menyambar lehernya, sehingga ia tidak dapat menarik nafas sekali lagi. Ternyata bahwa yang membingungkan Panembahan Agung kemudian sama sekali bukan bentuk-bentuk semu. Tetapi bentuk-bentuk wadag yang sebenarnya tidak mempunyai arti di dalam pertempuran itu. Baju Jaka Raras jauh lebih berarti daripada bentuk-bentuk apa pun yang mengerikan atau yang menggetarkan jantung. Ternyata Panembahan Agung yang tidak dapat dibingungkan dengan bentuk-bentuk semu itu menjadi bingung dan mengumpat-umpat tidak habis-habisnya karena selembar baju yang telah dikenainya dengan anak panahnya.
Kini Panembahan Agung memusatkan perhatiannya kepada keadaan di sekelilingnya. Ia sadar, bahwa setiap saat Jaka Raras akan muncul dan menerkamnya. Dicobanya untuk menangkap setiap gerak dan getar dari udara di sekelilingnya. Tetapi agaknya Jaka Raras berhasil membersihkan dirinya dari isyarat-isyarat yang akan dapat ditangkap oleh Panembahan Agung. Tetapi Panembahan Agung tidak berdiri sendiri. Beberapa orang pengawal pilihannya pun segera menebar dan menjaga segala penjuru. Mereka pun sadar, bahwa lawan Panembahan Agung kali ini bukannya orang kebanyakan. Bahkan memiliki ilmu yang serupa dengan ilmu Panembahan Agung sendiri. Karena itu, maka mereka pun telah menyiapkan senjata telanjang. Setiap saat Jaka Raras muncul, maka mereka akan beramai-ramai menyerangnya, sebelum Panembahan Agung akan mengakhiri nyawanya dengan anak panahnya yang luar biasa itu.
Dalam pada itu, Panembahan Agung yang dijalari oleh perasaan gelisah itu menjadi semakin tidak tenang lagi. Ketika ia melihat sesuatu bergerak di balik segunduk batu padas, maka tiba-tiba saja sebuah anak panah telah meluncur dengan cepatnya, seperti petir menyambar di langit. Batu padas itu seolah-olah meledak karena hantaman anak panah yang besar dan dengan kekuatan yang luar basa. Segumpal batu padas itu pecah dan berserakan menghambur di sekelilingnya. Mereka yang melihat dan mendengar ledakan itu menahan nafas. Jika yang dikenalnya itu tubuh seseorang, maka tubuh ini tentu akan tembus oleh anak panah raksasa itu, dan tulang-tulangnya pun akan remuk menjadi debu. Dalam pada itu, Ki Waskita pun menjadi berdebar-debar. Ia sadar akan kemampuan Panembahan Agung. Karena itu, maka ia pun harus berhati-hati.
Tetapi bagi Jaka Raras, tentu tidak mungkin melawan Panembahan Agung yang memiliki kesaktian tiada taranya itu hanya dengan tangannya. Karena itu, untuk beberapa saat ia menjadi ragu-ragu sambil berjongkok di balik sebuah batu besar. Sudah bertahun-tahun ia tidak mempergunakan senjatanya. Tetapi di dalam keadaan ini, ia tidak akan dapat berbuat lain. Betapa pun ia dicengkam oleh keragu-raguan, namun akhirnya Ki Waskita itu pun melepaskan ikat pinggangnya yang besar, yang terbuat dari kulit berlapis baja pilahan. Kemudian diurainya sebuah rantai di bawah ikat pinggangnya dan sebuah cakram kecil bergerigi yang diambilnya dari kantong ikat pinggangnya. Dengan ragu-ragu Jaka Raras mengaitkan rantainya pada cakram bergerigi itu. Namun akhirnya ia berkata kepada diri sendiri,
“Di dalam keadaan tanpa pilihan,  aku tidak dapat berbuat lain. Aku masih belum ingin mati. Bukan saja karena aku masih harus membentuk anakku, tetapi jika aku mati maka akibatnya akan sangat luas. Panembahan Agung akan menjadi gila, dan orang orang Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh harus menyediakan banyak korban sebelum berhasil membiasakannya.
Karena itu, maka Jaka Raras pun kemudian menggeretakkan giginya, seakan-akan ingin mengusir keragu-raguan yang masih saja menggelitiknya. Sambil menggeram maka Ki Waskita itu pun berkata kepada diri sendiri,
“Bukan maksudku. Tetapi apa boleh buat.”
Namun sejenak Ki Waskita menundukkan kepalanya, bagaimana pun juga ia merasa bertanggung jawab atas perbuatannya. Bukan saja kepada orang lain, tetapi terutama kepada Penciptanya. Di dalam hatinya ia memohon agar jika perbuatannya itu sesat dari jalan yang telah dipilihnya selama ini, hendaklah diampuninya, karena yang dilakukannya itu semata-mata didorong oleh keinginannya menyelamatkan banyak orang dari kebuasan Panembahan Agung. Sesaat kemudian, maka Ki Waskita itu pun membelitkan ikat pinggangnya yang berlapis baja dilengannya, ia dapat mempergunakan ikat pinggangnya itu sebagai perisai menghadapi anak panah Panembahan Agung.
“Tetapi anak panah itu bukan anak panah biasa,” katanya di dalam hati,
“namun ikat pinggang ini pun bukan ikat pinggang biasa.”
Dengan demikian Ki Waskita kini sudah siap menghadapi lawannya yang paling berat. Setelah bertahun-tahun Ki Waskita menghindarkan diri dari tindakan kekerasan, sehingga anak laki-lakinya sama sekati tidak membayangkan bahwa ayahnya dapat melakukan hal serupa itu, kini terpaksa melakukannya.
“Mudah-mudahan hanya sekali saja lagi,” desisnya.

Menjelang Ki Waskita mengatur perasaannya dan memantapkan hatinya, maka Kiai Gringsing sudah sampai pada puncak pertempurannya. Tangannya yang menggenggam cemeti itu seakan-akan telah dipenuhi dengan segenap kekuatan yang ada padanya, dan segenap kekuatan cadangan yang mampu dihimpunnya. Pada saat terakhir Kiai Gringsing melihat lawannya, Panembahan Alit pun telah berada pada puncak kemampuannya dalam ilmu kebalnya, sehingga seakan-akan mereka berdua telah sampai pada saat yang menentukan, siapakah yang akan memenangkan pertempuran itu. Rasa-rasanya setiap jantung dari mereka yang berada di seputar arena itu menjadi berhenti berdenyut melihat sikap kedua orang yang sudah sampai pada puncak ilmunya ini. Beberapa saat keduanya masih melakukan gerakan-gerakan kecil, seakan-akan mencari kelemahan pada lawan masing-masing. Namun pada saatnya, keduanya sadar, bahwa pertempuran itu sudah mendekati akhirnya, siapa pun yang akan binasa. Karena itu, ketika keduanya merasa bahwa mereka telah berada pada puncak kekuatannya, maka keduanya pun mulai mempersiapkan diri, untuk membenturkan ilmu masing-masing.
Ki Argapati yang memiliki kemampuan yang hampir sempurna itu pun menahan nafasnya. Seandainya kakinya tidak sedang cacat, maka ia akan dapat berbuat serupa, meskipun di dalam kenyataan terakhir, selagi Kiai Gringsing menghadapi puncak kesulitannya, ternyata mempunyai beberapa kelebihan yang menentukan. Lembah yang baru saja hiruk-pikuk oleh pertempuran yang sengit itu justru menjadi hening diam, namun betapa setiap hati dicengkam oleh ketegangan. Sejenak kemudian perlahan-lahan tangan Kiai Gringsing mulai bergerak, sehingga ujung cambuknya mulai berjuntai perlahan-lahan. Ternyata gerakan itu telah menyentuh naluri Panembahan Alit, sehingga ia pun mulai melangkah ke samping. Tetapi ia tidak menunggu lebih lama lagi. Ia ingin perkelahian itu segera berakhir, siapa pun yang akan terkapar di tanah. Karena itu, maka ia pun segera mempersiapkan senjatanya. Sejenak ia memandang Kiai Gringsing sambil menggeram. Namun sejenak kemudian maka senjatanya itu pun mulai teracu.
Berhentilah segala tarikan malas dan detak jantung ketika tiba-tiba saja Panembahan Alit meloncat menyerang Kiai Gringsing dengan loncatan yang dilambari dengan puncak ilmunya, sehingga bagaikan loncatan petir di langit yang tidak mampu diikuti oleh mata telanjang. Namun Kiai Grjngsing pun sudah mempersiapkan dirinya pula. Sekali cambuknya berputar, kemudian sebuah ayunan yang dahsyat telah menyongsong Panembahan Alit yang masih terapung di udara karena loncatannya. Sebuah ledakan cambuk yang menggelegar rasa-rasanya telah mengguncangkan lembah itu. Orang-orang yang ada di sekitar arena itu sebelumnya telah mendengar cambuk itu meledak beberapa kali. Tetapi ledakan yang dilontarkan oleh puncak ilmunya itu rasa-rasanya telah memecahkan selaput telinga. Panembahan Alit masih sempat menggeliat. Namun ia tidak dapat menghindari ujung cambuk Kiai Gringsing yang melecutnya jauh lebih cepat dari lecutan sewajarnya. Terdengar Panembahan Alit menggeram. Tetapi ia masih sempat berdiri di atas kedua kakinya. Bahkan sebuah loncatan lagi yang tidak terduga telah mendorongnya mendekati Kiai Gringsing sambil mengacukan senjatanya. Kiai Gringsing tidak sempat mengelak. Karena itulah maka ia tidak dapat berbuat lain daripada melindungi dadanya dengan lengannya. Betapa pun ia berusaha untuk memukul sisi pedang lawannya, namun Panembahan Alit sempat memutar pedangnya, sehingga lengan Kiai Gringsing tersobek karenanya. Terdengar orang tua itu berdesis. Sekilas ia melihat darah mengalir dari luka itu. Namun ternyata bahwa Panembahan Alit mampu bergerak terlalu cepat. Sekali lagi ia meloncat sambil, mematukkan senjatanya sehingga Kiai Gringsing kehilangan kesempatan untuk kedua kalinya. Meskipun Kiai Gringsing masih berusaha untuk mencondongkan tubuhnya, namun pedang itu telah tergores di pundaknya. Kiai Gringsing sadar, bahwa ia tidak boleh kehilangan kesempatan berikutnya. Jika demikian maka ia akan kehilangan kesempatan untuk seterusnya. Karena itu, maka selagi Panembahan Alit menyiapkan serangan berikutnya, Kiai Gringsing sempat mendahuluinya. Sebuah ledakan cambuk yang dilambari oleh puncak ilmunya telah menggetarkan lembah itu. Tebing-tebing gunung bagaikan bergetar, dan dedaunan yang menguning satu-satu berguguran di tanah. Tetapi rasa-rasanya setiap orang tidak mempercayai penglihatannya. Panembahan Alit masih tetap berdiri tegak dengan senjata di tangannya. Dua ledakan cambuk yang didorong oleh kekuatan yang tiada taranya, itu sama sekali tidak melukai kulitnya selagi Panembahan Alit berada di puncak ilmu kebalnya pula. Sejenak Kiai Gringsing pun menjadi termangu-mangu. Namun ketika Panembahan Alit mulai bergerak, sekali lagi Kiai Gringsing mendahuluinya. Cambuknya meledak sekali lagi tanpa menghiraukan darahnya sendiri yang mengucur dari luka. Panembahan Alit tampak bergoyang sedikit seperti sebatang pohon raksasa yang disentuh angin. Namun sekejap kemudian, ia ternyata masih sempat meloncat menyerang dengan pedang terjulur. Kiai Gringsing sama sekali tidak menyangka, bahwa Panembahan Alit masih mampu melakukan serangan yang dahsyat itu. Karena itu, Kiai Gringsing kehilangan kesempatan sekali lagi. Kali ini lambungnya telah sobek oleh senjata Panembahan Alit. Untunglah bahwa ia mempergunakan ikat pinggang kulit yang tebal dan besar, sehingga dengan menyumbatkan kainnya yang dibelitkan pada ikat pinggangnya, Kiai Gringsing dapat mengurangi kucuran darah dan rasa sakit.
Tetapi dengan demikian tenaga Kiai Gringsing pun menjadi semakin lemah. Pemusatan ilmunya pun mulai menjadi kabur. Sejenak ia melihat Panembahan Alit masih berdiri tegak di hadapannya.

Dengan mata terbelalak Kiai Gringsing melihat, bahwa kulit Panembahan Alit benar-benar tidak dapat dilukainya meskipun ia sudah berada di puncak ilmunya. Meskipun demikian, Panembahan Alit itu bagaikan sudah tidak berpakaian lagi. Pakaiannya ternyata telah terbakar oleh ledakan dahsyat dari cambuk Kiai Gringsing yang dilambari oleh puncak ilmu simpanannya. Lembah itu benar-benar telah dicengkam oleh keheningan yang sangat tegang. Semua orang yang berdiri melingkari arena pertempuran yang sangat dahsyat itu tidak dapat menahan kekaguman di dalam hati. Di tengah-tengah arena itu berdiri dua orang yang memiliki kelebihan yang hampir tiada bandingnya. Kiai Gringsing yang melepaskan puncak ilmunya itu telah mampu menimbulkan kekaguman yang sangat. Ternyata ujung cambuknya bukan saja mampu menyayat-nyayat pakaian Panembahan Alit. Tetapi ternyata bahwa bekas cambuk itu bagaikan bara api yang mampu membakar Panembahan itu sehingga menjadi hangus. Namun kekaguman mereka pun kemudian bertumpu kepada kemampuan Panembahan Alit bertahan atas ujung cambuk Kiai Gringsing yang telah membakar pakaiannya itu. Kulitnya yang dilambari oleh ilmu kekebalan itu sama sekali tidak terluka. Meskipun tampak juga jalur-jalur kehitam-hitaman seakan-akan kulit itu telah disengat oleh api. Sejenak Panembahan Alit masih berdiri tegak dengan pedang terjulur. Kemudian tampak Panembahan itu menggerakkan tangannya, siap untuk menusuk perut Kiai Gringsing yang sudah menjadi semakin lemah. Tetapi Kiai Gringsing pun pantang menyerah. Dengan sisa puncak ilmu yang masih ada, sekali lagi ia meledakkan cambuknya, tepat mengenai leher Panembahan Alit. Ternyata ilmu Panembahan Alit masih mampu bertahan. Lehernya sama sekali tidak terluka.
Tetapi orang-orang yang berdiri di sekitar arena itu pun kemudian menyaksikan perubahan yang terjadi pada keduanya. Kiai Gringsing yang kehilangan pemusatan ilmunya itu pun menjadi semakin tidak berdaya. Cambuknya tidak lagi menggetarkan tebing dan meruntuhkan dedaunan. Namun dalam pada itu, orang-orang itu pun melihat tatap mata Panembahan Alit seakan-akan menjadi kosong di dalam keputus-asaannya. Ia tidak lagi berpengharapan apa pun selain membinasakan lawannya sebelum ia sendiri menyudahi hidupnya di peperangan. Sejenak orang-orang yang berdiri di seputar arena itu menjadi tegang. Mereka melihat Kiai Gringsing melangkah surut. Dan mereka pun melihat Panembahan Alit selangkah maju mendekati dengan pedang di tangan. Betapa pun juga, Kiai Gringsing masih tetap siap melecutkan cemetinya, meskipun pandangan matanya menjadi kabur. Darah yang mengalir dari lukanya telah membasahi sebagian besar tubuhnya. Luka-lukanya di pundak, lengan, dan lambung rasa-rasanya telah menghisap semua tenaganya dan bahkan pemusatan puncak ilmunya.
Ketika Panembahan Alit melangkah sekali lagi, maka dengan lemahnya Kiai Gringsing masih mengayunkan cambuknya. Tetapi cambuknya tidak lagi melecut dan meledak dalam gerak sendal pancing. Bahkan di luar kemampuan Kiai Gringsing yang lemah itu, ternyata ujung cambuknya telah tersangkut pada tubuh Panembahan Agung. Di saat terakhir itulah Kiai Gringsing telah kehilangan segenap kemampuannya untuk bertahan. Matanya menjadi berkunang-kunang. Ia sadar, bahwa terlampau banyak darah yang mengalir dari lukanya, sehingga ia tidak mampu lagi mempertahankan puncak ilmunya. Sekilas Kiai Gringsing masih melihat Panembahan Alit yang tidak dapat dilukainya itu masih berdiri tegak tanpa mengibaskan ujung cambuknya.
Sesaat kemudian, Kiai Gringsing sudah tidak mampu lagi mempertahankan keseimbangannya. Perlahan-lahan ia terhuyung-huyung dan jatuh pada lututnya. Ia masih mencoba berpegangan pada tangkai cambuknya yang ujungnya tersangkut pada lawannya. Tetapi rasa-rasanya kesadarannya menjadi semakin samar. Dan ia pun jatuh terlentang di atas tanah dengan perlahan-lahan.

Semua orang yang menyaksikan menahan nafas. Bakan rasa-rasanya jantung Agung Sedayu dan Swandaru akan meledak menyaksikan hal itu. Kekalahan gurunya akan berarti kebinasaan bagi semua orang yang ada di lembah itu, karena Panembahan Alit akan mampu mengalahkan setiap orang dari mereka. Apalagi apabila Panembahan Agung sendiri akan turun ke gelanggang. Namun demikian, bukan saja keduanya, tetapi semua orang yang ada di sekitar arena itu telah membulatkan hati untuk melawan siapa pun juga tanpa menghiraukan apa pun akibatnya.
Tetapi ternyata bahwa sekali lagi mereka dicengkam oleh peristiwa yang menggetarkan dada mereka. Ternyata demikian Kai Gringsing terjatuh dan berpegangan pada tangkai cambuknya, perlahan-lahan Panembahan Alit pun bagaikan dihisap pula oleh ujung cambuk itu. Ternyata kemampuan jasmaniahnya terbatas pula seperti Kiai Gringsing. Meskipun kulitnya tidak terluka, namun Panembahan Alit telah kehilangan semua kekuatannya. Seperti Kiai Gringsing, maka perlahan-lahan Panembahan Alit pun terjerembab jatuh di atas tanah. Mereka yang mengerumuni arena itu melihat, segumpal darah yang kehitam-hitaman meloncat dari mulut Panembahan Alit itu.
Sejenak orang-orang di sekitar arena itu terdiam mematung, namun Ki Argapati pun segera menyadari bahwa ia harus berbuat sesuatu. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa ia mendekati Kiai Gringsing yang sudah terbaring diam. Dilekatkannya telinganya di dada orang tua itu. Dan perlahan-lahan ia berdesis,
“Aku masih mendengar detak jantungnya.”
Agung Sedayu, Swandaru dan orang-orang lain bagaikan sadar dari mimpi mereka yang paling buruk. Mereka pun segera berloncatan mendekatinya.
“Darah ini masih saja mengalir,” desis Ki Argapati. Lalu,
“Jika Kiai Gringsing kehabisan darah, maka tidak ada jalan untuk menolongnya.”
Orang-orang yang ada di sekitarnya saling berpandangan sejenak. Kiai Gringsing sendiri sudah menjadi semakin lemah. Matanya terpejam dan nafasnya menjadi terengah-engah.
“Ki Gede,” tiba-tiba Agung Sedayu berdesis,
“biasanya Kiai Gringsing membawa obat pada kantong ikat pinggangnya.”
“O,” Ki Argapati dengan tergesa-gesa mencari obat yang memang biasa dibawa oleh Kiai Gringsing.
Ternyata di kantong ikat pinggang Kiai Gringsing memang terdapat beberapa bumbung kecil berisi serbuk-serbuk obat. Tetapi Agung Sedayu tidak dapat mengatakan, yang manakah yang harus dipergunakan.
Dalam kebingungan itu, Ki Argapati mencoba berbisik ditelinga Kiai Gringsung,
“Kiai, Kiai?”
Ternyata bahwa perlahan-lahan Kiai Gringsing masih sempat membuka matanya. Meskipun kabur, namun ia melihat bayangan orang-orang yang mengerumuninya. Ki Argapati mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Ditunjukkannya beberapa buah bumbung di tangannya. Bumbung kecil yang berwarna wulung, yang lain berwarna kuning dan yang lain lagi dari ujung pring tutul yang berbintik-bintik.
Ketika Ki Argapati menunjukkan sebuah bumbung kecil yang terbuat dari pring gading, maka Kiai Gringsing mengangguk kecil. Ki Argapati tidak menyia-nyiakan waktu. Ia tahu bahwa obat yang dicarinya terdapat di dalam bumbung kecil itu. Karena itu, maka ia pun segera membukanya dan menaburkan serbuk berwarna putih kehitam-hitaman ke atas luka-luka di lengan, pundak dan lambung Kiai Gringsing. Betapa lemahnya orang tua itu, namun ternyata perasaan sakit yang menyengat membuatnya menggeliat. Namun kemudian orang tua itu mengatupkan bibirya rapat-rapat. Bahkan Kiai Gringsing itu pun kemudian jatuh pingsan.
Namun dalam pada itu, ternyata obat yang ditaburkannya di atas luka-lukanya mulai bekerja. Perlahan-lahan darah yang mengalir itu pun menjadi mampat.
“Mudah-mudahan kita berhasil,” desis Ki Demang yang sejak semula berdiri saja seperti patung.
“Mudah-mudahan,” desis Ki Argapati.
Di belakang Ki Argapati, Pandan Wangi berdiri termangu-mangu. Sekilas terkenang ujung dari peristiwa ini. Semula yang akan dilakukannya hanyalah sekedar berburu di hutan liar itu. Tetapi akhirnya ia telah menyeret Tanah Perdikan Menoreh ke dalam peperangan yang gawat. Sudah barang tentu ada beberapa orang korban yang jatuh. Dan bahkan di hadapannya seorang tua yang memiliki ilmu hampir sempurna ini pun terbaring diam dengan beberapa buah luka di tubuhnya.

Tetapi ketika orang-orang itu melihat luka di tubuh Gringsing tidak lagi mengucurkan darah, mereka menjadi agak tenang dan berpengharapan. Dalam pada itu, barulah mereka teringat pada tubuh yang lain yang terbaring tidak jauh dari tempat itu. Tubuh Panembahan Alit. Prastawa yang pertama-tama menyentuh tubuh itu, menarik rafas dalam-dalam sambil berkata,
“Ia sudah meninggal.”
Ki Argapati mengerutkan keningnya. Orang-orang yang lain telah menyibak. Dan Ki Argapati pun mendekati tubuh yang terbaring diam itu, sementara Ki Demang di Sangkal Putung masih tetap menunggui Kiai Gringsing. Ketika Ki Argapati meraba-raba tubuh Panembahan Alit yang bagaikan disengat oleh bara api hampir di seluruh tubuhnya, meskipun tubuh itu tidak terluka sama sekali, terasa betapa kedahsyatan ilmu Kiai Gringsing telah meremukkan tulang-tulangnya.
“Panembahan Alit memang seorang yang kebal,” berkata Ki Argapati,
“tetapi ternyata bagian tubuhnya tidak mampu bertahan atas ujung cambuk Kiai Gringsing. Ujung cambuk yang mampu membakar pakaiannya dengan ledakan-ledakan yang dahsyat dan membuat jalur-jalur hitam di kulit yang kebal ini.”
Orang-orang yang kemudian mengerumuni tubuh yang terbaring diam itu menjadi semakin kagum. Kagum akan kekebalan kulit Panembahan Alit dan kagum akan kedahsyatan tenaga Kiai Gringsing yang mampu meremukkan bagian dalam tubuh Panembahan Alit itu.
“Jika kita tidak bersama Kiai Gringsing dan Ki Waskita,” berkata Sutawijaya kemudian dengan nada yang dalam dan datar,
“aku kira, yang akan kembali hanyalah sekedar nama-nama kita saja.”
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tiba-tiba ia teringat Ki Waskita, sehingga tanpa sesadarnya ia berkata,
“Ya, Ki Waskita masih belum ada di antara kita.”
Semua orang menengadahkan wajahnya. Mereka tidak lagi melihat bentuk-bentuk semu di sekitar lembah itu. Karena itu, maka Pandan Wangi pun berdesis,
“Masih ada seorang yang lain yang harus dihadapi.”
“Ya, Panembahan Agung,” desis Sutawijaya.
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Tetapi tampak ketegangan membayang di wajahnya. Panembahan Agung tentu memiliki kemampuan yang setidak-tidakmya mengimbangi kemampuan Panembahan Alit di dalam olah kanuragan, selain ilmu semunya. Dan Ki Argapati tidak lagi dapat mengharapkan Kai Gringsing yang sudah terluka parah. Namun dalam pada itu mereka semuanya terkejut ketika mereka mendengar seseorang berkata di antara mereka,
“Serahkan Panembahan Agung kepada Ki Waskita.”
“Ki Sumangkar,” desis beberapa orang bersamaan. Perhatian mereka yang terpusat kepada Kiai Gringsing dan Panembahan Alit membuat mereka tidak segera melihat kehadiran Ki Sumangkar yang membimbing seorang anak muda.
Sumangkar tersenyum. Tetapi di wajahnya masih nampak ketegangan yang mencengkam perasaannya. Sambil membimbing Rudita ia melangkah maju.
“Aku telah mengambil Rudita dari sarang mereka,” berkata Sumangkar.
“Syukurlah,” Pandan Wangi lah yang meloncat ke depan. Wajahnya seolah-olah memancar meskipun hanya sejenak.
“Jadi, tidak terjadi apa-apa atasmu Rudita?”
Rudita termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian menggelengkan kepalanya.
“Kau tidak mengalami sesuatu?” bertanya Pandan Wangi seolah-olah tidak percaya.
Sekali lagi Rudita menggeleng. Perlahan-lahan ia menjawab seolah-olah suaranya tersangkut di kerongkongannya,
“Tidak, Pandan Wangi.”
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam sambil menekankan tangannya di dadanya,
“Syukurlah. Tuhan masih melindungi kita semua.”
Namun dalam pada itu Ki Argapati bertanya,
“Tetapi di manakah Ki Waskita?”
“Aku sudah menyerahkan anak ini kepada ayahnya. Tetapi Ki Waskita mengembalikannya kepadaku. Ia kini sedang berusaha untuk menemukan Panembahan Agung.”
“O,” dada Ki Argapati menjadi berdebar-debar.
“Ia merasa berkewajiban untuk menemukannya,” sambung Ki Sumangkar.
“Tetapi, apakah Ki Waskita sudah siap menghadapinya dengan segala macam cara?” bertanya Ki Argapati.
“Ia cukup masak di dalam sikap. Karena itu, ia tentu dapat mengukur dirinya sendiri sebelum ia memutuskan untuk menemui Panembahan Agung.”

Ki Argapati tidak menyahut. Namun nampak kecemasan membayang di wajahnya meskipun tidak dikatakannya, karena jika dengan demikian Rudita akan menjadi semakin gelisah.
“Ki Waskita minta agar Rudita berada di antara kita. Agaknya tidak lagi akan ada bahaya yang mengancam. Seandainya masih ada juga, maka kita bersama-sama akan dapat melindungnya.”
Ki Argapati masih saja mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tiba-tiba saja Ki Sumangkar bertanya,
“Jadi bagaimana dengan Kiai Gringsing?”
Ki Argapati berpaling memandangi tubuh Kiai Gringsing yang masih terbaring ditunggui oleh Ki Demang Sangkal Putung.
“Lukanya sudah tidak lagi mengucurkan darah. Tetapi ia menjadi sangat lemah.”
“Luka itu tampaknya cukup parah.”
“Ya, cukup parah. Mudah-mudahan kita tidak terlambat. Darahnya sudah terlampau banyak mengalir.”
Ki Sumangkar termenung sejenak. Namun kemudian perlahan-lahan ia melangkah mendekati Kiai Gringsing.
“Ia pingsan,” desis Ki Argapati.
“Tetapi ia sudah mulai menggerakkan pelupuk matanya,” desis Ki Demang Sangkal Putung.
“Apakah tidak ada setitik air yang dapat dipercikkan ke bibirnya. Agaknya Kiai Gringsing merasa haus sekali.”
“Kita belum tahu, apakah ada air di sekitar tempat ini. Dan seandainya di padukuhan itu ada air, apakah airnya masih dapat kita minum tanpa kecurigaan apa pun juga.”
Ki Sumangkar menjadi termangu-mangu. Ia sadar, bahwa segala cara dapat dipakai oleh lawan untuk membunuh musuhnya. Dan Ki Sumangkar pun kadang-kadang masih merasa ngeri mendengar ceritera tentang racun di Alas Mentaok.
Ketika Ki Sumangkar kemudian berjongkok di samping Kiai Gringsing, ternyata orang itu sudah mulai sadar. Karena itu maka Ki Sumangkar pun kemudian berkata,
“Jika Kiai Gringsing mendapatkan kesadarannya sepenuhnya kembali, kita berpengharapan besar bahwa ia akan dapat sembuh kembali. Kiai Grngsing tentu dapat menyebut obat apakah yang diperlukannya.”
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu katanya,
“Apakah tidak sebaiknya Kiai Gringsing kita sisihkan dan kita tempatkan di tempat yang agak tenang?”
“Sebaiknya demikian. Biarlah murid-muridnya membawanya ke bawah pepohonan yang rimbun di kaki tebing itu,” sahut Sumangkar.
Agung Sedayu dan Swandaru membawa Kiai Gringsing yang masih sangat lemah itu menepi. Tetapi Kiai Gringsing ternyata sudah tidak pingsan lagi. Tetapi wajahnya masih sangat pucat dan tubuhnya sangat lemah.
Dalam pada itu, ketika Kiai Gringsing sudah berada di tempat yang lebih tenang, maka Ki Argapati pun mulai menanyakan lagi tentang Ki Waskita.
“Ia pergi seorang diri.”
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam, lalu,
“Apakah tidak sebaiknya kita menyusulnya?”
Sumangkar merenung selenak, lalu,
“Ki Gede. Sebaiknya Ki Gede berada di tempat ini. Kiai Gringsing tidak akan dapat ditinggalkan begitu saja. Biar aku sajalah yang mencari Ki Waskita. Mungkin aku dapat menemukannya.”
Ki Argapati memandang Ki Sumangkar sejenak, lalu,
“Tugas itu cukup berbahaya, Ki Sumangkar.”
“Aku sadari. Tetapi aku sudah berniat melakukannya,” tanpa disadari Ki Sumangkar memandang kaki Ki Gede yang cacat, sehingga Ki Gede Menoreh memotong kata-katanya,
“Aku mengerti, Ki Sumangkar. Agaknya Ki Sumangkar mencemaskan kakiku.”
“Bukan, Ki Gede,” cepat-cepat Sumangkar menyahut,
“bukan hanya karena itu. Tetapi ada sebab-sebabnya yang lain. Dan agaknya Ki Argapati memang lebih baik berada di sini.”
“Jika demikian, biarlah aku saja yang ikut bersamamu,” berkata Sutawijaya tiba-tiba.
Ki Sumangkar memandang anak muda itu sejenak, lalu,
“Angger memimpin pasukan dari Mataram.”
Sutawijaya termenung sejenak. Kemudian dilontarkannya pandangan matanya ke padepokan yang sudah benar-benar dikuasai oleh pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh.
Maka katanya kemudian,
“Di sini sudah tidak ada apa apa lagi. Pasukan kita sudah menguasai keadaan sepenuhnya.”
“Tetapi persoalannya belum berarti selesai. Jika timbul sesuatu yang memerlukan keputusan Raden, maka Raden harus berada di antara mereka.”

Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak membantah lagi. Dalam pada itu Ki Sumangkar pun kemudian berkata,
“aku akan pergi sendiri. Aku serahkan Rudita kepada Ki Argapati. Mudah-mudahan aku segera menemukannya.”
“Hati-hatilah,” pesan Ki Argapati,
“Panembahan Alit telah berhasil mengimbangi kemampuan Kiai Gringsing. Bahkan hampir saja membawanya serta ke dalam kekuasaan maut. Karena itu Panembahan Agung tentu merupakan orang yang lebih berbahaya dari Panembahan Alit itu.”
“Baiklah, Ki Gede,” jawab Sumangkar,
“aku akan sangat berhati-hati.”
Ki Sumangkar pun meninggalkan para pemimpin pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh yang sedang menunggui Kiai Gringsing. Namun agaknya keadaan Kiai Gringsing sendiri menjadi berangsur baik. Dengan tergesa-gesa Sumangkar mencoba mencari jejak yang ditinggalkan oleh Ki waskita. Karena Ki Waskita tidak berusaha untuk menghilangkan jejaknya, maka Ki Sumangkar dapat melihat dengan jelas. Ranting-ranting yang patah, rerumputan yang terinjak kaki dan jejak-jejak kaki di atas tanah berdebu di sela-sela batu padas.

Sementara itu, Panembahan Agung masih menunggu. Beberapa orang pengawalnya yang menebar dengan penuh kewaspadaan mengawasi segala penjuru. Setiap saat Ki Waskita yang juga disebut Jaka Raras itu dapat meloncat menyerang. Ki Waskita sendiri tidak berani bertindak dengan tergesa-gesa. Ia pun menyadari bahwa Panembahan Agung bukan orang yang dapat diabaikan kemampuannya, meskipun Jaka Raras sendiri memiliki bekal yang cukup untuk melawannya. Panahnya dan kekuatan busurnya yang besar, merupakan senjata yang sangat dahsyat. Jika anak panah itu berhasil menyentuh tubuhnya maka tulang-tulangnya pun akan menjadi lumat karenanya. Karena itu Ki Waskita harus memperhitungkan sebaik-baiknya, apakah yang harus dilakukannya. Dari tempatnya bersembunyi, ia dapat melihat samar-samar beberapa orang pengawal Panembahan Agung, sehingga karena itu ia harus bertindak dengan tepat. Jika pengawalnya itu dapat mengetahui, bahwa ia bersembunyi di balik gerumbul atau batu, maka Panembahan Agung tentu akan menghancurkan batu atau membakar gerumbul itu dengan panahnya yang besar sekali itu. Sejenak Ki Waskita mencari cara yang paling baik dilakukan. Ia pun sadar, bahwa para pengawal Panembahan Agung itu tentu bukan orang-orang kebanyakan pula. Mereka tentu dipilih di antara pengawal yang lain.
Panembahan Agung sendiri menjadi sangat tegang. Sudah beberapa lama ia menunggu. Rasa-rasanya bahkan sudah terlampau lama. Tetapi Ki Waskita masih belum berbuat sesuatu. Tetapi Ki Waskita tidak dapat dipancingnya keluar. Panembahan Agung sadar bahwa Ki Waskita yang dikenalnya bernama Jaka Raras itu pun mempunyai perhitungan yang masak pula.
Karena itu untuk beberapa saat lamanya, kedua belah pihak hanya saling menunggu saja. Panembahan Agung tidak dapat mencari Ki Waskita, sedang Ki Waskita tidak segera menemukan cara untuk menyerang, karena Panembahan Agung memiliki beberapa orang pengawal. Jika ia menyerang juga, maka kedatangannya tentu sudah diketahui sebelumnya, dan anak panah Panembahan Agung akan menghujaninya tanpa kesempatan untuk mengelak sama sekali. Dalam pada itu, Sumangkar pun menjadi semakin dekat pula dengan arena ketegangan yang senyap itu. Dari puncak bukit ia mencoba memandang ke tebing seberang. Sejenak Sumangkar merenung. Ia tahu pasti, bahwa jejak Ki Waskita berhenti untuk sesaat di tempat itu. Tiba-tiba dadanya menjadi berdebar-debar. Di lereng, ia melihat beberapa buah bintik yang bergerak-gerak. Ia melihat beberapa orang yang berdiri dan berjalan-jalan hilir-mudik.
“Apakah mereka itu Panembahan Agung dengan pengawalnya?” bertanya Sumangkar di dalam hati.
Tetapi Sumangkar tidak yakin akan penglihatannya. Kadang-kadang ia masih saja ragu-ragu, bahwa ia melihat bentuk semu yang sebenarnya sama sekali tidak ada. Karena itu untuk beberapa saat Sumangkar tidak melanjutkan langkahnya. Ia masih menunggu, apakah sebenarnya yang dilihatnya itu.
Sementara itu, Ki Waskita yang masih saja bersembunyi di balik sebuah batu, tiba-tiba mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejengkal ia bergeser. Dilihatnya seseorang yang berdiri beberapa langkah daripadanya, menghadap ke arah yang lain. Ketika dengan hati-hati ia menjenguk semakin jauh, dilihatnya orang yang lain lagi dengan senjata telanjang di tangannya. Tiba-tiba saja Ki Waskita bertekad untuk mulai. Ia tidak dapat berada di balik batu untuk waktu yang tidak terbatas. Apa pun yang terjadi, ia sudah bertekad untuk melawan Panembahan Agung sejadi-jadinya. Sejenak ia memusatkan kemampuan lahir dan batinnya. Sekali lagi ia memohon kepada Penciptanya, agar ia mendapatkan petunjuk, apakah yang harus dilakukannya. Dalam pada itu, para pengawal Panembahan Agung itu pun tiba-tiba terkejut ketika mereka melihat seseorang yang merunduk dari balik sebuah batu dan hilang di belakang semak-semak. Sejenak mereka termangu-mangu. Namun kemudian salah seorang dari mereka berdesis,
“Aku melihat sesuatu bergerak di balik gerumbul itu.”
“Ya. Aku juga,” sahut yang lain.
“Kita lihat, siapa yang berada di balik gerumbul itu. Jika benar yang kita lihat itu seseorang, maka tentu orang yang sedang kita tunggu itulah.”
Dengan hati-hati keduanya mendekati gerumbul itu. Beberapa langkah kemudian mereka berpencar. Mereka ingin mencapai orang yang bersembunyi itu dari dua arah. Namun agaknya orang yang bersembunyi itu telah melihat keduanya lebih dahulu, karena tiba-tiba saja orang itu pun merunduk berlari meninggalkan gerumbul itu ke gerumbul yang lain.
Setelah yakin bahwa yang ditunggunya berusaha menghindar maka salah seorang dari kedua pengawal itu berkata lantang,
“Orang itu berada di sini.”
Para pengawal yang lain pun berlari-larian mendekatinya. Dengan tegang pengawal itu menunjuk sebuah gerumbul perdu yang rimbun sambil berkata,
“Kepung gerumbul perdu itu.”
Dalam pada itu, Panembahan Agung pun menjadi tegang. Dari tempatnya ia tidak melihat sesuatu, sehingga karena itu ia bertanya,
“Apakah yang kalian lihat?”
“Seseorang. Tentu yang sedang mengejar kita,” jawab salah seorang.
“Di mana?”
“Ia berlari dari balik batu besar itu, kemudian bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul. Kita akan mengepungnya, agar orang itu tidak dapat lolos lagi.”
Panembahan Agung menjadi ragu-ragu. Tetapi ia berkata,
“Giringlah orang itu mendekat, agar aku dapat melumatkannya dengan anak panahku.”
“Baik, Panembahan.”
“Tetapi hati-hatilah. Ia bukan orang kebanyakan. Jika kalian tidak berhasil, berilah aku tanda sebelum kalian semuanya punah oleh ilmunya.”

Para pengawalnya itu pun kemudian berdiri dalam sebuah lingkaran mengepung sebuah gerumbul yang rimbun. Selangkah demi selangkah mereka maju, sedang Panembahan Agung pun sudah siap dengan anak panahnya. Namun betapa terkejut Panembahan Agung, ketika ia mendengar desir lembut di belakangnya. Dengan cepatnya ia memutar tubuhnya. Dan dilihatnya Jaka Raras itu berdiri beberapa langkah dari padanya.
“Gila,” Panembahan Agung itu bergumam.
“Ajaklah anak buahmu mengenal bentuk-bentuk semu itu Panembahan, agar anak buahmu tidak mengejar sekedar bayangan yang tidak berarti.”
Panembahan Agung tidak menjawab. Ia harus bertindak cepat menghadapi seseorang yang memiliki kelebihan seperti Jaka Raras itu agar ia tidak menjadi korban kelambatannya. Itulah sebabnya ia tidak menyahut lagi. Namun hampir tidak dapat dilihat dengan mata, tangannya telah memasang anak panah pada busurnya, menarik talinya, dan sekejap kemudian sebuah anak panah raksasa telah meluncur mengarah ke dada Jaka Raras. Tetapi Jaka Raras pun sudah bersiap menghadapi serangan itu. Selangkah ia bergeser, dan anak panah itu menghantam sebuah batu padas di belakangnya sehingga pecah berantakan. Namun Jaka Raras terkejut, bahwa sebelum ia sempat memperbaiki keseimbangannya, anak panah kedua telah terlepas dari busurnya. Dengan demikian Jaka Raras tidak dapat berbuat lain daripada melemparkan dirinya sekali lagi agar anak panah itu tidak menyambar lehernya. Tetapi demikian kakinya menginjak tanah berbatu padas, anak panah ketiga telah mengarah ke dadanya pula. Tidak ada kesempatan baginya untuk menghindar. Karena itu, maka tidak ada cara lain daripada melindungi dadanya dengan menangkis anak panah raksasa itu. Meskipun Jaka Raras masih agak ragu-ragu, tetapi ia tidak sempat membuat banyak pertimbangan. Diangkatnya tangannya yang dibalut dengan ikat pinggangnya yang berlapis baja tipis, tetapi baja pilihan. Sejenak kemudian terdengarlah benturan yang sangat dahsyat. Sepercik bunga api meloncat ke udara ketika mata anak panah Panembahan Agung menghantam baja pilihan lapisan dari ikat pinggang Ki Waskita yang dililitkan di tangannya itu.
Selangkah Ki Waskita terdesak surut. Tetapi ternyata bahwa lapisan baja pada ikat pinggangnya tidak sobek oleh ujung anak panah raksasa itu, meskipun tampak juga bekasnya yang lekuk cukup dalam. Panembahan Agung menjadi termangu-mangu melihat kemampuan Jaka Raras. Apalagi ketika Panembahan Agung melepaskan anak panahnya yang berikutnya. Jaka Raras yang telah berhasil menyiapkan dirinya, berdiri agak condong ke depan. Sebuah kakinya ditekuknya pada lututnya sedang kakinya yang lain ditariknya sedikit ke belakang. Tangan kirinya yang dibalut dengan ikat pinggangnya siap untuk menangkis setiap serangan, sedang tangannya yang lain telah memutar rantainya yang pada ujungnya disangkutkan sebuah cakram kecil yang bergerigi.
“Gila,” geram Panembahan Agung,
“kau berhasil menangkis anak panahku.”
“Panembahan,” berkata Ki Waskita,
“kita sudah menjadi semakin tua. Sebaiknya kita berbuat baik bagi sesama. Karena itu, cobalah mengerti, bahwa tidak ada gunanya lagi kau menumbuhkan pertengkaran di antara kita.”
“Tutup mulutmu!” bentak Panembahan Agung.
“Sebentar lagi kau akan mati dan dicincang oleh pengawal-pengawalku.”
Ki Waskita terdiam sejenak. Dilihatnya para pengawal Panembahan Agung yang agaknya sudah menyadari kesalahan mereka. Sejenak Ki Waskita berdiri termangu-mangu. Dilihatnya para pengawal itu memandanginya masih dari tempat mereka disesatkan oleh bentuk semu yang dibuat oleh Ki Waskita.
“Jaka Raras,” berkata Panembahan Agung,
“jangan menyesal bahwa kau sudah menyusul aku. Agaknya kau benar-benar sudah jemu hidup. Jika kau sudah menemukan anakmu, sebenarnya persoalanmu sudah selesai. Dan kau tidak perlu ikut campur dalam persoalan-persoalan berikut.”
Ki Waskita menarik nafas. Katanya,
“Panembahan Agung. Aku sudah berjanji di dalam diriku sendiri untuk menghentikan petualanganmu yang sesat itu. Kenapa kau tidak mendengarkan tawaranku. Berhentilah. Dan marilah kita berbuat baik untuk tanah kelahiran kita. Kita tahu bahwa Mataram itu kini sedang tumbuh. Apakah salahnya jika kita justru membantu. Bukan menghalang-halangi. Sudah berapa puluh korban yang jatuh dalam usahamu menggagalkan perkembangan Mataram karena ternyata kau sendiri menghendakinya. Hantu-hantuanmu telah gagal. Racun yang kau sebarkan di daerah yang sedang dibuka itu pun tidak berhasil. Kemudian kau mencoba membenturkan Pajang dan Mataram ketika Senapati Pajang di daerah Selatan ini, Untara, sedang melangsungkan perkawinannya. Yang terakhir kau berusaha menutup daerah yang seharusnya sedang berkembang itu dari dunia luar. Nah, kenapa kau tidak berpikir untuk menghentikan usahamu yang selalu gagal itu?”
“Jaka Raras,” jawab Panembahan Agung,
“setiap orang tentu mempunyai cita-cita. Aku pun mempunyai cita-cita. Apakah yang akan aku dapatkan jika Mataram menjadi ramai dan bahkan menjadi sebuah negeri. Aku hormat kepada Ki Gede Pemanahan, tetapi aku membenci Sutawijaya dalam segala bentuknya. Ia adalah putera angkat Sultan Pajang. Seharusnya ia tunduk kepada semua perintah ayah angkatnya, karena Sultan Pajang bukan saja ayah angkatnya, tetapi juga guru dan rajanya . Tiga kedudukan yang seharusnya memaksa Sutawijaya itu untuk tidak berbuat khianat kepada Pajang. Tetapi apa yang dilakukannya. Ia membuka Mataram dengan tujuan yang tidak baik. Ia ingin menghisap kebesaran Pajang ke Mataram. Dan yang terakhir, ia telah menodai seorang gadis yang dipersiapkan untuk menjadi isteri Sultan Pajang itu sendiri. Yang seharusnya menjadi ibunya.”
Jaka Raras mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya,
“Setiap orang dapat memandang Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar itu dari seginya masing-masing. Dan kau memandang dari segi yang buram. Tetapi demikian juga setiap orang berhak menyebut Sultan Pajang dengan semua kelebihan dan kekurangannya sehingga memaksa Sutawijaya untuk berbuat sesuatu.”
“Apakah bedanya solah tingkah Sutawijaya itu dengan yang sedang aku lakukan? Kita masing-masing ingin mengambil alih kekuasaan Pajang. Dan kita masing-masing mempunyai cara kita sendiri.”
“Panembahan Agung,” berkata Jaka Raras,
“apakah sebenarnya Sutawijaya itu sudah melakukan seperti yang kau katakan? Alas Mentaok sudah resmi diserahkan kepadanya oleh ayahandanya Sultan Pajang. Apakah salahnya jika ia membuka hutan itu dan kemudian mengusahakannya menjadi negeri yang ramai?”
“Kau jangan berpura-pura bodoh, Jaka Raras. Aku tahu kau memiliki ketajaman penglihatan lahir dan batin. Kau bukan saja mampu membuat uraian atas peristiwa-peristiwa yang terjadi, kemudian membuat kesimpulan berdasarkan perhitungan. Tetapi kau juga mampu melihat dari segi yang lain dari perhitungan nalarmu. Nah, karena itu jangan mencoba membodohkan diri sendiri.”
“Hanya karena prasangka buruk saja kau berpendapat demikian, Panembahan Agung, yang juga bergelar Panembahan Cahyakusuma dan pernah menyebut dirimu sendiri dengan Panembahan Panjer Bumi atau barangkali masih ada sebutan-sebutan lain. Seharusnya kau tidak usah berprasangka demikian. Biarlah Mataram berkembang.”
“Kau memiliki kemampuan tiada bandingnya. Tetapi jiwamu adalah jiwa penjilat kecil yang sama sekali tidak bercita-cita selain menggantungkan diri kepada orang lain. Kenapa kau tidak ingin berbuat sesuatu yang dapat mengangkat derajadmu? Kenapa kau sekedar menerima nasibmu yang buruk itu?”
“Setiap orang dapat bercita-cita setinggi bintang. Tetapi tidak setiap orang sampai hati berbuat onar seperti kau. Mengorbankan orang lain dan bahkan meletakkan bebanten tanpa hitungan. Caramu telah menimbulkan kekacauan dan bahkan kau harapkan peperangan antara Pajang dan Mataram. Apakah yang menarik dalam setiap peperangan? Kematian, luka-luka parah yang mengerikan? Anak-anak menjadi yatim dan perempuan menjadi janda? Adakah sepantasnya kita mencoba meraih cita-cita kita yang setinggi bintang itu dengan alas mayat yang bertimbun-timbun?”
“Kau memang berjiwa budak kecil yang hanya pantas menghambakan diri. Jika demikian sepanjang umurmu kau tidak akan dapat berdiri di depan.”
“Aku tidak memerlukannya, Panembahan Agung. Karena itu, marilah kita hentikan semuanya ini. Kau dapat bekerja bersama kami, membangun Mataram menjadi sebuah negeri.”
“Persetan! Jangan membujuk seperti membujuk anak kecil.”
“Jadi, apakah kita harus bertempur?”
“Apa boleh buat. Anak panahku pada suatu saat akan menyobek dadamu.”

Jaka Raras menarik nafas dalam-dalam. Dilihatnya para pengawal Panembahan Agung berdiri termangu-mangu.
“Panembahan,” berkata Jaka Raras,
“aku terpaksa bertindak atasmu. Aku akan menghapuskan semua kemampuan ilmumu. Jika kau tetap bertahan, maka aku minta maaf, bahwa jiwamu pun akan serta bersama ilmumu yang kau pergunakan untuk tujuan yang sesat itu, meskipun bukan itulah yang aku kehendaki.”
Wajah Panembahan Agung menjadi merah padam. Ia benar-benar merasa terhina oleh Jaka Raras, seakan-akan Jaka Raras itu pasti, bahwa ia tidak akan dapat melawannya. Karena itu, maka ia tidak berbicara lagi. Ia mulai lagi menghujani Jaka Raras dengan anak panah raksasa. Tetapi seperti yang sudah terjadi, Jaka Raras berhasil menangkis setiap anak panahnya. Sekali-sekali meloncat menghindar dan kadang-kadang memukul anak panah itu dengan cakram yang di putarnya seperti baling-baling. Panembahan Agung menjadi semakin marah melihat kemampuan Jaka Raras yang seharusnya telah diketahuinya. Karena itu maka tiba-tiba saja ia berteriak,
“Kepung orang ini! Hati-hati, jangan dikelabui lagi dengan bentuk-bentuk semu. Di hadapanku ia tidak akan sempat membuat bentuk-bentuk yang sebenarnya tidak ada itu.”


Halaman 1 2 3


<<< 1 Jilid 075                                 Jilid 077 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar