Jilid 073 Halaman 1



NAMUN ketika para peronda itu berusaha menghentikan iring-iringan kuda itu, maka mereka pun berloncatan minggir, karena mereka mendengar suara Pandan Wangi yang berkuda di paling depan,
“Aku. Akulah yang akan lewat. Pandan Wangi.”
Seseorang sempat bertanya keras-keras,
“Malam-malam begini?”
“Aku dari hutan perburuan,” sahut Pandan Wangi sambil berderap menjauh.
Para peronda itu menarik nafas dalam-dalam. Bahkan salah seorang dari mereka berdesis,
“He, kau yakin bahwa suara itu suara Pandan Wangi.”
“He, apakah kau mengigau. Bukankah kita bersama melihat ia berada di punggung kudanya.”
“Aku tidak melihatnya begitu jelas. Obor itu tidak begitu terang.”
“Dan di belakangnya adalah Prastawa.”
“Ya, ya. Di belakangnya Prastawa. Di antara mereka terdapat kedua anak-anak muda itu, yang dahulu pernah berada di Tanah ini, ketika berkecamuk pertengkaran di antara kita.”
“Ya. Tetapi siapakah yang seorang lagi?”
“Tamu Pandan Wangi yang manja itu.”
“Rudita?” orang itu ragu-ragu. Lalu, “Bukan, tentu bukan Rudita.”
“Tetapi Rudita ikut di dalam perburuan itu.”
“Ya, tetapi anak muda itu bukan Rudita. Rudita tidak membawa sebatang tombak pendek.”
“Kau lihat kuda tanpa penunggang, sedangkan yang lain dibebani oleh dua orang?”
“Tetapi dimuati dengan beban yang cukup banyak. Meskipun agaknya tidak terlalu berat, tetapi cukup memenuhi seluruh punggungnya.”
Kawannya tidak menyahut. Tetapi hal itu ternyata telah menarik perhatiannya.

Namun agaknya orang-orang di gardu peronda itu tidak mengetahui, bahwa di punggung kuda yang tidak berpenumpang itu tersangkut sehelai kulit seekor ular naga yang besar, selain beberapa perlengkapan berburu yang lain. Karena itulah, maka kuda itu sengaja tidak dibebani oleh seorang pun, meskipun bebannya sebenarnya lebih berat dari seseorang. Mereka pun kemudian memasuki padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Seperti setiap padukuhan yang lain, yang mereka lalui, maka derap kaki-kaki kuda itu pun telah mengejutkan mereka yang tinggal di sebelah-menyebelah jalan dan terutama para peronda di gardu-gardu. Namun para peronda itu pun kemudian menarik nafas dalam-dalam ketika mereka melihat Pandan Wangi dan kawan-kawannya lewat. Mereka mengerti, bahwa Pandan Wangi baru kembali dari hutan perburuan. Demikian juga, ketika derap kaki-kaki kuda itu memasuki halaman rumah Ki Argapati. Para peronda di regol halaman itu pun terkejut, meskipun memang kadang-kadang terjadi Pandan Wangi pulang dari hutan perburuan di malam hari. Derap kaki kuda yang memasuki halaman itu pun telah membangunkan Ki Argapati dan tamu-tamunya dari Sangkal Putung. Mereka hampir berbareng telah turun ke halaman, menyambut mereka yang baru datang dari daerah perburuan. Namun kuda yang tidak berpenumpang itu memang menarik perhatian. Sehingga Ki Argapati pun segera bertanya,
“Siapakah yang tidak ada di antara kalian?”
Pandan Wangi menjadi berdebar-debar. Sejenak ia memandang berkeliling. Tetapi karena ayah dan ibu Rudita belum nampak di antara mereka, maka ia pun segera berbisik kepada ayahnya,
“Ada yang kosong Ayah, tetapi ada yang terpaksa membawa dua orang di satu punggung kuda.”
Ki Argapati mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata sambil mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Jadi sengaja kuda yang seekor itu kalian muati dengan barang-barang dan alat-alat berburu?”
“Sebagian benar,” sahut Pandan Wangi.
Ki Argapati tidak segera menangkap maksud anaknya. Ketika ia kemudian memandang berkeliling, semua penunggang kuda telah berloncatan turun.
“Kuda itu juga membawa sehelai kulit seekor naga raksasa.”
“He, naga raksasa. Di mana kau mendapatkannya?” Pandan Wangi tidak menjawab pertanyaan ayahnya, tetapi ia berkata,
“Ada yang lebih menarik dari sehelai kulit naga raksasa itu.”
“Apa?”
“Rudita hilang, Ayah.”
“He,” kata-kata itu benar-benar telah mengejutkan Ki Argapati dan tamu-tamunya dari Sangkal Putung, sehingga dengan serta-merta Ki Gede Menoreh berkata,
“Berkatalah yang benar.”
“Benar, Ayah. Dan di antara kami sekarang adalah Raden Sutawijaya.”
“He, apakah yang kau katakan itu. Kau belum memberi penjelasan tentang Rudita, sekarang kau menyebut nama Raden Sutawijaya.”
“Ia ada di antara kami.”
“Apakah kau mengigau?”
Pandan Wangi tidak menjawab. Ia memberi kesempatan seorang anak muda yang bersenjata tombak pendek melangkah maju mendekati Ki Gede Menoreh,
“Ya, Paman. Aku datang bersama dengan Pandan Wangi dan pengiringnya.”
“Raden Sutawijaya?”

Beberapa orang melihat anak muda itu menyibak para pengiring Pandan Wangi dan seleret sinar obor jatuh di atas wajahnya. Sambil tersenyum, Sutawijaya berkata selanjutnya,
“Ternyata bahwa selama berburu di hutan liar itu, Pandan Wangi dan orang-orangnya banyak menjumpai ujian yang berat.”
Ki Argapati mengangguk-angguk. Katanya kemudian,
“Tetapi marilah, Raden, kita naik ke pendapa. Aku belum mengucapkan selamat datang kepada Raden.”
“Baiklah, Paman. Tetapi sebaiknya Paman mendengarkan dahulu ceritera tentang anak muda yang disebut bernama Rudita itu.”
“O, bagaimana dengan Rudita? Apakah benar hilang?”
“Biarlah Pandan Wangi menceriterakannya.”
Ki Argapati memandang Pandan Wangi sejenak, ia pun bertanya,
“Bagaimanakah sebenarnya yang terjadi?”
Maka Pandan Wangi pun segera menceriterakan tentang Rudita yang ditinggalkannya sendiri, karena semula ia mengkhawatirkan keselamatannya. Namun justru kemudian Rudita itu hilang tanpa jejak, selain hanya beberapa ciri yang memberikan sekedar tanda-tanda yang kurang jelas.”
“Hilang, jadi Rudita benar-benar hilang?” desis Ki Argapati.
“Ya, Ayah.”
Wajah Ki Gede Menoreh menjadi tegang. Namun kemudian ia pun menarik nafas dalam-dalam sambil berkata,
“Suatu cobaan yang berat bagi kita, Pandan Wangi.”
“Aku mengerti, Ayah,” Pandan Wangi menunduk wajahnya,
“tetapi yang terjadi adalah di luar kemampuanku. Ia sangat manja dan apalagi penakut. Aku mengalami kesulitan membawanya serta di dalam perburuan.”
Ki Argapati pun kemudian berpaling memandang Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Demang yang berdiri di antara mereka. Mereka tidak sempat mengucapkan selamat datang kepada Raden Sutawijaya, karena Pandan Wangi tidak memberinya kesempatan. Namun Pandan Wangi tidak dapat lagi mengingat adat sopan-santun itu lagi, karena kegelisahan yang meluap di dalam hatinya.
“Kiai, kita kehilangan seorang tamu,” desis Argapati.
“Memang menyulitkan sekali,” sahut Kiai Gringsing. Lalu,
“Apakah kau juga menyaksikan peristiwa itu Raden?” bertanya Kiai Gringsing kepada Raden Sutawijaya.
Barulah Raden Sutawijaya sadar, bahwa ia berhadapan dengan Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Demang Sangkal Putung.
“O, maaf, Kiai. Aku belum sempat mengucapkan selamat bertemu lagi.”
“Selamat, Ngger. Tetapi kedatangan Angger kali ini ternyata membawa berita yang sangat mengejutkan.”
“Nanti aku akan menceriterakan semua yang telah teriadi, Kiai, sehingga Kiai akan mendapat gambaran tentang peristiwa itu.”

Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Demang Sangkal Putung hanya mengangguk-anggukkan kepala saja. Namun Ki Argapati lah yang kemudian mempersilahkan tamunya,
“Marilah, duduklah dahulu.”
Raden Sutawijaya itu pun kemudian duduk di pendapa bersama orang-orang Menoreh dan Sangkal Putung. Mereka memperbincangkan setiap kemungkinan yang dapat terjadi atas Rudita.
“Benar-benar kita dihadapkan pada suatu kesulitan.”
“Ayah,” pinta Pandan Wangi,
“aku tidak sampai hati mengatakan hal ini kepada Paman dan Bibi. Rudita adalah anak satu-satunya bagi orang tuanya. Jika ia tidak dapat diketemukan dalam keadaan selamat, maka ayah dan ibunya akan mengalami kejutan yang sepanjang hidupnya tidak akan dapat dilupakan. Dan mereka pun akan menjadi sangat marah pula kepadaku.”
Ki Argapati tidak segera dapat menyahut.
“Ayah. Biarlah Ayah saja yang menyampaikan kepada ayah dan ibu Rudita, diikuti dengan permohonan maaf.”
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia memandang pintu gandok di seberang longkangan yang masih tertutup. Di gandok itulah, ayah dan ibu Rudita bermalam selama ia berada di Tanah Perdikan Menoreh.
“Baiklah,” berkata Ki Argapati kemudian,
“aku akan mengatakannya, meskipun aku menyadari, bahwa hal ini akan sangat mengejutkan mereka, terutama ibunya. Rudita adalah satu-satunya anak mereka yang sangat mereka manjakan. Jika Rudita itu benar-benar hilang, maka aku dapat menggambarkan, betapa pedihnya hati mereka.”
“Tetapi Ayah dapat menjelaskan, bahwa kami akan mencarinya. Kami akan membawa pengawal lebih banyak lagi, karena ternyata di daerah ujung dari Tanah Perdikan kita, terdapat sebuah padepokan yang agaknya dipergunakan oleh seseorang yang menamakan dirinya Panembahan Agung itu.”
“Mungkin masih di batas telatah Menoreh, tetapi mungkin pula di seberang,” desis Sutawijaya menyela,
“aku masih belum tahu pasti letak padepokan itu. Bahkan mungkin bukan sebuah padepokan, tetapi hanya sekedar sarang yang mereka pergunakan untuk sementara.”
“Mungkin, memang mungkin. Mencari Rudita bukannya pekerjaan yang mudah,” desis Ki Argapati,
“namun bagaimanapun juga kita bertanggung jawab atas hilangnya anak itu. Anak yang sama sekali tidak pernah menyiapkan dirinya menghadapi kekerasan, meskipun ayahnya seorang yang memiliki banyak kelebihan. Bukan saja kanuragan, tetapi menurut pendengaranku, ia memiliki ilmu yang jarang dimiliki oleh seseorang. Selain pandangannya yang tajam dan jauh, yang mampu menembus batas waktu kini, yang sudah lampau dan yang akan datang, namun ia juga memiliki kemampuan-kemampuan lain yang bukan sekedar kasat mata.”

Raden Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Teringat olehnya pemomongnya di masa kanak-kanak yang kini seakan-akan telah hilang dari lingkungan Istana Pajang, Ki Gilingwesi, yang menurut pendengarannya terakhir bertapa di atas Gunung Merapi. Orang itu pun menurut pendengarannya memiliki ilmu yang gaib. Dalam pada itu, Kiai Gringsing pun menarik nafas dalam-dalam. Sejenak dipandanginya Ki Argapati yang ikut berprihatin atas hilangnya Rudita. Tetapi pembicaraan mengenai ilmu yang gaib itu telah menyentuh perasaannya. Sebenarnyalah balwa Kiai Gringsing pernah mempelajarinya. Tetapi ilmu itu disimpannya rapat-rapat di dalam dirinya. Ilmu yang seakan-akan memiliki kemampuan jauh di luar jangkauan akal itu sebenarnya tidak banyak berpengaruh. Namun di dalam saat-saat tertentu, ilmu semacam itu memang dapat dipergunakannya. Meskipun Kiai Gringsing sadar, bahwa ilmu yang gaib semacam itu, tidak hanya ada satu atau dua jenis, tetapi ada bermacam-macam, sehingga yang satu tidak sama dengan yang lain. Demikian juga ilmu yang pernah dipelajari oleh Kiai Gringsing itu jauh berbeda dengan ilmu yang dimiliki oleh ayah Rudita. Kiai Gringsing tidak sanggup untuk melihat menembus batas waktu, apalagi yang cukup jauh. Ia hanya dapat memperhitungkan berdasarkan pengalaman, kenyataan-kenyataan yang pernah terjadi dan kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapinya. Perhitungan demikian memang tidak selamanya tepat, tetapi apabila ia yakin, maka dapat juga agaknya dijadikan pegangan. Keyakinan itulah yang menjadi dasar ilmu Kiai Gringsing. Ia tidak dapat membakar hutan dengan tatapan matanya. Ia tidak dapat menjadikan dirinya kebal tanpa dapat dilukai senjata. Dan ia tidak dapat menciptakan bentuk-bentuk bayangan yang seakan-akan menjadi suatu kenyataan.
Namun Kiai Gringsing memiliki ilmu yang disebutnya sekedar sebuah perisai. Itulah yang memberikan kemantapan pada pribadinya. Selain perisai dalam bentuk olah kanuragan, namun ia memiliki kemampuan menyadari kediriannya, kepribadiannya. Dengan demikian, maka Kiai Gringsing tidak mudah ditembus oleh ilmu yang gaib dari orang lain. Ia tidak mudah dapat dipengaruhi dengan cara yang betapapun juga. Panca inderanyalah yang seakan-akan menjadi kebal dari pengaruh ilmu gaib itu. Dan ilmu itulah ilmu gaib yang dimiliki oleh Kiai Gringsing. Ilmu yang karena keyakinannya atas dirinya di dalam hubungannya dengan Penciptanya, dengan kemurnian indera dan angan-angan, sehingga ia dapat membebaskan dirinya dari pengaruh gaib yang lain.
“Tetapi agaknya ayah Rudita memiliki ilmu yang lain,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya,
“selain kemampuannya menembus waktu, agaknya ia mampu berbuat sesuatu. Tetapi ia orang baik. Dan itulah kelebihannya yang paling berharga.”
Pertemuan yang tiba-tiba itu agaknya telah menegangkan hati. Apalagi Ki Argapati, yang kakinya masih belum dapat pulih sama sekali, meskipun ia masih tetap seorang yang memiliki kelebihan dari orang lain.
“Besok aku akan mengatakannya,” desis Ki Argapati tiba-tiba.
“Tetapi apakah mereka tidak akan terbangun mendengar kita berbicara di pendapa ini?” bertanya Pandan Wangi.
“Ternyata mereka tidak juga keluar.”
“Terserah kepada Ayah. Sebentar lagi fajar akan segera menyingsing.”
“Sekarang, beristirahatlah. Aku akan berbicara dengan orang-orang tua.”

Pandan Wangi dan anak-anak muda yang lain pun segera meninggalkan pendapa itu. Yang tinggal hanyalah orang-orang tua yang masih tetap mencari jalan, bagaimana mereka akan berbuat untuk menyelamatkan Rudita. Namun dalam pada itu, sebenarnyalah ayah Rudita sudah terbangun. Sebuah getaran yang dahsyat telah menggetarkan dadanya. Karena itulah, maka justru ia sedang mencoba mengetahui apakah maknanya. Dengan daya penglihatan batinnya, ayah Rudita ingin mengetahui getaran apakah sebenarnya yang telah mengguncang jantungnya itu. Perlahan-lahan ayah Rudita itu berhasil melihat di dalam isyarat yang gaib, peristiwa yang menimpa anaknya. Meskipun ia tidak melihat pasti, apakah yang sudah terjadi, tetapi ia melihat, bahwa anaknya sedang dicengkam oleh bahaya yang mengancam nyawanya. Ayah Rudita itu pun menarik nafas dalam-dalam. Sebagai seorang ayah, ia menjadi sangat cemas. Namun di dalam penglihatannya, ia masih mempunyai harapan untuk menemukan anaknya, karena sampai saat itu, anaknya masih dianggapnya selamat.
“Tetapi apakah yang dapat aku lakukan?” berkata laki-laki itu di dalam hatinya.
“Jika ibunya mengetahui, maka aku akan lebih banyak dicengkam oleh kebingungan, sehingga penglihatanku akan menjadi kabur. Namun bagaimanapun juga, adalah kewajibanku untuk menemukannya.”
Tanpa membangunkan isterinya, laki-laki itu pun bangkit dari pembaringan dan melangkah keluar. Derit pintu gandok agaknya terdengar dari pendapa, sehingga orang-orang yang ada di pendapa itu pun berpaling kepadanya. Terasa dada Ki Argapati menjadi berdebar-debar. Ia sadar, bahwa orang tua Rudita dapat menuntut pertanggungan jawab Pandan Wangi. Namun agaknya yang terjadi itu adalah di luar kemampuan anak gadisnya dan kawan-kawannya. Perlahan-lahan ayah Rudita mendekati Ki Argapati. Sekilas ia tersenyum. Kemudian ia pun menyapanya,
“Ki Gede masih juga berjaga-jaga di pendapa menjelang fajar?”
Ki Argapati pun masih mencoba tersenyum dan mempersilahkan laki-laki itu duduk. Sejenak ia menjadi termangu-mangu. Namun kemudian ia berkata dengan suara yang tertahan-tahan,
“Pandan Wangi telah datang dari daerah perburuannya.”
“O,” laki-laki itu mengangguk-angguk. Dan ia pun mulai merasakan kebenaran getaran isyarat di dalam dirinya. Jika Pandan Wangi telah datang, dan Rudita tidak besertanya, maka ia benar-benar telah dicengkam oleh bahaya.
“Tetapi,” suara Ki Argapati menjadi bertambah dalam,
“Rudita tidak datang bersamanya.”
Laki-laki itu menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Perlahan ia bertanya,
“Di manakah anak itu?”
Ki Argapati pun kemudian menceriterakan apa yang sudah terjadi atas Rudita, betapapun beratnya.
“Tetapi Pandan Wangi bersedia untuk mencarinya. Ia akan segera menyiapkan pengawal yang lebih banyak. Dan sudah barang tentu, kami tidak akan membiarkan anak-anak itu berkeliaran tanpa pengawasan kami setelah peristiwa ini terjadi.”

Ayah Rudita itu termenung sejenak. Terbayang di rongga matanya, bagaimanakah terkejut isterinya jika ia mendengarnya. Namun ia pun sadar, bahwa ia tidak dapat mempersalahkan siapa pun juga. Yang terjadi adalah seolah-olah sebuah kecelakaan bagi Rudita, dan dalam persoalan itu, tidak akan dapat menyalahkan orang lain.
“Besok, jika pasukan pengawal terpilih sudah siap, ia akan segera berangkat. Tetapi kami pun harus berhati-hati, agar kami tidak terjebak, dan tidak sebagai serangga menjelang api. Karena sebenarnyalah kami tidak mengetahui, betapa besar pasukan orang-orang yang tidak kita kenali itu. Kita masih harus memperhitungkan, apakah Daksina, seorang perwira dari Pajang itu hanya seorang diri di daerah yang masih buas itu atau ia membawa sepasukan prajurit bawahannya dari Pajang.”
Ayah Rudita mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Memang semuanya harus diperhitungkan. Dan aku mengucapkan terima kasih atas kesediaan Pandan Wangi mencari anak itu. Dan apalagi dengan orang-orang yang mendapat kepercayaan Ki Gede.”
“Aku sendiri akan pergi,” berkata Ki Gede.
“Tetapi……” sahut ayah Rudita.
“Kakiku sudah berangsur menjadi semakin baik. Meskipun perlahan-lahan sekali, namun semakin lama terasa kemajuannya, karena aku membiasakan mempergunakannya. Mungkin kakiku tidak bertambah baik. Tetapi akulah yang menjadi biasa dengan kaki yang cacat ini.”
“Tetapi sebaiknya Ki Argapati tetap di rumah. Biarlah aku mengikuti anak-anak itu mencari Rudita.”
“Tidak ada salahnya aku ikut. Aku ingin melihat padepokan orang yang menyebut dirinya Panembahan Agung.”
“Panembahan Agung,” ayah Rudita mengerutkan keningnya. Lalu sambil mengangguk-angguk ia berdesis,
“Aku pernah mendengar nama itu. Atau nama yang mirip dengan itu. Seorang yang menyebut dirinya Panembahan Panjer Bumi. Tetapi mungkin juga orangnya lain. Panembahan Panjer Bumi adalah seorang yang diliputi rahasia dan berkeliaran di sebelah Utara pegunungan kapur itu.”
“Memang ada banyak orang yang menyebut dirinya panembahan,” sahut Kiai Gringsing.
“Aku juga pernah bertemu dengan seseorang yang menyebut dirinya panembahan tanpa nama.”
Ayah Rudita menarik nafas dalam-dalam. Namun ia masih diterangi oleh sebuah harapan meskipun samar-samar. Tetapi sampai kapan harapan itu dapat dipegangnya. Jika saatnya terjadi atas Rudita, maka harapan itu pun akan segera padam.
“Memang tidak ada jalan lain kecuali segera mencarinya. Aku tidak kuasa untuk mencegah sesuatu yang mungkin terjadi atasnya dengan kemampuanku dari rumah ini,” katanya di dalam hati.
“Ki Argapati,” berkata ayah Rudita kemudian,
“aku pun akan mempersiapkan diri. Barangkali sudah sepantasnya aku, ayahnya, ikut mencarinya. Mungkin ada sesuatu yang dapat aku lakukan untuk menyelamatkannya.”
Ki Argapati tidak akan dapat menolak. Tentu orang tua Rudita itu pun dicengkam oleh kegelisahan. Meskipun ia memiliki ilmu untuk menembus batas waktu dan tempat, namun ia tidak akan dapat berbuat sesuatu atas yang terjadi selain menangkap isyaratnya. Dan isyarat yang gelap akan membuat hatinya menjadi semakin gelap.
“Kadang-kadang beruntung juga rasanya, bahwa aku tidak mengetahui apa yang terjadi, meskipun hanya sekedar isyarat yang samar-samar. Dengan demikian usaha, dan ikhtiar tidak akan dilemahkan oleh isyarat-isyarat itu, apalagi apabila kita salah mengurai arti dari isyarat itu,” berkata Ki Argapati di dalam hatinya, karena ia sadar bahwa yang terjadi itu akan tetap terjadi, ada atau tidak ada isyarat. “Tetapi,” ia melanjutkan,
“kadang-kadang isyarat memang menjadi pendorong untuk berbuat sesuatu.”
Dalam pada itu, maka malam pun menjadi semakin lama semakin tipis. Cahaya kemerah-merahan mulai membayang di langit. Dan cahaya kemerah-merahan itu adalah isyarat akan datangnya fajar, disambut oleh kokok ayam jantan yang bersahut-sahutan.
“Baiklah aku berkemas,” berkata ayah Rudita,
“bukankah kita akan segera berangkat mencari Rudita?”
“Memang semakin cepat semakin baik. Jejaknya mungkin masih membekas, dan kemungkinan-kemungkinan yang tidak kita harapkan barangkali masih dapat dihindarkan,” sahut Ki Argapati.
“Jika fajar menjadi semakin terang, aku akan memerintahkan para pengawal bersiap. Para pengawal pilihan, karena kita akan menjelang suatu daerah yang belum pernah kita jajagi.”

Ayah Rudita itu pun kemudian meninggalkan pendapa itu. Ia pun sebenarnya bukan saja dibingungkan oleh hilangnya Rudita, tetapi juga untuk menemukan cara mengatakan hal itu kepada isterinya. Dalam pada itu, selagi Ki Argapati masih duduk di pendapa bersama Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Demang Sangkal Putung, maka Pandan Wangi pun telah berada di dalam biliknya. Beberapa saat lamanya ia duduk merenung. Kadang-kadang hatinya menjadi kelam. Bagaimanapun juga ia sangat terpengaruh oleh hilangnya Rudita, seolah-olah segenap pertanggungan jawab ada di atas pundaknya. Sementara itu, di gandok yang lain, Agung Sedayu dan Swandaru duduk bersama Raden Sutawijaya dan Prastawa. Mereka pun masih juga dibayangi oleh peristiwa yang baru saja terjadi.
“Jika kalian tidak bertemu dengan kami, maka anak itu tidak akan hilang,” desis Raden Sutawijaya.
“Kita tidak dapat mencari kesalahan pada diri kita masing-masing, Raden,” sahut Agung Sedayu.
“Kita semuanya bersalah. Yang penting, bagaimana kita akan dapat menemukannya kembali.”
“Aku mengharap, hari ini pasukan yang lebih kuat akan datang langsung kemari. Orang-orangku yang membawa korban kawan-kawannya itu pasti sudah sampai di tlatah Mataram jika mereka tidak terjebak oleh Daksina. Dan mereka akan mengatakan semuanya kepada Ayahanda Ki Gede Pemanahan. Dan ayahanda akan mengetahui, apakah yang sebaiknya dilakukan buat aku dan terlebih-lebih buat Mataram.”
Agung Sedayu, Swandaru, dan Prastawa mengangguk-angguk. Sejenak mereka berdiam diri, namun tiba-tiba saja di luar dugaan Swandaru bertanya,
“Tetapi Raden, barangkali pertanyaanku tidak menyenangkan. Namun karena aku sendiri sedang dipengaruhi oleh suasana yang serupa, maka agaknya aku ingin bertanya, apakah mungkin ancaman Daksina itu dapat dilakukannya, karena ia menyebut seorang gadis yang tersangkut di dalam persoalan antara Mataram dan Pajang?”
“Ah,” desis Raden Sutawijaya yang tiba-tiba menjadi tersipu-sipu.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi agaknya ia tertarik juga pada pertanyaan Swandaru itu. Meskipun demikian ia tidak mengatakan sesuatu. Bahkan Prastawa lah yang seakan-akan tanpa disadari pula mendesak,
“Ah, agaknya Raden memang sudah saatnya untuk kawin.”
Wajah Sutawijaya menjadi semakin merah. Meskipun demikian ia menjawab,
“Tidak ada persoalan apa-apa. Agaknya aku memang sudah terlibat dalam hubungan dengan seorang gadis. Tetapi bukankah itu wajar? Jika Daksina mencoba memeras dengan ceriteranya yang bukan-bukan, itu sama sekali bukan kebenaran.”
“Tetapi apakah salahnya jika Raden Sutawijaya memang sebenarnya berhubungan dengan seorang gadis seperti juga Swandaru sekarang?” sahut Prastawa.
“Ia datang untuk melamar Pandan Wangi. Bukankah itu wajar?”

Raden Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi menilik sikapnya ada sesuatu yang sengaja dirahasiakannya. Karena itu maka katanya kemudian,
“Sudahlah, kita berbicara tentang persoalan lain.”
Prastawa tersenyum. Katanya,
“Baiklah, kita berbicara tentang soal lain. Tetapi jika pada saatnya Raden benar-benar menemukan seorang gadis, maka kami mengharap agar Raden bersedia menerima kedatangan kami, diundang atau tidak diundang.”
Raden Sutawijaya hanya tersenyum saja. Tetapi ia kemudian berkata,
“Sebaiknya kita berbicara tentang Rudita. Begitu pasukanku tiba, kita akan berangkat. Pasukan yang aku minta adalah pasukan pengawal yang terpilih. Tidak hanya sepuluh sampai duapuluh orang. Tetapi paling sedikit aku harus membawa tigapuluh orang. Kita akan mengepung sarang gerombolan orang-orang yang telah mengambil Rudita itu. Dan barangkali di antara mereka terdapat prajurit-prajurit Pajang selain Daksina.”
“Tetapi Raden,” Agung Sedayu bertanya,
“apakah Raden pasti bahwa yang mengambil Rudita itu termasuk golongan Daksina dan kawan-kawannya. Apakah tidak mungkin ada pihak lain yang melakukannya dengan tujuan yang tidak ada hubungannya dengan Daksina?”
“Itu memang mungkin terjadi,” berkata Sutawijaya,
“tetapi di dalam keadaan itu, agaknya tentu orang-orang Daksina yang melakukannya dengan maksud-maksud tertentu.”
Yang mendengarkan keterangan Sutawijaya itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka pun berpendapat, bahwa yang mengambil Rudita tentu orang-orang di pihak Daksina, meskipun mereka kadang-kadang juga disentuh oleh pertanyaan, bahwa ada pihak lain yang mengambil keuntungan.
“Tetapi siapa?” pertanyaan lain menyusul, dan di susul pula oleh sebuah dugaan,
“Barangkali ayah Rudita mempunyai lawan atau saling bersaing.”
Dalam pada itu, ternyata perintah Ki Gede Menoreh untuk mengumpulkan para pengawal terpilih telah berpencar ke segenap padukuhan yang termasuk tlatah Tanah Perdikan Menoreh. Setiap padukuhan wajib mengirimkan dua atau tiga orang yang paling baik di antara para pengawal yang ada di padukuhan itu. Ternyata, bahwa para pengawal yang membawa perintah itu harus menjelaskan, bahwa yang diperlukan hanya dua atau tiga orang. Bukan sepuluh orang.
Beberapa orang pengawal menjadi kecewa, bahwa mereka tidak mendapat kesempatan kali itu. Namun mereka harus tunduk kepada setiap pemimpin kelompok yang menunjuk orang-orang terbaik di lingkungan mereka.
“Ada persoalan yang cukup gawat,” berkata utusan Ki Gede Menoreh itu kepada para pengawal.
“Seorang tamu Ki Gede ternyata telah hilang. Kita bersama-sama wajib mencarinya.”
Para pengawal mengangguk-angguk.
“Selain yang pergi bersama kami, maka yang tinggal pun harus bersiaga di padukuhan masing-masing. Jika kalian melihat orang-orang yang mencurigakan, apalagi membawa tamu Ki Gede itu, kalian harus cepat bertindak. Mungkin orang yang membawa tamu itu seorang yang sakti. Tetapi jika kalian sempat membunyikan isyarat, maka pengawal dari padukuhan di sekitar kalian akan datang. Betapa saktinya seseorang, tetapi kemampuannya pasti terbatas. Jika jumlah kita cukup banyak, maka mereka pun tentu akan dapat kita kuasai.”
Demikianlah, maka para pengawal itu pun mulai berkumpul di halaman rumah Kepala Tanah Perdikan Menoreh.

Pada saat di halaman mulai berdatangan beberapa orang pengawal, maka ibu Rudita menangis di dalam biliknya. Anaknya yang sangat dikasihinya itu tiba-tiba telah hilang.
“Apakah sengaja, Pandan Wangi dan anak-anak muda dari Sangkal Putung itu meninggalkan Rudita di hutan?” desis ibu Rudita di antara isaknya.
“Tentu tidak. Yang datang malam tadi bukan saja Pandan Wangi dan anak-anak muda Sangkal Putung itu, tetapi juga Raden Sutawijaya, putera angkat Sultan Pajang, yang sebenarnya adalah anak laki-laki Ki Gede Pemanahan.”
“Tetapi nampaknya anak-anak Sangkal Putung itu iri melihat kehadiran Rudita di sini. Apalagi anak yang datang untuk melamar Pandan Wangi. Mungkin anak itu sudah dibakar oleh perasaan cemburu.”
Tetapi suaminya menggelengkan kepalanya,
“Tentu tidak. Yang terjadi adalah sebuah kecelakaan.”
“Kau yakin?”
Laki-laki itu menganggukkan kepalanya. Meskipun ia tidak dapat melihat sampai ke soal yang sekecil-kecilnya di dalam pandangan indera gaibnya, namun untuk meyakinkan isterinya ia berkata,
“Ya. Aku dapat membedakan getar di dalam diriku. Sebenarnyalah aku sudah merasa, bahwa sesuatu terjadi atas Rudita. Dan aku merasa, bahwa yang terjadi adalah suatu kecelakaan.”
Isterinya tidak membantah lagi. Ia percaya kepada suaminya, bahwa ia memiliki kemampuan melihat. Namun demikian, sebenarnya ada kecurigaan juga padanya, bahwa suaminya tidak berkata sebenarnya seperti yang dilihatnya. Tetapi ibu Rudita itu tidak mendesaknya lagi. Sementara itu, halaman rumah Ki Gede Menoreh semakin lama menjadi semakin sibuk. Para pengawal terpilih dari beberapa padukuhan telah datang dengan perlengkapan perang menurut kebiasaan masing-masing. Ada yang membawa tombak pendek, pedang, perisai dan ada pula yang membawa bindi bergerigi.
Sutawijaya dan anak-anak muda dari Sangkal Putung menyaksikan kesibukan itu dari serambi gandok. Sementara itu Prastawa telah sibuk menyiapkan semua kelengkapan yang diperlukan untuk melakukan perburuan yang lebih besar itu.
“Ki Demang,” berkata Ki Argapati kepada Ki Demang Sangkal Putung,
“aku minta maaf, bahwa pembicaraan kita terpaksa diselingi dengan persiapan perang seperti ini. Aku terpaksa minta diri beberapa saat untuk menemukan tamu yang hilang itu. Jika tidak, maka akan dapat terjadi salah paham antara aku dan orang tua Rudita, terutama ibunya yang sangat mengasihinya. Biarlah Ki Demang tinggal di sini beberapa saat lamanya. Aku mengharap, bahwa kami tidak memerlukan waktu terlampau lama.”
“Tetapi menurut pendengaranku, Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar akan ikut serta dengan pasukan pengawal ini.”
“Ya. Mereka akan pergi bersama kami, juga ayah Rudita akan pergi.”
“Anakku pun akan pergi. Karena itu, biarlah aku pergi juga.”
“Sebaiknya Ki Demang tetap tinggal di sini.”
“Biarlah aku pergi. Aku ingin melihat apa yang akan terjadi. Apalagi Swandaru pun akan ikut pula bersama Angger Pandan Wangi.”
“Ya. Pandan Wangi merasa bertanggung jawab.”
“Raden Sutawijaya merasa bertanggung jawab pula.”
“Ya. Kami akan pergi bersama-sama,” Ki Gede berhenti sejenak, lalu,
“aku masih mengharap Ki Demang tinggal di rumah ini.”
“Terima kasih Ki Gede. Tetapi aku mohon diijinkan ikut serta.”
Gede menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak mencegahnya lagi.

Persiapan itu menjadi semakin lengkap. Karena itu, maka Ki Gede pun kemudian memanggil Raden Sutawijaya ke pendapa bersama tamu-tamunya. Termasuk ayah Rudita.
“Kita sudah bersiaga,” berkata Ki Argapati,
“kita akan segera berangkat mencari Rudita. Ternyata semuanya kita akan berangkat. Memang sebenarnya kita mengharap, bahwa ada yang tinggal. Ada yang mengharap aku tinggal, tetapi aku sendiri mengharap Ki Demang yang tinggal, yang lain mengharap orang lain lagi. Namun agaknya kita bersama-sama ingin mencari Rudita. Bagi Raden Sutawijaya dan bagi Menoreh, tentu ada juga alasan-alasan lain. Bukan saja mencari Rudita, tetapi ada sangkut pautnya juga dengan keamanan bagi Mataram dan Menoreh untuk selanjutnya.”
“Apakah kita akan segera berangkat?” bertanya Raden Sutawijaya.
“Ya. Kita sudah siap. Aku akan memberikan beberapa petunjuk. Dan aku akan minta seseorang yang aku anggap sudah mengenal daerah di sekitar tempat kejadian itu untuk memberikan beberapa keterangan mengenai daerah yang masih dapat kita anggap asing itu.”
“Tetapi aku berharap agar keberangkatan ini dapat ditunda beberapa saat saja.”
“Kenapa?” tiba-tiba ayah Rudita memotong.
“Aku sudah mengirimkan orang-orangku kembali ke Mataram dengan pesan, agar Ayahanda Ki Gede Pemanahan memerintahkan beberapa puluh pengawal terpilih untuk mengikuti aku pergi ke sarang Daksina dan orang-orangnya. Kita tidak tahu, apakah di sana ada sepasukan prajurit Pajang yang berpihak kepada Daksina. Karena itu, maka kita harus berhati-hati. Pasukan kita harus pasukan yang kuat. Jika kita terpaksa menghadapi kekuatan yang besar. Kecuali jika kita sempat mengirimkan seseorang atau dua untuk menyelidiki daerah itu terlebih dahulu.”
“Tetapi itu akan memakan waktu Raden,” berkata ayah Rudita.
“Maksudmu, apakah kita tidak dapat menunggu pasukan pengawal dari Mataram?”
Ayah Rudita menjadi termangu-mangu, demikian juga Ki Gede Menoreh. Karena itu, maka untuk beberapa saat mereka tidak segera dapat mengambil keputusan.
“Ki Gede,” berkata Sutawijaya,
“menilik kelengkapan orang-orang yang di bawa oleh Daksina, ada suatu kelompok yang teratur di bawah satu perintah. Menurut dugaanku, Daksina bukan orang tertinggi. Baik di dalam lingkungan orang-orang bersenjata itu, maupun perwira Pajang yang sengaja ingin melihat Pajang menjadi semakin lemah dan apabila mungkin hancur bersama Mataram. Karena itu, kita harus memperhitungkan kekuatan mereka baik-baik, agar bukan kitalah yang bagaikan serangga masuk ke dalam api.”

Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti apa yang dikatakan oleh Sutawijaya. Dan ia pun sudah berpikir seperti itu, Namun Ki Gede Menoreh dipengaruhi oleh tanggung jawabnya atas hilangnya Rudita, sehingga karena itu, maka ia menjawab,
“Kami tidak berkeberatan menunggu pasukan pengawal dari Mataram. Semakin kuat kita, itu semakin baik. Tetapi kita tidak boleh terlambat, sebab yang ingin kita selamatkan adalah nyawa seseorang.”
Raden Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia berpikir, lalu katanya,
“Ki Gede, bagaimana jika kita membagi pasukan. Bagaimana jika Ki Gede berangkat dahulu. Dengan demikian, maka apabila ada kesempatan Ki Gede dapat segera bertindak, Tetapi jika keadaan tidak memungkinkan Ki Gede dapat menunggu kedatanganku bersama pasukanku. Aku berharap, bahwa hari ini mereka akan sampai. Mereka akan menuju ke induk tanah perdikan ini dengan tanda-tanda damai dari Mataram, agar tidak menimbulkan salah paham dengan para pengawal Menoreh, apabila mereka belum sempat mendengar berita tentang kedatangan pasukan pengawal dari Mataram itu, yang sebenarnya aku harap pagi ini dapat diberitahukan kepada pengawal di sepanjang Kali Praga.”
Pendapat Sutawijaya itu agaknya merupakan jalan tengah yang baik. Sejenak Ki Gede Menoreh memandang ayah Rudita yang kecemasan.
“Ki Gede,” berkata ayah Rudita,
“pendapat Raden Sutawijaya itu adalah pendapat yang baik. Kita berangkat lebih dahulu. Sementara itu kita berjanji untuk bertemu di tempat yang kita tentukan.”
Ki Argapati ternyata sependapat. Katanya,
“Baiklah. Kami akan berangkat lebih dahulu Raden. Kami akan mencoba mendekati tempat yang pernah Raden kunjungi bersama Pandan Wangi itu. Namun kami pun tidak akan dapat sampai sebelum kami mengirimkan satu dua orang untuk mengamati keadaan. Tetapi sementara itu, kami sudah berada di dekat tempat itu.”
“Baiklah. Biarlah kami segera menyusul,” Raden Sutawijaya berhenti sejenak, lalu,
“tetapi jika diperkenankan, biarlah Agung Sedayu dan Swandaru pergi bersamaku, sementara Pandan Wangi dan Prastawa akan dapat menjadi penunjuk jalan bagi Ki Gede.”
Ki Gede Menoreh memandang kedua anak-anak muda Sangkal Putung itu sejenak, kemudian dipandanginya Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Demang Sangkal Putung.
“Biarlah ia pergi bersama Raden Sutawijaya,” berkata Kiai Gringsing,
“tetapi untuk melepaskan anak-anak itu pergi tanpa pengawasan agaknya meragukan juga. Karena itu, kita yang tua-tua pun sebaiknya membagi tugas. Biarlah Adi Sumangkar pergi bersama Ki Gede, sedang aku dan Ki Demang akan menyusul bersama Raden Sutawijaya.”
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pun sadar, bahwa yang akan mereka amati bukannya sekedar orang kebanyakan.

Mereka pun bersepakat untuk membagi pasukan mereka menjadi dua kelompok. Pasukan Mataram di bawah pimpinan Sutawijaya akan berangkat kemudian, bersama dengan Agung Sedayu dan Swandaru disertai oleh Kiai Gringsing dan Ki Demang Sangkal Putung yang tidak sampai hati melepaskan Swandaru pergi, meskipun sebenarnya bahaya yang akan dihadapi akan menjadi lebih besar bagi Ki Demang daripada Swandaru sendiri apabila mereka benar-benar berhasil, menemukan sarang orang yang menyebut dirinya Panembahan Agung itu. Dalam pada itu kelompok yang lain, yang terdiri dari pengawal terpilih Tanah Perdikan Menoreh mendahului di bawah pimpinan Ki Argapati sendiri yang kakinya masih belum pulih sama sekali. Dalam kelompok itu akan berangkat pula ayah Rudita, Ki Sumangkar dan Pandan Wangi serta Prastawa.
“Nah,” berkata Ki Argapati,
“kita membagi kerja. Kita akan bertemu di kaki bukit padas itu. Kita sudah menentukan isyarat yang harus kita ketahui jika kita terlibat dalam pertentangan di malam hari.”
“Ya, Ki Gede. Kami akan segera menyusul demikian pasukan Raden Sutawijaya datang,” sahut Kiai Gringsing.
“Sebenarnyalah bahwa kita harus berhati-hati. Selama ini aku sudah menjumpai beberapa orang yang pilih tanding. Pada masa Mataram dibayangi oleh hantu-hantuan, maka kami mengenal orang-orang yang bernama Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak. Kemudian kami mengenal orang-orang yang luar biasa menyerang para perwira Pajang di Jati Anom. Dan di perjalanan ke Menoreh kami bertemu dengan seseorang yang menyebut dirinya panembahan tidak bernama. Bahkan mungkin masih ada nama-nama lain yang berada di sudut yang lain dari Mataram dan Pajang, itulah sebabnya, maka tidak mustahil bahwa di dalam sarang mereka terdapat orang-orang semacam itu, ditambah dengan perwira-perwira Pajang yang mungkin terlibat.”
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Ternyata persiapan mereka cukup lama. Tetapi sayang, bahwa mereka tidak dapat menyalurkan kemampuan sekian banyak orang untuk tujuan yang lebih baik dari pamrih pribadi.”
“Ya. Dan untunglah, bahwa mereka tidak dapat mengerahkan kemampuan mereka dalam saat yang tepat, atau barangkali mereka salah menilai lawan-lawannya, sehingga seorang demi seorang pemimpin-pemimpin mereka yang mumpuni itu terbunuh,” jawab Kiai Graigsing.
“Namun mungkin juga ada pertentangan yang terpendam di antara mereka sendiri, sehingga kadang-kadang yang segolongan sengaja membiarkan golongan yang lain menjadi semakin lemah.”
“Kita masih diliputi oleh teka-teki. Baiklah, kita sekarang berpisah. Agaknya pasukan Menoreh telah benar-benar siap untuk berangkat.”
“Ki Gede,” potong Raden Sutawijaya,
“aku berharap agar Ki Gede memberitahukan para pengawas, bahwa pasukan Mataram akan datang.”
“Baiklah, Raden. Pada saat kita berangkat, maka akan aku memerintahkan dua orang pengawal untuk menghubungi para pengawas.”
“Terima kasih, Ki Gede,” sahut Sutawijaya,
“dengan demikian, maka agaknya kita sudah dapat melakukan tugas kita masing-masing sesuai dengan perjanjian.”

Maka Ki Gede memeriksa para pengawal itu untuk terakhir kalinya. Kemudian dipesankannya kepada para pengawal yang tinggal untuk mengawasi keadaan sebaik-baiknya. Mereka mendapat gambaran ke mana Ki Argapati akan pergi. Jika terjadi sesuatu di Tanah Perdikan itu, maka mereka akan dapat segera menghubungi Ki Argapati. Di beberapa tempat, Ki Gede akan memberikan isyarat dan tanda-tanda bagi orang-orang yang akan mencarinya. Sebaliknya, jika Ki Gede Menoreh memerlukan, maka pasukan cadangan harus sudah siap. Dalam keadaan mendesak, Ki Argapati akan mengirimkan penghubung berkuda, dan pasukan cadangan itu harus menyusul. Sebagian dari mereka adalah pasukan berkuda yang harus mencapai sasaran lebih cepat, sementara yang lain menyusul. Ketika semuanya sudah siap, maka pasukan pengawal Menoreh itu mulai berangkat. Sesaat Ki Gede berpaling ke gandok. Dilihatnya ibu Rudita menangis tersedu-sedu berdiri di muka pintu memandang suaminya dengan sepenuh harap.
“Aku akan membawanya kembali,” berkata ayah Rudita yang sudah siap untuk berangkat.
Isterinya hanya menganggukkan kepalanya saja.
“Berdoalah. Semua peristiwa yang terjadi tergatung kepada keputusan Yang Maha Kuasa. Kini aku sedang berusaha sebagai suatu kenyataan permohonanku dan permohonanmu. Mudah-mudahan dikabulkan.”
Sekali lagi isterinya mengangguk. Ki Gege Menoreh menarik nafas dalam-dalam, sedang Pandan Wangi menundukkan kepalanya. Ia mengerti, betapa sedihnya hati perempuan itu. Setelah semua perjanjian dan pesan dianggapnya sudah cukup, berangkatlah pasukan pengawal terpilih dari Tanah Perdikan Menoreh. Mereka mendapat keterangan dari orang-orang yang dianggap mengerti tentang daerah yang akan mereka datangi, ditambah dengan keterangan Prastawa dan Pandan Wangi.
Bersamaan dengan itu, maka dua orang pengawal berkuda telah pergi ke perbatasan di pinggir Kali Praga untuk memberitahukan, bahwa pasukan Mataram akan datang. Tetapi sama sekali tidak akan mengganggu Tanah Perdikan Menoreh, sebab mereka berniat untuk menemukan sarang orang-orang bersenjata yang sering mengganggu perkembangan Mataram dengan segala macam cara. Sementara itu, Kiai Gringsing, kedua muridnya, Ki Demang Sangkal Putung, dan Raden Sutawijaya masih berada di induk Tanah Perdikan Menoreh. Ketika matahari memanjat semakin tinggi mereka menjadi gelisah, karena pasukan Mataram masih belum datang. Tetapi mereka pun sadar, bahwa perjalanan dari Mataram ke Tanah Perdikan Menoreh memang memerlukan waktu. Seandainya orang-orang yang mengikuti Raden Sutawijaya itu selamat sampai ke Mataram dan menghadap Ayahanda Ki Gede Pemanahan, maka tentu diperlukan waktu untuk menyiapkan sepasukan pengawal pilihan. Pasukan yang terlatih baik untuk menghadapi segala macam medan. Menghadapi perang, dan menghadapi keragu-raguan rakyat di sepanjang daerah yang sedang dibuka.

Sementara itu, maka kedatangan para pengawal Mataram tanpa Raden Sutawujaya memang mengejutkan sekali. Apalagi mereka membawa beberapa sosok mayat dan orang-orang yang terluka. Keterangan yang diberikan oleh para pengawal yang kembali ke Mataram telah menimbulkan kecemasan di hati Ki Gede Pemanahan. Ia sadar, bahwa yang dihadapi Sutawijaya tentu sekelompok orang-orang yang pilih tanding, sehingga dengan demikian maka wajarlah, apabila Sutawijaya memerlukan sepasukan pengawal yang kuat. Sementara Ki Gede Pemanahan memerintahkan menyiapkan sepasukan pengawal yang kuat, maka ia sendiri telah dicengkam oleh kebimbangan yang tajam. Sebagai seorang ayah dan sebagai seorang pemimpin ia tidak akan dapat membiarkan Sutawijaya pergi sendiri. Tetapi untuk meninggalkan Mataram yang sedang berkembang dan sedang digoncang oleh berbagai macam keadaan itu. Ki Gede pun tidak sampai hati pula. Ada banyak persoalan yang dapat tumbuh dengan tiba-tiba di Mataram. Sikap Pajang yang meragukan dan mungkin justru goncangan dari dalam. Jika orang yang dengan sengaja ingin mengurungkan berdirinya Mataram, melihat bahwa Mataram sedang kosong, maka ada saja yang dapat terjadi. Apalagi pasukan-pasukan terpercaya juga sedang berada di luar. Dalam kebimbangan itulah Ki Gede Pemanahan memerlukan berbicara dengan seorang tua yang selalu dekat dengan dirinya. Orang tua yang sangat bijaksana dan mempunyai berbagai macam ilmu yang mapan di dalam olah kajiwan dan kanuragan, yang kebetulan berada di Mataram.
“Ki Juru Martani, persoalan ini sangat meragukan. Aku ingin pergi, tetapi aku juga ingin tetap menunggui Mataram,” berkata Ki Gede Pemanahan.
“Siapa saja yang telah pergi?”
“Aku tidak tahu. Tetapi Sutawijaya memerlukan sepasukan prajurit terkuat. Di daerah Tanah Perdikan Menoreh ia bertemu dengan Daksina, yang ternyata telah berkhianat terhadap Pajang dan menghendaki Pajang dan Mataram hancur bersama-sama.”
“Daksina,” ulang Ki Juru Martani,
“sikapnya memang tidak meyakinkan. Tetapi siapa saja yang ada di pihak Sutawijaya selain para pengawal Mataram? Apakah ia bekerja bersama dengan orang-orang Menoreh?”
“Hampir secara kebetulan. Bahkan hampir saja terjadi salah paham. Untunglah, bahwa akhirnya mereka bekerja bersama dengan baik. Namun ternyata bahwa menurut perhitungan Sutawijava, ia tidak akan mampu memasuki daerah orang-orang bersenjata itu tanpa kekuatan yang lebih besar. Ia masih menyangsikan, apakah Daksina itu tidak dibayangi oleh kekuatan yang jauh lebih besar lagi.”
“Apakah ia bertemu dengan Ki Gede Menoreh?”
“Waktu itu belum. Tetapi ia akan menemuinya. Yang ikut bersama Sutawijaya waktu itu adalah anak gadisnya. Pandan Wangi. Anak gadis yang aneh, yang mempunyai kemampuan seperti seorang anak muda yang terlatih baik. Di samping itu di antara mereka terdapat anak-anak muda bercambuk.”
“Siapakah mereka?”
“Murid dari seseorang yang menyebutnya Kiai Gringsing.”
“Nama itu memang pernah aku dengar. Apakah kau pernah bertemu dengan orang itu?”
“Ia selalu menghindar. Sejak kekalahan Tohpati ia sudah berada di antara pasukan Pajang pada waktu itu. Aku sendiri datang mengambil sisa-sisa pasukan Jipang yang menyerah. Tetapi orang itu tidak aku jumpai. Mungkin kita bertemu selintas, tetapi tidak dalam waktu yang cukup untuk mengenalnya.”
“Apakah ada sesuatu yang dirahasiakannya?”
“Aku tidak tahu. Tetapi Sutawijaya juga tidak percaya bahwa, Kiai Gringsing yang juga disebut Ki Tanu Metir itu benar-benar hanya seorang dukun padesan. Ia memiliki ilmu yang hampir sempurna.”
“Itu bukan pertanda.”
“Ya. Memang ada juga orang-orang yang hidup terpencil tetapi memiliki kemampuan keprajuritan yang tinggi. Tetapi ada alasan Sutawijaya untuk menganggapnya bahwa ia bukan orang kebanyakan.”
“Apakah orang itu ada di Menoreh?”
“Ya. Dan murid-muridnya sudah terlibat.”
“Jika demikian, kau dapat percaya kepadanya untuk sementara. Biarlah ia ikut pergi. Setidak-tidaknya ia akan mengamat-amati muridnya.”
“Sudah berulang kali ia berbuat sesuatu untuk kepentingan Mataram,” berkata Ki Gede Pemanahan. Kemudian diceriterakannya apa yang didengarnya dari laporan-laporan yang diterimanya tentang orang bercambuk itu.
“Jika demikian, kau tidak usah cemas lagi. Menurut perhitunganku, Ki Argapati dan Kiai Gringsing itu tentu akan melibatkan dirinya jika lawan anak-anak itu terlampau kuat. Bukan berarti kau dapat melepaskan tanggung jawabmu atas anakmu, tetapi Mataram memang tidak dapat kau tinggalkan.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar