Jilid 073 Halaman 2


Untuk mengimbanginya, kau harus mengirimkan sepasukan prajurit yang benar-benar kuat. Jika orang-orang itu tidak ada di antara pasukan pengawal Mataram nanti, maka pasukan itu sendiri dapat dipercaya untuk menyelesaikan masalahnya, setidak-tidaknya melindungi diri sendiri.

Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Apa yang dikatakan oleh Ki Juru Martani itu sebenarnya memang sudah dipikirkannya. Namun dengan demikian, ia menjadi semakin yakin, bahwa ia memang harus tetap berada di Mataram. Bahayanya sangat besar bagi daerah yang sedang tumbuh ini apabila ia pergi meninggalkannya dalam keadaan yang belum mantap itu. Maka Ki Gede Pemanahan pun segera mengirimkan sepasukan pengawal yang paling kuat. Agar mereka segera sampai ke tujuan, maka Ki Gede Pemanahan memerintahkan agar mereka pergi berkuda. Ki Gede juga mendengar laporan, bahwa di antara anak-anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh ada yang telah hilang. Dan hilangnya Rudita itu memberikan gambaran kepada Ki Gede Pemanahan, bahwa lawan yang dihadapi memang bukan lawan yang ringan. Di antara perwira yang pergi di dalam pasukan itu adalah Ki Lurah Branjangan. Ia adalah perwira yang berpengalaman. Dan Ki Lurah Branjangan telah mengenal dengan baik perwira Pajang yang berada di tlatah Tanah Perdikan Menoreh dan bernama Daksina itu. Di samping Ki Lurah Branjangan, Ki Gede Pemanahan juga mengirimkan pengawal-pengawal kepercayaannya.
“Jagalah anak itu baik-baik,” pesan Ki Gede Pemanahan kepada Ki Lurah Branjangan dan kawan-kawannya,
“kalian akan masuk ke dalam sarang harimau. Dan kalian tidak tahu, ada berapa ekor harimau yang ada di dalam sarang itu. Aku berharap bahwa orang bercambuk itu dapat di bawa bekerja bersama. Setidak-tidaknya tidak menghalangi kalian.”
“Aku percaya kepadanya, Ki Gede,” berkata Ki Lurah Branjangan.
“Aku pernah melihat pengabdiannya di Jati Anom. Benar-benar tanpa pamrih.”
Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Hati-hatilah. Kalian merupakan pasukan berkuda terkuat yang pernah disusun oleh Mataram yang muda ini.”
“Mudah-mudahan Mataram tetap tidak goyah sepeninggal pasukan terkuat ini jika terjadi sesuatu, Ki Gede.”
“Tentu tidak. Aku sudah mengatur keseimbangan kekuatan yang kita miliki.”
Maka pasukan berkuda itu pun segera berangkat meninggalkan Mataram. Mereka menyusur jalan yang langsung menuju ke induk Tanah Perdikan Menoreh. Beberapa orang tukang perahu terkejut melihat pasukan itu. Bahkan ada yang menduga, bahwa terjadi perselisihan antara Mataram dan Menoreh.
“Tentu tidak. Pasukan itu terlalu kecil untuk mengatasi perselisihan dengan Menoreh,” berkata salah seorang tukang perahu itu.
“Pasukan ini hanya terdiri oleh kira-kira tigapuluh atau tigapuluh lima orang.”
Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka mengerti, bahwa pasukan itu memang terlalu kecil jika benar-benar terjadi perselisihan dengan Menoreh yang lebih tua dan cukup kuat itu. Dengan beberapa buah perahu, maka pasukan pengawal itu menyeberangi sungai beserta kuda-kuda mereka. Di sebelah Barat Kali Praga, maka pasukan itu pun segera menyusun diri dan meneruskan perjalanan. Namun, mereka terhenti ketika mereka bertemu dengan empat orang pengawal berkuda dari Tanah Perdikan Menoreh. Ki Lurah Branjangan yang memimpin pasukan kecil itu pun segera menemui para pengawal dari Menoreh itu.
Tetapi sebelum Ki Lurah Branjangan bertanya sesuatu, salah seorang pengawal itu berkata,
“Kami sudah menerima perintah untuk menerima pasukan pengawal dari Mataram. Kami persilahkan pasukan ini lewat. Raden Sutawijaya sudah terlalu lama menunggu.
“Terima kasih, Ki Sanak.” jawab Ki Lurah Branjangan.
Maka pasukan berkuda itu pun segera berpacu menuju ke induk Tanah Perdikan. Di sepanjang jalan, derap kaki kuda itu menghambur-hamburkan debu di atas jalan berbatu-batu. Namun demikian, orang-orang Menoreh sudah banyak yang mendengar akan kedatangan pasukan pengawal dari Mataram dalam usahanya untuk menenteramkan Tanah yang sedang tumbuh itu dan bekerja bersama dengan Ki Argapati.
“Selain usaha itu tidak merugikan Menoreh, dan bahkan menguntungkan, Ki Argapati sudah dipaksa oleh hilangnya Rudita,” berkata seorang pengawal Tanah Perdikan Menoreh kepada kawan-kawannya.
Kawan-kawannya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Tetapi ia sependapat, bahwa orang-orang bersenjata yang berkeliaran itu memang harus dipagari. Jika mereka gagal mengganggu Mataram, maka mereka akan menjadi segerombol orang-orang bersenjata yang berbuat tanpa tujuan. Dan itu akan menjadi sangat berbahaya bagi Tanah Perdikan Menoreh. Selama ini gerakan gerombolan itu lebih di arahkan untuk menghancurkan Mataram. Tetapi arah itu dapat berkembang, bahkan juga dapat berkisar dari arah semula. Dalam pada itu, pasukan pengawal berkuda itu pun menjadi semakin lama semakin dekat dengan induk Tanah Perdikan Menoreh. Dan mereka pun sadar, bahwa Raden Sutawijaya sedang menunggu dengan gelisah.
Sebenarnyalah, bahwa Sutawijaya sudah menjadi sangat gelisah. Bukan saja karena matahari sudah sampai ke puncak langit, tetapi ia juga menjadi cemas, bahwa orang-orangnya yang kembali ke Mataram itu tidak akan pernah mencapai tujuannya. Karena itu maka dalam kegelisahannya ia berkata kepada Agung Sedayu dan Swandaru,
“Jika perlu aku akan menjemput pasukan itu ke Mataram. Aku akan pergi dari Mataram langsung ke tempat itu, ke tempat yang sudah kita janjikan dengan Ki Gede Menoreh. Aku harus bertindak lebih cepat daripada menunggu saja.”
“Tetapi bagaimana jika kita berselisih jalan.”
Sutawijaya menarik nafas. Memang kemungkinan itu dapat saja terjadi. Dengan demikian, maka waktunya akan menjadi semakin panjang. Tetapi jika ia menunggu saja, dan pasukan itu tidak kunjung datang, maka ia pun akan banyak sekali kehilangan waktu. Namun demikian, menurut perhitungan Kiai Gringsing, pasukan pengawal yang dipimpin oleh Ki Argapati sendiri cukup kuat untuk mempertahankan diri apabila mereka bertemu dengan pasukan lawan di perjalanan. Tetapi untuk menembus masuk ke daerah yang kurang dikenal itu, mereka pasti memerlukan pasukan Mataram yang kuat sekali. Karena daerah itu hampir masih belum dikenal sama sekali.

Tetapi ternyata bahwa Raden Sutawijaya tidak usah menjadi semakin gelisah, karena sejenak kemudian dua orang Pengawal Tanah Perdikan Menoreh melaporkan, bahwa mereka sudah melihat pasukan Mataram datang.
“Bagus,” desis Raden Sutawijaya,
“kita akan segera berangkat.”
“Biarlah mereka beristirahat dahulu,” berkata Kiai Gringsing.
“Mereka baru saja menempuh perjalanan yang jauh.”
“Mereka berkuda,” sahut pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang melihat kehadiran para pengawal dari Mataram itu.
“Tetapi mereka tentu lelah dan haus. Biarlah mereka beristirahat sebentar untuk makan dan minum. Kita akan segera menyusul pasukan pengawal Tanah Perdikan ini.”
Maka pasukan Pengawal Tanah Perdikan itu pun kemudian menyongsong pasukan berkuda yang baru datang. Mereka dibawa langsung ke rumah Ki Gede Menoreh yang ditunggui oleh beberapa orang kepercayaan Ki Gede, karena Ki Gede sendiri justru sudah berangkat mendahului. Seperti yang dikatakan Kiai Gringsing, maka mereka masih sempat untuk minum seteguk air dan makan sepotong makanan. Kemudian mereka sudah harus berkemas lagi.
“Sesudah kuda-kuda itu beristirahat sejenak, minum dan makan pula, kita akan berangkat,” berkata Sutawijaya.
“Kita harus menyusul pasukan Ki Argapati yang sudah lebih dahulu berangkat. Secepat mungkin.”
Ki Lurah Branjangan mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya Kiai Gringsing sambil tersenyum. Katanya kemudian,
“Baiklah, Raden. Kita akan berangkat. Apakah Kiai Gringsing itu juga akan ikut serta?”
“Ya. Kiai Gringsing dan kedua muridnya. Bahkan dengan Ki Demang Sangkal Putung pula.”
Ki Lurah Branjangan masih saja mengangguk-angguk. Katanya pula,
“Setiap kali Kiai Gringsing tentu ada di antara kami. Wanakerti pernah berceritera tentang Kiai, dan di Jati Anom aku menyaksikan sendiri. Kemudian laporan dari para petugas tentang orang yang menyebut dirinya panembahan tanpa nama. Dan sekarang Kiai berada di antara kami pula.”
“Dan yang telah mendahului kita adalah Ki Gede Menoreh, puterinya Pandan Wangi, ayah dari anak yang hilang itu dan Ki Sumangkar.”
“O,” desis Ki Lurah Branjangan,
“jadi Ki Sumangkar pergi juga?”
“Ya.”
“Sebenarnya kita sudah cukup lengkap. Mudah-mudahan Daksina tidak menyimpan sederetan nama orang-orang yang memiliki kemampuan seperti pemimpin-pemimpin di golongan mereka yang pernah dikalahkan oleh Kiai Gringsing.”
“Mudah-mudahan,” berkata Raden Sutawijaya,
“meskipun seandainya demikian, kita akan berusaha melakukan tugas kita sebaik-baiknya.”
Beberapa orang yang memberikan, makan dan air kepada kuda-kuda itu pun telah selesai pula. Sejenak mereka masih menunggu. Kemudian Raden Sutawijaya pun berkata,
“Aku kira kita tidak akan dapat berbuat banyak hari ini. Jika kita sampai di tempat tujuan, maka hari tentu sudah gelap. Apalagi kita masih mencari hubungan dan beberapa keterangan tentang daerah yang masih belum kita kenal itu.”
“Seakan-akan kita akan meloncat ke dalam gelap,” berkata Ki Lurah Branjangan.
“Tepat. Dan kita tidak tahu, apakah yang ada di balik kegelapan itu. Kengerian atau kegelapan yang pekat tanpa batas.”
“Atau kita akan mendapatkan apa yang kita cari.”
“Ada seribu kemungkinan. Tetapi kita harus menempuhnya.”
Setelah semuanya siap, maka Raden Sutawijaya pun minta diri kepada orang-orang yang diserahi pimpinan atas Tanah Perdikan Menoreh selama Ki Argapati tidak ada di tempat. Demikian juga Kiai Gringsing dan murid-muridnya serta Ki Demang Sangkal Putung. Kiai Gringsing masih sempat memperingatkan pesan-pesan yang diberikan oleh Ki Argapati. Pasukan pengawal cadangan harus selalu siap. Lebih-lebih pasukan berkuda yang meskipun jumlahnya tidak banyak, namun akan dapat membantu dengan cepat. Sedangkan apabila ada kesulitan, sebaiknya segera mencari hubungan dengan Ki Argapati di tempat-tempat yang sudah ditentukan atau tanda-tanda yang diketemukan.

Meskipun mereka sadar, bahwa hari itu mereka tidak akan dapat segera bertindak langsung, namun mereka pun berangkat juga, karena mereka mengerti bahwa Ki Gede Menoreh dan ayah Rudita tentu sudah menunggu. Apalagi apabila mereka sudah diketahui oleh beberapa orang pengawas yang dipasang oleh Daksina, karena Daksina pun pasti mempunyai perhitungan, bahwa akan datang beberapa orang yang akan mencarinya. Dan pasukan yang akan datang itu tentu lebih kuat dari pasukan Sutawijaya. Sutawijaya yang ada di paling depan dari pasukan pegawalnya, sekali-sekali memandang langit yang menjadi kemerah-merahan. Awan yang putih keabu-abuan bergumpal di ujung cakrawala. Hampir tidak ada seorang pun yang saling berbicara di dalam iring-iringan itu. Seakan-akan semuanya sedang dicengkam oleh angan-angan, tentang apakah kira-kira yang akan mereka jumpai di perjalanan. Kiai Gringsing pun agaknya segan untuk mulai berbicara. Ia duduk sambil menunduk di atas punggung kudanya, sedang Agung Sedayu dan Swandaru hanya kadang-kadang saling berpandangan. Berbeda dengan mereka, maka agaknya di dalam kegelisahannya, Ki Demang sempat memperhatikan air yang mengalir di parit-parit yang membujur lurus membelah tanah persawahan. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata di dalam hatinya,
“Menoreh memang maju di bidang pertanian. Parit-parit mengalir deras dan tersalur ke segenap bagian bulak yang luas itu. Tidak terlalu banyak pematang yang silang menyilang, dan cara bertanam padi yang cermat.”
Tetapi Ki Demang tidak dapat memperhatikan sawah itu terlampau lama. Setiap kali dadanya berdesir jika teringat olehnya, bahwa perjalanan itu akan menuju ke tempat yang tidak menentu untuk menyelamatkan Rudita.
“Ada seribu kemungkinan dapat terjadi,” katanya di dalam hati,
“dan ada seribu kemungkinan pula yang dapat terjadi atas Swandaru dan Pandan Wangi.”
Tetapi Ki Demang berusaha untuk menyembunyikan kesan itu, sehingga karena itu, ia pun duduk saja sambil berdiam diri di atas kudanya. Iring-iringan itu pun semakin lama menjadi semakin dekat. Tetapi langit pun menjadi semakin suram.
“Kita akan bermalam di tempat yang sudah ditentukan. Kemudian kita mencari hubungan dengan pasukan Ki Argapati,” berkata Sutawijaya.
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menyahut sepatah kata pun. Dalam pada itu, pasukan Ki Argapati yang mendahului pasukan dari Mataram itu pun menjadi semakin dekat dari sebuah tempat terbuka yang menjadi arena pertempuran antara Raden Sutawijaya dengan Daksina.
“Kita sudah hampir sampai,” berkata Pandan Wangi.
“Sampai di mana?”
“Arena pertempuran itu. Di pinggir arena itulah Rudita semula bersembunyi. Tetapi ia tidak dapat aku ketemukan kembali.”

Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak kemudian mereka melihat sebuah tempat yang terbuka, yang dikatakan oleh Pandan Wangi, daerah yang menjadi ajang perkelahian antara pasukan pengawal Mataram dan Menoreh melawan Daksina dan anak buahnya.
“Kita berhenti di pinggir daerah terbuka itu,” Desis Ki Argapati.
“Ya. Kita sudah berjanji bertemu di tempat Rudita hilang.”
“Di tempat Rudita hilang, atau di ujung pegunungan itu.”
Pandan Wangi memandang pegunungan di hadapannya. Masih beberapa ratus patok lagi.
“Kita berhenti di tempat Rudita itu hilang. Kita sempat berbicara untuk menentukan sikap, sementara kita dapat melihat tempat itu, barangkali kita menemukan sesuatu.”
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Dilecutnya kudanya, sehingga ia berada di paling depan. Sejenak ia berpaling memandang hutan liar di sebelah jalan yang dilaluinya. Hutan tempat mereka berburu seekor ular raksasa. Tetapi kini mereka tidak memasuki hutan liar itu, tetapi menyelusur di sebelahnya dan langsung pergi ke tempat pertempuran itu terjadi.
Beberapa saat kemudian, mereka pun segera sampai di tempat yang mereka tentukan sebagai titik pertama pertemuan dengan pasukan pengawal Mataram. Ketika Pandan Wangi meloncat dari punggung kudanya disusul oleh Prastawa, maka yang lain pun segera turun pula. Mereka mengikat kuda masing-masing pada pohon-pohon perdu di sekitarnya.
“Jangan di tempat Rudita itu terakhir kali kau lihat,” berkata Ki Argapati.
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Maka dibawanya kudanya agak menjauh. Agaknya ayahnya masih akan mencoba menemukan jejak yang barangkali dapat dipergunakannya untuk menjadi petunjuk.
Sejenak kemudian Ki Argapati, Ki Sumangkar, dan ayah Rudita itu pun segera menyelidiki tempat Rudita yang terakhir kali diketahui oleh Pandan Wangi.

Tetapi seperti Pandan Wangi dan anak-anak muda sebelumnya, mereka tidak menemukan jejak apapun juga selain dugaan yang sama, bahwa Rudita sempat meronta dan tangannya menggapai dedaunan di sekitarnya. Setelah itu maka ia pun tidak dapat berbuat apa-apa lagi.
“Kita hanya dapat mengetahui beberapa langkah dari jejak ini,” berkata Ki Argapati.
“Ya. Kita hanya mengetahui arah. Dan kita pun mengetahui, bahwa yang membawa Rudita adalah orang yang memiliki kemampuan yang tinggi.”
Ki Argapati mengangguk-angguk. Dipandanginya saja tempat itu seakan-akan ia masih mencoba mencarinya.
Dalam pada itu, ayah Rudita pun segera maju ke depan. Dengan suara gemetar ia berkata,
“Ki Gede, biarlah aku mencoba mengetahui, ke manakah Rudita itu dibawa. Kita memang mengetahui arahnya, tetapi hanya beberapa langkah. Dan mudah-mudahan aku menemukan arah yang sebenarnya.”
Ki Argapati mengerutkan keningnya. Namun kemudian dibiarkannya ayah anak yang hilang itu memusatkan inderanya. Sejenak orang-orang yang ada di sekitar ayah Rudita itu pun terdiam. Seakan-akan mereka ikut terhempas ke dalam suatu suasana yang asing. Mereka melihat ayah Rudita itu berdiri tegak sambil menyilangkan tangannya di dadanya. Kepalanya tertunduk, sedang matanya menjadi redup setengah terpejam.
Ki Argapati dan Ki Sumangkar, yang memiliki pengalaman lahir dan batin yang luas, merasakan getar di dalam diri masing-masing, sehingga dengan demikian mereka mengerti sepenuhnya, bahwa ayah Rudita itu sedang mencari hubungan dengan anaknya dengan caranya. Tetapi menilik keadaan Rudita, maka sentuhan dengan getaran ayahnya itu tentu agak sulit. Anak itu terlampau ringan untuk ditemukan oleh getar indera karena justru keadaannya. Dan itulah anehnya kehidupan. Seorang anak tidak selalu berhasil dibentuk seperti kehendak orang tuanya karena berbagai sebab. Justru bagi Rudita adalah sebab yang ada di dalam keluarganya sendiri. Ibunya hampir tidak pernah mau mengerti, bahwa Rudita pun memerlukan perjuangan bagi hari depannya. Ia tidak akan dapat selalu bersandar kepada orang tuanya.
Tetapi ayahnya masih tetap berusaha. Dengan memusatkan segenap tenaga lahir dan batinnya, ia berusaha untuk mendapat sedikit petunjuk tentang anaknya yang hilang itu, meskipun pangkal bertolaknya pun terlampau kecil, sekedar arah dan kemungkinan saat-saat Rudita hilang. Ki Argapati dan Ki Sumangkar pun menjadi semakin tegang. Apalagi Pandan Wangi, Prastawa, dan para pengiringnya ketika mereka melihat wajah ayah Rudita itu meniadi merah padam. Tetapi ia masih tetap berdiri tegak sambil menyilangkan tangan di dadanya, serta kepalanya masih saja tertunduk dan matanya redup setengah terpejam. Orang-orang yang ada di sekitarnya menjadi semakin berdebar-debar ketika mereka melihat tubuh itu menjadi gemetar, sesaat wajahnya menjadi seakan-akan kelam. Pekat, dan mata itu benar-benar telah terpejam. Ayah Rudita sudah sampai pada puncak pencapaian dengan ilmunya. Seakan-akan tubuhnya itu telah dihisap oleh suasana yang tidak dapat diraba dari luar kediriannya. Dan itulah yang terjadi padanya. Ayah Rudita seakan-akan telah terpisah dari wadagnya dan mencapai suatu keadaan tanpa bentuk, selain isyarat-isyarat yang lembut yang hanya dapat dikenal oleh ilmu yang khusus.

Namun itulah sebenarnya hakekat dari ilmunya. Pengenalan pada isyarat-isyarat yang dapat disentuh dengan perasaannya, yang sebenarnya ada pada diri setiap orang. Namun kebanyakan orang tidak menyediakan diri sampai ke pusat penangkapan inderanya serta tidak mempelajari bentuk, jenis dan makna isyarat-isyarat itu. Sejenak kemudian, setiap gerak di dalam tubuh ayah Rudita itu pun berhenti selain, urat-urat yang tiada terkuasai oleh kehendak. Nafasnya pun seolah-olah terputus, dan matanya seakan-akan terpejam semakin rapat. Namun dalam pada itu, Ki Argapati dan Ki Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Mereka mengerti, bahwa ayah Rudita itu sudah selesai dengan usahanya. Dan sebenarnyalah, bahwa sejenak kemudian ayah Rudita itu membuka matanya. Wajahnya sudah menjadi seperti biasa, meskipun masih tampak keletihan membayang disorot mata itu.
Ayah Rudita itu pun menarik nafas dalam-dalam. Tidak hanya sekali, tetapi tiga kali. Ki Gede Menoreh pun kemudian mendekatinya sambil bertanya,
“Apakah kau menemukan isyarat.”
Laki-laki itu mengangguk lemah. Katanya,
“Isyarat itu lemah sekali, Ki Gede. Tetapi aku mengharap bahwa Rudita masih selamat. Rasanya aku memang dapat menyentuhnya.”
“Apakah kau dapat mengatakan, bagaimana dengan arah yang kita tempuh dan keadaan Rudita sekarang?”
“Samar-samar aku dapat menemukan arah itu. Dan kita sudah berjalan di jalan yang benar. Aku akan mencoba merabanya lagi setelah kita ada di ujung pegunungan itu. Rasa-rasanya ia ada di sana.” Ayah Rudita itu berhenti sejenak, lalu,
“Tetapi aku pun menemukan sesuatu yang mendebarkan jantung.”
“Apakah itu?”
“Isyarat seperti yang pernah aku sentuh beberapa tahun yang lalu. Bahkan di sekitar sepuluh tahun yang lalu? Saat Rudita masih kanak-kanak.”
“Apakah isyarat itu?”
“Sentuhan pertama saat aku mendengar nama Panembahan Agung, aku tergetar oleh nama yang pernah aku dengar, yaitu Panembahan yang menamakan dirinya Panjer Bumi. Kini tiba-tiba terasa, bahwa sentuhan itu seakan-akan memperkuat dugaan kita, bahwa di belakang semua persoalan yang tumbuh di Mataram ini berdiri Panembahan yang menyebut dirinya Panjer Bumi itu, meskipun ia dapat menyebut dirinya dengan seribu nama.”
“Bagaimana kau sampai pada dugaan itu?”
“Getaran dan isyarat yang tersentuh selagi aku mencari Rudita. Bahkan aku menduga, bahwa yang membawa Rudita itu adalah Panembahan Panjer Bumi atau orang-orangnya yang terpercaya. Namun agaknya Panembahan Panjer Bumi tidak mengetahui, bahwa Rudita itu adalah anakku. Jika ia mengetahui, maka ia akan memagarinya sehingga aku sama sekali tidak akan dapat menyentuhnya. Dengan demikian aku akan kehilangan segala arah untuk menemukannya dengan ilmuku. Tetapi ternyata bahwa Tuhan masih berkenan memberikan sedikit petunjuk, di manakah anak itu berada.”

Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling kepada Sumangkar, dilihatnya orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kita akan selalu berdoa,” berkata Ki Sumangkar,
“mudah-mudahan kita berhasil menemukannya.”
“Mudah-mudahan,” berkata ayah Rudita,
“namun jika rabaanku benar, dan orang itu benar-benar Panembahan yang pernah menyebut dirinya bernama Panjer Bumi, kita memang harus berhati-hati. Ia mempelajari semacam ilmu dari daerah asing, sehingga ia memiliki kemampuan menciptakan barang-barang semu yang dapat membingungkan bagi mereka yang menjumpainya.”
Orang-orang yang mendengar keterangan ayah Rudita itu mengerutkan keningnya. Bahkan Pandan Wangi pun bertanya,
“Apakah maksud dengan barang-barang semu itu?”
“Benda-benda yang sebenarnya tidak ada, tetapi ada pada mata kita. Ia mempengaruhi langsung pusat syaraf kita di seberang indera penglihatan kita dengan ilmunya, sehingga kadang-kadang indera penglihatan kita terganggu karenanya di dalam tangkapan pusat kedirian kita yang wadag.”
Prastawa pun mendesak maju sambil bertanya,
“Jadi kita seakan-akan dapat melihat sesuatu bentuk yang sebenarnya tidak ada?”
“Ya.”
“Dan bagaimana dengan indera pendengar dan peraba?”
“Semuanya dapat terpengaruh seperti juga indera penglihatan kita. Getaran ilmunya akan langsung mempengaruhi kita di seberang rangsang pada indera kita, sehingga seakan-akan kita dapat melihat, mendengar dan meraba. Bahkan mencium bau dari benda-benda yang sebenarnya tidak ada. Tetapi tentu hal itu karena pengenalan kita. Seandainya yang terbentuk itu benda semu yang di dalam bentuknya yang benar kita belum pernah melihatnya, dan belum pernah mengenal dan mendengar tentang benda itu, maka yang langsung dapat dipengaruhi adalah sekedar indera penglihatan menurut rekaan khayali kita sendiri, yang barangkali tidak sama bagi setiap orang. Kemudian barulah berkembang pada indera kita yang lain yang seperti juga indera penglihatan maka tangkapan pusat syaraf dan kedirian kita akan berbeda.”
Prastawa mengerutkan keningnya. Ia masih belum dapat menangkap seutuhnya kata-kata ayah Rudita itu, sehingga ayah Rudita itu perlu menjelaskannya,
“Misalnya. Aku ingin mempengaruhi kau untuk menciptakan bentuk sebuah binatang yang di sebut gajah. Sedangkan seandainya orang-orang yang ingin kita pengaruhi dengan ilmu kita itu belum pernah melihat gajah. Maka yang akan tercipta sebagai bentuk semu, yang satu dengan yang lain akan berbeda. Hanya bentuk dalam keseluruhan tentu saja mirip seperti yang dilontarkan oleh orang yang memiliki ilmu itu. Tetapi di dalam bagian-bagian kecilnya akan terdapat perbedaan. Jika kita bersama-sama meraba, maka yang seorang tidak mendapat kesan yang sama dengan orang yang lain. Yang seorang menganggap kulitnya licin seperti belut, yang lain agak kasar seperti seekor kerbau. Bahkan mungkin yang menganggap bulu-bulunya kasar seperti bulu landak.”
Mereka yang mendengarkannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka menyadari bahwa mereka akan berhadapan dengan orang yang aneh di dalam pandangan mereka.
“Karena itu,” berkata ayah Rudita,
“kita harus bersiap menghadapi kemampuan yang dahsyat itu.”
“Mengagumkan. Jika benar demikian, kita akan menghadapi rintangan yang berat sekali. Apalagi aku. Tentu aku tidak akan dapat mengenal, manakah benda-benda yang asli dan manakah yang semu.”
“Memang sulit,” sahut ayah Rudita,
“jika kau melihat sebuah rakit di tepi sungai yang sedang banjir. Sedang sebenarnya rakit itu adalah benda semu karena pengaruh seseorang pada pusat syarafmu, maka mungkin sekali kau akan tertipu. Kau akan turun ke dalam rakit itu. Untuk sekejap kau memang merasa berada di atas sebuah rakit. Tetapi kemudian kau akan menyadari bahwa kau telah hanyut di bawa banjir. Biasanya kesadaran yang demikian datang terlambat setelah kau tidak mampu berbuat sesuatu.”
“O,” beberapa orang menjadi berdebar-debar.
“Karena itu, pengamanan yang paling mudah bagi kalian adalah, tidak berbuat apa-apa. Jika kau dicengkam oleh suasana semu jangan berbuat apa-apa, meskipun dapat berakibat buruk bagi kalian, karena kediaman kalian itu akan memberi kesempatan bagi musuh-musuhmu untuk berbuat sesuatu.”
“Jadi bagaimana mengatasinya.”
“Sulit sekali. Yang paling mungkin adalah, memusatkan kehendak kita untuk tetap melihat bentuk yang sebenarnya dari yang kau hadapi. Jika di pinggir kali itu tidak ada rakit, maka meskipun rakit itu tampak padamu namun kau dapat membedakan tangkapan semu itu dan tangkapan indera penglihatanmu. Jika keduanya menjadi baur dan seakan-akan bertumpuk, kau memang harus memilih. Dan manakah yang paling mungkin ada disesuaikan dengan keadaan dan kemungkinan di sekitarmu.”

Yang mendengarkan penjelasan itu menjadi termangu-mangu. Namun ayah Rudita itu kemudian berkata,
“Jangan menjadi ragu-ragu. Keragu-raguan adalah tanda-tanda kekalahan di dalam persoalan ini. Kalian harus cepat mengambil keputusan tanpa ragu-ragu. Namun itu sulit sekali, dan akibatnya dapat sangat berbahaya. Mudah-mudahan kalian berhasil di dalam taraf yang paling dangkal.”
“Baiklah,” tiba-tiba Prastawa menyahut,
“aku akan mencoba. Aku akan mencoba melihat kebenaran indera penglihatanku. Mudah-mudaan aku berhasil.”
Dalam pada itu, maka ayah Rudita pun berkata,
“Jika demikian apakah kita akan berangkat terus?”
Ki Argapati menjadi ragu-ragu sejenak. Ia harus memikirkan setiap kemungkinan yang akan terjadi. Jika Panembahan Agung dan yang disebut oleh ayah Rudita itu bernama Panembahan Panjer Bumi itu benar-benar memiliki ilmu yang dahsyat itu, maka kedudukan pasukannya tentu akan menjadi sulit. Panembahan itu dapat mempengaruhi penglihatan dalam pengertian khayali pada pengawal-pengawalnya. Dan bahkan dapat membuat mereka saling tidak mengenal dan bahkan bertentangan satu sama lain, karena sebagian dari mereka akan berubah menjadi lawan-lawannya. Panembahan itu sama sekali tidak perlu mempunyai pasukan. Pasukan lawannyalah yang akan menjadi pasukannya, karena pengaruh ilmunya yang membuat orang lain menjadi bingung.
Ayah Rudita mengetahui keragu-raguan itu. Karena itu, maka ia pun berkata,
“Ki Gede. Kita masih agak jauh dari padepokan itu. Menurut dugaanku, kita masih dapat maju lagi seperti yang kita rencanakan. Kita memberi tanda di tempat ini kepada Raden Sutawijaya agar jika mereka datang, mereka pun akan menyusul kita sampai ke ujung pegunungan itu.”
Ki Argapati mengerti, betapa kegelisahan mencengkam hati ayah dari anak yang hilang itu. Karena itu, maka ia pun kemudian menganggukkan kepalanya sambil berkata,
“Baiklah. Kita akan maju sampai tempat terakhir dari persetujuan kita dengan pasukan yang akan menyusul.”
Setelah memberikan tanda-tanda yang diperlukan seperti yang sudah mereka bicarakan dengan Raden Sutawijaya, maka mereka pun kemudian bergerak maju. Mereka melintasi lapangan terbuka yang menjadi ajang pertempuran antara para pengawal Mataram dengan anak buah Daksina. Dan ternyata, bahwa mayat orang-orang Daksina yang berserakan telah tidak ada lagi di tempatnya. Tidak ada bekasnya bahwa mayat itu menjadi mangsa binatang. Karena itu maka mereka pun menduga, bahwa mayat-mayat itu telah disingkirkan oleh kawan-kawan mereka.

Perlahan-lahan pasukan itu maju. Semakin lama semakin dekat dengan ujung pegunungan yang tidak begitu tinggi. Namun dalam pada itu, maka langit pun menjadi kemerah-merahan oleh matahari yang semakin rendah. Tetapi mereka berusaha untuk sampai ke tujuan sebelum daerah itu menjadi gelap pekat. Dalam pada itu, Raden Sutawijaya pun telah mendekati daerah hutan liar. Mereka dengan segera dapat mengenal bekas kaki-kaki kuda dari pasukan yang mendahului mereka. Tetapi ternyata kuda pasukan Mataram adalah kuda yang jauh lebih baik dari kuda yang dipergunakan oleh para pengawal Menoreh. Sebagian dari para pengawal itu mempergunakan kuda yang sebenarnya kurang tegar. Tetapi bagi perjalanan mereka agaknya sudah cukup memadai. Dan sudah barang tentu, bahwa para pemimpin Menoreh yang mempergunakan kuda yang lebih baik, menyesuaikan diri dengan para pengawalnya. Dengan demikian maka jarak antara kedua pasukan itu menjadi semakin dekat. Meskipun perjalanan berikutnya adalah perjalanan yang agak sulit, tetapi kuda-kuda mereka dapat maju terus mengikuti jejak pasukan sebelumnya, melewati pinggiran hutan yang liar.
Tetapi ketika mereka sampai di sebelah arena perkelahian di tempat terbuka itu, matahari telah menjadi merah. Mereka masih sempat melihat tanda-tanda yang dibuat oleh pasukan sebelumnya, namun sejenak kemudian maka senja menjadi gelap.
“Kita terpaksa berhenti di sini,” berkata Sutawijaya perjalanan di malam hari tidak menguntungkan bagi kita. Selain kita membawa kuda dan perbekalan yang lain, maka kita harus memperhitungkan juga pasukan tersembunyi yang setiap saat dapat menyergap dan menghilang. Dalam perjalanan di malam hari kita akan menjadi sasaran yang menguntungkan mereka.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sependapat dengan Raden Sutawijaya. Dan menurut dugaannya, maka pasukan yang dibawa oleh Ki Argapati tentu sudah tidak terlalu jauh lagi di hadanan mereka. Apalagi agaknya pasukan itu cukup lama berhenti di tempat itu untuk menyelidiki keadaan yang akan mereka hadapi.
Malam itu kedua pasukan dari Menoreh dan Mataram itu berhenti di tempat yang berbeda. Pasukan Mataram mengetahui, bahwa pasukan Menoreh berada tidak begitu jauh lagi dari mereka, tetapi sebaliknya pasukan Menoreh menjadi agak gelisah, bahwa mereka belum mendapat hubungan dengan Raden Sutawijaya.
“Apakah Mataram benar akan mengirimkan pasukannya?” bertanya Prastawa kepada Pandan Wangi.
“Aku kira demikian. Tetapi mereka memang memerlukan waktu.”
“Seandainya tidak, maka Kiai Gringsing, Ki Demang Sangkal Putung dan kedua anak-anak muda itu akan menyusul kita,” desis seorang pengawalnya.
Pandan Wangi hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Namun di dalam hatinya ia berkata,
“Seandainya mereka tidak datang sama sekali, kita harus tetap maju mencari anak itu. Mungkin kita akan menghadapi seorang panembahan yang sakti, tetapi betapa pun saktinya, ia tentu mempunyai kelemahan di dalam kesalahan yang pernah dilakukannya. Jika ia orang yang sempurna lahir dan batinnya, tentu ia tidak akan mempergunakan kesaktian yang ada padanya untuk tujuan-tujuan yang sekedar memanjakan nafsu diri dan ketamakan saja. Sedang perbuatan yang demikian bertentangan dengan kebenaran. Dan apalagi dengan pancaran kasih Penciptanya. Karena itu, seakan-akan ada suatu keyakinan di dalam hati, bahwa akan datang saatnya orang itu harus menyerah kepada hukum keadilan. Hukum yang tertinggi yang tidak dibuat oleh tangan manusia.”

Malam itu dilampaui dengan selamat. Tidak ada perapian, tidak ada pembicaraan. Mereka makan sekedar bekal yang mereka bawa. Dan di malam yang sepi itu ayah Rudita sempat mencoba menangkap keadaan anaknya. Seperti yang pernah dilakukan, maka ternyata bahwa ternyata isyarat yang ditangkapnya, Rudita masih tetap selamat. Dan ia masih berharap, bahwa orang yang mengambil Rudita itu bukan orang yang pernah menyebut diri Panembahan Panjer Bumi. Seandainya Panembahan Agung juga Panembahan Panjer Bumi, maka ia mengharap agar orang itu tidak mengetahui, bahwa Rudita adalah anaknya. Sebab dengan demikian, ia akan dapat menutup setiap usahanya untuk mengadakan sentuhan dengan anaknya itu di dalam getaran pribadinya. Dalam pada itu, ketika fajar mulai mewarnai langit, Sutawijaya sudah mulai bersiap dengan seluruh pasukannya. Menjelang matahari terbit, maka pasukan berkuda itu pun mulai maju dan menyusuri daerah terbuka seperti yang dilalui oleh pasukan pengawal dari Menoreh.
Apalagi ketika kemudian matahari mulai terbit dan warna merah di langit pun seakan-akan mulai menyibak. Maka jejak kaki kuda yang mendahului pasukan pengawal dari Mataram itu menjadi tampak semakin jelas.
“Kita harus segera menyusul mereka, sebelum terjadi sesuatu,” desis Sutawilaya,
“supaya kita sempat mengadakan pembicaraan lebih jauh.”
Ternyata bahwa Ki Argapati memang menunggunya. Karena itu, maka seperti yang direncanakan, kedua pasukan itu pun dapat bertemu. Dengan singkat Ki Argapati mengatakan kepada Kiai Gringsing, bahwa usaha ayah Rudita untuk mengetahui serba sedikit tentang anaknya sudah berhasil. Tetapi sudah barang tentu apa yang berada di rentangan jarak antara ayah Rudita itu dengan anaknya tidak diketahuinya. Mungkin pasukan segelar sepapan. Mungkin tebing yang curam dan tinggi. Mungkin padang rumput yang penuh dengan ular berbisa, dan masih banyak lagi kemungkinan yang dapat terjadi.
“Apakah Rudita ada di sarang Daksina?” bertanya Raden Sutawijaya
“Masih belum aku ketahui, Raden,” jawab ayah Rudita,
“aku hanya berhasil mengetahui bahwa Rudita masih hidup. Hanya itu. Dan sedikit petunjuk tentang arahnya. Selain itu gelap.”
Raden Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu,
“Tetapi menurut perhitungan nalarku, bukan ilmu peraba seperti ilmu yang kau miliki itu. Daksina tentu tidak berada jauh dari tempat ini. Ia berani menjebak pasukanku di daerah terbuka itu. Tentu ia mempunyai suatu keyakinan tentang medan, selain pasukannya. Karena itu maka aku yakin, bahwa Daksina telah mengenal tempat ini dengan baik, dan itu berarti ia berada tidak jauh dari tempat ini. Kecuali jika ia sedang berada di Pajang.
“Perhitungan itu sesuai,” sahut Pandan Wangi, “aku juga berpendapat demikian.”
“Perhitungan nalarku pun dapat mengerti, bahwa kita sudah dekat dengan sarang orang-orang bersenjata itu,” sahut ayah Rudita, “bahkan kurang sesuai dengan sentuhan ilmuku. Menurut penglihatanku, Rudita masih berada di tempat yang agak jauh. Jika Rudita berada di sarang orang yang bernama Daksina itu, maka ia pun pasti berada di tempat yang tidak terlampau jauh. Sehingga dengan demikian maka ada dua kemungkinan. Kita salah hitung tentang sarang Daksina, atau Rudita memang tidak ada di sarang itu, tetapi di tempat yang lain.”
“Masih ada satu kemungkinan lagi,” berkata Sutawijaya.
“Apa Raden?”
“Dugaanmu tentang Rudita menurut sentuhan ilmumu itu keliru.”

Ayah Rudita mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia mengangguk-angguk. Katanya,
“Itu pun mungkin sekali, Raden. Mungkin aku salah mengurai isyarat yang aku terima dari Rudita tanpa sesadarnya itu.”
“Nah, jika demikian, marilah kita segera menentukan sikap. Apakah yang sebaiknya kita lakukan?”
“Untuk sementara kita belum dapat berbuat apa-apa. Kita maju beberapa patok lagi. Kemudian kita akan menilai keadaan dan jika perlu mengirimkan pengawas untuk melihat-lihat suasana,” jawab Ki Gede Menoreh.
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya,
“Sebaiknya sejak kini dua orang pengawas akan mendahului kita. Kemudian dua lagi mengiringinya. Jika mereka melihat sesuatu yang mencurigakan maka mereka harus memberikan isyarat.”
Maka kedua pasukan nengawal itu menunjuk empat orang yang akan mendahului perjalanan mereka. Dua orang yang terdepan adalah seorang dari Mataram dan seorang dari Menoreh yang dianggap sedikit banyak mengetahui daerah yang terasing itu. Sedang kedua orang berikutnya pun terdiri dari pengawas Mataram dan Menoreh. Keempat orang itu berjalan kaki mendahului pasukan mereka. Sedang kuda-kuda mereka berada di dalam iring-iringan pasukan pengawal di belakang mereka. Setelah beberapa patok mereka maju, mereka tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Daerah itu tampaknya sebagai suatu daerah yang tidak pernah disentuh kaki.
“Tetapi rasa-rasanya ada penghuni di daerah sekitar tempat ini,” desis pengawal dari Menoreh yang berjalan di paling depan.
“Kenapa?” bertanya yang lain.
“Sekedar firasat. Tetapi aku melihat jalur jalan di lereng bukit itu.”
“Ya. Tetapi tidak ke jurusan ini.”
“Memang sulit untuk sampai ke jalur jalan kecil itu. Tetapi kita harus mencapainya.”
“Tentu tidak mungkin bagi mereka yang berkuda.”
“Kita akan melihatnya.”
Kedua orang itu pun kemudian maju lebih jauh lagi diikuti oleh kedua yang lain. Ternyata bahwa jalan memang semakin lama semakin sulit, sehingga setiap kali mereka harus berhenti dan menilai, apakah jalan itu masih dapat dilalui kuda.
“Kuda-kuda itu memang harus ditinggalkan di sini,” berkata yang seorang.
“Tidak,” jawab yang lain,
“biarlah pasukan itu berhenti di sini. Kita akan menyelidiki lebih jauh.”
Kawannya berpikir sejenak, lalu,
“Baik. Itu pikiran yang baik. Biarlah kedua pengawas di belakang kita itu berhenti memberitahukan kepada Ki Argapati dan Raden Sutawijaya.”
“Biarlah keduanya pergi di belakang kita. Jika terjadi sesuatu atas kita, mereka dapat menyampaikan laporan. Sementara kita dapat memberikan tanda dan isyarat agar pasukan itu berhenti.”
Kedua orang pengawas di paling depan itu pun kemudian memberikan isyarat agar pasukan di belakang mereka itu pun berhenti. Tetapi kedua pengawas itu masih memerlukan kedua pengawas yang mengikuti mereka, sehingga sejenak mereka masih harus menunggu dan berbicara di antara mereka berempat.
“Kami membawa panah sendaren,” berkata pengawas dari Mataram.
“Kita mungkin memerlukannya jika perlu. Tetapi suara panah sendaren segera menarik perhatian. Dan isyarat dengan panah sendaren kadang-kadang langsung memberikan isyarat kepada lawan sekaligus.”
“Apa salahnya jika mereka memang sudah melihat kita. Kita dapat melontarkan panah sendaren ke arah yang tidak tepat, sehingga meskipun suaranya dapat ditangkap oleh kawan-kawan kita, tetapi arah panah itu tidak memberikan petunjuk kepada lawan di mana pasukan kita yang sebenarnya.”
“Ya. Kita akan mempergunakannya,” sahut yang lain,
“yang penting, kita harus dapat mencapai jalur jalan yang menuju ke Utara di lereng sebelah itu. Aku menduga bahwa ada padukuhan yang berpenghuni.”

Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Daerah ini benar-benar daerah terpisah dari Tanah Perdikan Menoreh, karena hubungan yang dilakukan oleh orang-orang di lereng pegunungan itu adalah dengan daerah di seberang pebukitan.
“Daerah itu dilingkari oleh hutan yang lebat, dibatasi oleh pegunungan dan sangat terpencil,” berkata salah seorang pengawas dari Mataram.
“Aku tidak tahu kenapa seseorang membangun padukuhan atau padepokan di tempat yang sangat terasing ini.”
Yang lain hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja. Namun ternyata yang seorang berdesis,
“Memang sulit diduga. Tetapi aku kira, mereka sengaja mengasingkan diri untuk mematangkan ilmu mereka. Baru kemudian mereka akan turun dari padepokan ini untuk melakukan rencananya. Tentu sebuah rencana yang besar.”
“Memang mungkin. Tetapi sebaiknya kita melihatnya. Apakah padepokan itu sudah cukup lama berada di tempat itu, atau sekedar sebagai tempat persembunyian, atau katakan sebagai alas perjuangan mereka.”
Para pengawas itu pun mulai maju lagi melalui jalan yang sulit. Tebing yang curam dan kadang-kadang rumpil.
“Kita tentu salah jalan,” berkata salah seorang pengawas itu,
“jika Daksina dapat membawa pasukan lewat jalan ini, kita tentu akan dapat menemukan bekas kaki mereka.”
“O, alangkah bodohnya kita. Kenapa kita tidak mencari jejak mereka saja?”
“Dan kembali lagi sampai ke tempat terbuka itu?”
Kawannya terdiam. Namun kini mereka mulai tertarik kepada setiap kemungkinan untuk menemukan jejak kaki seseorang atau sekelompok orang. Tetapi usaha itu tidak segera berhasil. Mereka tidak segera menemukan jejak kaki seseorang. Namun tiba-tiba salah seorang dari kedua pengawas yang berada di paling depan itu tertegun sejenak. Diamatinya tebing yang ada di sampingnya. Lalu katanya,
“Kau lihat batu-batu kerikil bercampur padas itu?”
“Ya, kenapa?”
“Seakan-akan meluncur dari atas tebing itu.”
“Ya.”
“Mungkin ada sentuhan kaki di atas batu-batu padas itu, sehingga batu-batu kerikil dan batu-batu padas itu meluncur turun meskipun tidak begitu banyak.”
“Mungkin angin, mungkin binatang liar. Tetapi kita dapat mencoba. Kita memanjat tebing itu dan melihat apakah ada jejak di atas.”
Keduanya pun kemudian memanjat tebing yang agak terjal, sehingga untuk beberapa saat mereka seolah-olah berada di tempat terbuka melekat pada lereng pegunungan. Kedua pengawas yang berada di belakang mereka dapat melihat keduanya dengan jelas.
“Kita tunggu sehingga keduanya hilang,” desis salah seorang pengawas yang berada di belakang mereka.
“Barulah kemudian kita memanjat.”

Namun di luar pengetahuan mereka, sepasang mata tengah memandang kedua pengawas yang sedang memanjat itu. Ketika keduanya sudah berada hampir di bibir lereng itu, maka orang itu pun bergeser beberapa langkah. Kemudian ia meloncat berdiri sambil meraih anak panah dari endongnya dan melekatkannya pada tali busurnya. Perlahan-lahan ia menarik tali busur itu. Pengawas yang sedang memanjat itu merupakan sasaran yang baik, meskipun keduanya selalu bergerak-gerak tidak menentu. Sejenak orang itu masih membidik. Tetapi rasa-rasanya masih saja terganggu oleh dedaunan yang bergerak disentuh angin. Karena itu maka ia bergeser maju lagi. Ia tidak perlu lagi bersembunyi karena sasarannya sedang memanjat tebing, sehingga mereka tidak akan dapat memberikan perlawanan. Tetapi sekali-sekali ia masih saja mengumpat, karena kedua orang itu seakan-akan tidak mau juga diam. Mereka merayap dan kadang-kadang bergeser ke samping. Namun kemudian busur itu pun semakin merenggang. Dan sesaat kemudian sebuah anak panah telah meluncur dengan derasnya. Yang terdengar kemudian adalah, sebuah keluh tertahan. Anak panah itu ternyata telah mengenai sasarannya, meskipun tidak tepat di punggung, karena justru ketika anak panah itu meluncur maka sasarannya telah bergerak ke samping. Meskipun demikian, anak panah itu ternyata telah menancap pada lengan tangan kanannya. Pengawas itu kehilangan keseimbangan. Sejenak ia masih bertahan. Namun kemudian perlahan-lahan ia meluncur turun. Bahwa anak panah itu tidak tepat mengenai punggung dan langsung membunuhnya, orang yang melepaskannya itu pun menggeram. Tangannya sekali lagi mencabut anak panah dari endongnya dan sejenak kemudian anak panah itu pun sudah melekat di tali busurnya. Yang kemudian akan menjadi sasarannya adalah justru pengawas yang seorang lagi, yang karena kawannya telah meluncur turun, ia pun berusaha untuk meluncur pula, karena ia pun mengira bahwa orang yang melontarkan anak panah itu tentu sedang membidiknya pula. Tetapi sementara itu, selagi kedua pengawas yang terdahulu dicengkam oleh kecemasan, maka kedua pengawas yang berada di belakang mereka, dan yang sedang mengamati bagaimana keduanya memanjat, tebing itu pun terkejut bukan buatan. Mereka juga melihat anak panah itu menancap di lengan kawannya. Dan mereka melihat kawannya itu kesakitan dan meluncur turun disusul oleh yang seorang lagi.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar