Jilid 073 Halaman 3


Naluri keprajuritan mereka segera menggerakkan mereka. Yang seorang memang membawa busur dan anak panah meskipun terutama akan dipergunakan untuk memberikan isyarat. Tetapi agaknya kini busur itu harus dipergunakan untuk kepentingan yang lain. Dengan cepatnya tangannya meraih sebatang anak panah dan sejenak kemudian anak panah itu telah siap diluncurkan.
Mereka tidak terlampau sulit mencari sasarannya. Ternyata orang yang melepaskan anak panah itu kini berdiri tegak dengan tali busur yang renggang. Ia masih berusaha membidik kedua pengawas yang berusaha bersembunyi di balik dedaunan yang hanya beberapa lembar di lereng pegunungan.
“Tidak ada tempat untuk bersembunyi,” orang itu masih sempat menggeram. Kini tangannya menarik tali busurnya semakin renggang.
Kedua pengawas yang menjadi sasaran itu pun telah melihat lawannya yang berdiri di atas tebing di sebelah pepohonan. Tetapi mereka tidak mendapat tempat yang baik untuk bersembunyi. Yang ada hanya batang-batang perdu yang tipis. Apalagi mereka sudah tidak dapat meluncur lebih jauh lagi. Jika mereka berusaha untuk turun lagi, maka mereka akan berada di tempat yang terbuka sama sekali meskipun di bawah tebing itu mereka akan menemukan gerumbul-gerumbul yang agak rimbun.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa. Orang yang menarik busur itu membidik sambil berkata,
“Kali ini aku akan mengenai lehermu. Bukan sekedar tanganmu. Aku terlalu tergesa-gesa, sehingga bidikanku yang pertama meleset. Dan itu tidak pernah terjadi.”
Pengawas yang seorang, yang tidak terluka oleh anak panah itu pun segera menarik pedangnya. Tidak ada cara lain daripada berusaha menangkis anak panah itu apabila mungkin.
“Jangan gila. Jangan mencoba menangkis anak panahku. Seandainya yang pertama kau berhasil, namun anak panahku kemudian akan datang beruntun seperti hujan. Dan kalian berdua tentu segera mati terbunuh.”
Kedua pengawas itu tidak menjawab. Yang seorang masih saja menyeringai menahan sakit, sedang yang lain bersiap untuk mencoba melakukan perlawanan.

Namun dalam pada itu, karena perhatian orang yang memegang busur itu tertuju kepada kedua pengawas yang seakan-akan sudah tidak akan dapat lari lagi dari maut itu, maka ia sama sekali tidak menduga, bahwa sebuah anak panah yang lain sedang dibidikkan ke arahnya. Maka sejenak kemudian suasana dicengkam oleh ketegangan. Ketika orang yang berada di atas tebing di sebelah itu benar-benar ingin melepaskan anak panahnya, tiba-tiba saja terdengar ia memekik keras-keras. Tubuhnya menjadi gemetar, dan anak panah di tangannya pun lepas tanpa menyentuh sasarannya. Bahkan kemudian para pengawas yang merasa sudah tidak akan dapat melepaskan diri dari maut itu melihat sebuah anak panah menancap di dada orang itu.
“Curang, curang,” orang itu masih berteriak, “ada orang lain yang ikut campur.”
Sama sekali tidak ada jawaban. Tetapi keempat pengawas itu melihat orang itu terhuyung-huyung dan kemudian jatuh terjerembab tepat di pinggir tebing pegunungan, sehingga tubuhnya itu pun kemudian meluncur turun beberapa langkah dan terhenti karena menyangkut pohon-pohon perdu di lereng pegunungan itu. Barulah kemudian kedua pengawas yang hampir saja disentuh oleh maut itu menyadari, bahwa seorang kawannya tidak saja membawa busur dan anak panah sendaren. Tetapi di dalam endongnya terdapat juga anak panah yang lain, yang kemudian ternyata telah menyelamatkannya. Sejenak mereka termangu-mangu. Namun sejenak kemudian mereka pun menyadari, bahwa agaknya mereka telah masuk ke dalam daerah pengawasan lawan.
Karena itu, maka yang pertama-tama mereka lakukan, bukannya melepaskan anak panah yang menancap di lengan. Tetapi orang yang kesakitan itu ternyata masih mampu berpikir bening, sehingga sambil menyeringai ia berkata,
“Kita turun. Mungkin ada orang lain yang akan membidik kita di sini.”
Keduanya pun kemudian meluncur turun. Untunglah bahwa mereka sempat mencapai tempat yang ditumbuhi oleh pepohonan yang rimbun, karena pada saat yang bersamaan, seorang yang mendengar orang yang memanah pengawas dari Mataram itu mengaduh, segera berlari mendekatinya. Dari tempat yang tersembunyi, keempat orang yang mendahului pasukan dari Mataram dan Menoreh itu melihat seseorang yang agaknya sedang mencari kawannya. Sejenak ia termangu-mangu, namun sejenak kemudian ia mendengar kawannya itu menggeram di tebing pegunungan dan tersangkut pada pohon-pohon perdu.
“He, kenapa kau?” ia bertanya.
Tetapi tidak ada jawaban selain erang kesakitan.
“Apakah kau terjerumus?”
Masih tidak ada jawaban.
Namun agaknya orang itu pun kemudian melihat darah. Ketika orang yang terluka itu menggeliat, tampaklah di dadanya masih terbenam sebuah anak panah. Orang itu terkejut bukan kepalang. Dengan wajah yang tegang ia berdiri memandang berkeliling. Namun dengan demikian ia menjadi sasaran yang pasti bagi pengawas dari Mataram itu. Sesaat kemudian ketika orang itu mulai menyadari bahwa ia berada dalam bahaya dan bergerak surut, maka sekali lagi terdengar sebuah pekik kesakitan. Namun kini orang itu dengan sadar telah memberikan isyarat kepada kawannya. Bahkan ketika ia mulai terhuyung-huyung dan menghilang di pepohonan, masih terdengar ia bersuit nyaring meskipun anak panah telah menembus dadanya.
“Sekarang, kitalah yang harus melarikan diri,” desis pengawal dari Mataram itu,
“mereka akan segera berdatangan dan mengepung kita.”
“Marilah. Kita harus segera memberikan laporan.”
“Tetapi anak panah ini?”
Kawan-kawannya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian mereka pun berusaha mencabut anak panah itu.

Pengawal yang terluka itu mengatupkan giginya rapat-rapat untuk menahan sakit. Namun ia masih juga mengaduh tertahan. Rasa-rasanya sakit di lengannya itu menjalar sampai ke ubun-ubunnya. Dengan dibalut ikat kepala, maka mereka pun kemudian berusaha menahan darah yang mengalir dari luka itu. Sementara itu maka mereka pun berusaha untuk menarik diri dan kembali kepada induk pasukan mereka. Sambil menyeringai kesakitan, ditolong oleh kawan-kawannya, maka pengawas yang terluka itu menyingkir dari daerah yang berbahaya. Dalam pada itu, ternyata isyarat yang dipekikkan oleh pengawas yang dadanya tertembus anak panah itu pun telah didengar oleh beberapa orang. Dengan tergesa-gesa mereka pun segera berlari-larian mendapatkannya. Dengan nafas yang terengah-engah pengawas yang terluka itu masih sempat mengatakan apa yang terjadi dan apa yang dilihatnya di tebing, bahwa seorang kawannya terbaring dan terluka tersangkut pada pepohonan perdu.
“Siapakah yang telah melukaimu?” bertanya salah seorang dari mereka.
Pengawas yang terluka itu menggeleng. Suaranya menjadi semakin lambat, “Aku tidak tahu.”
Kawan-kawannya menjadi termangu-mangu sejenak. Lalu,
“Cepat, bawa orang ini menghadap ke padepokan. Mudah-mudahan ia masih sempat diobati.”
“Tentu orang Mataram yang kita temui di tempat terbuka dan yang telah gagal kita jebak itu. Mereka tentu datang kembali dengan pasukan yang lebih besar seperti yang kita duga.”
“Kita sudah menyiapkan jebakan yang lebih baik. Cepat bawa orang ini ke padepokan sekaligus melaporkan apa yang terjadi. Kita akan mengambil kawan kita yang tersangkut di lereng itu.”
Dua orang di antara mereka telah membawa kawan mereka yang terluka itu, sedang yang lain pun kemudian pergi ke tebing sebelah.
“Lindungi kami,” desis salah seorang dari mereka,
“kami akan mencoba mengambilnya.”
Beberapa orang berdiri berderet di atas tebing dengan anak panah yang siap pada tali busur, sementara dua orang yang lain dengan hati-hati menuruni tebing untuk mengambil kawannya yang tersangkut di pohon perdu. Namun ketika mereka meraba orang itu, ternyata orang itu sudah tidak bernyawa lagi.
“Ia sudah mati,” desis salah seorang dari keduanya.
“Gila,” geram yang lain,
“pembunuhan yang tidak dapat dimaafkan. Marilah kita bawa naik dan kita bawa kembali ke padepokan. Kita memang harus sudah siap menghadapi segala kemungkinan.”
Maka mayat itu pun segera dibawa kembali ke padepokan. Sementara itu, penjagaan di lereng pebukitan itu justru diperketat.
“Sudah kita duga, mereka akan menempuh jalan ini. Kita sudah siap menyambut mereka. Dan kita akan menghancurkan mereka sebelum mereka sampai di pintu padepokan.”
“Tetapi yang datang tentu bukan sekedar lima belas orang.”
“Mungkin tiga puluh. Bahkan lima puluh orang pun akan kami persilahkan.”

Kawannya mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Yang dikatakan itu agaknya memang tidak berlebih-lebihan. Beberapa orang yang tersebar di beberapa tempat untuk kepentingan yang sama, menahan perkembangan Mataram, telah ditarik. Apalagi di antara mereka terdapat beberapa orang yang datang dari Pajang. Orang-orang yang sependapat dengan Daksina. Bahkan ada di antara mereka adalah prajurit-prajurit seperti Daksina sendiri.
“Kita memang sudah siap,” desisnya kemudian,
“prajurit-prajurit yang lepas dari kesatuannya itu pun merupakan kekuatan yang harus diperhitungkan oleh orang-orang Mataram.”
Tetapi seorang yang bertubuh kecil kekurus-kurusan mencibirkan bibirnya sambil berkata,
“Kita tidak memerlukan mereka sekarang. Bahkan mereka akan mendatangkan kesulitan saja pada kita. Lihat, apakah rencananya menjebak Sutawijaya itu berhasil? Kita telah kehilangan beberapa orang kawan kita.” Ia berhenti sejenak, lalu,
“Apalagi apabila prajurit-prajurit yang meninggalkan kesatuannya itu sempat menimbulkan kecurigaan di antara mereka sendiri. Maka Pajang pun tentu tidak hanya akan tinggal diam. Ia sudah kehilangan seorang perwira. Beberapa orang prajurit. Maka kecurigaan itu akan memaksa Pajang meneliti seorang demi seorang. Nah, kau tahu, bahwa hal itu sangat merugikan.”
Kawannya mengerutkan keningnya. Lalu,
“Tetapi tanpa mereka kita tidak cukup kuat. Apalagi jika benar-benar terjadi usaha yang besar itu.”
“Sst,” desis yang lain,
“jangan didengar oleh anak-anak liar itu. Mereka tidak akan dapat menahan rahasia jika mereka terbentur pada kesulitan.”
Kawannya mangangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya beberapa orang pengawas yang ada di sekitarnya. Mereka adalah orang-orang yang tidak banyak mengerti tentang dirinya. Kenapa mereka berada di dalam lingkungan yang tersembunyi itu. Mereka tidak menyadari, apakah sebenarnya yang sedang mereka lakukan. Yang mereka inginkan hanyalah kemungkinan yang jauh lebih baik bagi hari-hari depan mereka tanpa mengetahui alasan dan tindakan yang sekarang ini mereka perbuat.
“Tetapi,” berkata salah seorang dari mereka,
“usaha untuk menyingkirkan kekuasaan Pajang sekarang ini memerlukan mereka. Memerlukan prajurit-prajurit dan perwira-perwira Pajang itu sendiri.”
“Tetapi tidak sekarang. Tidak dalam keadaan seperti ini. Dan bagi kita, mereka hanya kita perlukan untuk sementara.”
Kawannya tertawa kecil. Sambil memandang orang yang berkeliaran di sekitarnya ia berkata,
“Bukan hanya kita berpendapat demikian. Orang terpenting di Pajang yang tentu ada, meskipun kita sendiri belum mengetahuinya, tentu berpendapat, bahwa kita pun hanya mereka perlukan untuk sementara. Dengan demikian, kita saling menyadari, bahwa pada saatnya kita akan menentukan, siapakah yang lebih besar pengaruhnya.”

Beberapa orang yang termasuk orang-orang penting di dalam lingkungan sebuah gerombolan yang besar, yang selalu membayangi perkembangan Mataram itu pun terdiam, ketika mereka melihat sekelompok orang mendekati mereka.
“Daksina,” desis salah seorang dari mereka.
Yang datang itu adalah Daksina. Seorang perwira Pajang yang tidak dapat kembali lagi kepada pasukannya, karena ia menyangka bahwa Sutawijaya tentu akan membuat laporan tentang dirinya kepada para Panglima di Pajang. Karena itu, maka ia pun harus tetap menetap di tempat itu, meskipun ia masih akan selalu berhubungan dengan perwira-perwira Pajang yang lain, yang telah menyiapkan suatu rencana yang besar bagi perkembangan pemerintahan di atas Pulau yang manis ini. Ketika Daksina mendekati mereka, maka mereka pun mengangguk hormat. Salah seorang berkata,
“Pengawasan cukup baik. Mereka tidak akan berhasil melewati daerah ini tanpa sepengetahuan kita.”
Daksina mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Terima kasih. Tetapi kita sudah menyusun pertahanan. Daerah ini bukan garis terakhir yang harus kita pertahankan. Salah seorang telah menghadap Panembahan Agung menyampaikan laporan tentang perkembangan keadaan.”
“Apakah laporan semacam itu diperlukan,” bertanya salah seorang.
“Kenapa tidak?” bertanya Daksina.
“Aku telah mengirimkan laporan kepada pimpinanku di Pajang pula seperti yang kami sampaikan kepada Panembahan Agung.”
“Mungkin laporan ke Pajang itu perlu. Tetapi bukankah Panembahan Agung mempunyai kemampuan untuk melihat apa yang tidak dilihat oleh indera wadagnya?”
“O,” Daksina mengangguk-anggukkan kepalanya,
“memang begitu. Tetapi tidak setiap persoalan dapat diketahuinya dengan pasti sampai kepada bagian-bagiannya. Mungkin Panembahan Agung kini sudah mengetahui, bahwa ada semacam bahaya yang sedang merayap mendekati padepokannya. Tetapi selebihnya masih harus didengar laporan-laporan. Panembahan Agung tidak dapat melihat seolah-olah ia berdiri di bibir bumi dan mengetahui segala isinya, seperti kita melihat segerombolan cengkerik di dalam kotak aduan.”
“Begitu?” salah seorang dari orang-orang yang mendengarkan itu mengerutkan keningnya. Lalu,
“Mungkin kau benar. Tetapi mau tidak mau kita harus mengakui, bahwa Panembahan Agung mempunyai kelebihan bukan saja secara wadag, misalnya olah kanuragan. Tetapi juga secara halus.”
“Aku percaya,” sahut Daksina,
“tetapi kemampuan itu pun terbatas.
“Dan kelebihan apakah yang dimiliki oleh panglimamu di Pajang?” tiba-tiba seseorang bertanya dengan nada tinggi.
Daksina mengerutkan keningnya. Dipandanginya orang itu dengan tajamnya sambil menahan nafasnya.

Sejenak suasana justru menjadi tegang. Daksina dan beberapa orang prajurit Pajang yang mengiringinya memandang orang-orang yang berada di sekitarnya itu dengan tatapan mata yang tajam. Namun demikian, Daksina masih berusaha untuk menahan diri. Karena itu, maka sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata,
“Apakah kita akan membuat perhitungan untung rugi dari ikatan yang kita adakan ini?”
Para pengikut Panembahan Agung itu tidak segera menjawab. Terasa bahwa Daksina masih berusaha menahan perasaannya. Karena itu, maka sebagian dari mereka pun berusaha untuk menahan diri pula agar mereka tidak saling menyinggung. Namun dalam pada itu, seseorang yang bertanya tentang pemimpin prajurit di Pajang itu agaknya masih belum puas, sehingga ia masih juga mengulanginya,
“Kau belum menjawab. Apakah kelebihan panglimamu itu? Seandainya datang saatnya kita harus memilih, siapakah yang akan memegang perintah tertinggi di antara kita, siapakah yang paling pantas?”
Daksina memandang orang itu dengan tajamnya. Namun agaknya ia tidak ingin menjawab. Bahkan ia berpaling memandang ke arah yang lain. Tetapi salah seorang pengiringnya yang tidak dapat menahan hati menyahut,
“Kau belum mengenal panglima kami di Pajang. Tetapi kau pun tidak akan dapat membanggakan Panembahan Agung itu dengan berlebih-lebihan. Jika ia mengetahui segala sesuatu yang terjadi, maka kita tidak akan pernah mengalami kekalahan yang berat. Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak tidak akan mati. Kita tidak akan gagal menguasai para perwira di Jati Anom. Tetapi baiklah, jika kesalahan itu dibebankan kepada perhitungan kami yang saat itu berada di Pajang. Tetapi bagaimana dengan kegagalan orang-orangmu di perbatasan Alas Tambak Baya? Apakah Panembahan Agung membiarkan saja apabila hal itu sudah diketahui sebelumnya.”
“Cukup,” potong lawannya,
“kau akan dikutuk menjadi batu jika kau berani menghinakannya. Kau kira ia tidak mengetahui apa yang kau katakan.”
“Memang sudah cukup,” berkata Daksina kemudian,
“perselisihan yang demikian tidak ada gunanya. Bukan karena aku sekarang menumpang di padepokanmu. Tetapi kita menghadapi persoalan yang jauh lebih besar. Baiklah kita menguasai diri kita masing-masing, dan biarlah kita mempergunakan kemampuan kita masing-masing. Jika Panembahan Agung itu memiliki penglihatan tanpa batas, baiklah. Tetapi jika kami dan Panglima kami di Pajang memiliki kemampuan memperhitungkan keadaan, baiklah.”
“Aku setuju,” berkata pengikut Panembahan Agung yang sudah agak lebih tua dari kawan-kawannya,
“kita menghadapi pasukan Mataram yang bergerak maju mendekati padepokan ini. Dua orang telah menjadi korban. Karena itu, kita harus selalu bersiap-siap menghadapi mereka. Perselisihan di antara kita tidak akan ada gunanya.”
Daksina menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya orang-orangnya yang masih tegang dan demikian pula pengikut-pengikut Panembahan Agung itu. Namun mereka sudah terdiam. Sejenak Daksina masih berdiri di tempat itu memandang tebing pegunungan yang terbentang di hadapannya.

Tidak ada jalur jalan yang baik yang menghubungkan tempat itu dengan daerah luar. Yang ada hanyalah lereng-lereng yang berkelok-kelok, yang memang mungkin dipergunakan untuk merayap naik, seperti yang selalu dilakukan oleh orang-orang yang tinggal di daerah itu. Mereka sengaja tidak membuat jalur jalan tertentu, agar tempat itu tetap terpisah. Terutama dengan daerah Menoreh, sehingga jika ada jalur jalan setapak, jalan itu menuju ke arah yang lain di seberang pebukitan.
“Apakah sudah ada pengawas yang berada di depan tempat ini?” bertanya Daksina kemudian.
“Ya. Pengawasan sudah kami susun sebaik-baiknya. Apalagi setelah kami kehilangan dua orang pengawas di tempat ini.”
“Dan orang yang melepaskan anak panah itu tidak dapat kalian ketemukan?”
“Tidak. Sulit untuk mencari. Apalagi mungkin mereka berjumlah besar, meskipun aku yakin, bahwa mereka pun tentu sekedar merintis jalan. Karena itu, kita sedang menunggu pasukan yang kuat itu datang dari arah yang sama dengan arah kedatangan mereka. Menurut perhitungan kami, mereka akan melalui jalur lereng ini. Meskipun demikian, di tempat lain pun telah diletakkan pengawasan yang baik.”
Daksina mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya,
“Baiklah. Aku akan menemui Putut Nantang Pati. Mungkin ada persoalan yang perlu kita siapkan.”
Orang-orang itu tidak menjawab. Mereka hanya memandang Daksina melangkah menjauh dan kemudian hilang di balik pepohonan.
“He,” salah seorang pengikut Panembahan Agung itu berdesis,
“seakan-akan ia sedang memeriksa pengawasan yang kita susun. Apakah ia berhak berbuat demikian?”
“Sudahlah,” sahut yang lebih tua,
“jangan hiraukan. Ia seorang perwira. Adalah kebiasaannya untuk memeriksa pasukan.”
“Tetapi kita bukan prajurit Pajang.”
“Meskipun bukan, tetapi kita kini berada dalam satu ikatan dengan mereka.”
“Meskipun demikian, yang berwenang memerintah kita di sini adalah Putut Nantang Pati. Bukan Daksina.”
“Sudah ada persetujuan di antara keduanya. Putut Nantang Pati dan Daksina, bahwa keduanya dianggap memiliki kekuasaan dan wewenang yang sama.”
“Ah, itu hanya dugaanmu. Aku belum pernah mendengarnya.”
“Kenapa hal itu kau ributkan? Lihat, daerah pengawasan kita itu. Mungkin pasukan Mataram kini sudah menyusup di bawah rimbunnya pepohonan itu. Bahkan mungkin perintisnya sudah sampai di bawah kaki kita dengan anak panah siap pada busurnya.”
Para pengawas yang sedang berbincang itu pun kemudian terdiam. Perhatian mereka segera tertuju ke lembah di hadapan mereka. Lembah yang ditumbuhi pepohonan yang rimbun, yang cukup rapat untuk menyembunyikan diri. Tetapi jika yang lewat itu sebuah pasukan, maka tentu tidak akan mungkin lepas dari pengawasan orang-orang itu. Apalagi di hadapan mereka masih ada tiga orang pengawas terdepan.

Sementara itu, para pengawas dari Mataram dan Menoreh yang kembali kepada induk pasukannya segera melaporkan apa yang telah terjadi atas mereka. Bahkan di antara mereka terdapat seorang yang terluka. Meskipun luka itu tidak terlalu parah, namun karena darah yang mengalir dari luka, maka orang itu menjadi sangat lemah. Untunglah, bahwa di antara mereka terdapat Kiai Gringsing, sehingga dengan cekatan dukun tua itu pun segera mencoba untuk menolongnya.
“Namun dengan demikian, maka mereka pun segera mendapat gambaran, bahwa lawan mereka memang telah dekat di hadapan mereka, sehingga karena itu, mereka harus sudah mempersiapkan diri menghadapi pertempuran.
“Kita tidak dapat maju lagi sambil berkuda,” berkata para pengawas itu,
“jalan sangat sulit.”
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Dipandanginya Ki Argapati sejenak, seolah-olah ingin bertanya, apakah ia dapat terus mengikuti perjalanan pasukan ini. Meskipun pertanyaan itu tidak diucapkan, namun agaknya Ki Gede Menoreh dapat menangkapnya. Karena itu sambil tersenyum ia berkata,
“Jangan cemas Raden. Aku dapat berjalan dengan baik meskipun barangkali tidak seimbang lagi. Tetapi kakiku cukup kuat, setelah sekian lamanya mengalami pengobatan terus-menerus. Obat yang sejak kaki itu terluka, telah diberikan oleh Kiai Gringsing.”
“Aku hanya memberikan petunjuk dedaunan yang dapat dipergunakan,” sahut Kiai Gringsing.
Dan Ki Argapati masih juga tersenyum,
“Sama saja artinya bagiku. Dan sekarang, aku merasa hampir pulih kembali, meskipun tampaknya tubuhku seperti berat sebelah.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian tumbuh pula pertanyaan yang seolah-olah diucapkannya kepada diri sendiri,
“Bagaimana dengan kuda-kuda kita?”
“Biarlah kuda-kuda itu kita tinggalkan di sini. Aku rasa di sekitar tempat ini cukup banyak rerumputan yang hijau. Biarlah kuda-kuda itu kita ikat dengan tali yang agak panjang, agar mereka sempat makan rerumputan sehari suntuk. Bahkan dua tiga hari jika kita tidak segera kembali.
“Baiklah,” berkata Sutawijaya,
“tetapi jika kita kelak tidak sempat kembali, maka biarlah jika ada salah seorang dari kita yang tetap hidup, akan melepaskan kuda-kuda ini. Biarlah mereka menjadi kuda liar yang menghuni hutan itu.”
“Ah,” desis Ki Argapati, lalu,
“sebaiknya kita berdoa, agar perjalanan kita dilindungi oleh Tuhan, karena kita sama sekali tidak bermaksud jahat. Kita sedang berusaha untuk berbuat kebaikan di antara sesama sesuai dengan kewajiban kewadagan kita.”
Sutawijaya tersenyum. Katanya,
“Baiklah Ki Gede. Kita percayakan perjalanan ini kepada kekuasaan Yang Maha Tinggi.”
“Yang kita lakukan adalah sebuah usaha.”
Orang-orang yang mendengar pembicaraan itu mengangguk-anggukkan kepalanya, seolah-olah mereka pun ikut serta mengucapkan kata-kata itu.

Dalam pada itu, maka pasukan itu pun segera bersiap. Mereka telah menggenggam senjata masing-masing meskipun jaraknya masih ada beberapa ratus langkah, lewat jalan yang sulit, sehingga masih memerlukan waktu yang cukup panjang. Namun dalam pada itu, Ki Waskita, ayah Rudita tampaknya menjadi selalu bimbang. Bahkan kemudian terdengar ia berdesis,
“Aku menjadi bingung. Apakah aku sekarang sudah tidak mampu lagi menangkap isyarat yang aku terima?”
“Kenapa?” bertanya Kiai Gringsing.
“Menurut tangkapanku, Rudita masih berada di tempat yang agak jauh, meskipun kita memang berjalan ke arah yang benar. Tetapi aku tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa kita memang sudah di ambang pintu sarang lawan Apakah jika demikian Rudita tidak berada di sarang yang sedang kita dekati.”
“Jangan mengambil kesimpulan dahulu. Mungkin ada sesuatu yang kurang wajar terjadi pada dirimu,” sahut Kiai Gringsing.
“Apa maksud Kiai?”
“Mungkin kau dapat melihat dan mengungkap isyarat bagi orang lain. Tetapi kali ini adalah anakmu sendiri, sehingga di dalam memusatan pikiran kau dipengaruhi oleh kecemasan dan kegelisahan. Atau justru persoalannya menyangkut anakmu sendiri, kau menjadi kurang yakin pada tanggapanmu. Dengan demikian akan dapat menimbulkan kekeruhan di dalam tangkapan isyarat itu, sehingga uraiannya pun menjadi kusut pula.”
Ki Waskita mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Memang mungkin. Tetapi rasa-rasanya aku sudah menerima isyarat, dan sudah aku terjemahkan dengan baik.” Ia berhenti seienak, lalu,
“Atau mungkin Rudita memang tidak ada di dalam sarang itu. Mungkin ia disembunyikan di tempat yang jauh, atau yang mengambilnya memang tidak mempunyai sangkut paut sama sekali dengan orang yang akan kita temui sebentar lagi.”
“Sudah aku katakan,” potong Raden Sutawijaya,
“ada kemungkinan kau keliru. Tetapi ada kemungkinan kita tertipu oleh pengawas yang sedang berkeliaran jauh dari sarangnya. Atau kemungkinan-kemungkinan yang lain. Tetapi marilah kita berbuat sesuatu agar ada usaha kita untuk melakukan penyelamatan bagi sesama. Keselamatan Rudita, dan umumnya keselamatan Tanah Perdikan ini dan Tanah Mataram.”
Ayah Rudita tidak menjawab lagi. Namun ia pun sudah siap untuk berangkat. Sejenak kemudian, maka para pengawal itu pun segera mengikat kuda-kuda masing-masing pada sebatang pohon di sekitar rerumputan yang hijau dengan tali yang agak panjang, sehingga jarak jangkau kuda-kuda itu menjadi agak jauh. Agaknya Sutawijaya menganggap bahwa tidak akan ada gunanya, seandainya satu dua orang harus tinggal menunggui kuda-kuda itu, karena apabila beberapa orang lawan merunduk mereka, maka mereka pun akan mati terbunuh. Sehingga karena itu mereka membiarkan saja kuda-kuda itu tidak di tunggu. Apalagi menurut perhitungannya jarak yang akan ditempuh sudah tidak begitu jauh lagi. Ketika para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan Tanah Mataram itu sudah siap, maka mereka pun segera bergerak maju ke arah sarang lawan disela-sela pebukitan itu.
Namun demikian salah seorang dari mereka masih juga bergumam,
“Bagaimana jika seekor harimau datang ke tempat kuda-kuda itu tertambat?”
“Harimau itu tidak akan sampai ke tempat itu. Mereka tidak mau menyeberangi daerah terbuka yang agak luas, kemudian menyusup ke hutan perdu. Di hutan itu sendiri terdapat cukup makanan bagi mereka,” jawab yang lain.
Tetapi kawannya masih juga berpaling, seakan-akan ia merasa berat hati meninggalkan kudanya, karena kuda itu sudah bertahun-tahun dipeliharanya dengan baik. Kuda yang merupakan kawan yang paling akrab di setiap keadaan. Meskipun demikian, ia harus berjalan terus bersama dengan seluruh pasukannya. Mereka telah mendapat gambaran dari medan yang harus mereka tempuh.

Ketika mereka sampai di ujung lembah, maka pengawas yang telah mendahului mereka sebelumnya berpendapat, bahwa sebaiknya mereka menempuh beberapa jalan. Yang pertama adalah jalur jalan di sela-sela pepohonan di dalam lembah. Yang lain naik melalui tebing. Mereka telah mencoba memanjat tebing itu di tengah-tengah perjalanan untuk mengetahui apakah ada jejak kaki di atasnya, tetapi selagi mereka memanjat, mereka telah mendapat serangan. Menurut perhitungan mereka, jalan tebing itu akan sampai kepada tempat yang akan mereka capai. Sedang sekelompok lagi akan melalui lereng sebelah untuk mencapai tempat para pengawas di lereng itu. Sejenak para pemimpin pasukan dari kedua belah pihak membicarakan pendapat para pengawas itu. Sutawijaya yang dialiri darah muda itu segera menjawab,
“Baik. Kita akan datang dari tiga arah. Kita masing-masing akan selalu berhubungan dengan isyarat-isyarat.”
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pun sependapat dengan rencana itu, meskipun ia sadar, bahwa jalur isyarat harus terpelihara sebaik-baiknya, karena meskipun jarak dari ketiga pasukan itu tidak akan jauh, tetapi jika diperlukan, pasukan yang sekelompok tentu agak sulit untuk mencapai kelompok yang lain, sehingga diperlukan waktu yang agak panjang.
Ketika hal itu dikemukakannya kepada Raden Sutawijaya, maka anak muda itu pun berkata,
“Peringatan Ki Gede itu akan bermanfaat sekali. Ingat, daerah yang akan kita lalui adalah daerah yang sulit. Jika salah sebuah kelompok disergap, maka isyarat itu harus secepatnya di berikan, agar kelompok yang lain akan segera dapat mengambil sikap. Apabila kelompok itu sendiri berhadapan juga dengan lawan, maka kelompok itu pun harus segera memberikan isyarat.”
Para pengawal itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Melihat medan yang terbentang di hadapan mereka, maka mereka sadar, bahwa mereka akan menghadapi tugas yang berat. Namun dalam pada itu, selagi mereka mempersiapkan diri dan membagi di dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil, ayah Rudita tiba-tiba saja berkata,
“Aku mendapat petunjuk, bahwa kita berjalan ke arah yang salah. Baru saja aku menyadari. Jika kalian tidak berkeberatan, aku akan mengulangi perjalanan ini sehingga aku dapat menemukan titik perubahan arah dari perjalanan yang seharusnya kita tempuh.”
Semua orang memandanginya dengan bimbang. Apalagi Sutawijaya, sehingga katanya,
“Ki Waskita, sebaiknya kita membuktikan lebih dahulu apa yang sedang kita hadapi.”
“Aku yakin, bahwa Rudita tidak ada di tempat yang sedang kita tuju, atau kita sudah tersesat oleh jebakan lawan.”
Sutawijaya menjadi tidak sabar. Namun ketika ia akan berbicara. Kiai Gringsing telah menggamitnya. Ia lah yang kemudian melangkah mendekati ayah Rudita itu sambil berkata,
“Ki Waskita. Memang, mungkin sekali petunjuk itu benar. Tetapi jika kita berhasil menemukan tempat mereka, meskipun bukan tempat persembunyian Rudita, kita akan dapat bertanya kepada mereka, di manakah Rudita itu di sembunyikan.”
“Kiai,” jawab ayah Rudita itu,
”jika orang yang menyembunyikan Rudita itu mengetahui, bahwa pertahanan mereka pecah, maka mereka tentu akan menyingkirkan Rudita, atau mungkin mengambil tindakan lain, karena kita tidak tahu, apakah sebenarnya keinginan mereka dengan Rudita.”
“Jadi bagaimana sebaiknya menurut pertimbanganmu?”
“Kiai. Aku menyadari, bahwa usaha kalian bukan saja untuk kepentingan Rudita, meskipun aku berterima kasih bahwa Rudita merupakan cambuk utama dari keberangkatan pasukan ini. Karena itu, aku sama sekali tidak dapat mengganggu atau merubah sikap dan keputusan kepemimpinan pasukan ini. Tetapi karena aku selalu dibarengi oleh penglihatan yang lain dari perhitungan keprajuritan, maka aku minta ijin, perkenankanlah aku menelusuri jalanku sendiri. Dengan demikian usaha kita akan berjalan beriringan. Aku tidak tahu siapakah yang akan berhasil lebih dahulu. Namun aku sebelumnya mengucap beribu terima kasih atas jerih payah kalian.”

Mereka yang mendengar kata-kata ayah Rudita itu terkejut. Ternyata bahwa Ki Waskita benar-benar yakin akan isyarat-isyarat yang ditangkapnya, sehingga karena itu maka ia lebih senang menempuh jalan lain dari jalan yang bersama-sama telah mereka pilih. Untuk beberapa saat. Kiai Gringsing termenung. Bahkan kemudian dipandanginya Ki Argapati, Ki Sumangkar, Ki Demang Sangkal Putung, dan kemudian Sutawijaya, seolah-olah ia ingin mengetahui bagaimana pendapat mereka masing-masing. Ki Argapati, selain merasa bertanggung jawab atas Tanah Perdikan Menoreh, juga menganggap bahwa ayah Rudita adalah tamunya, sehingga karena itu ia bertanya,
“Apakah hal itu sudah kau pertimbangkan masak-masak?”
“Aku kira aku tidak mempunyai pilihan lain. Rasa-rasanya aku yakin, bahwa aku mengetahui dengan tepat, di manakah Rudita kini berada. Tetapi aku juga menganggap berdasarkan perhitungan nalar, bahwa arah yang kita tempuh untuk mencapai padepokan itu pun benar. Karena itu, jalan yang paling baik bagi kita adalah berpisah di sini. Kita kelak akan bertemu lagi apabila kita masing-masing berhasil dengan usaha ini.”
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya,
“Jalan yang kau pilih adalah jalan yang sangat berbahaya.”
“Aku tahu. Tetapi aku kira, jalan itu adalah yang paling dekat untuk mencapai Rudita.”
“Apalagi jika benar-benar Panembahan Agung itu adalah panembahan yang pernah kau sebut mempunyai kemampuan yang luar biasa, sehingga ia mampu menciptakan bentuk semu dengan mempengaruhi syaraf kita di seberang indera penglihatan dan bahkan indera kita yang lain.”
“Aku akan berusaha mengatasinya. Mudah-mudahan aku masih dapat berbuat seperti yang dilakukan oleh panembahan itu.”
Ki Argapati mengerutkan keningnya, sedang beberapa orang lain yang mendengarnya menjadi berdebar-debar. Agaknya Ki Waskita itu selain memiliki penglihatan yang dapat menembus batas tempat dan waktu, juga memiliki ilmu yang dapat mengimbangi ilmu panembahan yang disebutkannya.
“KI Gede,” berkata ayah Rudita itu kemudian,
“biarlah aku mencobanya. Aku harap Ki Gede memberi aku kesempatan.”
Orang-orang tua itu saling berpandangan sejenak. Mereka menjadi ragu-ragu untuk mengambil keputusan. Apalagi anak-anak-muda yang saling berpandangan yang satu dengan yang lain.
“Ki Waskita,” berkata Sumangkar kemudian,
“baiklah, jika Ki Waskita memilih jalan itu. Tetapi sebaiknya kau tidak pergi seorang diri agar ada kawan berbincang di sepanjang jalan. Biarlah aku pergi bersamamu. Mudah-mudahan aku tidak mengganggu di perjalanan karena yang akan kita hadapi adalah orang yang memiliki ilmu yang seakan-akan tanpa dapat dibatasi.”
“Sebenarnya bukan ilmu yang dahsyat,” berkata Ki Waskita,
“yang dilakukan hanya sekedar mengelabuhi indera kita. Jika kita sadar, dan dengan sepenuh hati menguasai indera kita sendiri, tanpa menyentuh ilmu orang itu pun kita dapat menyelamatkan diri kita.”
“Jika demikian, semuanya masih terserah kepada Ki Gede Menoreh dan Raden Sutawijaya. Jika perjalanan kita tidak dirasa mengganggu, maka aku kira mereka tidak akan berkeberatan.”
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Akhirnya ia berkata kepada Ki Waskita,
“Sebenarnya kami ingin kau tetap bersama dengan kami. Tetapi jika kau yakin akan penglihatan mata hatimu atas anakmu, aku tidak dapat mencegahnya. Sebab jika kelak terjadi sesuatu atas anak itu karena kelambatan kami, maka kami akan dibebani oleh pertanggungan jawab yang sangat berat, justru karena kau pernah menyatakan sikap yang lain. Karena itu, marilah kita bersama-sama berusaha. Kau dengan caramu, kami dengan cara kami. Mudah-mudahan Tuhan bersama kita semuanya, sehingga kita dapat menyelesaikan tugas kita kali ini. Bukan saja bagi keselamatan Rudita, tetapi juga bagi ketenteraman di daerah Menoreh dan Mataram. Dan yang lebih luas lagi adalah bagi Pajang keseluruhan.”
“Terima kasih Ki Gede. Dan aku pun mengucapkan terima kasih kepada Ki Sumangkar yang sudah bersedia mengawani aku di perjalanan. Tentu bukan sekedar kawan berbincang. Tetapi juga kawan di segala keadaan.
Kiai Gringsing memandang Ki Sumangkar sejenak, lalu katanya,
“Baiklah. Hati-hatilah. Mudah-mudahan kita semua selamat dan berhasil.”

Ayah Rudita dan Ki Sumangkar pun kemudian minta diri kepada para pemimpin kelompok kedua pasukan itu. Kepada Ki Demang Sangkal Putung, kepada kedua murid Kiai Gringsing, Pandan Wangi, Prastawa, para pemimpin pasukan pengawal Mataram dan kemudian melambaikan tangannya kepada seluruh pasukan. Dengan diiringi oleh tatapan mata dan jantung yang berdebar-debar, keduanya pun kemudian melangkah menyusuri jalan kembali. Ki Waskita ingin mengulang perjalanan itu dan ingin menangkap isyarat, di mana ia harus berbelok ke arah yang benar. Tanpa disadari Ki Sumangkar pun meraba senjatanya. Ia merasa perlu mempersiapkan diri selengkap-lengkapnya untuk menghadapi keadaan yang kurang dimengertinya itu. Namun ia adalah seseorang yang berpengalaman. Ia adalah adik seperguruan Patih Mantahun yang pernah disebut bernyawa rangkap. Karena itu, maka ia pun segera berusaha menyesuaikan diri dengan medan yang dihadapinya. Dalam pada itu, Ki Waskita yang memiliki penglihatan yang dapat menembus batas waktu dan tempat itu pun dengan ketajaman ilmunya berusaha mengetahui, ke mana ia harus pergi. Ketika ia merasa bahwa ia sudah menemukan titik yang dicarinya, maka ia pun berkata,
“Ki Sumangkar, kita harus berbelok ke arah Barat.”
“Justru ke arah Barat?” bertanya Sumangkar.
Ki Waskita menganggukkan kepalanya. Sejenak ia masih mencoba meyakinkan dirinya. Dan katanya kemudian,
“Aku yakin, Ki Sumangkar. Aku harus menuju ke arah Barat. Aku tidak tahu, daerah apakah yang akan kita temui. Tetapi di sanalah anakku itu di sembunyikan.”
Ki Sumangkar hanya rnengangguk-anggukkan kepalanya saja. Ia mengikuti saja di belakang ayah Rudita yang dituntun oleh sentuhan hubungan getaran yang terjalin antara dirinya dengan Rudita. Apalagi Rudita adalah anaknya, sehingga jalinan itu terasa semakin mantap. Mereka menyusuri lereng pegunungan. Menyusup gerumbul-gerumbul perdu dan padang ilalang. Mereka sama sekali tidak menghiraukan apa saja yang mungkin mereka jumpai di perjalanan.
“Bukan perjalanan yang amat dekat” berkata ayah Rudita kepada Sumangkar,
“karena itu aku agak cemas. Ketika perhitungan nalarku sependapat dengan Raden Sutawijaya, bahwa kita sudah dekat dengan persembunyian orang-orang yang mungkin melarikan Rudita.”
“Memang mungkin demikian,” sahut Sumangkar,
“persembunyian mereka sudah dekat. Tetapi Rudita di tempatkan di tempat lain dan terasing.”
“Itu pun mencemaskan. Seperti sudah aku katakan, jika orang-orang yang menyembunyikan Rudita mencemaskan keselamatan mereka sendiri, atau gerombolannya, maka Rudita akan mengalami nasib yang sangat jelek.”
Ki Sumangkar tidak menyahut. Ia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Sementara itu mereka pun berjalan semakin cepat menembus gerumbul-gerumbul liar di lereng pebukitan.

Dalam pada itu, pasukan pengawal dari Mataram dan Menoreh itu pun sudah bergerak kembali. Mereka benar-benar membagi diri menjadi tiga kelompok. Yang berjalan di tengah adalah kelompok Raden Sutawijaya dengan sepasukan pengawal dari Mataram yang kuat, bersama para pemimpinnya yang dapat dipercaya. Yang kemudian memanjat tebing yang diduga dilalui oleh orang-orang Daksina, dipimpin oleh Kiai Gringsing dan kedua muridnya bersama Ki Demang Sangkal Putung dengan sebagian pengawal dari Menoreh. Sedang sebagian lagi pengawal dari Menoreh mengitari lereng sebelah, dan akan sampai di tebing sebelah. Mereka akan merunduk para penjaga di pihak lawan yang mengawasi pintu gerbang memasuki daerah mereka yang terpencil itu. Dengan pengalaman yang pernah terjadi atas para pengawas yang mendahului perjalanan mereka, maka setiap kelompok pasukan telah mempersiapkan beberapa orangnya untuk menghadapi pertempuran jarak jauh. Karena lawan-lawan mereka mempergunakan anak panah, maka untuk melindungi gerakan pasukan seluruhnya, merekapun mempersiapkan beberapa orang yang dipersenjatai dengan panah, meskipun sebagian dari kepentingan mereka adalah untuk memberikan isyarat-isyarat. Pasukan yang di tengah, yang dipimpin oleh Sutawijaya adalah kelompok yang terkuat. Mereka terdiri dari pasukan pengawal berkuda dari Mataram, meskipun saat itu mereka tidak dapat mempergunakan kuda-kuda mereka. Namun mereka adalah orang-orang yang berpengalaman. Yang memiliki ilmu bukan saja yang mereka terima selama mereka menjadi seorang pengawal. Tetapi mereka pada umumnya telah memiliki ilmu sebagai bekal pendadaran mereka memasuki pasukan pengawal Mataram. Bahkan sebagian dari mereka adalah bekas prajurit-prajurit Pajang yang berpengaruh. Di antara mereka adalah Ki Lurah Branjangan. Menurut perhitungan, maka pertahanan terkuat dari pihak lawan adalah yang di tempatkan di lembah itu. Mereka tentu berpendapat, bahwa pasukan Sutawijaya akan melalui jalan itu. Sementara itu Kiai Gringsing pun maju terus meskipun perlahan. Mereka berjalan di sepanjang tebing yang agak miring. Sebuah jalur yang dapat mereka lalui menyelusur di sisi tebing itu. Beberapa batang pohon tumbuh di lereng dan di pinggir jalan setapak itu.
“Tunggu,” berkata Kiai Gringsing,
“ternyata bahwa dugaan para pengawas itu benar. Kita menemukan jejak kaki yang menyelusuri lereng ini.”
Agung Sedayu dan Swandaru mengerutkan keningnya. Mereka pun mengamati tempat di sekitar mereka dengan saksama. Dan mereka memang menemukan sesuatu yan mencurigakan, yang mungkin adalah jejak kaki seseorang yang sudah diusahakan untuk dihapuskan.
“Kita berjalan lewat jalur yang benar,” desis Kiai Gringsing.
“Apakah kita akan memberikan isyarat?” bertanya Ki Demang Sangkal Putung.
“Belum sekarang,” sahut Kiai Gringsing.

Sementara itu pasukan di lereng seberang pun maju terus lewat di bawah rimbunnya dedaunan. Kelompok itu di pimpin langsung oleh Ki Argapati. Meskipun kaki Ki Argapati masih belum pulih sama sekali, namun ia tidak mengalami kesulitan apa pun berjalan di lereng yang terjal bertelekan pada tangkai tombak pendeknya. Di belakangnya berjalan Pandan Wangi dan Prastawa. Sedang mengikuti mereka itu adalah sekelompok yang bagi Menoreh adalah pengawal yang paling baik, seperti juga pengawal terpilih dari Mataram. Para pengawal dari Menoreh itu pun sebagian besar telah memiliki pengalaman, bukan saja disadap dari ceritera-ceritera dan kitab-kitab, tetapi mereka pun pernah mengalami berbagai macam suasana medan yang berbeda-beda.
Dalam pada itu, selagi para pengawal dari Mataram dan Menoreh merayap maju mendekati sarang orang-orang yang tidak banyak mereka kenal, termasuk Daksina, maka di padepokan yang terpencil, seseorang sedang berbicara dengan dua orang yang agaknya siap untuk menempuh perjalanan yang agak jauh dan sulit.
“Kau harus singgah di padesan itu untuk mengambil kuda. Kau harus segera sampai di Mataram,” berkata seseorang yang menyebut dirinya Putut Nantang Pati.
“Ya. Kami akan berpacu secepat dapat kami lakukan,” jawab salah seorang dari keduanya.
“Aku yakin, bahwa pasukan yang kuat akan datang. Tetapi kami tidak akan mempertahankan padepokan ini dengan sepenuh kekuatan. Kami sudah mengatur, bahwa kami akan segera menarik diri jika pertempuran telah berkobar, kecuali jika kami yakin bahwa kami dapat menumpas lawan yang datang itu. Pertahanan kami yang sebenarnya adalah di depan padepokan Panembahan Agung. Kami akan melihat suatu permainan yang sangat menarik. Orang-orang Mataram akan menjadi kebingungan melawan ilmu Panembahan Agung.”
“Ya. Sebenarnya aku pun ingin melihatnya.”
“Tidak. Kalian harus pergi seperti yang sudah kita sepakati dengan Daksina. Kemampuan Panembahan Agung itu pun terbatas. Jika ia menghadapi pasukan segelar sepapan, maka pada suatu saat, jika lawannya itu tidak juga segera dapat disingkirkan, maka kemampuan ilmu itu berkurang, karena Panembahan akan menjadi lelah.


Halaman 1 2 3


<<< Jilid 072                                                                                                       Jilid 074 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar