Jilid 071 Halaman 3


Rudita menarik nafas dalam-dalam. Lalu,
“Tetapi bagaimanakah sebenarnya tanggapanmu terhadap Swandaru? Bukankah Swandaru itu melamarmu?”

Meskipun bagi Pandan Wangi, Rudita tidak lebih dari seorang anak kecil meskipun ujudnya besar, namun sepercik warna merah telah membayang di pipinya. Hanya karena keremangan malam yang baru saja menyelubungi Tanah Perdikan Menoreh, maka warna itu tidak tampak oleh Rudita.
Apalagi ketika Rudita itu kemudian mendesak,
“Bagaimana, Pandan Wangi?”
Karena gadis itu mendapatkan kesulitan untuk menjawab maka katanya kemudian,
“Terserah kepada ayah. Bukankah aku seorang gadis? Ayahlah yang wajar menentukan siapakah jodohku kelak.”
“Benar begitu?” bertanya Rudita dengan serta merta.
“Kenapa?” Pandan Wangi ganti bertanya.
“Bagaimana jika ayahku menjumpai ayahmu, dan ayahmu lebih setuju dengan pendapat ayahku daripada Ki Demang di Sangkal Putung itu.”
“Ah, itu tidak mungkin,” jawab Pandan Wangi yang sama sekali tidak menyangka bahwa Rudita akan berkata demikian.
“Tetapi bukankah Paman Argapati yang akan menentukan hari depanmu.”
“Sudahlah, kita berbicara tentang yang lain. Kita harus berhati-hati selama kita berada di sini. Mungkin binatang buas itu sedang merunduk kita. Jika kita diterkamnya maka kita tidak akan dapat berbicara lagi tentang ayah kita masing-masing.”
“Apakah ada seekor harimau di sini?”
“Aku tidak tahu,” jawab Pandan Wangi tegas, agar tidak menimbulkan persoalan yang berkepanjangan.
Rudita menarik nafas dalam-dalam. Bahkan kemudian ia berdesah,
“Aku akan berbaring. Apakah api perapian itu akan dipadamkan sesudah nasi masak?”
“Tidak, api itu akan diperbesar,” jawab Pandan Wangi begitu saja terloncat dari bibirnya. Ternyata bahwa pertanyaan Rudita yang seolah-olah seperti pertanyaan kanak-kanak itu menjadi persoalan di hati Pandan Wangi, karena mungkin sekali Rudita akan menyampaikannya kepada orang tuanya.
Karena itu untuk beberapa lamanya. Pandan Wangi merenungi pertanyaan-pertanyaan Rudita itu. Ia sudah terlanjur mengatakan bahwa segala sesuatunya tergantung kepada ayahnya. Jika kemudian ayah dan ibu Rudita salah menafsirkan keterangan Rudita, akibatnya akan dapat berkepanjangan. Seandainya ayahnya tetap pada pendiriannya, karena pembicaraan dengan Ki Demang Sangkal Putung sudah dilakukan, maka tentu ada sesuatu yang akan tetap terasa mengganggu hubungan antara ayahnya dan ayah Rudita, apalagi Rudita adalah, saudaranya dari saluran darah ibunya yang sudah agak jauh.
“Tentu ayah Rudita cukup bijaksana,” berkata Pandan Wangi di dalam hatinya.

Dalam pada itu nasi pun segera masak. Aum harimau justru terdengar semakin jauh di tengah-tengah hutan yang liar itu sehingga orang-orang yang mendengarnya menarik nafas dalam-dalam. Mereka tidak perlu memperhatikannya lagi, meskipun mereka tidak boleh lengah, karena dapat saja terjadi seekor harimau yang lain tiba-tiba saja menerkam kuda mereka yang terikat.
“Tetapi biasanya kuda mempunyai naluri yang tajam jika ada bahaya yang mendekat. Mereka akan berteriak dengan ribut,” berkata salah seorang pengiring itu kepada kawannya.
Sejenak kemudian maka Agung Sedayu, Swandaru, dan Prastawa pun telah kembali ke perkemahan. Badan mereka terasa menjadi segar. Karena itulah, maka terasa betapa mereka menjadi lapar ketika tercium bau nasi yang hangat. Tetapi mereka tidak segera makan. Para pengiring itulah yang kemudian pergi ke belik untuk mandi, sedang anak-anak muda itu dengan penuh kewaspadaan mengawasi keadaan di sekitar mereka. Dengan beberapa potong kayu Prastawa membuat perapian yang sudah tidak dipergunakan lagi untuk memasak itu semakin besar. Nyala api yang merah melonjak semakin lama semakin tinggi, sedang dedaunan yang merunduk di atasnya bagaikan menggeliat kepanasan. Cahaya merah itu membuat pepohonan dan batang perdu menjadi sewarna bara. Angin yang semilir telah mengguncang lidah api itu, sehingga bayangan dedaunan bagaikan bergerak-gerak.
Sejenak Rudita memandangi bayangan yang ikut berguncang perlahan-lahan. Semakin lama rasa-rasanya bagaikan raksasa yang sedang menari-nari mengelilinginya diiring oleh irama suara cengkerik dan bilalang. Bahkan kemudian suara anjing hutan yang menyalak di kejauhan, namun yang segera terbungkam oleh aum seekor harimau.
“O,” Rudita tiba-tiba menelungkup sambil menyembunyikan wajahnya di balik kedua telapak tangannya.
Pandan Wangi hanya dapat menarik nafas dalam-dalam, sedang Prastawa bergeser setapak mendekatinya. Tetapi Swandaru menggamitnya sambil berkata perlahan-lahan sekali,
“Biarkan saja. Aku menjadi semakin kasihan kepadanya. Mudah-mudahan ia dapat segera menenangkan hatinya.”
“Sebaiknya ia segera tidur,” sahut Agung Sedayu berbisik,
“dengan demikian ia akan dapat melepaskan dirinya dari siksaan ketakutan.”
Prastawa mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya Rudita yang masih saja menelungkup. Sambil bergeser kembali ia berkata,
“Aku pun kasihan sekali kepadanya.”
Pandan Wangi tidak begitu mendengar kata-kata mereka yang sedang berbisik-bisik. Tetapi seakan-akan ia dapat mengerti maksud mereka itu. Tidak seorang pun yang mengganggu Rudita yang sedang menelungkup. Mereka bahkan berharap anak muda itu segera dapat tertidur nyenyak. Ketika mereka sudah berkumpul lagi dengan para pengiring yang bergantian mandi, maka mereka pun kemudian mulai makan dengan lahapnya. Rudita ternyata tidak mau bangun lagi. Ia menggelengkan kepalanya ketika Pandan Wangi mengajaknya makan.
“Biarlah ia tidur,” desis Agung Sedayu sekali lagi.
Setelah mereka makan sekenyang-kenyangnya, barulah mereka menempatkan diri masing-masing di tempat yang mereka pilih sebagai pembaringan. Ternyata mereka tidak cukup banyak membawa tikar, sehingga sebagian dari mereka harus menimbun rerumputan kering di pinggir perapian itu.

Beberapa orang bertugas untuk berjaga-jaga sampai menjelang tengah malam. Kemudian kelompok yang lain akan berganti bertugas. Sedang kelompok terakhir adalah Agung Sedayu, Swandaru dan Prastawa. Kelompok pertama yang terdiri dari separo daripada para pengiring itu pun kemudian duduk di pinggir perapian. Sambil memanasi telapak tangan mereka di udara malam yang dingin mereka masih saja membicarakan tentang ular naga yang berhasil mereka bunuh. Ternyata sejenak kemudian, perkemahan itu menjadi sepi. Mereka yang akan berganti bertugas, segera berusaha untuk tidur. Sedang Pandan Wangi yang tidak termasuk dalam kelompok-kelompok yang akan berjaga-jaga, merasa dirinya menjadi pemomong Rudita secara khusus, sehingga justru karena itu ia tidak dapat meninggalkannya, meskipun anak itu pernah berbicara kepadanya tentang lamaran seorang anak muda. Setiap kali Pandan Wangi yang berbaring tidak jauh dari Rudita itu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Setiap kali ia harus melihat apakah Rudita masih tetap dalam keadaannya. Namun akhirnya, karena Pandan Wangi sendiri pun merasa letih, maka akhirnya ia pun tertidur juga.
Ketika malam menjadi semakin malam, maka para penjaga yang bertugas pun mulai mengisi waktunya untuk melawan kantuk. Mereka tidak lagi berkumpul duduk di sekitar perapian. Tetapi dua di antara mereka berjalan mengelilingi perkemahan itu dan melihat-lihat keadaan kuda mereka. Ternyata bahwa di bagian pertama dari malam itu tidak terjadi sesuatu. Tanpa membangunkan orang-orang lain, maka kelompok petugas pertama telah membangunkan kelompok kedua dan menyerahkan tugas mereka kepada kelompok berikutnya. Seperti kelompok pertama, maka setiap kali dua orang dari para petugas itu berjalan-jalan berkeliling perkemahan. Selain untuk mengawasi keadaan, sebenarnya mereka memang berusaha untuk melawan kantuk yang hampir tidak tertahankan, justru karena terasa udara sangat segar di malam hari. Namun agaknya para peronda itu tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Kuda-kuda mereka sama sekali tidak terganggu, dan yang sedang tidur pun masih tetap tidur dengan nyenyaknya.
Dalam pada itu sebenarnyalah bahwa para petugas, tidak mengetahui bahwa beberapa pasang mata sedang mengawasi mereka. Bukan mata harimau yang garang, bukan pula sepasang mata ular naga yang liar. Tetapi beberapa pasang mata manusia.
Ketika para petugas itu sedang bercakap-cakap setelah dua orang di antara mereka baru saja berkeliling, ternyata beberapa orang telah merayap mendekati perkemahan itu.
“Tentu mereka yang sedang kita cari,” desis salah seorang dari mereka.
“Mudah-mudahan,” sahut yang lain, seorang anak muda. Tetapi agaknya ialah yang memimpin kelompok yang sedang merunduk mendekati perkemahan itu.
Mereka merayap semakin lama menjadi semakin dekat. Dengan isyarat anak muda yang memimpin kelompok itu pun kemudian memberikan perintah, agar anak buahnya segera memencar. Dengan diam-diam, maka beberapa orang itu pun memencar mengepung perkemahan itu. Semakin lama kepungan itu pun rasa-rasanya menjadi semakin sempit.
Dalam pada itu, para petugas yang sedang meronda malam itu sama sekali tidak menduga, bahwa di sekitar perkemahan itu ternyata telah bertebaran beberapa orang yang tidak mereka kenal. Setelah mereka tidak merasa kantuk, maka mereka justru duduk saja mengitari perapian yang masih menyala karena setiap kali para petugas telah melemparkan potongan-potongan kayu bakar ke dalamnya.
“Rasa-rasanya malam terlampau sepi,” desis salah seorang peronda.
“Ya, malam memang terlalu sepi. Rasa-rasanya kita tidak sedang berada di pinggir hutan liar.”
“Harimau itu tentu sudah mendapatkan mangsanya sehingga karena itu tidak lagi berteriak-teriak.”
“Apakah hanya ada seekor harimau di hutan yang lebat itu?”
“Tentu tidak. Tetapi semuanya sudah kenyang, dan semuanya tidak mengaum.”

Kawan-kawannya tertawa. Sebenarnya mereka pun masih mendengar auman harimau. Tetapi jauh sekali sehingga mereka tidak perlu menghiraukannya. Namun demikian, ternyata bahwa para penjaga itu, selain menyandang pedang di lambung, mereka mempersiapkan busur dan anak panah, jika pada suatu saat mereka perlukan. Tetapi bukan saja untuk melawan harimau, karena dimalam hari pun kadang-kadang mereka melihat seekor kijang berlari-lari apabila seekor harimau lewat dekat persembunyiannya. Tetapi malam itu, tidak ada seekor binatang pun yang mendekati perkemahan mereka. Sedang orang-orang yang berusaha mendekat itu, ternyata cukup berhati-hati, sehingga langkah mereka tidak segera didengar oleh para penjaga itu. Apalagi mereka yang sedang tidur dengan nyenyaknya. Sejenak para peronda itu masih saja duduk di sekitar perapian. Baru ketika kantuk mulai meraba mata mereka lagi, dua orang di antara mereka berdiri dan berjalan mengelilingi perkemahan itu. Namun mereka masih belum menyadari bahwa ada beberapa orang yang sedang mengepung mereka. Karena itu, maka kedua orang itu pun kemudian kembali lagi ke tepi perapian dan duduk pula di antara mereka.
Dalam pada itu, orang-orang yang sedang mengepung itu pun merayap semakin maju. Beberapa orang terpenting berada di tempat yang terpencar. Semakin lama semakin dekat, sehingga anak muda yang memimpin mereka itu pun sempat memperhatikan kuda yang tertambat.
“Hitung, berapa ekor kuda yang ada,” desisnya perlahan-lahan sehingga kawannya berbicara pun hampir tidak mendengarnya.
“Banyak,” sahut kawannya, “kira-kira sepuluh ekor.”
Anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Setiap kali ia mengerutkan keningnya memperhatikan para peronda. Jika dua orang di antara para peronda itu berdiri dan berjalan melingkar, maka orang-orang yang mengepung itu pun seakan-akan membeku di tempatnya, bahkan menarik nafas pun rasa-rasanya tidak mereka lakukan. Karena itulah maka para peronda itu tidak segera dapat mengetahui kehadiran mereka yang masih bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul liar itu.
Namun ternyata, bahwa kuda-kuda yang tertambat itulah yang lebih dahulu mengetahui kehadiran orang-orang itu. Salah seekor dari kuda-kuda itu pun tiba-tiba meringkik keras-keras dengan gelisahnya disusul oleh beberapa ekor yang lain. Dan ringkik kuda itu telah mengejutkan orang-orang yang sedang bertugas maupun yang sedang tidur nyenyak. Karena itulah maka mereka pun segera terbangun pula. Dengan tangkasnya para peronda itu pun segera mempersiapkan senjata sambil berpencar menatap ke segala arah membelakangi api. Demikian juga mereka yang sedang tertidur pun bangkit dan duduk sambil meraba senjata masing-masing sambil menunggu apakah yang terjadi sebenarnya.

Namun secepat itu pula pemimpin kelompok yang mengepung itu pun memberikan isyarat kepada anak buahnya dengan suatu suitan nyaring. Secepat para pengiring itu bersiap dan orang-orang yang tertidur itu bangun, maka perkemahan itu sudah terkepung rapat. Di dalam keremangan cahaya api yang kemerah-merahan, mereka melihat bayangan-bayangan hitam di sela-sela dedaunan dengan senjata telanjang di tangan.
“Jangan berbuat sesuatu yang dapat mempercepat kematian kalian,” desis anak muda yang memimpin kelompok itu.
Para peronda menjadi termangu-mangu. Ternyata jumlah orang-orang yang mengepung perkemahan itu cukup banyak.
“Lepaskan senjata kalian,” berkata suara itu pula.
Dalam pada itu, Agung Sedayu, Swandaru, Pandan Wangi, dan Prastawa pun telah terbangun pula. Tetapi mereka masih tetap berada di tempat masing-masing. Meskipun demikian tangan mereka sudah menggenggam tangkai senjata masing-masing.
“Kalian harus menyerah sebelum kami mengambil sikap yang lebih kasar,” berkata anak muda yang memimpin orang-orang yang telah mengepung perkemahan.
Para peronda menjadi ragu-ragu. Mereka sadar bahwa Pandan Wangi yang mereka anggap sebagai pemimpin mereka telah terbangun, sehingga mereka hanya menunggu perintah daripadanya. Jika Pandan Wangi memerintahkan untuk bertempur, maka apa pun yang terjadi mereka akan bertahan mati-matian.
“Cepat, lakukan perintah kami. Letakkan senjata kalian.”
Tetapi para peronda masih ragu-ragu karena Pandan Wangi masih belum mengucapkan perintah apa pun. Dalam pada itu Rudita yang sudah terbangun pula segera menyadari apa yang terjadi. Ia lah yang mula-mula bangkit berdiri memandang keadaan di sekelilingnya.
“Jangan berbuat sesuatu yang dapat memaksa kami melepaskan senjata,” terdengar lagi suara anak muda yang memimpin orang-orang yang telah mengepung perkemahan itu.
Rudita pun kemudian melihat bayangan kehitaman di antara dedaunan. Bahkan samar-samar ia melihat beberapa buah senjata yang berkilat-kilat. Tiba-tiba ketakutan yang sangat telah menerkam jantungnya, seperti ketika ia melihat ular naga yang hampir saja menelannya. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia berkata,
“Aku tidak apa-apa. Aku tidak berbuat apa-apa. Aku tidak bersenjata dan aku menyerah.”
“Tidak,” Prastawa lah yang tidak dapat menahan hatinya setelah ia meyakini keadaan, bahwa sebenarnyalah sekelompok orang-orang yang tidak dikenalnya telah mengepung perkemahan itu.
“Kami bukan cucurut yang dapat ditakut-takuti dengan senjata.”
Suasana yang tegang itu menjadi bertambah tegang.
“Kau tidak akan berdaya,” jawab suara pemimpin kelompok itu dengan tenang,
“kami bukan sekedar menakut-nakuti. Tetapi jika perlu kami pun dapat bertindak keras dan kasar.”
“Kami adalah laki-laki seperti kalian,” sahut Prastawa.
“Tidak,” tidak tiba-tiba Rudita berteriak,
“kau memang bodoh sekali. Kita memang harus menyerah. Bukankah itu lebih baik.” Lalu dengan suara yang gemetar,
“Aku menyerah. Jangan kalian sakiti aku. Aku tidak tahu apa-apa.”
“Pengecut,” bentak Prastawa,
“menyerahlah jika kau ingin menyerah.”
Sebelum Rudita menyahut, maka yang terdengar adalah suara Agung Sedayu,
“Siapakah sebenarnya kalian, dan apakah kepentingan kalian dengan kami?”

Tidak segera terdengar jawaban, Sedang Agung Sedayu pun kemudian telah berdiri pula membelakangi api menghadap kepada orang-orang yang mengepungnya, disusul oleh Swandaru yang berdiri pula di sampingnya. Pemimpin kelompok orang-orang yang mengepung perkemahan itu melihat dua bayangan hitam di depan perapian. Tetapi mereka tidak melihat wajah kedua orang itu justru karena mereka menjadi silau oleh nyala api yang kemerah-merahan itu.
“Lepaskan senjata kalian,” suara itu terdengar lagi.
Agung Sedayu mencoba memperhatikan beberapa bayangan di sela-sela dedaunan, tetapi ia pun tidak dapat melihat mereka dengan jelas, karena mereka tidak berdiri cukup dekat.
“Sebaiknya berterus teranglah,” berkata Agung Sedayu,
“dengan demikian kita menjadi pasti, apakah yang akan kita lakukan.”
“Kami akan berbicara setelah kalian melemparkan senjata kalian.”
“Cepat!” Rudita pun ikut membentak.
“Jangan terlalu sombong. Apakah sulitnya melemparkan senjata dari tangan, tetapi kemudian kita selamat? Bukankah kita memang tidak berhasrat untuk pergi berperang?”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia sama sekali tidak menanggapi kata-kata Rudita. Sekali lagi ia berkata lantang,
“Sebut namamu atau gelarmu atau apa pun yang dapat memberikan ciri atau sebutan bagimu.”
“Sekali lagi aku mengulangi, lemparkan senjata kalian. Baru kita berbicara. Dan kalian akan segera mengenal aku.”
Tiba-tiba Swandaru menggeram,
“Kami tidak akan melemparkan senjata kami. Itu adalah keputusan kami. Terserah, apa yang akan kalian lakukan. Kalian tidak bersedia untuk berbicara dalam kedudukan yang sama. Itu suatu penghinaan. Karena itu, kami akan mempertahankan harga diri kami.”
Sejenak tidak terdengar jawaban. Bayangan di antara semak-semak itu masih berdiri ditempatnya, sedang senjata mereka seakan-akan telah siap untuk menerkam. Orang-orang yang mengepung perkemahan itu tinggal menunggu perintah dari pimpinan mereka untuk meloncat maju menyerang orang-orang yang tidak bersedia melemparkan senjata mereka.
Dalam pada itu, Rudita yang semakin ketakutan berteriak dengan suara serak,
“Gila! Gila! Lemparkan senjata-senjata itu. Cepat! Jika tidak, kita semua akan binasa sekedar karena kesombonganmu.”
Swandaru yang berusaha untuk menyabarkan dirinya, menggeretakkan giginya. Tetapi ia mencoba tidak menghiraukan lagi anak yang menggigil ketakutan itu. Ketika kemudian ia menebarkan tatapan matanya, maka dilihatnya para pengiring Pandan Wangi pun telah siap menghadapi segala kemungkinan. Bahkan Pandan Wangi pun kemudian bangkit berdiri dan berkata dengan nada tinggi,
“Jangan mencoba menundukkan hati kami. Kami berada di daerah kami sendiri. Kalianlah yang harus menyerah dan kalian terpaksa kami bawa menghadap ayah, Kepala Tanah Perdikan Menoreh karena kalian telah melanggar hak atas daerah kami.”
Masih belum ada jawaban.
“He, siapakah kalian?” Prastawalah yang berteriak kemudian.
“Gila, kalian semua sudah gila,” potong Rudita,
“kenapa kalian berniat untuk berkelahi. Bukankah kita hanya akan sekedar berburu.”

Tetapi hati Rudita yang dicengkam oleh ketakutan yang menjadi semakin kuncup karena tidak seorang pun yang menghiraukannya. Bahkan Pandan Wangi yang kemudian maju beberapa langkah sambil menggenggam hulu pedangnya yang masih ada di dalam sarungnya berkata,
“Kalian jangan mencoba bukan saja menghinakan kami, tetapi kalian telah mencoba pula menghinakan kekuasaan yang ada di atas Tanah Perdikan ini. Apa pun juga yang akan terjadi, kamilah yang akan memaksa kalian menyerah, bukan sebaliknya.”
Masih tidak ada jawaban, sehingga dengan demikian Pandan Wangi dan orang-orang yang ada di dalam kepungan itu menjadi ragu-ragu. Yang terdengar kemudian adalah suara Agung Sedayu,
“Kenapa kalian diam saja? Jika kalian ingin bertindak kasar, lakukanlah. Tetapi jika kalian ingin berbicara, kami akan berbicara dengan senjata di tangan seperti kalian.”
Tiba-tiba pemimpin dari orang-orang yang mengepung perkemahan itu melangkah maju. Di dalam kegelapan tampaklah seorang yang berperawakan sedang sambil membawa sebatang tombak pendek. Tetapi tombak itu kini berdiri tegak di bahu kanannya.
“Maafkan kami,” itulah yang pertama-tama diucapkannya setelah beberapa saat ia berdiam diri.
Semua orang yang menyaksikannya menjadi termangu-mangu. Bukan saja di pihak Pandan Wangi dan kawan-kawannya, tetapi orang-orang yang sedang mengepung perkemahan itu pun menjadi heran.
“Bukan maksud kami mengejutkan kalian,” berkata orang yang membawa tombak pendek itu.
Agung Sedayu yang membelakangi api mengerutkan keningnya. Kemudian dilihatnya orang yang melangkah itu semakin dekat, sehingga cahaya api yang kemerah-merahan mulai menjangkaunya.
“Apakah kalian mengenal aku?” bertanya orang itu.
Sejenak tidak terdengar jawaban. Namun kemudian hampir berbareng terdengar suara Agung Sedayu dan Swandaru,
“Raden Sutawijaya.”
Orang itu tertawa. Ia melangkah semakin dekat lagi. Katanya,
“Aku pun tidak segera mengenal kalian, karena kalian membelakangi api, sehingga yang tampak hanyalah wajah-wajah yang hitam. Tetapi suara seorang gadis dan apalagi ketika ia menyebut dirinya dan menghubungkan dengan kekuasaan Tanah Perdikan Menoreh, maka aku pun yakin bahwa tubuh yang gemuk di dalam bayangan api itu adalah Swandaru Geni. Meskipun yang tampak hanyalah bayang-bayang yang hitam, tetapi tidak ada bayang-bayang yang bulat dan begitu gagahnya selain putera dari Sangkal Putung.”
“Ah,” Swandaru berdesah,
“aku tidak menyangka bahwa Raden ada di sini.”
“Aku ingin minta maaf kepada Pandan Wangi, bahwa aku sudah berada di daerah Tanah Perdikan Menoreh.”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Kini Raden Sutawijaya berada hanya beberapa langkah saja di hadapan dirinya.
“Tetapi apakah yang Raden kehendaki di Tanah Perdikan ini?”
“Kami sedang mencari sekelompok orang-orang yang tidak kami kenal. Mereka telah menyeberangi sungai Praga dan hilang di dalam hutan ini.”
“Apakah Raden menduga bahwa mereka orang-orang Menoreh?”
“Tidak. Bukan maksudku. Aku sama sekali tidak menduga demikian.”
Pandan Wangi adalah putera Kepala Tanah Perdikan Menoreh, sehingga ia pun menyadari hak dan wewenangnya. Karena itu, maka ia pun kemudian bertanya,
“Apakah Raden tidak dapat menempuh cara lain daripada memasuki daerah ini tanpa setahu ayah atau orang-orang yang berwenang di atas Tanah Perdikan ini.”
Pertanyaan itu ternyata telah mengejutkan Raden Sutawijaya. Karena untuk sesaat ia berdiam diri. Ia mengerti, bahwa orang yang berkuasa di atas Tanah ini tentu tersinggung karena kehadirannya tanpa memberitahukan atau minta ijin lebih dahulu. Apalagi ketika Pandan Wangi berkata,
“Raden, sebenarnyalah bahwa kami pun sedang berusaha menangkap orang-orang bersenjata yang tidak kami kehendaki berkeliaran di daerah kami.”
Raden Sutawijaya tidak segera menjawab. Dipandanginya Pandan Wangi yang berdiri tegak di dalam cahaya api yang kemerah-merahan. Namun Raden Sutawijaya tidak dapat ingkar. Katanya kemudian,
“Pandan Wangi. Baiklah aku minta maaf atas hal ini. Tetapi baiklah kau mendengar alasanku. Aku sedang mencari sekelompok orang-orang bersenjata. Mereka baru saja membuat sesuatu yang merugikan Mataram. Ketika mereka menyeberang Kali Praga, kami masih mengejar mereka. Tetapi malam segera turun sehingga kami tidak berhasil menangkapnya. Meskipun demikian kami tidak berhenti. Kami maju terus menembus hutan liar ini. Adalah kebetulan sekali kami melihat perapian di sini, sehingga kami menyangka bahwa kalian adalah orang yang sedang kami cari.”
“Seharusnya Tuan berhenti di seberang Kali Praga,” sahut Pandan Wangi,
“jika Tuan tidak menduga bahwa mereka orang-orang Menoreh, maka Raden tidak akan mengejarnya sampai ke seberang. Raden harus mempercayakannya kepada kami, kepada orang-orang Menoreh.”
“Kami tidak mempunyai waktu lagi,” jawab Sutawijaya.
“Tentu waktu masih cukup panjang. Raden harus menyerahkan kepada kami untuk menangkapnya. Raden dengan sepasukan pengawal tidak dapat dibenarkan berada di daerah Tanah Perdikan Menoreh tanpa ijin kami. Bukan karena Raden sudah mengejutkan kami sehingga kami menjadi jengkel karenanya. Tetapi seharusnyalah bahwa Raden mengetahui hal itu.”
“Ya, ya,” jawab Sutawijaya,
“sudah aku akui. Dan aku sudah minta maaf.”
“Tidak kepadaku, karena bukan akulah Kepala Tanah Perdikan Menoreh.”

Sepercik ketegangan tampak di wajah Raden Sutawijaya. Karena itu ia tidak segera menjawab. Ditatapnya saja Pandan Wangi berganti-ganti dengan Agung Sedayu dan Swandaru. Kedua anak muda murid Kiai Gringsing itu menjadi bingung. Ia sebenarnya tidak ingin terjadi ketegangan itu. Tetapi mereka pun dapat mengerti bahwa Pandan Wangi merasa tersinggung karena orang lain telah memasuki wilayahnya tanpa ijin. Sutawijaya termangu-mangu sejenak. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata,
“Baiklah aku minta maaf kepada Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi bukankah aku dapat minta kepadamu untuk mewakilinya?”
Pandan Wangi lah yang kemudian termangu-mangu. Sejenak ia berpaling kepada Swandaru, seakan-akan minta pertimbangannya. Tetapi anak muda yang gemuk itu tidak sedang memandang ke arah Pandan Wangi. Raden Sutawijaya menunggu dengan hati yang berdebar-debar. Ia sedang berdiri di antara dua kepentingan. Yang sebelah, adalah harga dirinya, sedang yang lain adalah hubungan antara Tanah Mataram yang sedang tumbuh dengan Tanah Perdikan Menoreh. Ternyata bahwa kepentingan Mataram lah yang paling utama bagi Sutawijaya. Ia tidak mau merusak hubungan antara daerah yang sedang dibuka dengan daerah di sekitarnya. Bahwa ia sudah menyeberang Kali Praga di malam hari, adalah karena terdorong oleh keinginannya menangkap orang-orang yang tidak dikenal yang setiap kali selalu mengganggu pertumbuhan Mataram. Sejenak mereka dikuasai oleh ketegangan. Semua orang memandang kepada Pandan Wangi untuk menunggui jawabannya. Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian,
“Baiklah, Raden. Aku akan menyampaikannya. Terserahlah tanggapan ayah terhadap hal ini.”
Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Dan ia pun bertanya,
“Apakah maksudmu, Pandan Wangi.”
“Jika ayah menghendaki Raden datang sendiri kepadanya, terserahlah kepada ayah. Mungkin Raden segera akan kembali ke Mataram. Namun jika ayah menghendaki, kami dapat mengirimkan utusan untuk menyampaikan keputusan ayah kepada Raden.”
Raden Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya, Katanya,
“Baiklah. Aku mengerti bahwa kalian benar-benar merasa tersinggung. Tetapi jika kau menyampaikan persoalan ini kepada Ki Gede Menoreh, aku berharap agar dapat kau sampaikan dengan lengkap. Salam permintaan maaf, juga alasanku kenapa aku dengan terpaksa sekali menyeberangi sungai itu di malam hari. Aku sama sekali tidak ingin melanggar hak atas Tanah Perdikan ini, tetapi semata-mata karena terdorong oleh keinginan untuk menangkap mereka. Kami sudah dibakar oleh kemarahan yang tidak terkendali lagi, sehingga kami telah melanggar batas Tanah Perdikan Menoreh.”
“Baiklah, Raden. Aku akan menyampaikannya kepada ayah dengan lengkap.”
“Mudah-mudahan Ki Gede Menoreh dapat mengerti, dan tidak usah mengirimkan utusan mencari aku ke Mataram dan memanggil aku. Karena mungkin sekali aku tidak sedang berada di Mataram. Sebagai Putera Sultan Pajang aku kadang-kadang mendapat tugas khusus juga, tugas untuk melihat-lihat daerah Pajang yang tersebar luas di atas Tanah ini. Dari pasisir Utara sampai pasisir Selatan. Dari ujung Timur sampai ke ujung Barat. Dan untuk itu kadang-kadang aku memerlukan waktu yang panjang.”

Pandan Wangi tercenung sejenak. Sedang Agung Sedayu dan Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Mereka sadar, bahwa Sutawijaya masih ingin juga menunjukkan kekuasaannya, kekuasaan yang memang ada padanya sebagai putera angkat Sultan Pajang yang sebelum meninggalkan istana, bagaikan puteranya sendiri. Dan kekuasaan Pajang itu sampai saat terakhir masih diakui meliputi daerah yang luas, termasuk Tanah Perdikan Menoreh. Karena itulah maka Pandan Wangi tidak segera menjawabnya. Pengakuan atas Pajang, dan pengakuan atas kekuasaan para pemimpin di Pajang masih dihormatinya, seperti ayahnya juga masih tetap menghormatinya. Agung Sedayu yang menyadari bahwa Pandan Wangi berada di dalam kesulitan perasaan berusaha menolongnya. Katanya mengalihkan pembicaraan,
“Jika demikian, silahkanlah, Raden. Marilah kita berbicara seenaknya sambil duduk mengelilingi perapian ini. Mungkin pembantu kami dapat merebus air dan memanasi jadah ketan dengan memanggangnya di atas bara. Kita akan dapat berbicara tentang orang-orang bersenjata yang tidak dikenal itu. Dan tentu pembicaraan akan menjadi sangat menarik.”
“Terima kasih,” jawab Sutawijaya
Pandan Wangi pun kemudian sambil mencoba menenangkan hatinya berkata,
“Baiklah, silahkan Raden duduk.”
Raden Sutawijaya pun kemudian memberikan isyarat kepada orang-orangnya. Mereka pun kemudian bermunculan dari balik gerumbul. Dan ternyata bahwa mereka pun tidak begitu banyak. Tidak lebih dari lima belas orang. Namun ternyata bahwa anak buah Raden Sutawijaya itu cukup berhati-hati. Meskipun mereka kemudian duduk pula di perkemahan itu, namun mereka tetap terpencar. Masing-masing berkelompok antara empat atau lima orang. Tetapi Agung Sedayu dan Swandaru menaruh kepercayaan sepenuhnya bahwa Raden Sutawijaya tentu tidak akan berbuat sesuatu dengan cara yang tidak terpuji. Karena itulah maka mereka sama sekali tidak mencurigainya. Mereka sama sekali tidak menaruh banyak perhatian terhadap anak buahnya yang duduk di dalam gerombol-gerombol yang terpisah. Tetapi ternyata bahwa Prastawa yang kurang mengenal Raden Sutawijaya berpendirian lain. Karena itulah maka ia duduk memisahkan diri dari mereka yang kemudian mengelilingi perapian. Ternyata Prastawa lebih senang duduk bersama para pengiring yang tidak sedang sibuk menyiapkan minuman dan makanan yang dapat menghangatkan mereka di malam hari.
Dalam pada itu Rudita menjadi kebingungan. Ia kurang mengerti, kenapa suasana tiba-tiba saja berubah. Ia menjadi heran kenapa orang-orang yang mengepung mereka itu segera menjadi lunak.
“Agaknya mereka sudah berkenalan sebelumnya,” katanya di dalam hati.
Dan ternyata bahwa pembicaraan mereka yang duduk di perapian itu pun menjadi lancar. Dalam pada itu, Rudita yang masih termangu-mangu itu dan yang kemudian duduk di atas tikar di arah belakang Pandan Wangi mencoba memperhatikan pembicaraan mereka. Setiap kali ia mendengar nama anak muda yang bersenjata tombak pendek itu disebut-sebut sebagai Raden Sutawijaya. Dan nama itu memang pernah didengarnya. Hanya didengarnya.
“Ia menyebut dirinya sebagai putera Sultan Pajang. Apakah Raden Sutawijaya itulah yang dimaksud sebagai putera angkat Sultan Pajang seperti yang sering aku dengar?” ia bertanya kepada diri sendiri.
Akhirnya Rudita itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dari pembicaraan yang didengarnya tentang orang-orang bersenjata yang membuat Mataram menjadi kisruh, ia yakin bahwa orang itulah yang dimaksudkannya.
Karena itu maka tiba-tiba saja ia bergeser maju. Ketika ia sudah duduk di sebelah Pandan Wangi, maka ia pun berkata,
“Raden Sutawijaya. Ternyata Raden Sutawijaya adalah orang yang selama ini baru aku dengar namanya lewat ceritera-ceritera. Kedatangan Raden sangat mengejutkan kami dan agaknya perbawa Raden telah membuat aku ketakutan. Tetapi sebenarnyalah bahwa kami tidak akan berani berbuat apa pun terhadap Raden, Putera Sultan Pajang.”
Sutawijaya berpaling. Dilihatnya Rudita dengan herannya. Apalagi ketika dilihatnya anak muda itu tertawa-tawa sambil meremas-remas tangannya sendiri.
“Raden,” berkata Rudita kemudian,
“aku minta maaf akan kelancangan kawan-kawanku, juga Pandan Wangi. Meskipun agaknya mereka sudah mengenal Raden, dan barangkali bahkan sudah mengetahui kedudukan Raden, namun mereka tentu belum tahu, betapa tinggi sebenarnya kedudukan Raden itu. Sebenarnya kami sama sekali tidak pantas duduk bersama-sama dengan Raden seakan-akan kami mempunyai kedudukan yang sama dengan Raden.”

Sutawijaya mengerutkan keningnya. Sejenak dipandanginya Agung Sedayu yang menarik nafas dalam-dalam. Kemudian Swandaru yang justru termangu-mangu. Ketika Rudita masih akan berbicara lagi, Pandan Wangi telah menggamitnya, sehingga niat itu diurungkannya. Namun wajah Pandan Wangi menjadi kemerah-merahan ketika Rudita justru bertanya kepada Pandan Wangi,
“Kenapa?”
“Sst,” Pandan Wangi berdesis.
“Bukankah kau menggamit aku? Kenapa?”
Sutawijaya terpaksa menahan senyumnya. Dalam sekilas ia dapat mengenal sifat anak muda itu. Anak muda itu pulalah yang menjadi ketakutan ketika ia mengepung perkemahan itu. Dan anak muda ini pula yang justru ingin agar kawan-kawannya melepaskan senjatanya. Namun dengan demikian, maka Rudita tidak menjadi persoalan lagi bagi Raden Sutawijaya. Ia tahu ada sedikit kekurangan pada anak muda itu. Mungkin pengalaman atau mungkin tuntunan di dalam keluarganya yang tidak banyak memperkenalkan anak muda itu dengan sifat dunia yang keras. Dalam pada itu Pandan Wangi masih dikejar oleh kebingungan karena Rudita masih saja bertanya kepadanya,
“Kenapa kau menggamit aku he? Apakah ada sesuatu yang akan kau katakan?”
Pandan Wangi menggelengkan kepalanya. Katanya,
“Tidak. Tidak ada yang akan aku katakan.”
“Tetapi kau menggamit aku.”
“Tidak sengaja. Aku hanya menyentuhmu karena aku bergeser sedikit.”
“O,” Rudita mengangguk-angguk,
“kau membuat aku kehilangan kata-kataku. Aku masih ingin berbicara dengan Raden Sutawijaya, tetapi aku lupa kata-kata yang sudah ada di ujung lidah.”
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam.
Dan tiba-tiba saja Rudita berkata pula,
“Ha, sekarang aku ingat. Aku ingin berkata tentang diri kita kepada Raden Sutawijaya.” Lalu sambil menghadap kepada Raden Sutawijaya ia berkata,
“Raden, tentu kami tidak akan dapat menghalang-halangi apa yang akan Raden katakan. Sama sekali tidak dapat. Pandan Wangi terlampau berbangga diri karena jabatan ayahnya. Tetapi dibandingkan dengan Raden, maka jabatan ayahnya sama sekali tidak berarti. Apalagi anak-anak Sangkal Putung itu. Mereka tidak lebih dari anak seorang Demang kecil.”
Raden Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Kami sudah lama berkenalan. Di antara kami tidak ada lagi persoalan jabatan atau pangkat. Kami berkenalan seperti anak-anak muda berkawan satu sama lain.”
“O. Tentu karena Raden berjiwa besar. Tetapi kamilah yang harus menyadari keadaan kami. Kekecilan diri kami. Adalah sikap deksura yang tidak dapat dimaafkan, jika kami tidak menyadari keadaan kami masing-masing.”
“Terima kasih,” lalu kepada Rudita ia bertanya,
“siapa namamu?”
“Rudita.”
“Terima kasih, Rudita. Kau adalah anak muda yang tahu diri. Tetapi biarlah kami bersikap seperti yang kami lakukan. Aku lebih senang berbicara dengan bebas dalam sikap yang bebas.”
“O, betapa besar jiwa Raden. Dan karena itulah kami merasa lebih kecil lagi. Seharusnya anak-anak Sangkal Putung itu bergeser mundur dan duduk bersila di atas tanah sambil menundukkan kepalanya.”
Raden Sutawijaya akhirnya menjadi jemu juga melayani. Karena itu katanya,
“Terima kasih. Sebaiknya kau tidur, Anak Manis. Hari sudah terlampau malam.”
Swandaru lah yang kemudian hampir tidak dapat menahan tertawanya. Tetapi dengan susah payah dan sambil memalingkan kepalanya, ia berhasil menyembunyikan perasaannya. Rudita pun kemudian terdiam. Tetapi ia tidak mengerti sikap Raden Sutawijaya. Apakah kata-katanya itu sebenarnya dimaksudkan seperti yang diucapkan, atau ia mempunyai maksud lain. Karena itu maka Rudita itu pun menjadi termangu-mangu. Namun demikian, maka ia pun terdiam karenanya.

Dalam pada itu, Prastawa yang duduk di antara para pengiringnya lamat-lamat mendengar juga percakapan antara Rudita dan Raden Sutawijaya. Rasa-rasanya ia ingin meloncat membungkam mulut Rudita. Tetapi dengan menahan diri ia terpaksa tetap duduk di tempatnya. Meskipun demikian, ia masih saja tetap mengawasi kelompok-kelompok orang-orang Mataram yang duduk terpencar. Namun semakin lama kecurigaannya itu pun menjadi semakin tipis. Sementara itu, Sutawijaya sudah terlibat lagi dalam pembicaraan yang lancar dengan Agung Sedayu, Swandaru, dan Pandan Wangi. Mereka masih saja membicarakan orang-orang bersenjata yang tidak mereka kenal.
“Raden,” berkata Agung Sedayu,
“jika demikian, maka sebenarnya Mataram telah terkepung.”
“Ya. Mataram memang sudah dikepung oleh orang-orang yang tidak kita kenal itu. Sejak hantu-hantuan itu dapat kita ketahui rahasianya, maka mereka telah mengambil cara yang lebih kasar. Aku sudah mendengar laporan yang terperinci dari Ki Lurah Branjangan tentang kekacauan yang timbul di Jati Anom. Sebenarnyalah bahwa kami harus mengucapkan terima kasih kepada Kiai Gringsing dan murid-muridnya beserta Ki Sumangkar.”
“Ah. Itu sudah menjadi kewajiban kami.”
“Juga kepada Ki Ranadana dan para prajurit Pajang di Jati Anom. Tetapi kami belum sempat melakukannya.”
“Kita semuanya berkepentingan.”
“Juga semua bantuan yang telah kalian berikan kepada kami selama ini.”
“Ah, kami tidak berbuat apa-apa,” jawab Agung Sedayu.
Namun Swandaru berkata,
“Raden, bukan maksud kami untuk menunjukkan jasa kami kepada Raden dan Mataram. Tetapi agaknya perlu Raden ketahui, bahwa jalan masuk ke Mataram dari arah Timur seakan-akan benar-benar telah tertutup.”
“Ya, kami sudah mengetahui bahwa gangguan meningkat di bagian Timur Alas Mentaok, bahkan di Alas Tambak Baya.”
“Ya. Kami menemukan seseorang yang menyebut dirinya panembahan tidak bernama.”
Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya.
“Kami terpaksa bertempur melawan orang itu bersama anak buahnya.”
“Ya, ya. Aku juga sudah mendengar laporan tentang mereka. Aku juga sudah mendengar, siapakah yang telah berhasil menyingkirkan orang yang menyebut dirinya panembahan tidak bernama itu.”
“Bukan maksud kami untuk menyatakan diri kami.”
“Aku mengerti. Kau tentu sekedar memberikan peringatan bahwa hal itu telah terjadi.”
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tentu pengawal-pengawal dari Mataram itulah yang menyampaikan laporan mengenai panembahan tidak bernama itu.
“Semuanya itu membuat aku yakin, bahwa ada kekuatan yang sebenarnya berbahaya bagi Mataram, sehingga kami tidak dapat menunggu saja,” berkata Sutawijaya kemudian.
“Dan itu pulalah sebabnya yang mendorong aku memberanikan diri menyeberangi Kali Praga. Dan untuk itu aku sudah minta maaf.”
“Raden tidak perlu minta maaf,” tiba-tiba saja Rudita, telah menyela,
“Menoreh adalah bagian dari Pajang. Dan Raden adalah Putera Sultan Pajang. Apa pun yang akan Raden lakukan, tidak ada seorang pun yang dapat mencegahnya.”
Raden Sutawijaya berpaling. Dipandanginya Rudita sejenak, lalu kepalanya pun terangguk-angguk,
“Ya, ya. Aku, memang dapat berbuat begitu meskipun itu tidak bijaksana.”
“Kebijaksanaan Raden yang melimpah-limpah itulah yang membuat Raden benar-benar seorang besar yang berjiwa besar.”
“Terima kasih,” sahut Raden Sutawijaya. Lalu katanya kepada Swandaru,
“Sebenarnyalah bahwa kami di Mataram, sedang diprihatinkan oleh persoalan-persoalan yang seakan-akan tidak henti-hentinya itu.”
Swandaru mengangguk-angguk pula. Katanya,
“Mudah-mudahan Raden segera menemukan jalan yang paling baik untuk menyelesaikannya.”

Sutawijaya tidak segera menyahut. Dipandanginya api yang menyala semakin besar karena beberapa potong kayu yang dilemparkan ke dalamnya. Sepercik bunga api meloncat ke udara dan hilang dibawa angin yang bertiup ke Utara.
“Raden dapat menemui Ki Gede Menoreh,” berkata Agung Sedayu tiba-tiba.
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Bahkan Pandan Wangi pun memandang anak muda itu dengan dahi yang berkerut-merut.
“Maksudmu?” bertanya Raden Sutawijaya.
Namun sebelum Agung Sedayu menjawab, Rudita sudah mendahului,
“Kau jangan mencampuri persoalan Tanah Perdikan Menoreh. Pandan Wangi sudah menyadari kekeliruannya. Raden Sutawijaya adalah Putera Sultan Pajang. Buat apa ia menemui Ki Gede Menoreh? Jika Raden Sutawijaya memerlukan, ialah yang akan memanggil Ki Gede menghadap. Baik di Mataram maupun di Pajang. Bukan sebaliknya.”
Agung Sedayu hanya memandangnya sekilas. Namun ia berbicara terus, seakan-akan tidak ada seorang pun yang berbicara,
“Raden. Jika Raden berhasil mengadakan semacam persetujuan dan semayan untuk bersama-sama menjaga perbatasan masing-masing, maka gerak orang-orang itu akan menjadi sangat terbatas. Apalagi apabila dapat disusun semacam pasukan pengawal gabungan. Baik dengan Tanah Perdikan Menoreh, maupun dengan Kademangan Mangir.”
Raden Sutawijaya merenung sejenak. Pendapat itu memang sangat menarik. Agaknya memang tidak akan terdapat kesulitan dengan Tanah Perdikan Menoreh jika ia benar-benar menemui Ki Argapati. Tetapi yang masih menjadi pertanyaan bagi Raden Sutawijaya adalah Mangir dan bagian Timur Alas Tambak Baya. Daerah Cupu Watu adalah daerah yang kurang dikenalnya. Kemudian Kademangan Prambanan yang kadang-kadang mempunyai sikap yang kurang dimengertinya justru karena daerah itu jarang sekali dijamahnya. Kemudian jika Swandaru mempunyai pengaruh yang cukup terhadap ayahnya dan kademangannya, maka Sangkal Putung dapat diharapkannya. Namun di bawah bayangan kaki Gunung Merapi terletak daerah Jati Anom, daerah yang menjadi pusat kekuasaan senapati di daerah Selatan ini, Untara.
“Tetapi untuk membinasakan orang-orang yang sengaja mengeruhkan suasana itu, Jati Anom dapat dibawa bekerja bersama,” berkata Sutawijaya di dalam hatinya. Meskipun demikian ia tidak ingkar bahwa sebenarnya ada beberapa orang perwira Pajang yang langsung atau tidak langsung, berjalan sejajar dengan orang-orang yang menghalangi pertumbuhan Mataram.
“Tidak mustahil bahwa otak dari gerakan yang gila itu sebenarnya justru ada di Pajang,” desis Sutawijaya di dalam hatinya pula.

Dalam pada itu, Agung Sedayu masih menunggu jawaban anak muda yang memiliki kelebihan dari orang-orang kebanyakan itu. Sejenak Sutawijaya masih merenung. Lalu jawabnya kemudian,
“Pendapatmu baik sekali. Tetapi apakah orang-orang yang berkuasa di sekitar Mataram dapat mengerti maksud itu. Aku yakin, tidak ada persoalan lagi bagi Menoreh. Tetapi aku tidak tahu, apakah Ki Demang di Mangir tidak justru menjadi marah-marah kepadaku seakan-akan aku sudah memerintahnya.”
“Tetapi hal itu dapat dicoba.”
“Ya. Memang dapat dicoba. Dan aku akan menyampaikannya kepada Ayahanda Ki Gede Pemanahan.” Raden Sutawijaya berhenti sejenak, lalu,
“Tetapi sebelum dengan resmi aku menemui Ki Gede Menoreh, aku minta agar Pandan Wangi menyampaikan persoalan ini, dan terlebih lagi untuk waktu yang terlampau pendek ini. Bagaimana jika kita mulai saja dengan kerja sama itu sekarang?”
“Maksud Raden?”
“Aku sedang mengejar orang-orang yang tidak aku ketahui dari mana asalnya itu. Mereka menyeberangi sungai dan hilang di dalam hutan ini.”
“Kapan?” bertanya Swandaru.
“Belum lama.”
“Sesudah malam?
“Ya, sesudah malam.”
Tetapi Pandan Wangi menggelengkan kepalanya sambil menjawab,
“Sulit sekali untuk menemukan mereka. Bukannya kami tidak bersedia. Tetapi untuk mencari mereka di tengah-tengah hutan liar itu di malam hari, adalah pekerjaan yang sangat sulit.”


Halaman 1 2 3


<<< Jilid 070                                                                                                       Jilid 072 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar